Surat Kabar Sebagai Media komunikasi

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS MERCU BUANA
JAKARTA

Pertemu
an

MODUL

KOMUNIKASI MASSA (3 SKS)

POKOK BAHASAN
Surat kabar sebagai media komunikasi massa.

DESKRIPSI
Surat kabar sebagai media komunikasi massa membahas
tentang sejarah surat kabar, perkembangan surat kabar di
Indonesia, dan karakteristik isi pesan surat kabar.

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS
Setelah mengikuti mata kuliah ini diharapkan mahasiswa dapat :

1. Menjelaskan dan memahami sejarah perkembangan surat kabar.
2. Menjelaskan dan memahami perkembangan surat kabar di
Indonesia.
3. Menjelaskan dan memahami karakteristik isi surak kabar.

1

SURAT KABAR
Sejarah :
Hampir seluruh penduduk dunia setiap sarapan pagi ditemani surat kabar atau
yang sering kita sebut koran. Begitu pula sore hari saat badan letih setelah seharian
bekerja koran dengan setia memberikan relaksasi dengan sajian – sajiannya yang khas.
Sejak ditemukan mesin cetak pada than 1456 oleh Gutenberg, mulailah ‘The
Printing Era of Cummunication” yang ditandai dengan banyaknya cetakan yang bersifat
massal. Dua ratus tahun kemudian

setelah penemuan tersebut atau tepatnya 1650

Timotheus Ritzsch menerbitkan surat kabar di Leipzig yang merupakan surat kabar
pertama di dunia yang sekarang ini dikenal sebagai surat kabar prototipe yang

membedakannya dari surat edaran, pamflet dan buku cerita akhir abad ke enam belas.
Pada 7 Agustus 1744 terbit surat kabar Bataviasche Nouvelle en Politique
Raisonnementen yang merupakan surat kabar pertama yang terbit di Nusantara. Namun
tidak berumur panjang, karena dua tahun kemudian surat kabar tersebut dibredel karena
pemberitaannya yang bersebrangan dengan pemerintah kolonial.
Karakteristik Surat Kabar :
Surat kabar sebagai media massa mempunyai karekteristik yang unik yang
menjadikannya suatu kelebihan atau juga kekurangan dibandingkan dengan media massa
lainnya baik cetak maupun elektronik.
Dapat dibaca kapan, dimana dan oleh siapa saja serta berulang-ulang artinya surat
kabar sangat fleksibel tidak memerlukan tempat khusus untuk membacanya dan
setiap saat dapat dibaca (tidak seperti berita radio dan tv yang sekilas lalu hilang).
Khalayaknya (pembaca) tiada batasan siapa saja dapat menikmatinya karena
sajian yang beragam menyentuh segala lapisan dan lataran belakang golongan
(ekonomi, pendidikan, sosial-budaya).

2

Daya rangsang rendah ; merupakan kekurang yang dimiliki oleh surat kabar
dibandingkan dengan media massa elektronik yang memiliki daya rangsang yang

tinggi.
Pengolahannya secara mekanik ; secara ekonomis sangat menguntungkan karena
padat karya dan lebih banyak menyerap tenaga kerja.
Biaya produksi relatif murah; system mekanik perkembangannya tidak secepat
elektronik sehingga investasi bisa berlangsung panjang (lama).
Daya jangkau terbatas ; jangkauannya paling jauh ialah regional namun umumnya
bersifat lokal bahkan kedaerahan atau komunitas.
Perkembangan Surat Kabar di Indonesia :
Surat kabar di Indonesia berkembang seiring dengan perkembangan bangsa
Indonesia sendiri yang dapat dibagi dalam beberapa fase :
Fase sebelum terbentuk negara kesatuan (sebelum 1945):
Ada 33 surat kabar yang diterbitkan terdiri dari 8 surat kabar berbahasa Melayu,
13 surat kabar berbahasa Belanda dan 12 surat kabar berbahasa Cina Melayu..
Isin berita secara umum :
Sangat politis, merupakan wadah pengungkapan aspirasi kaum nasionalis dan
hasutan melawan kekuasaan kolonial Belanda.
Fase Pemerintahan Presiden Sukarno :
1945-1955 : Demokrasi Parlemen, 1949 ada 75 penerbitan dengan tirs 413.000
dan pada tahun 1955 menjadi 457 penerbitan dengan tiras 3,5 juta (saat itu
penduduk Indonesia 85,5 juta jiwa)

Isi berita secara umum :

3

Kritik terhadap kebijakan-kebijakan presiden, ketidakpuasan atas tindakan militer
pasca penyerahan kedaulatan. Persaingan kekuatan politik yang muncul dari
partai-partai politik terutama pada proses pemilihan umum pertama tahun1950,
dan jatuh bangunnya kabinet.
1957 : hukum yang militeristik diberlakukan terhadap pers seperti; interogasi,
penahanan, penutupan penerbitan berlangsung hingga Oktober 1965. Namun
menurut akademisi pada masa itu justru merupakan puncak pers Indonesia.
Fase Orde Baru :
289 penerbitan yang terdiri dari 6 jenis penerbitan :
1. Pers radikal Orde Baru (pers mahasiswa)
2. Penerbitan berita-berita politik dan ekonomi (seperti Kompas dengan tiras
522.000).
3. Militer (harian Angkatan Bersenjata)
4. Surat kabar nasionalis radikal (harian Merdeka).
5. Surat kabar Islami ( harian Republika)
6. Non-potilis/hiburan (Pos Kota, Santana, Inti Jaya).

1966-1997 : Mekanisme kontrol :


Kontrol Legislatif; dengan UU pers yang meniadakan sensor dan
kebebasan berekspresi walaupun pada kenyataannya susah didapat.



Kontrol Institusi ; dilakukan oleh Deppen yang hanya mengijinkan
satu organisasi pers (PWI).



Kontrol sendiri (swa-kendali) terutama terhadap hal-hal yang dianggap
tabu seperti; komunisme, kekayaan keluarga Suharto.



Kontrol visa pers begi reporter asing dan larangan berita negatif
tentang Indonesia dari pers asing.


Fase Pemerintahan Transisi :
1997-1999: Dibawah pemerintahan Presiden Habibie, SIUPP dipermudah
sehingga surat kabar, tabloid dan majalah menjamur.

4

Isi berita secara umum :
Masih sama seperti fase sebelumnya, hanya liputannya lebih mendalam
dan lebih berani.
Fase Periode Reformasi :
Dipelopori oleh Presiden Gus Dur, pers yang demokrasi tumbuh . Namun
ketidakstabilan politik , kekerasan sporadic masih menjadi ancaman.
Ancaman-ancaman Terhadap Surat Kabar :
Sejarah

menunjukan,

kita


cendrung

tidak

mimiliki

tradisi

melindungi

kemerdekaan pers . Surat kabar Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnement
(BNPR) setelah dua tahun terbit dilarang oleh pemerintah Belanda. Selanjutnya
pembredelan terhadap penerbitan pers, yang dinilai tidak sesuai dengan kepentingan
kekuasaan menjadi biasa pada zaman pemerintahan kolonial Belandan dan pendudukan
Jepang.
Dalam era kemerdekaan baik di bawah pemerintahan Presiden Sukarno maupun
Presiden Suharto – kendati pasal 28 UUD 1945 mengamanatkan kemerdekaan
berekspresi, kebebasan pers ternyata tidak juga mengembirakan.
Represi penguasa terhadap pers jelas amat merugikan. Bangsa Indonesia harus
membayar mahal. Setelah 54 tahun merdeka dari belenggu penjajah Belanda, Indonesia

ternyata tidak makin dekat kepada tujuan yang dicita-citakan the founding fathers, yakni
masyarakat sejahtera, adil dan makmur. Tindakan pembrangusan terhadap 237 media
cetak termasuk surat kabar telah membuat pers tidak berdaya. Dengan sikap itu pers
memberi peringatan dini terhadap kesewenang-wenangan kekuasaan dan gagal mencegah
keterpurukan.
Baru setelah pembredelan surat kabar BNPR tirani terhadap pers diakhiri. UU
Pers No.40 tahun 1999 membuat pers merdeka. Tidak ada lagi pengendalian oleh
penguasa. Tidak ada lagi SIUPP dan juga tidak ada pembredelan.

5

Namun pers belum juga dapat bernapas lega, karena banyak pihak yang belum
dapat menerima kebebasan pers

seperti banyaknya somasi ditujukan kepada media

massa cetak maupun elektronik baik dalam maupun luar negeri.
Contoh kasus :
1. Pembredelan harian Kompas dan Sinar harapan pada tahun 1974 sehubungan
pemberitaan peristiwa Malari.

2. Pembredelan harian Kompas , harian Sinar Harapan, tabloid Detik yang memuat
berita yang tidak sesuai dengan kepentingan pemerintah.
3. Somasi Presiden Habibie kepada The Jakarta Post sehubungan dengan
pemberitaan jatuhnya pesawat N235
4. Pendudukan kantor harian Jawa Post oleh massa NU semasa pemerintahan Gus
Dur.
5. Somasi dan gugatan Panglima TNI kepada harian Washington Post sehubungan
dengan pemberitaan peranan TNI di belakang Jemaah Islamiah.
6. Somasi GAM terhadap harian Serambi Indonesia sehubungan dengan
pemberitaan kekerasan di Aceh .
Rekomendasi :
Setelah UU Pers menjamin kebebasan pers hendaknya pemberitaan surat kabar
bedasarkan cek dan ricek sehingga tidak terjadi tuntut menuntut sehingga menimbulkan
kebingungan publik.
Pemberitaan surat kabar hendaknya bebas namun bertanggung jawab, tidak
seperti memancing di air keruh. Hal ini banyak terjadi karena berita yang diturunkan
belum ada cek dan ricek serta klarifikasi dengan alasan tidak dapat dihubungi. Hanya
mengejar deadline dan tiras. Reaksi yang timbul urusan belakangan, pers selalu
beranggapan subjek berita bisa menggunakan hak jawab atas berita tersebut. Akibatnya
timbulan somasi dan tuntutan hukum karena tidak semua orang suka/mau

mempergunakan hak jawab. Karena hak jawab timbul bukan pada situasi seperti itu.
Sebab hal ini dapat dihindari dengan pemberitaan yang berimbang (cover both side).

6

Kebebasan pers hendaknya tidak melanggar privasi orang yang merupakan hak
asasi. Pemburuan berita tidak cuma mengejar sensasi belaka yang memberi kesan
kebablasan.
Hak publik akan akses informasi bukan cuma informasi (pesan) dari wartawan
tapi juga informasi (keabsahan/kejelasan./keadilan) atas informasi tersebut.

7