Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Perpajakan (Studi Putusan Nomor 1863/Pid.B/2015/Pn.Sby)

(1)

175

DAFTAR PUSTAKA BUKU:

A.Fuad Usfa, Tongat, Pengantar Hukum Pidana, (Malang: UMM Press, 2004) Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta: Raja Grafindo

Persada. 2002)

Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994) Bambang Waluyo, Tindak Pidana Perpajakan, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1994) Bohari, Pengantar Hukum Pajak, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006) E.Utrercht, Hukum Pidana II, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1987)

H.A. Zainal Abidin Farid, , Hukum Pidana I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010)

H.Setiyono, Kejahatan Korporasi Analisis Victimologis dan Pertanggungjawaban

Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, (Malang: Bayumedia

Publishing, 2005)

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2015)

Mohammad Ekaputra, Dasar-dasar Hukum Pidana, (Medan: USU PRESS, 2013) Mohammad Ekaputra, Abul Khair, Percobaan dan Penyertaan, (Medan: USU

PRESS, 2014)

Muhammad Djafar Saidi, Eka Merdekawati Djafar, Kejahatan di Bidang

Perpajakan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011)


(2)

P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997)

R.Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000) Simon Nahak, Hukum Pidana Perpajakan, (Malang: Setara Press, 2014)

Soeparman, Tindak Pidana dibidang Perpajakan, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1994)

T.N. Syamsah, Tindak Pidana Perpajakan, (Bandung: PT. Alumni, 2011)

Tampil Anshari Siregar, Metodologi Penelitian Hukum: Penulisan Skripsi, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2005)

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung:Eresco, 1986)

Y. Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak, (Yogyakarta: CV Andi Offset, 2008)

UNDANG-UNDANG:

KUHP

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

Undang-Undang Nomor: 16 Tahun 2009 Tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor: 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata

Cara Perpajakan;

Undang-Undang Nomor: 36 Tahun 2008, tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor: 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan,;


(3)

177

Undang Nomor: 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang Nomor: 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang

dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.;

Undang-Undang Nomor: 19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa; Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor: 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan;

Undang Nomor: 28 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor: 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah

Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor: 45 Tahun 2007 Tentang

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008

Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor:1 Tahun 2004 Tentang

Pembendaharaan Negara;

Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor: 25 Tahun 2007 Tentang

Penanaman Modal; WEBSITE

http://www.kemenkeu.go.id/wide/apbn2015, diakses tanggal 10 Februari 2016 http://mahkamahagung.go.id diakses tanggal 10 Februari 2016

http://www.wikiapbn.org/artikel/Tindak_Pidana_di_Bidang_Perpajakan, diakses pada tanggal 10 Februari 2016

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52bdff2508616/subjek-hukum-dalam-hukum-perdata-dan-hukum-pidana diakses tanggal 18 Maret 2016


(4)

http://egistiansilvan.blogspot.co.id/2014/04/resume-buku-kejahatan-di-bidang.html, diakses tanggal 28 Maret 2016


(5)

61 BAB III

PELAKU TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM PIDANA DI INDONESIA

A.SUBJEK HUKUM PIDANA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA DI HUKUM PIDANA

Subjek hukum adalah sesuatu yang menurut hukum berhak atau berwenang untuk melakukan perbuatan hukum atau siapa yang mempunyai hak dan cakap untuk bertindak secara hukum.90 Didalam hukum pidana sendiri, seiring dengan terjadinya perubahan sosial di berbagai bidang kehidupan manusia, subjek hukum pidana tidak hanya terbatas pada manusia atau orang (naturlijke persoon) tetapi juga mencakup kepada korporasi atau badan hukum (recht persoon). Hal ini juga terdapat didalam Konsep KUHP Baru, dimana subjek hukum pidana tidak lagi hanya terbatas pada orang atau manusia saja, tetapi juga korporasi, sesuai dengan Pasal 47 Konsep KUHP Baru yang menyebutkan korporasi merupakan subjek hukum pidana.

1. Orang (Naturlijke Persoon)

Menurut KUHP yang dapat menjadi subjek hukum pidana adalah naturlijke

persoon atau manusia. Hal ini dapat dilihat dalam tiap-tiap pasal KUHP, Buku II

dan Buku III.91 Manusia yang dianggap sebagai subjek hukum pidana., hal ini dapat tersimpulkan dari:92

90 R.Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, Hal. 227 91 Mohammad Ekaputra, Op.Cit.., Hal. 22

92

Ibid., Hal. 23


(6)

1. Perumusan delik yang selalu menentukan subjeknya dengan barang siapa, warga negara Indonesia, nahkoda, pegawai negeri dan sebagainya. Penggunaan istilah-istilah tersebut selain daripada yang ditentukan dalam rumusan delik yang bersangkutan, dapat ditemukan dasarnya pada Pasal 2-9 KUHP. Untuk istilah barangsiapa, dalam Pasal 2, 3 dan 4 KUHP digunakan istilah een

ieder (dengan terjemahan ―setiap orang‖);

2. Ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana yang

mensyaratkan ―kejiwaan‖ dari petindak/pelaku;

3. Ketentuan mengenai pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP, terutama mengenai pidana denda. Hanya manusia yang mengerti nilai uang.

Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H. dalam bukunya Asas-Asas Hukum

Pidana di Indonesia mengatakan bahwa dalam pandangan Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP), yang dapat menjadi subjek tindak pidana adalah seorang manusia sebagai oknum. Ini terlihat pada perumusan-perumusan dari tindak pidana dalam KUHP yang menampakkan daya berpikir sebagai syarat bagi subjek tindak pidana itu, juga terlihat pada wujud hukuman/pidana yang termuat dalam pasal-pasal KUHP, yaitu hukuman penjara, kurungan, dan denda.93

Menurut H.B. Vos, subjek tindak pidana dalam KUHP adalah manusia, setidak-tidaknya karena 3 alasan, yaitu:94

93

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52bdff2508616/subjek-hukum-dalam-hukum-perdata-dan-hukum-pidana diakses tanggal 18 Maret 2016

94


(7)

63

1. Rumusan dari KUHP sendiri, yang dimulai dengan kata ―barangsiapa‖

yang dalam Bahasa Belanda ―hij die‖, yang artinya tidak lain adalah

manusia.

2. Jenis-jenis pidana pokok hanya dapat dijalani oleh manusia, misalnya pidana penjara.

3. Di dalam hukum pidana berlaku asas kesalahan (schuld) bagi seorang manusia pribadi.

2.Korporasi (recht persoon)

Secara epimologis, kata korporasi berasal dari beberapa bahasa yaitu

corporatie yang berasal dari Bahasa Belanda, corporation yang berasal dari

Bahasa Inggris, dan corporatio yang berasal dari bahasa Latin. Istilah corporatio sendiri terdiri merupakan kata benda (substantivum) yang berasal dari kata kerja

corporare‖ yang berarti memberikan badan atau membadankan dan ―tio”,

sehingga ―corporatio‖ berarti hasil dari pekerjaan membadankan, dengan kata lain badan yang dijadikan orang.95 Korporasi merupakan kumpulan teroganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik yang merupakan badan hukum (legal persoon) maupun bukan badan hukum.96

Pengertian korporasi juga diatur didalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu: ―Korporasi

95 Mohammad Ekaputra, Op.Cit., Hal. 25 96

Ibid.


(8)

adalah sekumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum‖.97

Satjipto Rahardjo mengungkapkan bahwa korporasi adalah suatu badan hasil ciptaan hukum. Badan yang diciptakannya itu terdiri dari corpus, yaitu struktur fisiknya dan kedalamnya hukum memasukkan unsur animus yang membuat badan itu mempunyai kepribadian. Oleh karena badan hukum itu merupakan ciptaan hukum maka kecuali penciptaannya, kematiannya pun juga ditentukan oleh hukum.

Menurut Utrecht, korporasi adalah suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai suatu subjek hukum tersendiri satu personasifikasi. Korporasi adalah badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak dan kewajiban sendiri terpisah dari hak kewajiban anggota masing-masing98.

Di dalam ―Black‘s Law Dictionary‖ korporasi didefinisikan sebagai

berikut: ―an artificial or legal created by or under the authority of the laws of a

state or nation, composed, in some rare instances, of a single person an his successors, being incumbents of a particular office, but ordinarily consisting of an

association of numerous individuals‖, (suatu yang disahkan/tiruan yang diciptakan

oleh atau dibawah wewenang hukum suatu negara atau bangsa, yang terdiri, dalam hal beberapa kejadian, tentang orang tunggal adalah seorang pengganti,

97

Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

98 Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana,


(9)

65

menjadi pejabat kantor tertentu, tetapi biasanya terdiri dari suatu asosiasi banyak individu.99

Pengertian korporasi juga dapat dilihat dari segi subjek hukum, yakni apakah yang dimaksud dengan subjek hukum itu. Pengertian subjek hukum pada pokoknya merupakan manusia dan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat yang oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban atau yang lazim disebut sebagai badan hukum100.

Apabila korporasi disejajarkan posisinya dengan manusia sebagai subjek hukum, maka dalam memberikan pengertian bahwa korporasi juga dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti misalnya dalam hal transaksi bisnis. Akan tetapi, ada beberapa perbuatan hukum yang tidak dapat dilakukan oleh korporasi dan hanya dapat dilakukan oleh manusia, yakni melakukan perkawinan, pewarisan, dan lain sebagainya.

Ketentuan mengenai korporasi sebagai subjek hukum dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan diluar KUHP. Korporasi didalam hukum pidana memiliki perumusan yang lebih luas daripada koporasi didalam Hukum Perdata, dimana korporasi hanya terbatas kepada badan hukum saja, sedangkan didalam Hukum Pidana, koporasi bisa berbentuk sebagai badan hukum atau bukan badan hukum.

B.PELAKU TINDAK PIDANA DALAM TINDAK PIDANA PERPAJAKAN

B.1 Pelaku Tindak Pidana Pada Umumnya

99Mahrus Ali, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,

2013, Hal. 2

100

Ibid., Hal. 5


(10)

Pada dasarnya, yang menjadi unsur pertama dalam suatu tindak pidana adalah adanya suatu perbuatan manusia, sehingga dapat dikatakan yang dapat melakukan suatu tindak pidana adalah manusia itu sendiri. Hal itu terlihat dari sebagaian besar kaidah-kaidah hukum pidana didalam KUHP dimulai dengan kata

―barang siapa‖ sebagai terjemahan dari kata dalam Bahasa Belanda hij.101

Namun seiring dengan perkembangannya, mengingat terjadinya perubahan sosial di berbagai bidang kehidupan manusia, maka subjek hukum pidana tidak lagi dapat dibatasi hanya pada manusia alamiah (natuurlijke persoon) tetapi mencakup pula badan hukum (recht persoon).

Pelaku tindak pidana memiliki arti orang/badan hukum (subjek hukum) yang melakukan tindak pidana atau melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang (pidana).

Berdasarkan Pasal 55 KUHP102 yang menjadi pelaku didalam suatu tindak pidana adalah:

1. Orang yang melakukan tindak pidana (plegen/dader)

Didalam ilmu pengetahuan hukum pidana ada dibedakan antara pelaku dalam arti sempit dan pelaku dalam arti luas. Pelaku dalam arti sempit adalah

101 Mohammad Ekaputra, Op.Cit., Hal. 23 102 Pasal 55 KUHP

(3) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana :

3. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan;

4. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

(4) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sejarah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.


(11)

67

hanya mereka yang melakukan tindak pidana. Sedangkan pelaku dalam arti luas meliputi keempat klasifikasi pelaku, yaitu yang melakukan, mereka yang menyuruh melakukan, mereka yang ikut serta melakukan dan mereka yang mengggerakkan/membujuk.103

Orang yang melakukan tindak pidana secara sempit (tunggal) disebut dader sedangkan secara luas (jamak) disebut plegen. Kamus Bahasa Belanda mengartikan kata dader sebagai ―pembuat‖. Orang yang melakukan tindak pidana adalah orang yang karena perbuatannyalah yang melahirkan tindak pidana itu, tanpa adanya perbuatan-perbuatan pembuat pelaksana (pleger) ini tindak pidana itu tidak akan terwujud.104 Lebih sederhana lagi bahwa yang dimaksud dengan orang yang melakukan (dader) adalah orang yang memenuhi semua unsur delik sebagaimana dirumuskan oleh undang-undang, baik unsur subjektif maupun unsur objektif.105 Perbedaaan pleger dengan dader adalah terhadap pleger masih diperlukan keterlibatan orang lain ini harus sedemikian rupa sehingga perbuatan tersebut tidak sebagai penentu dalam mewujudkan tindak pidana yang dilakukan.106

Pada umumnya, pelaku dapat diketahui dari jenis delik, yakni:107

103 Loebby Loqman, Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Tindak Pidana, Jakarta, Universitas Tarumanegara, 1996, Hal. 62-63

104 Mohammad Ekaputra dan Abul Khair, Percobaan dan Penyertaan, USU Press, Medan, 2014, Hal. 44

105

Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, Hal. 78

106 Adam Chazawi, Percobaan & Penyertaan (Pelajaran Hukum Pidana 3), Raja

Grafindo Persada, Jakarta, 2002, Hal. 83

107

Ibid.


(12)

a. Delik formil, pelakunya adalah barang siapa yang telah memenuhi perumusan delik dalam undang-undang;

b. Delik materiil, pelakunya adalah barang siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang dalam perumusan delik;

c. Delik yang memuat unsur kualitas atau kedudukan, pelakunya adalah barang siapa yang memiliki unsur kedudukan atau kualitas sebagaimana yang dirumuskan, misalnya, didalam kejahatan jabatan, pelakunya adalah pegawai negeri.

Sedangkan dader dalam pengertian luas adalah yang dimuat dalam Memori Penjelasan atau Memorie van Toelichting (MvT) WvS Belanda tahun 1886 pembentukan Pasal 55 KUHP, yang antara lain mengutarakan:

―Yang harus dipandang sebagai dader itu bukan saja mereka yang telah

menggerakkan orang lain untuk melakukan delik, melainkan juga mereka

yang telah menyuruh melakukan dan mereka yang turut melakukan.‖108 2. Orang yang menyuruh melakukan (doenpleger/manus domina)

Undang-undang tidak menerangkan tentang siapa yang dimaksud yang menyuruh melakukan. Untuk mencari pengertian dari orang yang menyuruh melakukan (doenpleger) ahli hukum merujuk kepada keterangan yang ada didalam Memorie van Toelichting (MvT), yang menyatakan bahwa:

Pelaku buka saja ia yang melakukan tindak pidana, melainkan juga ia yang melakukannya tidak in persona tetapi melalui orang yang seolah sekedar alat

108


(13)

69

bagi kehendaknya, yakni bila orang tersebut [karena ketidaktahuan yang ada pada dirinya, kekhilafan atau kesesatan yang sengaja ditimbulkan baginya, atau sebab (ancaman) kekerasan yang menghalangi kehendak bebasnya], ternyata bertindak tanpa kesengajaan, kesalahan (dalam arti kelalaian atau keteledoran) atau tanpa dimintai pertanggungjawaban.‖109

Yang dimaksud sebagai orang yang menyuruh melakukan adalah orang yang menyuruh si pelaku melakukan tindak pidana.si pelaku seolah-olah menjadi alat belaka yang dikendalikan oleh si penyuruh.110 Orang yang menyuruh disebut sebagai manus domina, sedangkan orrang yang disuruh disebut sebagai manus

ministra yang oleh Prof. Satochid Kartanegara disebut onmiddelijk dader.

Terdapat tiga konsekuensi logis terhadap tindak pidana yang dilakukan dengan cara memperalat orang lain, yakni:111

a. Terwujudnya tindak pidana bukan disebabkan langsung oleh pemuat penyuruh, tetapi oleh perbuatan orang lain (manus ministra);

b. Orang lain tersebut tidak bertanggungjawab atas perbuatannya yang pada perbuatannya melahirkan tindak pidana;

c. Manus ministra ini tidak boleh dijatuhi pidana, yang dipidana adalah

perbuatan penyuruh.

Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 137K/Kr/1956 tanggal 1 Desember 2012 menyatakan bahwa seseorang yang disuruh tidak dapat

109 Mohammad Ekaputra dan Abul Khair, Op.Cit., Hal. 47 110 Soeparman, Op.Cit., Hal. 68

111

Adam Chazawi, Op.Cit, Hal. 17


(14)

dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya, dan oleh karena itu tidak dapat dihukum.112

3. Orang yang turut serta melakukan (mede pleger/mede dader)

Dalam Kamus Bahasa Belanda-Indonesia, Indonesia-Belanda, kata mede identik dengan ook yang dalam bahasa Indonsia artinya‖juga‖. Jadi, mede dader

berarti ―dader juga‖. Dalam pengertian umum, turut melakukan tindak pidana

berarti merupakan tindakan orang yang benar-benar ikut dalam suatu tindak pidana. KUHP tidak menjelaskan maksud dari turut melakukan ini. Prof Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia mengatakan bahwa untuk mementukan seseorang turut melakukan tindak pidana adalah dengan melihat wujud kesengajaan si pelaku, atau kepentingan/tujuan si pelaku.113

Antara ―turut melakukan‖ dengan kata ―bersama-sama‖ pada hakikanya tidak ada perbedaan. Namun pada umumnya, dalam pengertian sehari-hari

cenderung digunakan istilah ―bersama-sama‖. Prof.Satochid Kartanegara

berpendapat bahwa untuk adana mededader harus dipenuhi 2 syarat, yakni:114

a. Harus ada kerja sama secara fisik; b. Harus ada kesadaran kerja sama.

112

Leden Marpaung, Op.Cit, Hal. 79

113 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco, Bandung,

1986, Hal. 108-112

114


(15)

71

Menurut Loebby Loqman terdapat dua syarat agar dapat dikatakan telah terjadi suatu medeplegen yaitu :115

a. Harus ada kesadaran kerjasama dari setiap peserta. Artinya mereka sadar bahwa meraka bersama-sama akan melakukan tindak pidana. dalam membentuk kesadaran kerjasama itu tidak harus jauh sebelum dilakukannya tindak pidana, jadi tidak perlu ada sebelumnya suatu perundingan untuk merencanakan suatu tindak pidana. kesadaran kerja sama diantara para peserta dapat terjadi pada saat terjadinya peristiwa. b. Kerjasama dalam melakukan tindak pidana harus secara fisik. Artinya

bahwa semua peserta dalam ikut serta harus bersama-sama secara fisik melakukan tindak pidana itu, namun tidak perlu semua peserta memenuhi secara persis seperti apa yang termuat sebagai unsur tindak pidana

Selanjutnya Prof. Satochid Kartanegara juga mengutarakan:116

Mengenai syarat kesadaran kerja sama itu dapat diterangkan bahwa kesadaran itu perlu timbul sebagai akibat permufakatan yang diadakan oleh para peserta. Akan tetapi, sudah cukup dan dapat terdapat kesadaran kerja sama apabila para peserta pada saat mereka melakukan kejahatan itu sadar bahwa mereka bekerja sama.

P.A.F Lamintang memberikan penjelasan perbedaan antara ikut serta (medeplegen) dengan membantu melakukan (medeplichtige) bahwa medeplegen

115 Mohammad Ekaputra dan Abul Khair, Op.Cit, Hal. 55 116

Satochid Kartanegara, Op.Cit.,


(16)

secara langsung telah ikut mengambil bagian di dalam pelaksanaan suatu tindak pidana yang telah diancam dengan suatu hukuman oleh undang-undang, atau telah secara langsung turut melakukan suatu perbuatan atau turut melakukan perbuatan-perbuatan untuk menyelesaikan tindak pidana yang bersangkutan, sedangkan

medeplichtige hanyalah memberikan bantuan untuk melakukan perbuatan.117

Berikut ini adalah beberapa Yurisprudensi untuk memahami mededader, antara lain:

a. Hoge Raad tanggal 9 Juni 1925, N.J. 1925 No. W.11435, berpendapat

antara lain:

Untuk adanya suatu medeplegen, disyaratkan bahwa setiap pelaku itu mempunyai maksud yang diperlukan serta pengetahuan yang diisyaratkan. Untuk dapat menyatakan bersalah turut melakukan itu, haruslah diselidiki dan dibuktikan bahwa pengetahuan dan maksud tersebut memang terdapat pada tiap peserta.”118

b. Hoge Raad tanggal 29 Oktober 1934, N.J. 1934 No. W.12851,

berpendapat antara lain:

“Apabila kedua peserta itu secara langsung telah bekerja sama untuk melaksanakan rencana mereka dan kerja sama itu sedemikian lengkap dan sempurnanya sehingga tidak penting siapa diantara mereka yang kemudian telah menyelesaikan kejahatan mereka.”119

117 P.A.F Lamintang, Op.Cit., Hal. 626 118 Leden Marpaung, Op.Cit., Hal. 82 119


(17)

73

c. Hoge Raad tanggal 24 Juni 1935, N.J. 1935 No.12873, berpendapat

antara lain:

“Didalam tindak pidana yang telah dilakukan oleh beberapa orang pelaku, masing-masing bertanggungjawab atas perbuatan yang telah dilakukan oleh kawan pesertanya.”120

d. Mahkamah Agung RI berdasarkan Putusan tanggal 26 Juni 1971 No. 15K/Kr/1970 berpendapat antara lain:

“Perbuatan beberapa terdakwa mengancam dengan pistol tidak memenuhi semua unsur Pasal 339 KUHP. Terdakwa-I lah yang memukul korban dengan sepotong besi yang mengakibatkan meninggalnya si korban. Oleh karena itu, untuk terdakwa ke-II, kualifikasi yang tepat adalah turut melakukan tindak pidana (medeplegen), sedangkan pembuat riilnya adalah terdakwa I.”121

4. Orang yang sengaja membujuk melakukan (uitlokker)

KUHP menetapkan orang yang sengaja membujuk melakukan tindak pidana (uitlokker) dalam Pasal 55 ayat 1 sub 2122 yaitu orang yang dengan pemberian upah, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau martabat, memakai paksaan, ancaman atau tipu, karena memberi kesempatan, iktiar atau keterangan, dengan sengaja menghasut supaya orang melakukan tindak pidana. Sebagian

120 Ibid. 121

Ibid., Hal. 83

122

Pasal 55 KUHP ayat 1 sub 2 berbunyi: Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.


(18)

pakar berpendapat bahwa uitlokking termasuk kedalam deelneming yang berdiri sendiri.

G. A. Van Hamel menyatakan bahwa uitloken merupakan kesengajaan menggerakkan orang lain yang dapat dipertanggungjwabkan pada dirinya sendiri untuk melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan cara-cara yang telah ditentukan oleh undang-undang, karena telah tergerak, orang tersebut kemudian telah dengan sengaja melakukan tindak pidana yang bersangkutan.123

Menurut Loebby Loqman, syarat penyertaan dalam bentuk menggerakkan ini adalah :124

a. Ada orang yang berkehendak melakukan suatu tindak pidana; b. Orang tersebut tidak melakukannya sendiri;

c. Dengan suatu daya upaya yang telah ditentukan secara limitatif dalam undang-undang;

d. Menggerakkan orang lain untuk melaksanakan tindak pidana yang dikehendaki;

e. Orang yang digerakkan dalam melakukan tindak pidana adalah orang yang dapat dipertanggungjawabkan.

Menurut doktrin, orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana disebut actor intelectualis atau intelectueeel dadaer atau

provocateur atau uilokker.125

123 P.A.F Lamintang, Op.Cit., Hal. 634 124


(19)

75

Pada kenyataannya, terdapat persamaan dan perbedaan pada orang yang membujuk melakukan (uitlokker) dengan orang yang menyuruh melakukan (doenpleger). Dimana persamaannya adalah keduanya sama-sama menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana. Sedangkan, perbedaan mencolok antara keduanya adalah:126

a. Dalam segi pertanggungjawaban, pelaku pada menyuruh melakukan (doenplegen) tidak dapat dimintai pertanggngjawaban atas perbuatannya, sedangkan pada membujuk melakukan (uitlokking) pelakunya dapat dimintai pertanggungjawaban;

b. Dalam segi cara-cara menggerakkan orang lain, mengenai membujuk melakukan (uitlokking) ditentukan didalam Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP, sedangkan pada menyuruh melakukan (doenplegen) tidak ditentukan.

Setelah menganalisis ketentuan Pasal 55 ayat (1) ke-2, dapat diketahui unsur-unsur dari membujuk melakukan (uitlokking) adalah:127

a. Kesengajaan si pembujuk ditujukan pada dilakukannya delik tertentu oleh orang yang dibujuk;

Kesengajaan si pembujuk sama dengan kesengajaan si pelaku atau orang yang dibujuk, yakni melakukan delik tertentu. Dalam hal adanya

125 Leden Marpaung, Op.Cit., Hal. 85 126 Ibid.

127

Ibid., Hal. 86


(20)

kekeliruan (error), si pembujuk tidak dapat diminta pertanggungjawabannya.128

b. Membujuk orang itu dilakukan dengan cara-cara yang ditentukan dalam Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP;

Cara yang dimaksud adalah sebagai berikut:129

a. Pemberian

Bentuk pemberian tersebut berupa uang, benda atau hak atas barang tertentu.

b. Perjanjian

Perjanjian merupakan hal yang lebih luas daripada pemberian, karena selain dapat menjanjikan uang, benda atau hak atas suatu barang tertentu, bisa juga berupa pangkat, kedudukan bahkan berbagai hubungan

c. Salah memakai kekuasaan (misbruik van gezag)

Kekuasaan yang dimaksud disini adalah kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang terhadap orang lain yang dapat berupa kekuasaan dalam lingkungan jabatan atau juga dapat berupa kekuasaan orang tua terhadap anak.

d. Menyalahgunakan jabatan atau martabat

P.A.F Lamintang menerjemahkan misbruik van gezag dengan

―menyalahgunakan keterpandangan‖, sedangkan E.Utrecht

128 Ibid., Hal. 85 129


(21)

77

menerjemahkannya sebagai ―salah memakai pengaruh‖. Hal ini

merupakan kekhususan didalam masyarakat Indonesia, yaitu masih ditemuinya feodalisme dan berbagai aliran religius yang memandang tinggi kepada orang-orang yang mempunyai kedudukan, misalnya raja atau keturunan bangsawan, kasta tertinggi, pemimpin atau pengurus agama, kepala desa, camat, dan lain-lain.

e. Kekerasan

Kekerasan yang dimaksud disini adalah kekuasaan fisik yang lunak, yakni kekerasan yang sifatnya sedemikian rupa sehingga tidak termasuk kekerasan yang dapat dielakkan, karena jika demikian si pelaku menjadi overmacht dan karenanya bukan uitlokking yang terjadi, melainkan doenplegen.

f. Ancaman

Ancaman ini termasuk kekerasan, tetapi juga bersifat psikis, yang dalam hal ini uitlokking juga merupakan hal yang dapat dielakkan sehingga tidak termasuk overmacht .

g. Tipu (misleiding)

Menurut E.Utrecht, tipu daya terjadi apabila si pembujuk menimbulkan kecenderungan pada seseorang (yang dibujuk) untuk berbuat pelanggaran, disebabkan keterangan palsu (yang memberi gambaran salah tentang suatu keadaan) yang oleh si pembujuk disampaikan kepada orang itu. Andaikata keterangan palsu tersebut


(22)

tidak disampaikan kepada yang dibujuk, maka yang dibujuk tidak akan berbuat melanggar itu.

Keterangan palsu itu menimbulkan pada yang dibujuk rasa iri hati, rasa takut, rasa benci, dan rasa balas dendam yang semuanya akan terjelma dalam satu perbuatan melanggar.130

h. Memberikan kesempatan, iktiar, atau keterangan

Kesempatan, misalnya seseorang pembantu tidak mengunci salah satu jendela, agar orang lain dapat masuk kerumah; ikhtiar yaitu sarana, misalnya meminjamkan sepucuk senjata; keterangan, misalnya memberitahu bahwa nanti malam majikannya tidak berada di rumah. i. Orang yang dibujuk itu sungguh-sungguh telah terbujuk untuk

melakukan delik tertentu

Hal ini merumuskan hubungan kausal antara: a. Si pembujuk;

b. Orang yang dibujuk; c. Delik yang dilakukan.

Sasaran atau objeknya adalah delik yang dilakukan. Pembujukan dimaksud untuk dapat merealisasikan delik.

d. Orang yang dibujuk benar-benar telah melakukan delik, setidak-tidaknya melakukan percobaan

Orang yang dibujuk tersebut memenuhi beberapa persyaratan sebagai pelaku (dadaer/doer). Dengan demikian, terhadap percobaan (poging),

130


(23)

79

orang yang dibujuk juga tidak dikecualikan. Hal inin sesuai dengan pendapat Hoge Raad yang tercantum pada arrest tanggal 2 Januari 1933, N. J. 1933, No.12582 yang berbunyi:

Suatu uilokking itu juga dapat dihukum walaupun perbuatan pelaku materiilnya itu hanya menghasilkan suatu percobaan yang dapat dihukum.”

B.2 Pelaku Tindak Pidana Perpajakan

Simon Nahak berpendapat terdapat beberapa unsur pelaku tindak pidana perpajakan, yakni:131

1. Barang siapa, (pribadi/Badan Hukum), fiskus, pihak ketiga dan setiap orang yang menghalangi proses penyidikan Tindak Pidana Perpajakan yang secara nyata melawan hukum.

2. Karena kealpaan atau kesengajaan.

3. Melakukan perbuatan yang melanggar kewajiban Perpajakan. 4. Perbuatan yang menimbulkan kerugian Negara.

5. Diancam dengan pidana.

Berdasarkan unsur pelaku Tindak Pidana di bidang Perpajakan tersebut, maka pelaku Tindak Pidana di bidang Perpajakan adalah:

1. Wajib Pajak

131

Simon Nahak, Op.Cit, Hal. 48


(24)

Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.132 Berdasarkan pengertian tersebut, Wajib pajak terdiri dari 2 jenis, yakni Wajib Pajak Perorangan dan Wajib Pajak Badan.

Wajib Pajak Peorangan adalah setiap orang pribadi yang memiliki penghasilan diatas pendapatan tidak kena pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku133. Wajib Pajak Peorangan ini terbagi lagi kedalam 3 jenis, yakni:

a. Wajib Pajak Orang yang mempunyai Penghasilan dari Usaha;

b. Wajib Pajak Orang yang mempunyai Penghasilan dari pekerjaan bebas;

c. Wajib Pajak Orang yang mempunyai Penghasilan dari pekerjaan.

Didalam Pasal 1 angka 2 UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Badan merupakan salah satu dari Wajib Pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseoran

132 Pasal 1 angka 2 UU Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan.

133


(25)

81

komanditer, perseoran lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan badan usaha tetap.134

2. Fiskus (Petugas/Pegawai/Pejabat Pajak)

Fiskus adalah seluruh aparatur pajak yang bertindak sebagai wakil negara didalam melaksanakan perpajakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Pegawai Pajak adalah setiap orang yang dalam kedudukannya sebagai pegawai negeri sipil yang dipekerjakan pada Kantor Direktorat Jenderal Pajak dalam lingkungan Kementerian Keuangan135.

Pejabat Pajak adalah petugas Pajak atau mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan. Pihak-pihak yang termaksud kedalam Pejabat Pajak adalah:

a. Direktur Jenderal Pajak;

b. Direkrut Jenderal Bea dan Cukai; c. Gubernur;

d. Bupati/Walikota;

134

Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

135

http://egistiansilvan.blogspot.co.id/2014/04/resume-buku-kejahatan-di-bidang.html, diakses tanggal 28 Maret 2016


(26)

e. Pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan, seperti Kepala Kantor Pelayanan Pajak atau Kepala Dinas Pendapatan Daerah serta tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak atau Kepala Daerah136

3. Pihak ketiga

Yang dimaksud dengan pihak ketiga yaitu pihak lain yang mempunyai hubungan dengan tindakan, pekerjaan, kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan seperti bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, konsultan keuangan, pelanggan pemasok.137 Pihak ketiga ini bukan merupakan satu kesatuan yang menyatu dengan Wajib Pajak, Pejabat Pajak, Petugas Pajak atau Pegawai Pajak, melainkan berada pada kedudukan yang terpisah.

136Ibid.

137 Penjelasan Pasal 60 huruf e Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74


(27)

83 BAB IV

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PERPAJAKAN

(Studi Putusan Nomor 1863/Pid.B/2015/PN.Sby)

A. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Positif di Indonesia

Pertanggungjawaban didalam hukum pidana berkaitan dengan apakah dalam perbuatannya, pelaku mempunyai kesalahan atau tidak. Sebab,

pertanggungjawaban didalam hukum pidana menganut asas ―tiada pidana jika

tidak ada kesalahan (Geen straf zonder schuld; Actus non facit reum nisi mens sist

rea). Asas ini tidak tersebut didalam hukum tertulis, tapi dalam hukum yang tidak

tertulis yang juga di Indonesia berlaku138.

Moeljatno berpendapat bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) jika orang tersebut tidak melakukan perbuatan pidana. Tetapi meskipun melakukan perbuatan pidana, tidak selalu orang tersebut dapat dipidana.139

Adapun yang menjadi unsur pertanggungjawaban pidana adalah:140 a. Kemampuan bertanggungjawab;

KUHP diseluruh dunia pada umumnya tidak mengatur tentang kemampuan bertanggungjawab. Justru yang diatur adalah kebalikannya, yaitu ketidakmampuan bertanggungjawab, seperti isi Pasal 44 KUHP Indonesia, yang masih memakai rumusan Pasal 37 Lid 1 Wetboek van Straftrecht (W.v.S) Nederland tahun 1886, yang kemudian diterjemahkan secara harafiah oleh Zainal Abidin Farid, yaitu:

138

Moeljatno, Op.Cit.,Hal.153

139

Ibid., Hal. 167 140

Zainal Abidin Farid, Op.Cit., Hal. 222


(28)

Tidak dapat dipidana ialah barang siapa yang mewujudkan sesuatu peristiwa, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kekurangsempurnaan atau gangguan sakit kemampuan akalnya”.141

Terjemahan tersebut terlihat janggal, oleh karena itu akan lebih baik apabila diartikan sebagai:

Tidak boleh dipidana ialah barang siapa yang mewujudkan suatu delik, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya disebabkan oleh kekurangsempurnaan pertumbuhan akalnya atau sakit gangguan akal”.142

Pendapat tersebut menjelaskan bahwa setiap orang yang menderita gangguan akal atau dalam rumusan Pasal 44 KUHP Indonesia143 memiliki ketidaksempurnaan jiwa/gangguan jiwa/ kemampuan jiwa tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, sehingga dapat dikenai pertanggungjawaban secara pidana hanya manusia normal saja, yang terbukti bersalah karena dengan sengaja melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum.144

Patut diingat, bahwa Pasal 44 KUHP tersebut sebenarnya hanya mengatur mengenai ketidakmampuan bertanggungjawab karena jiwa yang cacat dalam

141

Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, Hal. 260

142

Simon Nahak, Op.Cit., Hal. 76

143

Pasal 44 KUHP:

(1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana

(2) Jika karena perbuatannya itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggun karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan kepada orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama 1 (satu ) tahun sebagai waktu percobaan

(3) Ketentuan ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.

144 Ibid.


(29)

85

tubuhnya atau terganggu karena penyakit. Dengan demikian, apabila ketidakmampuan bertanggungjawab pelaku disebabkan karena jiwa (usia) yang masih sangat muda, Pasal 44 KUHP tidak dapat menjadi dasar untuk menjadi dasar untuk menghapus pidana, karena dipakai dasar yang tidak tertulis, yaitu asas tidak dipidana tanpa ada kesalahan.145

Apabila hakim akan menerapkan pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus diperhatikan apa telah memenuhi dua syarat berikut, yakni146:

a. Syarat Psychiatris, yaitu adanya kekurangsempurnaan akal pada Terdakwa, yaitu keadaan gila (idiot), yang mungkin sejak kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa;

b. Syarat Psychologist ialah gangguan jiwa pada waktu si pelaku melakukan perbuatan pidana. Oleh sebab itu, suatu gangguan jiwa yang timbul sesudah peristiwa tersebut, dengan sendirinya, tidak dapat menjadi sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukumannya.

Menurut Memorie van Toeclichtung (MvT), seseorang tidak dapat dipertanggungjawabakan perbuatannya karena:147

a. Karena ia tidak menginsyafi akan perbuatan yang dilakukan; b. Karena ia tidak bebas menentukan perbuatannya.

Moeljatno berpendapat bahwa didalam kemampuan bertanggungjawab harus ada:148

145

A.Fuad Usfa dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, UMM Press, Malang, 2004, Hal.77

146

Simon Nahak, Op.Cit., Hal. 96

147

C.S.T. Kansil, Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, Hal. 131

148

Moeljatno, Op.Cit., Hal.178


(30)

a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan hukum;

Ini merupakan faktor akal (intelectual factor) yaitu, faktor yang dapat memperbeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak.

b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.

Ini merupakan faktor perasaan atau kehendak (volitional factor), yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak.

J.E Jonkers dalam Adam Chazawi menyebutkan terdapat 3 syarat mengenai pertanggungjawaban pidana, yaitu149:

a. kemungkinan untuk menentukan kehendaknya terhadap suatu perbuatan; b. mengetahui maksud yang sesungguhnya daripada perbuatan itu;

c. keinsyafan, bahwa hal itu dilarang dalam masyarakat.

Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur (elemen) kesalahan, karenanya mestinya untuk membuktikan adanya kesalahan, unsur tadi harus dibuktikan pula. Pada umumnya, terhadap orang-orang yang normal batinnya dan mampu bertanggungjawab unsur kemampuan bertanggungjawab dianggap selalu ada, kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin tidak normal.150

b. Kesalahan pembuat, baik kesengajaan dan kelalaian

149

Adami Chazawi, Op.Cit., Hal. 144

150


(31)

87

Istilah kesalahan berasal dari kata ―schuld‖ sampai saat sekarang belum

resmi diakui sebagai istilah ilmiah yang mempunyai pengertian pasti, namun sudah sering dipergunakan didalam penulisan-penulisan.

Pompe dalam Bambang Poernomo berpendapat, bahwa pengertian kesalahan mempunyai tanda sebagai hal yang tercela (verwijtbaarheid) yang pada hakikatnya tidak mencegah (vermijdbaarheid) kelakuan yang bersifat melawan hukum (der wederrechtlijke gedraging). Kemudia dijelaskan pula tentang hakikat tidak menceggah kelakuan yang bersifat melawan hukum (vermijdbaarheid der

wederrechtlijke gedraging) didalam perumusan hukum positif151

Menurut doktrin, kesalahan (schuld) terdiri atas : 1. Kesengajaan (dolus)

Pengertian mengenai kesengajaan tidak terdapat didalam KUHP. Menurut

Crimineel Wetboek Nederland tahun 1809, kesengajaan adalah kemauan untuk

melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang.152

Didalam Memorie van Toelichting (MvT), dimuat antara lain bahwa kesengahaan itu adalah dengan sadar berkehendak untuk melakukan suatu kejahatan tertentu (de bewuste richting van den wil op een bepaald misdriff).153 Prof Satochid Kartanegara berkenaan dengan Memories van Toelichting tersebut mengutarakan bahwa yang dimaksud dengan opzet willens en weten (dikehendaki dan diketahui) adalah:

151

Bambang Poernomo, Op.Cit., Hal. 136

152

Leden Marpaung, Op.Cit., Hal. 13

153

Ibid., Hal. 13


(32)

Seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus mengkehendaki (willen) perbuatan itu serta harus menginsafi atau mengerti (weten) akan akibat dari perbuatan itu”154

Didalam Hukum Pidana, dikenal 2 teori mengenai pengertian kesengajaan, yakni155:

1) Teori Kehendak (Wilstheorie)

Teori kehendak dikemukakan oleh von Hipple dalam bukunya Die

Grenze Vorsatz und Fahrassigkeit terbitan tahu 1903. Menurt von

Hipple, kesengajaan adalah kehendak membuat suatu tindakan dan kehendak menimbulkan suatu akibat dari tindakan tersebut. Akibat dikehendaki apabila akibat itu yang menjadi maksud dari tindakan tersebut.

2) Teori Membayangkan

Teori ini dikemukakan Frank dalam bukunya Festschrift Gieszen tahun 1907. Teori ini mengemukakan bahwa manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat; manusia hanya dapat mengingini, mengharapkan atau membayangkan (voorstelen) kemungkinan adanya

suatu akibat. Adalah ―sengaja‖ apabila suatu akibat yang ditimbulkan

dari suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud dari tindakan tersebut. Oleh karena itu, tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah dibuatnya.

154

Satochid Kartanegara, Op.Cit., Hal.291

155


(33)

89

Jika kemudian diperbandingkan, maka antara Teori Kehendak (wilstheorie) dan Teori Membayangkan (voorstellingstheorie) pada hakikatnya tidak berbeda. Perbedaannya adalah pokok pangkal yang berlainan dan cara menguraikan atau merumuskannya yang tidak sama. Namun dalam pendapatnya, Pompe menjelaskan bahwa perbedaan antara Teori Kehendak (wilstheorie) dengan Teori Membayangkan (voorstellingstheorie) tidak terletak pada kesengajaan untuk melakukan perbuatan positif atau negatif, tetapi hanya terletak dalam kesengajaan terhadap unsur-unsur lain delik itu, sepanjang mengenai hal-hal yang diliputi oleh kesengajaan itu, yaitu akibat dan keadaan yang menyertai perbuatan itu.156 Moeljanto dalam Zainal Abidin Farid mengungkapkan bahwa rumus Frank adalah:

Adalah sengaja apabila suatu akibat (yang ditmbulkan karena suatu tindakan) dibayangkan sebagai maksud (tindakan itu) dan oleh sebab itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah dibuat tersebut.”157

Teori Membayangkan Frank paling banyak dianut oleh para sarjana hukum, karena dalam kehendak dengan sendirinya diliputi juga pengetahuan, sebab untuk mengkehendaki sesuatu, oleh lebih dahulu harus mempunyai pengetahuan tentang sesuatu.

Didalam hukum pidana itu sendiri, pada umumnya terdapat tiga bentuk dari kesengajaan (opzet), yaitu:

156

Zainal Abidin Farid, Op.Cit., Hal. 284

157 Ibid


(34)

1) Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk)

Vos didalam Zainal Abidin Farid memberikan defenisi bahwa sengaja sebagai maksud terjadi jikalau pembuat delik mengkehendaki akibat perbuatannya, dengan kata lain andaikata pembuat sebelumnya sudah mengetahui bahwa akibat dari perbuatannya tidak akan terjadi, maka sudah tentu ia tidak melakukan perbuatannya.158 Selanjutnya Jonkers menyatakan sengaja dengan maksud merupakan bentuk kesengajaan paling sederhana serta maksud dan motif (alasan) tidak boleh dikacaukan.

Leden Marpaung berpendapat bahwa perlu dibedakan antara ―maksud‖

(oogmerk) dengan ―motif‖. Dalam kehidupan sehari-hari, motif diidentikkan dengan tujuan. Padahal, maksud adalah kehendak dari pelaku untuk melakukan perbuatan atau mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman pidana.159

Hoge Raad memiliki beberapa putusan yang berkaitan dengan

kesengajaan sebagai maksud, yakni:

a. Hoge Raad tanggal 14-10-1940, N.J. 1941, No. 87 m.o.W.P

Seseorang bernama L.K melaporkan diri kepada penjara ‗s -Gravenhage untuk menjalankan pidana, yang sebenarnya dijatuhkan kepada orang lain yang bernama A.W.

Menurut Mahkamah ‗s-Gravenhage, dengan melakukan hal tersebut L.K telah menipu pegawai penjara, ia dapat dan

158

Ibid., Hal. 287 159


(35)

91

seharusnya mengerti bahwa dengan menyamar sebagai tawanan, ia menikmati makanan yang bukan menjadi haknya sebagai seorang yang tidak ditawan.

Selanjutnya, putusan ini dikenal sebagai Arrest makanan penjara (gevangenisvoedsel)

b. Hoge Raad tanggal 29-4-1935, N.J. 1936, No.50 m.o.W.P

Seorang kepala sekolah menawarkan kepada pengurus sekolah untuk mengusahakan mendapat subsidid dari kementerian pengajaran; kepada pengurus itu dikatakannya bahwa ia memerlukan sedikit uang untuk membujuk pejabat bersangkutan; pengurus sekolah memberikan f50 guna keperluan itu. Namun oleh kepala sekolah, uang itu dimasukkan kedalam kasnya sendiri. Ketika dituntut karena melakukan penipuan, dalam pembelaanya kepala sekolah mengemukakan bahwa ia mempunyai hak atas uang tersebut. Ia tidak mempunyai tujuan untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum. Pembelaannya tersebut ditolak oleh Mahkamah Amsterdam. Hoge Raad menolaknya dengan pertimbangan bahwa uang yang diserahkan untuk keperluan tertentu tidak boleh digunakan untuk kepentingan sendiri. Selanjutnya, putusan ini dikenal sebagai Arrest Kepala Sekolah.

2) Kesengajaan dengan Keinsafan Pasti (Opzet als zekerheidsbewuszijin)


(36)

Kesengajaan dengan Keinsafan Pasti (Opzet Opzet als zekerheidsbewuszijin) yaitu sengaja sadar atau insaf akan keharusan

atau sadar akan kepastian, yang oleh Utrecht diuraikan dan diterjemahkan sebagaii sengajaka dilakukan dengan keinsafan bahwa, agar tujuan dapat tercapai, sebelumnya harus dilakukan suatu perbuatan lain yang berupa pelanggaran pula.160

Leden Marpaung berpendapat, bahwa dalam Kesengajaan dengan Keinsafan Pasti (Opzet Opzet als zekerheidsbewuszijin) pelaku (doer or

dader) mengetahui pasti atau yakin benar bahwa selain akibat dimaksud,

akan terjadi suatu perbuatan lain. Si pelaku menyadarai bahwa dengan melakukan perbuatan tersebut, pasti akan timbul akibat lain.

3) Kesengajaan dengan Keinsafan kemungkinan (dolus eventualis)

Disebut juga sebagai kesengajaan dengan kesadaran kemungkinan, bahwa seseorang melakukan perbuatan dengan tujuan untuk menimbulkan suatu akibat tertentu. Akan tetapi, pelaku menyadari bahwa mungkin akan ada timbul akibat lain yang juga dilanggar dan diancam oleh undang-undang. Menurut Bemmelen dalan Zainal Abidin Farid, dolus eventualis adalah kesengajaan bersyarat yang bertolak dari kemungkinan. Artinya tidak pernah lebih banyak dikehendaki dan diketahui daripada kemungkinan itu. Seseoang yang menghendaki kemungkinan matinya orang lain, tidak dapat dikatakan bahwa ia mengkehendaki supaya orang tersebut mati. Tetapi jika seseorang

160


(37)

93

melakukan suatu perbuatannya dengan kesadaran bahwa perbuatannya akan dapat mengakibatkan matinya orang lain, hal itu menunjukkan bahwa ia memang mengkehendaki kematian orang tersebut.161

P.A.F. Lamintang juga menjelaskan dolus eventualis adalah pelaku yang bersangkutan pada waktu ia melakukan perbuatan yang menimbulkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang telah menyadari kemungkinan akan timbulnya suatu akibat lain dari akibay yang memang ia kehendaki. Jadi jika kemungkinan yang ia sadari itu kemudian menjadi kenyataan, terhadap kenyataan tersebut ia dikatakan ia mempunyai kesengajaan.162

2. Kelalaian atau kealpaan (Culpa)

Di dalam undang-undang tidak ditentukan apa arti dari kealpaan. Dari ilmu pengetahuan hukum pidana, diketahui bahwa inti, sifat-sifat atau ciri-ciri dari kealpaan ini adalah :

1) Sengaja melakukan suatu tindakan yang ternyata salah, karena menggunakan ingatan/otaknya secara salah, seharusnya ia menggunakan ingatannya (sebaik-baiknya), tetapi ia tidak gunakan. Dengan perkataan lain ia telah melakukan suatu tindakan (aktif atau pasif) dengan kurang kewaspadaan yang diperlukan.

2) Pelaku dapat memperkirakan akibat yang akan terjadi, tetapi merasa dapat mencegahnya. Sekiranya akibat itu pasti akan terjadi,

161

Leden Marpaung, Op.Cit.., Hal. 18

162

P.A.F. Lamintang, Op.Cit., Hal. 301


(38)

dia lebih suka untuk tidak melakukan tindakan yang akan menimbulkan akibat itu. Tetapi tindakan itu tidak diurungkan, atas tindakan mana ia kemudian dicela karena bersifat melawan hukum.

Prof. Mr. D. Simons menerangkan kealpaan sebagai berikut:

“Umumnya kealpaan itu terdiri atas dua bagian, yaitu tidak berhati-hati melakukan suatu perbuatan, disamping dapat menduga akibat perbuatan itu. Namun, meskipun suatu perbuatan dilakukan dengan hati-hati, masih mungkin juga terjadi kealpaan jika yang berbuat itu telah mengetahui bahwa perbuatan itu mungkin akan timbul suatu akibat yang dilarang undang-undang.

Kealpaan terdapat apabila seseorang tetap melakukan perbuatan itu meskipun ia telah mengetahui atau menduga akibatnya. Dapat diduganya akibat itu lebih dulu oleh si pelaku adalah suatu syarat mutlak. Suatu akibat yang tidak dapat diduga lebih dahulu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebagai kealpaan.

Tentu dalam hal mempertimbangkan ada atau tidaknya dapat diduga lebih dahulu, harus diperhatikan pribadi si pelaku. Kealpaan tentang keadaan-keadaan yang menjadikan perbuatan itu suatu perbuata yang dapat diancam dengan hukuman, terdapat kalau si pelaku dapat mengetahui bahwa keadaan-keadaan itu tidak ada.”163

Dalam bukunya, A. Fuad Usfa dan Tongat berpendapat bahwa kelalaian atau kesengajaan harus memenuhi 2 syarat, yaitu:164

1) Tidak ada kehati-hatian atau ketelitian yang diperlukan.

Kemudian akan ditemukan permasalahan kapan seseorang dapat dikatakan telah berbuat dengan tidak hati-hati? Maka untuk menentukan hal tersebut terdapat 2 hal yang dapat menjadi patokan, yaitu:

 Untuk menentukan apakah seseorang telah berbuat hati-hati atau tidak, harus dilihat apakah tiap orang yang segolongan dengan

163

Leden Marpaung, Op.Cit., Hal. 25

164


(39)

95

pelaku dalam hal yang sama akan berbuat lain? Kemudian apabila setiap orang yang segolongan dengan pelaku akan berbuat lain, maka pelaku dapat dikatakan telah berbuat lalai/alpa. Disebut juga kelalaian berat/menonjol (culpa lata)

 Atau dapat dipakai ukuran lain, yaitu dengan diambil orang yang terpandai dalam golongan si pelaku. Disebut juga kelalaian ringan (culpa uvis).

2) Akibat yang dapat diduga sebelumnya, atau keadaan atau akibat yang dapat diduga sebelumnya, yang membuat perbuatan itu menjadi perbuatan yang dapat dihukum.

Secara umum, kealpaan atau kesengajaan (culpa) dibedakan atas:

1) Kealpaan dengan kesadaran (bewuste schuld)

Dalam hal ini, si pelaku telah membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat, walaupun ia berusaha untuk mencegah, namun akibat dari perbuatan tersebut tetap timbul.

2) Kealpaan tanpa kesadaran (onbewuste schuld)

Dalam hal ini, si pelaku tidak membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibay yang dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang, sedangkan ia seharusnya memperhitungkan akan timbulnya suatu akibat.

c. Tidak ada alasan pemaaf dan alasan pembenar

c.1 Tidak ada Alasan Pemaaf


(40)

Alasan pemaaf merupakan alasan yang menghapuskan kesalahan pelakunya, yaitu tak mampu bertanggungjawab (Pasal 44 KUHP), pembelaan terpaksa yang melampaui batas (Pasal 49 ayat (2) KUHP), dan dengan itikad baik melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah (Pasal 51 ayat (2) KUHP).

a. Tidak mampu bertanggungjawab Pasal 44 KUHP berbunyi :

(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacatdalam pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pembuatnya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau tertganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama 1 tahun sebagai waktu percobaan.

(3) Ketentuan dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri

Berdasarkan norma yang dirumuskan pada ayat (1) jelas ada 2 penyebab tidak dipidananya seseorang berhubungan dengan tidak mampunya bertanggungjawab si pembuat yang terbukti melakukan tindak pidana, yaitu:

1. Karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya; dan 2. Karena terganggu jieanya dari sebab pertumbuhannya.

Menurut Van Hattum, pertumbuhan yang tidak sempurna seperti yang dimaksud diatas haruslah diartikan sebagai suatu pertumbuhan yang tidak sempurna secara biologis dan bukan secara kemasyarakatan, misalnya apa yang

disebut dengan ―imbesilitas‖ ataupun yang juga sering disebut ―onnozelheid‖ atau

swakzinigheid” atau yang juga sering disebut dengan perkataan lemah pikiran, idiot, stomzinnigheid, achterlijkheid. Dengan demikian yang tidak termasuk kedalam pengertian pertumbuhan yang tidak sempurna itu ialah seperti


(41)

97

keterbelakangan atau pertumbuhan yang tidak sempurna karena kurangnya perhatian dari orang tua terhadap seorang anak atau kurangnya pendidikan yang telah diperoleh dari seseorang.165 Van Hattum juga berpendapat bahwa dapat pula dimaksudkan kedalam pengertian pertumbuhan yang tidak sempurna seperti dimaksud diatas, yakni pertumbuhan yang tidak sempurna dari orang-orang buta atau bisu-tuli sejak lahir.166

Kembali kepada syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal 44 tersebut, yang dimaksud dengan keadaan jiwa yang cacat karena pertumbuhannya ialah seseorang yang sudah dewasa tetapi perangainya seperti anak-anak. Keadaan

seperti ini disebut ―dungu‖, setengah matang atau idiootime, imbeciliteit, yang

diakibatkan oleh keterlambatan pertumbuhan jiwa seseorang. Keterlambatan yang mungkin karena jiwanya sangat tumpul, mungkin karena sejak lahirnya dungu atau tuli, sehingga sukar menerima untuk mengisi jiwanya. Kemudian yang dimaksukan dengan jiwa terganggu karena penyakit ialah yang semula jiwanya adalah sehat, tetapi kemudian dihinggapi oleh penyakit jiwa yang sering disebut

―gila‖ atau ―pathologische ziektetoestand‖.167

Seseorang yang diyakini dihinggapi oleh penyakit secara terus-menerus tetapi mungkin juga secara sementara (temporair) atau kumat-kumatan. Dalam hal ini gila kumat-kumatan yang termasuk cakupan pasal 44 adalah jika gilanya sedang kumat. Selain dariapada gila kumat-kumatan, dikenal pula adanya

165

P.A.F Lamintang, Op.Cit., Hal. 140.

166 Loc.cit. 167

E. Y Kanter dan S. R Sianturi, Op.Cit., Hal. 258.


(42)

―kegilaan‖ untuk sesuatu perbuatan yang juga dapat dimasukkan dalam pengertian

pasal 44 yang disebut sebagai:168

1. Kleptomani, yaitu kegilaan untuk mencuri sesuatu macam barang tertentu,

tanpa disadarinya, atau diluar kehendaknya. Misalnya kegilaan untuk mengambil korek api atau sendok, sedangkan lain-lain jenis barang tidak. 2. Pyromanie, yaitu kegilaan untuk melakukan pembakaran, tanpa alasan

sama sekali ataupun alasan yang tidak jelas, dan tentunya tanpa kehendak. 3. Nymphomanie, yaitu kegilaan pada seseroang laki-laki yang jika bertemu dengan seroang wanita, maka ia berbuat hal-hal yang tidak layak/senonoh.

Lebih lanjut ada juga suatu jenis kegilaan yang sering disebut sebagai

penyakit ―epilepsy‖ (penyakit ayan), yaitu suatu penyakit jiwa tertentu dimana

penderita tidak berdaya sama sekali jika ia sedan stuip (mulu berbusa dan menggelepar-gelepar). Lain daripada itu dikenal pula apa yang disebut dengan

insania moralis‖ yaitu kegilaan tetentu mengenai kesopanan atau kesusilaan.169 b. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas

Pasal 49 ayat (2) berbunyi:

Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang lasngsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu tidak dipidana

Apa yang dimaksud dengan melampaui batas adalah (1) melampaui apa yang perlu, dan (2) boleh dilakukan serangan telah tiada. Keistimewaan ini pada

168

Loc.cit. 169


(43)

99

merupakan pengecualian pembelaan darurat pada ayat pertama, yang terletak pada kegoncangan jiwa yang hebat (hevige gemoedsbeweging).170

Di dalam rumusan pasal 49 ayat (2) dapat disimpulkan penyebab kegoncangan jiwa yang hebat itu adalah adanya serangan atay ancaman serangan yang melawan hukum terhadap kepentingan hukumnya. Jadi disini ada hubungan kausal (causal verband) antara serangan dengan kegoncangan jiwa yang hebat. Serangan atau ancaman serangan yang bagaimana atau apa ukuran serangan atau ancaman serangan yang langsung dapat menjadi penyebab kegoncangan jiwa yang hebat itu? Mengenai hal ini tidaklah dapat ditentukan secara umum, melainkan berdasarkan kasus peristiwanya, apakah dari peristiwa konkrit itu menurut akal dan pengalaman orang pada umumnya dirasa dapat langsung menimbulkan kegoncangan jiwa hebat. Apabila menurut akal pikiran orang normal pada umumnyaserangan atau ancaman serangan itu dapat menimbulkan kegoncangan jiwa yang hebat, maka disitu terdapat kegocangan jiwa yang hebat.171

Sedangkan kapan pembelaan terpasa yang melampaui batas itu dapat dilakukan, sepanjang jiwa tersebut masih dalam kegonvangan yang hebat, walaupun serangan itu telah berakhir. Tetapi tidaklah dapat dilakukan apabila ancaman serangan itu belum ada sama sekali. Misalnya seseorang takut akan diserang, maka dia menyerang duluan. Hal ini ternyata dalam suatu pertimbangan

bahwa ―seseorang yang takut akan diserang ia belum diperkenankan untuk menyerang dahulu‖.172

c. Dengan itikad baik melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah

170

Adami Chazawi , Op.Cit., Hal. 52.

171

Ibid, Hal. 54. 172

Loc.cit.


(44)

Pasal 51 ayat (2) berbunyi :

Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali apabila yang menerima perintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya

Menurut Vos, mengenai ketentuan pasal 51 ayat (2) ini, perintah jabatan yang diberikan oleh yang tidak berwenang untuk lolos dari pemidanaan, haruslah memenuhi 2 syarat yaitu:173

1. Syarat subjektif : pembuat harus dengan itikad baik memandang bahwa perintah itu datang dari yang berwenang;

2. Syarat objektif, pelaksanaan perintah harus terletak dalam ruang lingkup pembuat sebagai bawahan.

c.2 Tidak Ada Alasan Pembenar

Alasan pembenar merupakan alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan. Alasan pembenar yang terdapat dalam KUHP adalah daya paksa (Pasal 48), pembelaan terpaksa (Pasal 49 ayat (1)), melakukan ketentuan undang-undang (Pasal 50) dan melaksanakan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 ayat (1)).

a. Tentang daya paksa

Pasal 48 KUHP berbunyi :

Barang siapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tak dapat dihindarkan tidak boleh dihukum.

Khusus mengenai daya paksa (overmacht) yang diatur dalam pasal 48 KUHP masih terdapat perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan sebagai alasan

173


(45)

101

pembenar dan ada yang mengatakan sebagai alasan pemaaf, bahkan ada yang menyatakan sebagai alasan pembenar dan dapat pula sebagai alasan pemaaf.174 Permasalahannya adalah apakah daya paksa ini berupa paksaan fisik ataukah merupakan paksaan psikis (batin). Kekuatan fisik yang mutlak yang tak dapat dihindari dinamakan vis absoluta, sedangkan kekuatan psikis dinamakan vis

compulsive, karena sekalipun tidak memaksa secara mutlak, tetapi tetap memaksa

juga.175

b. Pembelaan terpaksa

Pasal 49 ayat (1) KUHP berbunyi :

Barang siapa melakukan perbuatan, yang terpaksa dilakukannya untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, daripada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum.

Pembelaan terpaksa (noodweer) yang diatur dalam pasal 49 ayat (1) memiliki unsur-unsur yaitu :

1) Pembelaan itu bersifat terpaksa;

2) Yang dibela adalah diri sendiri, orang lain, kehormatan kesusilaan, atau harta benda sendiri atau orang lain;

3) Ada serangan sekejap atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu;

4) Serangan itu melawan hukum.

Pembelaan harus seimbang dengan serangan atau ancaman. Serangan tidak boleh melampaui batas keperluan dan keharusan. Asas ini disebut asas

174

H. Setiyono, Kejahatan Korporasi Analisis Victimologis dan Pertanggungjawaban

Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang, 2005, Hal. 114. 175

Moeljanto, Op.Cit., Hal. 114.


(46)

subsidaritas (subsidiariteit). Harus seimbang antara kepentingan yang dibela dan cara yang dipakai di satu pihak dan kepentingan yang dikorbankan. Tidak semua alat dapat dipakai, hanya yang pantas dan masuk akal saja.

c. Melaksanakan ketentuan undang-undang Pasal 50 KUHP berbunyi :

Barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan undang-undang, tidak boleh dihukum.

Dalam memastikan apakah orang sedang berhadapan dengan suatu

ketentuan yang ―meletakkan suatu kewajiban‖ ataupun suatu ketentuan yang ―memberikan suatu hak‖, maka menurut Prof. Noyon, yang sangat menentukan

bukannya rumusan ketentuan undang-undang itu sendiri melainkan ―de strekking

atau tujuan ketentuan undang-undang tersebut. Bahwa perbuatan apa yang boleh dilakukan itu ada batasannya. Tidak boleh melakukan semua perbuatan, melainka haruslah sepanjang memang diperlukan, seimbang dan layak untuk demi pelaksanaan kewenangan yang diberikan undang-undang tersbut.176

d. Melaksanakan perintah jabatan yang sah Pasal 51 ayat (1) KUHP berbunyi :

“Barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak akan itu, tidak boleh dihukum.” Ketentuan ini sama dengan alasan peniadaan pidana oleh sebab menjalankan peraturan perundang-undangan. Di dalam keduanya dasar peniadaan pidana itu menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan. Juga dimaksudkan pada

176


(47)

103

kedua-duanya adalah berpua perbuatan yang boleh dilakukan sepanjang menjalankan kewenangan berdasarkan perintah undang-undang maupun perintah jabatan.177 Perbedaannya ialah pada perintah jabatan ada hubungan publik antara orang yang memberi perintah dan orang yang diberi perintah yang dalam melakukan suatu perbuatan tertentu. Kewenangan pada menjalankan perintah jabatan adalah pada perintah yang diberikan berdasarkan undang-undang (sah), sedangkan pada menjalankan perintah undang-undang keabsahan menjalankan perintah itu ada pada undang-undangnya.178

B.PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PERPAJAKAN (STUSI PUTUSAN NOMOR 1863/Pid.B/2015/PN.Sby)

B.1 Kasus

B.1.1 Putusan PN Surabaya Nomor 1863/Pid.B/2015/PN.Sby

Nama Lengkap : Agus Sumarwoto

Tempat Lahir : Surabaya

Umur atau Tanggal Lahir : 47 Tahun/9 Desember 1967

Jenis Kelamin : Laki-laki

Kebangsaan : Indonesia

Tempat Tinggal : Magersari Permai AT-03, RT. 034 RW. 07 Magersari Sidoarjo Jawa

Timur

Agama : Islam

177

Loc.cit. 178

Loc.cit.


(48)

Pekerjaan : Karyawan Swasta

1. Kronologi Perkara

Sekitar bulan Juni 2012 sampai dengan September 2013 atau setidak-tidaknya pada waktu lain di tahun 2012 sampai dengan 2013 Terdakwa (Agus Sumarwoto) merupakan seorang biro jasa pajak yang membantu kliennya yaitu CV. Bumi Megah Sejahtera, CV. Cipta Mandiri Nusantara CV. Putra Wijaya dan CV. Perfectama untuk membuat dan melaporkan SPT masa PPN. Terdakwa memiliki tujuan untuk melakukan pengurangan PPN yang harus disetorkan kepada Negara. Untuk melaksanakan niatnya, Terdakwa menggunakan faktur pajak fiktif yang dikeluarkan oleh PT. CENTRA ALTO PRIMA dan PT. CITRA BUANA TEKNINDO yang diperolehnya dari NANCY WAHYUTI SUNGKOWO, yang diperoleh dari Martinus Massora alias Muhammad Ridwan alias Hasan alias Gustian alias Tino Prawira.

Faktur tersebut diperoleh Terdakwa dengan memesan faktur tersebut dengan cara menghubungi NANCY WAHYUTI SUNGKOWO melalui nomor telepon 031-3814660. Setelah menerima pesanan

Terdakwa, NANCY WAHYUTI SUNGKOWO kemudian

menghubungi MARTIN di Jakarta, sebagai pemilik dan penerbit faktur Pajak atas nama PT. CENTRA ALTO PRIMA dan PT. CITRA BUANA TEKNINDO untuk memperoleh faktur pajak fiktif.

Dalam waktu kurang lebih 1 (satu) minggu kemudian, faktur pajak pesanan Terdakwa dikirimkan ke rumah Terdakwa di Magersari Permai


(49)

105

AT 03. Sidoarjo, Jawa Timur oleh NANCY WAHYUTI SUNGKOWO dengan menggunakan jasa kurir.

Atas pemberian faktur pajak palsu ini, NANCY WAHYUTI SUNGKOWO memperoleh fee 2,5 % dari total Dasar Pengenaan Pajak yang dipergunakan, sedangkan Terdakwa memperoleh fee sebesar 0,5% dari Total Dasar Pengenaan Pajak.

2. Dakwaan

Pasal 39A huruf a Jo. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah beberapa kali dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP

Pasal 39A huruf (a):

Setiap orang yang dengan sengaja:

a. Menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak dan/atau bukti setoran pajak.

Pasal 43 ayat (l):


(50)

(1) Ketentuan sebagaiman dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A, berlaku juga bagi wakil, kuasa, pegawai dari Wajib Pajak atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang mengajurkan atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan

Pasal 64 ayat (1) KUHP:

(1) Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang dtierapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat

3. Tuntutan

1) Menyatakan Terdakwa AGUS SUMARWOTO telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah secara bersama-sama melakukan tindak pidana turut serta melakukan Tindak Pidana Perpajakan yang dilakukan secara berlanjut sebagaimana diatur didalam Pasal 39A huruf (a) jo.Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan penuntut umum;


(51)

107

2) Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa AGUS

SUMARWOTO berupa pidana penjara selama 3 (tiga tahun)

dikurangi selama Terdakwa dalam masa penahanan dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan dalam rumah tahanan; 3) Menjatuhkan pidana denda sebesar Rp. 380.387.623,- x 2 = Rp.

760.775.246,- (tujuh ratus enam puluh tujuh juta tujuh ratus

tujuh puluh lima ribu dua ratus empat puluh enam rupiah); 4) Menyatakan barang bukti nomor 1 s/d nomor 33 dipergunakan

dalam perkawa terdakwa NANCY WAHYUTI SUNGKOWO; Dan untuk barang bukti nomor 34 s/d nomor 74 dikembalikan kepada Penyidik Direktorat Jenderal Pajak;

5) Menetapkan agar Terdakwa AGUS SUMARWOTO membayar biaya perkara sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah).

4. Fakta Hukum

a. Keterangan Saksi

1. SIGID SARDJONO (disumpah)

 Bahwa saksi tidak kenal dengan Terdakwa dan tidak ada hubungan keluarga;

 Bahwa saksi bekerja di Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Utara sebagai Kasi Pelayanan, yang bertugas menerima, mengelola dokumen pajak;


(52)

 Bahwa untuk pengenaan pajak adalah selama penghasilan melebihi batas maka dikenakan pajak juga terhadap nilai ekonomis selisihnya juga;

 Bahwa perbuatan Terdakwa setahu saksi adalah penyalahgunaan faktur;

 Bahwa saksi pernah menerima berkas dari PT. Centra yang jenis pajaknya adalah pajak pertambahan nilai;

 Bahwa setahu saksi, Terdakwa menyalahgunakan faktur dan saksi hanya menerima dokumen tidak melakukan identifikasi;

 Bahwa faktur pajak fiktif adalah tidak ada transaksi nyata / realnya;

 Bahwa jika ada dokumen yang masuk maka akan saksi proses sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP);

 Bahwa setelah data saksi diterima kemudian diteruskan ke bagian pengolahan data;

 Bahwa dalam hal ini yang mengetahui adanya faktur fiktif adalah bagian pemeriksaan;

 Bahwa pada tahun 2011 PT. Centra Buana Tekhnikindo mengeluarkan faktur;


(53)

109

 Bahwa terdapat kerugian setelah dilakukan pemeriksan sebagaimana pemeriksaan saksi pada Berita Acara Penyidikan;

 Bahwa saksi bertugas di bagian pelayanan pajak sejak bulan Juli 2011 sampai dengan bulan Maret 2015;

 Bahwa selama saksi bertugas saksi tidak pernah bertemu dengan Terdakwa;

 Bahwa ada anggota yang menyeleksi berkas yang diajukan;

 Bahwa saksi tidak tahu letak faktur yang bermasalah dalam hal ini, tahunya saksi waktu itu dipanggil penyidik dan saat itu saksi tahu ada kerugian;

Atas keterangan saksi, Terdakwa menyatakan benar keterangan saksi.

2. MANAF SITUMORANG (disumpah)

 Bahwa saksi tidak kenal dengan Terdakwa dan tidak ada hubungan keluarga;

 Bahwa saksi bertugas di Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Cakung 2, saksi sebagai Kepala Seksi Pelayanan;


(54)

 Bahwa terkait perbuatan Terdakwa, saksi hanya menerima data PT. Central Alto Prima yaitu data untuk NPWP, PT. Centra Alto Prima tersebut bergerak di bidang perdagangan umum;

 Bahwa saksi tidak pernah melihat terdakwa selama saksi bertugas;

 Bahwa dalam hal ini ada indikasi pengurus mengeluarkan faktur yang tidak sesuai dengan aturan karena faktur tersebut dibuat untuk menutupi;

 Bahwa pada tanggal 19 April 2010 daftar kemudian pada tanggal21 April 2010 menjadi Perusahaan kena Pajak;

 Bahwa PT. Centra Alto Prima melaporkan kegiatannya setiap bulan melalui SPT;

 Bahwa saksi tidak tahu kaitan terdakwa dengan PT. Centra Alto Prima;

 Bahwa saksi tidak pernah bertemu Terdakwa;

 Bahwa saksi tahu laporan PT. Centra Alto Prima yang tanda tangan adalah sesuai aturan, yaitu direkturnya;

Atas keterangan saksi, Terdakwa menyatakan benar keterangan saksi.


(55)

111

3. LILY SOETEDJO (disumpah)

 Bahwa saksi kenal dengan Terdakwa dan tidak ada hubungan keluarga ;

 Bahwa saksi bekerja di CV Solid Art pada bagian acounting;

 Bahwa saksi tahu CV Sollit Art ijin usahanya adalah mebelar;

 Bahwa terdakwa adalah mantan konsultan pajak di Perusahaan saksi;

 Bahwa cara pihak saksi untuk membuat laporan adalah pihak saksi menyiapkan data kemudian data tersebut diambil terdakwa, terdakwa yang mengelola;

 Bahwa saksi tidak tahu terdakwa tinggal dimana dan kantornya dimana;

 Bahwa saksi dalam perkara ini kurang tahu masalahnya dimana, saksi hanya menyiapkan data dan saksi serahkan ke terdakwa;

 Bahwa setahu saksi masalah terdakwa adalah berkaitan dengan perkara bu Nancy,setelah itu terdakwa minta nomor telepon bu Nancy;


(56)

 Bahwa setahu saksi dalam hal ini ada masalah faktur antara pembeli dan pemakai untuk mengurangi pajak;

 Bahwa benar keterangan saksi yang telah saksi berikan pada Berita Acara Penyidikan;

 Bahwa saksi tahu CV Solid Art pernah membeli faktur pajak ke Bu Nancy;

 Bahwa data yang saksi siapkan untuk terdakwa adalah berupa faktur pajak;

 Bahwa saksi tidak tahu bu Nancy sebagai apa, setahu saksi bu Nancy tidak memiliki perusahaan;  Bahwa saksi tahu barang bukti faktur tersebut

(sebagaimana bukti yang ditunjukkan didepan persidangan);

 Bahwa saat pembelian pada tahun 2013 terdakwa waktu itu masih sebagai konsultan pajak;

 Bahwa data faktur pajak dari bu Nancy juga diserahkan kepada terdakwa;

 Bahwa data faktur pajak dari bu Nancy juga diserahkan kepada terdakwa

 Bahwa saksi tahu CV Solid Artr membeli faktur pajak ke bu Nancy, pembelian tersebut sesuai pimpinan;


(57)

113

 Bahwa saksi tidak tahu terdakwa membeli faktur ke bu Nancy;

 Bahwa saksi tidak pernah membaca faktur pajak dari bu Nancy;

Atas keterangan saksi, Terdakwa menyatakan benar keterangan saksi

4. YUDI KHRISNA HALIM (disumpah)

 Bahwa saksi kenal dengan Terdakwa dan tidak ada hubungan keluarga ;

 Bahwa saksi kenal dengan terdakwa, karena terdakwa sebagai konsultan pajak CV saksi (CV Bumi Megah Sejahtera), saksi sebagai direkturnya dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2013;

 Bahwa CV saksi bergerak dalam bidang kontraktor;  Bahwa CV saksi tidak pernah menerima faktur pajak

PT Alto, saksi tahunya pada tahun 2013 akhir ketika penyidikan;

 Bahwa saksi tahunya ada masalah faktur tidak sesuai transaksi yang sebenarnya;

 Bahwa saksi tidak pernah ada hubungan kerja dengan PT Alto;

 Bahwa dengan adanya faktur pajak fiktif tersebut, nilai pajaknya jadi rendah;


(58)

 Bahwa saksi pernah meminta untuk mengatur pajak yang terbaik, tiap bulan terdakwa telepon ke saksi mengenai nilainya dan saksi tidak tahu cara terdakwa bagaimana;

 Bahwa saksi tidak tahu terdakwa mendapatkan faktur darimana;

 Bahwa setahu saksi data yang tidak benar itu adalah tahun pelaporan 2012 dan 2013;

 Bahwa terkait hal tersebut tahun 2014 awal sudah dilakukan perbaikan dan sudah saksi selesaikan masalahnya;

 Bahwa untuk pajak tahun 2005 sampai dengan tahun 2011 CV saksi tidak ada kegiatan jadi nihil;

 Bahwa saksi lupa berapa nilai selisih pajaknya;  Bahwa masuknya faktur tersebut saksi tidak tahu;  Bahwa terdakwa tidak tiap hari menghitung pajak

dikantor saksi;

 Bahwa ketika pembetulan saksi pakai konsultan pajak bu Mega;

 Bahwa data-data tersebut waktu itu saksi serahkan kepada terdakwa;

 Bahwa waktu pembetulan saksi tidak berhubungan dengan petugas pajak tapi melalui konsultan pajak;


(59)

115

 Bahwa saksi sudah tidak memiliki tanggungan lagi kepada terdakwa;

 Bahwa SPT dalam hal ini dilaporkan kepada saksi untuk saksi tagihkan.

Atas keterangan saksi, Terdakwa menyatakan benar keterangan saksi.

5. Ir. EDI PURNOMO, SH (disumpah)

 Bahwa saksi kenal dengan Terdakwa dan tidak ada hubungan keluarga ;

 Bahwa saksi adalah pemilik CV Prefect Tama Raya;  Bahwa saksi kenal dengan Terdakwa sejak tahun

1980an;

 Bahwa saksi kenal dengan Terdakwa karena yang mengurus pajaknya adalah Terdakwa;

 Bahwa saksi sebagai direktur utama CV Perfect Tama Raya;

 Bahwa sejak tahun 1980 saksi sudah kenal Terdakwa sebagai konsultan pajak sampai sekarang;

 Bahwa terdakwa pernah memberikan masukan kepada saksi , kata terdakwa ada faktur pajak lebih tapi tidak ada transaksinya dan saksi tidak mau terima;

 Bahwa CV saksi tidak pernah memakai faktur fiktif;


(60)

 Bahwa terdakwa pernah menawarkan kepada saksi kalau ada kekurangan faktur akan dicarikan dan saksi tolak;

 Bahwa faktur pajak milik PT Citra Buana Tehnikindo tidak pernah masuk ke saksi.

Atas keterangan saksi, Terdakwa menyatakan benar keterangan saksi.

6. GWATTININGSIH LUKITO (disumpah)

 Bahwa saksi tidak kenal dengan Terdakwa dan tidak ada hubungan keluarga ;

 Bahwa saksi bekerja di BCA cabang Kapas Krampung, saksi sebagai pimpinannya;

 Bahwa saksi tidak kenal dengan saudara Nancy;  Bahwa saksi tahu ada nasabah atas nama Nancy di

BCA Kapas Krampung;

 Bahwa sesuai data ada transaksi antara dengan bu Nancy, transaksi tersebut sesama Bank BCA tapi terdakwa di BCA cabang lainnya;

 Bahwa saksi tahu print out rekening BCA tersbeut (sebagaimana bukti yang ditunjukkan didepan persidangan);

 Bahwa saksi dalam perkara ini pernah diperiksa penyidik terkait transaksi transfer;


(1)

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., DFM., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum USU serta Pembimbing I Penulis;

4. Bapak Dr.O.K. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum USU

5. Bapak Dr. Mirza Nasution, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Akademik Penulis selama perkuliahan;

6. Bapak Dr. M.Hamdan, S.H., M.H, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU

7. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU

8. Bapak Alwan, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing II Penulis

9. Dosen-dosen Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU yang telah membimbing Penulis.

10.Staff serta Pegawai di Fakultas Hukum USU;

11.Keluarga Besar Hutagalung Pelita II, Maktua Mika, Paktua Mika, Juk Mei, Juk Sony, Tulang Ganda, Nantulang Melly, serta sepupu-sepupu penulis Kak Mika, Bang Dani, Desi, Pia, Ruli untuk dukungan moril serta doanya.

12.Sahabat-sahabat terdekat Penulis dari awal perkuliahan hingga akhir perkuliahan Penulis: Iput, Erin, Kiky, Beby, Thia, Bona, Kevin, Ajok, Arief, Ariq, Lasthree, Yara, Wilson, Awanis. Terimakasih untuk pengalaman, suka duka serta kebersamaan selama ini, semoga kelak


(2)

13.Sahabat Penulis dari #DEWABC, Douglas, Evan, William, Andreas dan Bona, terimakasih untuk lelucon dan hal-hal lucu lain yang kalian berikan selama ini kepada Penulis. Kalian luar biasa.

14.Keluarga Besar Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Komisariat Fakultas Hukum USU, Ketua Jones, Sek Sornica, Dimas, Heru, Febrian, Pasca, Sara, Resmi, Fitty, Yeni serta teman-teman lain yang telah menjadi keluarga serta tempat untuk menempa diri bagi Penulis.

15.Teman-teman dari Grup D 2012 FH USU, Ainul, Dyna, Felicia, Anderson, Ivo, Betric, dan teman-teman lain. Terimakasih untuk kebersamaan selama 7 semester ini, semoga kita semua bisa meraih kesuksesan

16.Ikatan Mahasiswa Departemen Hukum Pidana (IMADANA) FH USU, Grace, Olin, Ray, Marshall, Jeremia, Oliv, Debo serta teman-teman lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

17.Junior-junior stambuk 2015 Penulis: Igin, Dewi, Devy, Ruth, Putri, Clara, Ishak, Amos, Vina, Hari. Terimakasih untuk hal-hal lucu yang diberi ketika Penulis selama Penulis menyusun skripsi ini. Betul-betul kalian kuliah.

18.Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebut satu persatu

Penulis menyadari masih banyak kesalahan didalam penulisan skripsi ini, oleh karenanya Penulis memohon maaf atas kesalahan didalam skripsi ini.


(3)

Medan, Maret 2016

Penulis

CLINTON PRATAMA


(4)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A.Latar Belakang ... 1

B.Rumusan Masalah ... 5

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D.Keaslian Penulisan ... 7

E.Tinjauan Kepustakaan ... 7

1. Pelaku Tindak Pidana ... 7

2. Pertanggungjawaban Pidana ... 9

3. Tindak Pidana Perpajakan ... 10

F. Metode Penulisan ... 13

G.Sistematika Penulisan ... 17

BAB II : PENGATURAN HUKUM MENGENAI PERPAJAKAN DI INDONESIA ... 19

A.Dasar Hukum Perpajakan Di Indonesia ... 19

B.Pengaturan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perpajakan di Indonesia ... 28


(5)

BAB III : PELAKU TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM PIDANA

INDONESIA ... 39

A.Subjek Hukum Pidana sebagai Pelaku Tindak Pidana ... 39

1. Orang (Naturlijke Persoon ... 39

2. Korporasi (Legal Persoon) ... 41

B.Pelaku Tindak Pidana dalam Tindak Pidana Perpajakan ... 44

BAB IV : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PERPAJAKAN (Studi Putusan Nomor 1863/Pid.B/2015/PN.Sby) ... 83

A.Sistem Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum Positif di Indonesia ... 83

B.Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Perpajakan (Studi Putusan Nomor 1863/Pid.B/2015/PN.Sby) ... 104

B1. Kasus Posisi... 104

a. Kronologi Perkara ... 105

b. Dakwaan ... 106

c. Tuntutan ... 107

d. Fakta Hukum ... 108

e. Dasar Pertimbangan Hakim ... 129

f. Putusan ... 150


(6)

BAB V : PENUTUP ... 172 A. Kesimpulan... 172 B. Saran ... 175 DAFTAR PUSTAKA


Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/Pn-Bi)

5 92 87

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 64 103

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum Di Dalam Kuhp (Studi Putusan Ma No. 1914/K/Pid/2012)

2 116 124

Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri di Indonesia)

1 74 133

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan MA No. 1384 K/PID/2005)

1 65 124

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Tindak Pidana Perusakan dan Pencemaran Lingkungan (Studi Putusan MA RI No. 755K/PID.SUS/2007)

1 50 100

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

3 82 103

Analisis Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah (Studi Putusan Hakim No. 945/PID.B/2010/PN.TK)

0 4 71

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 0 9

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum Di Dalam Kuhp (Studi Putusan Ma No. 1914/K/Pid/2012)

0 0 9