Pertanggungjawaban Pidana Bagi Terdakwa Anak Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Sesuai Dengan PASAL 340 KUHP(Studi Kasus Putusan No. 3.682 / Pid.B / 2009 / PN. Mdn)

(1)

PERT PEL Diajuk TANGGUN LAKU TIN (Studi Ka kan untuk u U NGJAWAB DAK PIDA P sus Putusa Melengkap untuk Menc VINN DEPARTE FA UNIVERSI BAN PIDA ANA PEMB PASAL 340 an No. 3.682

SKRIP pi tugas-tug capai Gelar Oleh NY PERMA NIM: 0902 EMEN HU AKULTAS ITAS SUM MEDA 2013 ANA BAGI BUNUHAN 0 KUHP

2 / Pid.B / 2

PSI

gas dan Me r Sarjana H

: ATA SARI 200294 UKUM PID HUKUM MATERA U AN 3 TERDAKW N SESUAI 2009 / PN. M

emenuhi Sy Hukum I DANA UTARA WA ANAK DENGAN Mdn) yarat-syara K at


(2)

(3)

ABSTRAKSI

Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum * Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM **

Vinny Permata Sari ***

Dalam penulisan skripsi ini penulis membahas mengenai realita perkara pidana yang dilakukan oleh anak dan pertanggungjawaban pidana bagi terdakwa anak dalam proses persidangan. Hal ini dilatarbelakangi dengan semakin banyaknya tindak pidana yang dilakukan oleh anak dan anak sebagai terdakwa dalam persidangan supaya terhindari dari perampasan hak-haknya sebagai anak dan diberikan dengan sebagaimana mestinya.

Dalam menangani perkara anak nakal, yakni anak yang melakukan tindak pidana, aparat penegak hukum baik penyidik, penuntut umum maupun hakim harus lebih berhati-hati karena pemeriksaan pidana anak berbeda dengan pemeriksaan orang dewasa pada umumnya dengan mengetahui faktor-faktor penyebab tindak pidana berupa kondisi ekonomi yang tidak mampu sehingga membuat anak berbuat jahat apabila imannya kurang dan keinginannya akan sesuatu tak terpenuhi oleh orang tuanya, tindakan yang dilakukannya bisa berbentuk pencurian benda yang di inginkannya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum bagi anak pelaku tindak pidana pembunuhan, dan untuk mengetahui pertanggung-jawaban pidana bagi pelaku yang telah melakukan pembunuhan secara terencana. Perlakuan yang kurang tepat dalam pemeriksaan perkara pidana anak akan berdampak pada kelangsungan hidup anak namun juga harus mengetahui akibat hukum terhadap anak pelaku tindak pidana sesuai pasal 340 KUHP. Tujuan pemidanaan hanya untuk memberikan efek jera bagi terdakwa dan terdakwa tidak mengulangi perbuatannya lagi serta untuk mendidik terdakwa agar menginsyafi perbuatannya sehingga memenuhi rasa keadilan.

Metode penelitian yang digunakan yuridis normatif yaitu merupakan penelitian hukum terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder terutama yang berkaitan dengan materi yang dibahas. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa (1) Penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana pembunuhan yang menyebabkan kematian yang dilakukan oleh anak penerapan ketentuan pidana pada perkara ini yakni Pasal 340 KUHP telah sesuai dengan fakta-fakta hukum baik keterangan para saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa dan terdakwa dianggap sehat jasmani dan rohani, tidak terdapat gangguan mental sehingga dianggap mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya. (2) Pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara putusan Nomor : 3.682/Pid.B/2009/PN.Mdn telah sesuai karena berdasarkan penjabaran keterangan para saksi, keterangan terdakwa, dan alat bukti serta adanya pertimbangan-pertimbangan yuridis, hal-hal yang meringankan dan memberatkan, serta memperhatikan Undang-Undang Pengadilan Anak yang diperkuat dengan keyakinan hakim.

*


(4)

**

Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ***

Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan Puji dan Syukur kepada Allah SWT, atas kasih dan karunia-Nyalah, yang telah memberikan kesehatan, kekuatan, dan ketekunan kepada penulis, sehingga mampu dan berhasil menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini adalah salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari terdapatnya kekurangan, namun demikian dengan berlapang dada penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang menaruh perhatian terhadap skripsi ini.

Demi terwujudnya penyelesaian dan penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah lulus dan ikhlas dalam memberikan bantuan untuk memperoleh bahan-bahan yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, sebagai Dekan Fakultas Hukum USU Medan.

2. Bapak Prof. Budiman Ginting, SH, M.Hum, sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum USU Medan.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU Medan.


(5)

4. Bapak Muhammad Husni, SH, M.Hum sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU Medan.

5. Bapak Dr. M. Hamdan, SH, M.Hum sebagai Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan.

6. Ibu Liza Erwina, SH, M.Hum sebagai Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan.

7. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum, sebagai Pembimbing I Fakultas Hukum USU Medan yang telah bersedia untuk meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan dalam pembuatan skripsi ini.

8. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, sebagai pembimbing II Fakultas Hukum USU Medan yang telah bersedia untuk meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan dalam pembuatan skripsi ini.

9. Bapak Abdul Rahman SH, MH sebagai penasehat akademik yang telah banyak membantu penulis selama dalam menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10.Seluruh Dosen dan Staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mengajar dan membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

11.Seluruh Staf Tata Usaha dan Staf Administrasi perpustakaan serta para pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(6)

12.Ungkapan yang tulus hormat serta cinta dan terima kasih kepada orang tua penulis Ayahanda M. Nursidin, SE, M.Si, Ak, dan Ibunda Nini Purnama Sari, atas didikan, cinta dan kasih sayang yang tidak ternilai, dorongan, semangat dan pengorbanan serta doa yang tak henti-hentinya yang telah membangkitkan semangat dalam diri penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Tanpa kalian sangatlah sulit bagi Penulis untuk mencapai cita-citanya. Semoga Allah SWT tetap memberikan limpahan rahmat dan karunia serta kesehatan kepada ayahanda dan Ibunda tercinta.

13.Penulis mengucapkan terima kasih kepada adik-adikku tersayang Ayu Kartika Sari, M. Alif Shihab, Dinda Aulia Sari, yang selalu memberikan candaan-candaan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

14.Seluruh mahasiswa/i angkatan 2009 dan teman-teman seperjuangan penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu dalam kesempatan ini, hanya Allah yang dapat membalas budi baik semuanya. Semoga ilmu yang penulis telah peroleh selama ini dapat bermakna dan berkah bagi penulis dalam menggapai cita-cita.

Medan, Mei 2013 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang ... 1

B.Permasalahan ... 7

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D.Keaslian Penulisan ... 8

E.Tinjauan Pustaka ... 9

1. Pengertian Pidana dan Tujuan Hukum Pidana ... 9

2. Perbuatan Pidana ... 12

3. Pengertian Tindak Pidana ... 16

4. Macam-macam Tindak Pidana ... 18

5. Pertanggungjawaban Pidana ... 21

6. Pengertian Anak dan Batas Usia Anak ... 28

7. Pengertian Pembunuhan Berencana ... 32

F. Metode Penelitian ... 33

G.Sistematika Penulisan ... 37

BAB II FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TIMBULNYA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN SESUAI PASAL 340 KUHP .... 39

A.Tindak Pidana Pembunuhan Berencana ... 39

1. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan ... 39

2. Pengertian Pembunuhan Berencana ... 43

B.Unsur-unsur Pembunuhan Berencana ... 46 C.Faktor-faktor Timbulnya Tindak Pidana Pembunuhan yang


(8)

Direncanakan oleh Anak ... 50

D.Pertimbangan Hukum Pembuktian Tindak Pidana Pembunuhan Sesuai Pasal 340 KUHP ... 51

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ATAS YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN MENURUT PASAL 340 KUHP PADA KASUS PUTUSAN Reg. No. 3.682/Pid.B/2009/PN.Mdn ... 58

A. Kemampuan Bertanggungjawab ... 58

B. Penyidangan Perkara Tindak Pidana Anak Sesuai Pasal 340 KUHP ... 63

C. Ketentuan Sanksi Pidana Terhadap Anak yang Melakukan Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Pengadilan Anak ... 69

BAB IV AKIBAT HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA SESUAI PASAL 340 KUHP PADA KASUS PUTUSAN Reg. No. 3.682/Pid.B/2009/PN.Mdn ... 85

A.Reg. No. 3.682/Pid.B/2009/PN.Mdn ... 85

1. Kronologi Kasus ... 85

2. Dakwaan ... 85

3. Tuntutan ... 88

4. Putusan ... 89

B.Analisa Putusan ... 104

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 107

A. Kesimpulan ... 107

B. Saran ... 108

DAFTAR PUSTAKA ... 111 LAMPIRAN


(9)

ABSTRAKSI

Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum * Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM **

Vinny Permata Sari ***

Dalam penulisan skripsi ini penulis membahas mengenai realita perkara pidana yang dilakukan oleh anak dan pertanggungjawaban pidana bagi terdakwa anak dalam proses persidangan. Hal ini dilatarbelakangi dengan semakin banyaknya tindak pidana yang dilakukan oleh anak dan anak sebagai terdakwa dalam persidangan supaya terhindari dari perampasan hak-haknya sebagai anak dan diberikan dengan sebagaimana mestinya.

Dalam menangani perkara anak nakal, yakni anak yang melakukan tindak pidana, aparat penegak hukum baik penyidik, penuntut umum maupun hakim harus lebih berhati-hati karena pemeriksaan pidana anak berbeda dengan pemeriksaan orang dewasa pada umumnya dengan mengetahui faktor-faktor penyebab tindak pidana berupa kondisi ekonomi yang tidak mampu sehingga membuat anak berbuat jahat apabila imannya kurang dan keinginannya akan sesuatu tak terpenuhi oleh orang tuanya, tindakan yang dilakukannya bisa berbentuk pencurian benda yang di inginkannya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum bagi anak pelaku tindak pidana pembunuhan, dan untuk mengetahui pertanggung-jawaban pidana bagi pelaku yang telah melakukan pembunuhan secara terencana. Perlakuan yang kurang tepat dalam pemeriksaan perkara pidana anak akan berdampak pada kelangsungan hidup anak namun juga harus mengetahui akibat hukum terhadap anak pelaku tindak pidana sesuai pasal 340 KUHP. Tujuan pemidanaan hanya untuk memberikan efek jera bagi terdakwa dan terdakwa tidak mengulangi perbuatannya lagi serta untuk mendidik terdakwa agar menginsyafi perbuatannya sehingga memenuhi rasa keadilan.

Metode penelitian yang digunakan yuridis normatif yaitu merupakan penelitian hukum terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder terutama yang berkaitan dengan materi yang dibahas. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa (1) Penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana pembunuhan yang menyebabkan kematian yang dilakukan oleh anak penerapan ketentuan pidana pada perkara ini yakni Pasal 340 KUHP telah sesuai dengan fakta-fakta hukum baik keterangan para saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa dan terdakwa dianggap sehat jasmani dan rohani, tidak terdapat gangguan mental sehingga dianggap mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya. (2) Pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara putusan Nomor : 3.682/Pid.B/2009/PN.Mdn telah sesuai karena berdasarkan penjabaran keterangan para saksi, keterangan terdakwa, dan alat bukti serta adanya pertimbangan-pertimbangan yuridis, hal-hal yang meringankan dan memberatkan, serta memperhatikan Undang-Undang Pengadilan Anak yang diperkuat dengan keyakinan hakim.

*


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang tidak dibarengi dengan perkembangan sumber daya manusia dan perkembangan masyarakat seperti kebutuhan dalam bidang ekonomi. Hal ini mengakibatkan anggota masyarakat mempunyai kepentingan yang saling berbeda, sehingga masing–masing pihak akan mempertahankan kepentingannya sendiri-sendiri dengan sebaik mungkin bagi dirinya masing-masing. Berbagai kepentingan anggota masyarakat kadang menimbulkan pertentangan dan penyimpangan yang akan membahayakan ketertiban, keamanan dan keselamatan dalam masyarakat bahkan pada dirinya sendiri.

Setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak asasi sesuai dengan kemuliaan harkat dan martabatnya yang dilindungi oleh undang-undang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga seseorang berhak dan wajib diberlakukan sebagai manusia yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain. Hak hidup setiap manusia tidak dapat dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaan apapun termasuk hak untuk tidak disiksa, tidak diperbudak, tidak diperjualbelikan dan tidak dipaksa untuk melakukan yang tidak disukai atau diperlakukan dengan tidak sesuai harkat, martabat dan kehormatan dirinya sebagai manusia seutuhnya

Rasa kasih sayang merupakan kebutuhan yang paling mendasar dalam kehidupan anak. Terutama rasa kasih sayang yang diberikan dari orang tua. Tetapi dalam kenyataannya, banyak anak dibesarkan dalam kondisi yang penuh dengan konflik sehingga seringkali menyebabkan perkembangan jiwa anak tersebut menjadi tidak sehat. Perkembangan kepribadian anak yang berada dalam situasi


(11)

seperti itu dapat mendorong anak untuk melakukan tindakan-tindakan negatif yang sering dikategorikan sebagai kenakalan anak.

Kenakalan anak dewasa ini terus meningkat dalam kehidupan bermasyarakat. Bukan hanya meresahkan orang tua dari si anak pembuat kenakalan, tetapi masyarakat di lingkungan sekitar anak tersebut juga menjadi terganggu keamanan, kenyamanan dan ketertiban kehidupannya. Kenakalan anak pada akhirnya bukan sekedar merugikan orang tua dan masyarakat di sekitarnya. Tetapi lebih jauh mengancam masa depan bangsa dan negara, dimana anak merupakan generasi penerus masa depan bangsa dan negara Indonesi

Penyimpangan perilaku yang melanggar hukum yang dilakukan anak disebabkan berbagai faktor. Antara lain dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan IPTEK, serta perubahan gaya hidup telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat. Sehingga akan sangat berpengaruh pada nilai dan perilaku anak. Selain itu anak yang kurang atau tidak memperoleh bimbingan kasih sayang, pembinaan dalam pengembangan sikap dan perilaku, penyesuaian diri serta pengawasan orang tua, wali atau orang tua asuh akan menyebabkan anak mudah terseret dalam pergaulan yang kurang sehat. Sehingga akan merugikan perkembangan pribadinya. Bahkan hal tersebut dapat membuka peluang bagi anak untuk melakukan tindak pidana. Walaupun anak dapat menentukan sendiri langkah dan perbuatannya berdasarkan pikiran, perasaan dan kehendaknya, akan tetapi keadaan lingkungan disekitarnya dapat mempengaruhi perilakunya, diantaranya adalah perilaku untuk berbuat jahat.

Anak sebagai salah satu sumber daya manusia dan merupakan generasi penerus bangsa, sudah selayaknya mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah, dalam rangka pembinaan anak untuk mewujudkan sumber daya manusia yang tangguh serta berkualitas. Berkaitan dengan pembinaan anak diperlukan sarana dan prasarana hukum yang mengantisipasi segala permasalahan yang timbul. Sarana dan prasarana yang dimaksud menyangkut kepentingan anak maupun yang menyangkut penyimpangan sikap dan perilaku yang menjadikan anak terpaksa dihadapkan ke muka pengadilan.


(12)

Anak merupakan bagian dari masyarakat, mereka mempunyai hak yang sama dengan masyarakat lain yang harus dilindungi dan dihormati. Setiap Negara dimanapun di dunia ini wajib memberikan perhatian serta perlindungan yang cukup terhadap hak-hak anak, yang antara lain berupa hak-hak sipil, ekonomi, sosial dan budaya. Namun sepertinya kedudukan dan hak-hak anak jika dilihat dari perspektif yuridis belum mendapatkan perhatian serius baik oleh pemerintah, penegak hukum maupun masyarakat pada umumnya dan masih jauh dari apa yang sebenarnya harus diberikan kepada mereka.

Hukum dibuat untuk dilaksanakan, oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila orang mengatakan bahwa hukum tidak bisa lagi disebut sebagai hukum manakala ia tidak pernah dilaksanakan (lagi).1 Hukum dapat dilihat bentuknya melalui kaidah-kaidah yang dirumuskan secara eksplisit. Di dalam kaidah-kaidah atau peraturan-peraturan hukum itulah terkandung tindakan-tindakan yang harus dilaksanakan, yang tidak lain berupa penegakan hukum itu2.

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, anak yang melakukan tindak pidana diistilahkan dengan anak yang berhadapan dengan hukum. Dalam perspektif Konvensi Hak Anak/KHA (Convention The Rights of The Children/ CRC), anak yang berkonflik dengan hukum dikategorikan sebagai anak dalam situasi khusus (children in need of special protection/ CNSP). UNICEF menyebut anak dalam kelompok ini sebagai children in specially difficult circumtances (CDEC), karena kebutuhan-kebutuhannya tidak terpenuhi, rentan mengalami tindak kekerasan, berada di luar lingkungan keluarga (berada pada lingkup otoritas intitusi negara), membutuhkan proteksi berupa regulasi khusus, membutuhkan perlindungan dan keamanan diri. Kebutuhan-kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi karena anak tersebut tidak mendapatkan perlindungan dan perawatan yang layak dari orang dewasa yang berada di lingkungan tempat dimana biasanya anak menjalani hidup.

Tindak pidana yang dilakukan anak merupakan masalah serius yang dihadapi setiap Negara. Di Indonesia masalah tersebut banyak diangkat dalam

      

1

Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum (Suatu Tinjauan Sosiologis), (Bandung : Sinar Baru), 1999, hal. 15

2


(13)

bentuk seminar dan diskusi yang diadakan oleh lembaga-lembaga pemerintah dan lembaga terkait lainnya. Kecenderungan meningkatnya pelanggaran yang dilakukan anak atau pelaku usia muda yang mengarah pada tindak kriminal, mendorong upaya melakukan penanggulangan dan penanganannya, khusus dalam bidang hukum pidana (anak) beserta acaranya. Hal ini erat hubungannya dengan perlakuan khusus terhadap pelaku tindak pidana usia muda.3

Penyelesaian tindak pidana perlu ada perbedaan antara perilaku orang dewasa dengan pelaku anak, dilihat dari kedudukannya seorang anak secara hukum belum dibebani kewajiban dibandingkan orang dewasa, selama seseorang masih disebut anak, selama itu pula dirinya tidak dituntut pertanggungjawaban, bila timbul masalah terhadap anak diusahakan bagaimana haknya dilindungi hukum.4

Kejahatan terhadap jiwa seseorang yang menimbulkan akibat matinya seseorang merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Praktek kejahatan terhadap jiwa meliputi jumlah yang besar setelah kejahatan terhadap harta benda.5 Pembunuhan adalah suatu kejahatan yang tidak manusiawi, karena pembunuhan merupakan suatu perbuatan yang mengakibatkan kematian orang lain, yang dilakukan secara sadis. Pembunuhan berencana ialah pembunuhan yang dilakukan oleh terdakwa dengan direncanakan terlebih dahulu, misalnya, dengan berunding dengan orang lain atau setelah memikirkan siasat-siasat yang akan dipakai untuk melaksanakan niat jahatnya itu dengan sedalam-dalamnya terlebih dahulu, sebelum tindakan yang kejam itu dimulainya.

Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah “Barangsiapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”. Pembunuhan berencana itu dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang sebagai pembunuhan bentuk khusus yang memberatkan, yang rumusannya dapat berupa “pembunuhan yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu

      

3

Agung Wahyono dan Siti Rahayu, Tinjauan Peradilan Anak di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1983, hal. 2

4

Mulyana W. Kusumah (ed), Hukum dan Hak-Hak Anak, Rajawali, Jakarta, 1986, hal.3 5

H.A.K. Moch Anwar (Dading), Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), Penerbit Alumni, Bandung, 1980, hal. 88


(14)

dipidana karena pembunuhan dengan rencana”. Dapat disimpulkan bahwa merumuskan pasal 340 KUHP dengan cara demikian, pembentuk undang-undang sengaja melakukannya dengan maksud sebagai kejahatan yang berdiri sendiri.

Pembunuhan berencana merupakan suatu tindak pidana kejahatan berat. Pembunuhan berencana muncul dikarenakan oleh faktor-faktor antara lain yaitu :

1) Unsur subjektif terdiri dari: a. Dengan sengaja

b. Dengan terlebih dahulu 2) Unsur objektif terdiri dari:

a. Perbuatan : menghilangkan nyawa b. Objeknya : nyawa orang lain.6

Apabila salah satu unsur diatas terpenuhi maka seseorang dapat ditetapkan sebagai pelaku tindak pidana pembunuhan berencana. Setelah ada bukti-bukti dan saksi yang kuat maka pelaku tindak pidana dapat dituntut dipengadilan. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Hal ini berarti segala bentuk perilaku individu didasarkan kepada hukum yang berlaku. Pelaku kejahatan ataupun korban kejahatan akan mendapatkan tindakan hukum berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Seseorang yang diduga melakukan pelanggaran hukum tidak dapat dikatakan bersalah sebelum adanya keputusan hukum dari hakim yang bersifat tetap. Untuk menjaga supremasi hukum saat ini sedang gencar-gencarnya diadakan reformasi penegak hukum yang bersih dan berwibawa.

Kejahatan yang terjadi di masyarakat merupakan sebuah pelanggaran terhadap hukum positif yaitu hukum pidana. Kejahatan dan pelanggaran yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bisa dilihat sebagai hukum pidana objektif, yaitu suatu tindak pidana yang digolongkan menurut ketentuan-ketentuan hukum itu sendiri dan dapat juga dilihat sebagai hukum pidana subjektif yaitu ketentuan-ketentuan di dalam hukum mengenai hak penguasa menerapkan hukum.7 Masalah kejahatan merupakan bagian dari perubahan sosial dan bukan hal yang

      

6

Wawancara dengan Erwin Silalahi, SH, staf pidana umum Kejaksaan Negeri Medan 7

Surya, Ringkasan Hukum Pidana, www.docstoc.com, diakses pada hari Senin tanggal 05/02/2013


(15)

baru, pada prinsipnya meskipun tempat dan waktunya berlainan namun tetap dinilai sama. Peningkatan kejahatan dari waktu ke waktu tidak dapat dihindari, dikarenakan bentuk perusahaan sosial sebagai pendorongnya.

Setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak asasi sesuai dengan kemuliaan harkat dan martabatnya yang dilindungi oleh undang-undang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga dengan kata lain seseorang berhak dan wajib diberlakukan sebagai manusia yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain. Hak hidup setiap manusia tidak dapat dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaan apapun termasuk hak untuk tidak disiksa, tidak diperbudak, tidak diperjualbelikan dan tidak dipaksa untuk melakukan yang tidak disukai ataupun diperlakukan dengan tidak sesuai harkat, martabat dan kehormatan dirinya sebagai manusia seutuhnya.

Menurut Gatot (2000), menyatakan bahwa penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pelaku disebabkan oleh berbagai faktor antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup orang tua, telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku manusia. Selain itu kurang perhatian dan kasih sayang, asuhan dan bimbingan dan pembinaan dalam pengembangan sikap perilaku penyesuaian diri, serta pengawasan dari orang tua, wali atau orang tua asuh akan mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat yang lingkungannya yang kurang sehat dan merugikan perkembangan pribadinya.8

Sanksi pidana yang dijatuhkan bagi pelaku harus didasarkan pada kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan. Penjatuhan pidana atau tindakan merupakan suatu tindakan yang harus mempertanggungjawabkan dan bermanfaat bagi pelaku. Hakim wajib mempertimbangkan keadaan, keadaan rumah, keadaan lingkungan dan laporan pembimbing kemasyarakatan.

      

8

Supramono Gatot, Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta, 2000, hal. 158


(16)

Berdasarkan permasalahan di atas, penulis merasa tertarik untuk mencoba menguraikan masalah tindak pidana pembunuhan khususnya tindak pidana pembunuhan berencana dalam skripsi dengan judul

“Pertanggungjawaban Pidana Bagi Terdakwa Anak Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Sesuai Dengan Pasal 340 KUHP” untuk dikaji sesuai Putusan No. 3.682 / Pid.B / 2009 / PN.Mdn mengenai pertanggungjawaban pelaku pembunuhan berencana.

B. Permasalahan

1. Faktor-faktor apa sajakah yang dapat mempengaruhi timbulnya tindak pidana pembunuhan oleh anak sesuai pasal 340 KUHP?

2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi terdakwa anak yang melakukan tindak pidana pembunuhan menurut pasal 340 KUHP pada putusan Reg. No. 3.682 / Pid.B / 2009 / PN.Mdn?

3. Bagaimana akibat hukum terhadap pelaku tindak pidana sesuai pasal 340 KUHP pada kasus putusan Reg. No. 3.682 / Pid.B / 2009 / PN.Mdn?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi timbulnya tindak pidana pembunuhan oleh anak sesuai pasal 340 KUHP 2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana bagi terdakwa anak yang

melakukan tindak pidana pembunuhan menurut pasal 340 KUHP pada putusan Reg. No. 3.682 / Pid.B / 2009 / PN.Mdn.

3. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap pelaku tindak pidana sesuai pasal 340 KUHP pada kasus putusan Reg. No. 3.682 / Pid.B / 2009 / PN.Mdn.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara praktis dan teoritis yaitu :


(17)

1. Secara praktis

Memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan masalah pertanggungjawaban tindak pidana bagi terdakwa tindak pidana pembunuhan sesuai pasal 340 KUHP. 2. Secara Teoritis

a. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam menambah ilmu pengetahuan pada penegakan hukum positif yang lebih jelas pada pertanggungjawaban pidana terhadap terdakwa tindak pidana pembunuhan sesuai pasal 340 KUHP.

b. Bagi Instansi

Diharapkan dapat menggunakan Undang-Undang yang ada sesuai dengan aturan yang berlaku terhadap pertanggungjawaban pidana terhadap terdakwa tindak pidana pembunuhan sesuai pasal 340 KUHP.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh penulis terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan dan secara khusus di lingkungan Universitas Sumatera Utara, maka penelitian penulis mengenai “Pertanggungjawaban Pidana Bagi Terdakwa Anak Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Sesuai Dengan Pasal 340 KUHP” belum pernah dilakukan penelitian pada topik dan permasalahan yang sama.

Obyek penelitian yang dilakukan merupakan suatu kajian ilmiah dan belum pernah dianalisis secara komprehensif dalam suatu penelitian ilmiah sehingga penelitian ini merupakan sesuatu yang baru dan asli sesuai dengan azas-azas keilmuan yang jujur, rasional, obyektif dan terbuka sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan transparan maupun kritikan yang bersifat membangun sesuai dengan topik dan permasalahan.


(18)

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Pidana dan Tujuan Hukum Pidana

Masalah pendefenisian hukum pidana tidaklah semudah untuk merumuskanya seperti yang disangka orang semula.Istilah hukum pidana dapat diberikan definisi menurut sudut pandang seseorang darimana aspek hukum itu diperhatikan. Berikut beberapa definisi oleh para ahli tentang hukum pidana :

1) Wirjono Projodikoro, mengemukakan Hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana.Kata “pidana” berarti hal yang dipidanakan yaitu oleh instansi yang berkuasa yang dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakanya dan juga hal yang sehari-hari dilimpahkan.9

2) WLG. Lemaire, menyatakan bahwa Hukum pidana itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk UU) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem norma yang menentukan terhadap tindakan-tidakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu di mana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan bagaimana hukuman itu dapat dijatuhkan serta hukuman yang bagaimana yang dapat diajtuhka bagi tindakan-tidakan tersebut.10

3) WFC. Hattum, menyatakan Hukum pidana (positif) adalah suatu keseluruhan dari asas-asas dan peraturan-peraturan yang diikuti oleh Negara atau masyarakat hukum lainya, dimana mereka itu sebagai pemelihara dari ketertiban hukum umumtelah melarang dilakukanya tindakan-tindakan yang sifatnya melanggar hukum dan telah

      

9

Erdianto Efendi., Hukum Pidana Indonesia-Suatu Pengantar, Bandung, 2011, hlm. 7. 10


(19)

mengaitkan pelanggaran terhadap peraturan-peraturannya dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa hukuman.11

4) WPJ. Pompe, menyatakan Hukum pidana sama halnya dengan hukum tata Negara, hukum perdata dan lain-lain dari hukum, biasanya diarikan sebagai suatu keseluruhan dari peraturan-peraturan yang sedikit banyak bersifat umum yang abstrak dari keadan-keadan yang bersifat konkret.12 5) Kansil, mengemukakan Hukum pidana itu ialah hukum yang mengatur

tentang pelanggaran- pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.13

Hukum pidana memuat aturan-aturan hukum yang mengikat kepada perbuatan yang mengambil syarat-syarat tertentu berupa pidana. “Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan”.

a. Menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan atau yang dilarang dengan, disertai ancaman-ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah direncanakan.

c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan.14

Secara umum hukum pidana ialah hukum yang mengatur tentang perbuatan yang dilarang oleh undang-undang beserta ancaman hukuman yang dijatuhkan terhadap pelanggarnya. Arti hukum positif adalah hukum yang berlaku pada suatu waktu tertentu dalam suatu masyarakat tertentu. Jadi hukum positif adalah hukum pidana yang diberlakukan oleh suatu masyarakat pada saat ini.

      

11

Ibid., hal. 7. 12

Ibid.,hal.7. 13

C.S.T. Kansil.,Pokok-Pokok Hukum Pdana, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 3. 14


(20)

Dari definisi di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa hukum pidana bukanlah suatu hukum yang mengandung norma-norma hukum yang mengenai kepentingan hukum. Adapun yang termasuk dalam pengertian kepentingan umum ialah:

1. Badan dan peraturan perundangan negara,seperti negara, lembaga-lembaga negara, pejabat negara,pegawai negeri, undang-undang, peraturan pemerintah, dan sebagainya

2. Kepentingan hukum tiap manusia, yaitu jiwa,raga/tubuh, kemerdekaan, kehormatan, dan hak milik/ harta benda

Hukum pidana tidak membuat peraturan-peraturan yang baru, melainkan mengambil dari peraturan-peraturan hukum yang lain yang bersifat kepentingan hukum, memang sebenarnya peraturan tentang jiwa, raga, milik, dan sebagainya, dari tiap orang telah termasuk hukum perdata hal pembunuhan, pencurian, dan sebagainya antara orang-orang biasa, semata-mata di urus oleh pengadilan pidana.kita mengetahui pengadilan perdata baru bertindak kalau sudah ada pengaduan dari pihak yang menjadi korban. Orang itu sendirilah yag harus mengurus perkaranya ke dan di uka pengadilan perdata. Sedangkan dalam hukum pidana yang bertindak dan dan yang mengurus ke perkara ke dan di muka pengadilan pidana, bukanlah pihak korban sendiri melainkan alat-alat kekuasaan negara seperti polisi,jaksa dan hakim.

Pidana adalah hukuman berupa siksaan yang merupakan keistimewaan dan unsur yang terpenting dalam hukum pidana.Kita telah mengetahui, bahwa sifat dari hukum ialah memaksa dan dapat dipaksakan; dan paksaan itu perlu untuk menjaga tertibnya, diturutnya peraturan-peraturan hukum atau untuk memaksa si perusak untuk memperbaiki keadaan yang dirusaknya atau mengganti kerugian yang disebabkannya. Pokoknya untuk menjaga dan memperbaiki keseimbangan atau keadaan yang semula.Tapi dalam hukum pidana paksaan itu di sertai suatu siksaan atau penderitaan yang berupa hukuman. Hukuman itu bermacam-macam jenisnya. Menurut KUHP pasal 10 hukuman atau pidana terdiri atas:15

      

15


(21)

a. Pidana (hukuman) pokok (utama): 1.) Pidana mati

2.) Pidana penjara :

a.) Pidana seumur hidup

b.) Pidana penjara selama waktu tertentu (setinggi-tingginya 20 tahun dan sekurang-kurangnya 1 tahun)

3.) Pidana kurungan, (sekurang-kurangnya 1 hari dan setinggi-tingginya 1 tahun)

4.) Pidana denda 5.) Pidana tutup

b. Pidana ( hukuman ) tambahan : 2.) Pencabutan hak-hak tertentu

3.) Perampasan (penyitaan) barang-barang tertentu 4.) Pengumuman keputusan tertentu

Hukman-hukuman itu dipandang perlu agar kepentingan umum dapat lebih terjamin keselamatannya.

2. Perbuatan Pidana

Perbuatan pidana ialah perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menimbulkan peristiwa pidana atau perbuatan yang melanggar hukum pidana dan diancam dengan hukuman. Prof. Muljatno, SH16 memberikan rumusan perbuatan pidana dalam arti suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Adapun perbuatan pidana (delik pidana) terdapat beberapa macam, yaitu:17

a) Delik formal, yaitu perbuatan pidana yang sudah dilakukan dan benar-benar melanggar ketentuan yang telah dirumuskan dalam undang-undang yang bersangkutan. Contoh mencuri

b) Delik material, yaitu suatu perbuatan pidana yang dilarang, dalam artian akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut. Contoh pembunuhan

c) Delik dolus, yaitu suatu perbuatan pidan yang dilakukan dengan sengaja. Contoh pembunuhan berencana

      

16

Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, hal.130 17


(22)

d) Delik culpa, yaitu perbuatan pidana yang dilakukan dengan tidak sengaja atau kelalaian, yang mengakibatkan matinya seseorang

e) Delik aduan, yaitu suatu perbuatan pidana yang merupakan pengaduan orang lain. Contoh penghinaan

f) Delik politik, yaitu perbuatan pidana yang ditujukan kepada keamanan negara baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam hal ini delik politik lebih cenderung menyangkut urusan masalah politik kenegaraan.

a. Jenis Pemidanaan

Jika berdasarkan ketentuan KUHP mengenai macam sangsi pidana atau jenis pemidanaan terdapat dua macam hukum pidana sebagaimana dijelaskan dalam pasal 10 bagian buku I, yaitu: Pidana Pokok (Hoofd Straffen) dan Pidana Tambahan (BijkomendeStraffen).

1. Pidana Pokok

Pidana pokok ialah hukuman yang dapat dijatuhkan terlepas dari hukuman lain. Oleh karena itu pidana pokok dapat dijatuhkan kepada pelanggar dengan tersendiri dan atau dapat dijatuhkan bersama dengan pidana tambahan.Akan tetapi antara pidana pokok tidak dapat dijatuhkan bersama, sebab sistem pidana KHUP menganut suatu asas bahwa “Tidak ada penggabungan dari pidana pokok”.

Pidana pokok atau hukuman pokok terdiri dari empat macam, yaitu: a) Hukuman Mati

b) Hukuman Penjara c) Hukuman Kurungan d) Hukuman Denda

Adapun sedikit penjelasan dari macam-macam pidana pokok adalah sebagai berikut:

a) Hukuman mati

Sesuai dengan yang tercantum pada redaksi KHUP pasal 11 bahwa pidana mati dilakukan oleh algojo ditempat gantungan dengan menjeratkan tali yang diikatkan di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri.


(23)

b) Huk uman penjara

Penjara adalah suatu tempat yang khusus dibuat dan digunakan para terhukum yang telah dijatuhkan oleh seorang hakim. Pidana penjara dilakukan dengan mengucilkan terpidana dari pergaulan sosial pada umumnya. Masa pidana penjara bisa berupa pidana seumur hidup dan selama waktu tertentu atau hukuman terbatas(KUHP pasal 12). Hukuman terbatas tersebut paling sedikit satu hari dan paling lama 15 tahun dan bisa menjadi 20 tahun sesuai dengan sebab-sebab yang tercantum pada KUHP pasal 12 ayat 3.

c) Hukuman kurungan

Hukuman kurungan hampir sama dengan hukuman penjara. Perbedaanya terletak pada sifat dan ancaman hukuman yang lebih ringan. Dan juga terletak dalam peraturan mengenai cara memperlakukan si terhukum/terpidana.

Seseorang yang mendapat hukuman kurungan mempunyai ciri sebagai berikut :

a. Pekerjaan harus lebih ringan (pasal 19 KUHP)

b. Hukuman harus dilaksanakan pada tempat tinggal terpidana (pasal 21 KUHP)

c. Terpidana dapat meringankan hukumannya dengan biaya sendiri menurut tata tertib rumah penjara dan lain sebagainya. Adapun lamanya kurungan tidak lebih dari satu tahun empat bulan serta tidak kurang dari satu hari (pasal 18).

d) Hukuman denda

Hukuman kurungan telah tercantum dalam pasal 30-33 KUHP. Pidana denda dapat dijadikan sebagai pengganti pidana kurungan dan sebaliknya pidana kurungan dapat dijdikan pengganti pidana denda. Tentang banyaknya pidana denda tidak ada maksimum melainkan hanya minimum yakni tiga rupiah tujuh puluh lima sen (pasal 30).


(24)

2. Pidana Tambahan

Pidana tambahan ialah hukuman yang hanya dapat dijatuhkan bersama dengan hukuman pokok. Jadi hukuman tambahan tidak bisa berdiri sendiri artinya hukuman tambahan tidak bisa dijatuhkan terhadap pidana tanpa adanya hukuman pokok. Hukuman tambahan terdiri dari 3 (tiga) macam, yaitu:

a) Pencabutan beberapa hak tertentu

Yang dimaksud adalah pencabutan hak-hak tertentu oleh negara kepada terpidana yang dianggap telah melakukan kejahatan terhadap negara.Misal pencabutan hak untuk dipilih dan memilih, hak jadi PNS dan sebagainya.

b) Perampasan barang-barang tertentu

Pidana dalam hal ini biasanya berupa perampasan barang-barang yang berhubungan dengan kejahatan yang dilakukan terpidana. Contoh perampasan sabu bagi terpidana pengedar sabu dan lain sebagainya. c) Pengumuman putusan hakim

Hukuman ini biasanya hakim menyuruh agar putusannya secara khusus diumumkan lewat media masa seperti televisi, radio maupun surat kabar.

3. Pidana Bersyarat

Selain pidana pokok dan tambahan ada juga pidana bersyarat.18Pidana bersyarat atau yang disebut “voorwaardelijke veroordeling” ialah putusan hakim yang mengandung suatu pidana yang dijatuhkan pada terpidana tapi ekskusinya ditunda dengan digantungkan pada suatu syarat. Hal ini berarti terpidana tidak akan menjalani hukuman jika tidak melanggar syarat yang telah diberikan di waktu tertentu. Terpidana bersyarat harus mengindahkan syarat-syarat yang ditentukan selama dalam masa percobaan.Masa percobaan ini boleh melebihi 2 tahun.

      

18


(25)

Adapun pidana bersyarat dapat dijatuhkan dalam hal: 1. Penjatuhan hal pidana setinggi-tingginya 1 tahun, 2. Penjatuhan pidana kurungan, dan 3. Penjatuhan pidana denda (kecuali pelanggaran terhadap pajak negara)

3. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana adalah tindakan yang dinilai melanggar ketentuan KUHP. Maksudnya ialah dimana bila ada seseorang melakukan tindakan melanggar hukum maka orang tersebut dapat dikenai salah satu pasal dalam KUHP, yang dimaksud pelanggaran adalah tindakan menurut hukum yang berlaku tidak boleh dilakukannya misalnya melakukan tindakan penadahan. Dapat dimengerti apa yang dimaksudkan dengan istilah “tindak pidana” atau dalam bahasa Belanda

strafbaar feit yang sebenarnya istilah resmi dalam Strafwetboek atau Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana yang sekarang berlaku Indonesia, ada istilah dalam bahasa lain yaitu delict. Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Dan pelaku ini dapat dilakukan merupakan “subyek” tindak pidana.19

Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum Belanda yaitu “strafbaarfeit”.Strafbaarfeit dari dua kata yakni strafbaar dan feit, yang mana strafbaar diterjemahkan dengan dapat dihukum, sedangkan kata feit diterjemahkan dengan kenyataan.20 Menurut Simons dalam merumuskan

strafbaarfeit itu adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.21

Tindak pidana atau perbuatan pidana merupakan suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana. Hal ini sebagaimana pendapat Moeljatno yang menyatakan :22

      

19

Prodjodikoro Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT.Eresco, Bandung, 2000, hal. 55

20

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 5 21

Ibid., hal. 5 22


(26)

“Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang mana disertai sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang hukum dan diancam pidana asal saja dalam hal itu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan (yaitu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan pada orang yang menimbulkan kejahatan” Menurut Pompe straafbaarfeit, secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu : “Pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku itu adalah penting demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”. Hukum pidana dapat didefinisikan sebagai berikut : aturan hukum yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana (defenisi dari

Mezger).

Jadi yang dasarnya hukum pidana berpokok pada 2 (dua) hal, yaitu :

1) Pidana adalah perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Dengan “perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu” itu dimaksudkan perbuatan yang dilakukan oleh orang, yang memungkinkan adanya pemberian pidana. Perbuatan semacam itu dapat disebut “perbuatan yang dapat dipidana” atau disingkat perbuatan jahat.

2) Pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebeankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.23

Tindak pidana menurut Prof. Moeljatno, menganggap lebih tepat dipergunakan istilah : perbuatan pidana dan pertanggungan jawab dalam hukum pidana, perbuatan itu ialah keadaan yang dibuat oleh seseorang atau barang sesuatu yang dilakukan. Perbuatan ini menunjukkan baik pada akibatnya maupun yang menimbulkan akibat. Jadi mempunyai makna yang abstrak.24

      

23

Sudarto, Hukum Pidana I, Penerbit Alumni, Bandung, 2009, hal. 9 24


(27)

4. Macam-Macam Tindak Pidana

a. Tindak Pidana Umum

Tindak pidana dapat dibagi-bagi dengan menggunakan berbagai kriteria. Pembagian ini berhubungan erat dengan berat ringannya ancaman, sifat, bentuk dan perumusan suatu tindak pidana. Pembedaan ini erat pula hubungannya dengan ajaran-ajaran umum hukum pidana. Dengan membagi sedemikian itu sering juga dihubungkan dengan akibat-akibat hukum yang penting.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat dengan KUHP) yang berlaku sekarang diadakan tiga macam pembagian title (bab), yaitu buku I tentang peraturan umum, buku ke II tentang kejahatan, dan yang ditempatkan dalam buku ke-III tentang pelanggaran.

Buku I yang dinamakan peraturan umum adalah : Percobaan.

Lingkungan berlakunya ketentuan pidana dalam Undang-Undang. Hukuman-hukuman.

Pengecualian, pengurangan, dan penambahan hukuman. Turut serta melakukan perbuatan yang dapat di hukum. Gabungan perbuatan yang dapat dihukum.

Memasukkan dan mencabut pengaduan dalam perkara kejahatan, yang hanya boleh dituntut atas pengaduan.

Gugurnya hak menuntut hukuman, dan gugurnya hukuman. Arti beberapa sebutan dalam kitab Undang-Undang.

Buku II yang dinamakan kejahatan adalah : Kejahatan terhadap keamanan Negara. Kejahatan terhadap ketertiban umum.

Kejahatan melanggar martabat kedudukan Presiden dan wakil Presiden. Kejahatan terhadap Negara yang bersahabat dan terhadap kepala dan wakil

Negara yang bersahabat. Perkelahian satu lawan satu.

Kejahatan yang mendatangkan bahaya bagi keamanan umum, manusia atau barang.

Kejahatan terhadap kekuasaan umum. Sumpah palsu dan keterangan palsu.

Memalsukan mata uang dan uang kertas Negara serta uang kertas bank. Memalsukan materai dan merek.

Memalsukan surat-surat,

Kejahatan terhadap kedudukan warga. Kejahatan kesopanan.


(28)

Penghinaan. Membuka rahasia.

Kejahatan terhadap kemerdekaan seseorang. Kejahatan terhadap jiwa orang.

Penganiayaan.

Mengakibatkan orang mati karena kesalahannya. Pencurian.

Pemerasan dan ancaman. Penggelapan.

Penipuan.

Menghancurkan dan merusak barang. Kejahatan pelayaran.

Kejahatan yang dilakukan dalam jabatan. Pertolongan (jahat).

Kejahatan Penerbangan, dan kejahatan terhadap sarana / penerbangan. Buku III yang dinamakan Pelanggaran adalah :

Pelanggaran keamanan umum bagi orang lain dan kesehatan umum. Pelanggaran tentang ketertiban umum.

Pelanggaran tentang kekuasaan umum. Pelanggaran tentang kedudukan warga.

Pelanggaran tentang orang yang perlu ditolong. Pelanggaran tentang kesopanan.

Pelanggaran dilakukan dalam jabatan. Pelanggaran polisi daerah.

Pelanggaran dalam pelayaran. b. Tindak Pidana Khusus

Tindak pidana khusus ini dikategorikan tindak pidana yang sifatnya tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana namun ada aturan tersendiri yang mengatur di dalam tindak pidana tersebut. Tindak pidana khusus ini meliputi antara lain :

1. Terorisme.

2. Narkotika dan Psykotropika 3. Korupsi.

4. Perlindungan anak.

5. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). 6. Militer.

7. Money Laundry.


(29)

c. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Unsur-unsur yang terkandung di dalam tindak pidana di Indonesia menurut Simons antara lain sebagai berikut :

a. Perbuatan manusia. b. Diancam dengan pidana. c. Melawan hukum.

d. Dilakukan dengan kesalahan.

e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab.

d. Asas-Asas Hukum Pidana

Asas-asas hukum pidana terdiri dari beberapa asas yaitu sebagai berikut : Penafsiran peraturan-peraturan pidana itu hanya berdasarkan arti kata-kata, yang terdapat di dalam aturan pidana itu saja. Tidak ada hukuman jika tidak ada kesalahan. Hukuman pidana menjatuhkan sanksinya, yaitu hukuman jika di langgar. Yang dapat di hukum hanya orang biasa saja, sedangkan badan hukum tidak. Asas Teritorial Ioaliteit yaitu baik orang Indonesia, maupun orang asing yang telah melakukan kejahatan di dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, diadili oleh hakim Indonesia, di dalam asas ini orang menitikberatkan pada dimana tindak pidana itu telah dilakukan.

Asas Personaliteit aktif yaitu setiap orang Indonesia, baik ia ada di Indonesia, ataupun di luar Indonesia, dikenakan hukum pidana Indonesia, di mana saja ia melakukan kejahatan.

Asas Personaliteitpasif yaitu hukum pidana itu berlaku di mana saja dan terhadap siapa saja, jika kepentingan-kepentingan nasional tertentu dilanggar atau dinodai. Asas Universaliteit yaitu tiap-tiap Negara dengan hukum pidananya berkewajiban untuk menjaga dan memelihara jangan sampai ketertiban di seluruh dunia itu dilanggar.


(30)

e. Asas-Asas Hukum Acara Pidana

Terdapat asas yang terkandung dalam Hukum Acara Pidana, asas-asas tersebut terkandung di dalam Hukum Acara Pidana yaitu :

Asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan. Asas Praduga Tidak Bersalah.

Asas Oportunitas (suatu asas yang berlaku di negeri ini sekalipun sebagai hukum tak tertulis yang berlaku)25

Pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum. Semua orang diberlakukan sama di depan Hakim. Asas peradilan dilakukan oleh hakim karena jabatannya.

Asas Accusatoir (sistem pemeriksaan perkara seperti ini dimana kedudukan orang yang menuduh dan orang yang dituduh dimuka pemeriksaan sama tingginya) dan Inquisitoir (sistem penuntutan yang berat sebelah, dimana kedudukan tertuduh dan yang menuduh tidak sama tingginya dan tidak seimbang itu dalam ilmu pengetahuan)26

Tersangka/terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum.27 Pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan.28

5. Pertanggungjawaban Pidana

Berbicara mengenai pertanggungjawaban pidana maka akan selalu mengaitkannya dengan adanya kesalahan yang melanggar larangan pidana dan kemampuan bertanggung jawab, tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu (apabila terjadi apa-apa, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya). Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana.

Namun orang yang melakukan tindak pidana belum tentu dijatuhi pidana sebagaimana yang diancamkan, hal ini tergantung pada “apakah dalam melakukan perbuatan ini orang tersebut mempunyai kesalahan”, yang merujuk kepada asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana : “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder schuld; actus non facit reum nisi mens sir rea)”. Asas ini memang tidak diatur dalam hukum tertulis tapi dalam hukum tidak tertulis yang juga berlaku di Indonesia.

      

25

C.S.T Kansil dan Christine S.T.Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Cetakan ke-1, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, hal. 15

26

R. Soesilo, Hukum Acara Pidana, Politea, Bogor, 1982, hal. 14-15 27

makalah-hukum-pidana.blogspot.com, diakses pada hari Kamis, 13 Februari 2013 28


(31)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ”tanggung jawab” adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu (kalau terjadi apa-apa, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya). Pidana adalah kejahatan (tentang pembunuhan, perampokan, dsb)29. Hal pertama yang perlu diketahui mengenai pertanggungjawaban pidana adalah bahwa pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindakan pidana. Moeljatno mengatakan, orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau tidak melakukan perbuatan pidana30. Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana pertama-tama tergantung pada dilakukannya tindak pidana.

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut juga dengan

toerekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada

pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk lebih memahami tentang pertanggungjawaban dalam hukum pidana maka kita harus mengetahui apa sebenarnya arti kesalahan itu:

“orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat dicela kareananya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu mengetahui makan (jelek) perbuatan tersebut, dengan kata lain perbuatan tersebut memang sengaja dialkukan. Penjelasan arti kesalahan, kemampuan bertanggung jawab dengan singkat diterangkan sebagai keadaan batin orang yang normal dan sehat.”

Dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada ketentuan tentang arti kemampuan bertanggungjawab, hanya dijelaskan mengenai kemampuan bertanggungjawab, hanya dijelaskan mengenai kemampuan bertanggung jawab yaitu dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP :

“Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit, tidak dapat dipidana.”

      

29

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1991, hal. 1006 30


(32)

Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada soal, apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuaan pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka tentu dia akan dipidana. Tetapi, manakala dia tidak mempunyai kesalahan walaupun dia telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, dia tentu tidak di pidana. Asas yang tidak tertulis “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan” merupakan dasar daripada dipidananya si pembuat.31 Jadi perbuatan yang tercela oleh masyarakat itu dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya, artinya celaan yang objektif terhadap perbuatan itu kemudian diteruskan kepada si terdakwa.

Dengan demikian nyatalah bahwa hal dipidana atau tidaknya si pembuat bukanlah bergantung pada apakah ada perbuatan pidana atau tidak, melainkan pada apakah siterdakwa tercela atau tidak karena tidak melakukan tindak pidana.32 Oleh karena itu dikatakan bahwa dasar daripada adanya tindak pidana adalah asas legaliteit, yaitu asas yang menentukan bahwa sesuatu perbuatan adalah terlarang dan diancam dengan pidana barangsiapa yang melakukannya, sedangkan dasar daripada dipidananya si pembuat adalah asas”tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Dapat dikatakan orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana kalau tidak melakukan perbuatan pidana. Tetapi meskipun dia melakukan perbuatan pidana, tidaklah selalu dia dapat dipidana. Orang yang melakukan tindak pidana akan dipidana, apabila dia mempunyai kesalahan.

Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasar pada kesalahan pembuat (liability based on fault), dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur suatu tindak pidana. Dengan demikian, kesalahan ditempatkan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana dan tidak hanya dipandang sekedar unsur mental dalam tindak pidana.33 Konsepsi yang menempatkan kesalahan sebagai

      

31

Prof.Mr.Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hal 75

32

Ibid, hal .76 33

Chairul Huda,Hukum Internasional, Pengantar Hukum Bangsa-Bangsa,Djambatan, Jakarta, hal 4


(33)

faktor penentu pertanggungjawaban pidana, juga dapat ditemukan dalam

common law sistem, berlaku maksim latin yaitu octus non est reus, nisi mens sit

rea. Suatu kelakukan tidak dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan tanpa

kehendak jahat, pada satu sisi doktrin ini menyebabkan adanya mens rea

merupakan suatu keharusan dalam tindak pidana. Pada sisi lain, hal ini menegaskan bahwa untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang karena melakukan tindak pidana, sangat ditentukan oleh adanya mens rea pada diri orang tersebut.

Dengan demikian, mens rea yang dalam hal ini disinonimkan dengan

quilty of mind atau vicious will, merupakan hal yang menenukan

pertanggungjawaban pembuat pidana. Dilihat dari sisi ini, penggunaan dktrin

mens rea dalam common law system, pada hakikatnya sejalan dengan penerapan asas tiada pidana tanpa kesalahan dalam civil law system. Bertitik tolak pada asas tiada pidana tanpa kesalahan, Moeljatno mengemukakan suatu pandangan yang dalam hukum pidana Indonesia dikenal dengan ajaran dualistis, pada pokoknya ajaran ini memisahkan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana ini hanya menyangkut persoalan “perbuatan” sedangkan masalah apakah orang yang melakukannya kemudian dipertanggungjawabkan, adalah persoalan lain.34

Dalam banyak kejadian, tindak pidana dapat terjadi sekalipun dilihat dari batin terdakwa sama sekali tidak patut dicelakan terhadapnya. Dengan kata lain, walaupun telah melakukan tindak pidana, tetapi pembuatnya tidak dililiputi kesalahan dan karenanya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Melakukan suatu tindak pidana, tidak selalu berarti pembuatnya bersalah atas hal itu.35

Untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana diperlukan syarat-syarat untuk dapat mengenakan pidana terhadapnya, karena melakukan tindak pidana tersebut. Dengan demikian, selain telah melakukan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana hanya dapat dituntu ketika tindak pidana dilakukan dengan kesalahan. Dipisahkannya tindak pidana dan

      

34

Chairul Huda, Ibid, hal. 5 35


(34)

pertanggungjawaban pidana menyebabkan kesalahan dikeluarkan dari unsur tindak pidana dan ditempatkan sebagai faktor yang menentukan dalam pertanggungjawaban pidana.

Namun demikian, bagaimana konsepsi ini diterapkan dalam praktik hukum perlu pengkajian lebih lanju. Pertanggungjawaban pidana terutama dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan tugas hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Oleh karena iu, pengkajian mengenai teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawban pidana, pertama-tama dilakukan dengan menelusuri penerapan dan perkembangannya dalam putusan pengadilan. Dengan kata lain, konkretisasi sesungguhnya dari penerapan dari teori tersebut terdapat dalam putusan pengadilan.

Seseorang mempunyai kesalahan, apabila pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat, dia dapat dicela oleh karennya, sebab dianggap dapat berbuat lain jika memang tidak ingin berbuat demikian. Dilihat dari segi masyarakat, ini menunjukkan pandangan yang normatif menganai kesalahan. Seperti diketahui mengenai kesalahan ini dulu orang berpandangan psychologisch. Tetapi kemudian pandangan ini ditinggalkan orang dan orang lalu berpandangan normatif. Ada atau tidaknya kesalahan tidaklah ditentukan bagaimana dalam keadaan senyatanya batin dari terdakwa, tetapi bergantung pada bagaimanakah penilaian hukum mengenai keadaan batin itu, apakah dinilai ada atau tidak ada kesalahan.

Pompe menyingkat kesalahan ini dengan dapat dicela (verwijbaarheid)

dan dapat dihindari (vermijdbaarheid) perbuatan yang dilakukan36. Pompe mengatakan, menurut akibatnya, hal ini adalah dapat dicela, menurut hakikatnya dia adalah dapat dihindarinya kelakukan melawan hukum itu. Karena kehendak si pembuat itu terlihat pada kelakuan yang bersifat melawan hukum, maka ini dapat dicelakan padanya. Sampai sekian jauh, maka kesalahan menyebabkan atau mempunyai akibat dapat dicela. Celaan ini dimungkinkan karena si pembuat itu bisa berusaha, agar dia tidak berbuat berlawanan dengan hukum oleh karena dia juga dapat berbuat sesuai dengan hukum.

      

36


(35)

Pelanggaran atas norma itu bergantung pada kehendaknya, itu dapat dihindari. Berarti kesalahan pada hakikatnya dapat dihindari. Menurut Pompe, kelakuan adalah suatu kejadian yang ditimbulkan oleh seseorang yang nampak keluar dan yang diarahkan kepada tujuan yang menjadi objek hukum. Simons mengatakan bahwa kesalahan adalah keadaan psychis orang yang melakukan perbuatan dan hubungannya dengan perbuatan yang dilakukan, yang sedemikian rupa sehingga orang itu dapat dicela karena perbuatan tadi.37Jadi yang harus diperhatikan adalah :

a. Keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan itu.

b. Hubungan antara keadaan batin itu dengan perbuatan yang dilakukan. Kedua hal inilah yang harus diperhatikan, dimana diantara keduanya terjalin erat satu dengan yang lainnya, yang kemudian dinamakan kesalahan. Hal yang merpakan kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan. Mengenai keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan, dalam ilmu hukum pidana merupakan persoalan yang lazim disebut dengan kemampuan bertanggung jawab. Sedangkan mengenai hubungan antara batin itu dengan perbuatan yang dilakukan, merupakan masalah kesengajaan, kealpaan serta alasan pemaaf, sehingga mampu bertanggungjawab, mempunyai kesengajaan atau kealpaan serta tidak adanya alasan pemaaf merupakan unsur-unsur dari kesalahan.

Ketiga unsur ini merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Yang satu bergantung pada yang lain, dalam arti demikianlah urut-urutannya dan yang disebut kemudian bergantung pada yang disebutkan terlebih dahulu. Konkritnya tidaklah mungkin dapat dipikirkan tentang adanya kesengajaan atau kealpaan, apabila orang itu tidak mampu bertanggung jawab. Begitu pula tidak dapat dipikirkan mengenai alasan pemaaf, apabila orang tidak mampu bretanggung jawab dan tidak pula adanya kesengajaan ataupun kealpaan.

Selanjutnya tidak ada gunanya untuk mempertanggungjawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila perbuatannya itu sendiri tidaklah bersifat melawan hukum, maka dapat dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian semua unsur-unsur

      

37


(36)

kesalahan tadi harus dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa maka haruslah :

a. Melakukan perbuatan pidana b. Mampu bertanggung jawab

c. Dengan kesengajaan atau kealpaan d. Tidak adanya alasan pemaaf

Telah dikatakan di atas bahwa mengenai keadaan batin dari si terdakwa dalam ilmu hukum pidana merupakan kemampuan bertanggung jawab, apakah yang menyebabkan maka hal ini merupakan suatu masalah ? Dalam hukum positif kita, yaitu dalam Pasal 44 KUHP dinyatakan bahwa : “Apabila yang melakukan perbuatan pidana itu tidak dapat dipertanggungjawabkan disebabkan karena pertumbuhan yang cacat atau adanya gangguan karena penyakit daripada jiwanya maka orang itu tidak dipidana. “

Jadi seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana, tetapi tidak dapat dipertanggungjawabkan karena hal-hal yang disebutkan dalam Pasal 44 KUHP, maka tidak dapat dipidana. Ketentuan dalam hukum positif ini sesuai dengan apa yang telah disebutkan dalam teori, dia dapat dicela oleh karenanya, sebab dianggap dapat berbuat lain, jika memang tidak diinginkan. Demikian yang disebut mengenai oran gyang mampu bertanggungjawab. Orang yang tidak mampu bertanggung jawab tentu saja tidak sepantasnya dianggap dapat berbuat seperti yang diharapkan oleh hukum ataupun pikiran yang sehat.

Prof. Mr. Roeslan Saleh mengatakan bahwa orang yang mampu bertanggung-jawab itu harus memenuhi 3 (tiga) syarat, yaitu : 38

a. Dapat menginsyafi makna yang senyatanya dari perbuatannya.

b. Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patur dalam pergaulan masyarakat.

c. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan.

      

38


(37)

KUHP memberikan defenisi ketidakmampuan bertanggung jawab ditandai oleh salah satu dari dua hal yaitu jika cacat atau jiwa yang terganggu karena penyakit. Tidak mampu bertanggungjawab adalah ketidaknormalan keadaan batin pembuat karena cacat jiwa atau gangguan penyakit jiwa. Sehingga padanya tidak memenuhi persyaratan untuk diperiksa. Dengan kata lain seseorang dipandang bertanggungjawab jika tidak ditemukan keadaan-keadaan tertentu. Maka dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian pertanggung-jawaban yaitu kemampuan seseorang utnuk menerima resiko dari perbuatan yang diperbuatnya sesuai dengan undang-undang.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan adanya kemampuan bertanggung jawab, ada dua faktor yang harus dipenuhi yaitu faktor akal dan faktor kehendak. Akal yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan, orang yang akalnya tidak sehat tidak dapat diharapkan menentukan kehendaknya sesuai dengan yang dikehendaki oleh hukum, sedangkan orang yang akalnya sehat dapat diharapkan menentukan kehendaknya sesuai dengan yang dikehendaki oleh hukum. Kehendak yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana diperbolehkan dan mana yang tidak.

6. Pengertian Anak dan Batas Usia Anak

Anak merupakan bagian dari generasi muda yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus. Oleh karena itu anak memerlukan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi selaras, dan seimbang. Dalam hukum positif di Indonesia anak diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjarig / person under age), orang yang dibawah umur/keadaan dibwah umur (minderjarig heid / inferiority) atau biasa disebut juga sebagai anak yang berada dibawah pengawasan wali (minderjarige under voordij).

Yang dimaksud dengan anak adalah mereka yang belum dewasa dan yang menjadi dewasa karena peraturan tertentu mental, fisik masih belum


(38)

dewasa).39 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia menjabarkan pengertian tentang anak ialah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. Pengertian tersebut hampir sama dengan pengertian anak yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 1 Ayat (1) tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih di dalam kandungan

Anak merupakan seseorang yang dilahirkan dari sebuah hubungan antara pria dan wanita. Hubungan antara pria dan wanita ini jika terikat dalam suatu ikatan perkawinan lazimnya disebut sebagai suami istri. Anak yang dilahirkan dari suatu ikatan perkawinan yang sah statusnya disebut sebagai anak sah. Namun ada juga anak yang dilahirkan di luar dari suatu ikatan perkawinan, anak yang dilahirkan bukan dari suatu ikatan perkawinan yang sah statusnya biasanya disebut sebagai anak tidak sah atau lebih konkritnya biasa disebut sebagai anak haram jaddah.

Pengertian anak itu sendiri jika kita tinjau lebih lanjut dari segi usia kronologis menurut hukum dapat berbeda-beda tergantung tampat, waktu dan untuk keperluan apa, hal ini juga akan mempengaruhi batasan yang digunakan untuk menentukan umur anak. Perbedaan pengertian anak tersebut dapat kita lihat pada tiap aturan perundang-undangan yang ada pada saat ini. Misalnya pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.

Menurut R.A Koesno, yang dimaksud dengan anak adalah manusia yang masih muda dalam umur, muda jiwa dan pengalaman hidupnya karena lingkungan sekitar. Shanty Dellyana berpendapat bahwa anak adalah mereka yang belum

      

39

Shanty Dellyana, Wanita dan Anak di Mata Hukum, (Liberty, Yogyakarta, 1990, hal.50.


(39)

dewasa dan yang menjadi dewasa karena peraturan tertentu (mental dan fisik yang belum dewasa).40

Beberapa negara memberikan definisi seseorang dikatakan anak atau dewasa dilihat dari umur dan aktifitas atau kemampuan berpikirnya. Di negara Inggris, pertanggungjawaban pidana diberikan kepada anak berusia 10 (sepuluh) tahun tetapi tidak untuk keikutsertaan dalam politik. Anak baru dapat ikut atau mempunyai hak politik apabila telah berusia di atas 18 (delapan belas) tahun41

Di negara Inggris, definisi anak dari nol tahun sampai 18 (delapan belas) tahun, dengan asumsi dalam interval usia tersebut terdapat perbedaan aktifitas dan pola pikir anak-anak (childhood) dan dewasa (adulthood). Interval tertentu terjadi perkembangan fisik, emosional, dan intelektual termasuk kemampuan

(skill) dan kompetensi yang menuju pada kemantapan pada saat kedewasaan

(adulthood).42 Perbedaan pengertian anak pada setiap Negara, dikarenakan

adanya perbedaan pengaruh social perkembangan anak di setiap Negara. Aktifitas sosial dan budaya serta ekonomi disebuah negara mempunyai pengaruh yang besar terhadap tingkat kedewasaan seorang anak.43

Menurut Nicholas McBala dalam bukunya Juvenile Justice System

mengatakan anak yaitu periode diantara kelahiran dan permulaan kedewasaan. Masa ini merupakan masa perkembangan hidup, juga masa dalam keterbatasan kemampuan termasuk untuk membahayakan orang lain.44

Pengertian anak pada Pasal 1 Convention On The Rights of The Child,

anak diartikan sebagai setiap orang dibawah usia 18 tahun, kecuali berdasarkan hukum yang berlaku terhadap anak, kedewasaan telah diperoleh sebelumnya. Pengertian anak yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 1 ayat (1) tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih di dalam kandungan.

      

40

Ibid, hal.50. 41

Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, Refki Aditama, Bandung, 2009, hal. 34-35.

42

Ibid, hal. 35 43

Ibid, hal. 36 44


(40)

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pengertian anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum pernah kawin. Menurut Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang dimaksud dengan anak nakal adalah:

a. Anak yang melakukan tindak pidana, atau

b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak, baik menurut perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, (selanjutnya disingkat dengan Undang Undang Pengadilan Anak/UUPA). Ketentuan pasal 1 angka 1, pasal 2 angka 2 dan 2b menyatakan secara jelas status dan kedudukan anak yang menyebutkan bahwa :

Pasal 1 angka 1 UU Pengadilan Anak

Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur delapan tahun, tetapi belum mencapai umur delapan belas tahun dan belum pernah kawin.45

Pasal 1 angka 2a UU Pengadilan Anak a. Anak yang melakukan tindak pidana atau

b. Anak melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Anak lebih diutamakan dalam pemahaman terhadap hak-hak anak yang harus dilindungi, karena secara kodrat memiliki substansi yang lemah (kurang) dan di dalam hukum dipandang sebagai subyek hukum yang ditanamkan dari bentuk pertanggungjawaban, sebagaimana layaknya seorang subyek hukum yang normal. Pengertian anak dalam lapangan hukum pidana menimbulkan aspek hukum positif terhadap proses normalisasi anak dari perilaku menyimpang

      

45

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pengadilan Anak, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, hal. 16


(41)

(kejahatan dan pelanggaran pidana) untuk membuat kepribadian dan tanggungjawab yang akhirnya anak tersebut berhak atas kesejahteraan yang layak dan masa depan yang lebih baik. UU Pengadilan Anak.

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Batas usia anak memberikan pengelompokkan terhadap seseorang untuk dapat disebut sebagai seorang anak. Yang dimaksud dengan batas usia anak adalah pengelompokkan usia maksimal sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum sehingga anak tersebut beralih status menjadi usia dewasa atau menjadi seorang subyek hukum yang dapat bertanggungjawab secara mandiri terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan anak itu. Batas usia anak dalam pengertian hukum pidana dirumuskan secara jelas dalam ketentuan hukum yang terdapat dalam Undang-Undang Pengadilan Anak pada pasal 1 angka 1 yaitu :

“Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 tahun belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin”.

Anak dalam pemaknaan yang umum mendapat perhatian tidak saja dalam bidang ilmu pengetahuan, tetapi dapat ditelaah dari sisi pandang sentralistis kehidupan agama, hukum dan sosiologi yang menjadikan pengertian anak semakin rasional dan aktual dalam lingkungan sosial, sebab anak merupakan suatu anugerah dari Tuhan yang berharga dan tidak dapat dinilai dengan nominal.

7. Pengertian Pembunuhan Berencana

Pembunuhan berencana adalah suatu pembunuhan biasa seperti pasal 338 KUHP, akan tetapi dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu. Direncanakan lebih dahulu (voorbedachte rade) sama dengan antar timbul maksud untuk membunuh dengan pelaksanaannya itu masih ada tempo bagi si pembuat untuk dengan tenang memikirkan misalnya dengan cara bagaimanakah pembunuhan itu dilakukan.


(42)

Perbedaan antara pembunuhan dan pembunuhan direncanakan yaitu kalau pelaksanaan pembunuhan yang dimaksud pada pasal 338 itu dilakukan seketika pada waktu timbul niat, sedang pembunuhan berencana pelaksanaan itu ditangguhkan setelah niat itu timbul, untuk mengatur rencana, cara bagaimana pembunuhan itu akan dilaksanakan. Jarak waktu antara timbulnya niat untuk membunuh dan pelaksanaan pembunuhan itu masih demikian luang, sehingga pelaku masih dapat berfikir, apakah pembunuhan itu diteruskan atau dibatalkan, atau pula merencana dengan cara bagaimana ia melakukan pembunuhan itu.

Perbedaan lain terletak dalam apa yang terjadi di dalam diri si pelaku sebelum pelaksanaan menghilangkan jiwa seseorang (kondisi pelaku). Untuk pembunuhan direncanakan terlebih dulu diperlukan berfikir secara tenang bagi pelaku. Di dalam pembunuhan biasa, pengambilan putusan untuk menghilangkan jiwa seseorang dan pelaksanaannya merupakan suatu kesatuan, sedangkan pada pembunuhan berencana terlebih dulu kedua hal itu terpisah oleh suatu jangka waktu untuk memberi kesempatan guna membatalkan pelaksanaannya. Direncanakan terlebih dulu memang terjadi pada seseorang dalam suatu keadaan dimana mengambil putusan untuk menghilangkan jiwa seseorang ditimbulkan oleh hawa nafsunya dan di bawah pengaruh hawa nafsu itu juga dipersiapkan pelaksanaannya.46 Mengenai unsur dengan rencana terlebih dahulu, pada dasarnya mengandung 3 (tiga) unsur/syarat, yaitu :

a. Memutuskan kehendak dalam suasana tenang.

b. Ada tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak.

c. Pelaksanaan kehendak (perbuatan) dalam suasana tenang.

F. Metode Penelitian

Pendapat Soerjono Soekanto mengemukakan pendapat tentang penelitian dengan mengatakan:

      

46

H.A.K Moch Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus ( KUHP buku II ), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989, hal. 87


(43)

Penelitian hukum dimaksudkan sebagai kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau lebih gejala-gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta-fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan ataspermasalahan yang timbul dalam segala hal yang bersangkutan.47

1. Spesifikasi Penelitian

Bertitik tolak dari permasalahan yang diangkat, maka penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif kualitatif, yaitu mengkaji pertanggungjawaban pidana tindak pidana sesuai pasal 340 KUHP di Pengadilan Negeri Medan dalam perspektif hukum positif, menggambarkan secara rinci tindak pidana pembunuhan berencana yang ada dan tinjauan dari perspektif hukum nasional.

Soerjono Soekanto menyatakan bahwa penelitian deskriptif adalah untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya, maksudnya adalah untuk mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka menyusun teori baru. Jadi deskriptif di sini mempunyai tujuan untuk melukiskan atau memberikan gambaran tentang sesuatu.48 Menurut Mohammad Nazir penelitian yang menggunakan format deskriptif bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengani fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.49

Menurut Burhan Bungin, penelitian sosial yang menggunakan format deskriptif bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi atau berbagai variabel yang timbul di masyarakat yang menjadi obyek penelitian itu. Kemudian menarik ke permukaan sebagai suatu ciri atau gambaran tentang kondisi, situasi ataupun variabel tertentu.50

      

47

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. UI Press, Jakarta, 1981, hal. 34 48

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 10 49

Mohammad Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Semarang, 1983, hal. 63 50

Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial : Format-format Kuantitatif dan Kualitatif, Airlangga University, Surabaya, 2002, hal. 48


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Dari uraian yang telah penulis sampaikan dalam penulisan skripsi ini, maka dapat penulis simpulkan dalam uraian yang singkat dalam bab ini sebagai berikut:

1) Faktor-faktor yang menyebabkan Tindak Pidana Pembunuhan dengan pelaku anak-anak yang melakukan tindak pidana khususnya di Sumatera Utara sebagian besar karena kondisi ekonomi yang tidak mampu (74,71%), pendidikan rendah (72,76%), lingkungan pergaulan dan masyarakat yang buruk (68,87%) dan yang terakhir karena lingkungan keluarga yang tidak harmonis (66,15%). Dari hasil penelitian ini penyebab utama yang paling besar adalah karena kondisi ekonomi yang tidak mampu dengan presentase sebanyak 74,71%. Kondisi ekonomi yang tidak mampu memang bisa membuat anak berbuat jahat apabila imannya kurang dan keinginannya akan sesuatu tak terpenuhi oleh orang tuanya, tindakan yang dilakukannya bisa berbentuk pencurian benda yang di inginkannya.

Selain itu, adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang pada gilirannya sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak Hal yang sama juga diperoleh melalui adegan-adegan kekerasan secara visualisasi, khususnya melalui media elektronik (televisi). Melalui tingginya frekuensi tontonan adegan kekerasan akan melahirkan apa yang di sebut dengan “kultur kekerasan”. Hal ini akan menimbulkan penggunaan tindak kekerasan yang mengarah kepada tindak pidana sebagai solusi dalam berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk anak. Anak juga bisa melakukan


(2)

tindak pidana karena terinspirasi dari tayangan film yang bernuansa pornografi dan pornoaksi. Sehingga dalam berbagai kasus ada anak yang sampai tega memperkosa teman sepermainannya setelah menonton film porno.

2) Penerapan Sanksi terhadap kasus tindak pidana pembunuhan dengan dimana pelakunya adalah seorang anak diterapkan Pasal 340 dan Pasal 351 ayat (2) KUHP. Selain itu juga bahwa terdakwa dalam keadaan sehat jasmani dan rohani sehingga terdakwa dianggap dapat mempertanggung jawabkan tindak pidana yang telah dilakukannya.

3) Pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pencurian dengan pemberatan dalam Putusan Nomor: 3.682/Pid.B/2009/PN.Mdn yakni dengan melihat terpenuhi semua unsur-unsur pasal dalam Dakwaan yang disusun dalam bentuk dakwaan yaitu dakwaan Pasal 340 dan Pasal 351 ayat (2) KUHP dimana berdasarkan minimal 2 (dua) alat bukti ditambah keyakinan hakim. Selain itu hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana telah mempertimbangkan hal-hal yang meringankan dan memberatkan bagi terdakwa. Pertimbangan hukum yang dijatuhkan oleh hakim terhadap terdakwa dalam kasus tersebut untuk sebagian dinilai telah sejalan dengan teori hukum pidana akan tetapi untuk bagian lainnya masih terdapat kelemahan yaitu dalam hal berat ringannya sanksi pidana. Menurut penulis putusan yang dijatuhkan oleh hakim dinilai sudah tepat dan memenuhi rasa keadilan jika dilihat dari alasan faktor ekonomi terdakwa yang dalam kategori rendah dan juga mengingat umur terdakwa yang masuk dalam kategori anak yang secara psikologis masih labil dan emosional dalam melakukan tindakan. Jika dilihat dengan tujuan pemidanaan hanya untuk memberikan efek jera terdakwa dan agar terdakwa tidak mengulangi perbuatannya lagi serta untuk mendidik terdakwa agar menginsyafi perbuatannya maka sanksi pidana yang dijatuhkan oleh hakim menurut penulis adalah tepat dan memenuhi rasa keadilan.


(3)

B. Saran

Melalui skripsi ini penulis menyampaikan beberapa saran yang terkait dengan penelitian penulis antara lain :

1. Penulis menyarankan kepada masyarakat untuk memeperhatikan dan menghindari hal-hal yang menyebabkan terjadinya tindak pidana demi keamanan, ketertiban dan ketentraman masyarakat khususnya dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Medan.

2. Penulis menyarankan kepada aparat hukum penegak hukum lebih tegas dalam bertindak menyelesaikan masalah kejahatan tanpa pengaruh dari pihak-pihak lain, dengan rasa tanggung jawab yang tinggi sebagai pengabdian dan memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.

3. Diharapkan kepada aparat penegak hukum agar memperhatikan ketentuan aturan yang diberlakukan kepada terdakwa yang dalam hal ini dikategorikan sebagai anak, sehingga ancaman-ancaman pidana penjara menjadi alternatif terakhir dalam memberikan sanksi bagi anak.

4. Demi kepentingan masa depan anak sebaiknya hakim dalam memutus perkara memberikan keringanan hukum dalam memberikan sanksi terhadap anak yang melakukan tindak pidana. Hakim senantiasa menpertimbangkan putusan dengan tetap mengacu pada Pasal 27 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, menimbang pelaku dalam perkara ini masih di kategorikan sebagai anak.

5. Sebaiknya kepada aparat penegak hukum dan masyarakat untuk memberikan penyuluhan-penyuluhan hukum secara aktif dan menyeluruh khususnya kepada anak dibawah umur mengenai dampak dari pencurian yang merugikan masyarakat itu sendiri.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Abdussalam, Hukum Perlindungan Anak, Restu Agung, Jakarta, 2007

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000,

Agung Wahyono dan Siti Rahayu, Tinjauan Peradilan Anak di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1983.

Alie Yafie, Ahkad Sukaraja, Muhammad Amin Suma,dkk,

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, Andi Matalatta, “santunan bagi korban”dalam J.E. sahetapy (ed.)…Victimilogy

sebuah Bunga rampai 9, Pustaka sinar Harapan, Jakarta, 1987, hal. 41-42 A.Syamsudin Meliala dan E.Sumaryono, Kejahatan Anak Suatu Tinjauan dari

Psikologis dan Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1985

Burhan Asofa, Metode Penelitan Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta, 1996.

Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial : Format-format Kuantitatif dan Kualitatif, Airlangga University, Surabaya, 2002.

Chairul Huda, Hukum Internasional, Pengantar Hukum Bangsa-Bangsa, Djambatan, Jakarta.

C.S.T Kansil dan Christine S.T.Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Cetakan ke-1, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004.

C.S.T. Kansil.,Pokok-Pokok Hukum Pdana, Rineka Cipta, Jakarta, 2007.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1991.

Djoko Prakoso, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia . Edisi Pertama, Liberty, Yogyakarta, 1987.

Erdianto Efendi., Hukum Pidana Indonesia-Suatu Pengantar, Bandung, 2011. Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.

H.A.K. Moch Anwar (Dading), Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), Penerbit Alumni, Bandung, 1980.

H.A.K Moch Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus ( KUHP buku II ), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989.

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1988.

Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak di Indonesia dan Teori, Praktik dan Permasalahannya, Mandar Maju, Bandung, 2005.

Kartini Kartono, Pathologi Sosial (2), Kenakalan Remaja, Rajawali Pers, Jakarta, 1992.

Maidin Gultom, Perlindungan Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Cetakan Pertama. Refika Aditama, Bandung, 2008.

Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, Refki Aditama, Bandung, 2009.

Mohammad Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Semarang, 1983. Mulyana W. Kusumah (ed), Hukum dan Hak-Hak Anak, Rajawali, Jakarta, 1986. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002.


(5)

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993. Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana

Prodjodikoro Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT.Eresco, Bandung, 2000.

Prodjohamidjojo, Martiman, Memahami dasar-dasar hukum Pidana Indoesia PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1997.

Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, mengutip Harry E. Allen and Cliffford E. Simmonsen, dalam Correction in America : An

Introduction, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile

Justice System) di Indonesia, UNICEF, Indonesia, 2003.

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983.

Romli Atmasasmita, Problem Kenakalan Anak-anak Remaja, Armico, Bandung, 1983.

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Semarang, 1988.

Roscoe Pound. “ introduction to the phlisophy of law” dalam Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana.Cetakan Kedua Mandar Maju, Bandung. 2000.

R. Soesilo, Hukum Acara Pidana, Politea, Bogor, 1982.

Shanty Dellyana, Wanita dan Anak di Mata Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1988. Shanty Dellyana, Wanita dan Anak di Mata Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1990. Sanapiah Faisal, Penelitian Kualitatif : Dasar-dasar dan Aplikasi, (Malang,

Djembatan, 1990).

Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum (Suatu Tinjauan Sosiologis), (Bandung : Sinar Baru), 1999.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. UI Press, Jakarta, 1981. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986. S.R Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapanya,Cetakan

Keempat, Alumni Ahaem-Peteheam, Jakarta, 1996.

S.R Sianturi, Asas-asas Hukum pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni-Petehaem, Jakarta,2002.

Sudarsono, Kenakalan Remaja, Rineka Cipta, Jakarta,1991. Sudarto, Hukum Pidana I, Penerbit Alumni, Bandung, 2009.

Supramono Gatot, Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta, 2000. Sutrisna, I Gusti Bagus, “Peranan Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana

( Tinjauan terhadap pasal 44 KUHP),” dalam Andi Hamzah (ed.), Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986.

Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Prespektif Pembaharuan, UMM Press, Malang, 2008, hal. 225.

Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, PT Refika Aditama, Bandung.

Wawancara dengan Erwin Silalahi, SH, staf pidana umum Kejaksaan Negeri Medan


(6)

B. UNDANG-UNDANG KUHP, Politea Bogor, 1988

Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2007 : Tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1979 : Tentang Kesejahteraan Anak. Undang-undang RI No.23 Tahun 2002: Tentang Perlindungan Anak Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 : Tentang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang RI Nomor 12 tahun 1995 : Tentang Pemasyarakatan

Keputusan Menteri Kehakiman No. M.01 – PW.07 Tahun 1997 tentang Tata Tertib Persidangan dan Tata Tertib Ruang Sidang.

Keputusan Menteri Kehakiman No. M.01 – PK.04.10 Tahun 1998 tentang Tugas, Kewajiban dan Syarat-syarat bagi Pembimbing Kemasyarakatan.

Konvensi tentang Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child), Resolusi No. 109 Tahun 1990.

Pedoman Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Rangka Pencegahan Tindak Pidana Remaja Tahun 1990 (United Nations Guidelines for the Preventive of Juvenile Delinquency, ”Riyadh Guidelines”), Resolution No. 45/112, 1990. C. INTERNET

makalah-hukum-pidana.blogspot.com, diakses pada hari Kamis, 13 Februari 2013

Ringkasan Hukum Pidana, www.docstoc.com, Surya, diakses pada hari Senin tanggal 05/02/2013


Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi pada Program Konpensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Infrastruktur Pedesaan (Studi Putusan MA No. 2093 K / Pid. Sus / 2011)

3 55 157

Pertanggungjawaban Pidana Bagi Terdakwa Anak Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Sesuai Dengan PASAL 340 KUHP(Studi Kasus Putusan No. 3.682 / Pid.B / 2009 / PN. Mdn)

5 97 123

Analisis Kriminologi Dan Yuridis Terhadap Penyalahgunaan Narkoba Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Kasus Putusan No. 1203 / Pid.B / 2006 / PN.MDN)

4 83 81

Analisis Kasus Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan Dalam Menggandakan Rekening Bank (Studi Kasus : No.1945 / Pid.B / 2005 / PN-MDN)

2 61 120

Asas Ne Bis In Idem Dalam Hukum Pidana (Pendekatan Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 1384 / Pid.B / Pn. Mdn / 2004 Jo Putusan Pengadilannegeri Medan No. 3259 / Pid.B / Pn. Mdn / 2008)

2 49 163

Analisis Yuridis Putusan Hakim dalam Tindak Pidana Percobaan Pencurian dengan Pemberatan (Putusan Nomor : 87 / Pid.B / 2012 / PN.GS

0 7 8

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 0 9

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi pada Program Konpensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Infrastruktur Pedesaan (Studi Putusan MA No. 2093 K / Pid. Sus / 2011)

0 0 52

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi pada Program Konpensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Infrastruktur Pedesaan (Studi Putusan MA No. 2093 K / Pid. Sus / 2011)

0 0 13

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Bagi Terdakwa Anak Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Sesuai Dengan PASAL 340 KUHP(Studi Kasus Putusan No. 3.682 / Pid.B / 2009 / PN. Mdn)

0 3 38