Konflik Batin yang Dialami Tokoh
2. Konflik Batin yang Dialami Tokoh
Pembahasan aspek psikologi sastra atau proses kejiwaan tokoh dalam novel Hafalan Shalat Delisa, akan diteliti unsur psikologi sastra dari tokoh-tokoh dalam cerita tersebut, dengan pelaksanaan perwatakan yang digambarkan memiliki perkembangan konflik yang dipengaruhi oleh faktor intern dan ekstern (lingkungan). Analisis ini dilakukan dengan teori kepribadian yang dikemukakan oleh Sigmund Freud dalam teori Psikoanalisis, seperti yang telah diuraikan dalam landasan teori bahwa sumber dari proses kejiwaan manusia terdiri dari tiga sistem
commit to user
85
yaitu ego, id, dan super ego. Aspek struktur kepribadian melalui the id, the ego, dan super ego. The id/Das Es (aspek biologis) merupakan sistem kepribadian yang asli dan sumber dari semua energi dan dorongan. Id berisi segala sesuatu yang secara psikologis diwariskan dan telah ada sejak lahir (unsur-unsur biologis), termasuk insting-insting. Id tidak memandang benar atau tidaknya pemikiran terhadap suatu perbuatan. Jadi, id tidak memandang pada segala hal yang bersifat objektif, melainkan lebih ke hal-hal yang bersifat subjektif dalam sebuah kenyataan. The Ego/Das Ich (aspek psikologi) merupakan pelaksana dari kepribadian. Peran ego ialah menjadi perantara antara kebutuhan-kebutuhan instingtif dengan keadaan lingkungan. Ego dalam diri manusia menghasilkan kenyataan dengan rencana tindakan yang telah dikembangkan melalui pikiran dan akal tersebut. The Super Ego/Das Ueber Ich (aspek sosiologis) merupakan aspek- aspek yang berkaitan dengan latar belakang sosial dari kepribadian. Super ego adalah adalah suara hati atau bagian moral dari kepribadian. Dalam hal ini, super ego bersifat sebagai kontrol terhadap adanya dorongan-dorongan dari id dan ego pada diri manusia yang mengalami konflik (Suryabrata, 2007: 127-128). Konflik yang akan mempengaruhi proses kejiwaan dari konflik yang terjadi di dalam diri tokoh maupun dengan tokoh yang lain yang digambarkan melalui konflik internal dan eksternal dari diri tokoh-tokohnya. Untuk lebih jelasnya penulis akan melakukan pembahasan mengenai konflik batin yang dialami oleh para tokoh.
Pembahasan terhadap konflik batin tokoh dalam novel Hafalan Shalat Delisa akan diuraikan sebagai berikut:
1. Delisa merindukan Ibu dan saudaranya Delisa sedang bermimpi bertemu dengan Ummi dan kakak-kakaknya. Tetapi Delisa bingung mengapa mereka semua tidak tahu kalau Delisa ada di depan mereka. Mereka hanya melewati Delisa dan Delisa pun bingung dengan keadaan itu. Delisa berusaha berteriak memanggil mereka, tetapi tidak ada yang mendengar. Delisa berusaha untuk berdiri, tetapi hal itu sulit untuk dilakukan. Delisa takut dan bingung. Hal ini tampak pada pernyataan di bawah ini:
commit to user
86
Delisa sedang duduk, saat mereka datang. Hei! Delisa tidak bisa bergerak. Hei! Delisa tidak bisa berdiri. Dan mereka berempat mengapa hanya berlalu begitu saja melewati Delisa. Ummi, Kak Fatimah, Kak Aisyah, Kak Zahra melangkah menjauh, tidak menoleh. Bukankah mereka akan menjemputku? Delisa panik. Tidak! Bagaimana mungkin mereka hanya lewat begitu saja di depannya. Lewat di depannya yang sedang duduk di atas tepi jalan menuju gerbang taman tersebut. Bukankah tidak ada siapa-siapa kecuali mereka di sini. “UMMI!” Delisa berteriak kencang. Berusaha menggerakkan kakinya. Berusaha berdiri. Berusaha merangkak dari tepi jalan tersebut. Ummi tidak mendengar. “KAK FATIMAH!” Delisa mulai panik. Bagaimana mereka tak mendengarnya. Bagaimana mereka tak tahu kalau aku tertinggal di belakang. Kak Fatimah tidak mendengar. “KAK ZAHRA!” Delisa semakin takut. Kak Zahra sama sekali tidak mendengar. Ya Allah, apa yang terjadi dengan semua ini. Delisa takut. Delisa gentar. Delisa tak ingin ditinggal sendirian. Ke mana pun mereka akan pergi… Delisa ingin ikut. Delisa meronta-ronta. Badannya tetap saja tak bergeming. Apa yang terjadi dengan tubuhnya. Bagaimana Delisa sedikit pun tidak bisa bergerak untuk menyusul mereka. “KAK AISYAH!” Delisa tersengal. Suaranya lebih dari panik sekarang. Ia berteriak sekencang yang ia bisa. Suaranya parau. Parau oleh tangisan. Parau oleh kecemasan. (Tere Liye, 82 83).
Id di dalam diri Delisa ingin ikut bersama dengan Ummi dan kakak- kakaknya. Ego di dalam diri Delisa berusaha untuk merealisasikan id melalui tindakan berteriak memanggil Ummi dan kakak-kakaknya namun tidak ada yang mendengar. Berusaha untuk berdiri namun tidak bisa. Delisa hanya meronta-ronta kebingungan karena tubuhnya tidak bisa digerakkan untuk menyusul Ummi dan kakak-kakaknya. Superego di dalam diri Delisa menganggap bahwa tindakan dan keputusan yang dilakukan oleh Delisa itu sudah tepat, karena Delisa melakukan hal ini untuk bisa ikut dengan Ummi dan kakak-kakaknya. Superego telah memutuskan bahwa tindakan yang diambil oleh Delisa sudah benar, sehingga mampu mendorong id dan ego untuk merealisasikan kebenaran tersebut agar dapat mencapai tujuannya yaitu bisa ikut dengan Ummi dan kakak-kakaknya pergi. Tetapi pada kenyataannya Delisa tidak bisa ikut bersama Ummi dan kakak- kakaknya, karena mereka semua sduah meninggal. Sedangkan Delisa bertemu dengan mereka hanya di dalam mimpi.
commit to user
87
2. Delisa ketakutan melihat mayat Tiur. Delisa gemetar melihat mayat Tiur yang ada di dekatnya. Delisa berusaha menahan tangis dan menutup matanya. Delisa benar-benar takut sehingga ia pingsan. Id di dalam diri Delisa ingin menghilangkan ketakutannya melihat mayat Tiur yang ada di dekatnya dengan cara memejamkam mata. Ego di dalam diri Delisa berusaha untuk merealisasikan id melalui tindakan memejamkan mata dan menggeleng-gelengkan kepala agar bayangan Tiur menghilang. Namun bayangan itu semakin kuat mencengkeram pikiran Delisa. Tubuh Delisa bergetar karena rasa takut yang berlebihan. Superego di dalam diri Delisa menganggap bahwa tindakan dan keputusan yang dilakukan oleh Delisa itu sudah tepat, karena Delisa melakukan hal ini untuk menghilangkan rasa takutnya karena melihat mayat Tiur. Superego telah memutuskan bahwa tindakan yang diambil oleh Delisa sudah benar, sehingga mampu mendorong id dan ego untuk merealisasikan kebenaran tersebut agar dapat mencapai tujuannya yaitu untuk menghilangkan ketakutan terhadap mayat Tiur.
Delisa gemetar menahan tangis. Saking gemetarnya, tubuhnya bergoyang- goyang di semak belukar. Ia takut. Ia takut sekali menatap mayat Tiur. Memandang tubuh membeku teman terbaiknya. Delisa berusaha menutup matanya. Justru muka pucat Tiur memenuhi benaknya. Delisa berusaha menggeleng-gelengkan kepalanya, mengusir bayangan itu. Justru tubuh membeku Tiur semakin mencengkeram pikirannya! Delisa takut! Teramat takut. Dan ia jatuh pingsan lagi. (Tere Liye, 94)
3. Harapan Delisa untuk tetap hidup Delisa yang masih hidup belum juga ditemukan oleh tim relawan. Keadaannya kini bertambah mengenaskan. Sudah tujuh hari tujuh malam Delisa terkapar tak berdaya. Tetapi ia sudah mulai terbiasa dengan keadaan sekitarnya. Ia tidak takut lagi dengan mayat Tiur, gelap malam dan sepinya kota. Keadaan tubuhnya sungguh mengenaskan. Delisa masih berjuang untuk bertahan hidup. Id di dalam diri Delisa ingin memanggil orang yang melintas di depannya. Delisa ingin berteriak memanggil tetapi bibirnya sudah lemah. Ego di dalam diri Delisa berusaha untuk merealisasikan id melalui tindakan memanggil orang yang melintas di dekatnya namun bibirnya tidak kuat untuk berteriak. Delisa sangat
commit to user
88
ingin ditemukan karena ia sudah sangat lelah berhari-hari mengalami situasi yang mengenaskan. Superego di dalam diri Delisa menganggap bahwa tindakan dan keputusan yang dilakukan oleh Delisa itu sudah tepat, karena Delisa melakukan hal ini untuk bisa ditemukan oleh orang yang melintas di dekatnya. Superego telah memutuskan bahwa tindakan yang diambil oleh Delisa sudah benar, sehingga mampu mendorong id dan ego untuk merealisasikan kebenaran tersebut agar dapat mencapai tujuannya yaitu bisa ditemukan oleh relawan yang melintas, namun hal itu tidak dapat terjadi karena pada kenyataannya bibir Delisa sangat lemah untuk bisa memanggil orang yang melintas di dekatnya. Hal ini tampak pada pernyataan:
Tubuh Delisa terpanggang oleh teriknya matahari. Tubuhnya semakin mengenaskan. Air dan beberapa buah apel yang memang mengisi perutnya dengan baik semalaman, tetapi itu tidak cukup untuk mengurangi semua rasa sakit. Menjelang sore, kaki kanannya sudah benar-benar tak berasa lagi. Seperti tidak ada lagi di sana, saking kebasnya. Matanya perih menahan panas seharian. Kerudung biru yang sekarang ditutupkannya di atas dahi tidak membantu banyak. Delisa sudah lelah menangis. Air matanya sudah habis sepanjang hari. Tujuh hari tujuh malam sudah ia terkapar. Ia tidak takut lagi dengan mayat Tiur yang mulai membusuk. Ia tidak takut lagi menatap sepinya kota. Tidak takut lagi menatap gelapnya malam. Bahkan Delisa tidak peduli dengan hujan deras yang selalu turun tiap malam. Mengeriputkan badan kecilnya. Tadi pagi beberapa orang yang selamat melintas di dekatnya. Delisa ingin berteriak memanggil. Sayang bibirnya sudah lemah. Ia sudah tak mampu berteriak lagi. Ia sudah terlampau lemah walau sekadar menggerakkan kepala. Menatap nelangsa orang-orang tersebut bergegas menjauh darinya. (Tere Liye, 101).
4. Delisa ingin tinggal bersama Ibunya Id di dalam diri Delisa ingin sekali untuk tinggal bersama Umminya.
Namun Umminya tidak mengizinkan Delisa untuk tinggal. Ego di dalam diri Delisa berusaha untuk merealisasikan id melalui tindakan memaksa Ummi agar dia diijinkan tinggal bersama di tempat itu. Superego di dalam diri Delisa menganggap bahwa tindakan dan keputusan yang dilakukan oleh Delisa itu sudah benar, karena Delisa ingin sekali tinggal bersama dengan Umminya. Superego telah memutuskan bahwa tindakan yang diambil oleh Delisa sudah benar,
commit to user
89
sehingga mampu mendorong id dan ego untuk merealisasikan kebenaran tersebut agar dapat mencapai tujuannya yaitu bisa tinggal bersama dengan Umminya. Tampak pada pernyataan:
“Delisa mau tinggal di sini…“ Delisa ngotot sekali lagi. Lupa, bukankah selama ini kalau Ummi sudah menggeleng, maka ia tidak pernah bisa tawar-manawar lagi. “TIDAK! Delisa tidak bisa tinggal di sini!” “TAPI DELISA INGIN! DELISA I-N-G-I-N!!” Delisa bandel mencengkeram baju Ummi. “Delisa harus kembali, Sayang. Delisa harus menyelesaikannya!” Ummi tersenyum tipis menyentuh bahunya. Sentuhan itu sugestif sekali. Membunuh semua kengototan di hati Delisa. Seketika.
“Menyelesaikan apa?” Delisa sekarang terbata bingung. “Delisa harus menyelesaikan hafalan bacaan shalat itu, Sayang. Delisa harus menyelesaikannya!” (Tere Liye, 236).
5. Delisa kesulitan menghafal bacaan shalat Delisa mengalami kesulitan dalam menghafal bacaan shalat lagi. Semua hafalan yang sudah berhasil ia hafalkan, harus hilang dengan mudah dan sulit untuk menghafalnya kembali. Semakin Delisa berusaha menghafalkan, semakin sulit bagi Delisa untuk menghafalnya. Lalu Delisa memutuskan berhenti dan meletakkan buku hafalan shalat itu kembali ke dalam tas. Id di dalam diri Delisa ingin sekali untuk bisa menghafalkan bacaan shalat. Namun Delisa mengalami kesulitan untuk menghafalnya. Ego di dalam diri Delisa berusaha untuk merealisasikan id melalui tindakan mencoba menghafal bacaan itu dengan sekuat tenaga walaupun hasilnya tetap nihil. Superego di dalam diri Delisa menganggap bahwa tindakan yang dilakukan oleh Delisa itu sudah benar, karena Delisa ingin sekali bisa menghafal bacaan shalatnya. Superego telah memutuskan bahwa tindakan yang diambil oleh Delisa sudah benar, sehingga mampu mendorong id dan ego untuk merealisasikan kebenaran tersebut agar dapat mencapai tujuannya yaitu bisa menghafal bacaan shalatnya. Tampak pada pernyataan:
Malam semakin beranjak matang. Delisa tidak bisa tidur. Tadi selepas Abi shalat isya. Delisa membuka tas yang dibawanya dari kapal induk. Mengambil buku hafalan bacaan shalatnya. Mencoba mulai menghafal. Sama saja. Tulisan-tulisan itu tetap rumit. Seolah-olah menolak mentah- mentah Delisa untuk memahaminya.
commit to user
90
Delisa menghela nafas. Lelah ia mengulang-ulang kalimat pertama doa iftitah. Semakin diulang, semakin lupa. Delisa kemudian memutuskan berhenti. Memasukkan buku itu kembali ke dalam tas. Duduk termenung. (Tere Liye, 159). Tetapi Delisa masih terdiam. Ya Allah, bukankah sudah tiga bulan lebih ia berusaha untuk menghafal kembali bacaan shalatnya. Tiga bulan lamanya! Dan sedikitpun ia tidak mengalami kemajuan. Susaaaaah sekali. Bacaan shalat itu menolaknya mentah-mentah. Melemparkan semua yang telah ia hafal tanpa ampun keluar lagi dari memori otaknya. Delisa diam semakin kelu. Berpikir. Sekarang masalah ini benar-benar mengganggunya. Delisa harus bertanya. Ia harus menemukan jawabannya. Bertanya. (Tere Liye, 244).
6. Abi Usman ingin segera pulang ke Indonesia Abi Usman masih belum mengetahui bahwa tsunami telah melanda kota Lhok Nga. Tempat di mana istri dan keempat anaknya tinggal. Dia mendapatkan kabar dari teman negronya yang juga bekerja di tanker minyak. Setelah mendengar kabar tersebut, Abi Usman tidak berpikir panjang dan segera meninggalkan pekerjaannya itu. Menemui kepala maintenance untuk meminta izin pulang. Hal ini tampak pada pernyataan:
Kali ini, demi mendengar berita tersebut. Tidak perlu dua kali. Abi melempar kunsi Inggris di tangannya. Melesat menuju tangga menuju palka atas (Tere Liye, 89) Abi berseru tertahan menatap potongan gambar-gambar itu! ASTAGFIRULLAH! Abi sudah tidak bisa berpikir lagi. Dengan pakaian kotornya, dengan lengan kotornya, sambil mendesiskan nama Ummi, Delisa, Aisyah, Zahra, dan Fatimah, Abi sudah berlari kencang-kencang menuju ruangan kepala maintenance. Dia harus pulang! (Tere Liye, 90).
Setelah mendengar kabar telah terjadi tsunami di Lhok Nga, Abi Usman tanpa berpikir panjang untuk segera meminta izin pulang ke Indonesia. Id Abi Usman yang merupakan naluri dasar ingin segera pulang ke Indonesia itu akhirnya melampiaskannya dengan berlari ke arah ruangan maintenance. Id tersebut memang dapat menurunkan tegangan pada Abi Usman, tetapi hanya bersifat sementara. Id tersebut mendorong ego untuk melakukan suatu hal yang benar-benar nyata untuk menghilangkan ketegangan yang dialaminya sehingga tegangan itu benar-benar mereda. Dalam keadaan seperti ini, Abi Usman
commit to user
91
mengalami tekanan batin sehingga id akan berusaha meredakan tegangan tersebut. Untuk meredakan tegangan yang dialami Abi Usman karena mendapat kabar telah terjadi tsunami di Aceh. Abi Usman memerlukan sebuah perantara untuk menghilangkan ketegangan yang dia alami, yaitu ego.
Ego pun bekerja untuk merealisasikan apa yang diinginkan oleh id. Ego yang berpegang pada prinsip realitas ini mencoba untuk mewujudkan dorongan id untuk memperoleh izin kembali ke Indonesia, yaitu dengan berlari menuju kantor kepala maintenance. Dalam keadaan seperti ini, apa yang dilakukan oleh Abi Usman mampu meredakan ketegangan yang dia alami. Abi Usman berpikir bahwa berlari menuju kantor maintenance adalah cara yang tepat. Karena ia akan meminta izin untuk dapat kembali ke Indonesia. Superego dalam diri Abi Usman menyatakan bahwa tindakan ini adalah tindakan yang tepat. Karena dengan berlari menuju kantor kepala maintenance, Abi akan mendapatkan izin untuk pulang ke Indonesia.
7. Abi Usman mengalami tekanan batin pasca tsunami Perubahan pola hidup yang terjadi pasca tsunami dirasakan oleh Abi Usman. Jika sebelum tsunami dia hanya berperan sebagai ayah bagi Delisa dan keluarganya. Dia hanya bertugas mencari nafkah. Tapi kini setelah tsunami terjadi, Abi Usman harus berperan ganda. Menjadi Ayah, Ibu, kakak-kakak Delisa serta sahabat bagi Delisa. Mengurusi semua urusan rumah tangga yang seharusnya dikerjakan oleh Ummi Delisa. Hal ini tampak pada pernyataan:
Delisa cukup menjadi Delisa saja. Tetapi Abi terpaksa sekaligus menjadi Ummi, Kak Fatimah, Kak Zahra, dan Kak Aisyah bagi Delisa. Abi harus mengurusi berbagai pernak-pernik kebutuhan Delisa dan dirinya sendiri. Dan salah satunya yang meskipun sepele namun mendesak tentu urusan masak-memasak tadi. (Tere Liye, 177). Adalah Abi! Abi masih terjaga. Abi sedang tertelungkup di ruang tengah. Abi tidak bisa tidur selepas dari lapak Koh Acan. Itulah yang dilakukannya saat matanya tak mau terpejam lagi di malam hari. Shalat tahajud. Ketika semua kenangan itu kembali. Ketika semuanya balik menerabas deras hati yang sebenarnya mulai tertata. Muka Abi basah oleh wudhu dan air mata. Sajadahnya basah. Basah oleh sebuah pengaduan. Ya Allah, berat sekali semua urusan ini. Dia
commit to user
92
kehilangan istri yang salehah dan anak-anak tercinta. Dia kehilangan lebih dari separuh kehidupannya. Kehidupan yang dia pupuk begitu lama. Kehidupan yang menjanjikan banyak kebahagiaan. Tetapi musnah sekejap begitu saja. Ya Allah, amanah itu berat sekali. Dia harus menjadi Abi, Ummi, kakak, sekaligus teman untuk Delisa. Jangankan untuk urusan yang lebih rumit, soal memasakkan makanan yang halal dan thayib-pun dia tidak bisa. Dan dia tak kunjung bisa berdamai dengan semua perasaan kehilangan ini. Tak kunjung bisa melupakan semuanya. Lemah. Hatinya lemah sekali. Sering tertelungkup mengadu kepadaMu. Mengadu semua penderitaan yang tak kunjung berubah menjadi angin sejuk. (Tere Liye, 192).
Id Abi Usman berusaha untuk mengurangi ketegangan yang dialaminya
yaitu dengan cara shalat tahajud. Id tersebut mendorong ego untuk melakukan suatu hal yang benar-benar nyata untuk menghilangkan ketegangan yang dialaminya sehingga tegangan itu benar-benar mereda. Dalam keadaan seperti ini, Abi Usman mengalami tekanan batin sehingga id akan berusaha meredakan tegangan tersebut. Untuk meredakan tegangan yang dialami Abi Usman karena harus berperan ganda menjadi sosok ayah sekaligus ibu dan kakak bagi Delisa. Abi Usman memerlukan sebuah perantara untuk menghilangkan ketegangan yang dia alami, yaitu ego.
Ego pun bekerja untuk merealisasikan apa yang diinginkan oleh id. Ego yang berpegang pada prinsip realitas ini mencoba untuk mewujudkan dorongan id untuk memperoleh ketenangan, yaitu dengan melakukan shalat tahajud. Dalam keadaan seperti ini, apa yang dilakukan oleh Abi Usman mampu meredakan tegangan dan pikiran-pikiran yang dia miliki terhadap konflik batin yang dia alami karena harus berperan ganda menjadi seorang ayah sekaligus ibu dan kakak bagi Delisa. Perubahan yang secara mendadak terjadi dan memberikan tekanan terhadap Abi Usman. Superego telah memutuskan bahwa solusi yang diambil oleh tokoh sudah benar. Karenan dengan melakukan shalat tahajud, tekanan yang Abi rasakan bisa sedikit berkurang.
8. Perjuangan Ibu Guru Nur menyelamatkan Delisa Berkat Ibu guru Nur, Delisa bisa selamat dari bencana tsunami. Karena Ibu guru Nur mengikatkan Delisa pada sebuah papan menggunakan kerudungnya,
commit to user
93
sehingga Delisa tidak tenggelam dan bisa selamat. Hal ini tampak pada pernyataan:
Ibu Guru Nur tidak sempat berpikir panjang. Saat tubuh mereka berdua mulai perlahan tenggelam, Ibu Guru Nur melepas kerudungnya yang robek. Mengikat tubuh Delisa yang pingsan di atas papan seerat yang ia bisa lakukan dengan kerudung itu. Lantas sambil menghela nafas penuh arti, bergetar tangan berlaksa maksud, gemetar bibir memanggang makna, melepaskan papan itu dari tangannya pelan-pelan, sebilah papan dengan Delisa yang pingsan terikat kencang di atasnya. “Kau harus menyelesaikan hafalan itu, Sayang .... Kau harus menyelesaikannya!” Ibu Guru Nur berbisik sendu. Menatap sejuta makna. Matanya meredup. Tenaganya sudah habis. Ibu Guru Nur bersiap menjemput syahid. (Tere Liye, 74).
Id di dalam diri Ibu Guru Nur mendorong agar ia menyelamatkan Delisa
untuk tetap hidup. Ego di dalam diri Ibu Guru Nur berusaha untuk merealisasikan id melalui tindakan ia mengikatkan Delisa di atas sebuah papan. Superego di dalam diri Ibu Guru Nur menganggap bahwa tindakan dan keputusan yang dilakukan oleh Ibu Guru Nur itu sudah tepat, karena Ibu Guru Nur melakukan hal ini untuk menyelamatkan Delisa, karena jika dirinya dan Delisa tetap berada di atas papan. Maka, mereka berdua akan meninggal. Superego telah memutuskan bahwa solusi yang diambil oleh tokoh sudah benar, sehingga mampu mendorong id dan ego untuk merealisasikan kebenaran tersebut agar dapat memutuskan untuk melepaskan papan itu dan membiarkan Delisa tetap hidup.
Apa yang didorong oleh id pada akhirnya memang direalisasikan oleh ego untuk mengurangi ketegangan yang ada di dalam diri Ibu Guru Nur. Ego sebagai bentuk media untuk menyalurkan apa yang dipikirkan oleh id memberikan keputusan kepada Ibu Guru Nur untuk mengambil keputusan menyelamatkan Delisa, kemudian Ibu Guru Nur melepas kerudungnya dan mengikatkan tubuh Delisa di papan ketika tubuh mereka berdua mulai tenggelam karena papan tidak mampu menopang dua tubuh, kemudian melepaskan papan itu. Di sisi lain, Super ego dapat juga dianggap sebagai aspek moral kepribadian, fungsinya menentukan apakah sesuatu itu baik atau buruk. Superego pun cemas antara Ibu Guru Nur harus bertahan di atas papan atau harus melepaskan papan itu dan mengikatkan Delisa. Namun, justru setelah perwujudan id melalui ego itu, pertentangan batin
commit to user
94
dalam Ibu Guru Nur reda karena ia memutuskan untuk mengikatkan Delisa dan melepaskan papan itu. Superego telah memutuskan bahwa solusi yang diambil oleh tokoh sudah benar.
9. Ustadz Rahman tak ingin tinggal di Kota Lhok Nga. Walaupun setelah tsunami terjadi Ustadz Rahman sudah kembali ke Lhok Nga. Tetapi ketika ditanya oleh Delisa apakah Ustadz akan kembali mengajar anak-anak lagi, Ustadz menjawab tidak. Dia tidak sanggup bila harus menjalani sisa kehidupan yang telah hancur pasca tsunami. Dia akan kembali ke Banda Aceh. Hal ini tampak pada pernyataan:
Ustadz Rahman menggeleng. Dia tidak akan bisa kembali ke Lhok Nga. Hatinya selalu kebas setiap berjalan di sepanjang jalan kota Lhok Nga. Mengingat-ngingat kenangan masa lalu yang indah. Hatinya sakit sekali setiap berjalan di sepanjang pantai Lhok Nga. Mengingat-ngingat kalau dia seharusnya sekarang justru berjalan mesra-berdua dengan belahan hatinya. “Ustadz akan kembali ke Banda Aceh, Delisa!” Ustadz Rahman memegang lembut bahu Delisa. (Tere Liye, 182).
Superego berkaitan dengan latar belakang sosial dari kepribadian. Dalam hal ini, superego Ustadz Rahman berusaha untuk mengontrol terhadap dorongan- dorongan dari id dan ego pada dirinya yang sedang mengalami konflik. Id yang ada di dalam diri Ustadz Rahman berusaha untuk meredakan ketegangan yang terjadi baik di dalam dirinya maupun diluar dirinya dan ego dalam diri Ustadz Rahman berusaha untuk merencanakan tindakan yang telah dikembangkan melalui pikiran dan akalnya.
Id di dalam diri Ustadz Rahman menganggap bahwa keresahan yang ada di dalam hati mengenai apakah akan melanjutkan kehidupan di Lhok Nga, mengakibatkan ego di dalam diri Ustadz Rahman merasa terdorong untuk mengambil keputusan dalam masalah ini. Sehingga ego di dalam diri Kyai Ahmad Dahlan memutuskan untuk kembali ke Banda Aceh. Superego yang ada di dalam diri Ustadz Rahman menganggap bahwa keputusan untuk kembali ke Banda Aceh itu sudah tepat dan bukan tanpa alasan tetapi berdasarkan alasan yang mendukung. Ustadz Rahman mengalami kecemasan yang terjadi akibat rasa takut terhadap suara hati dalam menghadapi konflik batinnya. Jika Ustadz Rahman
commit to user
95
tidak segera mengatasi kecemasan yang dialaminya, dalam artian jika ia tetap tinggal di Lhok Nga, maka ia akan selalu terbayang-bayang akan kenangan masa lalu yang membuat hatinya sakit, maka ego di dalam dirinya berhasil menyelesaikan pertentangan di dalam dirinya, yaitu berhasil mengambil keputusan untuk meninggalkan Lhok Nga dan kembali ke Banda Aceh.
10. Sersan Ahmed mengalami tekanan saat menghadapi tugasnya
Sersan Ahmed yang biasanya tak gentar melawan musuh-musuhnya. Tidak bingung dalam menyerbu musuhnya, menghabisi benteng kokoh pertahanan penjahat, dan meluluh-lantakkan gedung-gedung yang dianggap sarang gembong mafia narkoba Amerika Selatan. Walaupun Sersan Ahmed sangat tangguh dan tidak pernah gentar dalam menghadapi musuh-musuhnya saat berperang. Tapi kali ini dia mendapatkan musuh yang sangat berbeda. Musuh yang harus ia hadapi dengan mental dan tenaga yang kuat. Musuh-musuh ini sungguh menekan mentalnya beserta prajurit-prajuritnya. Tetapi dalam menghadapi tugasnya kali ini, Sersan Ahmed masih kebingungan dalam menghadapinya. Hal ini tampak pada pernyataan:
Bahkan Sersan Ahmed tidak tahu bagaimana cara terbaik menghadapi musuh mereka sekarang . Musuh mereka adalah menyisir kota untuk mengevakuasi mayat; menyelamatkan segera orang-orang yang masih bernafas. Musuh yang menyedihkan, memilukan hati. (HSD: 100). “CARI TERUS! KUMPULKAN MAYAT SEBANYAK MUNGKIN! PERIKSA SELURUH TEMPAT!” Sersan Ahmed galak menatap pasukannya yang begitu lamban. Anak buahnya bergegas memanggul kantong-kantong mayat. (Tere Liye, 101).
Sersan Ahmed semakin galak meneriaki prajuritnya. Dia tahu, semua pemandangan kemarin sungguh menggetarkan. Semua kota yang luluh-lantak itu sepuluh kali lebih menekan dibandingkan pertempuran mereka selama ini. Mayat-mayat yang bergelimpangan, tanpa lengan, tanpa tangan, dan lain sebagainya seratus kali lebih menakutkan dibandingkan mayat-mayat korban muntahan peluru senjata mereka selama ini. (Tere Liye, 105).
Id di dalam diri Sersan Ahmed menganggap bahwa keresahan yang ada di dalam hati mengenai keadaan yang harus dihadapinya sekarang ini, musuh yang sangat berbeda dengan musuh-musuh sebelumnya mengakibatkan ego di dalam
commit to user
96
diri Sersan Ahmed merasa terdorong untuk mengatasi masalah ini. Sehingga ego di dalam diri Sersan Ahmed memutuskan untuk berteriak galak kepada para prajuritnya untuk mengurangi ketegangan. Superego yang ada di dalam diri Sersan Ahmed menganggap bahwa tindakannya itu sudah tepat. Sersan Ahmed mengalami kecemasan mental yang terjadi akibat rasa takut terhadap suara hati dalam menghadapi konflik batinnya. Jika Sersan Ahmed tidak segera mengatasi kecemasan yang dialaminya, maka ego di dalam dirinya tidak akan berhasil meenyelesaikan pertentangan baik di dalam dirinya maupun di luar dirinya. Untuk mengatasi konflik batinnya, akhirnya Sersan Ahmed berteriak tegas ke arah prajurit-prajuritnya. Karena hal ini dapat mengurangi tekanan yang ia rasakan.
11. Prajurit Smith mengalami tekanan dalam menghadapi tugasnya
Smith adalah anak buah dari Sersan Ahmed. Dia kehilangan istri dan anaknya dalam waktu yang hampir berdekatan. Anak semata wayangnya meninggal karena penyakit kanker. Sedangkan istrinya meninggal dua bulan setelah anaknya pergi. Smith lah yang berhasil menemukan Delisa. Walaupun Smith seorang prajurit yang tak gentar di medan perang. Tapi dia juga mengalami tekanan mental yang sama seperti Sersan Ahmed. Hal ini tampak pada pernyataan:
“Apa yang kau kunyah!” Sersan Ahmed bertanya tajam kepada Prajurit Smith yang duduk tegang di depannya.
“P-e-r-m-e-n k-a-r-e-t, Sir!” Prajurit Smith menjawab pendek. Menyeringai. Wajahnya terlihat berbeda sekali dengan temannya. Ia lebih tertekan dengan semua ini. Permen karet itu membantunya. Sersan Ahmed mendengus. Dia tahu apa yang dilakukan Prajurit Smith. Dia tahu persis semua kebiasaan anak buahnya. Pertanyaan tadi hanya untuk membuat Smith tetap fokus. Semua pemandangan ini pasti mengganggu Smith. (Tere Liye, 106).
Tekanan batin yang dialami Smith memaksa Smith untuk melakukan tindakan mengurangi ketegangan yang dialaminya. Id Smiith menyuruhnya untuk mengurangi ketegangan yang dialami dengan memakan permen karet. Id tersebut memang dapat menurunkan tegangan pada Smith. Id tersebut mendorong ego untuk melakukan suatu hal yang benar-benar nyata untuk menghilangkan
commit to user
97
ketegangan yang dialaminya sehingga tegangan itu benar-benar mereda. Dalam keadaan seperti ini, Smith mengalami tekanan batin sehingga id akan berusaha meredakan tegangan tersebut. Untuk meredakan tegangan yang dialami Smith karena tertekan dengan semua pemandangan yang ada di depannya. Ego pun bekerja untuk merealisasikan apa yang diinginkan oleh id. Ego yang berpegang pada prinsip realitas ini mencoba untuk mewujudkan dorongan id untuk memperoleh ketenangan, yaitu dengan mengunyah permen karet. Dalam keadaan seperti ini, apa yang dilakukan oleh Smith mampu meredakan tegangan dan pikiran-pikiran yang dia miliki terhadap pemandangan yang dia hadapi. Superego Smith berpikir bahwa menguyah permen karet adalah cara yang tepat.
12. Prajurit Smith terinspirasi oleh kehidupan Delisa Setelah Prajurit Smith menemukan Delisa. Dia masih bertanya-tanya tentang keajaiban yang telah terjadi. Delisa masih bertahan hidup setelah berhari- hari dia terkapar tak berdaya untuk bertahan hidup. Melihat Delisa, Smith seperti mendapatkan hidayah dalam hidup. Semua pengingkarannya, semua kebenciannya atas takdir hidup, semua kutukan atas musibah beruntun yang menimpa keluarganya, anak dan istrinya harus tewas dalam waktu yang hampir bersamaan, semua penolakannya selama ini luluh ketika melihat penderitaan Delisa. Delisa menderita lebih banyak daripada apa yang telah dialami Smith, tetapi Delisa ikhlas menerima semua musibah ini. Smith tersadar dari sikap penolakannya selama ini. Hal ini tampak pada pernyataan:
Lihatlah, gadis kecil ini menderita lebih banyak, tetapi wajahnya teramat teduh. Gadis kecil ini sungguh menderita lebih banyak dibandingkan dirinya, namun wajahnya bercahaya oleh penerimaan. Pengertian itu datang kepada Prajurit Smith. Pemahaman yang indah! Hidayah itu akhirnya datang padanya. Esok shubuh. Prajurit Smith akan mendatangi ruangan mushala yang terdapat di kapal induk itu. Patah-patah dibimbing Sersan Ahmed mengambil wudhu. Lantas bergetar menahan tangis mengucap syahadat. Esok pagi Prajurit Smith memutuskan untuk menjalani hidup baru. Bukan soal pilihan agamanya – karena itu datang memanggilnya begitu saja, tetapi lebih karena soal bagaimana ia menyikapi kehilangannya selama ini. Penerimaan yang tulus. (Tere Liye, 114)
commit to user
98
Id di dalam diri Prajurit Smith menganggap bahwa keresahan yang ada di dalam hati mengenai pengingkarannya selama ini, mengakibatkan ego di dalam diri Prajurit Smith merasa terdorong untuk meluruskan keresahan hatinya terhadap semua pengingkarannya selama ini. Sehingga Superego di dalam diri Prajurit Smith memutuskan untuk menjalani kehidupan yang baru. Superego yang ada di dalam diri Prajurit Smith menganggap bahwa tindakan untuk menjalani kehidupan yang baru itu sudah tepat dan bukan tanpa alasan tetapi berdasarkan alasan yang mendukung, yaitu harus menerima atas segala musibah kehilangan yang pernah ia alami. Melihat penderitaan Delisa, Smith tersadar dari sikap penolakannya selama ini, penolakan terhadap musibah-musibah yang telah menimpanya.
13. Jinny ingin segera berangkat ke Indonesia Jinny panik saat mengetahui berita bahwa telah terjadi tsunami di Aceh. Dia mengalami kebingungan dengan keadaan yang terjadi dengan suaminya. Kepanikan Jinny ditunjukkan saat ia bercerita kepada Professor Strout tentang keadaan suaminya, hal ini tampak dalam pernyataan:
“Kami harus berangkat ke Indonesia, Profesor Strout!” (Tere Liye, 78). “Bagaimana aku bisa bersabar profesor! Menurut CNN korban sudah mencapai 15.000, bahkan diperkirakan lebih! Kita tidak tahu apa yang terjadi dengan suamiku! Telepon satelitnya tidak pernah diangkat! Kenapa dia tidak mengangkatnya? Kenapa? Pasti telah terjadi sesuatu! Itu jauh lebih mengganggu dibandingkan tidak ada nada panggil sama sekali!” Istri Michael mulai tidak terkendali. (Tere Liye, 79).
Id yang terjadi di dalam diri Jinny berusaha untuk mengurai ketegangan
dengan cara menahan semua anggapan bahwa suaminya telah tewas dan menahan keinginan Jinny untuk berangkat ke Indonesia. Ego di dalam diri Jinny selalu berusaha untuk mengontrol agar tidak lepas kendali, tetapi ego di dalam diri Jinny semakin tidak terkendali karena ada dorongan-dorongan dari dalam dirinya yang mengakibatkan Jinny tidak bisa menahan keinginannya untuk berangkat ke Indonesia. Supergo menganggap bahwa tindakan yang dilakukan ini kurang baik karena terpengaruh oleh rasa kebingungan yang sudah tidak bisa dikendalikan untuk tidak merealisasikan keinginannya untuk pergi ke Indonesia. Akhirnya untuk mengatasi masalah ini, superego memilih jalan untuk mereduksi
commit to user
99
ketegangan dengan cara mencurahkan semua perasaan konflik batinnya kepada Profesor Strout. Superego menganggap ini adalah keputusan yang benar, Id berusaha untuk meredakan ketegangan yang terjadi dalam diri manusia, dan ego berusaha untuk mengontrol dan merealisasikan keinginan id, karena dengan mencurahkan semua perasaannya kepada orang lain dapat membuat tokoh merasa sedikit lega dan mengurangi tekanan batin yang ia rasakan.
14. Delisa kecewa terhadap Teuku Dien Konflik batin antara Delisa dan Teuku Dien terjadi di saat Teuku Dien memberitahukan kepada Umam bahwa Ummi mereka sudah ketemu. Teuku Dien secara spontan memeluk Umam dan juga Delisa saat memberitahukan kabar bahwa Ummi sudah ditemukan. Delisa ikut gembira karena ia mengira bahwa Ummi Delisa juga ditemukan. Teuku Dien tidak sadar bahwa berita yang ia bawa itu memberikan konflik batin di dalam diri Delisa dan juga dirinya. Delisa yang awalnya mengira dan sangat berharap Ummi Delisa juga ketemu. Tetapi akhirnya yang ditemukan hanya Ummi Umam. Mendadak kecewa dan marah. Teuku Dien merasa bersalah karena telah memberitahukan berita ini. Dia tidak memikirkan posisi Delisa yang juga kehilangan Umminya dan juga berharap Umminya ditemukan. Hal ini dapat dilihat dalam pernyataan berikut:
“Umam, Um-mi sudah ketemu….” Terbata Teuku Dien berkata. Matanya basah lagi. Teuku Dien melihat Delisa. Saking harunya dia juga memeluk Delisa.
“Delisa, Um-mi sudah ketemu…” Teuku Dien berbisik lemah. Lemah tapi amat bertenaga. Suara yang bahagia. “Um-mi.. Ummi s-i-a-p-a?” Delisa keburu memotong sebelum Teuku Dien dan Umam berbicara. Ikut menggeliat dalam pelukan Teuku Dien. Tiba- tiba jantung Delisa berdetak lebih kencang. Ummi?
“Ummi…. Ummi…. Sudah …. Ketemu, Delisa!” Teuku Dien hanya bisa menyebutkan kalimat patah-patah itu. Hatinya masih buncah oleh perasaan senang. Berusaha mengendalikan nafasnya.
Hati Delisa juga buncah oleh perasaan. Nafasnya memburu kencang. Mata hijaunya membulat. Muka menggemaskan itu berbinar-binar. “Ummi? U-m-m-i D-e-l-i-s-a? Sudah ketemu?” Delisa bertanya serak. Akhirnya ia berhasil melepaskan pelukan Teuku Dien. Teuku Dien tiba-tiba terdiam. Gagu oleh kesadaran yang datang tiba-tiba. Bukankah semua ini terasa kontras sekali? Ya Allah, Teuku Dien terpana menatap mata hijau Delisa yang memandangnya sejuta harapan. Seolah-olah
commit to user
100
kegembiraan yang baru saja dibawanya itu juga membawa kegembiraan lainnya. Seolah-olah kegembiraannya tadi menjanjikan kegembiraan pula buat Delisa.
“Ummi Delisa juga ketemu, kan?” Delisa bertanya sekali lagi. Suaranya mendadak mencicit setelah melihat Teuku Dien hanya terdiam. Diamnya Teuku Dien jelas-jelas bukan pertanda baik. Jantung Delisa berdetak lebih kencang. Sinar mata itu bersiap meredup. Paras muka itu bersiap menegang.
Teuku Dien menggeleng lemah. “H-a-n-y-a…. Hanya Um-mi Umam yang ketemu, Sayang!”
Dan Delisa kaku seketika. Serunai kesedihan mulai terdengar. Denting kebencian mulai dipukul. Dupa pembangkangan mulai menyala. (Tere Liye, 220 221).
Id di dalam diri Teuku Dien ingin memberikan kabar kepada Umam
bahwa Umminya Umam sudah ditemukan. Ego di dalam diri Teuku Dien berusaha untuk merealisasikan id melalui tindakan Teuku Dien yang memberitahu Umam bahwa Umminya sudah ditemukan. Teuku Dien tidak sadar bahwa ego yang dilakukannya itu secara tidak langsung memengaruhi batin Delisa. Delisa juga menaruh harapan bahwa Umminya juga ditemukan. Tetapi pada kenyataannya hanya Umminya Umam yang ditemukan. Delisa merasa kecewa dan marah dengan kenyataan ini. Id di dalam diri Delisa berharap bahwa Ummi Delisa juga ditemukan. Ego di dalam diri Delisa berusaha merealisasikan id yaitu dengan cara bertanya penuh harapan kepada Teuku Dien. Namun, pada kenyataannya hanya Ummi Umam yang ditemukan. Ego yang sudah terlanjur dilakukan oleh Teuku Dien sudah terlambat untuk diperbaiki. Superego di dalam diri Teuku Dien menganggap bahwa tindakan dan keputusan yang dilakukan oleh Teuku Dien itu salah, karena Teuku Dien memberikan berita yang membuat Delisa merasa kecewa. Superego Teuku Dien telah memutuskan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Teuku Dien salah.
Konflik-konflik yang dialami para tokoh kebanyakan konflik internal. Para tokoh mengalami konflik batin karena terjadi perubahan di dalam hidup mereka. Delisa mengalami konflik batin karena dia kehilangan orang-orang yang disayanginya serta ia mengalami kesulitan untuk menghafalkan kembali bacaan shalatnya yang telah ia hafalkan. Setelah tsunami terjadi Ummi, kakak-kakak Delisa serta orang-orang yang dekat dengan Delisa pergi meninggalkan Delisa.
commit to user
101
Delisa pernah bermimpi bertemu dengan Ummi, kakak-kakak Delisa, Ibu Guru Nur dan temannya yang telah meninggal, dan Delisa ingin ikut dengan mereka. Tetapi belum saatnya bagi Delisa untuk ikut dengan mereka. Karena Delisa harus menyelesaikan dahulu hafalan shalatnya. Tetapi setelah tsunami terjadi Delisa mengalami kesulitan untuk menghafalkan kembali bacaan shalat itu. Seolah-olah bacaan itu tidak ingin untuk dihafalkan Delisa.
Abi Usman mengalami konflik batin karena setelah tsunami melanda ia harus berperan ganda menjadi sosok Ayah sekaligus Ummi, kakak dan sahabat Delisa serta mengurusi semua kebutuhan hidupnya dan Delisa. Perubahan yang secara mendadak ini membuat Abi Usman mengalami tekanan batin. Karena ia harus berjuang mengurusi semua urusan rumah tangga yang seharusnya dikerjakan oleh Ummi Delisa. Menjadi kakak-kakak serta teman bagi Delisa. Hal yang menyulitkan bagi Abi Usman.
Konflik batin yang dialami Ibu Guru Nur terjadi ketika apakah dia harus menyelamatkan nyawanya sendiri atau Delisa. Jika mereka berdua tetap bertahan dalam satu papan yang sama, maka mereka akan meninggal. Tetapi Ibu Guru Nur dengan cepat mengambil keputusan untuk menyelamatkan Delisa. Ibu Guru Nur mengikatkan Delisa di papan itu dengan menggunakan kerudungnya dan melepaskan papan agar tidak terbebani berat Ibu Guru Nur. Keputusan yang diambil Ibu Guru Nur ini membuat dia meninggal dunia.
Ustadz Rahman mengalami konflik batin antara ia harus tinggal di Lhok Nga atau apakah harus kembali ke Banda Aceh. Tetapi karena kenangan yang tersisa terlalu pahit, ia memutuskan untuk meninggalkan Lhok Nga dan kembali ke Banda Aceh.
Konflik batin yang dialami Sersan Ahmed dan Prajurit Smith terjadi ketika mereka harus mengahadapi keadaan yang sangat berbeda dengan kegiatan melawan musuh-musuh yang biasa mereka lakukan. Musuh mereka kini adalah mayat-mayat yang bergelimpangan, tanpa lengan, tanpa tangan, dan lain sebagainya seratus kali lebih menakutkan dibandingkan mayat-mayat korban muntahan peluru senjata mereka selama ini.
commit to user
102
Konflik batin yang dialami Jinny-istri J Fox adalah ketika ia menginginkan untuk segera berangkat ke Indonesia untuk mengetahui keadaan suaminya. Tetapi saat itu dia tidak bisa berbuat apa-apa selain panik dan menangis. Dia hanya bisa mengurangi tekanan yang ia alami dengan bercerita kepada Professor Strout.
Konflik batin yang terjadi antara Delisa dan Teuku Dien terjadi karena Teuku Dien dengan semangat dan senang memberitahukan kepada Umam anaknya bahwa Ummi Umam masih hidup. Pada saat itu Umam sedang bersama dengan Delisa di kuburan massal. Mendengar berita dari Teuku Dien, Delisa mengira bahwa Ummi Delisa juga masih hidup. Delisa sangat berharap bahwa Ummi Delisa juga ditemukan. Namun berita dari Teuku Dien itu hanya melukai hati Delisa. Karena yang ditemukan hanyalah Umminya Umam. Seketika itu Delisa berubah menjadi kecewa dan benci karena berita yang dibawa oleh Teuku Dien tidak seperti yang Delisa harapkan. Mengapa hanya Umminya Umam yang ditemukan. Sedangkan Umminya Delisa tidak.
commit to user
103