Teori Parry - Lord: Penciptaan Sastra Lisan

3.3.2 Tema-tema atau Kelompok Gagasan

Tema-tema atau kelompok-kelompok gagasan di dalam cerita Wato Wele-Lia Nurat, khususnya dalam versi X (teks A, B, dan H), terdiri dari delapan kelompok tema sebagai berikut.

(1) Cerita tentang sebuah lokasi yang sangat jauh, yang dinamakan Sina Jawa, yang merupakan asal-usul tokoh Wato Wele dan Lia Nurat. (2) Deskripsi tentang burung garuda, telur burung garuda, dan kelahiran manusia dari telur burung garuda itu. (3) Cerita tentang perjalanan mencari tempat untuk menetap dan identifikasi lokasi, kebun, nuba nara, dan kampung yang dibangun.

(4) Adegan Lia Nurat menyalakan api di puncak gunung Ile Mandiri merupakan sebuah adegan siap pakai. Dalam adegan ini, selalu dilukiskan bahwa nyala api itu (4) Adegan Lia Nurat menyalakan api di puncak gunung Ile Mandiri merupakan sebuah adegan siap pakai. Dalam adegan ini, selalu dilukiskan bahwa nyala api itu

(6) Adegan pertengkaran kedua istri Lia Nurat, Hadung Boleng Teniban Duli dan Uto Watak Teluma Burak, yang berakhir dengan kematian Lia Nurat sebagai akibat pembalasan dendam dari keluarga Uto Watak Teluma Burak. (7) Adegan peperangan di Adonara antara putra-putra Lia Nurat melawan suku Paji, yang berakhir dengan kematian putra sulung Lia Nurat bernama Blawa Burak Sina Puri. (8) Adegan penutup cerita berupa pembagian tanah antara anak-anak laki-laki Lia Nurat, yang sampai sekarang ditempati oleh keturunannya masing-masing di wilayah Baipito. Kedelapan tema tersebut merupakan adegan-adegan siap pakai yang telah

disiapkan oleh konvensi, yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai tukang cerita setiap kali mereka ingin menuturkan kisah Wato Wele-Lia Nurat.

3.3.3 Prosedur Pewarisan

Di daerah-daerah lain, mungkin saja penuturan sastra lisan tidak dilakukan sebagai sebuah kegiatan profesi, dalam arti si penutur sastra lisan mengikuti proses pendidikan tertentu. Masyarakat Flores Timur, misalnya, mengenal tradisi puisi lisan (yang disebut koda knalan atau koda klaken ) dengan sistem dan kaidah-kaidah poetika yang diikuti secara ketat dan teratur, akan tetapi proses menjadi seorang pembawa puisi lisan yang mahir tidak melalui pola yang demikian (Taum, 1995: 46-51). Kemampuan dan kemahiran menggunakan bahasa sastra 'koda knalan' umumnya dipercaya sebagai suatu rahmat atau karunia ( 'kurnia' ) Tuhan. Dalam istilah mereka, kemampuan itu diakibatkan "mnuno buno" ( mnuno = bintang; buno = jatuh, menukik), yaitu orang- orang tertentu yang 'kejatuhan bintang'. Ada keyakinan bahwa selalu ada salah seorang anak dari keluarga tua adat yang muncul dengan kemampuan bersastra. Di wilayah Tanjung Bunga di Kabupaten Flores Timur, NTT, ada kepercayaan bahwa pada waktu Di daerah-daerah lain, mungkin saja penuturan sastra lisan tidak dilakukan sebagai sebuah kegiatan profesi, dalam arti si penutur sastra lisan mengikuti proses pendidikan tertentu. Masyarakat Flores Timur, misalnya, mengenal tradisi puisi lisan (yang disebut koda knalan atau koda klaken ) dengan sistem dan kaidah-kaidah poetika yang diikuti secara ketat dan teratur, akan tetapi proses menjadi seorang pembawa puisi lisan yang mahir tidak melalui pola yang demikian (Taum, 1995: 46-51). Kemampuan dan kemahiran menggunakan bahasa sastra 'koda knalan' umumnya dipercaya sebagai suatu rahmat atau karunia ( 'kurnia' ) Tuhan. Dalam istilah mereka, kemampuan itu diakibatkan "mnuno buno" ( mnuno = bintang; buno = jatuh, menukik), yaitu orang- orang tertentu yang 'kejatuhan bintang'. Ada keyakinan bahwa selalu ada salah seorang anak dari keluarga tua adat yang muncul dengan kemampuan bersastra. Di wilayah Tanjung Bunga di Kabupaten Flores Timur, NTT, ada kepercayaan bahwa pada waktu

Berbagai gaya retorika dalam komposisi sastra lisan menunjukkan ciri-ciri formulaik, baik dalam tataran struktur formalnya maupun dalam tataran semantisnya. Ciri-ciri formulaik itu dapat dipahami dalam konteks fungsi sastra lisan sebagai sarana bagi penyimpanan, penyampaian dan pewarisan berbagai norma, konvensi, dan sistem nilai dalam lingkup suatu kebudayaan tertentu. Variasi-variasi teks dapat dikaji dalam hubungannya dengan aspek tanggapan (resepsi) penutur cerita terhadap norma-norma konvensional tersebut, entah norma-norma kesusastraan maupun norma-norma sosial kemasyarakatan. Menurut paham resepsi sastra, pergeseran unsur-unsur teks berkaitan erat dengan horison harapan penutur terhadap sistem konvensi tersebut. Perlu dipahami bahwa perubahan-perubahan kemasyarakatan mengakibatkan munculnya variasi-variasi suatu teks tertentu.

Penciptaan sastra lisan pada umumnya dipermudah berkat adanya formula, ungkapan-ungkapan formulaik, dan tema-tema siap pakai. Pencipta sastra lisan bertugas merakit formula-formula tersebut ke dalam sebuah cerita yang utuh. Dengan demikian, sastra lisan tampak sebagai akumulasi formula-formula. Meskipun demikian, struktur sastra lisan sesungguhnya tidak beku karena setiap kali diceritakan, teks itu diciptakan secara baru dan spontan sesuai dengan situasi pendengar, waktu yang tersedia, maupun keadaan si penggubah sendiri.

Dalam kebudayaan-kebudayaan tertentu, seorang sastrawan (penyair lisan atau tukang cerita) adalah seorang profesional yang mencapai status tersebut melalui sistem pendidikan tertentu yang diikuti dengan teratur. Dalam kebudayaan yang lain, seorang sastrawan lisan tidak mengikuti sistem pendidikan tertentu. Jika dilacak lebih jauh mengenai sumber-sumber cerita, dapat dijumpai berbagai aspek intertekstualitas dalam sebuah teks. Kajian terhadap hal ini dapat menjelaskan migrasi dan difusi sebuah bentuk kebudayaan.

Jika dipandang bahwa dalam sastra lisan terdapat kesatuan formal dan semantik, maka kaidah-kaidah formal yang diuraian di atas dapat menjadi salah satu petunjuk untuk menemukan arti dan makna teksnya. Lord (1981: 68) mengungkapkan bahwa formula dan ungkapan-ungkapan formulaik hanya menjadi sarana penyampaian cerita. Dalam Jika dipandang bahwa dalam sastra lisan terdapat kesatuan formal dan semantik, maka kaidah-kaidah formal yang diuraian di atas dapat menjadi salah satu petunjuk untuk menemukan arti dan makna teksnya. Lord (1981: 68) mengungkapkan bahwa formula dan ungkapan-ungkapan formulaik hanya menjadi sarana penyampaian cerita. Dalam

3.4 Kekuatan dan Kelemahan

Studi Parry dan Lord menjawab misteri penciptaan Homerus yang buta huruf dapat menciptakan puisi Odysee dan Ilias yang sangat terkenal itu. Parry adalah orang pertama yang membuktikan bahwa karya Homerus merupakan karya utuh dan sempurna. Bahwa Homerus memang memanfaatkan dan menggali kekayaan tradisi lisan pada zamannya, tetapi berdasarkan konvensi tradisi lisan itu dia menciptakan karya sastranya sebagai suatu keseluruhan. Pandangan ini memberikan wawasan baru dalam teori ekspresivisme, khususnya menyangkut proses penciptaan, pewarisan, dan pembentukan atau komposisi sebuah cerita. Pada tataran sintaksis terdapat formula dan ungkapan formulaik yang sudah disediakan oleh tradisi bahasa dan yang siap digunakan oleh tukang cerita dalam merangkaikan kalimat di dalam penceritaan. Pada tataran wacana, tradisi juga sudah menyiapkan tema atau kelompok gagasan yang merupakan adegan- adegan siap pakai yang merupakan kekayaan tradisi lisan setempat, yang siap dimanfaatkan oleh tukang cerita. Teori penciptaan Lord ini kiranya berlaku pula pada penceritaan kisah-kisah yang panjang seperti dalam cerita wayang ataupun kisah-kisah perjalanan Panji. Seorang tukang cerita (dalang) tentu memiliki formula dan ungkapan- ungkapan formulaik serta adegan-adegan siap pakai yang dapat dimanfaatkannya setiap kali melakukan pementasan. Kepandaian seorang tukang cerita dapat dipandang sebagai sebuah ketrampilan yang dapat dipelajari siapapun yang berminat menjadi tukangcerita.

Teori penciptaan Parry dan Lord kiranya tidak dapat begitu saja diterapkan dalam proses penciptaan prosa maupun puisi-puisi lisan yang relatif pendek. Dalam berbagai kebudayaan tradisional di Indonesia, kadang-kadang muncul fenomena bahwa proses pewarisan kemampuan bercerita dari seorang tukang cerita ke tukang cerita lainnya melibatkan hal-hal yang bersifat magis, seperti bertapa, pemberian kembang dan mahar tertentu, upacara ritual, doa dan slametan. Hal ini tidak disinggung sama sekali dalam

teori Milman-Parry. 12

12 Dalam pengamatan saya, belum pernah ada peneliti yang secara khusus menganalisis proses pewarisan yang bersifat ‘magis-ritual’ dari keahlian bertutur ini dalam konteks budaya Nusantara. Padahal fenomena ini dikenal luas dalam berbagai komunitas etnis masyarakat Nusantara.

Sekalipun demikian, pernyataan Parry dan Lord bahwa keahlian seorang tukang cerita selalu tidak terlepas dari ketrampilannya merangkai kalimat dan adegan-adegan siap pakai merupakan sebuah kenyataan artistik yang sulit dibantahkan. Tanpa kemampuan tersebut, sukar diharapkan adanya tukang cerita yang mampu membawakan berbagai cerita rakyat yang sudah dikenal masyarakat secara memuaskan.