Kebijakan Politik Pangeran Walangsungsang
diperkirakan oleh Syarif Hidayat akan secara bertahap dan intensif dapat menyesuaikan sikap hidup dan nilai-nilai yang berkembang pada
masyarakat Caruban yang baru di kenalnya saat itu dengan dirinya yang selama ini masih dianggap orang asing dari Arab.
Syarif Hidayatullah menikah dengan putri ke Gedeng Babadan yang bernama Nyi Mas Babadan namun tidak lama kemudian Nyi Mas
Babadan meninggal dunia tanpa sempat mempunyai putra. Setelah cukup lama menduda Syarif Hidayat menikah lagi dengan sepupunya Nyi Mas
Dewi Pakungwati, yakni putri uwaknya, pangeran Cakrabuana. Setelah menikah Syarif Hidayatullah pergi ke Banten untuk syiar agama Islam di
daerah tersebut. Disana Syarif Hidayatullah menikah dengan adik bupati Banten, yaitu Nyi Mas Kawunganten yang menurunkan raja-raja kerajaan
Banten. Pada saat Syarif Hidayatullah ini sedang sibuk dengan kegiatan
dan program-program pengembangan Islam di Banten, suatu ketika datang utusan dari pangeran Cakrabuana dari Cirebon yang meminta Syarif
Hidayat keponakannya untuk segera kembali ke negeri Cirebon, karena kehadirannya dan tenaganya sangat diperlukan oleh pemerintah nagari
Caruban. Ternyata memang pangeran Cakrabuana sudah lama mempunyai rencana dan ingin secepatnya merealisasikan rencananya itu untuk
menobatkan Syarif Hidayatullah sebagai penguasa di nagari Cirebon menggantikan dirinya.
Ada beberapa hal yang jadi faktor pangeran Walangsungsang mewariskan tahta kerajaan Cirebon kepada Syarif Hidayatullah bukan
kepada putra laki-lakinya, yaitu pangeran Cirebon. Faktor-faktor itu antara lain:
1. Syarif Hidayatullah merupakan keponakan sekaligus menantunya karna
putra adiknya, Nyi mas Lara Santang dan suami putrinya, Nyi mas Pakungwati.
2. Syarif Hidayat dianggap lebih menguasai ilmu pemerintahan sedangkan
pangeran Cirebon lebih cenderung ahli ilmu kemiliteran. 3.
Syarif Hidayatullah merupakan putra mahkota di kerajaan ayahandanya, jadi bisa menerapkan konsep-konsep pemerintahan yang bagus.
4. Merupakan cucu Prabu Sri Baduga Maharaja penguasa tertinggi di tanah
parahyangan sehingga pengangkatannya tidak akan dihalangi. 5.
Keinginan pangeran walangsungsang untuk mewujudkan kerajaan Islam Cirebon yang besar dan berwibawa di Jawa Barat, sehingga harus
diserahkan kepada orang yang dianggapnya mampu mewujudkan hal tersebut.
6. Dukungan serta pengaruh Syarif Hidayatullah di Kalangan para wali di
pulau Jawa yang sangat besar. Faktor-faktor di atas merupakan alasan yang kuat bagi pangeran
Walangsungsang untuk mewariskan tahta kerajaan Cirebon kepada Syarif Hidayatullah. Dari keterangan bapak E.J. Mungal Kartaningrat, bahwa apa
yang dilakukan oleh pangeran Cakrabuana merupakan wangsit atau
petunjuk dari Allah SWT. Jadi pada hakekatnya keputusan pangeran Walangsungsang Cakrabuana tersebut semata-mata kehendak Allah
SWT, sehingga semua pihak dapat menerima dan mematuhi apa yang jadi putusan pangeran Cakra Buana.
Hal yang demikian ini bisa dipahami dan diterima oleh pandangan zaman sekarang seorang muslim jika akan menentukan suatu
pilihan yang mempunyai konsekuensi penting, dia akan melakukan sholat Istikhoroh untuk meminta petujuknya, agar yang akan dia putuskan
merupakan sesuatu yang terbaik. Hal ini pula yang dilakukan oleh pangeran Walangsungsang pada saat itu untuk memutuskan pilihannya
menunjuk Syarif Hidayatullah menjadi penggantinya selaku raja dari kerajaan Cirebon.
Pada tahun1479, secara resmi Syarif Hidayatullah dinobatkan menjadi Tumenggung dengan bergelar Kanjeng Susunan Jati Purba
Panetep panatagama awaliya Allah Kutubizaman Kholifaur Rasulullah Sholallahu alaihi wassalam, didepan para pejabat, para prajurit dan
masyarakat Cirebon. Semuanya menerima dan bersuka cita atas diangkatnya Syarif Hidayatullah. Hal ini tidak lepas dari kebijaksanaan
pangeran Walangsungsang yang lebih mengutamakan syiar Islam dibanding kepentingan individualnya.
Hasil perjalanan ibadah haji, serta kunjungan pangeran Walangsungsang ke berbagai daerah mampu memperkaya pengetahuan
Pangeran Walangsungsang, baik pengetahuan agama, pemerintahan dan
hal lain-lainnya. Apa yang pernah ditemui dilihat, dirasakan dan dipelajari dalam waktu yang relatif cukup memadai oleh pangeran Walangsungsang
Cakrabuana, baik selama di Tanah Arab maupun di Campa, tentang pola dan bentuk pemerintahan, juga sistem pengendalian kekuasaan, termasuk
pengamanan wilayah dan pelabuhan, diterapkan pula di nagari Cirebon dengan beberapa penyesuaian berdasarkan situasi dan kondisi yang ada.
Sekalipun demikian, nagari Caruban ini belum memiliki kedaulatan sepenuhnya, karena seluruh wilayah pesisir utara, dari sungai
Citarum ketimur sampai sungai Pemali pada masa itu masih berada dalam kekuasaaan Galuh. Kenyataan ini diakui oleh Pangeran Walangsungsang,
yaitu dengan masih disampaikannya upeti kepada Prabu Galuh, yakni prabu Anggalarang melalui penguasa wilayah pesisir utara Galuh yakni
Adipati Jayaningrat. Suatu hal yang dapat dilihat secara jelas dari kenyataan di
Nagari Caruban ini adalah, bahwa penguasa tertingginya adalah seorang ulama karena pangeran Cakrabuana adalah murid Syekh Datuk Kahfi,
Syekh Abdul Yazid serta maulana Ibrahim Akbar, maka dapat dipastikan bahwa pembantu-pembantu utamanya, baik dipusat maupun diwilayahnya
harus yang seagama termasuk juga pimpinan tertinggi pasukannya. Sasaran utama dari program-program pemerintahannya adalah
pengembangan Islam diseluruh pesisir Cirebon, kemudian dipedalaman dengan cara menempatkan mubaligh-mubaligh dan orang-orang yang
berkemampuan mendukung syiar Islam secara efektif. Oleh karenanya
tidak berlebihan bilamana nagari Caruban dinyatakan sebagai nagari Islam pertama di Jawa barat dalam bentuknya yang masih sederhana, juga
sekalipun masih belum merdeka dan berdaulat sepenuhnya.