Makna ziarah sebagai media komunikasi transendental : (studi etnografi komunikasi mengenai ziarah di Pemakaman Nangka Beurit Kabupaten Subang)

(1)

(2)

(3)

(4)

DATA PRIBADI

Nama : Hadi Permana

NamaPanggilah : Hady, Dhy

Tempat / tglLahir : Purwakarta, 18 Maret 1990 JenisKelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Status : Belum Menikah Nama Ayah : Asep Mulyana

NamaIbu : Lika K

AlamatAsal : Kp. Sawah Leuga Rt. 01/01 Ds. Pasanggrahan Kec. Bojong Kab. Purwakarta Prov. Jawa Barat

Telepon : 08562 44144 22

PENDIDIKAN

SD Negeri 2 Pasanggrahan, Tahun 1996 - 2002 SMP Negeri 1 Wanayasa, Tahun 2002 - 2005 SMA Negeri 1 Wanayasa, Tahun 2005 - 2008

Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM), Jurusan Ilmu Komunikasi Konsentrasi Humas, Tahun 2009 – 2013 Dengan IPK. 3,09.


(5)

Table Manner di Hotel Banana Inn Hotel & SPA StiabudhiTahun 2009 Mentoring Agama Islam

Seminar Bedah Buku Komunikasi yang dilaksanakan di UNIKOM Study Tour Mata Kuliah Media Massa

Seminar Satu Jam Bersama si Cepot (Mata KuliahEkonomi) EPT Indonesia Universiti Of Computer English Department

Sminar Strategi Mendidik Anak dalam Era Globalisasi (GGM) &Pemuda Pelopor Pembangunan

Seminar “Road to Success of a Movie Maker”

PENGALAMAN ORGANISASI

PASKIBRA KECAMATAN WANAYASA TAHUN 2005 – 2008 SENIOR KEHORMATAN PMR SMA 1 WANAYASA TAHUN 2007 PANITIA PENGIBARAN BENDERA 17 AGUSTUS TAHUN 2008

PANITIA STUDY TOUR MEDIA HUMAS 7 MASSA UNIKOM TAHUN 2010 KETUA ACARA MARKETING HUMAS UNIKOM TAHUN 2010

KARANG TARUNA DESA PASANGGRAHAN

PRESTASI YANG PERNAH DIRAIHJUARA 1 TENIS MEJA JUARA 1 BOLA VOLI


(6)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana (S1) Program Studi Ilmu Komunikasi Konsentrasi Kehumasan

Oleh : Hadi Permana NIM. 41808985

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI KONSENTRASI HUMAS FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA BANDUNG


(7)

vi

Dengan mengucapkan Alhamdulillah Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT dengan segala rahmat dan karunia – Nya pada akhirnya Peneliti dapat membuat dan menyelesaikan Skripsi dengan lancar.

Ada pun tujuan dari Penyusunan Skripsi ini adalah sebagai bukti bahwa penulis telah melaksanakan penelitian sebagai syarat menempuh ujian sarjana pada program studi ilmu komunikasi konsentrasi kehumasan.

Dalam Penyusunan Skripsi ini penulis berharap semoga penelitian yang akan dilakukan ini bisa menjadi tambahan pengetahuan bagi banyak penulis khususnya dan terutama bagi para pembaca. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih kepada Ibunda dan Ayahanda Tercinta dan peneliti memberikan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang sudah membantu penulis dalam Penyusunan Skripsi ini. Dengan segala kerendahan hati, saya sebagai penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada Yang Terhormat :

1. Bapak Prof. Dr. Samugyo Ibnu Redjo, Drs., M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM) yang telah mengizinkan peneliti untuk melakukan penelitian ini dan memberikan pengesahan penelitian ini sehingga dapat digunakan sebagai literatur bagi yang membutuhkan.


(8)

vii

kegiatan perkuliahan maupun saat mengurus berbagai perizinan dan yang telah banyak sekali memberikan arahan, waktu dan tempat untuk membimbing penulis dari mulai bimbingan hingga penyusunan . Terimakasih juga atas segala nasehat dan dorongan yang membuat penulis tidak henti-hentinya berjuang dan terus semangat untuk menyelesaikan skripsi ini. yang cukup membantu kelancaran penulis dalam menyelesaikan usulan penelitian ini, serta banyak memberikan bimbingan, arahan dan nasehatnya agar penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik.

3. Yth. Melly Maulin P, S.Sos., M.Si, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Komunikasi, yang telah memberikan ilmunya, nasehat, motivasi, arahan, semangat hingga proses penelitian selesai.

4. Yth. Ibu dan Bapak Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi & Public

Relations : Rismawaty, S.Sos., M.Si., Sangra Juliano P., S.I.Kom., Inggar

Prayoga, S.I.Kom., Adiyana Slamet, S.I.P., M.Si., Ari Prasetyo, S.Sos., M.Si., Tine Agustin Wulandari, S.I.Kom., Yadi Supriadi, S.Sos., M. Phil, Olih Solihin, S. Sos., M.Si serta seluruh dosen-dosen yang telah memberikan ilmunya selama ini yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu. Terima kasih yang tiada tara untuk segala jasanya serta dukungan yang telah diberikan kepada peneliti selama ini.


(9)

viii

membantu kelancaran proses administrasi skripsi penulis dari pra hingga pasca skripsi.

6. Bapak Guru Jojo selaku ketua pengurus pemakaman Nangka Beurit Kabupaten Subang yang telah memberikan perizinanya bagi peneliti.

7. Pak Sail selaku pengurus pemakaman Nangka Beurit, yang telah meluangkan waktunya bagi peneliti.

8. Keluarga Tercinta yang sudah memberikan dorongan baik itu materil maupun immateril. Thanks for all Ibu dan Bapak, selaku orang tua penulis yang sudah banyak memberikan supportnya, doanya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini Love You.

9. My Brother “Abib Pazua” atas support dan kontribusinya meminjamkan computer dan cannon’nya..Nuhun pisan…“Yuli Bayu Atuti”. Walaupun tiap malem suka,ganggu konsentrasi,,,but, I Love U So Much… Kecerewetanmu adalah motivasi bagi aku..:)

10.Sahabat-sahabat Humas 3 tersayang Indra Purnama, Indra Saputra, Prasetya, Ligga, dll yang tidak bisa penulis sebut satu persatu..terimakasih untuk kalian yang selalu mengingatkan dan sudah banyak membantu penulis..kalian bakalan slalu jadi sahabat terbaik!


(10)

ix datang.

Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu penulis dalam pembuatan usulan penelitian ini. Penulis berharap semoga usulan penelitian ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca sekalian umumnya.

Bandung, Februari 2013


(11)

x

LEMBAR PENGESAHAN ...i

SURAT PERNYATAAN ... ii

LEMBAR PERSEMBAHAN ... iii

ABSTRAK ...iv

ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR ...vi

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABAL ...xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah 1.2.1. Pertanyaan Makro ... 13

1.2.2. Pertanyaan Mikro ... 14

1.3. Kegunaan Penelitian 1.3.1. Maksud Penelitian ... 14

1.3.2. Tujuan Penelitian ... 14

1.4. Kegunaan Penelitian 1.4.1. Kegunaan Teoritis ... 15


(12)

xi

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Tinjauan Pustaka ... 19 2.1.1. Tinjauan Tentang Penelitian Sebelumnya

2.1.1.1. Tinjauan Penelitian ... 19 2.1.2. Tinjauan Tentang Komunikasi

2.1.2.1. Pengertian Komunikasi ... 21 2.1.2.2. Unsur Komunikasi ... 23 2.1.2.3. Tujuan Komunikasi ... 24 2.1.3.Tinjauan Tentang Etnografi Komunikasi

2.1.3.1. Sejarah Kajian Etnografi Komunikasi ... 24 2.1.3.2. Definisi Etnografi ... 26 2.1.3.3. Metode Etnografi Untuk Penelitian Komunikasi ... 28 2.1.4. Tinjauan Tentang Komunikasi Transendental

2.1.4.1. Pengertian Komunikasi Transendental ... 30 2.1.4.2. Hakikat Komunikasi Transendental ... 30 2.1.5.Tinjauan Tentang Interaksi Simbolik

2.1.5.1. Sejarah Interaksi Simbolik ... 32 2.1.6.Tinjauan Tentang Simbol

2.1.6.1. Pengertian Simbolik ... 41 2.1.6.2. Jenis-jenis Simbol ... 45 2.1.6.3. Simbol-simbol Budaya Religi ... 45


(13)

xii

2.1.8.Tinjauan Tentang Komunikator

2.1.8.1. Pengertian dan Karakteristik Komunikastor ... 65

2.1.8.2. Syarat-syarat Komunikator ... 67

2.1.8.3. Tugas Komunikator ... 70

2.1.9.Tinjauan Tentang Ziarah 2.1.9.1. Sejarah Ziarah ... 73

2.1.9.2. Pengertian Ziarah ... 74

2.1.9.3. Tata Cara Ziarah ... 75

2.1.9.4. Fungsi Ziarah ... 76

2.1.9.5. Macam-macam Ziarah ... 77

2.1.10.Tinjauan Tentang Pemakaman 2.1.10.1. Pengertian Pemakaman ... 78

2.1.11.Tinjauan Tentang Media 2.1.11.1. Pengertian Media ... 79

2.1.11.2. Jenis-jenis Media ... 80

2.1.11.3. Fungsi Media ... 81

2.2. Kerangka Pemikiran 2.2.1. Kerangka Teoritis ... 81


(14)

xiii

3.1.1.1. Sejarah Makam Nangka Beurit ... 95

3.2. Metode Penelitian 3.2.1. Desain Penelitian ... 101

3.2.2. Teknik Pengumpulan Data 3.2.2.1. Studi Pustaka ... 110

3.2.2.2. Studi Lapangan ... 112

3.2.3. Teknik Penentuan Informan 3.2.3.1. Informan Penelitian ... 115

3.2.3.2. Informan Kunci (Key Informan) ... 117

3.2.4. Teknik Analisis Data ... 117

3.2.5. Teknik Pengujian Keabsahan Data ... 119

3.3. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.3.1. Lokasi Penelitian ... 121

3.3.2. Waktu Penelitian ... 122

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Identitas Informan dan Informan Kunci 4.1.1. Informan Penelitian ... 129

4.1.2. Informan Kunci ... 135 4.2.Deskripsi Hasil Penelitian


(15)

xiv

4.2.1.1.Objek Fisik Benda ... 139 4.2.1.2.Objek Sosial (Perilaku Manusia) ... 143 4.2.2. Produk Interaksi Sosial Makna Ziarah Sebagai Media

Komunikasi Transendental di Pemakaman Nangka Beurit

Kabupeten Subang ... 146 4.2.3. Interpretasi Makna Ziarah Sebagai Media Komunikasi

Transendental di Pemakaman Nangka Beurit Kabupeten

Subang ... 147 4.2.3.1.Tindakan Tertutup ... 148 4.2.3.2.Tindakan Terbuka ... 150 4.3.Pembahasan Hasil Penelitian

4.3.1. Situasi Simbolik Makna Ziarah Sebagai Media Komunikasi Transendental di Pemakaman Nangka Beurit Kabupeten Subang ... 152 4.3.1.1.Objek Fisik Benda ... 152 4.3.1.2.Objek Sosial Perilaku Manusia ... 156 4.3.2. Produk Interaksi Sosial Makna Ziarah Sebagai Media

Komunikasi Transendental di Pemakaman Nangka Beurit

Kabupeten Subang ... 160 4.3.3. Interpretasi Makna Ziarah Sebagai Media Komunikasi


(16)

xv BAB V PENUTUP

5.1.Kesimpulan ... 168

5.2.Saran ... 171

5.2.1. Saran Bagi Pengurus Pemakaman Nangka Beurit Kabupaten Subang ... 171

5.2.2.Saran Bagi Peneliti Selanjutnya ... 171

DAFTAR PUSTAKA ... 172

LAMPIRAN ... 175 CURRICULLUM VITAE ...


(17)

xvi

Tabel 3.1 Krangka penelitian pendekatan etnografi 105

Tabel 3.2 Data Informan Penelitian 116

Tabel 3.3 Informan Kunci 117

Tabel 4.1 Jadwal Wawancara Informan 129


(18)

xvii

Gambar 1.1. Makam Arya Wangsa Goparan 5

Gambar 4.1. Informan Penelitian (Dedi) 130

Gambar 4.2. Informan Penelitian (Rachman A) 131

Gambar 4.3. Informan Penelitian (Asepudin) 132

Gambar 4.4. Informan Penelitian (Nurdin) 133

Gambar 4.5. Informan Penelitian (Suherman) 134


(19)

xviii

Lampiran 1 Surat Penugasan Menjadi Pembimbing Skripsi 175

Lampiran 2 Berita Acara Bimbingan Skripsi 176

Lampiran 3 Lembar Revisi Seminar Usulan Penelitian 177

Lampiran 4 Surat izin penelitian 178

Lampiran 5 Pedoman Wawancara Informan 179

Lampiran 6 Pedoman Wawancara Informan Kunci 180

Lampiran 7 Pedoman Observasi 182

Lampiran 8 Transkip Observasi 183

Lampiran 9 Identitas Informan dan Informan Kunci 186

Lampiran 10 Hasil Wawancara Informan 192

Lampiran 11 Hasil Wawancara Informan Kunci 208


(20)

172

Ardianto, Elvinaro. 2011. Metodologi Penelitian Untuk Public Relations. Bandung : Remaja Rosdakarya Bandung.

Creswell, J. W. 1998. Qualitatif Inquiry and Research Design. Sage Publications, Inc: California.

Cangara, Hafied. 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

Effendy, Onong. Uchjana.1993 Ilmu, Teori Dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Effendy, Onong. Uchjana. 2006. Ilmu Komunikasi Teori Dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Gunadi, Y.S. 1998. Himpunan Istilah Komunikasi. Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia

Herlina, Nina. 2002. Sejarah dan Budaya Politik. Bandung : CV. Satya Historika. James, Dananjaya. 1988. Manfaat Media Tradisional Untuk Pembangunan Dalam

Kebudayaan Dan Pembangunan Sebuah Terapan Terhadap Antropologi Terapan Di Indonesia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Koentjaraningrat, 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT. Asdi Mahasatya.


(21)

Maryaeni. 2005. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Mulyana, Deddy. 2007. Komunikasi Massa Suatu Pengantar Edisi Revisi.

Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif (cetakan keempat belas).

Bandung: PT Remaja Rosda karya.

Rakhmat, Jalaluddin. 2002. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung : PT. Rosdakarya.

Sugiyono. 2007. Memahani Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono, 2010. Metodeologi Penelitian Kuantitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sobur, Alex. 2006. Semiontika Komunikasi. Bandung : Pt. Remaja Rosdakarya Offset.

Sember Lain

Ma’mun, Asep 2007. Persepsi Masyarakat terhadap Ziarah Kubur: Studi Kasus atas Masyarakat Aeng Panas. Institut Dirasat Islamiyah Al-Amien (IDIA) Prenduan Sumenep Madura.

Internet Searching

http://de-kill.blogspot.com/2009/04/kebudayaan-ziarah-kubur.html (Kamis,

8-Nov-2012 Pukul 20.00).


(22)

http://arsipmoslem.wordpress.com/2007/06/07/cara-berziarah-kubur-sesuai-dengan-tuntunan-nabi/ (Kamis, 8-Nov-2012 Pukul 23.00)

http://gudangvirtual.blogspot.com/2011/07/ziarah-kubur.html

http://an-nashihah.com/?p=20 (Sabtu, 10-Nov-2012 Pukul 19.00)

http://ghinarahmatina96.blogspot.com/ (Minggu, 11-Nov-2012 Pukul 22.00)


(23)

1 1.1. Latar Belakang Masalah

Komunikasi adalah suatu proses penyampaian pesan (ide,gagasan) dari satu pihak kepada pihak lain agar terjadi saling mempengaruhi diantara keduaanya. Pada umumnya, komunikasi dilakukan dengan menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. Melalui komunikasi, sikap dan perasaan seseorang atau sekelompok orang dapat dipahami oleh pihak lain.

Komunikasi merupakan kebutuhan dasar atau primer manusia. Komunikasi merupakan sarana interaksi antar manusia yang efektif. Dinyatakan berinteraksi jika mereka yang terlibat masing-masing melakukan aksi dan reaksi. Aksi dan reaksi yang dilakukan oleh manusia disebut tindakan komunikasi. Tindakan komunikasi menyangkut perasaan, pikiran dan perbuatan manusia.

Adapun definisi komunikasi menurut Everett M. Rogers, seorang pakar sosiologi Pedesaan Amerika membuat definisi :

“Komunikasi adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih

membentuk atau melakukan pertukaran informasi terhadap satu

sama lain yang pada gilirannya akan tiba saling pengertian”

(Rogers dan Kincaid dalam Cangara, 2004 : 19).

Sejak kita lahir dan selama hidupnya manusia akan selalu terlibat dalam tindakan-tindakan komunikasi. Tindakan komunikasi dapat terjadi dalam berbagai konteks kehidupan manusia dan sebagai makhluk sosial,


(24)

kita perlu berhubugan, bergaul dengan sesama manusia lain. Itu merupakan sisi dinamis dari manusia. Hubungan yang dilakukan atau dijalin setiap saat merupakan kegiatan berkomunikasi. Dalam ilmu komunikasi dikenal dengan istilah komunikasi yang dilakukan antara manusia dengan Tuhannya, dalam ilmu komunikasl disebut komunikasi transendental dan komunikasi ini dalam istilah Islam dikenal dengan sebutan hablu minnallah dan habluminannas.

Komunikasi transendental memang tidak pernah dibahas secara luas, cukup dikatakan bahwa komunikasi transendental adalah komunikasi antara manusia dengan Tuhan, dan karenanya masuk dalam bidang agama. Dedy Mulyana, pakar ilmu komunikasi, mengatakan bahwa, bentuk komunikasi ini paling sedikit dibicarakan dalam disiplin ilmu komunikasi, tetapi justru bentuk komunikasi inilah yang terpenting bagi manusia. Karena keberhasilan manusia melakukannya tidak saja menentukan nasibnya di dunia tetapi juga di akhirat.

Dalam komunikasi transendental, tanda-tanda atau lambang-lambang Allah SWT lazim disebut ayat-ayat Allah. Dan ayat-ayat Allah itu terbagi atas dua, yaitu ayat-ayat Quraniyah (firman Allah dalam Alquran) dan ayat-ayat kauniyah (alam semesta). Ke dua ayat tersebut saling mengisi dan menjelaskan. Karena dalam Alquran tercantum dengan rinci bagaimana luasnya alam semesta yang bisa kita lihat dengan kasat


(25)

mata dan menjelaskan pula tentang alam barzah, alam akhirat, surga dan neraka sebagai alam ghaib.

Makna komunikasi transendental biasa diartikan proses membagi ide, informasi dan pesan dengan orang lain pada tempat dan waktu tertentu serta berhubungan erat dengan hal-hal yang bersifat transenden (metafisik dan pengalaman supranatural). Hingga komponen komunikasi seperti siapa (what) bisa bersifat metafisik, isi (say what) juga berhubungan dengan metafisik, demikin juga dengan kepada siapa (to whom) dan media perantara (chanel) serta efeknya.

Pemakaman Nagka Beurit atau Makam Aria Wangsa Goparana yang terletak di Blok Karang Nangka Beurit, Desa Sagalaherang Kaler, Kecamatan Sagalaherang. Karena berada di Blok Karang Nangka Beurit, maka situs ini lebih dikenal dengan sebutan Keramat Nangka Beurit. Komplek makam berada di ujung kampung dekat areal persawahan

tepatnya pada koordinat 06°39‟59” Lintang Selatan dan 107°39‟05” Bujur

Timur.

Untuk menuju makam, setelah melalui gerbang masuk berbentuk gapura bentar yang berada di ujung kampung, kemudian melewati jalan setapak yang sudah diplester. Di kanan jalan merupakan areal persawahan, sedang di kiri jalan jurang sedalam sekitar 4 m. Pada jurang tersebut terdapat banyak tumbuhan buah-buahan seperti durian, jambu air, nangka dan juga pala. Jalan setapak yang harus dilalui ini jauhnya sekitar 500 m.


(26)

Pada ujung jalan setapak sebelum sampai ke komplek makam terdapat beberapa makam masyarakat. Kompleks makam Keramat Nangka Beurit dikelilingi pagar dengan gerbang masuk terletak di bagian selatan kompleks. Gerbang masuk berupa gapura berbentuk paduraksa dilengkapi pintu besi. Di dalam kompleks terdapat pemakaman umum. Makam-makam umum ada yang dilengkapi jirat ada pula yang tidak berjirat. Makam yang tidak berjirat pada umumnya dilengkapi nisan batu pipih panjang ada yang berbentuk seperti kujang. Pada bagian tenggara kompleks makam terdapat beberapa makam yang berada pada lahan berpagar tembok. Tokoh yang dimakamkan di bagian tersebut adalah para juru kunci. Gerbang masuk ke komplek makam para juru kunci berupa gapura paduraksa. Makam Aria Wangsa Goparana berada pada bagian barat laut komplek makam. Makam berada pada bangunan cungkup permanen dengan atap tumpang dari bahan genting. Pintu masuk cungkup berada di sisi timur. Pada dinding sisi utara, barat, dan selatan terdapat jendela kaca. Kondisi makam Aria Wangsa Goparana sulit dilihat karena tertutup kain kelambu. Nisan makam dibungkus kain putih sehingga bentuknya sulit diketahui. Di sebelah timur cungkup makam Aria Wangsa Goparana terdapat bangunan mushala yang bernama Mushala Al-Ikhlas. Seluruh bangunan di kompleks makam ini merupakan bangunan baru yang pemugarannya dilaksanakan pada 25 Maret 1984 dan peresmiannya pada 27 Mei 1984.


(27)

Arya Wangsa Goparana adalah tokoh penyebar Islam di Sagalaherang. Tokoh ini merupakan putera Sunan Wanaperi, raja kerajaan Talaga. Di Talaga, Arya Wangsa Goparana merupakan orang pertama yang memeluk Islam. Ketika itu ia mendapat pelajaran dari Sunan Gunungjati. Pada tahun 1530 ia mengadakan perjalanan ke arah barat dalam rangka menyebarkan agama Islam. Wilayah yang diislamkannya meliputi Subang, Pagaden, Purwakarta, Cianjur, Sukabumi, dan Limbangan. Ketika itu kawasan ini merupakan wilayah kerajaan Sumedang Larang. Arya Wangsa Goparana menurunkan lima orang putera yaitu Entol Wangsa Goparana, Wiratanudatar, Yudanegara, Cakradiparana, dan Yudamanggala. Putera Arya Wangsa Goparana ini kemudian menyebar ke daerah Limbangan, Cijegang (Cikalongkulon), Cikundul dan tempat-tempat lain. Di tempat yang baru, keturunan Arya Wangsa Goparana banyak yang menjadi orang penting seperti bupati dan ulama besar.

Gambar 1.1.

Makam Arya Wangsa Goparana


(28)

Makam Keramat Nangka Beurit merupakan salah salah satu fenomena warisan budaya yang keadaannya masih terjaga sampai saat ini, dan keadaannya dijadikan sebagai tempat media ziarah bagi pengunjung yang datang ke pemakaman keramat ini.

Seperti yang telah dijelaskan oleh Boove dan Thill, bahwa definisi budaya adalah :

system sharing atas symbol-simbol kepercayaan, sikap, nilai-nilai, harapan dan norma-norma untuk berperilaku. Dalam hal ini, semua anggota dalam budaya memiliki asumsi yang serupa tentang bagaimana seseorang berpikir, berperilaku dan berkomunikasi serta cenderung untuk melakukan berdasarkan asumsi-asumsi tersebut”. Seorang Esposito dalam karya fontumentalnya (Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern). Menyatakan hasil risetnya tentang ziarah kubur sebagai hal yang pernah dilakukan umat islam zaman dahulu dan memiliki kecenderungan dilakukan sampai saat ini oleh golongan Islam yang masih menyakini tentang wasiah atau perantara orang-orang suci (Esposito, 2001:196)”. Umumnya umat Islam yang mempercayai hal itu dalam hidupnya dalam waktu tertentu berkunjung ke pemakaman tertentu yang dianggap sebagai orang suci semasa hidupnya. Seperti halnya makam Nangka Beurit Kabupaten Subang, yang sering dikunjungi oleh masyarakat untuk melakukan tradisi berziarah.

Pada masyarakat tertentu, tradisi yang berkaitan dengan peristiwa kelahiran, kematian dan perkawinan, serta berbagai peristiwa lainnya termasuk budaya ziarah kubur ternyata memiliki banyak ragamnya. berbagai tradisi itu secara turun temurun dilestarikan oleh para


(29)

penduduknya dengan berbagai motivasi dan tujuan yang tidak lepas dari pandangan hidup masyarakat pada umumnya. Dalam pandangan masyarakat yang sering melakukan ziarah kubur, diantaranya bahwa roh orang suci itu memiliki daya melindungi alam. Berikut merupakan padangan masyarakat mengenai ziarah yang telah diperjelas oleh Koentijaraningarat :

“Orang suci yang meninggal, arwahnya tetap memiliki daya sakti, yaitu dapat memberikan pertolongan kepada orang yang masih hidup sehingga anak cucu yang masih hidup senantiasa berusaha untuk tetap berhubungan dan memujanya. (Koentijaraninggrat, 1984:185)”.

Hal ini desebabkan dalam pandangan masyarakat umumnya roh yang meninggal itu bersifat abadi. Pada pernyataan tersebut peneliti memfokuskan objek pemakaman Nangka Beurit sebagai tempat berziarah, yang dijadikan sebagai media transendental. Fenomena ini dijadikan sebagai kebudayaan bagi masyarakat yang melakukan ritual ziarah dengan tujuan mendo‟akan, adanya tujuan atau harapan, merupakan peribadatan kepada Tuhan dan sebagai budaya yang turun-temurun.

Ziarah dijadikan media sebagai makna penyampaikan pesan-pesan yang bersifat verbal dan non verbal. Pemanfaatan media-media tradisional tentu saja tidak terlepas dari fungsinya masing-masing. Media tradisional dipergunakan sebagai sarana komunikasi untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu, dimana pemanfaatan media-media berfungsi untuk mentransmisikan pesan, menghibur, mendidik, mempengaruhi, juga mentransmisikan warisan sosial dan budaya dari suatu generasi ke generasi


(30)

berikutnya. Pesan-pesan tersebut ditransmisikan melalui simbol-simbol bahasa, warna, gerak, dan sebagainya yang memiliki makna.

Makna yang terekspresikan secara langsung dapat diamati lewat bahasa, sedangkan yang tersembunyi bisa diamati melalui kata-kata secara tidak langsung dan juga melalui perilaku serta dari sumber yang diamati seperti simbol-simbol. Menurut James P. Spradley (1997 : 121) dan dikutip oleh Alex Sobur dalam buku “Semiotika Komunikasi”, bahwa:

“Semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol.”

(Sobur, 2006 : 177)

Menurut Clifford Geertz (1922 : 51) dan dijelaskan kembali oleh Alex Sobur dalam buku “Semiotika Komunikasi”, bahwa: “Makna hanya

dapat „disimpan‟ di dalam simbol.” (Sobur, 2006 : 177)

Sekalipun demikian, didalam setiap masyarakat, orang tetap menggunakan sistem makna yang kompleks ini untuk mengatur tingkah laku mereka, untuk memahami diri mereka sendiri dan orang lain, serta untuk memahami dunia tempat mereka hidup.

Sistem simbol dan makna tersebut dapat diaplikasikan melalui interaksi simbolik. Esensi interaksi simbolik menurut Mulyana dan dikutip dalam bukunya Alex Sobur yang berjudul “Semiotika Komunikasi”, adalah: “Suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manuisa,


(31)

yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna.” (Sobur,

2006 : 197)

Sedangkan menurut Engkus Kuswarno dalam bukunya

“Etnografi Komunikasi” mengatakan bahwa:

“Karakteristik dasar ide ini adalah suatu hubungan yang terjadi

secara alami antara manusia dalam masyarakat dan hubungan masyarakat dengan individu. Interaksi yang terjadi antara individu berkembang melalui simbol-simbol yang mereka ciptakan. Realitas sosial merupakan rangkaian peristiwa yang terjadi pada beberapa individu dalam masyarakat. Interaksi yang dilakukan antar individu itu berlangsung secara sadar dan berkaitan dengan gerak tubuh, vokal, suara, dan ekspresi tubuh, yang kesemuanya itu mempunyai maksud dan disebut dengan simbol.” (Engkus Kuswarno, 2011 : 22)

Adapun menurut teoritisi interaksi simbolik yang dipaparkan dalam buku “Metodologi Penelitian Kualitatif” karya Deddy Mulyana bahwa:

“Kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan

menggunakan simbol-simbol. Mereka tertarik pada cara manusia menggunakan simbol-simbol yang merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya, dan juga pengaruh yang ditimbulkan penafsiran atas simbol-simbol ini terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial.” (Deddy Mulyana, 2010 : 71)

Dari beberapa esensi mengenai interaksi simbolik di atas, secara tidak langsung memberitahukan bahwa hidup agaknya memang digerakan oleh simbol-simbol, dibentuk oleh simbol-simbol, dan dirayakan dengan simbol-simbol dan itu yang menjadikan suatu aktivitas sebagai ciri khas manusia termasuk aktivitas budaya.


(32)

Dalam masyarakat, kebudayaan sering diartikan sebagai the general body of the arts, yang meliputi seni sastra, seni musik, seni pahat, seni rupa, ilmu pengetahuan dan filsafat, atau bagian-bagian yang indah dari kehidupan manusia, sedangkan menurut para ahli kebudayaan diartikan sebagai berikut :

Pengertian paling tua atas kebudayaan diajukan oleh Edward Burnett Tylor dalam karyanya berjudul “Primitive Culture” dan dikutip oleh Alo Liliweri, dalam bukunya yang berjudul “Dasar-Dasar

Komunikasi Antar Budaya” yang menyatakan bahwa: “Kebudayaan

adalah kompleks dari keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, adat istiadat dan setiap kemampuan lain dan kebiasaan yang

dimiliki oleh manusia sebagai anggota suatu masyarakat.” (Liliweri, 2004

: 107).

Menurut Selo Soemarjan dan Soelaeman Soemardi dalam buku yang berjudul “Sosiologi Suatu Pengantar” karya Soerjono Soekanto, kebudayaan didefinisikan sebagai berikut :

“Kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta

masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan manusia untuk menguasai alam sekitar, agar kekuatan serta hasil dapat diabadikan untuk keperluan

masyarakat.” (Soerjono Soekanto, 2007 : 151)

Dikatakan (Geertz, dalam Susanto, 1992:57) dan dikutip kembali oleh Alex Sobur, dalam buku “Semiotika Komunikasi”:


(33)

“Kebudayaan adalah sebuah pola dari makna-makna yang tertuang dalam simbol-simbol yang diwariskan melalui sejarah. Kebudayaan adalah sistem dari konsep-konsep yang diwariskan dan diungkapkan dalam bentuk-bentuk simbolik melalui mana manusia berkomunikasi, mengekalkan dan memperkembangkan pengetahuan tentang kehidupan ini dan bersikap terhadap

kehidupan ini.” (Alex Sobur, 2006 : 178)

Kearifan terlahir dari nilai-nilai dan perilaku dalam tatanan kehidupan masyarakat dalam proses yang tidak singkat dan keberlangsungannya dimediakan secara turun temurun. Kearifan lokal (local wisdom) merupakan kebijaksanaan yang dipraktekkan dalam berkehidupan masyarakat di suatu kawasan dengan menerapkan pengetahuan-pengetahuan lokal sesuai dengan watak dan perilaku masyarakatnya. Kearifan lokal ini disebut juga sebagai kearifan tradisional. Menurut Nina H. Lubis, dalam bukunya “Sejarah dan Budaya Politik”, Kearifan tradisional didefinisikan sebagai berikut :

"Kearifan tradisional atau kearifan lokal adalah sesuatu yang berakar pada masa lalu dalam kehidupan tradisional lokal yang dijadikan rujukan tatanan kehidupan dan kebudayaan lokal masing-masing. Setiap kelompok memiliki kearifan lokal tersendiri untuk memelihara kesatuan integritas dan juga jati diri kelompok atau kaumnya. Kearifan tradisional artinya wawasan atau cara pandang

menyeluruh yang bersumber dari tradisi kehidupan.” (Nina H.

Lubis, 2002 : 221)

Ajip Rosidi dalam bukunya yang berjudul “Kearifan Lokal”,

mengatakan bahwa istilah “Kearifan Lokal” merupakan terjemahan dari

“Local Genius”. “Local Genius” sendiri diperkenalkan pertama kali oleh Quaritch Wales pada tahun 1948-1949 dengan arti : “Kemampuan


(34)

kebudayaan setempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada

waktu kebudayaan itu berhubungan.” (Rosidi, 2011 : 29)

Bertolak dari penjelasan secara keseluruhan yang telah dikemukakan di atas. peneliti menyadari bahwa pentingnya keberadaan kebudayaan dalam suatu daerah, karena kebudayaan merupakan fakta kompleks yang selain memiliki kekhasan pada batas tertentu juga memiliki ciri yang bersifat universal dan menyangkut semua aspek kehidupan manusia yang disampaikan melalui suatu media ataupun interaksi, tetapi dewasa ini terdapat kecenderungan memudarnya nilai-nilai budaya pada setiap segi kehidupan masyarakat, khususnya budaya ziarah yang dijadikan sebagai media komunikasi transcendental.

Pada zaman dahulu orang menganggap ziarah sebagai kunjungan yang merujuk pada aktivitas mengunjungi pemakaman dengan maksud

mendo‟akan bagi yang sudah meninggal dan mengingat akan kematiannya.

Dalam hal ini Eposito (2001:195) berdasarkan dokumen kaum Sunni, pada suatu waktu antara periode 610 dan 622, Nabi jelas-jelas melarang mengunjungi pemakaman dikarenakan bobot praktik tersebut cenderung berlebihan. Seperti menangis di samping kuburan atau menatapi orang yang sudah tiada, mengelus-elus kuburan, bahkan sampai aksi menampar

pipi dan merobek pakaian (Bukhori, jana‟iz, hadis 382) Kegiatan yang

berlebihan semacam itulah yang samapai pada akhirnya muncul pelanggaran praktik ziarah kubur.


(35)

Spradley menjelaskan focus perhatian etnografi adalah pada apa yang individu dalam suatu masyarakat lakukan (prilaku), kemudian apa yang mereka bicarakan (bahasa), dan trakhir apakah ada hubungan antara prilaku dengan apa yang seharusnya dilakukan dalam masyrakat tersebut, sebaik apa yang mereka buat atau mereka pakai sehari-hari (artifak).

Disini peneliti tertarik untuk dapat meneliti mengenai Makna Ziarah Sebagai Media Komunikasi Transendental (Studi Etnografi Komunikasi Mengenai Ziarah di Pemakaman Nangka Beurit Kabupaten Subang), dimana disini peneliti ingin memberikan penjelasan mengenai adanya suatu tradisi ziarah yang sering dilakukan oleh masyarakat sebagai budaya yang dijadikan tradisi komunikasi transendental bagi yang berkunjung ke pemakaman Nangka Beurit Kabupaten Subang.

1.2. Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini, peneliti dapat merumuskan masalah berdasarkan kerangka pemikiran sebelumnya, yakni :

1.2.1. Pertanyaan Makro

Berdasarkan masalah diatas maka didapat pertanyaan makro dalam penelitian ini. Yaitu sebagai berikut :

“Bagaimana Makna Ziarah Sebagai Media Komunikasi

Transendental di Pemakaman Nangka Beurit Kabupaten Subang?”


(36)

1.2.2. Pertanyaan Mikro

Pada penelitian ini, peneliti merinci secara jelas dan tegas dari fokus pada rumusan masalah yang masih bersifat umum dengan subfokus-subfokus terpilih dan dijadikannya sebagai Pertanyaan Mikro. Dimana Pertanyaan Mikro akan dijabarkan seperti dibawah ini :

1. Bagaimana Situasi Simbolik Ziarah Sebagai Media Komunikasi Transendental di Pemakaman Nangka Beurit Kabupaten Subang? 2. Bagaimana Produk Interaksi Sosial Ziarah Sebagai Media

Komunikasi Transendental di Pemakaman Nangka Beurit Kabupaten Subang?

3. Bagaimana Interpretasi Ziarah Sebagai Media Komunikasi Transendental di Pemakaman Nangka Beurit Kabupaten Subang? 1.3. Kegunaan Penelitian

1.3.1. Maksud Penelitian

Adapun disini peneliti memiliki maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menguraikan, mengenai Makna Ziarah Sebagai Media Komunikasi Transendental di Pemakaman Nangka Beurit Kabupaten Subang.

1.3.2. Tujuan Penelitian

Bekaitan dengan masalah yang akan diteliti, maka adapun tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah :


(37)

1. Untuk Mengetahui Situasi Simbolik Ziarah Sebagai Media Komunikasi Transendental di Pemakaman Nangka Beurit Kabupaten Subang.

2. Untuk Mengetahui Produk Interaksi Sosial Ziarah Sebagai Media Komunikasi Transendental di Pemakaman Nangka Beurit Kabupaten Subang.

3. Untuk Mengetahui Interpretasi Ziarah Sebagai Media Komunikasi Transendental di Pemakaman Nangka Beurit Kabupaten Subang.

1.4. Kegunaan Penelitian 1.4.1. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis penulis berharap agar penelitian ini dapat menjadi bahan pengembangan ilmiah terutama bagi ilmu komunikasi khususnya mengenai makna ziarah sebagai media komunikasi transendental serta pengembangan ilmiah bagi ilmu sosial akan keberadaan budaya yang ada dalam sosialitas kita, yang salah satu contoh nyatanya mengenai ziarah sebagai media komunikasi.

1.4.2. Kegunaan Praktis

Adapun dalam penelitian ini, selain memiliki kegunaan teoritisnya peneliti pun memaparkan kegunaan praktis dari penelitian yang dilakukan. Yaitu :


(38)

a) Kegunaan untuk Peneliti

Dengan adanya penelitian ini diharapkan memberikan manfaat dan kegunaannya bagi peneliti. Dijadikan, sebagai pengalaman dan pembelajaran dalam mengaplikasikan pemahaman mengenai Ilmu Komunikasi secara umum dan Komunikasi Transendental.

b) Kegunaan untuk Akademik

Adapun manfaat dan kegunaannya bagi Akademisi. Dijadikan, sebagai literature bagi mahasiswa secara umum, dan bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi secara khusus, terutama bagi para peneliti selanjutnya dengan kajian penelitian yang sama. c) Kegunaan untuk Masyarakat

Dapat memberikan bahan masukan yang positif bagi masyarakat baik dari segi informasi ataupun dari segi evaluasi. Khususnya untuk yang melakukan Ziarah di Pemakaman Nangka Beurit Kabupaten Subang.

1.5. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini terbagi dalam lima bab, dalam memberikan gambarakn secara sistematis, maka peneliti menyusun susuan skripsi ke dalam lima bab, yaitu :


(39)

BAB I PENDAHULUAN

Pada Bab I peneliti menguraikan Latar belakang masalah, Rumusan masalah, Pertanyaan makro, Pertanyaan mikro, Maksud dan Tujuan penelitian, Kegunaan penelitian, Lokasi dan waktu penelitian, Sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini peneliti mencoba meninjau permasalahan dari aspek teoritis dalam mengkaji tinjauan mengenai komunikasi meliputi ; Pengertian komunikasi, Unsur-unsur komunikasi, Tujuan komunikasi. Tinjauan Tentang Etnografi Komunikasi ; Sejarah Kajian Etnografi Komunikasi, Definisi Etnografi, Metode Etnografi Untuk Penelitian Etnografi. Tinjauan tentang komunikasi transendental ; Pengertian komunikasi transendental, Hakikat komunikasi transendental, Tinjauan tentang interaksi simbolik ; Sejarah Interaksi Simbolik. Tinjauan tentang simbol : pengertian simbol, Jenis-jenis simbol. Tinjauan Tentang Kebudayaan : Unsur-unsur Kebudayaan. Tinjauan tentang Komunikator ; Pengertian dan karakteristik komunikator, Syarat-syarat komunikator, Tugas komunikator. Tinjauan tentang ziarah secara umum dan khusus ; Sejarah ziarah, pengertian ziarah secara umum dan khusus, tata cara berziarah, macam-macam ziarah. Tinjauan tentang pemakaman secara khusus dan umum; Pengertian pemakaman, Tinjauan tentang media ; Pengertian media, jenis-jenis madia, Fungsi media. Kerangka pemikiran.


(40)

BAB III OBJEK PENELITIAN

Pada bab ini peneliti memberikan gambaran tentang sejarah Makam Nangka Beurit Kabupaten Subang, Struktur organisasi yang ada di pemakaman. Tinjauan Pemakaman Nangka Beurit Kabupaten Subang, Tinjauan Ziarah secara Umum dan Khusus, Metode penelitian, Teknik pengumpulan data, Teknik penentuan informan, Teknik analisa data, serta Lokasi dan Waktu penelitian.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini peneliti mendeskripsikan mengenai informan, deskripsi hasil penelitian, dan deskripsi hasil penelitian mengenai “Makna Ziarah Sebagai Media Komunikasi Transendental di Pemakaman Nangka Beurit Kabupaten Subang”. Di bab ini peneliti menjelaskan hasil penelitian yang terdiri dari gambaran data yang didalamnya mengelompokkan data-data yang telah didapat oleh peneliti, dan menganalisa data dilakukan peneliti dengan memperoleh hasil wawancara peneliti dengan informan dan key informan penelitian.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab terakhir ini, peneliti menguraikan mengenai kesimpulan dan saran yang diperoleh peneliti dari keseluruhan hasil penelitian yang telah dilakukan.


(41)

19 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Tinjauan Penelitian Sebelumnya 2.1.1.1. Tinjauan Penelitian

Dalam penelitian skripsi Asep Ma’mun, 2007. Dengan

judul (Persepsi Masyarakat terhadap Ziarah Kubur: Studi Kasus atas Masyarakat Aeng Panas) Institut Dirasat Islamiyah Al-Amien (IDIA) Prenduan Sumenep Madura. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bahwa ziarah kubur merupakan anjuran Rasulullah SAW. Penelitian ini memfokuskan pada tiga hal yaitu : (1) Bagaimana persepsi masyarakat terhadap ziarah kubur? (2) Apakah motivasi yang mendorong masyarakat melakukan ziarah kubur? (3) Bagaimanakah tata cara pelaksanaan ziarah kubur?.

Menurut beberapa teori bahwa persepsi orang melakukan ziarah kubur adalah : (1) Untuk mendapatkan keselamatan, (2) Adanya tradisi yang ada di masyarakat (3) Menjadi ajang bisnis. Adapun motivasi orang berziarah kubur adalah : (1) Untuk mengingat kematian, (2) Mendoakan Mayat (mayit), (3) Adanya keyakinan bahwa ziarah kubur dapat mendatangkan ketenangan batin dan (4) Sebagai ibadah kepada Allah SWT. Sedangkan tata


(42)

cara pelaksanaan ziarah kubur ialah : (1) Bertindak sopan di area perkuburan, (2) Mendoakan si Mayit, (3) Mengucapkan salam dan (4) Menghadap kiblat.

Untuk menjawab permasalahan penelitian tersebut, penulis menggunakan pendekatan penelitian kualitatif lapangan dengan jenis penelitian studi kasus. Sumber data dalam penelitian ini adalah masyarakat Aeng Panas yang diambl lewat sampel. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, observasi dan studi dokumentasi.Sedangkan analisis data adalah analisis tematik.

Dari panggilan data dilapangan ditemukan bahwa persepsi masyarakat Aeng Panas terhadap ziarah kubur adalah : (1) Sebagai kegiatan mendatangi kuburan, (2) Mendoakan si mayit dan (4) Sebagai ibadah kepada Allah SWT. Adapun motivasi masyarakat Aeng Panas melakukan ziarah kubur adalah : (1) Mencari keberkahan, (2) Berharap hajatnya segera dikabulkan Oleh Tuhan, (3) Mendoakan si Mayit, (4) Untuk mengingat kematian, (5) Mencari ketenangan batin dan (6) Untuk mengatasi problematika hidup. Sedangkan tata cara yang dilakukan oleh masyarakat Aeng Panas dalam melakukan ziarah kubur adalah : (1) Membersihkan badan sebelum ziarah, (2) Suci dari hadast, (3) Mengucapkan salam, (4) Tawasul kepada Rasulullah, sanak kerabat dan si Mayit itu sendiri, (5) Membaca beberapa surat Fatihah, Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas, Tahlil dan Yasin dan (6) Membaca doa.


(43)

2.1.2. Tinjauan Tentang Komunikasi

2.1.2.1.Pengertian Komunikasi

Ilmu komunikasi, apabila diaplikasikan secara benar akan mampu mencegah dan menghilangkan konflik antarpribadi, antarkelompok, antarsuku, antarbangsa, dan antarras, membina kesatuan dan persatuan umat manusia penghuni bumi.

Pentingnya studi komunikasi karena permasalahan-permasalahan yang timbul akibat komunikasi.Manusia tidak bisa hidup sendirian.Ia secara tidak kodrati harus hidup bersama manusia lain, baik demi kelangsungan hidupnya, keamanan hidupnya, maupun demi keturunannya. Jelasnya, manusia harus hidup bermasyarakat. Masyarakat bisa berbentuk kecil, sekecil rumah tangga yang hanya terdiri dari dua orang suami istri, bisa berbentuk besar, sebesar kampung, desa, kecamatan, kabupaten atau kota, provinsi, dan Negara.

Dalam pergaulan hidup manusia dimana masing-masing individu satu sama lain beraneka ragam itu terjadi antara proses interaksi, saling mempengaruhi demi kepentingan dan keuntungan pribadi masing-masing. Terjadilah saling mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam bentuk percakapan.

Dalam “bahasa” komunikasi pernyataan dinamakan pesan


(44)

(communicator), sedangkan orang yang menerima pernyataan atau pesan disebut komunikan (communicate). Untuk lebih jelasnya, maka komunikasi itu sendiri adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan. Jika dianalisis pesan komunikasi terdiri dari dua aspek.Pertama isi pesan (the content of the message), kedua lambang (symbol).Konkretnya isi pesan itu adalah pikiran atau perasaan, lambang adalah bahasa. (Effendy, 2003:27)

Adapun pengertian komunikasi secara etimologis berasal dari bahasa Latin “Communicatio”. Istilah ini bersumber dari kata “Communis” yang berarti sama, sama disini maksudnya sama makna atau sama arti. Jadi, komunikasi terjadi apabila terdapat kesamaan makna mengenai suatu pesan yang disampaikan oleh komunikator dan diterima oleh komunikan.

Jika tidak ada kesamaan makna antara kedua aktor komunikasi (Communicatin Actors) yakni komunikator dan komunikan. Dengan kata lain apabila seorang komunikan tidak mampu mengerti dan memahami pesan yang disampaikan oleh komunikator, maka komunikasi tidak akan terjadi.

Scrhamm menyatakan bahwa field of experience atau bidang pengalaman merupakan faktor yang amat penting untuk terjadinya komunikasi. Apabila bidang pengalaman komunikator sama dengan bidang pengalaman komunikan, maka komunikasi


(45)

akan berlangsung lancar dan sebaliknya, jika pengalaman komunikator tidak sama dengan pengalaman komunikan, maka akan timbul kesukaran untuk mengerti satu sama lain, dengan kata lain situasi yang terjadi tidak komunikatif atau misscommunication. (Effendy, 2003:24)

2.1.2.2. Unsur Komunikasi

Proses komunikasi adalah dimana proses terjadinya interaksi antara komunikator dan komunikan. Laswell dalam buku Onong Uchjana Effendy “Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi”, memberikan definisi atau pengertian komunikasi sebagai proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu. Dari definisi tersebut menunjukan bahwa komunikasi meliputi 5 unsur yakni :

1. Who (siapa) : siapa yang mengkomunikasikan atau siapa komunikator yang menyampaikan pesan/infromasi kepada komunikan.

2. Says What (berkata apa) : apa yang dikatakan oleh komunkator kepada komunikan.

3. In Which Channel (melalui saluran apa) : melalui saluran apa yang digunakan oleh komunikator dalam menyampaikan informasi atau pesannya kepada komunikan.


(46)

4. With What Effect (dengan efek apa) : efek apa yang ditimbulkan oleh isi pesan atau informasi yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan. (Effendy, 2003:253) Jadi, komunikasi adalah sebagai proses atau tindakan menyampaikan pesan (message) dari pengirim (sender) ke penerima (the receiver), melalui suatu medium (channel) yang biasanya mengalami gangguan (noise). Dalam definisi ini, komunikasi haruslah bersifat disengaja (intentional) serta membawa perubahan.

2.1.2.3.Tujuan Komunikasi

Adapun tujuan dari komunikasi itu sendiri menurut buku Onong Uchjana Effendy yang berjudul “Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi”,yaitu :

a. Mengubah sikap (to change the attitude)

b. Mengubah opini/pendapat/pandangan (to change the opinion)

c. Mengubah perilaku (to change the behavior) d. Mengubah masyarakat (to change the society)

(Effendy, 2003:55)

2.1.3 Tinjauan Tentang Etnografi Komunikasi 2.1.3.1. Sejarah Kajian Etnografi Komunikasi

Etnografi komunikasi adalah suatu kajian mengenai pola-pola komunikasi sebuah komunitas budaya. Secara makro kajian ini adalah bagian dari etnografi.


(47)

Etnografi komunikasi (ethnography of communication) merupakan pengembangan dari Etnografi berbicara (Ethnography of speaking), yang dikemukakan oleh Dell Hymes pada tahun 1962 (Ibrahim, 1994:5). Pengkajian Etnografi komunikasi ditujukan pada kajian peranan bahasa dalam perilaku komunikatif suatu masyarakat, yaitu mengenai cara-cara bagaimana bahasa dipergunakan dalam masyarakat yang berbeda-beda kebudayaannya.

Thomas R. Lindlof dan Briyan C. Taylor, dalam bukunya Qualitative Communicatin Research Methold, menyatakan “ Ethnografi of Communication (EOC) cocnceptualizes communication as a countinous flow of information, rather than as segmented exchanges message” (Lindlof & Taylor, 2002:44). Dalam pernyataan tersebut, Lindof dan Taylor menegaskan bahwa konsep komunikasi merupakan arus informasi yang berkesinambungan, bukan sekedar pertukaran pesan antar komponennya semata.

Etnografi komunikasi berakar pada istilah bahasa dan interaksi sosial dalam aturan penelitian kulaitatif komunikasi. Penelitiannya mengikuti tradisi psikologi, sosiologi, linguisitik, dan antropologi. Etnografi komunikasi difokuskan pada kode-kode budaya dan ritual-ritual.


(48)

2.1.3.2. Definisi Etnografi

Istilah Etnografi berasal dari kata ethno (bangsa) dan grafhy (menguraikan), jadi etnografi yang dimaksud adalah usaha untuk menguraikan kebudayaan atau aspek-aspek kebudayaan (Meleong, 1990:13). Etnografi merupakan suatu bangunan pengetahuan yang meliputi teknik penelitian, teori etnografi, dan berbagai macam deskrifsi kebudayaan (Spardley, 1997:12).

Etnografi lazimnya bertujuan menguraikan suatu budaya secara menyeluruh, yakni semua aspek budaya, baik yang material seperti artefak budaya (alat-alat, pakaian, bangunan, dan sebagainya) dan yang bersifat abstrak, seperti pengalaman, kepercayaan, norma dan sistem nilai kelompok yang diteliti. Uraian tebal (thick description) merupakan ciri utama etnografi (Mulyana, 2003:161).

Etnografi komunikasi merupakan penerapan metode etnografis pada pola komunikasi yang bermakna baik menggunakan tuturan verbal maupun isyarat, bahasa tubuh atau tanda nonverbal dalam sebuah kelompok. Di sini, seorang penafsir mencoba memberikan pengertian bagi beragam bentuk komunikasi yang digunakan oleh anggota kelompok atau budaya. Sebelum istilah etnografi komunikasi semakin populer dipakai, istilah etnografi berbicara (ethnography of speaking) lebih awal diacu sebagai pemerian pemakaian bahasa lisan. Etnografi komunikasi


(49)

menjadi lebih luas karena tidak hanya melingkupi modus komunikasi lisan (speaking), tetapi juga melibatkan komunikasi tulis (writing) serta komunikasi isyarat (gesture), gerakan tubuh (kinesics), atau tanda (signing).

Istilah etnography of speaking awalnya diperkenalkan oleh seorang pakar antropologi dan sekaligus pakar linguistik Amerika, Dell Hymes. Hymes memprihatinkan karya para pakar antropologi dan linguistik yang melupakan wilayah komunikasi manusia yang luas dan penting. Para antropolog telah lama melakukan kajian etnografis tentang aspek-aspek budaya seperti sistem kekerabatan, pandangan tradisional tentang obat-obatan dan penyembuhan penyakit, persoalan bahasa diperlakukan di bawah aspek lain, yaitu sebagai sarana untuk memperoleh topik-topik lain dari bahasa. Banyak buku yang mengkaji tentang perbandingan agama, perbandingan politik dan sebagainya, tetapi tidak ada buku tentang perbandingan wicara dari berbagai suku. Para linguis, menurutnya juga terlalu mementingkan bahasa sebagai sistem abstrak. Mereka terpaku untuk memerikan dan menjelaskan struktur kalimat yang dianggap gramatikal oleh penutur asli. Namun, bagaimana orang menggunakan kalimat itu apakah berbeda dengan kalimat lain, apakah kalimat itu menyuruh orang lain, atau memamerkan ujaran saja, dianggap di luar perhatian teori linguistik. Menurut Hymes


(50)

pakar itu memisahkan diri dari pola penggunaan tutur” (Hymes,

1974:126).

2.1.3.3. Metode Etnografi Untuk Penelitian Komunikasi

Metode Etnografi merupakan pendekatan empiris dan teoretis yang bertujuan mendapatkan deskripsi dan analisis mendalam tentang kebudayaan berdasarkan penelitian lapangan (fieldwork) yang intensif. Menurut Geertz (1973) etnograf bertugas membuat thick descriptions (pelukisan mendalam) yang

menggambarkan „kejamakan struktur-struktur konseptual yang

kompleks’, termasuk asumsi-asumsi yang tak terucap dan taken-for-granted (yang dianggap sebagai kewajaran) mengenai kehidupan. Seorang etnografer memfokuskan perhatiannya pada detil-detil kehidupan lokal dan menghubungkannya dengan proses-proses sosial yang lebih luas.

Kajian budaya etnografis memusatkan diri pada penjelajahan kualitatif tentang nilai dan makna dalam konteks

„keseluruhan cara hidup’, yaitu dengan persoalan kebudayaan, dunia-kehidupan (life-worlds) dan identitas. Dalam kajian budaya yang berorientasi media, etnografi menjadi kata yang mewakili beberapa metode kualitatif, termasuk pengamatan pelibatan, wawancara mendalam dan kelompok diskusi terarah.


(51)

Kerja seorang peneliti dengan metode ini, sesuai dengan analogi yang dikemukakan Griffin adalah bagaikan seorang ahli geografi yang melakukan pemetaan. Pemetaan yang dilakukan peneliti adalah pemetaan sosial. Dalam melakukan pemetaan peneliti berupaya untuk bekerja holistik, terkontekstualisasi, menggunakan perspektif emik, serta menggunakan perspektif yang bersifat tidak menyatakan pendapat (nonjudgemental orientation) atas realitas yang diamati. Perspektif holistik berkenaan dengan asumsi bahwa seorang peneliti harus memperoleh suatu gambaran yang lengkap dan komprehensif tentang kelompok sosial yang diteliti. Dalam pengkontekstualisasian data meliputi pengamatan ke dalam suatu perspektif yang lebih besar, misalnya dalam konteks politik, sejarah, ekonomi. Berkenaan dengan perspektif emik, maka peneliti dalam mengumpulkan data akan berangkat dari pandangan masyarakat setempat, meski tanpa harus mengabaikan analisis ilmiah si peneliti sendiri, sedangkan orientasi nonjudgemental merupakan orientasi yang mendorong peneliti mengadakan eksplorasi tanpa melakukan penilaian yang tidak sesuai dan tidak perlu. Oleh karena itu peneliti harus berusaha untuk melihat budaya yang berbeda dengan budaya dia berasal tanpa membuat penilaian tentang praktek- praktek yang diamatinya itu. Dengan kata lain harus meninggalkan tindakan etnosentris.


(52)

2.1.4 Tinjauan Tentang Komunikasi Transendental 2.1.4.1. Pengertian Komunikasi Transendental

Transendental secara bahasa dalam istilah filsafat berarti suatu yang tidak dapat diketahui, suatu pengalaman yang terbebas dari penomena namun berada dalam gugusan pengetahuan seseorang. Dalam istilah agama diartikan suatu pengalaman mistik atau spiritual karenanya berada diluar jangkauan dunia.

Maka komunikasi transendental bisa diartikan peroses membagi ide, informasi, dan pesan dengan orang lain pada tempat dan waktu tertentu serta berhubungan erat dengan hal-hal yang bersifat transenden (metafisik dan pengalaman supranatural). Hingga komponen komunikasi seperti siapa (what) bisa bersifat metafisik, isi (say what) juga berhubungan dengan metafisik, demikian juga dengan kepada siapa (to whom) dan media perantara (channel) serta efeknya.

2.1.4.2. Hakikat Komunkasi Transendental

Pernahkan Anda bersujud kepada Allah SWT di waktu shalat malam dan merasakan bahwa Allah SWT memberikan jawaban atas masalah yang dihadapi, apakah Anda pernah mengetahui dengan persis apa yang akan terjadi pada diri sahabat Anda padahal Anda sedang tak berada dekat dengannya?


(53)

Pernahkah Anda merasakan ada sesuatu hal yang akan terjadi pada diri orang-orang yang Anda kasihi?

Apabila Anda pernah merasakan hal-hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa sesungguhnya Anda sedang menjalani sebuah komunikasi yang sifatnya transendental.Komunikasi Transendental secara teoritis dapat diartikan sebagai salah satu wujud berpikir mengenai bagaimana menemukan hukum-hukum alam dan keberadaan komunikasi manusia dengan Allah SWT atau antara manusia dengan kekuatan yang diluar kemampuan pikir manusia tahu keberadaannyadilandasi oleh rasa cinta (mahabbah) tanpa pamrih. Itulah sebabnya mengapa kita sering merasakan adanya firasat tertentu mengenai apa yang akan atau sedang terjadi pada orang-orang yang kita kasihi. Cinta tulus tanpa pamrihmenjadi syarat dari munculnya komunikasi transendental.

Walaupun diakui eksistensinya oleh manusia, Komunikasi Transendental sangat dirahasiakan oleh manusia.Membicarakan eksistensi Komunikasi Transendental sendiri merupakan penemuan dari hasil interaksi manusia dan perenungan yang mendalam tentang penciptaanya.Penemuan manusia atas komunikasi transendental pada akhirnya dapat digunakan untuk mencari kebenaran sebagai pedoman hidup manusi di alam ciptaan Allah SWT yakni dunia. Melalui komunikasi transendental hidup manusia akan terasa tentram, damai, dan sejahtera karena dilandasi


(54)

oleh rasa cinta tanpa pamrih sebagaimana cinta sang ibu kepada anaknya. Demikina pula rasa cinta kepada sang Pencipta dan kepada sesama manusia.

2.1.5.Tinjauan Tentang Interaksi Simbolik 2.1.5.1. Sejarah Interaksi Simbolik

Sejarah Teori Interaksi Simbolik tidak bisa dilepaskan dari pemikiran George Harbert Mead (1863-1931). Mead dilahirkan di Hadley, satu kota kecil di Massachusetts. Karir Mead berawal saat beliau menjadi seorang professor di kampus Oberlin, Ohio, kemudian Mead berpindah pindah mengajar dari satu kampus ke kampus lain, sampai akhirnya saat beliau di undang untuk pindah dari Universitas Michigan ke Universitas Chicago oleh John Dewey. Di Chicago inilah Mead sebagai seseorang yang memiliki pemikiran yang original dan membuat catatan kontribusi kepada

ilmu sosial dengan meluncurkan “the theoretical perspective” yang

pada perkembangannya nanti menjadi cikal bakal “Teori Interaksi Simbolik”, dan sepanjang tahunnya, Mead dikenal sebagai ahli sosial psikologi untuk ilmu sosiologis. Mead menetap di Chicago selama 37 tahun, sampai beliau meninggal dunia pada tahun 1931 (Rogers. 1994: 166).

Semasa hidupnya Mead memainkan peranan penting dalam membangun perspektif dari Mahzab Chicago, dimana


(55)

memfokuskan dalam memahami suatu interaksi perilaku sosial, maka aspek internal juga perlu untuk dikaji (West-Turner. 2008: 97). Mead tertarik pada interaksi, dimana isyarat non verbal dan makna dari suatu pesan verbal, akan mempengaruhi pikiran orang yang sedang berinteraksi. Dalam terminologi yang dipikirkan Mead, setiap isyarat non verbal (seperti body language, gerak fisik, baju, status, dll) dan pesan verbal (seperti kata-kata, suara, dll) yang dimaknai berdasarkan kesepakatan bersama oleh semua pihak yang terlibat dalam suatu interaksi merupakan satu bentuk simbol yang mempunyai arti yang sangat penting (a significant symbol).

Menurut Fitraza (2008), Mead tertarik mengkaji interaksi sosial, dimana dua atau lebih individu berpotensi mengeluarkan simbol yang bermakna. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh simbol yang diberikan oleh orang lain, demikian pula perilaku orang tersebut. Melalui pemberian isyarat berupa simbol, maka kita dapat mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya dengan cara membaca simbol yang ditampilkan oleh orang lain.

Selain Mead, telah banyak ilmuwan yang menggunakan pendekatan teori interaksi simbolik dimana teori ini memberikan pendekatan yang relatif khusus pada ilmu dari kehidupan kelompok manusia dan tingkah laku manusia, dan banyak memberikan kontribusi intelektual, diantaranya John Dewey,


(56)

Robert E. Park, William James, Charles Horton Cooley, Ernest Burgess, James Mark Baldwin (Rogers. 1994: 168). Generasi setelah Mead merupakan awal perkembangan interaksi simbolik, dimana pada saat itu dasar pemikiran Mead terpecah menjadi dua Mahzab (School), dimana kedua mahzab tersebut berbeda dalam hal metodologi, yaitu (1) Mahzab Chicago (Chicago School) yang dipelopori oleh Herbert Blumer, dan (2) Mahzab Iowa (Iowa School) yang dipelopori oleh Manfred Kuhn dan Kimball Young (Rogers. 1994: 171).

Mahzab Chicago yang dipelopori oleh Herbert Blumer (pada tahun 1969 yang mencetuskan nama interaksi simbolik) dan mahasiswanya, Blumer melanjutkan penelitian yang telah dilakukan oleh Mead. Blumer melakukan pendekatan kualitatif, dimana meyakini bahwa studi tentang manusia tidak bisa disamakan dengan studi terhadap benda mati, dan para pemikir yang ada di dalam mahzab Chicago banyak melakukan pendekatan interpretif berdasarkan rintisan pikiran George Harbert Mead (Ardianto. 2007: 135). Blumer beranggapan peneliti perlu meletakkan empatinya dengan pokok materi yang akan dikaji, berusaha memasuki pengalaman objek yang diteliti, dan berusaha untuk memahami nilai-nilai yang dimiliki dari tiap individu. Pendekatan ilmiah dari Mahzab Chicago menekankan pada riwayat hidup, studi kasus, buku harian (Diary), autobiografi, surat,


(57)

interview tidak langsung, dan wawancara tidak terstruktur (Wibowo. 2007).

Mahzab Iowa dipelopori oleh Manford kuhn dan mahasiswanya (1950-1960an), dengan melakukan pendekatan kuantitatif, dimana kalangan ini banyak menganut tradisi epistemologi dan metodologi post-positivis (Ardianto. 2007: 135). Kuhn yakin bahwa konsep interaksi simbolik dapat dioprasionalisasi, dikuantifikasi, dan diuji. Mahzab ini mengembangkan beberapa cara pandang yang baru mengenai

”konsep diri” (West-Turner. 2008: 97-98). Kuhn berusaha mempertahankan prinsip-prinsip dasar kaum interaksionis, dimana Kuhn mengambil dua langkah cara pandang baru yang tidak terdapat pada teori sebelumnya, yaitu: (1) memperjelas konsep diri menjadi bentuk yang lebih kongkrit; (2) untuk mewujudkan hal yang pertama maka beliau menggunakan riset kuantitatif, yang pada akhirnya mengarah pada analisis mikroskopis (LittleJohn. 2005: 279). Kuhn merupakan orang yang bertanggung jawab atas

teknik yang dikenal sebagai ”Tes sikap pribadi dengan dua puluh

pertanyaan [the Twenty statement self-attitudes test (TST)]”. Tes sikap pribadi dengan dua puluh pertanyaan tersebut digunakan untuk mengukur berbagai aspek pribadi (LittleJohn. 2005: 281). Pada tahap ini terlihat jelas perbedaan antara Mahzab Chicago dengan Mahzab Iowa, karena hasil kerja Kuhn dan


(58)

teman-temannya menjadi sangat berbeda jauh dari aliran interaksionisme simbolik. Kelemahan metode Kuhn ini dianggap tidak memadai untuk menyelidiki tingkah laku berdasarkan proses, yang merupakan elemen penting dalam interaksi. Akibatnya, sekelompok pengikut Kuhn beralih dan membuat Mahzab Iowa

”baru”.

Mahzab Iowa baru dipelopori oleh Carl Couch, dimana pendekatan yang dilakukan mengenai suatu studi tentang interaksi struktur tingkah laku yang terkoordinir, dengan menggunakan sederetan peristiwa yang direkam dengan rekaman video (video tape). Inti dari Mahzab ini dalam melaksanakan penelitian, melihat bagaimana interaksi dimulai (openings) dan berakhir (closings), yang kemudian melihat bagaimana perbedaan diselesaikan, dan bagaimana konsekuensi-konsekuensi yang tidak terantisipasi yang telah menghambat pencapaian tujuan-tujuan interaksi dapat dijelaskan. Satu catatan kecil bahwa prinsip-prinsip yang terisolasi ini, dapat menjadi dasar bagi sebuah teori interaksi simbolik yang terkekang di masa depan (LittleJohn. 2005: 283).

Interaksi berarti bahwa para peserta masing-masing memindahkan diri mereka secara mental ke dalam posisi orang lain. Dengan berbuat demikian, mereka mencoba mencari arti maksud yang oleh pihak lain diberikan kepada aksinya, sehingga komunikasi dan interaksi dimungkinkan. Dengan demikian,


(59)

interaksi tidak hanya berlangsung melalui gerak-gerak saja, melainkan terutama melalui simbol-simbol yang perlu dipahami dan dimengerti maknanya.

Dalam interaksi simbolik, orang mengartikan dan menafsirkan gerak-gerak orang lain dan bertindak sesuai dengan arti itu. Blumer mengatakan dan dikutip dalam buku “Semiotika Komunikasi” karya Alex Sobur, sebagai berikut:

“Orang menimbang perbuatan masing-masing orang secara timbal-balik, dan hal ini tidak hanya merangkaikan perbuatan orang yang satu dengan perbuatan orang yang lain, melainkan menganyam perbuatan-perbuatan yang mereka menjadi apa yang barangkali boleh disebut sebagai transaksi, dalam arti bahwa perbuatan-perbuatan yang diasalkan dari masing-masing pihak diserasikan, sehingga membentuk suatu aksi bersama yang menjembatani

mereka.” (Alex Sobur, 2006 : 195)

Istilah pertama kali diperkenalkan oleh Herbert Blumer dalam lingkup sosiologi, sebenarnya ide ini telah dikemukakan oleh George Herbert Mead (gurunya Blumer) yang kemudian dimodifikasi Blumer untuk tujuan tertentu.Herbert Blumer, mahaguru Universitas California di Berkeley seperti dikutip Veeger (1993), telah berusaha memadukan konsep-konsep Mead ke dalam suatu teori sosiologi yang sekarang dikenal dengan nama interaksionisme simbolik, sebuah ekspresi bahkan tidak pernah digunakan oleh Mead sendiri. Blumer menyebutnya istilah tersebut sebagai “a somewhat barbaric neologism that I coined in


(60)

an offhand way… The term somehow caught on” (sebuah kata baru

kasar yang aku peroleh tanpa pemikiran… Istilah yang terjadi

begitu saja)

Mead mengembangkan teori interaksi simbolik tahun 1920-an dan 1930-an ketika menjadi profesor filsafat di Universitas Chicago. Kemudian Herbert Blumer pada 1937 mempopoulerkannya di kalangan komunitas akademik.

Interaksionisme simbolik mengandung inti dasar pemikiran umum tentang komunikasi dan masyarakat.Jerome Manis dan Bernard Meltzer memisahkan tujuh hal mendasar yang bersifat teoritis dan metodologis dari interaksionisme simbolik dan dikutip

dalam buku “Semiontika Komunikasi” karya Alex Sobur Masing-masing hal tersebut mengidentifikasi sebuah konsep sentral mengenai tradisi yang dimaksud, yakni:

1. Orang-orang dapat mengerti berbagai hal dengan belajar dari pengalaman. Presepsi seseorang selalu diterjemahkan dalam simbol-simbol.

2. Berbagai makna dipelajari melalui interaksi di antara orang-orang. Makna muncul dari adanya pertukaran simbol-simbol dalam kelompok sosial.

3. Seluruh struktur dan institusi sosial diciptakan dari adanya interaksi di antara orang-orang.

4. Tingkah laku seseorang tidak mutlak ditentukan oleh kejadian-kejadian pada masa lampau saja, namun juga dilakukan secara sengaja.

5. Pikiran terdiri atas sebuah percakapan internal, yang merefleksikan interaksi yang telah terjadi antara seseorang dengan orang lain.

6. Tingkah laku terbentuk atau tercipta di dalam kelompok sosial selama proses interaksi.


(61)

7. Kita tidak bisa memahami pengalaman seseorang individu dengan mengamati tingkah lakunya saja. Pemahaman dan pengertian seseorang akan berbagai hal harus diketahui. (Alex Sobur, 2006 : 196-197)

Esensi interaksi simbolik menurut Mulyana dan dikutip dalam bukunya Alex Sobur, yang berjudul “Semiotika Komunikasi”, adalah: “Suatu aktivitas yang merupakan ciri khas

manuisa, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi

makna.” (Sobur, 2006 : 197)

Menurut Engkus Kuswarno, dalam bukunya “Etnografi

Komunikasi” mengatakan bahwa:

“Karakteristik dasar ide ini adalah suatu hubungan yang

terjadi secara alami antara manusia dalam masyarakat dan hubungan masyarakat dengan individu.Interaksi yang terjadi antara individu berkembang melalui simbol-simbol yang mereka ciptakan.Realitas sosial merupakan rangkaian peristiwa yang terjadi pada beberapa individu dalam masyarakat.Interaksi yang dilakukan antar individu itu berlangsung secara sadar dan berkaitan dengan gerak tubuh, vokal, suara, dan ekspresi tubuh, yang kesemuanya itu mempunyai maksud dan disebut dengan simbol.” ( Engkus Kuswarno, 2011 : 22)

Adapun menurut teoritisi interaksi simbolik yang dipaparkan dalam buku “Metodologi Penelitian Kulaitatif” karya Deddy Mulyana bahwa:

“Kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Mereka tertarik pada cara manusia menggunakan simbol-simbol yang merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya, dan juga pengaruh yang


(62)

ditimbulkan penafsiran atas simbol-simbol ini terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial.” (Deddy Mulyana, 2010 : 71)

Pemikiran Blumer memiliki pengaruh cukup luas dalam berbagai riset sosiologi.Bahkan Blumer memiliki pengaruh cukup luas dalam berbagai riset sosial.Selain itu Blumer pun berhasil mengembangkan interaksinisme simbolik sampai pada tingkat metode yang cukup rinci.Teori interaksionosme simbolis yang dimaksud Blumer bertumpu pada tiga premis utama dan dikutip dalam buku yang berjudul “Semiontika Komunikasi” karya Alex Sobur, sebagai berikut:

1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka.

2. Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang lain.

3. Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial sedang berlangsung.

(Alex Sobur, 2006 : 199)

Dalam buku “Metodologi Penelitian Kulaitatif” karya Deddy Mulyana, secara ringkas, interaksionisme simbolik didasarkan premis-premis berikut:

Pertama, individu merespons suatu situasi simbolik.Mereka merespons lingkungan, termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial (perilaku manusia) berdasarkan makna yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka.

Kedua, makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa.


(63)

Ketiga, makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial.”

(Deddy Mulyana, 2010 : 71-72)

Interaksi simbolik dalam pembahasanya telah berhasil membuktikan adanya hubungan antara bahasa dan komunikasi.Sehingga, pendekatan ini menjadi dasar pemikiran ahli-ahli ilmu sosiolingusitik dan ilmu komunikasi.

2.1.6. Tinjauan Tentang Simbol

Hidup agaknya memang digerakan oleh simbol-simbol, dibentuk oleh simbol-simbol, dan dirayakan dengan simbol-simbol.Simbol itu muncul dalam konteks yang sangat beragam dan dipergunakan untuk berbagai tujuan. Menurut P. Spradley yang dikutip oleh Alex Sobur,

dalam buku yang berjudul “Semiotika Komunikasi, bahwa: “Simbol

adalah objek atau peristiwa apapun yang merujuk pada sesuatu.” (Sobur,

2006 : 154). Simbol ada di mana-mana, dalam dongeng, dalam film, dalam novel yang semuanya cermin dunia simbolis, atau dalam berbagai ritual peribadatan

2.1.6.1. Pengertian Simbol

Secara etimologis simbol (symbol) berasal dari kata Yunani “sym-ballein” yang berarti melemparkan bersama suatu (benda,


(64)

perbuatan) dikaitkan dengan suatu .Ada pula yang menyebutnya “symbolos”, yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Biasanya simbol terjadi berdasarkan metonimi (metonimy), yakni nama untuk benda lain yang berasosiasi atau yang menjadi atributnya (misalnya Si kaca mata untuk seseorang yang berkaca mata) dan metafora (metaphor), yaitu pemakaian kata atau ungkapan lain untuk objek atau konsep lain berdasarkan kias atau persamaan (mislanya kaki gunung, kaki meja, berdasarkan kias pada kaki manusia).

Semua simbol melibatkan tiga unsur simbol itu sendiri, satu rujukan atau lebih, dan hubungan antara simbol dengan rujukan. Keitga hal ini merupakan dasar bagi semua makna simbolik. Suatu karangan WJS Poerwadarminta yang dikutip

dalam buku yang berjudul “Semiotika Komunikasi” karya Alex Sobur disebutkan:

“Simbol atau lambang adalah semacam tanda, lukisan,

perkataan, lencana, dan sebagainya, yang menyatakan sesuatu hal, atau mengandung maksud tertentu.Misalnya, warna putih merupakan lambang kesucian, lambang padi lambang kemakmuran, dan kopiah merupakan salah satu

tanda pengenal bagi warga Negara Republik Indonesia.”

(Alex Sobur, 2006 : 156)

Simbol adalah bentuk yang menandai sesuatu yang lain di luar perwujudan bentuk simbolik itu sendiri. Simbol yang


(65)

simbolik itu sendiri.Dalam kaitan ini Peirce mengemukakan dan dikutip oleh Alex Sobur, masih dalam buku yang sama yang

berjudul “Semiotika Komunikasi”, bahwa:

A symbol is a sign which refers to the object that is denotes by virtue of a law, usually an association of general ideas, which operates to cause the symbol to be interpreted as referring to that object.” (Sobur, 2006 : 156) Simbol tidak dapat disikapi secara isolatif, terpisah dari hubungan asosiatifnya dengan simbol lainnya.Walaupun demikian berbeda dengan bunyi, simbol telah memiliki kesatuan bentuk dan makna. Berbeda pula dengan tanda (sign), simbol merupakan kata atau sesuatu yang bisa dianalogikan sebagai kata yang telah terkait dengan (1) penafsiran pemakai, (2) kaidah pemakai sesuai dengan jenis wacananya, dan (3) kreasi pemberian makna sesuai dengan intense pemakainya. Simbol yang ada dalam dan berkaitan dengan ketiga butir tersebut disebut bentuk simbolik. (Sobur, 2006 : 156)

Lain daripada alegori, cerita yang dikisahkan dalam lambang-lambang merupakan metafora yang diperluas dan berkesinambungan, tempat atau wadah objek-objek atau gagasan-gagasan yang diperlambangkan, maka simbol terpengaruh oleh perasaan.


(66)

Menurut Alex Sobur, yang dipaparkan melalui buku yang

berjudul “Semiotika Komunikasi” dalam “bahasa” komunikasi,

“Simbol seringkali diistilahkan sebagai lambang. Simbol atau

lambang adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu

lainnya, berdasarkan kesepakatan kelompok orang.” (Sobur,

2006 : 157)

Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku (nonverbal), dan objek yang maknanya disepakati bersama.Kemampuan manusia menggunakan lambang verbal memungkinkan perkembangan bahasa dan menangani hubungan antara manusia dan objek (baik nyata maupun abstrak) tanpa kehadiran manusia dan objek tersebut.

Jika simbol merupakan salah satu unsur komunikasi, maka seperti halnya komunikasi, simbol tidak muncul dalam suatu ruang hampa-sosial, melainkan dalam suatu konteks atau situasi tertentu.

Pada dasarnya, simbol adalah sesuatu yang berdiri atau ada untuk sesuatu yang lain, kebanyakan di antaranya tersembunyi atau tidaknya tidak jelas. Seperti apa yang dikatakan oleh Asa Berger dan dikutip dalam buku “Semiotika Komunikasi” yang ditulis oleh Alex Sobur, yaitu:

“Simbol-simbol adalah kunci yang memungkinkan kita untuk membuka pintu yang menutupi perasaan-perasaan


(67)

ketidaksadaran dan kepercayaan kita melalui penelitian yang mendalam.Simbol-simbol merupakan pesan dari

ketidaksadaran kita.” (Alex Sobur, 2006 : 163)

2.1.6.2. Jenis-jenis Simbol

Dalam buku yang berjudul “Semiotika Komunikasi” yang ditulis oleh Alex Sobur pada dasarnya simbol dapat dibedakan menjadi tiga jenis (Hartoko & Rahmanto, 1998 : 133), yaitu:

1. Simbol-simbol universal, berkaitan dengan arketipos, mislanya tidur sebagai lambang kematian.

2. Simbol cultural yang dilatarbelakangi oleh suatu kebudayaan tertentu (misalnya keris dalam kebudayaan Jawa)

3. Simbol individual yang biasanya dapat ditafsirkan dalam konteks keseluruhan karya seseorang pengarang.

(Sobur, 2006 : 157)

2.1.6.3. Simbol-simbol Budaya Religi

Menurut James P. Spradley (1997 : 121) dan dikutip oleh Alex Sobur dalam buku “Semiotika Komunikasi”, bahwa: “Semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol.” (Sobur, 2006 : 177)

Adapun pengertian simbol menurut Clifford Geertz (1922 : 51) dan dijelaskan kembali oleh Alex Sobur, dalam buku

Semiotika Komunikasi”, bahwa: “Makna hanya dapat

„disimpan’ di dalam simbol.” (Sobur, 2006 : 177)

Pengetahuan kebudayaan lebih dari suatu kumpulan simbol, baik istilah-istilah rakyat maupun jenis-jenis simbol lain. Semua


(1)

dan dijadikannya sebagai Pertanyaan Mikro. Dimana Pertanyaan Mikro akan dijabarkan seperti dibawah ini :

1. Bagaimana Situasi Simbolik Ziarah Sebagai Media Komunikasi Transendental di Pemakaman Nangka Beurit Kabupaten Subang?

2. Bagaimana Produk Interaksi Sosial Ziarah Sebagai Media Komunikasi Transendental di Pemakaman Nangka Beurit Kabupaten Subang?

3. Bagaimana Interpretasi Ziarah Sebagai Media Komunikasi Transendental di Pemakaman Nangka Beurit Kabupaten Subang?

1.3 Metode Penelitian

Pendekatan penelitian ini adalah kualitatif dengan studi etnografi komunikasi melalui pendekatan interaksi simbolik. Subjek penelitian adalah orang yang melakukan ziarah di pemakaman Nangka Beurit Kabupaten Subang. Informan dipilih dengan teknik purposive sampling, untuk informan peneliti berjumlah 5 (Lima) orang yang terdiri dari orang yang melakukan ritual ziarah di pemakaman Nangka Beurit Kabupaten Subang, dan untuk memperjelas serta memperkuat data adanya informan kunci berjumlah 1 (Satu) orang. Data penelitian diperoleh melalui wawancara mendalam, observasi partisipan, dokumentasi, studi pustaka dan penelusuran data online. Untuk uji validitas data menggunakan uji kredibilitas. Adapun teknik analisis data dengan mereduksi data, mengumpulkan data, menyajikan data, menarik kesimpulan dan evaluasi.

1.4 Pembahasan

Hasil penelitian merujuk bahwa: 1. Situasi simbolik Ziarah di pemakaman Nangka Beurit Kabupaten Subang terdiri dari objek fisik (benda) meliputi benda yang digunakan dalam melakukan ziarah, seperti pakaian, wewangian, kitab suci, kemenyan, kelapa, bunga dan air mineral sedangkan objek sosial (perilaku manusia) meliputi perilaku verbal berupa pembacaan surat-surat kitab suci Al-Quran, Tahlil dan Berdoa di pemakaman Nangka Beurit Kabupaten Subang 2. Produk interaksi sosial berupa makna yang terkandung dalam situasi simbolik Ziarah di Pemakaman Nangka Beurit Kabupaten Subang yang sebelumnya telah disepakati bersama dan nilai-nilai maknanya berkaitan dengan tradisi budaya kehidupan manusia 3. Intrepretasi menjelaskan adanya respon bagi masyarakat yang melakukan ritual ziarah di pemakaman Nangka Beurit Kabupaten Subang, dan di bagi kedalam dua tindakan yaitu, Tindakan Tertutup (Minat atau Motif dan Perasaan) dan Tindakan Terbuka yaitu tindakan yang lebih jauh daripada tindakan tertutup.

1.4.1 Situasi Simbolik Makna Ziarah Sebagai Media Komunikasi Transendental di Pemakaman Nangka Beurit Kabupaten Subang, yaitu Situasi Simbolik Makna Ziarah Sebagai Media Komunikasi Transendental disini menyangkut kedalam dua hal :


(2)

a. Objek Fisik (Benda)

Maksud dari objek fisik (benda) dari penelitian ini menyangkut material budaya yang digunakan dalam berziarah, menunjukkan adanya objek benda yang selalu dipergunakan dalam ritual ziarah selain membaca kitab suci, yakni semua orang yang berziarah membawa air mineral yang disimpan dipinggir makam yang fungsinya sebagai salah satu objek fisik (benda), pada objek material benda seperti kemenyan, kemudian buah kelapa itu hanya sebatas persembahan kepada para leluhur yang terlebih dahulu singgah dipemakaman tersebut, dan bukan merupakan salah satu objek benda untuk ritual berziarah.

b. Objek Sosial (Perilaku Manusia)

Dari segi objek sosial (perilaku manusia), tentunya diaplikasikan melalui perilaku-perilaku yang tampak dari perilaku-perilaku orang tersebut yang menjadikan media ziarah sebagai komunikasi transcendental, yang menarik minat informan melakukan ziarah selain dari makna kebudayaan juga informan meyakini bahwa ziarah merupakan salah satu daripada ibadah. Namun, mengenai cara ibadahnya yang sedikit berbeda dengan menggunakan media makam sebagai perantara untuk berdoa baik memohon dan meminta dari yang telah diziarahi. Teapi itu semua merupakan suatu kepercayaan (tradisi budaya) masyarakat yang turun-temurun.

1.4.2 Produk Interaksi Sosial Makna Ziarah Sebagai Media Komunikasi Transendental

Di satu sisi simbol terbentuk melalui dinamisasi interaksi sosial, suatu nilai tradisi kebudayaan ritual ziarah yang berkembang secara turun temurun yang harus selalu dilestarikan keberadaanya. Selain itu produk interaksi social yang mendorong mereka untuk melakukan ziarah yaitu factor lingkungan, keadaan social, dan kepercayaan informan itu sendiri bahwa dengan melakukan ritual ziarah apapun yang informan minta Insyaallah akan terkabul.


(3)

1.4.3 Interpretasi Makna Ziarah Sebagai Media Komunikasi Transendental Merujuk kepada upaya memberikan interpretasi atau penafsiran informasi, Intrepretasi menyangkut ke dalam tindakan tertutup dan tindakan terbuka, dimana:

1. Tindakan tertutup

Adapun tindakan tertutup yang merupakan tindakan yang timbul (feed back) dari tiap individu (pelaku ziarah) tidak dapat dilihat secara langsung, karena timbul dari dalam diri pelaku orang tersebut, seperti adanya perasaan yang berbeda setelah melakuakan ritual ziarah diantaranya selain menambah keimanan juga menjadikan hati menjadi tenang, tentram dan damai.

2. Tindakan terbuka

Merupakan tindakan yang timbul (feed back) dari tiap individu (pelaku ziarah) dapat dilihat secara langsung, dengan kata lain tindakan terbuka merupakan tindakan yang lebih jauh dari tindakan tertutup pelaku orang yang melakukan ziarah. Dan meyakini kepercayaan seperti akan hasil panen yang melimpah, usahanya cepat maju, keadaan rumah tangga yang selalu terjalin harmonis dan juga diberikannya kemudahan untuk cepat meningkatnya jabatan tetapi, yang mengabulkan itu semua hanyalah Tuhan Yang Maha Esa karena makam hanya sebagai media perantara yang diambil kebarokahnnya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

REFERENSI BUKU

Ardianto, Elvinaro. 2011. Metodologi Penelitian Untuk Public Relations. Bandung : Remaja Rosdakarya Bandung.

Creswell, J. W. 1998. Qualitatif Inquiry and Research Design. Sage Publications, Inc: California.

Cangara, Hafied. 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada Effendy, Onong. Uchjana.1993 Ilmu, Teori Dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT Citra

Aditya Bakti.

Effendy, Onong. Uchjana. 2006. Ilmu Komunikasi Teori Dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Gunadi, Y.S. 1998. Himpunan Istilah Komunikasi. Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia

Herlina, Nina. 2002. Sejarah dan Budaya Politik. Bandung : CV. Satya Historika.

James, Dananjaya. 1988. Manfaat Media Tradisional Untuk Pembangunan Dalam Kebudayaan Dan Pembangunan Sebuah Terapan Terhadap Antropologi Terapan Di Indonesia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Koentjaraningrat, 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT. Asdi Mahasatya. Kuswarno, Engkus. 2011. Etnografi Komunikasi. Bandung : Widya Padjadjaran. Maryaeni. 2005. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Mulyana, Deddy. 2007. Komunikasi Massa Suatu Pengantar Edisi Revisi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif (cetakan keempat belas). Bandung: PT Remaja Rosda karya.

Rakhmat, Jalaluddin. 2002. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung : PT. Rosdakarya.

Sugiyono. 2007. Memahani Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.


(5)

Alfabeta.

Sobur, Alex. 2006. Semiontika Komunikasi. Bandung : Pt. Remaja Rosdakarya Offset.

Uchjana, Onong. 2009. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya

KARYA ILMIAH

Ma’mun, Asep 2007. Persepsi Masyarakat terhadap Ziarah Kubur: Studi Kasus atas Masyarakat Aeng Panas. Institut Dirasat Islamiyah Al-Amien (IDIA) Prenduan Sumenep Madura.

Merdiana, Ericza 2012. Makna dalam Media Tradisional Angklung Buncis Sebagai Kearifan Lokal Kota Cimahi (Studi Etnografi Komunikasi dengan Pendekatan Interaksi Simbolik Mengenai Makna dalam Media Tradisional Angklung”Budaya Urang Nurutken Ciri Sunda” Kampung Adat Cireundeu Sebagai Kearifan Lokal Kota Cimahi). Bandung : Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM).

INTERNET SEARCHING

http://de-kill.blogspot.com/2009/04/kebudayaan-ziarah-kubur.html (Kamis, 8-Nov-2012 Pukul 20.00).

http://www.almanshuroh.or.id/2011/06/32-ziarah-kubur-di-bawah-naungan-al-quran-dan-sunnah/ (Kamis, 8-Nov-2012 Pukul 21.00)

http://arsipmoslem.wordpress.com/2007/06/07/cara-berziarah-kubur-sesuai-dengan-tuntunan-nabi/ (Kamis, 8-Nov-2012 Pukul 23.00)

http://gudangvirtual.blogspot.com/2011/07/ziarah-kubur.html http://an-nashihah.com/?p=20 (Sabtu, 10-Nov-2012 Pukul 19.00)

http://ghinarahmatina96.blogspot.com/ (Minggu, 11-Nov-2012 Pukul 22.00)

http://anton-rustanto03.blogspirit.com/archive/2007/10/29/kebenaran-itu-bukan-tradisi1.html hal 55(Minggu, 11-Nov_2012 Pukul 23.00)


(6)