Kajian Penyakit Bovine Viral Diarrhea (BVD) pada Sapi Potong Impor Di Pelabuhan Tanjung Priok

KAJIAN PENYAKIT BOVINE VIRAL DIARRHEA (BVD)
PADA SAPI POTONG IMPOR DI PELABUHAN
TANJUNG PRIOK

ADITYA PRIMAWIDYAWAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Penyakit Bovine Viral
Diarrhea (BVD) pada Sapi Potong Impor di Pelabuhan Tanjung Priok, adalah
karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.


Bogor, Februari 2015

Aditya Primawidyawan
B251130194

RINGKASAN
ADITYA PRIMAWIDYAWAN. Kajian Penyakit Bovine Viral Diarrhea (BVD)
pada Sapi Potong Impor di Pelabuhan Tanjung Priok. Dibimbing oleh AGUSTIN
INDRAWATI dan DENNY WIDAYA LUKMAN.
Virus Bovine viral diarrhea (BVD) merupakan penyakit ternak yang sangat
infeksius. Virus ini menyebabkan kerugian ekonomi akibat bermacam macam
gejala klinis yang ditimbulkan dan merupakan subjek penyakit yang masuk dalam
program penanggulangan dan pemberantasan di seluruh dunia. Infeksi BVD
memiliki patogenesis yang sangat komplek, dengan infeksi sebelum dan sesudah
kebuntingan yang menyebabkan gejala klinis yang bervariasi. Infeksi virus selama
kebuntingan menghasilkan infeksi pada fetus, yang dapat menyebabkan kematian
embrio dini, efek teratogenik atau hewan yang memiliki infeksi persisten. Hewan
dengan status infeksi persisten akan mengeluarkan virus BVD melalui eksresi dan
sekresi selama hidupnya dan merupakan rute transmisi utama dalam penularan

virus ini.
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan suatu kajian serologis tentang
penyakit BVD dan mengidentifikasi faktor risiko yang berkaitan dengan
pemeliharaan kandang sebagai sumber penularan penyakit BVD pada sapi potong
impor. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pencegahan yang
efektif dalam perkembangan penyakit BVD pada sapi potong impor asal Australia
di feedlot Instalasi Karantina Hewan BBKP Tanjung Priok. Sebanyak 100 sampel
darah diambil dari bulan Juli dan Agustus 2014 dengan metode acak sederhana di
lima daerah Instalasi Karantina Hewan (IKH) yaitu feedlot di Cianjur, Bogor,
Tangerang, Bandung, dan Subang. Kelima wilayah ini merupakan daerah kerja
karantina hewan Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok. Pengujian darah
terhadap virus BVD dilakukan dengan menggunakan enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA) antibodi sebagai uji screening awal dan apabila
didapatkan hasil positif dilanjutkan ke uji ELISA antigen.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa 63% (63 dari 100 sampel) positif pada
uji ELISA antibodi. Faktor risiko yang terkait dengan penyebaran penyakit BVD
selama dalam masa pemeliharaan dan penggemukkan dalam penelitian adalah
penerapan biosekuriti pada peternakan (OR=3.316; CI=1.380-7.967) dan
pengelolaan limbah kandang dalam peternakan (OR=2.667; CI=1.105-6.434).
Kata kunci: BVD, ELISA, faktor risiko


\

SUMMARY
ADITYA PRIMAWIDYAWAN. Study of Bovine Viral Diarrhea (BVD) in
Cattle Imports at Tanjung Priok Port. Supervised by AGUSTIN INDRAWATI
and DENNY WIDAYA LUKMAN.
Bovine viral diarrhea (BVD) is the most prevalent infectious disease of
cattle. It causes financial losses from a variety of clinical manifestations and is the
subject of a number of mitigation and eradication schemes around the world. The
pathogenesis of BVD infection is complex, with infection pre and post gestation
leading to different outcomes. Infection of the dam during gestation results in fetal
infection, which may lead to embryonic death, teratogenic effects or the birth of
persistenly infected (PI) calves. PI animal shed BVD in their excretions and
secretions troughout life and are the primary route of transmissions of the virus.
The aim of this study was to perform serological study on BVD and to
identify risk factors of keeping imported beef cattle in barns as a source of disease
spread. This study was expected to provide information on effective prevention in
the spread of BVD in imported beef cattle from Australia in the Animal
Quarantine Installation (AQI) at the Agency for Agriculture Quarantine (BPKP),

Tanjung Priok. Total of 100 blood samples was collected between July and
August 2014 using simple random method in five regions under supervision of
BPKP Tanjung Priok, i.e., Cianjur, Bogor, Tangerang, Bandung, dan Subang.
The samples were tested using antibody enzime-linked immunosorbent assay
(antibody ELISA) as initial screening and the positive results would be tested
using antigen ELISA.
The study showed that 63.0% (63 of 100 samples) were positive in
antibody ELISA but those were negative in antigen ELISA. The risk factors
which were related to the BVD occurance involved implementation of farm
biosecurity (OR=3.316; CI=1.380-7.967) and waste management (OR=2.667;
CI=1.105-6.434).
Key words: BVD, ELISA, risk factors

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KAJIAN PENYAKIT BOVINE VIRAL DIARRHEA (BVD)
PADA SAPI POTONG IMPOR DI PELABUHAN
TANJUNG PRIOK

ADITYA PRIMAWIDYAWAN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


Penguji dari luar komisi: Dr Drh Trioso Purnawarman, MSi.

Judul Tesis : Kajian Penyakit Bovine Viral Diarrhea (BVD) pada Sapi Potong
Impor Di Pelabuhan Tanjung Priok.
Nama
: Aditya Primawidyawan
NIM
: B251130194

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Drh Agustin Indrawati, MBiomed.
Ketua

Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi.
Anggota

Diketahui oleh


Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi.

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr.

Tanggal Ujian:
(16 Februari 2015)

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
mengaruniakan berkat anugerah dan kesempatan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan tesis ini. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan
sejak bulan Agustus sampai Desember 2014 ialah Kajian Penyakit Bovine Viral

Diarrhea (BVD) pada Sapi Potong Impor di Pelabuhan Tanjung Priok.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr Drh
Agustin Indrawati, MBiomed. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr med vet
Drh Denny Widaya Lukman, MSi. selaku Ketua Program Studi Kesehatan
Masyarakat Veteriner dan Anggota komisi pembimbing, serta seluruh staf
pengajar pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner yang telah
membimbing, mengarahkan, membantu dan memberikan saran kepada penulis.
Penulis juga menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada Badan
Karantina Pertanian yang telah memberikan beasiswa serta tugas belajar sehingga
penulis dapat menempuh pendidikan magister pada Program Studi Kesehatan
Masyarakat Veteriner Institut Pertanian Bogor. Kepada Kepala Badan Karantina
Pertanian, Kepala Balai Besar Karantina Pertanian (BBKP) Tanjung Priok beserta
pejabat struktural, fungsional dan staf yang telah memberikan ijin penelitian dan
membantu baik materi maupun tenaga serta dorongan semangat hingga
terselesaikannya tesis ini.
Selain itu penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Ayah, Ibunda,
Adik-adik atas perhatian, pengertian dan kasihnya selama ini.
Ucapan terimakasih juga diberikan kepada Kepala Departemen IPHK FKH
IPB beserta staf yang telah memberikan waktu, tenaga dan kesabarannya pada
penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Kepada staf laboratorium BBKP Tanjung

Priok Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian BBUSKP Rawamangun,
Jakarta atas bantuan dan arahannya selama ini. Ungkapan terima kasih
disampaikan juga kepada teman-teman Program Khusus S2 Karantina, atas
dukungan dan kerjasamanya selama ini.

Bogor, Februari 2015

Aditya Primawidyawan

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN


vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA (OPSIONAL)

1
Error! Bookmark not defined.
Error! Bookmark not defined.
Error! Bookmark not defined.
Error! Bookmark not defined.
Error! Bookmark not defined.
3

3 METODE
Bahan

Alat
Prosedur Analisis Data

1
Error! Bookmark not defined.
Error! Bookmark not defined.
Error! Bookmark not defined.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan
Panduan Teknis Penulisan

Error! Bookmark not defined.
Error! Bookmark not defined.
Error! Bookmark not defined.
Error! Bookmark not defined.

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

Error! Bookmark not defined.
Error! Bookmark not defined.
Error! Bookmark not defined.

DAFTAR PUSTAKA

Error! Bookmark not defined.

LAMPIRAN

13

RIWAYAT HIDUP

15

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Jumlah dan frekuensi pemasukan sapi potong import Australia
1
Data distribusi rancangan sampling BBKP Tanjung Priok
7
Hasil pengujian serologis BVD dengan ELISA antibodi
10
Hasil pengujian serologis BVD dengan ELISA antigen
11
Kelompok faktor program biosecurity dengan hasil ELISA antibod 13
Nilai OR dari faktor program biosecurity dengan hasil ELISA
antibodi
14
7. Kelompok faktor pengolahan limbah dengan hasil ELISA antibodi 15
8. Nilai OR dari faktor pengolahan limbah dengan hasil ELISA
antibodi
15
9. Kelompok faktor pelaporan kasus dengan hasil ELISA
antibodi
16
10. Nilai OR dari faktor pelaporan kasus dengan hasil ELISA
antibodi
16
11. Kelompok faktor pengobatan hewan dengan hasil ELISA
antibodi
17
12. Nilai OR dari faktor pengobatan dengan hasil ELISA
antibodi
17
13. Kelompok faktor air minum dengan hasil ELISA antibodi
18
14. Nilai OR dari faktor air minum dengan hasil ELISA antibodi
18
15. Kelompok faktor penanggung jawab dengan hasil ELISA antibodi
19
16. Nilai OR dari faktor penanggung jawab dengan hasil ELISA antibodi
20
17. Kelompok faktor kerapatan kandang dengan hasil ELISA antibodi
20
18.Nilai OR dari faktor kerapatan kandang dengan ELISA antibodi
20

DAFTAR GAMBAR
1. Penyebaran bovine viral diarrhea (OIE) 2013
2. Alur pengambilan sampel serum darah (Sudarisman 2011)

DAFTAR LAMPIRAN

4
7

1. PENDAHULUAN

Indonesia memiliki sumber daya alam yang cukup melimpah dan berpotensi
dalam sektor peternakan. Sektor peternakan memiliki peranan penting dalam
meningkatkan gizi masyarakat melalui penyediaan protein hewani. Kebutuhan
protein hewani salah satunya dapat terpenuhi dengan mengonsumsi daging.
Menurut laporan Badan Pusat Statistika (BPS) (2013), rata-rata konsumsi protein
daging per kapita per hari masyarakat Indonesia pada tahun 2011 sebesar 2.76
gram dan nilai ini meningkat pada tahun 2012 menjadi sebesar 2.92 gram.
Peningkatan permintaan protein hewani dalam beberapa tahun terakhir ini
disebabkan oleh meningkatnya jumlah penduduk, pendapatan dan kesadaran
masyarakat untuk mengonsumsi pangan bergizi tinggi. Hal ini disebabkan oleh
naiknya tingkat pendidikan rata-rata penduduk, serta perubahan gaya hidup
sebagai arus globalisasi dan urbanisasi (Ajid 2004).
Kebutuhan daging sapi dan kerbau Indonesia pada tahun 2012 untuk konsumsi
sebanyak 484 ribu ton. Kebutuhan tersebut baru bisa dicukupi dari pemotongan
sapi lokal sebanyak 399 ribu ton (82.5%), sehingga masih kurang terdapat
kekurangan penyediaan sebesar 85 ribu ton (17.5%). Salah satu cara untuk
memenuhi kekurangan tersebut adalah dengan melakukan impor sapi potong dari
Australia (Ditjen PKH 2012). Jumlah dan frekuensi sapi potong impor dari
Australia yang melalui pelabuhan Tanjung Priok dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Jumlah dan frekuensi pemasukan sapi potong impor dari Australia yang
melalui Pelabuhan Tanjung Priok (2013)
Tahun 2011

Tahun 2012

Tahun 2013

Jumlah

Frekuensi

Jumlah

Frekuensi

Jumlah

Frekuensi

180 472

81

129 916

88

176 327

140

Dalam melaksanakan impor sapi potong, adanya penyakit pada ternak dapat
menjadi ancaman. Salah satu ancaman penyakit hewan yang dapat menghambat
pertumbuhan populasi dan produktivitas ternak sapi yaitu bovine viral diarrhea
(BVD). Menurut Office International des Epizooties (OIE) BVD merupakan
penyakit yang berpotensi membahayakan perdagangan internasional.
Badan Karantina Pertanian berperan aktif dalam program swasembada
daging, dengan cara mencegah masuk dan tersebarnya Hama Penyakit Hewan
Karantina (HPHK) dan mempertahankan wilayah Republik Indonesia dari status
bebas HPHK tersebut. Pelaksanaan tindakan karantina untuk pemasukan sapi dari
luar wilayah Negara Republik Indonesia harus dilakukan melalui penanganan dan
pemeriksaan yang ketat terhadap ruminansia besar.
Beberapa HPHK pada sapi yang dapat mengganggu reproduksi dan/atau
penurunan produksi dan berpotensi menghambat pencapaian swasembada perlu
diwaspadai penyebarannya antara lain infectious bovine rhinotracheitis (IBR),
brucellosis, dan bovine viral diarrhea (BVD). Tindakan karantina terhadap media
pembawa HPHK tersebut khususnya sapi yang dilalulintaskan ke dalam wilayah

2
Negara Republik Indonesia dan antar area telah dilakukan tindakan karantina di
tempat pemasukan dan tempat pengeluaran maupun di instalasi karantina hewan.
(Pusat KHH 2012).
Bovine viral diarrhea (BVD) berdasarkan Lampiran I Keputusan Menteri
Pertanian Nomor 3238/ Kpts/ PD. 630/ 9/ 2009 tentang Penggolongan Jenis-Jenis
Hama Penyakit Hewan Karantina, BVD termasuk dalam HPHK Golongan II,
yang berarti bahwa HPHK tersebut telah dilaporkan ada di Indonesia (Pusat KHH
2012).
Perumusan Masalah
Penyakit BVD telah bersifat endemik di Indonesia dengan tingkat prevalensi
reaktor yang bervariasi dan di beberapa daerah cukup tinggi. Penyakit BVD di
Indonesia pertama kali terjadi pada tahun 1988 dan menyerang sapi Bali,
Brahman, Brahman Cross, Peranakan Ongole (PO) jantan maupun betina dari
semua umur. Virus BVD memiliki morbiditas yang tinggi tetapi mortalitasnya
sangat rendah. Pada tahun 2006 dilaporkan terjadi kasus BVD sebesar 1190 di
Indonesia. Sudarisman (2011) menjelaskan bahwa dalam uji serologis ELISA
terhadap serum serum sapi di berbagai daerah di Indonesia diketahui sebesar 37%
sapi memiliki antibodi terhadap BVD. Kerugian ekonomi akibat penyakit BVD
antara lain berupa gangguan reproduksi, hambatan pertumbuhan, menurunnya
berat badan serta kematian. Pemerintah Indonesia harus perhatian khusus untuk
mengatasi penyakit BVD ini demi ketahanan pangan dan terciptanya swasembada
daging di negara Indonesia. Deteksi terhadap adanya hewan penular BVD
(persistenly infection) sangat diperlukan sehingga diharapkan pencegahan yang
efektif dalam penyebaran penyakit BVD pada sapi potong impor asal Australia di
feedlot Instalasi Karantina Hewan BBKP Tanjung Priok. Penelitian ini diharapkan
memberikan kontribusi dalam hal pencegahan penyakit BVD ini menyebar di
feedlot.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan suatu kajian serologis tentang
penyakit BVD. serta mendeteksi adanya kaitan pemeliharaan kandang sebagai
faktor risiko sumber penularan penyakit BVD pada sapi potong impor.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pencegahan yang
efektif dalam perkembangan penyakit BVD pada sapi potong impor asal Australia
di feedlot Instalasi Karantina Hewan BBKP Tanjung Priok. Selain itu memberikan
informasi perkembangan penyakit BVD pada sapi potong impor asal Australia di
daerah Jawa Barat dan Banten.

3

2. TINJAUAN PUSTAKA
Etiologi
Terdapat dua spesies dari virus BVD yang telah ditemukan yaitu BVD–1
dan BVD–2. BVD–1 terdistribusi di seluruh dunia dan memiliki subspesies yang
beragam sedangkan BVD–2 telah dilaporkan ditemukan di Eropa. Penyakit yang
disebabkan oleh BVD–1 cenderung tidak parah, sedangkan infeksi BVD–2
biasanya menyebabkan wabah penyakit yang lebih parah yaitu diare haemoragi
akut serta kematian. Virus BVD dapat diklasifikasikan dalam biotipe sebagai
sitopatik (cp) dan non-sitopatik (ncp) dalam hal dapat diamati atau tidak dapat
diamati perubahan sitopatik pada biakan sel yang terinfeksi (Cornish 2005).
Hanya biotipe ncp dari virus BVD dapat membentuk infeksi persisten pada janin
diawal kehamilan. Janin tersebut dapat dilahirkan tetapi tetap terinfeksi. Sapi yang
terinfeksi ncp dari virus BVD dapat mengembangkan penyakit mukosa yang fatal,
ditandai dengan adanya lesi yang luas dalam saluran pencernaan. Strain ncp
mampu menghasilkan infeksi secara terus menerus pada ternak dan biotipe ini
paling umum berada di alam. Lain halnya dengan ncp dari virus BVD, virus BVD
sitopatik gagal untuk membangun rantai infeksi dan tidak dapat menyebabkan
infeksi persisten (Fulton et al. 2006).

Patogenesis
Penyakit BVD dapat menyebar diantara individu sebagai suatu infeksi akut.
Inang yang menderita infeksi persisten bertindak sebagai reservoir utama. Inang
yang menderita infeksi persisten ini menyebarkan konsentrasi virus yang lebih
tinggi dibandingkan dengan hewan yang terinfeksi secara akut dan akan tetap
menyebarkan virus seumur hidupnya. Inang yang terinfeksi mengekskresikan
virus dalam berbagai sekresi cairan. Virus masuk ke dalam tubuh melalui leleran
kemudian masuk ke dalam saluran limfatik dan aliran darah sehingga terjadi
viremia yang berlangsung 15–60 hari setelah infeksi. Virus bersifat imunosupresif
menyebabkan penurunan limfosit T. Virus mengakibatkan timbulnya kerusakankerusakan sel epitel pada mukosa saluran pencernaan. Pada hewan yang bunting
virus ini menyebabkan plasentitis yang diikuti oleh infeksi pada fetus, kemudian
diikuti abortus atau kelahiran anak yang abnormal (Middleton 2006).

Epidemiologi
Penyakit BVD ini merupakan penyakit menular pada ternak dengan
distribusi yang menyebar di seluruh dunia. Populasi ternak yang berisiko sebagai
hewan carrier hanya sekitar 1%. Penanganan manajemen populasi ternak dalam
hal hewan dengan infeksi persisten adalah hal kritis yang mempengaruhi
penyebaran infeksi, perkembangan imunitas dan keberadaan penyakit dalam
kawanan ternak (Lanyon et al. 2014).

4
Menurut Hardjopranoto (1995), kejadian BVD pada sapi sudah tersebar
diseluruh dunia dan sangat menular dengan prevalensi 50-70% sapi mempunyai
antibodi BVD pada daerah tertular enzootik. Sapi pada semua umur dapat
terserang terutama sapi berumur 8 bulan sampai 2 tahun. Sapi muda sampai umur
± 8 bulan sampai 2 tahun masih terlindungi antibodi maternal sehingga memiliki
sistem kekebalan terhadap penyakit yang baik. Sapi yang mempunyai antibodi
yang rendah baik sapi tua atau muda serta sapi yang mengalami immunosupresi
seperti sapi bunting sangat rentan terhadap infeksi BVD. Peta kejadian BVD per
Januari - Juli 2013 dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Penyebaran bovine viral diarrhea (BVD) menurut OIE 2013
(Sumber http://web.oie.int/wahis/public.php)

Salah satu karakter spesifik dalam pathogenesis BVD adalah adanya
persisten infections (PI). Hewan yang terinfeksi secara persisten merupakan
reservoir dan sumber penularan penyakit. Hewan dengan PI dapat mengeluarkan
berjuta-juta virus per harinya. Kontak dengan hewan PI akan sangat beresiko
dalam perpindahan/ transmisi dan menyebabkan penyakit dibandingkan dengan
kejadian penyakit secara akut (Lanyon et al. 2014).
Jika dibandingkan dengan infeksi transien (penyakit mukosa dan infeksi
akut), infeksi persisten (infeksi kronis) adalah “life long infection” yang terjadi di
uterus pada saat bunting (fetal infection). Infeksi pada saat sapi bunting inilah
yang menyebabkan anak sapi yang dilahirkan akan terkena infeksi secara
persisten. Secara statistik, hanya < 5% infeksi BVD yang mengalami infeksi
persisten, namun hewan dengan infeksi persisten inilah yang merupakan sumber
dari penyebaran virus. Dari data > 90% pedet yang mengalami infeksi persisten
adalah lahir dari induk yang normal (Littlejohns 1990). Kemungkinan hewan
infeksi persisten yang terlihat sehat dan berada dalam populasi ternak sapi adalah
50% (subklinis). Sapi dengan infeksi persisten terlihat sehat tetapi dapat
menyebarkan (shedding) virus dalam titer tinggi melalui sekresi atau ekskresi
(sekresi mata, urin, dan feses), sehingga pengujian laboratorium sangat disarankan
(Lanyon et al. 2014).

5
Menurut Buhman et al. (2007), penyakit infeksi pada hewan dapat
menyebar dalam suatu peternakan melalui berbagai cara, antara lain melalui:
1. Hewan yang terinfeksi atau hewan sehat dalam masa inkubasi suatu penyakit
sehingga tidak memperlihatkan gejala klinis.
2. Hewan yang sudah sehat setelah sembuh dari penyakit akan tetapi menjadi
carriers.
3. Alat angkut, peralatan, pakaian, dan sepatu pengunjung atau pekerja yang
menangani hewan di dalam peternakan.
4. Kontak dengan benda-benda yang terkontaminasi oleh agen penyakit.
5. Hewan mati yang tidak ditangani secara benar.
6. Tempat pakan, khususnya tempat pakan yang berisiko tinggi dapat
terkontaminasi oleh feses.
7. Sumber air yang tidak baik.
8. Penanganan limbah kotoran ternak dan debu dari kotoran.
9. Adanya hewan lain (kuda, anjing, kucing, hewan liar, rodensia, burung dan
serangga).
Cara penularan penyakit BVD ke hewan atau ternak lain dapat melalui
penularan secara vertikal dan horizontal. Penularan vertikal yang dimaksud
adalah jika perpindahan penyakit melalui induk kepada fetus. Beberapa jalur
transmisi vertikal menurut Middleton (2006) adalah :
a) Kebuntingan alami pada hewan dengan PI, jika seekor sapi telah
mengalami PI, maka dia akan dapat menginfeksi fetus yang dikandungnya.
b) Semen yang terkontaminasi, bahwa infeksi pada pejantan akan
menyebabkan infeksi pada fetus yang dihasilkannya.
c) Embrio transfer (ET), yaitu jika ET dilakukan pada sapi yang terinfeksi,
maka embrio yang ditanam akan terinfeksi pula.
d) Modified live vaccine. Vaksinasi pada sapi bunting dengan vaksin hidup
dapat menyebabkan infeksi pada fetus.
Cara penularan secara horizontal meliputi kontak antara hewan dengan
sekresi, eksresi maupun dengan perantara vektor yang terdapat dalam kandang.
Faktor-faktor penyebab transmisi horisontal menurut Middleton (2006) yaitu :
1) Vomites yaitu penyebaran penyakit melalui pakan, peralatan pakan dan
minum atau bahkan karena penularan dari peralatan pekerja kandang.
2) Lingkungan, yaitu dari sekresi atau ekskresi (sekresi mata, urin, feses dan
mukus) dimana virus dapat bertahan di lingkungan berminggu-minggu.
Kebanyakan kasus transmisi ini adalah secara oronasal. Kandang hewan
bunting dan padatnya populasi kandang dapat menjadi predisposisi
tingginya penularan melalui transmisi ini.
3) Vektor penyebaran melalui lalat jenis stable flies, head flies, face flies
dan horse flies merupakan vektor pada penularan penyakit ini, contoh
lalat pada kuda dan lalat kandang.
Situasi Penyakit BVD di Australia
Situasi bovine pestivirus sebagai agen patogen dari bovine viral diarrhea
(BVD) telah ada di seluruh dunia termasuk di Australia. Rata-rata kejadian lebih
banyak terjadi di wilayah Utara Australia dan wilayah-wilayah dengan populasi
kawanan ternak lebih luas (Littlejohns 1990). Prevalensi titer antibodi terhadap

6
bovine pestivirus (71%-88%) dilaporkan lebih dari 20 tahun di Northern Australia
dengan tingkat kejadian 40%-92%. Prevalensi tinggi (80%-100%) akan konsisten
dengan adanya sapi PI dan infeksi endemik pada populasi ternak dan akan
menurun (0%-45%) jika ada penanganan tepat pada transmisi horizontal dan
pencegahan pada hewan bunting (Littlejohns 1990).
Keberadaan antibodi dalam serum merupakan refleksi dari kejadian infeksi
post natal yang tergambar jelas pada tempat/ wilayah dengan industri sapi yang
berkembang dengan baik. Suatu tes pada sapi dari wilayah Western Australia pada
tahun 1985 dalam rangka ekspor, terdapat sekitar 60% sapi dengan titer antibodi
(Littlejohns 1990). Di Australia dan New Zealand, semua strain BVD yang
ditemukan diyakini sebagai BVD Tipe I . BVD 1 muncul dan berkembang pada
seluruh wilayah pertumbuhan sapi dan merupakan jenis infeksi virus yang paling
penting di Australia (Cornish 2005).

3. METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2014 sampai dengan November
2014. Pengambilan sampel serum darah sapi impor dilakukan di beberapa feedlot
yang merupakan Instalasi Karantina Hewan Balai Besar Karantina Tanjung Priok
dan pengujian sampel dilakukan di Laboratorium Balai Besar UJi Standar
Karantina Pertanian Rawamangun, Jakarta.
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan berupa kit ELISA BVD antibodi dan antigen
(IDEXX), metanol (Merck no. 1.00983.2500), 20 mM tris-HCL (Merck no.
1.08382.0100), distilled water, tween 20 (Merck No. 8.22184.0500) serta 67 mM
fosfat buffer pH 7.2. Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu microtiter
plate, freezer (-60 °C), waterbath (40 °C dan 60 °C), ultra turrax, mikropipet
berukuran 20 μl -200 μl dan 200-1000 μl, vortex, shaker, ELISA reader
(Thermoscientific skanit software 2.5.1), evaporator dengan nitrogen. Peralatan
untuk mengukur hasil absorbansi spektrofotometer dengan mengatur beberapa
protokol (pada pengujian ini menggunakan protokol K junior Bio-Tek).
Pengukuran nilai absorbansi sampel pada 450 nm.
Metode Pengambilan Sampel
Sampel yang diambil adalah serum darah sapi impor dari Australia yang
masuk melalui Pelabuhan Tanjung Priok. Pengambilan sampel dilakukan secara
acak sederhana hingga jumlah sampel terpenuhi. Setiap anggota populasi di dalam
kerangka penarikan contoh diberi nomor 1, 2, 3, …, N, kemudian contoh dipilih
secara acak dari N anggota populasi tersebut. Pengacakan bisa menggunakan
daftar bilangan teracak (DBT), kalkulator, ataupun komputer.

7
Berdasarkan pertimbangan maka disepakati bahwa rancangan sampling
yang digunakan adalah kajian lintas seksional. Prevalensi 57% (hasil laporan
serologis positif BVD tahun 2012 oleh BPPV Subang) dan galat 10%, sehingga
besaran contoh penelitian sebesar 100 sampel. Berikut ini adalah diagram alur
pengambilan sampel untuk penelitian ini.
Pengambilan sampel dilakukan pada pemasukan sapi potong di akhir bulan
Juli- Agustus 2014. Daerah yang diambil sampel meliputi lima perusahaan feedlot
yang berada dalam daerah kerja dari BBKP Tanjung Priok. Instalasi karantina
Hewan yang diambil meliputi Bogor, Subang, Bandung, Cianjur dan Tangerang.
Jumlah sampel yang diambil dari tiap peternakan bergantung pada populasi sapi
potong impor yang dikirim oleh importir ke masing masing peternakan pada bulan
agustus 2014.

Koleksi Sampel
I
Koleksi
sampel

ELISA
Ag-ELISAAb

Negatif
Negatif

Positif
Positif

Sehat
SEHAT

Carrier
?
Carrier
Sehat Terinfeksi ?

Ag-ELISA
ELISA Ag
Paired Sampel
selang 21 hari

Hasil
ELISA
Koleksi
Sampel IIAb (+) di uji lanjut

Negatif
Negatif

Positif
Positif

Sehat
SEHAT

CARRIER

Carrier

Gambar 2 Alur pengambilan sampel serum darah uji BVD (Sudarisman
2011)
Jumlah yang dikirim ke masing masing peternakan dalam kisaran 3500 4000 ekor dengan jumlah total dalam bulan agustus untuk kelima daerah
peternakan mencapai 19289 ekor. Jumlah sampel setelah melalui pembagian
secara distribusi populasi didapat masing-masing wilayah diambil 20 sampel
dengan total 100 serum darah. Data distribusi sampling penelitian dapat dilihat
dari tabel 2.

8
Tabel 2 Data distribusi rancangan sampling pemantauan BBKP Tanjung Priok
Kabupaten
(Feedlot)

Tgl pemasukan

Populasi

Bogor

26 Agustus

3878

20

Subang

14 Agustus

3815

20

Bandung

29 Agustus

3836

20

Cianjur

21 Agustus

3887

20

Tangerang

13 Agustus

3873

20

19289

100

Jumlah

Jumlah sampel

Metode Pengujian
Metode pengujian dalam penelitian menggunakan uji enzyme linked
immunosorbent assay (ELISA) antibodi sebagai uji screening awal. Dalam
pengujian ini apabila didapatkan hasil positif, akan dilakukan pengujian lanjutan
dengan uji ELISA antigen. Prosedur uji ELISA untuk BVD yang dilakukan pada
sampel serum adalah sebagai berikut.
Preparasi dan distribusi sampel meliputi beberapa persiapan yaitu
penyiapan alat dan bahan untuk pengujian. Kit BVD antibodi diinkubasi pada
suhu 18–26 °C selama 1 jam. Setelah itu plate uji disiapkan, kemudian dilakukan
pengisian 100 μl sample diluents ke dalam tiap sumur. Empat sumur pada kolom
pertama microplate dikosongkan dari serum untuk dijadikan sumur kontrol positif
dan negatif. Sebanyak 25 μl kontrol negatif kemudian ditambahkan ke dalam
sumur A1 dan B1. Selanjutnya sebanyak 25 μl kontrol positif ditambahkan ke
dalam sumur C1 dan D1, sedangkan serum sampel dimasukkan ke dalam sumur
E1 sampai seterusnya sebanyak 25 μl sesuai pola yang telah dibuat. Setelah itu
dilakukan pengocokkan dan diinkubasi selama 90 menit pada suhu 18–26 °C.
Pencucian dengan menggunakan larutan pencuci (washing solution) sebanyak 300
μl dan dilakukan aspirasi sebanyak lima kali sampai menyentuh dinding sumur.
Sebanyak 100 μl reagent konjugat ditambahkan ke dalam tiap sumur dan
diinkubasi selama 30 menit pada suhu 18–26 °C, dilakukan kembali langkah dan
prosedur pencucian.
Sebanyak 100 μl Tetra Methyl Benzidine (TMB) substrat ditambahkan ke
dalam tiap sumur, kemudian microplate ditutup dengan alumunium foil dan
selama 10 menit diinkubasi pada suhu ruangan 18–26 °C di ruang gelap. Setelah
itu, dilakukan penambahan 100 μl stop solution untuk menghentikan reaksi dan
dilakukan pembacaan dengan menggunakan ELISA reader pada panjang
gelombang 450 nm.

9
Interpretasi Hasil ELISA Antibodi
Sampel dengan nilai sample value related to positive value (S/P) sebesar 0.3
atau lebih menunjukkan adanya antibodi terhadap BVD dan hasil uji berarti
positif. Perhitungan (S/P) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
(S/P) = Nilai sampel yang diuji optical density (OD) – nilai rataan kontrol negatif
Nilai rataan kontrol positif – nilai rataan kontrol negatif
Untuk sampel serum, plasma dan individual milk nilai (S/P) memiliki
beberapa interpretasi sebagai berikut :
< 0.20

= negatif

≥ 0.20 – 0.30

= suspect / terindikasi

> 0.30

= positif

Interpretasi Hasil ELISA Antigen
Sampel dengan nilai koreksi dari nilai rata rata optical density (OD) kontrol
positif dengan nilai rata rata optical density (OD) kontrol negatif atau (S – N)
sebesar 0.3 atau lebih menunjukan adanya antigen terhadap BVD dengan hasil uji
positif. Perhitungan (S - N) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Rumus S-N = Sampel (PCx) – (NCx)
PCx
= nilai rata rata optical density (OD) kontrol positif
NCx
= nilai rata rata optical density (OD) kontrol negatif
Untuk sampel serum, plasma dan individual milk nilai (S-N) memiliki
interpretasi sebagai berikut :
< 0.30

= negatif

> 0.30

= positif

Kuesioner
Kuesioner terkait faktor risiko penyebaran di kandang instalasi karantina
hewan dengan hasil deteksi serologis penyakit BVD meliputi, beberapa
pertanyaan kepada tiap-tiap perusahaan swasta yang memiliki instalasi karantina
hewan meliputi hal sebagai berikut, program biosekuriti, pengelolaan limbah
ternak, sistem pelaporan adanya kasus, penanganan pada hewan diare, sumber air
yang diminum, penanggung jawab peternakan, dan kerapatan hewan per kandang
di kandang isolasi Instalasi Karantina Hewan (IKH).

10
Analisis Data
Data - data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisa secara deskriptif.
Kuesioner dianalisis dengan analisis pengukuran asosiasi menggunakan odds ratio
(OR), terkait faktor risiko penyebaran di kandang instalasi karantina hewan
dengan hasil deteksi serologis penyakit BVD. Odds ratio merupakan suatu ukuran
dalam statistik yang sering digunakan untuk mengetahui seberapa besar kontribusi
faktor faktor terhadap frekuensi kejadian penyakit (Mc Gowan et al., 2008).

11
4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengujian Serum Darah Sapi dengan Menggunakan Metode ELISA
Antibodi dan Antigen
Penelitian ini memeriksa serum sapi potong impor asal Australia yang
diperiksa berjumlah 100 sampel dan berasal dari instalasi karantina hewan
didalam peternakan feedlot di Cianjur, Bogor, Tangerang, Bandung, dan Subang.
Jumlah sampel yang diambil dari tiap peternakan bergantung pada populasi sapi
potong impor yang dikirim oleh importir ke masing masing peternakan pada bulan
agustus 2014. Hal ini berkaitan dengan penyediaan stok persediaan sapi potong
dalam menghadapi acara Idul Adha atau hari raya kurban. Jumlah yang dikirim ke
masing masing peternakan dalam kisaran 3500 – 4000 ekor dengan jumlah total
dalam bulan agustus untuk kelima daerah peternakan mencapai 19500 ekor.
Jumlah sampel setelah melalui pembagian secara distribusi populasi didapat
masing-masing wilayah diambil 20 sampel serum darah.
Berdasarkan uji serologis dengan ELISA, semua instalasi karantina hewan
didalam peternakan feedlot menunjukkan hasil positif. Hasil pengujian serologis
terhadap antibodi BVD didapat total rata-rata persentase positif mencapai 63%
sedangkan total rata-rata negatif 37%. Daerah instalasi peternakan sapi yang
mempunyai persentase positif tertinggi adalah daerah Tangerang dengan nilai
75%. Subang merupakan daerah instalasi peternakan yang mempunyai persentase
positif paling rendah dengan nilai 50%. Daerah Tangerang dalam pengamatan
langsung dilapangan banyak ditemukan kandang yang kotor, tidak adanya
pengaturan pembuangan limbah yang baik dan kurangnya persiapan dalam hal
penerimaan sapi impor yang datang ke IKH. Kontruksi kandangnya yang ada di
feedlot daerah Tangerang kurang memadai dalam hal letak kandang sapi isolasi
yang terlalu dekat dengan kandang pemeliharaan.
Keadaan kandang IKH di Subang lebih terlihat bersih dan baik dalam hal
pemisahan hewan yang baru datang dengan hewan yang sudah lama dan adanya
pengaturan pembuangan limbah yang rutin diawasi oleh petugas kandang.
Kontruksi kandangnya yang ada di feedlot daerah Subang lebih memadai dalam
hal letak kandang sapi isolasi yang terpisah dengan kandang pemeliharaan. Hal ini
dapat menjadi salah satu penyebab menyebarnya virus BVD lebih tinggi di
Tangerang daripada di Subang. Hasil persentase nilai positif antibodi BVD pada
sapi potong impor yang diuji menggunakan metode ELISA disajikan pada Tabel
3.
Tabel 3 Hasil pengujian serologis BVD dengan ELISA antibodi
Daerah
Jumlah
Positif
Negatif
Persentase Persentase
peternakan
sampel
positif (%) negatif (%)
Cianjur
20
13
7
65
35
Bogor
20
14
6
70
30
Tangerang
20
15
5
75
25
Bandung
20
11
9
55
45
Subang
20
10
10
50
50
Total
100
63
37
63
37

12
Pada penelitian ini tidak terdapat dokumen yang menyatakan bahwa sapi
potong impor ini bebas vaksinasi BVD. Oleh karena itu diperlukan uji screening
dan uji konfirmasi untuk mendeteksi penyakit BVD untuk lebih meyakinkan
proses pemeriksaannya. Antibodi yang terdeteksi terhadap virus BVD pada sapi
ternak sapi potong di daerah peternakan dapat terjadi karena adanya infeksi alami
pada waktu masa pemeliharan/penggemukkan di kandang. Penyebaran penyakit
terjadi secara langsung melalui kontak dengan hewan yang terinfeksi terutama
yang mengalami infeksi persisten, sedangkan secara tidak langsung melalui
makanan yang tercemar urin, feses, sekresi oronasal atau dari cairan fetus yang
mengalami abortus (Muhammad et al. 2004). Penularan dapat dibawa antar
peternakan oleh petugas yang secara langsung kontak dengan sapi yang terinfeksi.
Infeksi terjadi sangat cepat anta sapi yang peka melalui kontak langsung, tetapi
tanda klinis yang terlihat tidak jelas yang disertai dengan masa inkubasi penyakit
yang tidak teratur (Kahrs 2005).
Tingginya titer antibodi pada sampel sapi potong impor asal Australia yang
diperiksa ini berbanding lurus dengan tingginya tingkat prevalensi di negara
Australia. Tingkat prevalensi antibodi pada ternak di Australia adalah sekitar 60%
sementara lebih dari 80% ternak telah terinfeksi penyakit BVD (Littlejohns 1990).
Pada tahun 2006 dilaporkan terjadi kasus BVD sebesar 1190 di Indonesia (OIE
2006). Sudarisman (2011) menjelaskan bahwa dalam uji serologis ELISA
terhadap serum serum sapi di berbagai daerah di Indonesia diketahui sebesar 37%
sapi memiliki antibodi terhadap BVD. Prevalensi titer antibodi terhadap bovine
pestivirus (71%-88%) dilaporkan lebih dari 20 tahun di Northern Australia
dengan tingkat kejadian 40%-92% (Bedekovic et al. 2012).
Tabel 4 menunjukkan hasil dari 63 sampel serum darah sapi yang positif itu
setelah dilakukan metode lanjutan adalah negatif. Dengan perincian kasus positif
antibodi paling tinggi di daerah Tangerang dengan 15 sampel serum dan yang
terrendah pada daerah Subang dengan 10 sampel serum. Uji ELISA antigen dapat
digunakan untuk mengetahui (screening) awal dalam mencari hewan yang
mengalami infeksi persisten sebagai hewan penular utama dalam penyebaran
penyakit BVD dalam kandang peternakan (Burgess 1995). Uji ini merupakan
terobosan terbaru dalam mendeteksi awal keberadaan dari hewan infeksi persisten
yang terbukti akurat sebelum dilakukan uji polymerase chain reaction (PCR),
selain itu akan lebih efisien dalam waktu screening awal karena uji ini cepat dan
akurat (Lanyon 2014).
Tabel 4 Hasil pengujian serologis BVD dengan ELISA antigen
Daerah
Jumlah
Hasil
Persentase
Hasil
peternakan sampel
ELISA ab + (%)
ELISA ag
Cianjur
20
13
65
0
Bogor
20
14
70
0
Tangerang
20
15
75
0
Bandung
20
11
55
0
Subang
20
10
50
0
Total
100
63
63
0

Persentase
(%)
0
0
0
0
0
0

13
Menurut OIE (2008) uji ELISA antigen merupakan salah satu rujukan uji
diagnostik sebelum dilakukan pengujian PCR. Dengan mekanisme sebagai berikut
uji screening awal ELISA antibodi akan dilanjutkan ke metode uji ELISA antigen
apabila ditemukan hasil ELISA antibodi positif. Sampel yang positif ELISA
antibodi positif dilanjutkan ke metode uji ELISA antigen. Apabila ditemukan
hasil ELISA antigen yang positif maka perlu dilakukan pengujian pengambilan
menggunakan serum hewan sapi yang sama. Oleh karena itu diperlukan isolasi
dan penandaan (marker) yang mudah diaplikasikan dalam pengambilan sampel
serum darah selanjutnya (Sudarisman 2011).
Kerugian yang ditimbulkan selain akibat infeksi virus BVD, juga akibat
penyakit infeksius yang lain. Infeksi BVD dapat bersifat imunosupresif, sehingga
ternak yang terinfeksi oleh virus BVD akan mudah terkena penyakit lain terutama
pada ternak yang masih muda (Baker 1995). Sejak diketahui bahwa tidak adanya
terapi yang tepat pada hewan dengan kondisi tersebut, maka eliminasi berupa
pengeluaran hewan (culling) adalah hal yang harus dilakukan segera setelah
terdeteksi. Selain itu, transmisi BVD dari hewan satu ke hewan yang lain sebagian
besar disebabkan oleh sumber penularan dari hewan persistent infection (PI) yang
selalu mengeluarkan virus (shedding) selama hidupnya (Lanyon 2014).
Menurut Negrón et al. (2011), risiko utama penularan virus BVD pada
peternakan sapi yaitu memasukkan ternak sapi baru dengan status BVD yang
tidak diketahui. Penularan penyakit ini terjadi akibat sifat penyakit (persistently
infected/PI) dan juga hewan yang baru masuk peternakan dalam keadaan infeksi
akut sehingga dapat mengeluarkan virus. Oleh sebab itu, pemeriksaaan
laboratorium untuk mendiagnosa penyakit eksotik sangat penting dilakukan.
Pemeriksaan laboratorium untuk deteksi dini penyakit merupakan tindakan untuk
memaksimalkan biosekuriti. Penerapan biosekuriti pada IKH perlu dilakukan
secara maksimal. Karantina pertanian merupakan institusi yang mempunyai tugas
melakukan tindakan karantina terhadap sapi impor dalam rangka pencegahan
penyakit di pintu pemasukan sebelum dilakukan pembebasan memerlukan petugas
yaitu dokter hewan dan paramedik yang profesional.
Pengaruh Faktor Program Biosekuriti dengan Hasil ELISA Antibodi Positif
Penyakit BVD
Pada kelompok faktor program biosekuriti dengan pengujian serum darah,
kelompok peternakan dibagi menjadi dalam kelompok biosekuriti buruk dan
kelompok biosekuriti baik. Tabel 5 menunjukkan kelompok biosekuriti yang
buruk memiliki nilai hasil positif ELISA antibodi sebesar 49 ekor (72.05%)
sedangkan dari kelompok biosekuriti yang baik mempunyai nilai yang lebih kecil
yaitu 14 ekor (43.75%). Jumlah Instalasi karantina hewan yang memiliki program
biosekuriti buruk mencapai 68 feedlot sedangkan yang sudah melalukan praktek
biosekuriti yang baik hanya 32 feedlot. Hal ini berakibat masih tingginya
prevalensi antibodi BVD dalam penelitian yang mencapai angka 63%. Program
biosekuriti yang banyak dilanggar meliputi kurangnya pengawasan lalu-lintas
hewan yang keluar masuk ke dalam peternakan dan masih rendahnya kesadaran
petugas kandang terhadap pentingnya sanitasi.

14
Tabel 5 Kelompok faktor program biosekuriti dengan hasil ELISA antibodi
positif pada sapi potong yang diimpor melalui Pelabuhan Tanjung Priok
Biosekuriti
Hasil ELISA antibodi
Jumlah
Positif
Negatif
Buruk
49 (72.05%)
19 (27.95%)
68
Baik
14 (43.75%)
18 (56.25%)
32
Jumlah
63 (63.00%)
37 (37.00%)
100
Tingginya jumlah feedlot yang kurang memperhatikan biosekuriti yang
meliputi kurangnya pengawasan isolasi hewan yang baru datang, kurangnya
pengawasan terhadap lalu lintas manusia maupun peralatan dan kurangnya
kebersihan kandang. Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan meliputi, isolasi
hewan yang memiliki gejala BVD dan setiap hewan yang memiliki kontak
langsung dengan hewan sakit. Disarankan bahwa perawatan untuk sapi bunting
dipisahkan dari hewan yang yang lain dan peralatan yang digunakan juga
dipisahkan. Sanitasi kandang dan lingkungan sekitar kandang adalah penting
untuk membantu mencegah penyebaran virus. Melakukan pembersihan rutin
dengan desinfektan terutama peralatan kandang akan dapat secara efektif
membunuh virus BVD dan untuk membantu mencegah penyebaran virus.
Langkah-langkah ini akan dapat membantu untuk memastikan kawanan ternak
dapat terhindar dari infeksi.
Program biosekuriti dalam peternakan memegang peranan penting dalam
penyebaran penyakit BVD hal ini dikarenakan, saat ini tidak ada perawatan efektif
yang tersedia untuk menyembuhkan BVD, perawatan alternatif antibiotik untuk
mengobati infeksi sekunder yang ditimbulkan misalnya pneumonia (Ellis 1998).
Biosekuriti adalah tindakan perlindungan dari efek yang merugikan dari
organisme seperti agen penyakit dan hama yang membahayakan bagi manusia,
hewan, tanaman dan lingkungan. Penerapan biosekuriti pada IKH sangat penting
dan perlu dilakukan secara ketat karena hal ini untuk melindungi manusia, hewan,
tumbuhan dan lingkungan termasuk industri peternakan dari ancaman masuknya
organisme yang tidak diinginkan dan dapat merugikan. Biosekuriti mempunyai
peranan antara lain mencegah penyebaran penyakit antar hewan, hewan ke
petugas, dan petugas ke hewan, serta mencegah masuknya agen penyakit
yangberasal dari lingkungan sekitar. Biosekuriti yang baik dapat mengurangi
jumlah kasus penyakit yang terjadi pada peternakan sapi antara lain
paratuberculosis, mycoplasmosis, salmonellosis dan bovine viral diarrhea
(Bowman 2001). Indikator biosekuriti yang digunakan pada penilaian tingkat
biosekuriti yaitu isolasi, kontrol lalu lintas, dan sanitasi (Jeffreys 1997). Isolasi
merujuk kepada penempatan hewan di dalam lingkungan yang terkontrol. Kontrol
lalu lintas mencakup lalu lintas masuk ke dalam peternakan maupun di dalam
peternakan. Sanitasi merujuk kepada disinfeksi material, manusia, dan peralatan
yang masuk ke lingkungan peternakan dan kebersihan personel peternakan (Yee
et al. 2009).
Biosekuriti merupakan cara yang murah, paling efektif untuk pengendalian
penyakit dan tidak akan ada program pencegahan penyakit yang berjalan dengan
baik tanpa adanya penerapan biosekuriti (Bowman 2001). OIE (2009) menyatakan
bahwa program biosekuriti yang baik adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk
mencegah dan meminimalkan rute transmisi penyakit oleh agen patogen

15
diantaranya adalah melalui hewan, hewan lain, manusia, peralatan, alat angkut,
udara, sumber air, dan pakan. Menurut NASDA (2001), biosekuriti adalah
tindakan yang sangat penting berupa strategi, usaha, rencana untuk melindungi
kesehatan manusia, hewan dan lingkungan dari bahaya biologi. Selanjutnya
menurut SEERAD (2006), biosekuriti adalah praktik manajemen yang potensial
untuk mengurangi masuk dan menyebarnya penyakit hewan yang disebabkan oleh
mikroorganisme patogen masuk ke peternakan dan mencegah masuk dan
tersebarnya penyakit hewan diantara peternakan. Larson (2008) menyatakan
bahwa biosekuriti adalah suatu tindakan untuk menjaga agar agen infeksius tidak
masuk ke dalam suatu peternakan, negara atau wilayah. Tindakan ini juga
bertujuan untuk mengendalikan penyebaran agen infeksius didalam suatu
peternakan. Menurut Wagner et al. (2011) tujuan biosekuriti adalah untuk
mengurangi risiko exposure (pendedahan) penyakit dan meningkatkan kekebalan
terhadap penyakit ketika hewan terdedah (exposed) oleh agen penyakit.
Hasil yang terlihat dalam Tabel 6, terlihat bahwa program biosekuriti yang
buruk akan berpeluang 3.316 kali lebih besar menimbulkan hasil ELISA antibodi
positif bila dibandingkan dengan peternakan yang memiliki program biosekuriti
yang baik (OR=3.316; CI=1.380-7.967).
Tabel 6 Nilai OR dari faktor program biosekuriti dengan hasil ELISA antibodi
positif pada sapi potong yang diimpor melalui Pelabuhan Tanjung Priok
No. Biosekuriti Positif
Negatif Nilai p
OR
CI 95%
1
Buruk
49
19
0.006
3.316
1.380-7.967
2
Baik
14
18
OR = Odds ratio ; CI 95% = Confidential interval 95%

Uji statistik proporsi terlihat berbeda nyata dan signifikan (nilai p hitung =
0.006) lebih kecil dari nilai p α uji = 0.05. Hasil ini menunjukkan ada asosiasi
antara faktor program biosekuriti yang ada pada peternakan dengan kejadian
penyakit BVD.
Pengaruh Faktor Pengolahan Limbah dengan Hasil ELISA Antibodi Positif
Penyakit BVD
Kotoran ternak merupakan media yang potensial untuk menularkan
penyakit. Banyak penyakit yang bisa ditularkan akibat kontaminasi feses antara
lain salmonellosis, paratuberculosis, bovine viral diarrhea (BVD) dan lain-lain.
Risiko penularan penyakit ke manusia akan semakin tinggi jika kotoran ternak ini
tidak dikelola dengan baik dan benar. Penyebaran kotoran (feses) sebagai salah
satu media penularan penyakit dapat terjadi akibat adanya petugas/pengunjung
dalam satu hari melakukan pengawasan lebih dari setengah area peternakan dan
tidak melakukan disinfeksi terhadap peralatan dan kendaraan yang digunakan.
Risiko juga dapat terjadi pada pengunjung dengan frekuensi kunjungan ke
peternakan lebih dari satu dalam sehari, selain itu penyebaran agen patogen pada
area peternakan dapat terjadi melalui fomite (Brennan et al. 2008).
Tabel 7 menunjukkan kelompok pengelolaan limbah yang buruk memiliki
nilai hasil positif ELISA antibodi sebesar 49 ekor (70.00%) sedangkan dari
kelompok pengelolaan limbah yang baik mempunyai nilai yang lebih kecil yaitu

16
14 ekor (46.67%). Jumlah Instalasi karantina hewan yang memiliki program
pengolahan limbah buruk mencapai 70 feedlot sedangkan yang sudah melalukan
program pengolahan limbah yang baik hanya 32 feedlot. Hal ini perlu
diperhatikan karena limbah dari sapi yang tidak tertangani dengan baik dapat
berpotensi menularkan penyakit BVD.
Tabel 7 Kelompok faktor pengolahan limbah dengan hasil ELISA antibodi
positif pada sapi potong yang diimpor melalui Pelabuhan Tanjung Priok
Pengolahan
Hasil ELISA antibodi
Jumlah
Limbah
Positif
Negatif
Buruk
49 (70.00%)
21 (30.00%)
70
Baik
14 (46.67%)
16 (53.37%)
30
Jumlah
63 (63.00%)
37 (37.00%)
100
Analisis kuesioner yang dilakukan dalam pembahasan pengolahan limbah
adalah meliputi penilaian saluran penampungan limbah, frekuensi pembersihan
limbah yang ada dalam kandang dan penanganan pemanfatan limbah. Kelompok
faktor pengelolaan limbah sapi di peternakan yang akan diuji asosiasi dengan
pengujian serum darah terbagi menjadi dua kategori yaitu kelompok pengelolaan
limbah buruk dan kelompok pengolahan limbah yang baik.
Tabel 8 menunjukkan bahwa pengelolaan limbah yang buruk akan berpeluang
2.667 kali lebih besar menimbulkan hasil ELISA antibodi positif bila
dibandingkan dengan peternakan yang memiliki pengelolaan limbah yang baik
(OR=2.667; CI=1.105-6.434). Pengolahan limbah kering yang baik dapat
memberikan solusi yang dapat digunakan untuk mengurangi risiko penyebaran
penyakit BVD. Pengolahan limbah dapat dilakukan dengan menerapkan
fermentasi anaerobik, pembuatan kompos, dan pembakaran langsung. Kompos
dibuat dengan memanfaatkan degradasi limbah organik, proses biodegradasi
memakan waktu 4-6 minggu dan menghasilkan kompos yang tidak berbau, tekstur
halus, kandungan air rendah (Kelleher et al. 2002). Limbah cair di IKH yang
diamati dibuang dengan cara dialirkan ke kolam penampungan dan belum diolah
lebih lanjut. Limbah cair dapat diolah dengan cara menerapkan digesti anaerobik
yang kemudian akan menghasilkan biogas. Biogas ini dapat bermanfaat sebagai
sumber energi alternatif selain dari sumber energi karbon (Kelleher et al. 2002)
Tabel 8 Nilai OR dari faktor pengolahan limbah dengan hasil ELISA antibodi
positif pada sapi potong yang diimpor melalui Pelabuhan Tanjung Priok
No. Pengolahan Positif Negatif Nilai p
OR
CI 95%
limbah
1
Buruk
49
21
0.027
2.667
1.105-6.434
2
Baik
14
16
OR = Odds ratio ; CI 95% = Confidential interval 95%

Uji statistik proporsi terlihat berbeda nyata dan signifikan (nilai p hitung =
0.027) lebih kecil dari nilai p α uji = 0.05. Hasil ini menunjukkan ada asosiasi
antara faktor program pengolahan limbah yang ada pada peternakan dengan
kejadian penyakit BVD.

17
Pengaruh Faktor Pelaporan kasus dengan Hasil ELISA Antibodi Positif
Penyakit BVD
Tabel 9 Kelompok faktor pelaporan kasus dengan hasil ELISA antibodi positif
pada sapi potong yang diimpor melalui Pelabuhan Tanjung Priok
Pelaporan kasus
Hasil ELISA antibodi
Jumlah
Positif

Negatif

Tidak ada

21

9

30

Ada

42

28

70

Jumlah

63(63.00%)

37 (37.00%)

100

Analisis kuesioner yang dilakukan dalam pembahasan pelaporan kasus
adalah meliputi penilaian pada pencatatan recording kejadian penyakit terhadap
hewan sapi yang baru masuk. Kelompok faktor pelaporan kasus hewan sakit di
peternakan yang akan diuji asosiasi dengan pengujian seru