TEORI TEORI ANALISIS SASTRA LISAN MADZAB

TEORI-TEORI ANALISIS SASTRA LISAN: MADZAB FINLANDIA DAN TEORI PARRY-LORD 1

Oleh Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum Fakultas Sastra – Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

1. Pengantar

Minat dan perhatian berbagai kalangan dalam berbagai disiplin ilmu untuk meneliti sastra rakyat berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu-ilmu humaniora seperti ilmu sejarah dan ilmu sastra. Seperti dikatakan Teeuw, sebuah teks merupakan mozaik kutipan-kutipan dari pusat kebudayaan. Hanya pembaca yang dapat menciptakan mozaik atau jalinan teks tersebut. Dari luas bacaannya, dia menciptakan keseluruhan makna yang tentu saja hanya berlaku baginya; karena setiap pembaca memiliki medan

bacanya sendiri, dan medan ini tidak ada batasnya (Teeuw, 1990: 220). 2 Pada awal perkembangannya, studi sastra lisan sangat berorientasi historis-

komparatif, yang terutama tampak dalam kajian Madzab Finlandia. Studi sastra lisan kemudian bergeser dari orientasi historis-komparatif ke orientasi strukturalis (Vladimir Propp) dan orientasi puitika (Parry dan Lord). Oleh karena kajian-kajian tersebut memiliki sifat dan ciri kesastraan, dalam bab ini akan diulas pendekatan-pendekatan tersebut, disertai dengan tinjauan mengenai kekuatan dan kelemahan serta kemungkinan penerapannya dalam kajian sastra lisan di Indonesia. Pendekatan-pendekatan ini tentu saja dapat dimanfaatkan oleh berbagai disiplin ilmu, termasuk kajian ilmu sastra, untuk kepentingan kajiannya.

1 Tulisan ini merupakan Bab Iv dalam buku Studi Sastra Lisan: Sejarah, Teori, Metode dan Pendekatan, Disertai dengan Contoh Penerapannya. (Penerbit Lamalera: Yogyakarta, 2011: 55-86).

2 Kutipan selengkapnya, ‘A text is a tissue of quotations drawn from innumerable centres of culture’ (Rolland Barthes). Only the reader can create that tissue or texture of the text. From his own wide reading he creates a

2. Madzab Finlandia: Historis Komparatif

2.1 Latar Belakang

Madzab Finlandia adalah sebuah aliran kajian sastra lisan yang berkembang di Finlandia dan berpusat di ibu kota negaranya, Helsinki. Aliran ini mengembangkan metode dan teori historis-komparatif yang bersifat sistematik. Perlu diketahui bahwa pada awal abad ke-19, minat utama ilmu pengetahuan lebih terarah pada penciptaan, asal-usul cerita rakyat, sesuai dengan pendekatan sejarah yang umum berlaku dalam ilmu sastra. Sastra rakyat di Eropa Barat dibandingkan dengan sastra rakyat di bagian dunia lain seperti Eropa Selatan dan Eropa Timur. Studi bandingan mereka bertujuan untuk a) memperlihatkan hubungan antara berbagai sampel sastra rakyat; b) mengungkapkan pola penyebaran atau migrasi sastra rakyat itu; c) melacak dan menjelaskan tempat asal sebuah cerita rakyat; dan d) sedapat mungkin mengetahui bentuk asli sebuah cerita rakyat yang telah mengalami berbagai transformasi.

Krohn dan Aarne adalah pelopor studi historis-komparatif itu. Mereka memulai kajiannya dengan melakukan studi terhadap epos nasional Finlandia yang berjudul Kalevala , yang sesungguhnya merupakan ciptaan abad ke-19 berdasarkan berbagai macam cerita epos rakyat klasik. Mereka mengupayakan dilakukannya sebuah usaha raksasa untuk mengumpulkan, mengklasifikasikan, dan membandingkan cerita rakyat selengkap mungkin dan seluas mungkin, bahkan mereka memiliki cita-cita untuk menjangkau cerita rakyat di seluruh dunia (Teeuw, 1984: 288-229).

2.2 Cara Kerja Penelitian

Bagaimana cara kerja Madzab Finlandia ini? Puluhan ribu cerita rakyat dari seluruh dunia dikumpulkan, diklasifikasikan dan disusun sedemikian rupa sehingga perbandingan dan penelusuran sejarah setiap cerita rakyat dimungkinkan. Untuk penggolongan cerita rakyat, madzab ini menggunakan dua kriteria dasar yaitu type dan motif . Type berarti cerita tersebut digolongkan berdasarkan tipe atau jenisnya. Berdasarkan tipe-tipenya, Aarne-Thompson membuat sistem klasifikasi dongeng yang menggolongkannya ke dalam tujuh jenis sebagai berikut.

meaningful whole which in this form only exists for him; for every reader has his own field of reading, and there is no end to the weaving by readers (Teeuw, 1990: 220).

1) Animal Tales (dongeng binatang), meliputi: binatang buas (serigala yang pintar dan binatang buas lainnya), binatang buas dan binatang peliharaan, binatang buas dan manusia, binatang peliharaan, dan bintang dan objek-objek lainnya. Legenda terjadinya Gunung Kelud di Kediri termasuk animal tales karena melibatkan sosok manusia berkepala kerbau bernama Lembu Sura.

2) Tales of Magic (dongeng tentang hal-hal magis), meliputi: tantangan supranatural, istri atau suami atau kerabat supranatural, tugas-tugas supranatural, penolong supranatural, barang-barang magis, kekuatan atau pengetahuan supranatural, dan dongeng-dongeng lainnya tentang supranatural. Legenda terjadinya Gunung Kelud di Kediri dan Legenda Candi Loro Jongrang di Yogyakarta termasuk pula jenis tales of magic karena berkaitan dengan kekuatan-kekuatan supra natural yang dimiliki tokoh Lembu Sura (Gunung Kelud) dan Bandung Bondowoso (Candi Loro Jongrang).

3) Religious Tales (dongeng keagamaan), meliputi: imbalan hadiah atau hukuman dewa, kebenaran yang terwujud, surge, hantu, dan dongeng-dongeng keagamaan lainnya.

4) Realistic Tales atau Novelle (dongeng realistik), meliputi: seorang pemuda biasa menikahi putri raja, seorang wanita biasa menikah dengan sang pangeran, bukti kesetiaan dan kemurnian, istri yang keras kepala belajar menjadi setia, prinsip-prinsip hidup yang baik, tindakan dan kata-kata yang cerdas, dongeng tentang nasib, perampok dan pembunuh, dan dongeng-dongeng realistic lainnya.

5) Tales of the Stupid Orgre/Giant/Devil (dongeng tentang raksasa atau hantu yang Bodoh), meliputi: kontrak kerja, hubungan antara manusia dan raksasa, persaingan antara manusia dan raksasa, manusia membunuh atau melukai raksasa, raksasa ditakut-takuti oleh manuasia, manusia menaklukkan raksasa, jiwa diselamatkan dari gangguan setan.

6) Anecdotes and Jokes

(anekdot dan lelucon) 3 meliputi: cerita-cerita tentang si pandir, cerita tentang pasangan yang sudah menikah (istri yang bodoh dan suaminya, suami

yang bodoh dan istrinya, dan pasangan yang bodoh), cerita tentang seorang wanita

3 Istilah anekdot dan joke kadang-kadang disamakan begitu saja. Anekdot adalah kisah fiktif lucu mengenai pribadi seorang/beberapa orang tokoh. Tokoh tersebut sering diambil dari tokoh terkenal yang

benar-benar ada. Joke/lelucon adalah kisah fiktif mengenai anggota suatu kolektif seperti suku bangsa, golongan, ras. Berdasarkan sasrannya, lelucon dapat dibedakan lagi: lelucon dan humor. Sasaran lelucon adalah orang lain/kolektif lain sehingga pembawa lelucon sering dimusuhi. Sasaran humor adalah diri sendiri, bersifat menghibur dan sering mendapat simpati.

(mencari istri, lelucon tentang seorang nyonya tua), cerita tentang seorang laki-laki (pria yang cerdas, keberuntungan, lelaki bodoh), lelucon tentang tokoh-tokoh agama (tokoh agama ditipu, tokoh agama dan perihal seks), lelucon tentang kelompok masyarakat lain.

7) Formula Tales

(dongeng yang memiliki formula), 4 meliputi: dongeng-dongeng kumulatif (yang didasarkan pada jumlah, objek, binatang, atau nama; yang selalu

dikaitkan dengan kematian; makan, atau kejadian-kejadian lainnya), dongeng tentang jebakan, dan dongeng-dongeng formula lainnya.

Motif didefinisikan sebagai anasir terkecil dalam sebuah cerita yang mempunyai daya tahan dalam tradisi. Berdasarkan kriteria tersebut, mereka menyusun index atau katalogus tipe-tipe dan motif-motif yang dapat diterapkan secara universal pada cerita- cerita rakyat. Secara lebih lengkap, yang dimaksudkan dengan “motif” adalah unsur- unsur suatu cerita (narra tives elements) . Motif teks suatu cerita rakyat adalah unsur dari cerita tersebut yang menonjol dan tidak biasa sifatnya (Danandjaja, 1984: 53).

Ada berbagai motif yang dapat ditemukan dalam berbagai cerita rakyat. Beberapa motif yang biasa dijumpai dalam cerita-cerita rakyat adalah sebagai berikut.

1) Motif berupa benda, misalnya: tongkat wasiat, sapu ajaib, lampu ajaib, bunga mawar, tanah liat, benda-benda angkasa. Cerita asal-usul manusia, misalnya, terdapat berbagai motif. Ada yang mengatakan manusia dibuat dari tanah liat, manusia berasal dari telur burung garuda, manusia berasal dari sejenis pohon tertentu, dll. Hal ini akan berkaitan dengan keyakinan religious ataupun fauna dan flora totem.

2) Motif berupa hewan yang luar biasa, misalnya kuda yang bisa terbang, buaya siluman, singa berkepala manusia, raksasa, hewan yang bisa berbicara, burung phoenix , ular naga, ayam jantan. Dalam dongeng Ande Ande Lumut, dikisahkan tentang seekor kepiting raksasa bernama Yuyu Kangkang dan seekor burung bangau raksasa yang bisa berbicara.

3) Motif yang berupa suatu konsep, misalnya larangan atau tabu. Misalnya konsep yang menjelaskan mengapa wanita hamil tak boleh makan pisang kembar. Mengapa setelah sunat tradisional (sifon) seorang lelaki harus melalui hubungan seks. Mengapa

4 Yang dimaksud dengan dongeng-dongeng formula adalah dongeng yang terikat pada rumusan tertentu, seperti jumlah, nama, binatang, dll yang disiapkan oleh tradisi.

wong sukerto atau orang yang dianggap sial harus di ruwat atau harus menjalankan ritual. Mengapa seorang anak gadis tidak boleh makan di ambang pintu. Mengapa perlu dilakukan ritual bersih desa. Mengapa pohon-pohon tertentu di hutan tidak boleh ditebang atau diambil kayunya. Mengapa perlu dilakukan ritual sedekah laut oleh masyarakat nelayan. Motif yang berupa konsep-konsep larangan ataupun anjuran seperti ini banyak dijumpai dalam cerita-cerita rakyat di Indonesia. Motif tentang larangan menghina ibu kandung, misalnya, dapat dijumpai dalam Legenda Malin

Kundang (Minangkabau) dan Legenda Batu Menangis (Kalimantan Barat). Jika dikaji secara lebih mendalam, akan dijumpai berbagai kearifan lokal kelompok- kelompok etnis melalui motif ini. Misalnya mengapa manusia perlu menjaga kelestarian hutan, flora dan fauna, mengapa manusia perlu hidup dalam keseimbangan kosmos.

4) Motif berupa suatu perbuatan (ujian ketangkasan, minum alkohol, bertemu di gunung, turun dari gunung, menyamar sebagai fakir miskin, menghambakan diri, melakukan tindakan laku tapa, moksa , melewati alam gaib, bertarung dengan raksasa, dll).

Dalam dongeng Ande Ande Lumut 5 dari Kediri, Jawa Timur, misalnya, terdapat motif perbuatan ini, yakni menyamar (Pangeran Asmara Bangun menyamar sebagai Ande Ande Lumut dan Dewi Sekar Taji sebagai Kleting Kuning), menghambakan diri (Dewi Sekar Taji menjadi pembantu Nyai Intan). Dongeng Jaka Budug dan Putri Kemuning dari daerah Ngawi, Jawa Timur, bermotifkan sayembara uji ketangkasan mendapatkan daun sirna ganda. Jaka Budug (budug artinya kudis) berhasil mendapatkan daun sirna ganda setelah membunuh ular naga yang menjaga daun tersebut. Jaka Budug pun menikah dengan putri raja Prabu Aryo Seto bernama Putri Kemuning.

5) Motif tentang penipuan terhadap suatu tokoh (raksasa, hewan). Di Indonesia banyak dijumpai motif hewan-hewan yang luar biasa, seperti cerita tentang kancil, raksasa

5 Dongeng Ande Ande Lumut termasuk salah satu jenis cerita Panji. Cerita Panji adalah cerita kepahlawanan dan cinta yang berpusat pada tokoh dua orang tokoh utamanya, yaitu Raden Inu Kertapati

(atau Panji Asmara Bangun) dan Dewi Sekartaji (atau Galuh Candra Kirana). Cerita ini mempunyai banyak versi, dan telah menyebar di beberapa tempat di Nusantara (Jawa, Bali, Kalimantan) dan juga di negara- negara lain di Asia Tenggara (Malaysia, Thailand, Kamboja, Myanmar, Filipina). Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Cerita_Panji" (atau Panji Asmara Bangun) dan Dewi Sekartaji (atau Galuh Candra Kirana). Cerita ini mempunyai banyak versi, dan telah menyebar di beberapa tempat di Nusantara (Jawa, Bali, Kalimantan) dan juga di negara- negara lain di Asia Tenggara (Malaysia, Thailand, Kamboja, Myanmar, Filipina). Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Cerita_Panji"

6) Motif yang menggambarkan tipe orang tertentu, misalnya yang sangat pandai seperti Abu Nawas, tokoh yang selalu seperti si Pandir, dan si Kabayan, tokoh yang sangat bijaksana, tokoh pemberani, tokoh pelaut ulung.

Dalam kajian Madzab Finlandia, jika ditemukan dua motif yang sama pada dua kelompok etnis yang berbeda, maka mereka mengajukan dua pandangan teoretis yang berbeda.

1) Teori Monogenesis, yakni: teori yang mengatakan bahwa motif tertentu pasti berasal dari satu daerah. Baru kemudian terjadi proses penyebaran atau difusi (diffusion). Penganut dan pelopor teori ini antara lain: Jacob dan Wilhelm Grimmm, teori mitologi matahari Max Muller, dan teori Indianist Theodore Benfey.

2) Teori Poligenesis, yakni: teori yang berpandangan bahwa motif-motif tersebut merupakan penemuan-penemuan tersendiri yang tidak ada kaitannya (independent invention) atau sejajar (parallel invention) . Penganut teori ini antara lain ‘teori survival’ dari anggota English Antropologist, antropolog Ingris yang mendasarkan teorinya pada teori evolusi kebudayaan (berdasarkan pandangan Charles Darwin). Menurut mereka, kebudayaan, seperti halnya tanaman dan hewan, berkembang menurut tingkatan-tingkatan, yakni dari tingkat rendah (primitif, savage) sampai ke tingkat tinggi ( modern , canggih). Bandingkan pula teori poligenesis ini dengan pandangan Carl Gustav Jung tentang arketipe.

Dengan metode perbandingan yang cukup sulit dan memakan waktu yang lama, Stith Thompson (1885-1976) 6 berhasil menyusun sebuah buku yang memuat berbagai motif dan index cerita-cerita rakyat di seluruh dunia dalam sebuah buku berjudul Motif- Index of Folk Literature: A Classification of Narrative Elements in Folktales, Ballads, Myths, Fables, Mediaeval Romances, Exampla, Fabliaux, Jest-Books, and Local Legends (1966) yang terdiri dari enam jilid. Dalam buku itu dapat diketahui apakah cerita rakyat yang kita pelajari itu unik atau hanya merupakan salah satu versi atau varian dari cerita rakyat yang ada di dunia. Buku itu memuat katalogus tipe-tipe dan motif-motif yang dapat diterapkan secara universal pada cerita rakyat. Berdasarkan penggolongan ini sejarah hidup (life history) sebuah cerita rakyat kemudian ditelusuri oleh peneliti dengan membandingkan sebanyak mungkin varian-varian cerita yang tipe dan motifnya sama.

Mazhab Finlandia yang berpusat di Helsinki ini kemudian dikenal sebagai pusat organisasi peneliti dari seluruh dunia yang disebut Historico-Geographico School. Prinsip pendekatan dan hasilnya yang terpenting dituangkan dalam buku Thompson (1977) berjudul The Folktale .

2.3 Analisis Historis-Komparatif Kisah Wato Wele

– Lia Nurat 7

Berikut ini dikemukakan sebuah contoh sebagai ilustrasi analisis historis- komparatif dengan Kisah Wato Wele – Lia Nurat, sebuah mitos genealogis masyarakat Baipito yang tinggal di seputar Gunung Ile Mandiri.

Pada mulanya Ema Wato Sem Bapa Madu Ma yang tinggal di Sina Jawa menyuruh orangtuanya yakni burung garuda untuk terbang menuju ke puncak gunung Ile Mandiri. Di puncak gunung itu, sang garuda meletakkan telurnya. Dari sebutir telur itu, lahirlah dua orang anak kembar, yang kemudian dinamakan Wato Wele (seorang wanita) dan Lia Nurat (seorang laki-laki).

6 Stith Thompson adalah seorang pakar folklore Amerika yang memiliki perhatian khusus pada balada dan dongeng tradisional. Karya yang dipandang memiliki reputasi internasional adalah enam jilid

buku Motif-Index of Folk-Literature (1932 –37). Dia mengajar di Universitas Indiana, Bloomington (Lihat Wikipedia “Stith Thompson” diunduh tanggal 17 Januari 2010).

7 Kisah Wato Wele –Lia Nurat ini diambil dari hasil penelitian Taum (1995) yang dilakukan di Flores Timur. Versi yang dikemukakan di sini adalah teks yang dikemukakan oleh penutur Markus Ratu

Badin. Perlu diketahui bahwa selain versi ini, masih terdapat tujuh versi yang lain mengenai kisah ini.

Wato Wele dan Lia Nurat dipelihara dan dibesarkan oleh hantu gunung hingga menjadi dewasa. Lia Nurat mengantar adiknya Wato Wele untuk menempati bagian selatan Ile Mandiri sedangkan Lia Nurat sendiri menempati bagian utaranya.

Pada suatu malam, Lia Nurat membuat api unggun di puncak Ile Mandiri. Cahaya api itu sampai ke perkampungan Paji. Sinar api itu menimpa seorang gadis Paji bernama Hadung Boleng Teniban Duli.

Suku Suban Lewa Hama, saudara Hadung Boleng itu disuruh pergi ke puncak Ile Mandiri mencari asal api unggun itu. Di sana dia bertemu dengan Lia Nurat. Lia Nurat berjanji akan turun ke perkampungan Paji.

Lia Nurat pun turunlah ke perkampungan Paji dan menikah dengan Hadung Boleng. Dari pernikahan itu, lahirlah tujuh orang anak yang kelak menurunkan suku-suku Ile Jadi di Baipito. Mereka hidup berkecukupan.

Kemakmuran mereka diketahui oleh orang-orang suku Soge (Maumere). Raja suku Soge pun mengantarkan anaknya yang bernama Uto Watak untuk diperistri Lia Nurat. Hadung Boleng tidak senang dengan kehadiran Uto Watak. Dia pun mengusir Uto Watak. Raja Suku Soge sangat marah. Mereka datang menyerbu dan membunuh Lia Nurat.

Setelah Lia Nurat meninggal, kehidupan Hadung Boleng dan ketujuh anaknya sangat menderita. Suatu ketika Hadung Boleng bermimpi melihat pusat gunung. Dengan mimpi itu, kehidupan mereka kembali menjadi makmur.

Terjadi perang di Adonara. Kelima putra Lia Nurat ikut berperang membela adik perempuan mereka. Dalam perang tersebut, putra sulung Lia Nurat, yakni Blawa Burak Sina Puri tewas terbunuh. Keempat putra Lia Nurat yang masih hidup kembali ke Ile Mandiri dan membagi tanah warisan di antara mereka.

Menghadapi cerita mitologis semacam ini, pendekatan penelitian historis- komparatif pertama-tama akan melakukan klasifikasi berdasarkan type dan motif. Berdasarkan klasifikasi tersebut, kajian selanjutnya akan difokuskan pada perbandingan dengan teks-teks lainnya untuk meneliti asal-usul dan pola persebarannya.

Berdasarkan tipe-nya, Cerita Wato Wele – Lia Nurat dapat digolongkan ke dalam Tales of Magic (dongeng tentang hal-hal magis). Kedua tokoh kembar ini adalah tokoh mitologis, tokoh yang tidak dilahirkan dari rahim seorang wanita biasa, melainkan dari sebutir telur burung garuda. Unsur-unsur supranatural lainnya dari kedua tokoh ini adalah orang yang mengasuh dan membesarkan mereka bukanlah manusia biasa melainkan ‘hantu gunung’. Kedua tokoh mitologis (mythical figure) ini pun dikenal sebagai manusia pertama yang menurunkan suku-suku asli yang disebut Suku Baipito di seputar gunung Ile Mandiri.

Klasifikasi dan kajian berdasarkan motif cerita terhadap cerita Wato Wele-Lia Nurat akan menghasilkan dua temuan yang menarik.

1) Motif hewan yang luar biasa. Dalam cerita ini, tokoh Wato Wele dan Lia Nurat diceritakan berasal dari sebutir telur burung garuda. Hal ini menunjukkan asal- usul kedua tokoh ini yang sangat mistis. Kadar mitologis kedua tokoh ini diperkuat dengan cerita bahwa nenek-moyang mereka sesungguhnya berasal dari sebuah negeri yang sangat jauh (Sina Jawa adalah ungkapan khas masyarakat Lamaholot Flores Timur untuk menyebutkan sebuah tempat yang sangat jauh, yang tidak bisa diidentifikasi). Nenek moyang mereka adalah Ema Wato Sem Bapa Madu Ma, yaitu nama ritual untuk menyebutkan tokoh Sem. Sem adalah putra sulung Nabi Nuh yang dipercaya menurunkan semua penduduk Sina Jawa. Perhatikan bahwa kisah ini telah mengalami interteks dengan Kitab Suci Perjanjian Lama (Kej. 6: 9-22). Dikisahkan bahwa Nabi Nuh memiliki tiga orang anak, yaitu Sem, Ham, dan Yafet, dan bahwa ketiga anak ini berpencar ke semua bangsa di muka bumi ini.

2) Motif berupa konsep-konsep aturan adat-istiadat daerah. Pertama, konsep tentang kepatutan adat penikahan. Dalam cerita Wato Wele – Lia Nurat, dikisahkan bahwa Lia Nurat memiliki dua orang istri, Hadung Boleng Teniban Duli dan Uto Watak Teluma Bura. Pernikahan dengan Hadung Boleng Teniban Duli adalah pernikahan yang ideal, di mana pihak laki-laki mendatangi rumah pihak wanita. Dikisahkan bahwa Lia Nurat turun dari gunung mendatangi perkampungan Paji dan menikahi Hadung Boleng. Pernikahan dengan Uto Watak Teluma Bura adalah pernikahan yang tidak layak, dan dengan demikian membawa mala petaka bagi keluarga Lia Nurat. Diceritakan bahwa Uto Watak Teluma Bura diantar ke puncak gunung, ke rumah Li Nurat. Masyarakat Flores Timur sangat menghargai pihak perempuan, dan tidak pernah menganggap perempuan sebagai bahan persembahan kepada pihak laki-laki. Kajian historis-komparatif selanjutnya akan membandingkan kesamaan tipe dan

motif tersebut dengan tipe dan motif dari daerah yang lainnya untuk mengungkap wilayah persebaran dan asal-usul cerita tersebut.

Motif “burung garuda” adalah sebuah motif yang sangat penting dalam banyak peradaban di dunia ini. Garuda dipandang sebagai “king of the birds” yang bertugas sebagai pembawa pesan dari kekuatan langit. Garuda pun dapat terbang tinggi sendirian Motif “burung garuda” adalah sebuah motif yang sangat penting dalam banyak peradaban di dunia ini. Garuda dipandang sebagai “king of the birds” yang bertugas sebagai pembawa pesan dari kekuatan langit. Garuda pun dapat terbang tinggi sendirian

Motif konsep tentang adat-istiadat amat menarik untuk ditelusuri dan dipetakan wilayah persebarannya namun sukar menentukan asal usul konsep tersebut.

2.4 Keunggulan dan Kelemahan

Berbagai pakar dunia mengakui bahwa metode penelitian mazhab Finlandia menghasilkan banyak sekali studi yang menarik dan memperkaya pengetahuan kita mengenai cerita rakyat di seluruh dunia. Klasifikasi Aarne dan index Thomson sampai sekarang masih tetap memiliki nilai yang penting untuk penelitian cerita rakyat.

Akan tetapi metode mereka memiliki kelemahan dan banyak mendapat kritikan (Teeuw, 1984: 290). Keberatan utama terhadap metode historis-geografis ini adalah tidak mudah melakukan klasifikasi terhadap berbagai cerita rakyat berdasarkan tipe dan motif. Kekacauan klasifikasi pasti akan mudah dialami oleh para peneliti yang mencoba menggolong-golongkan sebuah cerita rakyat ke dalam tipe dan motif tertentu. Selain itu, kesimpulan tentang tua mudanya dan asli tidaknya varian tertentu sebuah cerita rakyat pun sangat sukar dibuktikan. Penggolongan itu seringkali bersifat subjektif, tidak konsisten, dan sebuah cerita rakyat dipecah-pecah ke dalam sejumlah motif, yang kaitan satu sama lainnya tidak jelas lagi. Dalam contoh Kisah Wato Wele-Lia Nurat di atas, tampak bahwa sebuah motif dapat saja memiliki wilayah persebaran yang sangat luas, yang berakibat pada sulitnya memberikan sebuah penafsiran tunggal tentang asal-usul dan penyebarannya. Dengan demikian jelaslah bahwa mazhab ini tidak melihat sastra rakyat sebagai karya sastra karena sastra rakyat itu dipecah-pecah dalam motif-motif tanpa memperhatikan fungsi dan makna motif-motif terebut.

Sekalipun banyak ditemui kendala dalam menggunakan klasifikasi Aarne dan index Thomson, buku-buku mereka masih tetap mempunyai nilai sebagai acuan yang berharga dalam melakukan studi sastra rakyat. Klasifikasi semacam itu perlu diperluas jangkuannya agar dapat mencakup pula kajian mengenai makna dan fungsinya di dalam kelompok masyarakat pendukungnya.

3. Teori Parry - Lord: Penciptaan Sastra Lisan

3.1 Latar Belakang

Masalah penciptaan sastra lisan menjadi bidang perhatian utama dua ahli bahasa Yunani, yakni Milman Parry (1902-1935) dan asistennya Albert B. Lord (1912-1991). Teori yang mereka temukan kemudian dikenal sebagai teori Parry-Lord. Kedua peneliti ini memberikan sumbangan berharga bagi penelitian sastra lisan dari segi metode penelitian dan konsep teori umum.

Minat terhadap aspek penciptaan sastra lisan ini diilhami oleh ilmu sastra klasik Barat, khususnya penciptaan puisi Odysee dan Ilias karya Homeros, seorang penyair Yunani Kuno. Sudah cukup lama Homerus sebagai penyair dipermasalahkan dalam ilmu sastra klasik Barat. Di satu pihak Homerus dikagumi sebagai seorang penyair klasik ‘primitif’ dalam arti positif, karena dalam karyanya diungkapkan hakikat emosi manusiawi, tanpa dicampuri berbagai konvensi yang muluk-muluk tetapi yang kehilangan keaslian dan dirusakkan oleh kebudayaan (Teeuw, 1984: 295). Akan tetapi, sangat ironis bahwa justru di zaman klasik, abad ke-18, Homerus mulai dipisahkan dari tradisi pengarang klasik yang agung. Alasannya Homerus adalah seorang buta huruf, seorang urakan, gaya bahasanya dan gambarannya tentang dewa-dewa dan manusia bersifat kerakyatan dan kasar.

Cara penciptaan puisi Homerus juga mulai dipermasalahkan. Pada akhir abad ke-

19 ada dua anggapan yang saling bertentangan. Satu aliran beranggapan bahwa pada awalnya karya Homerus terdiri atas nyanyian-nyanyian tersendiri, yang kemudian oleh tradisi dipadukan menjadi dua epos yang terkenal, Odysee dan Ilias. Dengan demikian, Homerus hanyalah seorang ‘Rhapsodis’ atau penyambung cerita. Aliran lain menganggap puisi Homerus sangat halus dan berjalinan erat sehingga epos tersebut pasti diciptakan sebagai satu kesatuan yang utuh oleh seorang pengarang yang jenius.

Segera setelah selesai pendidikannya dalam bidang Klasik pada Universitas California, Berkeley, Milman Parry mulai bergelut dengan apa yang saat itu disebut

sebagai ‘Pertanyaan Homerus” (Homeric Question), yang biasanya dirumuskan dalam dua pertanyaan, (1) Siapakah Homerus itu? Dan (2) apa sajakah puisi-puisi Homerus itu? Pertanyaan Homerus ini sudah pernah dijawab oleh para pakar sebelumnya, seperti Marcel Jousse, Matija Murko, dan Arnold van Gennep. Sumbangan Parry adalah mempertanyakan kembali asumsi-asumsi dasar yang mempengaruhi penelitian, sebuah penataan ulang yang memiliki konsekuensi yang besar pada berbagai disiplin lainnya. 8

3.2 Teori dan Metode Parry - Lord

Milman Parry adalah lulusan Universitas California di Berkley dan Universitas Sorbone di Paris. Di Sorbone, dia dibimbing seorang linguist Antoine Meillet, yang membimbingnya ke arah pemahaman yang mendalam mengenai “formula”. Menurut Parry, formula adalah “sekelompok kata yang secara teratur digunakan dengan kondisi metris yang sama untuk mengekspresikan sebuah gagasan yang esensial. ”

Parry adalah orang pertama yang mencoba membuktikan bahwa karya Homerus merupakan karya utuh dan sempurna. Bahwa Homerus memang memanfaatkan dan menggali kekayaan tradisi lisan pada zamannya, tetapi berdasarkan konvensi tradisi lisan itu dia menciptakan karya sastranya sebagai suatu keseluruhan.

Milman Parry tidak puas dengan hipotesisnya itu karena dibangun berdasarkan bahan-bahan yang berasal dari tiga ribu tahun yang lalu. Maka bersama dengan muridnya Albert B. Lord, dia melakukan penelitian lapangan di Yugoslavia untuk membuktikan sendiri proses penciptaan epos rakyat itu. Yugoslavia dipilih karena di sana masih cukup banyak penyanyi epos rakyat. Di sana mereka meneliti puluhan contoh epos rakyat seperti yang dinyanyikan oleh tukang cerita (dalam bahasa Yugoslavia, Guslar ).

Dari berbagai epos itu, mereka meneliti a) teknik penciptaan epos rakyat, dan b) cara tradisi ini diturunkan dari guru ke muridnya. Mereka juga meneliti c) resepsi karya sastra itu oleh masyarakat, yaitu audience yang menghadiri performance . Hasil penelitian

8 Lihat Wikipedia (2010), “Oral Tradition” . Diunduh dari www.wikipedia.com tanggal 2 Januari 2010.

mereka, sesudah Parry meninggal, diterbitkan Lord dalam buku berjudul The Singer of Tales (1960) yang kini menjadi sebuah buku klasik ilmu sastra (Teeuw, 1984: 297).

Menurut teori Parry-Lord, proses penciptaan sastra lisan dapat dicermati dari cara mereka memanfaatkan persediaan formula yang siap pakai sesuai dengan konvensi sastra yang berlaku. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Yugoslavia, Parry & Lord membuktikan bahwa struktur sastra lisan selalu berubah-ubah, lincah dan hidup karena selalu diciptakan dan dihayati kembali sesuai dengan daya cipta pembawa maupun penikmatnya (Teeuw, 1988b: 299).

Jika diringkas, teori Parry – Lord tentang penciptaan sastra lisan itu mencakup aspek-aspek: formula dan ungkapan formulaik, tema-tema atau kelompok gagasan, dan teori penciptaan atau pewarisan. Hal-hal itu akan dibahas di bawah ini.

3.2.1 Formula dan Ungkapan Formulaik

Ide baru yang dilontarkan Parry adalah, bahwa modal utama penciptaan karya Homeros adalah dengan memanfaatkan persediaan formula dan ungkapan formulaik yang sangat menonjol. Formula adalah kelompok kata yang secara teratur dimanfaatkan dalam kondisi matra yang sama untuk mengungkapkan satu ide pokok. Sedangkan ungkapan formulaik adalah larik atau separuh larik yang disusun berdasarkan formula (Lord, 1976:

47, Abdullah, 1991: 523). Baik formula maupun ungkapan formulaik merupakan unsur- unsur yang siap pakai ( stock-in-trade ), dalam arti setiap kali tukang cerita bertutur, unsur-unsur tersebut pasti dipergunakan. Unsur-unsur itu biasanya dihafal sehingga wacana kebudayaan lisan sangat tergantung pada penggunaan ungkapan-ungkapan yang cukup baku dalam bentuk bergaya ( fixed utterance in stylised form ), misalnya dalam peribahasa-peribahasa dan kata-kata adat lainnya.

Formula dan ungkapan formulaik dalam penuturan sastra lisan bahkan tidak hanya berfungsi sebagai wadah ‘menceritakan’ atau menjelaskan pokok isi suatu cerita tetapi merupakan pokok itu sendiri (Sweeney, 1987: 96-97). Dalam penyusunan cerita, orientasi lisan terutama tampak pada perangkaian potongan-potongan formula menjadi akumulasi formula. Dengan demikian, cerita lebih menyerupai proses perakitan formula (Teeuw, 1988b: 449-452).

Sebagai ilustrasi, dalam epos Homeros terdapat sangat banyak epitet (epitheton) , yang dimanfaatkan langsung dalam posisi matra tertentu. Penggunaan epitheton yang begitu banyak tentu bukanlah suatu kebetulan. Epitheton adalah kata sifat atau klausa yang berfungsi sebagai kata sifat yang memerikan ciri khas seseorang atau sesuatu benda, keadaan dan lain-lain. Perhatikan tabel di bawah ini.

Tabel 2: Epitheton NO

NAMA/KEADAAN EPITHETON /BENDA

1. Odyseus Polutlas (=yang banyak menderita) Polumetis (=yang banyak akalnya)

2. Achilles Poodas Ookus (=yang cepat kaki)

3. Lia Nurat Koda Lia Nurat/Nurat Nuru Nama (=tali pencipta penunjung jalan)

Selain terwujud dalam epitheton, formula dan ungkapan formulaik sebagai orientasi lisan terlihat dalam struktur formal puisi dan struktur sintaksis puisi. Dalam struktur formal puisi, jumlah kata dalam larik dan bait, sistem pembaitan, dan gaya bahasa kiasan seperti: metafora dan perumpamaan, metonomia dan sinekdoke, ironi dan sinisme seringkali dipergunakan secara berulang-ulang. Dalam struktur sintaksis, pola- pola lisan terlihat dalam penggunaan sarana retorika seperti: paralelisme, pleonasme dan tautologi, repetisi dan enumerasi (lihat studi yang dilakukan Abdullah, 1991: 522-558; dan Taum, 1994: 218-262).

3.2.2Tema atau Kelompok Gagasan

Dalam studi Parry dan Lord, terungkap bahwa sistem formula tidak hanya terdapat dalam tataran struktur formal dan struktur sintaksis melainkan juga dalam tataran struktur semantik. Dalam kajian naratif, mereka menemukan bahwa ternyata ada kelompok-kelompok gagasan yang secara teratur digunakan dalam penceritaan puisi tradisional yang bergaya formulaik. Lord menyebut kelompok-kelompok ide itu sebagai tema-tema atau ‘themes’ (Lord, 1981: 68).

Menurut Lord, dari pengalaman para penyair lisan ataupun pengalaman kita mendengarkan puisi yang sama dari berbagai penyair atau mendengarkan penyair yang Menurut Lord, dari pengalaman para penyair lisan ataupun pengalaman kita mendengarkan puisi yang sama dari berbagai penyair atau mendengarkan penyair yang

cerita yang ‘siap pakai’ yang tersedia dalam konvensi sesuai dengan horizon harapan penikmat. Pemakaian gaya bercerita semacam itu dalam rangka pembacaan menampilkan pula berbagai tataran semantik.

Dalam jagat sastra lisan, Lord (1981: 70) menyebutkan bahwa ada sejumlah ide atau kelompok-kelompok ide yang secara teratur digunakan dalam penceritaan, khususnya dalam cerita-cerita bergaya formulaik. Kelompok-kelompok ide itu oleh Lord disebut sebagai "themes." Istilah 'tema-tema' yang oleh Lord diartikan sebagai kelompok-kelompok ide siap pakai, barangkali dapat disejajarkan dengan pandangan Sweeney (1980: 33) tentang 'komposisi skematis' sebagai sebuah cara membangun komposisi cerita berdasarkan suatu kerangka jalan cerita yang dihafal (tema-tema yang juga siap dipakai oleh tukang cerita). Kesimpulan ini ditarik berdasarkan penelitian lapangannya. Menurut dia, pengalaman para penyair lisan ataupun pendengar menyimak sebuah cerita yang sama dari beberapa penyair menunjukkan bahwa tema-tema tertentu seringkali muncul dalam cerita tersebut. Demikian pula jika kita mendengarkan sebuah kisah yang sama dari penyair yang sama dalam kesempatan-kesempatan berbeda, tema- tema itu sering kali dimunculkan kembali.

Berdasarkan kenyataan itu, Lord mengungkapkan bahwa tidak ada alasan bagi kita untuk menyatakan bahwa sebuah cerita hanya memiliki satu tema saja. Dengan kata lain, tema sebuah cerita tidak dapat diekspresikan hanya dalam sebuah rangkaian kata-kata saja. Sebaliknya tema harus diungkapkan dalam kelompok-kelompok gagasan berdasarkan perbandingan terhadap variasi-variasi teks. Tema-tema itu dapat berupa adegan-adegan siap pakai ataupun deskripsi bagian-bagian cerita yang tersedia dalam konvensi dan sesuai dengan horizon harapan penikmatnya.

Untuk mengungkapkan tema-tema yang terdapat dalam sebuah karya sastra lisan, seorang peneliti harus membandingkan versi-versi sebuah cerita yang sama Untuk mengungkapkan tema-tema yang terdapat dalam sebuah karya sastra lisan, seorang peneliti harus membandingkan versi-versi sebuah cerita yang sama

Telah ditunjukkan di atas bahwa dalam sastra lisan, formula, ungkapan-ungkapan formulaik, ataupun kelompok-kelompok ide dan deskripsi bagian-bagian cerita dalam alur mengacu kepada berbagai realitas. Formula-formula itu sering kali diulang-ulang dalam sebuah korpus kebudayaan. Formula-formula itu dapat ditemukan dalam berbagai genre cerita dalam berbagai kebudayaan. Apakah artinya ini? Jika kita menerima pandangan bahwa fungsi sastra lisan dalam masyarakat tradisional lebih kuat tekanannya pada unsur 'utile' (berguna), dapat dikatakan bahwa formula-formula itu hanyalah sarana atau instrumen untuk menyampaikan sistem nilai atau unsur-unsur didaktik sesuai dengan pandangan dunia konvensional. Dengan demikian, sesungguhnya formula-formula itu merupakan simplifikasi gagasan-gagasan yang kompleks, yang dalam arti tertentu bersifat simbolik.

Dalam berbagai kebudayaan di dunia, misalnya, mudah ditemukan tema atau motif ’kompleks Oedipus.' Istilah 'kompleks Oedipus' terutama diperkenalkan oleh tokoh psikoanalisis Sigmund Freud untuk menyebut cinta seksual anak kepada orangtuanya yang berbeda jenis kelaminnya (misalnya anak perempuan kepada ayahnya, atau anak laki-laki kepada ibunya). Rasa cinta ini seringkali ditekan ke alam bawah sadar karena dianggap sebagai 'dosa'. Menurut ahli-ahli psikologi, kecemburuan anak kepada orang tua lawan jenisnya itu seringkali muncul dalam berbagai cerita rakyat. Anak laki- laki membunuh ayahnya dan mengawini ibunya sendiri secara mengherankan dapat ditemukan. Di Indonesia motif Oedipus dapat dijumpai dalam berbagai cerita. Menurut Rusyana (1993), motif semacam itu antara lain dijumpai dalam (1) cerita Sangkuriang di Sunda, (2) cerita terjadinya orang Kalang di Pekalongan, (3) cerita Watu Gunung dan Dewi Sinto dalam Babad Tanah Jawa , (4) cerita Gunung Darapung masyarakat Bone, (5) cerita Kebo Mundar dari masyarakat Bali, (6) cerita Gua Batu Sepong dalam masyarakat Bone, dan (7) cerita perkawinan ibu dengan anak laki-lakinya di Nias. Dapat Dalam berbagai kebudayaan di dunia, misalnya, mudah ditemukan tema atau motif ’kompleks Oedipus.' Istilah 'kompleks Oedipus' terutama diperkenalkan oleh tokoh psikoanalisis Sigmund Freud untuk menyebut cinta seksual anak kepada orangtuanya yang berbeda jenis kelaminnya (misalnya anak perempuan kepada ayahnya, atau anak laki-laki kepada ibunya). Rasa cinta ini seringkali ditekan ke alam bawah sadar karena dianggap sebagai 'dosa'. Menurut ahli-ahli psikologi, kecemburuan anak kepada orang tua lawan jenisnya itu seringkali muncul dalam berbagai cerita rakyat. Anak laki- laki membunuh ayahnya dan mengawini ibunya sendiri secara mengherankan dapat ditemukan. Di Indonesia motif Oedipus dapat dijumpai dalam berbagai cerita. Menurut Rusyana (1993), motif semacam itu antara lain dijumpai dalam (1) cerita Sangkuriang di Sunda, (2) cerita terjadinya orang Kalang di Pekalongan, (3) cerita Watu Gunung dan Dewi Sinto dalam Babad Tanah Jawa , (4) cerita Gunung Darapung masyarakat Bone, (5) cerita Kebo Mundar dari masyarakat Bali, (6) cerita Gua Batu Sepong dalam masyarakat Bone, dan (7) cerita perkawinan ibu dengan anak laki-lakinya di Nias. Dapat

Bertahannya tema-tema semacam itu menarik untuk ditelusuri makna dan terutama fungsi cerita itu bagi masyarakat pendukungnya. Ada sebagian ahli (terutama para ahli psikoanalisis) yang menganggap bahwa kisah-kisah itu menunjukkan alam bawah sadar manusia yang dapat diterima kebenarannya sesuai dengan ungkapan bahasanya, apa adanya. Kisah Oedipus, misalnya, menunjukkan bahwa dalam diri setiap manusia terdapat cinta seksual kepada orang tuanya yang berlainan jenis kelaminnya. Oedipus membunuh ayahnya dan mengawini ibunya sendiri secara tegas menunjukkan pergolakan bawah sadar manusia itu. Dengan demikian, cerita itu diterima sebagai sebuah 'kebenaran ilmiah'. Sebagian ahli lainnya seperti Whellwright (1965) dan Malinovsky (lihat Cairns, 1944) menganggap bahwa penafsiran terhadap tema-tema semacam itu perlu dikaitkan dengan data-data historis suatu masyarakat karena cerita- cerita rakyat seringkali memiliki makna diaphoris dengan tradisi suku-suku tertentu. Dengan lain perkataan, motif-motif yang sama dapat saja memiliki makna berbeda sesuai dengan pengalaman sejarah masing-masing kebudayaan.

Levi-Strauss (1958) mengungkapkan perspektif yang berbeda tentang fungsi formula-formula tersebut, terutama dalam masyarakat primitif. Menurut dia, cerita-cerita rakyat (khususnya mitologi-mitologinya) merupakan alat logika yang digunakan untuk memecahkan kontradiksi-kontradiksi yang berkaitan dengan masalah-masalah mendasar (situasi batas manusia) yang dialami dalam kehidupannya. Cerita-cerita itu menawarkan suatu model pemahaman yang sedapat mungkin masuk akal terhadap hal-hal yang secara sepintas tampak kontradiktif. Cerita Oedipus, menurut Levi-Strauss, merupakan jawaban manusia terhadap pertanyaan mendasar 'Bagaimana mungkin manusia (one) dapat dilahirkan dari pria dan wanita (two) ? Mengapa kita tidak diturunkan dari seorang pencipta saja?"

Bagi para peneliti sastra lisan, berbagai metode dan teknik-teknik penelitian yang dikenal dalam ilmu sastra dan ilmu kritik teks dapat dijadikan pedoman untuk menafsirkan formula-formula teks, baik dalam tataran arti (meaning) maupun dalam Bagi para peneliti sastra lisan, berbagai metode dan teknik-teknik penelitian yang dikenal dalam ilmu sastra dan ilmu kritik teks dapat dijadikan pedoman untuk menafsirkan formula-formula teks, baik dalam tataran arti (meaning) maupun dalam

3.2.3 Prosedur Pewarisan

Teknik-teknik penciptaan dan cara tradisi itu diturunkan penyair lisan (di Yugoslavia penyair lisan disebut Guslar ) kepada para murid-murid/pengikutnya menarik perhatian kedua peneliti ini. Menurut Parry-Lord, cerita-cerita tidak dihafalkan turun- temurun. Sebaliknya setiap kali cerita itu dibawakan, teksnya diciptakan kembali secara spontan dan disesuaikan dengan minat pendengar, keadaan pembawaannya, dan waktu yang disediakan. Hal yang tetap pada cerita-cerita lisan bukan alur cerita melainkan kelompok-kelompok ide yang disediakan oleh konvensi. Dengan bantuan formula dan ungkapan-ungkapan formulaik yang baku, kelompok-kelompok ide itu dirakit menjadi sebuah bentuk yang utuh.

Prosedur pewarisan teknik bercerita dari seorang penyair Yugoslavia (guslar) kepada muridnya dilaksanakan melalui semacam sistem pendidikan 'formal' (lihat Abdullah, 1991: 68). Pelajaran pertama bagi calon guslar adalah mendengarkan gurunya menyanyikan satu bagian cerita, yang disusul atau diulangi oleh muridnya. Masa berguru ini mencapai waktu rata-rata tiga tahun lamanya, yakni sampai calon mampu menyanyikan sebuah cerita secara utuh. Sebagai pelajaran terakhir, si calon menemani gurunya mengadakan pertunjukkan. Dalam setiap kesempatan ini ia diberi waktu oleh gurunya melanjutkan cerita selama beberapa menit ketika gurunya beristirahat. Prosedur ini mirip dengan proses pewarisan sastra lisan Minangkabau ( tukang sijobang ) (Philips, 1981) dan penyair lisan Aceh (Abdullah, 1991). Kemiripan ini dapat dipahami karena penceritaan dilakukan sebagai semacam kegiatan profesional.

9 Dalam studi sastra, arti (mea ning) dan makna (significance). Karya sastra merupakan dialektik antara tataran mimetik (arti atau acuan kebahasaan) dan tataran semiotik (makna atau acuan kesusastraan).

Dalam pandangan Riffaterre (1984), tahap pembacaan heuristik adalah tahap pembacaan pada tataran mimetic untuk menemukan meaning yaitu arti unsur-unsurnya (kata-katanya) berdasarkan kemampuan bahasa kita, yakni mendasarkan diri pada fungsi bahasa sebagai alat komunikasi dengan gejala di dunia luar. Selanjutnya, tahap pembacaan hermeneutik adalah tahap pembacaan pada tataran semiotic untuk menemukan significance yaitu makna puisi dengan meneliti latar belakang keseluruhan karya sastra yang disimpanginya. Inilah pembacaan pada tataran semiotik.

3.3 Contoh Penerapan teori Parry-Lord: Koda Knalan di Flores Timur

Sebagaimana disebutkan di atas, teori Parry Lord pernah diterapkan oleh Imran T. Abdullah dan Yoseph Yapi Taum (lihat studi yang dilakukan Abdullah, 1991: 522-558; dan Taum, 1994: 218-262). Berikut ini dikemukakan beberapa pokok gagasan dari studi yang dilakukan Taum sebagai ilustrasi penerapan teori Parry-Lord. Studi Taum (1994) berjudul Tradisi dan Transformasi Cerita ’Wato Wele - Lia Nurat’ dalam Sastra lisan Flores Timur

melibatkan 8 teks puisi lisan masyarakat lamaholot di Kabupaten Flores

Timur yang disebut koda klaken atau koda knalan. 10

Koda klaken memiliki struktur formal (berupa jumlah kata dalam larik, pasangan kata, dan kombinasi pasangan kata) dan sitem pembaitan (yang memiliki pola konstruksi bait yang teratur) yang diikuti secara ketat dan konsisten. Keindahan bahasa puisi koda

klaken dalam menuturkan cerita ’Wato Wele – Lia Nurat’ yang relatif cukup panjang menimbulkan pertanyaan tentang proses penciptaan dan pewarisannya. Teori Parry-Lord dapat dipergunakan untuk menjelaskan ’rahasia’ tersebut.

3.3.1 Formula dan Ungkapan Formulaik

Dalam menuturkan cerita mitologis Wato Wele-Lia Nurat, bahasa-bahasa kiasan

11 dan sarana-sarana retorika sering kali dipergunakan oleh si penutur. Dalam penuturan cerita Wato Wele – Lia Nurat, ditemukan gaya bahasa metafora, personifikasi, dan perumpamaan, meskipun digunakan secara terbatas. Gaya bahasa

metafora atau gaya bahasa perbandingan implisit terlihat dalam kutipan berikut ini.

(1) Doan la lali muda hugu haga// Jauhnya ujung jeruk tak mencapainya// Lela na lali pao wutun buno

Jauhnya pucuk mangga tak menggapainya (2)

Ehin wengi keleket deket// Buahnya lebat kilat menyambar// Wain dene beledo redo

Bulirnya banyak gempa mengguncang

10 Knalan (bahasa Lamaholot, artinya ruangan dalam rumah adat yang biasa digunakan untuk kaum laki-laki) artinya bahasa yang digunakan kaum laki-laki dalam membicarakan masalah-masalah adat

dan ritual formal. Klaken (bahasa Lamaholot, artinya laki-laki) artinya bahasa khusus tersebut merupakan bahasa kaum laki-laki. Koda knalan atau koda klaken adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut puisi lisan khas Lamaholot, yang memiliki ciri utama pasangan diadik.

11 Gaya bahasa kiasan adalah penggunaan bahasa yang dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan. Membandingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain berarti menemukan ciri-ciri yang sama

di antara kedua hal tersebut (Keraf, 1985: 136).

(3) Deket ape ptala tapo// Menyalakan api bintang pagi// Hemo ape belia hire

Membuat api bintang timur

Untuk menggambarkan betapa jauhnya kampung Sina Jawa, kutipan (1) menjelaskan bahwa tempat itu tidak dapat dicapai oleh ’ujung jeruk//pucuk mangga”. Dalam kutipan (2), metaf ora ”kilat menyambar//gempa mengguncang” dimanfaatkan untuk melukiskan hasil panen yang melimpah. Metafora ”api bintang pagi//api bintang timur”

menggambarkan api ghaib ( ape be-open) yaitu api yang dibuat oleh Lia Nurat.

Gaya bahasa perbandingan eksplisit terlihat dalam dua kutipan berikut ini.

(4) Wato pesang maik ile jadi// Batu pecah bagai gunung melahirkan// Parak bela molon woka dewa

Wadas terbelah serupa bukit beranak (5)

Rupan maik ina nitung// Rupanya bagaikan ibu hantu// Nope nolon ema lolong

Wajahnya laksana bunda jin

Pengalihan arti dari sesuatu yang hidup kepada sesuatu yang tidak bernyawa (yakni gaya bahasa personifikasi) tampak pada kutipan-kutipan berikut. (6)

Nuren tutu neda maring// Mimpi berkisah mimpi berucap// Na iba sesa lemah banu

Mencari kian menangkap belut (7)

Lewo di uteng tobo hala// Kampung tak memintanya menetap// Tana di lakang pae hala

Desa pun tak mengajaknya berdiam. Gaya bahasa yang lebih banyak dijumpai adalah metonimia dan sinekdokhe. Metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan sesuatu hal yang lain karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Sinekdoke adalah semacam gaya bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (Keraf, 1985: 142).

Metonimia yang dominan dalam penuturan Wato Wele – Lia Nurat adalah akibat digantikan isi dengan wadah (relasi logik). Beberapa contoh dikemukakan di bawah ini. (8)

Paji lewo pulo kae// Kampung Paji sudah sepuluh// Beda tana lema kae

Desa Beda sudah lima

(9) Soge haka liu ile// Soge datang menembak gunung// Kewa gere reja woka

Kewa tiba membunuh bukit

Sepuluh dan lima dalam kutipan (8) ingin menggambarkan bahwa perkampungan Paji dan Beda sudah banyak (tidak hanya 10 dan 5 kampung). Dalam kutipan (9), ’gunung’ dan ’bukit’ adalah metonimia yang digunakan untuk menggantikan tokoh Lia Nurat, yang dalam pemahaman masyarakat setempat memang identik dengan Gunung Ile Mandiri.

Gaya bahasa Sinekdoke terlihat dalam kutipan berikut ini. Kutipan (10) menggambarkan bahwa Lia Nurat lebih unggul dibandingkan dengan orang-orang Paji,

bukan hanya dalam bidang hasil bumi. Dalam kutipan (11), ’telinga’ menggambarkan istri Lia Nurat. Tentu saja bukan ha nya ’telinga’ yang dibayar lunas melainkan juga keseluruhan badan dan jiwa istrinya. (10) Ehin uro Paji//

Hasilnya melebih Paji//

Wain epa Beda Tuaiannya melampaui Beda (11)

Tilun elu sope ana// Telinganya terbayarkan anaknya terlunaskan// Nuti wihun sope ana

Belis diberikan mas kawin dibayarkan.