11 mengembangkan dirinya. Hal ini menggabungkan rasa stres dan kegembiraan
dalam kompetisi dengan potensi mendapatkan wawasan yang luas yang dapat diperoleh dengan cara berlatih seni bela diri Jepang.
Honda 2012:1 juga menjelaskan bahwa : “Kendo is a traditional martial art in which practitioners can learn
together, and from each other regardless of skill level or age, and is something that can be continued to be practiced throught one’s life. Kendo
is also physical activity in which practitioners attempt to strike parts of the body protected by armour with shinai. Therefore, practitioners have a
responsibility to learn proper technique and avoid rough and violent striking with an attitude of respect for others.”
Terjemahan : Kendo adalah bela diri tradisional yang mana pemain dapat belajar
bersama dan dari siapa saja tanpa memperhatikan umur atau level, dan itu adalah sesuatu yang bisa dilanjutkan dan dilatih sepanjang hidup.Kendo juga aktivitas
fisik yang mana pemain berupaya untuk menyerang bagian tubuh yang dilindungi oleh baju besi dengan pedang bambu. Oleh karena itu, pemain mempunyai
tanggung jawab untuk belajar teknik yang benar, menghindari kekerasan dan kekasaran memukul dengan sikap yang menghargai orang lain.
Berdasarkan pendapat di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa kendo adalah seni bela diri menggunakan pedang yang berasal dari Jepang yang telah
menjadi semacam tradisi karena bersifat turun-temurun dari generasi ke generasi. Kendo juga dapat diartikan suatu jalan atau proses disiplin diri yang membentuk
suatu pribadi samurai yang pemberani dan loyal.
2.2 Sejarah dan Perkembangan Kendo
Kendo, dari kata ken “pedang” dan dō “jalan”, adalah praktek yang sangat
bersifat ritual dan bentuk dari seni berpedang Jepang yang muncul lebih dari
Universitas Sumatera Utara
12 ribuan tahun yang lalu Tokeshi, 2003:3.Meskipun asal-usulnya masih samar-
samar, kendo sepertinya berkembang sedikit demi sedikit dari pengalaman pertempuran.Cerita mitos dari para Dewa dan Dewi menunjukkan bahwa orang-
orang Jepang purbakala melihat penggunaan pedang dalam hal kebangkitan dan perdamaian.Pedang yang dimaksud dalam kojiki catatan sejarah tertua di Jepang
adalah chokken pedang lurus yang dibuat di Korea atau Cina.Kurang bagusnya bahan dan kekurangan sebuah shinogi poros sepanjang belakang pisau membuat
chokken tidak berguna untuk memotong, jadi di pertempuran hanya digunakan untuk menusuk.Chokken ditingkatkan dari yang bermata dua sampai bermata satu
dan terbuat dari besi. Pada awalnya pedang melengkung di zaman Heian, yang jauh lebih kuat dan lebih berguna dalam memotong dan menembus.Ini dengan
jelas menandai perubahan teknik dari menusuk ke memotong. Pada zaman Heian abad 8 sampai abad 12 perlombaan bela diri tahunan
diadakan di ibukota Heian. Prajurit harus berlatih kendo dan seni beladiri lain secara rajin untuk menghadapi perlombaan ini. Di zaman yang sama terlihat
perubahan kekuatan dari kelas bangsawan sampai kelas pejuang, diawali dengan klan Taira Heike, klan Minamoto Genji, dan klan Hojō. Seni, sastra, agama,
dan budaya pada umumnya tumbuh di zaman Heian, tapi kepuasan diri sendiri dan korupsi di ibukota membuat kekacauan disana pada saat terjadi konflik
diantara klan Taira dan klan Minamoto, kejadian ini menandai berakhirnya zaman Heian. Taira no Kyōmori telah mengalahkan klan Minamoto untuk menguasai
pemerintahan, tetapi mereka hidup seperti bangsawan dan pada akhirnya kehilangan keterampilan beladirinya. Di sisi lain, klan Minamoto, yang melarikan
diri ke provinsi timur, yang hidup sederhana dan berlatih keterampilan beladiri, mempersiapkan diri untuk mengalahkan klan Taira.
Universitas Sumatera Utara
13 Klan Taira secara singkat menguasai pemerintahan sekitar 2 tahun sampai
adanya operasi militer Dan no Ura yang terkenal pada tahun 1185, dimana klan Minamoto berhasil mengalahkan klan Taira. Minamoto no Yoritomo memulai
pemerintahan militer bakufu di Kamakura dekat yang saat ini Yokohama.Klan Minamoto menurun dengan kematian Yoritomo pada tahun 1199, tetapi Hōjō
Tokimasa dan keluarganya naik ke kekuasaan lewat pernikahan, politik, pembunuhan, dan kekuatan militer.
Pada zaman Kamakura, Muromachi, dan Azuchi-Momoyama, kendo mendapatkan kerohanian dan kualitas keagamaan lewat penggabungan agama
Buddha Zen. Zen dalam agama Buddha berasal dari abad ke-10 di Cina tepatnya di mulut sungai Yangtze. Bentuk dalam agama Buddha disebut Ch’an, yang
berasal dari bahasa Sansekerta dhyana, yang berarti “meditasi”, yang diambil oleh pemerintah Cina dan telah berkembang. Pendeta Rinzai di Jepang yang bernama
Eisai 1141-1215 mengunjungi Cina dan membawa pulang Ch’an, yang dikenal sebagai Zen di Jepang.
Zen menekankan kesederhanaan dari pada menghafal kitab-kitab namun sangat efektif dalam hal konsentrasi dan disiplin diri.Mudah untuk
membayangkan bahwa samurai mencari kenyamanan rohani di dalam Zen, karena berlatih seni beladiri memerlukan konsentrasi dan kematian dalam pertarungan
adalah hal yang biasa.Filosofi kesederhanaan dalam Zen juga menjanjikan keselamatan bersama dikarenakan mereka telah mengalami peperangan yang terus
berlanjut, gempa bumi, dan kelaparan. Jadi pengaruh Zen tidak hanya untuk seni beladiri tapi juga mempengaruhi seni yang lain, aristektur, dan bahkan upacara
minum teh. Menarik untuk dicatat bahwa Eisai juga memperkenalkan kualitas teh
Universitas Sumatera Utara
14 dan upacara minum teh kepada Jepang, istilah dalam kendo seperti chakin shibori
sering datang dari upacara minum teh. Gaya bertarung dari kendo pada awalnya pasti sangatlah sederhana dan
mungkin sebatas memegang tachi pedang panjang, menusuk lawan lewat lubang yang ada pada baju pelindung, atau mengayunkan pedang sambil menunggang
kuda.Namun, segera menjadi jelas bahwa samurai yang mahir menggunakan katana pedang Jepang cenderung berhasil dalam pertarungan jarak dekat, yang
mana pada akhirnya membuat dirinya dipromosikan lebih cepat daripada prajurit lainnya.Tidak sulit membayangkan bahwa permintaan untuk keterampilan dalam
kendo nantinya dibuat untuk kebutuhan sekolah-sekolah kendo, dimana para samurai muda bisa berlatih keterampilan pertarungan jarak dekat.
Hayashizaki Jinsuke Shigenobu 1545 – 1621 mendirikan Musōshinden
r yū school, dimana para siswanya berlatih seni dalam menarik pedang dengan
cepat, yang disebut dengan iaido. Banyak ahli pedang terkemuka yang menggantikannya dan sekolahnya terus berkembang sampai hari ini, meskipun
beberapa ahli pedang mendirikan sekolah iaido mereka sendiri. Dipertengahan abad ke-16, dengan didirikannya banyak sekolah yang
berbeda, kendo menjadi lebih terorganisir. Sekolah-sekolah besar yang didirikan antara lain seperti Kashima ryū dari Hitachi daerah Ibaragi, Kage ryū dari Iga
daerah Mie, Ittō ryū dari pulau Izu Ōshima, dan Jigen ryū, didirikan oleh Tōgō
Shigetaka 1561 – 1643 di Satsuma daerah Kagoshima. Perdamaian yang berlaku pada zaman Edo membuat banyak samurai yang
kehilangan pekerjaannya sebagai pejuang. Samurai-samurai tersebut dijuluki sebagai
rōnin samurai tanpa tuan. Pada zaman Edo jumlah sekolah-sekolah kendo lebih dari tiga ratus. Ini memberikan peluang kepada para
rōnin yang ahli
Universitas Sumatera Utara
15 dalam kendo untuk bekerja, dan dizaman Edo juga telah banyak menghasilkan
master kendo legendaris, seperti Miyamoto Musashi, Tsukahara Bokuden, Kamiizumi Nobutsuna, dan Yagyū Sekishūsai Mitsuyoshi. Filosofi dari para
master kendo itu merubah penekanannya dari keberanian, keterampilan, dan potensi individu menjadi kesetiaan kepada para tuannya, seperti yang ditekankan
pada sistem konfusianisme. Filosofi ini adalah dasar yang penting bagi sistem feudal dibawah pemerintahan Tokugawa.
Pada abad ke-18 pertengahan akhir juga terlihat perkembangan kendo modern, dengan digunakannya baju pelindung kendo, seperti yang digunakan saat
ini, dan penggunaannya shinai pedang bambu, yang mana sekarang adalah perlengkapan standar. Sebelum digunakannya baju pelindung ini, kendo hanya
dipraktekkan sebagai kata pola, karena pada dasarnya latih tanding bebas sangatlah berbahaya.
Pada zaman Meiji masuknya kebudayaan barat serta larangan menggunakan pedang di depan umum sangat mengurangi minat dari seni beladiri
traditional Jepang, termasuk kendo. Pemerintah Meiji memproklamasikan larangan menggunakan pedang di depan umum dan chonmage gaya rambut
tradisional Jepang pada tahun 1870. Namun, karena terlalu melekatnya senjata pedang dalam kebudayaan Jepang, butuh waktu bertahun-tahun sebelum para
mantan samurai menyerahkan pedangnya. Banyak gambar maupun foto di zaman ini dari para samurai yang terlihat aneh dengan gaya rambut chonmage yang
mengenakan seragam gaya barat dengan dua pedang di sabuknya dan para samurai tanpa gaya rambut chonmage namun mengenakan haori mantel
tradisional dan hakama pakaian tradisional Jepang sambil memakai sepatu gaya barat.
Universitas Sumatera Utara
16 Gambar 2.1 Samurai pada tahun 1800an
Banjirnya seorang samurai, yang diperkirakan sampai dua juta jiwa, kehilangan pekerjaannya setelah restorasi Meiji. Sakakibara Kenkichi seorang
ahli beladiri dan juga kepala sekolah ke 14 dari sekolah Jikishinkage Ry ū turun
ke jalanan dengan teman-teman berlatih kendonya, mempraktekkan keterampilan kendo untuk mendapatkan uang. Praktek-praktek kendo tersebut juga sempat
populer disana. Perang Seinan tahun 1877, antara Satsuma Kagoshima pasukan samurai yang dipimpin ol
eh Saigō Takamori dan para mantan sipil petani dan pedagang yang wajib militer dan para samurai kelas rendah dari pasukan
pemerintah, membangun kembali minat orang-orang pada kendo. Ketika pihak kepolisian ibukota mengadopsi kendo, kendo menjadi populer diantara para
Universitas Sumatera Utara
17 pelajar dan dimasyarakat. Perang Sino-Jepang 1894-1895 juga merangsang
minat pada kendo, dan Dai Nippon Butoku Kai, sebuah organisasi nasional yang bertujuan untuk mempopulerkan kendo, didirikan pada tahun 1895.
Di awal abad ke-20, ketertarikan pada kendo semakin besar dengan disertakannya kurikulum pendidikan jasmani di sekolah menengah
atas.Kemenangan dalam perang Russo-Jepang 1904-1905 membuat kekuatan militer Jepang diakui di mata internasional.Pada tahun 1906, Butoku Kai
mendirikan tiga bentuk kata untuk mempromosikan kendo di sekolah dasar.Watanabe Noboru membantu dalam mendirikan federasi kendo di perguruan
tinggi yang pertama di Universitas Tokyo dan mempopulerkan kendo di kalangan mahasiswa.Reformasi pendidikan pada tahun 1911 mengamanatkan untuk
manggabungkan kendo ke dalam kurikulum sekolah Jepang. Dai Nippon Teikoku Kendo Kata didirikan tahun 1912 oleh para praktisi kendo yang hebat dari sekolah
yang berbeda- beda, termasuk Negishi Shingorō, Tsuji Shinpei, Naitō Takaharu,
Monna Ta dashi, dan Takano Sasaburō, untuk mengajarkan dasar kendo di sekolah
menengah atas. Pada tahun 1928, Zen Nihon Kendo Renmei All Japan Kendo Federation didirikan.Federasi tersebut mengadakan ujian tahunan untuk kenaikan
tingkat.Master kendo pada zaman ini yaitu Nakayama Hakudō, Sasamori Junzō,
Mochida Moriji, Saimura Gorō, Ogawa Kinnosuke, dan Nakakura Kiyoshi. Pemerintah kekaisaran Jepang mempromosikan segala bentuk seni beladiri,
terutama kendo, semasa perselisihan di Manchuria 1931, invasi Cina 1937, dan yang terakhir pada perang dunia kedua 1941-1945. Setelah perang dunia kedua
berlatih kendo untuk sementara dilarang oleh perintah Jendral Douglas Mac Arthur dari pasukan sekutu.Dai Nippon Butoku Kai dibubarkan dan pengajaran
kendo di sekolah ditunda.Namun, Zen Nihon Kendo Renmei AJKF dibangun
Universitas Sumatera Utara
18 kembali tahun 1952 bulan Oktober.Pada tahun 1955 kendo diakui sebagai salah
satu perlombaan di festival olahraga nasional Jepang.Sedikit demi sedikit kendo mendapatkan pengakuan dari pihak Internasional.Pada tahun 1970 International
Kendo Federation IKF didirikan dan mengadakan turnamen dunia untuk pertama kalinya di Jepang.
AJKF sangat aktif dalam mempromosikan kendo dan semangat kendo.Kita melihat perubahan secara teknis dalam kendo kata, dan beberapa perubahan utama
dalam peraturan dan undang-undang yang mengatur tentang kenaikan tingkat dan gelar maupun shiai pertandingan dan shinpan penilaian.AJKF mengadakan
seminar untuk melatih para pelatih dan sangsi dalam sebuah turnamen.Dalam berlatih kendo, anak-anak kecil belajar dasar-dasar kendo. Tujuan utama dari
berlatih kendo dalam jangka panjang adalah untuk mengembangkan anak-anak muda menjadi orang dewasa yang akan berguna bagi masyarakat. Persyaratan
untuk menjadi penduduk yang baik adalah dengan mempunyai badan yang sehat, kuat, sifat baik, mental yang tangguh, mengerti makna dari wa kasih sayang dan
kerjasama, dan mampu untuk mengatasi kerasnya dan kesulitan dalam suatu kehidupan. Berlatih kendo secara tepat dan rajin akan menjaga kualitas tersebut.
Tujuan keseluruhan dari kendo menurut AJKF adalah untuk “menyatukan pikiran dan badan, menumbuhkan jiwa yang bersemangat melalui latihan yg benar
dan keras, untuk selalu mengembangkan seni dalam kendo, menjunjung tinggi kehormatan dan sopan santun, berhubungan dengan orang lain secara tulus, dan
untuk selamanya terus mengembangkan diri sendiri,” dan juga untuk mengembangkan kemampuan untuk mengamati, menganalisa, mengerti, dan
dengan cepat mengatasi segala situasi apapun tanpa rasa takut, keraguan, ataupun terkejut.
Universitas Sumatera Utara
19
2.3 Perlengkapan dalam Olahraga Kendo 2.3.1