JALAN MAKRIFAT
JALAN MAKRIFAT
1 0 Kyai Muzamil akan mencoba menjawab pertanyaan mbak Rani tentang hubungan
2 ari
Descartez dengan man ‘arofa faqod arofa robbahu, mas Sabrang tadi menjelaskan ru
bahwa tidak ada fakta empiris tentang ketemunya Descartez dengan nabi Muhammad. Feb
Kyai Muzamil kurang lancar menyebut nama Descartez yang asing dan menyikapi hal
tersebut dengan bercanda kepada jama’ah. – an
“Soalnya begini, kalau saya menampakkan bisa bahasa Itali kalian bisa sungkem et
g W semua.” Disambut dengan tawa para jama’ah saat menjelang jam 3 pagi.
an
“Jadi saya ini ethok ethok ra ngerti bahasa Inggris, bahasa itali, Perancis. Biar sampean ini tidak menghargai saya. Nah, kalau saya ini menunjukkan ilmunya nanti malah
bahaya.” Lanjut gurauan serius Kyai Muzamil. “Karena sabda Rasulullah sholallohu ‘alay wasallam itu la yazallul mar’u ‘aliman maa
tholabal ilmu, orang itu senantiasa disebut sebagai orang berilmu kalau dia masih mau menuntut ilmu, jadi merasa bodoh. Fa’in dhonnah ’annahu qod ‘alima faqod jahila, ketika dia menyangka dirinya sudah tahu maka dia sudah menjadi orang bodoh. Jadi setelah ini maka semua harus merasa semakin bodoh. Semua wadah kalau diisi itu pasti bisa penuh kan, misalnya gelas kalau diisi bisa meluap, perut juga bisa penuh. Yang tidak bisa penuh itu apa? Yang tidak bisa penuh itu kan ilmu. Jadi sampean masukkan ilmu apapun, otak sampean tidak akan merasa penuh. Maka akan semakin longgar, semakin kosong dan semakin kosong. Orang semakin pinter merasa semakin bodoh, kecuali orang-orang tertentu. Maka tidak ada ilmuwan yang berhenti belajar, jadi kalau berhenti belajar maka bukan ilmuwan.”
“Man ‘arofa faqod arofa robbahu, ada kebenaran-kebenaran yang universal. Kalau kebenaran universal, Allah bisa meminjam siapa saja. Jadi jangan melihat orangnya, orangya muslim atau tidak. Kebenaran universal ini sama. Karena semua manusia ini kan tajallinya Allah. Kata sayyidina Ali bin Abi Thalib, al hikmatu dhollatul mukminin. Saya
punya guru yang tidak memiliki televisi, Kyai Hasan As’adul Ghofi, karena menganggap menonton TV itu haram. Sampe saya juga punya guru yang menghalalkan bunga bank, Prof. Dr. Syaikh Hadi Purmono, SH, MA. Titlenya ini harus disebut semuanya, karena beliau pasti marah-marah kalau tidak lengkap. Sekarang beliau sudah meninggal. Jadi
Prof. Dr. Syaikh Hadi Purmono, SH, MA, almarhum. Kyai Hasan dan Pak Syaikh ini
6 3 bertolak belakang. Satunya menganggap TV ini haram apalagi musik, terus kalau wanita
1 tampil di panggung kalau ada pengajian langsung pulang Kyai Hasan Abdul Ghofi ini,
ir pulang tidak pamit. Tapi saya ambil ilmu beliau. Gus Dur itu juga salut kepada beliau dan
l Akh menghargai beliau, meskipun pendapatnya seperti itu tapi karena beliau mempunyai
iu
ab referensi kuat. Guru saya bapak Prof. Dr. Syaikh Hadi Purmono, SH, MA almarhum ini
5 menganggap bunga bank itu halal, karena hadits kullu qordhin jarro naf’an lil mukhlid
5 / fahuwa harom itu hadits yang dhaif. Dari kedua guru tersebut saya belajar sesuatu yang
1 0 kontradiktif. Selain itu saya juga berguru kepada Kyai Abdul Wahid Zaini (alm), beliau
2 ari
sudah jadi kyai dan pengurus PB tetapi masih mengajar di Unair. Beliau ini moderat, ru beliau ini ipar dari KH Hasan Abdul Ghofi. Selama dua tahun, saya juga pernah tidak
5 percaya Tuhan itu ada. Jadi kalau ada yang tidak percaya sama Tuhan saya tenang- Feb
tenang saja, karena pernah mengalami fase itu. Seperti man ‘arofa faqod arofa robbahu, – an
dia mengenal dirinya sehingga mengenal Tuhannya. Sementara waktu itu saya belum et tahu diri saya sehingga saya belum mengenal Tuhan. Dan itu terjadi ketika saya di
g W Pesantren, tiap hari saya sholat, bisa ngaji, bisa baca kitab kuning tapi saya tidak
an
b g percaya sama Tuhan. Sampai saya konsultasi dengan guru saya KH. Abdul Wahid Zaini b g percaya sama Tuhan. Sampai saya konsultasi dengan guru saya KH. Abdul Wahid Zaini
"Kemudian manusia bisa tahu Tuhan itu ada kan bermacam-macam jalannya. Ada yang dengan inderanya, ada yang pakai akalnya jadi menggunakan logika untuk menemukan Tuhan, ada juga yang pakai hati jadi tidak perlu berpikir. Dan saya gagal menemukan Tuhan itu pakai akal. Dan akhirnya pun saya mengetahui adanya Tuhan itu tadi ya pakai makrifat, saya memakai hati saya. Karena semakin saya pikirkan teori-teori adanya Tuhan, otak saya semakin tidak bisa, sampai tidak bisa tidur. Saya percaya Tuhan salah satunya itu dengan pengalaman, karena saya tidak lulus SMA. Dulu cita-cita saya itu menjadi jaksa, begitu saya sudah siap belajar hingga bagaimana saya bisa lulus SMA dengan nilai terbaik karena saya ingin kuliah di fakultas hukum, saya divonis tidak boleh ikut EBTANAS. Saya tidak bisa ikut EBTANAS karena kehadiran saya tidak memenuhi prosentase kehadiran. Kehadiran harus sampai 80%, sementara kehadiran saya tidak sampai 80%. Padahal ketika lomba cerdas cermat saya biasa mewakili sekolah Al- Ibrahimy, padahal sampai empat kali dan menjadi ketua OSIS. Jadi bagaimana mungkin orang yang mewakili lomba cerdas cermat empat kali dan menjadi ketua OSIS tapi divonis tidak bisa ikut EBTANAS, coba dipikir, bagaimana logikanya? Yang akhirnya kandaslah cita-cita saya menjadi jaksa. Jadi disinilah saya percaya adanya Tuhan. Jadi saya percaya adanya Tuhan dari pengalaman. Jadi arofa itu saya menganggapnya dari hati. Makanya Ar-Rumy bilang, aku mencari Tuhan ke masjid-masjid ternyata Tuhan tidak
H ada, sampai saya cari ke Mekkah, aku putari Ka’bah ternyata Tuhan juga tidak disana.
4 Akhirnya aku cari Tuhan didalam hatiku, ternyata Tuhan itu ada. ”
1 ir
*** l Akh iu
Seusai Kyai Muzamil menceritakan pengalamannya mencari Tuhan, mas Amin kemudian
ab R dhawuh bahwa Kyai Muzamil ini mendapat tugas dari Cak Nun untuk berkeliling dan
1 mengkomparasikan ilmu-ilmu di maiyah dengan ilmu-ilmu yang ada di pesantren. Pak
1 Muzamil kemudian menceritakan pesan Cak Nun.
2 “Saya memang ditugasi Cak Nun untuk menemani teman-teman. saya bukan orang ari ru pintar, jadi jangan ditempatkan menjadi narasumber, jadi teman saja. Mas Sabrang ini
5 lebih top, dan saya yakin teman-teman ini lebih pintar dari saya. Saya hanya kebetulan Feb
bisa baca kitab kuning dan bisa mengkomparasikannya dengan kitab putih. Meskipun – an
saya tidak lulus SMA, jadi harap dimaklumi kalau saya bodoh ya. Saya hanya berguru et kepada KH. Hasan Abdul Ghofi, KH. Abdul Wahid Zaini, Prof. Dr. Syaikh Hadi Purmono,
g W SH, M
A (alm), KH. Muhid (Rois AWAMnya NU), KH. Ma’sum Syafi’I dari Banyuwangi, an
b g kemudian saya bertemu Cak Nun. Karena saya berguru dengan orang-orang sufi dan
Nun bahwa saya tidak an ti syi’ah, tidak anti mu’tazilah, dan lain-lain. Di Jogja pun juga menjadi ketua Lajnah Bahtsul Masa’il, PWNU Jogja. Jadi ini saya diamanahi Cak Nun untuk menemani sampean-sampean semua. Dan semalam Cak Nun bilang mau mandhito. Jadi kalau saya dan mas Sabr ang salah, nanti Cak Nun akan mengingatkan.”
“Di Madura itu, orang kalau mengeluarkan hadits dan ayat itu malah dianggap orang bodoh, jadi saya tidak mengeluarkan hadits dan ayat- ayat.” Kemudian jamaah tertawa dengan gurauan Kyai Muzamil.
“Saya memang sedang ditugasi dengan cak Nun juga untuk menulis buku Fiqih, Fiqih Muzammily . Jadi kalau salah, orang tidak perlu mengutuk Imam Syafi’i atau Hanafi. Kalau saya ini kan berhak dikutuk atau segala macamnya. Bukan berarti saya mengangkat diri setara dengan Imam Syafi’i. Karena saya menganggap bahwa buku fiqih- fiqih sekarang itu banyak yang tidak ‘membumi’. Salah satu contoh tentang perdebatan tentang aurat wanita yang antara wajah dan tangan atau menutup semua
sampai memakai cadar. Imam Syafi’i itu berpendapat bahwa perempuan itu harus menutup seluruh tubuhnya dengan memakai cadar dan seterusnya. Itu harus kita akui bagaimanapun bahwa Imam Syafi’I hidupnya di Mekah, Madinah, Iraq dan terakhir di Mesir. Beliau tidak pernah melihat orang Papua, Spanyol, Perancis, beliau kan tidak pernah. Sehingga beliau hidup dalam suatu kultur yang memang kultur Arab itu seperti itu. Berarti muncul fiqih yang memang lahir dari Indonesia, jadi pandangannya memang ada yang berubah. Dalam fiqih itu harus ada dialektika. Fiqih itukan hanya alat, jangan dijadikan tujuan. Jadi jangan sampai menjadi pemicu jauhnya manusia dengan manusia, jauhnya manusia dengan Tuhan.”