trifenestrata Pendugaan Bobot Kulit Kokon Ulat Sutera Emas (Cricula trifenestrata H.)

3 TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi dan Penyebaran Ulat Sutera Emas

C. trifenestrata

Ulat sutera emas C. trifenestrata merupakan salah satu jenis ngengat nokturnal aktif pada malam hari. C. trifenestrata diklasifikasikan sebagai filum Arthropoda, kelas Insecta, ordo Lepidoptera, famili Saturniidae, genus Cricula, dan spesies C. trifenestrata Triplehorn dan Johnson, 2005. Cricula dikelompokkan ke dalam 12 spesies, yaitu: C. trifenestrata, C. andamanica, C. bornea, C. agria, C. ceyznica, C. andrei, C. jordani, C. zubsiana, C. sumatrensis, C. elaezia, C. luzonicad dan C. quinauefenestrata Akai, 2000. Dijelaskan lebih lanjut spesies C. trifenestrata sendiri dibedakan ke dalam enam sub spesies, yaitu: C. trifenestrata trifenestrata, C. trifenestrata agroides, C. trifenestrata javana, C. trifenestrata serama, C. trifenestrata treadauayid dan C. trifenestrata kransi. Gambar 1. Daerah Penyebaran C. trifenestrata di Indonesia Sumber: Nassig et al. 1996 Cricula trifenestrata merupakan spesies Cricula yang menyebar paling luas. Tiga spesies ditemukan di Sumatera yaitu C. sumatrensis spesies endemik, C. elaezia di paparan Sunda dan C. trifenestrta di daerah oriental. Kalimantan memiliki tiga spesies yaitu C. bornea spesies endemik, C. elaezia di paparan Sunda dan C. trifenestrata. Jawa dan Bali memiliki dua spesies yaitu C. trifenestrata dan C. elaezia Nassig et al., 1996. C. trifenestrata juga dapat ditemukan sebagai 4 subspesies di wilayah India Selatan dan Asia Ternggara. Subspesies C. trifenestrta treadawayi ditemukan di Filipina, C. trifenestrta javana ditemukan di pulau Jawa dan Sumatera, C. trifenestrta kransi dan C. trifenestrta banggaiensis ditemukan di pulau Sulawesi, C. trifenestrta tenggarrensis ditemukan di pulau Sumba, sedangkan C. trifenestrta serama dan C. trifenestrta banggaiensis ditemukan di pulau Maluku Nassig et al., 1996. Sekitar 14 spesies C. trifenestrata ditemukan di Asia, 11 spesies diantaranya ditemukan di Indonesia dan empat spesies endemik ditemukan di beberapa pulau di Indonesia yaitu C. sumatrensis, C. trifenestrta javana, C. tenggarrensis dan C. mindanensis Nassig dan Nauman, 1999. Siklus Hidup Cricula trifenestrata diklasifikasikan ke dalam kelas insekta atau serangga Borror et al., 1992. Dijelaskan bahwa serangga merupakan hewan berdarah dingin poikilotermik yang sangat dipengaruhi lingkungan seperti suhu, kelembaban, cahaya dan angin sirkulasi udara. Intensitas cahaya dan lama panjang hari menurut Dolezal et al. 2007 mempengaruhi pertumbuhan serangga. Cricula trifenestrata merupakan serangga yang memiliki metamorfosis sempurna holometabola. Tipe serangga ini memiliki empat stadium selama siklus hidup yaitu telur, larva ulat, pupa dan imago Kaleka, 2010. Sinyal hormon mengatur perubahan organisme dari larva menjadi imago yang secara genetik merupakan karakter dari suatu spesies Gullan dan Cranston, 2000. Larva memiliki tahapan perkembangan instar, melalui proses pergantian kulit ecdysis, karena setiap peningkatan ukuran tubuh pada satu instar ke instar berikutnya memerlukan integumen baru yang lebih besar Tarumingkeng, 2001. Stadium larva melalui lima instar. Perubahan larva dari instar I sampai instar V membutuhkan waktu yang sama yaitu masing-masing instar lima hari, sedangkan dari instar V sampai menjadi pupa berlangsung selama 5-6 hari. Pupa yang sudah dewasa akan berubah menjadi imago. Imago akan keluar dari kokon setelah 14-16 hari Andriani, 2009. Fase ulat berlangsung selama 25-35 hari, masa pupasi selama 21-26 hari dan fase dewasa selama 5-7 hari Kaleka, 2010. Daur hidup mulai dari telur hingga dewasa berlangsung selama 51,1 ± 7,3 hari Suriana, 2011. Gambar 2 menyajikan siklus hidup C. trifenestrata dari fase telur sampai dengan imago. 5 Gambar 2. Siklus Hidup C. trifenestrata Sumber: Andriani, 2009 Telur 10- 11 hari Instar 1 5 hari Imago 14-16 hari Pupasi 5-6 hari Instar 3 5 hari Instar 4 5 hari Instar 5 5 hari Instar 2 5 hari 6 Morfologi Telur Telur C. trifenestrata yang baru berbentuk lonjong dan agak gepeng, berwarna kuning pucat dan berbintik kuning pada salah satu ujung . Menurut Suriana 2011 warna ini berasal dari cairan perekat telur. Telur berubah warna menjadi putih kelabu menjelang menetas. Warna kelabu merupakan warna kepala calon embrio di dalam telur Kaleka, 2010. Telur yang gagal menetas berwarna krem dan pada permukaan korion ditemukan lekukan ke arah bagian dalam telur Sudaryanto, 1986. Telur diletakkan secara teratur, disusun rapih pada pinggiran daun sebelah bawah atau tangkai daun dalam jumlah yang banyak. Jumlah telur dapat mencapai 200-325 butir per induk dengan fertilitas tinggi. Stadium telur memerlukan waktu sekitar 9,5 ± 2,1 hari Suriana, 2011. C. trifenestrata memiliki telur dengan panjang 2,2 ± 0,15 mm dan lebar 1,86 ± 0,12 mm Rono et al., 2008. Larva Larva C. trifenestrata terdiri atas lima instar dengan pergantian kulit empat kali Rono et al., 2008. Larva instar I berwarna kuning pada bagian ventral dan hitam pada bagian kepala. Bagian toraks terdiri atas tiga segmen dan pada setiap segmen ditemukan sepasang kaki. Tubuh larva C. trifenestrata ditutupi rambut. Bagian abdomen memiliki lima pasang proleg yang ditemukan pada segmen abdomen ketiga sampai keenam dan segmen abdomen kesepuluh Kaleka, 2010 . Larva instar II berwarna kombinasi dari kuning, merah dan hitam dengan kepala coklat dan tubuh ditumbuhi bulu halus. Larva instar III memiliki tubuh berwarna kuning kemerahan dengan kepala coklat dari permulaan warna tubuh yang kuning. Tubuh ditumbuhi bulu halus berwarna putih dan merah pada bagian ventral. Larva ini bergerak lebih aktif dan makan lebih banyak sehingga berukuran lebih besar dibandingkan dua instar sebelumnya. Larva instar IV berwarna mirip dengan larva instar V tetapi berbeda ukuran. Larva instar V berwarna merah dengan kepala juga merah dan tubuh ditumbuhi bulu halus berwarna putih agak kasar dan ditemukan garis hitam melingkar mulai dari kepala sampai abdomen Andriani, 2009. Pupa Larva melalui tahapan prapupa sebelum memasuki tahapan pupa. Prapupa merupakan suatu tahapan larva instar V dimulai. Tahapan ini larva akan berubah 7 bentuk menjadi pupa. Tubuh larva akan memendek atau mengkerut dengan ujung abdomen meruncing Kaleka, 2010. Ukuran pupa betina lebih panjang dan lebih lebar dibandingkan jantan Rojak, 2001. Pupa C. trifenestrata dibungkus kokon yang berbentuk jala dan berwarna kuning emas. Stadium pupa berlangsung selama 19,0 ± 2,8 hari Suriana, 2011. Pupa C. trifenestrata bertipe obecta. Pupa dibentuk di dalam kokon yang berwarna coklat muda pada awalnya. Ujung abdomen kepompong muda yang dibungkus di dalam kokon masih dapat bergerak-gerak. Setelah kulit pupa semakin mengeras, warna pupa menjadi coklat tua dan pupa tidak dapat bergerak lagi. Kokon dibentuk kemudian yang merupakan rangkaian benang-benang sutera yang dikeluarkan dari mulut larva Kaleka, 2010. Imago Serangga dewasa C. trifenestrata adalah serangga nokturnal, berwarna kekuningan hingga kemerahan. Jantan memiliki dua spot gelap pada sayap depan, sedangkan betina memiliki tiga spot transparan yang tidak beraturan pada sayap depan dan satu spot pada sayap belakang. Gambar 3 menyajikan imago atau ngengat dewasa C. trifenestrata pada posisi yang diambil dari atas. Gambar 3. Imago atau Ngengat Dewasa C.trifenestrata Tampak Atas Sumber: Koleksi Pribadi 2011 Garis hitam berombak ditemukan pada bagian dekat dasar sayap depan. Kepala, toraks, abdomen dan appendiks ditutup sisik yang berwarna coklat kekuningan. Tipe antena jantan kuadripektinate, sedangkan betina bipektinate. ♀ ♂ 8 Segmen abdomen terakhir betina, ditemukan lebih lebar. Ukuran tubuh imago betina ditemukan lebih besar dibandingkan jantan Andriani, 2009. Menurut Awan 2007 dan Sari 2010 imago keluar dari kokon tepat pada saat organogenesi sempurna, yaitu pada saat organ-organ imago terbentuk sempurna. Imago atau serangga dewasa C. tifenestrata ditutupi sisik lembut yang rontok bila disentuh Kaleka, 2010. Pembentukan Kokon Pembentukan kokon bertujuan untuk melindung pupa dari pemangsa atau lingkungan luar. C. trifenestrata membentuk kokon secara berkelompok dalam jumlah banyak pada ranting atau tulang-tulang daun sehingga membentuk massa kokon yang besar dalam bentuk cluster. Jumlah kokon dalam satu cluster dapat lebih dari 30 buah. Kokon dalam keadaan normal selalu berpasangan dan berlekatan satu sama lain. Pegangan berupa ranting, tulang daun atau daun; diperlukan pada saat pembentukan kokon. Ujung kokon yang menempel pada daun atau tulang daun meruncing, sedangkan ujung depan lebih tumpul. Ujung tumpul ini yang digunakan imago sebagai jalan keluar Kaleka, 2010. Gambar 4. menyajikan gambaran pembentukan kokon C. trifenestrata. Gambar 4. Pembentukan Kokon C. trifenestrata Sumber: Koleksi Pribadi 2011 Kulit kokon C. trifenestrata berbeda dengan spesies Saturniidae lain karena tidak tertutup rapat tetapi berlubang-lubang membentuk jala. Stuktur berlubang pada 9 kokon C. trifenestrata disebabkan perbedaan cara ulat merajut kokon. Kerangka dasar berupa serat tunggal yang memanjang dari satu bagian subtrat ke bagian yang berlawanan dibangun ulat C. trifenestrata sebelum merajut kokon. C. trifenestrata merajut kokon dengan cara membungkuk tubuh melengkung melalui kerangka tersebut, sambil mengeluarkan serat sutera. Benang tersebut kemudian menyentuh kaki toraks. Selanjutnya, kaki toraks membantu menyatukan serat demi serat yang akhirnya membentuk kokon utuh. C trifenestrata menghabiskan waktu sekitar 12 jam untuk membuat selapis benang untuk membentuk kulit kokon dengan sempurna Suriana, 2011. Karakteristik Ukuran dan Bentuk Kokon Ukuran besar-kecilnya kokon bervariasi sesuai dengan varietas, musim pemeliharaan dan kondisi lingkungan pada masa panen. Ada beberapa cara untuk menentukan ukuran kokon, tetapi pada umumnya dievaluasi dengan jumlah kokon per liter, atau per 500 g dan per 1.000 g. Ukuran kokon pada umunya berkisar antara 90-110 kokon per liter atau 40-250 kokon per 500 g Atmosoedarjo et al., 2000. Bentuk kokon dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa tipe seperti bulat, elip, berlekuk dan bulat panjang JOCV, 1975. Kokon yang normal memiliki bentuk sempurna dan spesifik, tergantung pada ras ulat sutera Atmosoedarjo et al., 2000. Kualitas Kokon Menurut Kasip 2001, kualitas kokon dapat ditentukan secara kualitatif dan kuantitatif. Dijelaskan lebih lanjut bahwa secara kualitatif kokon dapat dilihat dari warna, bentuk dan kelenturan, sedangkan secara kuantitatif dari bobot kokon, bobot kulit kokon dan rasio kulit kokon. Lee 2000 menyatakan bahwa warna kokon merupakan ciri utama ras ulat sutera dan sangat dipengaruhi pigmen dalam lapisan serisin. Pigmen pengontrol warna kokon adalah santrofil, karotin, violasanatin yang dapat berinteraksi dengan serisin dan fibrion, untuk menghasilkan warna kokon Tazima, 1964. Bentuk kokon merupakan sifat yang perlu dipertimbangkan dalam program seleksi Maribashetty dan Reddy, 1995. Everitt dan Dunn 1998 menjelaskan bahwa bentuk lebih banyak dipengaruhi secara genetik. Menurut Sudaryanto 1986, panjang kokon C. trifenestrata pada daun muda dan daun tua tanaman alpukat Persea americana M. masing-masing sebesar 32,28 ± 3,06 mm dan 32,70 ± 6,43 mm; sedangkan lebar kokon masing-masing sebesar 15,25 ± 2,16 10 mm dan 15, 38 ± 2,00 mm. Salah satu faktor yang menentukan ukuran panjang dan lebar kokon adalah tipe alat pengokon dan bahan alat pengokon Katsumata, 1964. Perhitungan panjang dan lebar kokon berhubungan dengan keliling lingkaran pada permukaan kulit kokon. Rumus keliling lingkaran menurut Suhartono et al. 2010 merupakan perkalian antara jari-jari dika likan dengan bilangan dua dan Π atau 227. Bobot Kulit Kokon Utuh Bobot kokon merupakan faktor yang sangat penting dikaitkan dengan reeling proses penyatuan beberapa filamen untuk dipintal kokon. Bobot kokon bervariasi sesuai dengan kondisi pemeliharaan dan jenis ulat. Hal ini juga bervariasi sesuai dengan varietas ulat, kondisi pemeliharaan dan pengokonan Atmosoedarjo et al., 2000. Bobot Kulit Kokon Bobot kulit kokon dalam perdagangan komersial, merupakan karakter yang sangat penting, karena dapat digunakan sebagai pendekatan kuantitatif untuk memprediksi serat sutera Kasip, 2001. Bobot kulit kokon terdiri dari materi lapisan serat sutera yang terdiri atas serisin dan fibroin Standar Nasional Indonesia, 2002. Dijelaskan lebih lanjut bahwa serisin dan fibroin berfungsi sebagai pembungkus pupa. Prihatin dan Situmorang 2001 melaporkan bahwa bobot kulit kokon C. trifenestrata pada pohon jambu mete ditemukan sebesar 30,1 mg. Baskoro 2008 membedakan grade bobot kulit kokon tanpa floss menjadi A, B, C, D dan E dengan masing-masing proporsi sebesar 19,2; 19,16; 21,2; 20,0 dan 20,0. Korelasi peubah-peubah yang diamati Baskoro 2008 dan Setiorini 2009 terhadap bobot kulit kokon tanpa floss bernilai positif. Persentase Bobot Kulit Kokon Persentase bobot kulit kokon merupakan perbandingan antara bobot kulit kokon dengan bobot kokon. Besar persentase bobot kulit kokon tergantung pada jenis ulat sutera dan pada umumnya persentase bobot kulit kokon jantan lebih tinggi dari pada betina Katsumata, 1964. Nilai ini berkaitan dengan persentase filamen kokon. Semakin besar persentase kulit kokon maka semakin bayak filamen dan benang sutera yang dihasilkan Atmosoedarjo et al., 2000. Persentase bobot kulit kokon ulat sutera A. atlas sebesar 72,39 Baskoro, 2008. 11 Serabut Kokon Floss Kokon yang telah dipanen masih diselimuti serabut serat sutera floss yang apabila dibiarkan, akan mengabsorsi air dari udara dan menurunkan kualitas kokon. Serabut kokon floss juga dapat menyatu satu sama lain membentuk kesatuan sehingga mempersulit penanganan. Kokon yang dijadikan penilaian adalah kokon yang telah dibersihkan dari serabut floss Atmosoedarjo et al., 2000. Yuanita 2007 menyatakan bahwa tempat pengokonan berpengaruh terhadap jumlah serat-serat penyangga floss yang dihasilkan ulat sutera pada saat akan mengokon. Baskoro 2008 menyatakan bahwa bobot floss pada A. atlas ditemukan sebesar 180 ± 50 mg atau 27,78 dari bobot kulit kokon dengan floss. Gambar 5 menyajikan prosedur pemisahan kulit kokon dan floss dari kulit kokon utuh. Gambar 5. Prosedur Pemisahan Kulit Kokon dan Floss dari Kulit Kokon Utuh Sumber: Koleksi Pribadi 2011 Tanaman Pakan C. trifenestrata Salah satu sarana penting dalam budidaya ulat sutera adalah bahan makanan pakan Guntoro, 1994. Ulat sutera membutuhkan pakan spesifik yang sangat menentukan perkembangan populasi dan produksi kokon yang dihasilkan. Larva C. trifenestrata bersifat polifagus. Tanaman pakan C. trifenestrata adalah alpukat, jambu mete, kedondong, kenari, kakao, jambu biji, kayu manis dan mangga Kalshoven, 1981; Djarijah dan Mahedalswara, 1994. Kulit Kokon Utuh Floss Kulit Kokon 12 Alpukat Tanaman alpukat Persea americana M. berasal dari daerah sekitar Chiapas – Guatemala dan Honduras Amerika Latin dan diperkirakan masuk ke Indonesia pada abad ke˗8. Tanaman ini diklasifikasikan ke dalam ordo Ranales, famili Lauraceaca dan genus Persea. Tanaman alpukat dapat tumbuh di dataran rendah sampai dataran tinggi. Hama yang menyerang tumbuhan ini adalah ulat kipat Cricula trifenestrata H., ulat junggu Attacus atlas L., Aphis gossypii G., tungau merah Tetranychus cinnabarinus B. dan kutu dompolan putih Pseudococcus citri R.. Tanaman ini tumbuh subur pada ketinggian 200-1.000 m dpl Whiley et al., 2002. Alpukat merupakan tanaman tahunan dan berdaun sepanjang tahun di daerah tropis. Daun alpukat mengandung senyawa flavonoid, tanin katekat, kuinon, saponin dan steroid Maryati et al., 2007. Hal serupa dinyatakan oleh Dalimartha 2005 bahwa kandungan mengandung senyawa tanin dan saponin. Kandungan protein daun alpukat ditemukan lebih tinggi Dewi, 2009. Tjitrosoepomo 2000 melaporkan bahwa secara morfologis, daun alpukat memiliki struktur yang lebih lunak dibandingkan daun kayu manis, jambu mete dan mangga. Struktur daun yang lunak sangat dipengaruhi komposisi dan jenis jaringan penyusun, ketebalan lapisan lignin serat dan kandungan kadar air daun. Analisis Komponen Utama Menurut Hayashi et al. 1980, kekompleksan dan keragaman organisme- organisme hidup menyebabkan metode stastistik multivariat dijadikan sebagai alat penting untutk mempelajari variasi dan evolusi. Salah satu metode yang digunakan adalah Analisis Komponen Utama AKU. AKU bertujuan menerangkan struktur ragam-peragam melalui kombinasi linear dari peubah-peubah. Secara umum AKU bertujuan untuk mereduksi data dan menterjemahkannya Gaspersz, 1992. AKU diturunkan dari dua jenis matriks yaitu kovarian dan korelasi. Everitt dan Dunn 1998 menyatakan bahwa AKU dapat digunakan untuk penelitian terhadap keragaman ukuran-ukuran tubuh hewan. Pada penelitian anatomi ternak, komponen utama kedua sebagai vektor bentuk dapat memberikan informasi lebih spesifik mengenai karakteristik khas pada ternak tertentu, sedangkan komponen utama pertama sebagai vektor ukuran Everitt dan Dunn, 1998. Skor ukuran tubuh 13 telah digunakan untuk pengkelasan skor ukuran tubuh pada hamster Meliana, 2007 dan domba lokal Garut Suryadi, 2007 dan Hanibal, 2008. Analisis Regresi Komponen Utama Analisis Regresi Komponen Utama ARKU merupakan kombinasi antara Analisis Komponen Utama AKU dan Analisis Regresi klasik. AKU dijadikan tahap analisis antara untuk memperoleh hasil akhir pada Analisis Regresi. ARKU didapat dari skor komponen utama yang diregresikan dengan peubah tak bebas dependent variable, dengan demikian ARKU merupakan Analisis Regresi dari peubah tidak bebas terhadap komponen-komponen utama yang saling tidak berkorelasi. Setiap komponen utama merupakan kombinasi linear dari semua peubah bebas independent variable yang telah dispesifikasikan sejak awal Gaspersz, 1992. 14 MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Aneka Ternak Blok C, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Waktu penelitian dimulai pada bulan Maret-April 2011 yang meliputi tahap persiapan dan tahap pelaksanaan penelitian. Pengolahan data dan penulisan dilaksanakan selama enam bulan sampai dengan bulan September 2011. Materi Kokon Kokon yang digunakan dalam penelitian ini adalah 129 kokon ulat sutera emas Cricula trifenestrata tanpa pupa ngengat sudah keluar. Kokon berasal dari tanaman alpukat Persea americana M.. Peralatan Peralatan yang digunakan adalah timbangan digital Sartorius, jangka sorong digital, benang jahit, tissue, penggaris, label, sea-led plastic bag dan digital camera. Alat-alat pengolahan data meliputi kalkulator, software statistik Minitab 15 dan komputer. Prosedur Kokon yang dijadikan kokon sampel dibersihkan dari daun, ranting, kulit pupa yang tertinggal di dalam kokon dan floss, sehingga diperoleh kulit kokon tanpa floss. Pengumpulan data dilakukan berdasarkan peubah pada setiap kulit kokon. Peubah yang Diamati 1. Bobot kulit kokon utuh BKKU dalam satuan mg, diukur dengan menggunakan timbangan digital Sartorius. BKKU diukur setelah kulit kokon utuh dibersihkan dari kotoran dan kulit pupa. Floss termasuk dalam BKKU. Gambar 6 mengilustrasikan pengukuran BKKU pada timbangan digital Sartorius. 15 Gambar 6. Kulit Kokon Utuh Saat Ditimbang. Sumber: Koleksi Pribadi 2011 2. Bobot floss BF dalam satuan mg, diperoleh dengan menimbang floss yang telah dipisahkan dari kulit kokon. 3. Persentase bobot floss dihitung berdasarkan bobot floss dibagi dengan BKKU lalu dikalikan 100. Rumus persentase bobot floss sebagai berikut: 4. Bobot kulit kokon BKK dalam satuan mg, diperoleh dengan menimbang kulit kokon yang telah dibersihkan dari floss. Prosedur pemisahan kulit kokon diilustrasikan pada Gambar 6. 5. Persentase bobot kulit kokon PBKK dihitung berdasarkan bobot kulit kokon dibagi dengan BKKU lalu dikalikan 100. Rumus persentase bobot kulit kokon sebagai berikut: 16 6. Panjang kokon X 1 dalam satuan mm diukur mulai dari bagian posterior sampai dengan bagian ujung anterior kokon. Panjang kokon diukur dengan menggunakan jangka sorong digital. Gambar 7 mengilustrasikan pengukuran panjang kokon. Gambar 7. Pengukuran Panjang Kokon Sumber: Koleksi Pribadi 2011 7. Diameter bagian medial kokon X 2 dalam satuan mm, diukur pada bagian medial kokon yang diilustrasikan pada Gambar 8 bagian a. Gambar 8 bagian b mengilustrasikan pengukuran diameter bagian medial kokon. a b Gambar 8. Bagian-Bagian Pegukuran Diameter Kokon; a dan b Cara Pengukurannya. Sumber: Koleksi Pribadi 2011 8. Diameter ¼ bagian posterior kokon X 3 dalam satuan mm, diukur pada ¼ bagian posterior kokon yang diilustrasikan pada Gambar 8 bagian a. Gambar 8 bagian b mengilustrasikan pengukuran diameter ¼ bagian posterior kokon. Diameter ¼ Bagian Posterior Kokon Dimeter Bagian Medial Kokon Diameter ¼ Bagian Anterior Kokon 17 9. Diameter ¼ bagian anterior kokon X 4 dalam satuan mm, diukur pada ¼ bagian anterior kokon yang diilustrasikan pada Gambar 8 bagian a. dengan menggunakan jangka sorong digital. Gambar 8 bagian b mengilustrasikan pengukuran diameter ¼ bagian anterior kokon. 10. Lingkar bagian medial kokon X 5 dalam satuan mm, diukur pada bagian medial kokon dengan menggunakan benang, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 9 bagian a. Benang tersebut kemudian direntang pada penggaris, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 9 bagian b untuk ukuran dari lingkar bagian medial kokon. 11. Lingkar ¼ bagian posterior kokon X 6 dalam satuan mm, diukur pada ¼ bagian posterior kokon dengan menggunakan benang seperti yang diilustrasikan pada Gambar 9 bagian a. Benang tersebut kemudian direntang pada penggaris, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 9 bagian b untuk dicatat ukuran dari lingkar kokon ¼ bagian posterior kokon. 12. Lingkar ¼ bagian anterior kokon X 7 dalam satuan mm, diukur pada ¼ bagian anterior kokon dengan menggunakan benang, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 9 bagian a dan kemudian benang tersebut direntangkan pada penggaris, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 9 bagian b untuk dicatat ukuran dari lingkar ¼ bagian anterior kokon. a b Gambar 9. Pengukuran Lingkar Kokon Menggunakan Benang a dan Penggaris b. Sumber: Koleksi Pribadi 2011 18 Pencatatan dan Pengolahan Data Data yang diperoleh dicatat pada lembar data dan kemudian data diolah. Hasil olahan disajikan dalam bentuk tabel dan gambar untuk kemudian dianalisis. Analisis Data Statistik Deskriptif Data yang diperoleh diolah secara deskriptif. Nilai rataan dan simpangan baku pada masing-masing peubah diolah berdasarkan rumus Mattjik dan Sumertajaya 2002, sedangkan koefisien keragaman berdasarkan rumus Warwick et al. 1995 sebagai berikut: ∑ √ ∑ ̅ Keterangan: : Rataan data sampel X i : Data ke- i N : Banyak data sampel SB : Simpangan baku KK : Koefisien keragaman Analisis Komponen Utama AKU Analisis Komponen Utama Principal Component Analysis atau AKU ditentukan dari matriks peragam. Konsep dasar dari AKU adalah berdasarkan rumus: Y p = a 1p X p + a 2p X p + ……+ a 7p X p Gaspersz, 1992 Keterangan: Y p = Komponen utama ke-p p = 1, 2 X p = Peubah ke- p untuk p = 1, 2, 3, …, 7 a 1p -a 7p = Vektor eigen ke- p untuk p = 1, 2,3 … , 7 19 Model persamaan ukuran kulit kokon C. trifenestrata sebagai berikut: Y 1 = a 11 X 1 + a 21 X 2 + ……+ a 71 X 7 Keterangan: Y 1 = Komponen utama pertama atau ukuran X 1 = Panjang kokon X 2 = Diameter bagian medial kokon X 3 = Diameter ¼ bagian posterior kokon X 4 = Diameter ¼ bagian anterior kokon X 5 = Lingkar bagian medial kokon X 6 = Lingkar ¼ bagian posterior kokon X 7 = Lingkar ¼ bagian anterior kokon a 11 -a 71 = Vektor eigen Model persamaan bentuk kulit kokon C. trifenestrata sebagai berikut: Y 2 = a 12 X 1 + a 22 X 2 + ……+ a 72 X 7 Keterangan: Y 2 = Komponen utama kedua atau bentuk X 1 = Panjang kokon X 2 = Diameter kokon bagian medial X 3 = Diameter kokon ¼ bagian posterior X 4 = Diameter kokon ¼ bagian anterior X 5 = Lingkar kokon bagian medial X 6 = Lingkar kokon ¼ bagian posterior X 7 = Lingkar kokon ¼ bagian anterior a 12 -a 72 = Vektor eigen Penentuan penciri ukuran dan bentuk dilakukan berdasarkan vektor eigen tertinggi pada masing-masing persamaan, yaitu persamaan ukuran dan bentuk. Keeratan hubungan korelasi antara peubah asal dan ukuran atau bentuk, dihitung melalui koefisien korelasi antara peubah asal dan ukuran atau bentuk. Komponen utama diturunkan dari matriks peragam. Koefisien korelasi antara peubah asal ke-i X i i=1,2,3,4,5,6,7 dan komponen utama ke-j Y j , j= 1,2 dihitung dengan rumus sebagai berikut: √ Gaspersz, 1992 Keterangan: R xiy1 = Koefisien korelasi peubah ke- i 1,2,…,7 dan komponen utama ke-j 1,2 a ij = Vektor eigen ke- i 1,2,…,7 dan komponen utama ke-j 1,2 20 2 = Nilai eigen komponen utama ke-j 1,2 S i = Simpangan baku ke- i 1,2,…,7 Klasifikasi berdasarkan skor ukuran kulit kokon yang diamati meliputi kecil, sedang dan besar dilakukan dengan menggunakan rumus Gaspersz 1992 sebagai berikut: Kelompok Besar, jika y h1 y 1 + S y1 Kelompok Sedang, jika y 1 - S y1 ≤ y h1 ≤ y 1 + S y1 Kelompok Kecil, jika y h1 y 1 + S y1 Keterangan: y h1 = Skor ukuran SK-1 y 1 = Rataan ukuran SK-1 S y1 = Simpangan baku skor ukuran SK-1 Pengklasifikasian divisualkan dalam bentuk digram kerumunan. Diagram kerumunan dibentuk berdasarkan perolehan skor ukuran sumbu X dan skor bentuk sumbu Y dari masing-masing data sampel yang diamati. Analisis Regresi Komponen Utama ARKU Persamaan regresi dalam bentuk peubah asli Xi sebagai berikut: Y = b + b 1 X 2 + b 2 X 2 ……+ b 7 X 7 Gaspersz, 1992 Keterangan: = Peubah tidak bebas bobot kulit kokon = Panjang kokon = Diameter bagian medial kokon = Diameter ¼ bagian posterior kokon = Diameter ¼ bagian anterior kokon = Lingkar bagian medial kokon = Lingkar ¼ bagian posterior kokon = Lingkar ¼ bagian anterior kokon = Konstanta = Koefisien regresi dari peubah bebas ke- i i = 1, 2, …, 7 Elastisitas rata-rata dari bobot kulit kokon terhadap setiap peubah bebas X i dalam model regresi dapat dihitung dengan menggunakan rumus Gaspersz, 1992: ̅ ̅ ̅ ̅ 21 Keterangan: = Elastisitas rata-rata dari peubah tidak bebas Y bobot kulit kokon terhadap peubah bebas X i i= 1,2,…,7 = Koefisien regresi dari peubah bebas X i i= 1,2,…,7 dalam persamaan regresi ̅ = Nilai rata-rata dari peubah bebas X i i= 1,2,…,7 ̅ = Nilai rata-rata dari peubah tidak bebas Y bobot kulit kokon 22 HASIL DAN PEMBAHASAN Ukuran-Ukuran Kulit Kokon

C. trifenestrata