Studi Kasus Ketonuria Berdasarkan Urinalisis Semikuantitatif Strip-Test Pada Sapi Perah Di Peternakan Kunak Bogor

STUDI KASUS KETONURIA BERDASARKAN URINALISIS
SEMIKUANTITATIF STRIP-TEST PADA SAPI PERAH DI
PETERNAKAN KUNAK BOGOR

AHMAD RAJA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Kasus Ketonuria
Berdasarkan Urinalisis Semikuantitatif Strip-test pada Sapi Perah di Peternakan
KUNAK Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Ahmad Raja
NIM B04090036

ABSTRAK
AHMAD RAJA. Studi Kasus Ketonuria Berdasarkan Urinalisis Semikuantitatif
Strip-test pada Sapi Perah di Peternakan KUNAK Bogor. Dibimbing oleh R
PUTRATAMA AGUS LELANA.
Kesehatan hewan merupakan aspek penting dalam meningkatkan produksi
susu sapi perah. Salah satu tantangannya adalah bagaimana petugas di lapangan
dapat menerapkan pendiagnosaan secara praktis. Untuk itu dilakukan penelitian
berbasis studi kasus menggunakan urinalisis semikuantitatif strip-test terhadap 30
sapi perah di Peternakan KUNAK Bogor. Hasil pengamatan menunjukkan 2/30
hewan mengalami ketonuria. Mengingat ketonuria erat kaitannya dengan
penggunaan energi cadangan, dalam penelitian ini dilakukan pemeriksaan Body
Condition Score (BCS) dan pengukuran frekuensi pernapasan dan nadi. Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa sapi perah ketonuria memiliki nilai BCS 1.5
(kurus) dan peningkatan frekuensi pernapasan dan frekuensi nadi. Peningkatan
frekuensi pulsus dan nadi ini merupakan indikasi peningkatan metabolisme. Studi

kasus ini memberikan perspektif baru bahwa sapi perah kurus dapat mengalami
ketosis selain sapi perah gemuk. Dalam konteks ini urinalisis menggunakan striptest merupakan metode yang efektif untuk mendiagnosa status kesehatan hewan.
Adapun hewan yang mengalami gangguan keseimbangan energi beru ketonuria
perlu di antisipasi dengan perbaikan nutrisi.
Kata kunci: Ketonuria, Sapi Perah, BCS, Urinalisis Strip-test

ABSTRACT
AHMAD RAJA. Study Case of Ketonuria Base on Urinalysis Strip-test in Dairy
Cattle at KUNAK Bogor. Supervised by R PUTRATAMA AGUS LELANA.
Animal health is an important aspect for improving the milk production of
dairy cattle. One of the chalange is developing practical diagnostic’s method for
field personel. For this purpose we explore the power of semiquantitative
urinalysis striptest to diagnose the health status of 30 dairy cattle at KUNAK
Bogor. The test result obtained that 2/30 animals where positively ketonuria.
Because of ketonuria is closely related to energy, we examined Body Condition
Score (BCS) and measured the rate of respiratory and pulse. This positive
ketonuria’s dairy cattle were also have low value of BCS (1.5) foolowed by
increasing the rate of respiratory and pulse. This finding gave us new
information, that ketonuria not only seen in fat dairy cattle, but also in thin dairy
cattle. The increased of rate of espiration and pulse was conforming us that

animals have incerased metabolism activity. By this case urinalysis strip test is
effective method to diagnose animal health status. The finding of ketonuria
confimed us that the clinical nutrition improvement should be perfomed.
Keywords: Ketonuria, Dairy Cattle, BCS, Urinalysis Strip-test

STUDI KASUS KETONURIA BERDASARKAN URINALISIS
SEMIKUANTITATIF STRIP-TEST PADA SAPI PERAH DI
PETERNAKAN KUNAK BOGOR

AHMAD RAJA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2015

PRAKATA
Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian adalah Studi
Kasus Ketonuria Berdasarkan Urinalisis Semikuantitatif Strip-test pada Sapi
Perah di Peternakan KUNAK Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Pimpinan peternakan Peternakan KUNAK Bogor yang memberikan ijin
penelitian ini dilakukan di Peternakan KUNAK Bogor.
2. Pembimbing skripsi, Dr Drh R. P Agus Lelana Sp.MP, MSi yang telah
memberikan bimbingan dan arahan dalam pembuatan skripsi ini.
3. Dosen Penguji dan Dosen Moderator dalam seminar skripsi penulis, Drh
Retno Wulansari, Ph.D dan Drh Arif Purwo Mihardi.
4. Pembimbing Akademik, Dr Nastiti Kusumorini (Almh) yang telah
membimbing penulis selama masa perkuliahan.
5. Kedua orang tua Syarmen Nasution (Alm) dan Nelan (Ibu), kakak, adik
serta keluarga yang telah memberikan doa dan dukungannya.
6. Teman-teman Tingkat Persiapan Bersama dan teman-teman Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor yang telah menemani penulis
selama perkuliahan atas bantuan, saran dan motivasi selama berjuang

menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari penulisan karya ilmiah ini tidak luput dari kekurangan,
untuk itu penulis sangat berterima kasih atas kritik dan saran-saran yang bersifat
membangun dari semua pihak demi kesempurnaan karya ilmiah ini. Semoga karya
ilmiah ini bermanfaat.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015
Ahmad Raja

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
PENDAHULUAN

vi
vi
1

Latar Belakang


1

Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Sapi Perah Friesian Holstein

2

Status Produktivitas


3

Profil Frekuensi Napas dan Nadi

3

Profil Gizi Berdasarkan BCS

4

Ketosis

5

MATERI

5

Waktu dan Tempat


5

Bahan dan Alat

5

Prosedur

6

Pemeriksaan Fisik

6

Pemeriksaan Urin

6

Analisis Data


6

HASIL DAN PEMBAHASAN

6

Profil Ketonuria Berdasarkan Status Produktivitas

6

Profil Ketonuria Berdasarkan Nilai BCS

8

Profil Ketonuria Berdasarkan Frekuensi Nadi dan Napas

9

Patogenesis Ketonuria


9

SIMPULAN DAN SARAN

10

Simpulan

10

Saran

11

DAFTAR PUSTAKA

11

RIWAYAT HIDUP


14

DAFTAR TABEL
1
2
3

Profil status reproduktivitas dan ketonuria 30 sapi perah yang diamati di
Peternakan KUNAK Cibungbulang Bogor
Profil nilai BCS sapi perah yang mengalami ketonuria di Peternakan
KUNAK Cibungbulang Bogor
Profil frekuensi nadi dan napas sapi perah yang mengalami ketonuria di
Peternakan KUNAK Cibungbulang Bogor

7
8
9

DAFTAR GAMBAR
1
2
3

Sapi jenis Friesian Holstein
Ilustrasi penilaian BCS
Metabolisme Karbohidrat

2
4
8

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sapi perah Friesian Holstein (FH) merupakan ternak andalan dalam
memenuhi kebutuhan konsumsi susu segar di Indonesia yang semakin meningkat.
Keadaan ini perlu didukung dengan berbagai upaya untuk menjamin produksi
susu segar Indonesia terus meningkat. Salah satu caranya adalah dengan
meningkatkan efektivitas manajemen kesehatan sapi perah.
Berbagai metode dewasa ini terus dikembangkan untuk meningkatkan
efektivitas manajemen kesehatan sapi perah. Metode yang dapat digunakan adalah
dengan mengukur indeks kesehatan melalui pemeriksaan klinis secara praktis,
seperti pemeriksaan suhu tubuh, frekuensi pernapasan, frekuensi pulsus dan BCS.
Ternak dengan indeks kesehatan yang baik dapat dijadikan basis dalam
meningkatkan produksi susu segar secara optimal. Perubahan indeks kesehatan
ternak dapat mengindikasikan adanya penyakit atau gangguan metabolisme pada
sapi perah.
Pengidentifikasian gangguan metabolisme sapi perah oleh praktisi kesehatan
hewan sering menggunakan hasil pemeriksaan darah sebagai penguat diagnosis.
Metode ini membutuhkan waktu yang lama untuk memperoleh hasil pengamatan
darah dan dapat menyebabkan kongesti pembuluh darah saat pengambilan darah
untuk diamati. Metode urinalisis strip-test di Indonesia untuk mendeteksi adanya
gangguan metabolisme belum banyak dilakukan. Menurut Henry’s (2007),
urinalisis ini sangat mudah dilakukan dan hasilnya dapat diperoleh dalam waktu
yang singkat. Teknik ini dapat mendeteksi glukosa, protein, bilirubin,
urobilinogen, pH, berat jenis, eritrosit, keton, nitrit, dan leukosit dalam urin.
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa teknik urinalisis striptest ini efektif dalam menunjang manajemen kesehatan sapi perah, sehingga perlu
dilakukan uji coba dengan fokus terhadap salah satu gangguan metabolisme. Salah
satu gangguan metabolisme yang sering menjadi perhatian dalam peternakan sapi
perah adalah ketosis (Tehrani-Sharif et al. 2011). Ketosis ini merupakan indikasi
meningkatnya badan keton sebagai hasil dari proses glukoneogenesis dalam
merombak cadangan lemak untuk mencukupi keseimbangan energi yang negatif
(Ingvartsen dan Andersen 2000). Keseimbangan energi yang negatif ini sering
dikaitkan dengan tingginya produksi susu sapi perah (Rasmussen et al. 1999).
Sebagai implementasi dari konsep tersebut telah dilakukan penelitian uji
coba efektivitas urininalisis menggunakan semikuantitatif strip-test dalam
mendeteksi ketonuria pada sapi perah FH di Kawasan Usaha Peternakan
Cibungbulang Bogor. Penelitian ini diharapkan memberikan informasi tentang
efektivitas penggunaan urine strip-test dalam meningkatkan efektivitas
manajemen kesehatan sapi perah.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang efektivitas
penggunaan urine strip-test dalam meningkatkan efektivitas manajemen kesehatan
sapi perah FH di Peternakan Rakyat Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK)
Cibungbulang Kabupaten Bogor dikaitkan terhadap indeks kesehatan.

2
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah menambah informasi
mengenai kondisi kesehatan ternak dan memberikan saran dalam mengatasi
permasalahan kesehatan pada sapi perah di Peternakan Rakyat Kawasan Usaha
Peternakan (KUNAK) Cibungbulang Kabupaten Bogor. Penggunaan dan
pengembangan teknologi kedokteran hewan yang praktis yaitu urine strip-test.

TINJAUAN PUSTAKA
Sapi Perah Friesian Holstein
Secara taksonomi sapi FH masuk kedalam kingdom Animalia, filum
Chordata, kelas Mammalian, ordo Artiodactylia, sub ordo Ruminansia, family
Bovidae, genus Bos, dan spesies Bos taurus. Sapi perah FH berasal dari nenek
moyang sapi liar Bos taurus yang merupakan jenis sapi yang tidak berpunuk. Sapi
perah yang dikembangkan di berbagai belahan dunia adalah jenis Bos taurus (sapi
Eropa) yang berasal dari daerah sub tropis dan Bos indicus (sapi berpunuk di
Asia) yang berasal dari daerah tropis, serta hasil persilangan dari keturunan Bos
taurus dan Bos indicus. Sapi perah Bos taurus dan Bos indicus yang banyak
dikembangkan antara lain adalah Holstein, Brown Swiss, Ayshire, Guernsey dan
Jersey. Bangsa sapi perah yang umum dikembangkan di Indonesia adalah bangsa
Friesian Holstein. Sapi perah FH berasal dari Belanda Utara atau Friesian Barat.
Di Amerika dikenal antara lain sapi Friesian Holstein dan Holstein, sedangkan di
Eropa dikenal sapi perah Friesian (Sudono et al. 2003).
Sapi FH memiliki ciri-ciri seperti warna belang hitam (berwarna hitam
putih), ujung ekor putih, bentuk kepala yang panjang, dahi seperti cawan,
moncong luas dan ambing besar serta simetris (Dewan Standardisasi Indonesia
1992). Bobot lahir anak sapi perah FH bisa mencapai 48 kg (Bath et al. 1985).
Sedangkan Bobot untuk sapi betina dewasa mencapai 682 kg dan jantan 1 000 kg
(Sudono et al. 2003). Sapi perah FH ditampilkan dalam Gambar 1.

Gambar 1 Sapi jenis Friesian Holstein

3
Status Produktivitas
Status produktivitas sapi perah dapat dievaluasi terhadap status kebuntingan
dan status laktasi. Status kebuntingan sapi perah perlu diperhatikan untuk menjaga
nutrisi ternak sehingga kemampuan reproduksi dan produksi susu tetap maksimal.
Hal ini menyebabkan perlunya dilakukan pemberian pakan yang memiliki nutrisi
seimbang sesuai dengan kebutuhan fisiologis ternak. Nutrisi yang diperoleh dari
pakan akan digunakan sebagai energi untuk fisiologis tubuh sapi perah. Defisiensi
energi dalam pakan akan mengakibatkan menurunnya produksi susu dan laju
pertumbuhan sapi perah (Ensminger et al. 1990).
Status laktasi dapat dijadikan tolak ukur untuk mengontrol kebutuhan nutrisi
ternak khusunya untuk pertumbuhan dan produksi (Sutardi et al. 1979). Hal ini
disebabkan jumlah produksi susu yang cenderung tinggi pada awal laktasi dan
membutuhkan energi yang lebih banyak. Kebutuhan energi ternak untuk
memproduksi susu tetap optimum dapat dipertahankan dengan pemberian pakan
yang sesuai dengan kebutuhan ternak.
Perbedaan jumlah produksi susu menunjukkan perbedaan pembagian
masukan energi terhadap produksi susu dan penambahan bobot sapi. Produksi
susu sapi perah cenderung mengalami penurunan setelah laktasi 2 bulan (Sudono
1999). Sapi perah pada awal laktasi memiliki produksi susu yang tinggi namun
diikuti dengan terjadinya penurunan konsumsi pakan. Hal ini menyebabkan sapi
perah mengalami energi yang negatif. Pada periode laktasi kedua, bobot badan
dan jumlah produksi susu sapi perah tidak dapat menggambarkan kebutuhan akan
pakan. Hal ini disebabkan karena makanan banyak digunakan untuk pemulihan
kondisi tubuh. Pada laktasi ketiga, sapi mencapai puncak konsumsi sehingga
membutuhkan jumlah konsumsi pakan yang lebih tinggi (Toharmat 1982).
Peningkatan jumlah konsumsi pakan pada periode akhir laktasi bertujuan
mempersiapkan tubuh untuk melahirkan.
Profil Frekuensi Napas dan Nadi
Frekuensi jantung dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, berat badan,
aktivitas fisik tubuh, latihan dan kondisi lingkungan seperti suhu lingkungan dan
kelembapan udara (Rosenberger 1979). Peningkatan aktivitas metabolisme tubuh
juga dapat menyebabkan peningkatan frekuensi nadi. Hal ini disebabkan
meningkatnya kebutuhan sapi perah terhadap oksigen dan menyalurkan hasil
metabolisme melalui aliran darah. Menurut Marcks et al. (1996), peningkatan
frekuensi napas dan nadi ternak menggambarkan tingkat kebutuhan metabolisme
dalam tubuh ternak yang meningkat. Frekuensi jantung adalah banyaknya denyut
jantung dalam satu menit. Pengamatan terhadap frekuensi jantung pada sapi
dihitung secara auskultasi dengan menggunakan stetoskop yang diletakkan tepat
di atas apeks jantung pada dinding dada sebelah kiri (Cunningham 2002). Pulsus
nadi sapi dapat dirasakan dengan menempelkan tangan pada pembuluh darah
arteri coccygeal di bawah ekor bagian tengah sekitar 10 cm dari anus. Denyut nadi
dan denyut jantung pada hewan sehat akan selalu sinkron. Denyut jantung normal
sapi berkisar antara 55–80 kali per menit (Kelly 1984).

4
Penghitungan frekuensi napas pada sapi dihitung dengan cara menempelkan
stetoskop pada bagian dada selama 1 menit. Respirasi normal pada sapi dewasa
adalah 15–35 kali per menit dan 20–40 kali pada pedet (Jackson dan Cockroft
2002). Frekuensi pernapasan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah
ukuran tubuh, umur, aktivitas fisik, kegelisahan, suhu lingkungan, kebuntingan,
adanya gangguan pada saluran pencernaan, kondisi kesehatan hewan, dan posisi
hewan (Kelly 1984).
Profil Gizi Berdasarkan BCS
Body Condition Score (BCS) merupakan suatu metode penilaian secara
subjektif melalui teknik penglihatan (inspeksi) dan perabaan (palpasi) untuk
menduga cadangan lemak tubuh terutama untuk sapi perah pada periode laktasi
dan kering kandang (Edmonson et al. 1989). Cadangan lemak ini dapat
dimanfaatkan oleh ternak pada saat ternak tidak mampu memenuhi kebutuhan
energi. Penilaian BCS telah diterima sebagai metode yang efektif dalam
pendugaan lemak tubuh dan telah digunakan baik pada peternakan komersial
maupun penelitian (Otto et al. 1991).
Penilaian skor BCS terdiri dari skala 1–5 yang diberikan atas dasar lemak
yang terdapat pada daerah pelvis dan sacralis. Nilai 1 mempunyai arti tubuh sapi
sangat kurus, nilai 2 mempunyai arti kurus, nilai 3 mempunyai arti sedang, nilai 4
mempunyai arti gemuk, nilai 5 mempunyai arti sangat gemuk (obesitas). Diantara
nilai-nilai utama itu terdapat nilai 0.25, 0.5 dan 0.75 untuk menggambarkan nilai
yang berada diantaranya. Penilaian BCS berdasarkan pada pendugaan baik secara
visual maupun dengan perabaan pada delapan bagian tubuh ternak. Bagian tubuh
tersebut adalah antara lain processus spinosus, processus spinosus ke processus
transversus, processus transversus, legok lapar, tuber coxae (hooks), antara tuber
coxae dan tuber ischiadicus (pins), antara tuber coxae kanan dan kiri, dan pangkal
ekor tuber ischiadicus (Edmonson et al. 1989).

Gambar 2 Ilustrasi penilaian BCS (Pammusureng 2009)

5
Ketosis
Ketosis adalah meningkatnya konsentrasi badan-badan keton dalam darah
dan urin. Alien (1970) menyatakan bahwa dalam keadaan normal pada ruminansia
konsentrasi badan-badan keton jumlahnya hanya sedikit dalam 100 ml plasma
darah. Menurut James (1992), kejadian ketosis merupakan penyakit metabolik
yang sering terjadi pada awal laktasi. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Hibbett
(1980) yang menyatakan bahwa ketosis sapi perah pada awal laktasi diakibatkan
rendahnya karbohidrat dan prekursor glukoneogenik dalam ransum. Sapi perah
yang laktasi membutuhkan jumlah pakan yang lebih banyak untuk memenuhi
kebutuhan produksi susu dan fisiologis pertumbuhan ternak. Menurut Prihatman
(2000), pakan berupa rumput bagi sapi dewasa umumnya diberikan 10% dari
bobot badan dan pakan tambahan sebanyak 1-2% dari bobot badan. Sementara
untuk induk sapi yang sedang laktasi diperlukan tambahan 25% hijauan dan
konsentrat dalam ransumnya.
Menurut Chase (1990), salah satu faktor penyebab utama terjadinya ketosis
adalah kekurangan glukosa untuk sintesis susu pada awal laktasi. Karena
konsumsi pakan secara normal menurun pada awal laktasi, maka sapi akan
berusaha untuk memanfaatkan energi cadangan dalam tubuh seperti glikogen,
protein, dan lemak sebagai sumber energi. Penggunaan energi cadangan lemak
sebagai sumber energi menyebabkan terbentuknya badan keton. Badan-badan
keton terdiri dari asetoasetat, asam β hidroksi butirat (BHBA) dan aseton.
Terbentuknya badan keton disebabkan jumlah asam lemak yang dimolisisasi dari
jaringan tidak teroksidasi secara sempurna menjadi energi (Harper 1979).

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan di Peternakan Rakyat Kawasan Usaha Peternakan
(KUNAK) Cibungbulang Kabupaten Bogor. Pengambilan data lapangan yang
dilakukan mulai bulan Januari-Mei 2014. Analisis data dan penulisan laporan
dilakukan di kampus IPB Dramaga Bogor pada bulan Desember 2014-Mei 2015.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah 30 ekor sapi pada dua kandang ternak yang
dipilih secara acak dari 118 peternakan di Peternakan KUNAK Bogor. Peralatan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah: gelas ukur, lap, stetoskop,
termometer, urine strip-test (Verify), dan kamera.

6
Prosedur
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dimulai setelah terlebih dahulu dilakukan wawancara
dengan peternak untuk mengetahui status reproduksi sapi perah. Status tersebut
dikategorikan atas bunting, tidak bunting dan post partus. Pemeriksaan fisik 30
sapi perah meliputi pengukuran frekuensi pulsus hewan dengan menempelkan
tangan pada pembuluh darah arteri coccygeal di bawah ekor bagian tengah sekitar
10 cm dari anus, penghitungan frekuensi napas sapi dihitung dengan
menggunakan stetoskop dan penilaian BCS sapi perah yang dilakukan dengan
penglihatan (inspeksi) dan perabaan (palpasi) atas dasar lemak yang terdapat pada
daerah sacralis dan pelvis. Penilaian BCS dilakukan oleh empat orang dan
kemudian hasilnya dirata-ratakan untuk mengurangi penilaian yang subjektif.
Pemeriksaan Urin
Sampel urin yang digunakan dari 30 ekor sapi perah adalah urin pertama
pada pagi hari. Urin segar di tampung dalam gelas ukur dan langsung diperiksa
dengan menggunakan urine strip-test (Verify) dan hasilnya langsung
dibandingkan dengan reagen yang telah ditetapkan. Pengujian urine strip-test
untuk mendeteksi kelainan pada urin dengan beberapa parameter, antara lain
leukosit, nitrogen, urobilinogen, protein, pH, kadar darah, keton, bilirubin, dan
glukosa. Pengamatan yang dilakukan fokus terhadap adanya badan keton dalam
urin (ketonuria).
Analisis Data
Data hasil pengamatan diolah dengan mengelompokkan status kesehatan
sapi perah terhadap rentang normal frekuensi pulsus, napas dan BCS. Rentang
normal frekuensi pulsus 55–80 kali permenit (Kelly 1984). Frekuensi napas
normal 24-42 kali/menit (Frandson 1992). Nilai BCS ideal sapi perah pada awal
laktasi adalah 2.5 dan meningkat hingga ahir laktasi yaitu sekitar 3.5 (Penstate
2004). Seluruh data yang didapat akan dianalisis secara deskriptif dan hasil
ditampilkan dalam bentuk tabel.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil Ketonuria Berdasarkan Status Produktivitas
Hasil pengamatan terhadap 30 ekor sapi perah di Peternakan KUNAK
Cibungbulang Bogor diperoleh gambaran status produktivitas yang terdiri dari 2
ekor mengalami kebuntingan, 22 ekor tidak bunting, dan 6 ekor post partus. Dari
30 ekor tersebut terdapat 2 sapi perah yang mengalami ketosis. Sapi perah yang
mengalami ketonuria terjadi pada sapi yang sedang tidak bunting. Sapi yang
sedang tidak bunting membutuhkan glukosa darah yang tinggi untuk diubah
menjadi laktosa susu (Schultz 1970). Hal ini menunjukkan bahwa sapi perah yang

7
mengalami ketonuria terjadi keseimbangan energi yang negatif sehingga tidak
mampu mencukupi energi untuk memproduksi susu dan fisiologis pertumbuhan
ternak. Menurut Prihatman (2000), pakan berupa rumput bagi sapi dewasa
umumnya diberikan 10% dari bobot badan dan pakan tambahan sebanyak 1-2%
dari bobot badan. Sementara untuk induk sapi yang sedang laktasi diperlukan
tambahan 25% hijauan dan konsentrat dalam ransumnya. Hasil pengamatan
terhadap profil status reproduksi 30 sapi perah yang mengalami ketonuria
dicantumkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Profil status produktivitas dan ketonuria 30 sapi perah yang diamati di
Peternakan KUNAK Cibungbulang Bogor
No
Status Produktivitas
No
Status Produktivitas
Ketonuria
Ketonuria
1
Bunting 3 bulan
16
Tidak bunting
2
Bunting 7 bulan
17
Tidak bunting
3
Post partus
18
Tidak bunting
4
Post partus
19
Tidak bunting
5
Post partus
20
Tidak bunting
6
Post partus
21
Tidak bunting
7
Post partus
22
Tidak bunting
8
Post partus
23
Tidak bunting
9
Tidak bunting
24
Tidak bunting
10
Tidak bunting
25
Tidak bunting
11
Tidak bunting
26
Tidak bunting
12
Tidak bunting
27
Tidak bunting
13
Tidak bunting
28
Tidak bunting
+
14
Tidak bunting
29
Tidak bunting
15
Tidak bunting
30
Tidak bunting
+
Keterangan: Positif ketonuria (+); Negatif ketonuria (-)
Positif ketonuria (+) ditandai dengan perubahan warna pada urin strip tes dari merah
muda menjadi ungu tua dengan selang waktu 1-2 menit.

Berdasarkan Tabel 1 dapat disimpulkan bahwa sapi perah yang mengalami
ketonuria adalah sapi perah yang tidak bunting. Hal ini sesuai dengan pendapat
Chase (1990) bahwa ketosis adalah gangguan metabolisme yang sering terjadi
pada awal laktasi akibat adanya ketidakseimbangan energi. Sapi perah yang
mengalami ketosis umumnya menunjukkan gejala penurunan nafsu makan,
penurunan produksi susu, dan adanya bau aseton pada susu dan pernapasan.
Menurut McDonald et al. (2010), bau aseton pada susu dan pernapasan
merupakan bau badan-badan keton sebagai hasil metabolisme glukoneogenesis.
Adapun proses glukoneogenesis dikaitkan dengan metabolisme karbohidrat
menurut McKee (2003) dijelaskan pada Gambar 3.

8

Gambar 3 Metabolisme karbohidrat (McKee 2003)
Berdasarkan Gambar 3 dijelaskan bahwa terdapat empat proses metabolisme
karbohidrat, yaitu glikogenesis untuk menghasilkan glikogen dari glukosa,
glikogenolisis untuk menghasilkan glukosa dari glikogen, glikolisis untuk
menghasilkan energi dari glukosa, serta glukoneogenesis untuk menghasilkan
glukosa dari asetat, asam lemak dan asam amino. Metabolisme dari asetat, asam
lemak dan juga asam amino dioksidasi dalam hati menjadi asetil-coA yang
kemudian dimetabolisme menjadi H2O, CO2 dan ATP (Harper 1979). Hal ini
terjadi saat ternak kekurangan energi dari pakan yang mengakibatkan
terbentuknya badan keton dalam tubuh ternak. Gangguan metabolisme sapi perah
yang mengalami ketonuria dibuktikan dengan pengamatan nilai BCS.
Profil Ketonuria Berdasarkan Nilai BCS
Hasil pengamatan terhadap profil nilai BCS sapi perah yang mengalami
ketonuria di Peternakan KUNAK Cibungbulang Bogor dicantumkan pada Tabel 2.
Tabel 2 Profil nilai BCS sapi perah yang mengalami ketonuria di Peternakan
KUNAK Cibungbulang Bogor
No

Nilai BCS

Ketonuria

1

1.25

+

2

1.25

+

Berdasarkan Tabel 2 dapat disimpulkan bahwa sapi perah yang mengalami
ketonuria adalah sapi perah yang kurus. Hal ini berbeda dengan pernyataan
Busato et al. (2002) bahwa ketosis adalah penyakit metabolik yang biasanya
terjadi pada sapi perah yang gemuk dengan produksi susu yang tinggi pada awal
laktasi. Ketonuria pada sapi perah yang kurus diduga akibat kekurangan energi
yang diperoleh dari pakan untuk memproduksi susu. Hal ini sejalan dengan

9
pernyataan Herdt (2000) bahwa sapi perah ketosis menunjukkan adanya upaya
untuk mengatasi ketidakseimbangan energi akibat produksi susu yang tinggi
melalui mobilisasi lemak tubuh ternak. Peningkatan aktivitas metabolisme sapi
perah yang mengalami ketonuria dibuktikan dengan pengukuran frekuensi nadi
dan frekuensi napas.
Profil Ketonuria Berdasarkan Frekuensi Nadi dan Napas
Hasil pengamatan terhadap profil nilai BCS sapi perah yang mengalami
ketonuria di Peternakan KUNAK Cibungbulang Bogor dicantumkan pada Tabel 3.
Tabel 3 Profil frekuensi nadi dan napas sapi perah yang mengalami ketonuria di
Peternakan KUNAK Cibungbulang Bogor
No

Frekuensi Nadi

Frekuensi Napas

Ketonuria

1

92

84

+

2

84

80

+

Berdasarkan Tabel 3 diperoleh gambaran bahwa sapi perah yang mengalami
ketonuria menunjukkan peningkatan frekuensi napas dan nadi. Menurut Marcks et
al. (1996), peningkatan frekuensi napas dan nadi ternak menunjukkan terjadinya
peningkatan metabolisme dalam tubuh ternak. Hal ini disebabkan
glukoneogenesis energi cadangan yang membutuhkan oksigen untuk
mengoksidasi energi cadangan dalam tubuh ternak. Glukoneogenesis energi
cadangan terjadi saat glukosa dalam tubuh dan glikogen hati tidak mampu
memproduksi energi ternak (McKee 2003).
Menurut Guyton (1983), aktivitas metabolisme dalam tubuh ternak yang
semakin besar membutuhkan oksigen lebih banyak yang diperoleh melalui
peningkatan frekuensi pernapasan. Jumlah oksigen yang meningkat melalui
saluran pernapasan akan disalurkan ke seluruh tubuh melalui aliran darah.
Peningkatan frekuensi pernapasan dapat menyebabkan peningkatan aktivitas
jantung untuk mendistribusikan hasil metabolisme dan upaya menjaga
keseimbangan panas tubuh (Ganong 1983).
Patogenesis Ketonuria
Ketonuria sapi perah berhubungan erat dengan ketidakseimbangan energi
dalam tubuh ternak. Energi utama ruminansia adalah propionat yang diperoleh
dari karbohidrat. Metabolisme karbohidrat menghasilkan asetat, butirat, propionat
yang diserap dari rumen. Propionat dalam tubuh ternak akan diubah menjadi
glukosa di hati dan akan masuk ke aliran darah sistemik sebagai sumber energi
ternak. Kelebihan glukosa akan disimpan dalam bentuk glikogen di hati melalui
glikogenesis (McDonald et al. 2010).
Sapi perah membutuhkan energi yang bervariasi dalam setiap siklus
reproduksinya. Kebutuhan nutrisi sapi perah tergantung pada bobot sapi dan
tingkat produksi susunya (Sutardi 1981). Menurut Toharmat (1982), produksi
susu yang tinggi pada awal laktasi membutuhkan jumlah pakan yang lebih
banyak, namun produksi susu mulai menurun pada periode berikutnya. Periode
laktasi ketiga sapi perah membutuhkan jumlah konsumsi pakan yang banyak

10
untuk mempersiapkan tubuh untuk melahirkan. Santoso (2002) menyarankan
perlunya pemberian pakan dengan kandungan nutrisi dalam ransum yang sesuai
dengan kebutuhan ternak. Manajemen pakan yang baik diharapkan dapat
mengurangi penggunaan lemak tubuh sebagai energi ternak.
Nutrisi dalam tubuh sapi perah digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup
pokok, pertumbuhan, produksi susu dan perkembangan fetus (Murtenson dan
Joergenson 1974). Saat sapi perah tidak mampu memenuhi kebutuhan energi
ternak, maka energi diperoleh melalui perombakan energi cadangan dalam tubuh
ternak. Menurut McDonald et al. (2010) energi cadangan dalam tubuh yang dapat
digunakan sebagai sumber energi ternak saat kekurangan energi adalah jaringan
lemak tubuh, gliserol, laktat piruvat dan asam amino atau protein melalui proses
glukoneogenesis.
Ketidakseimbangan energi yang berkepanjangan menyebabkan asam lemak
dalam jumlah besar akan dilepas oleh jaringan lemak untuk dipecah di hati.
Pemecahan asam lemak dalam keadaan normal menghasilkan asetil-CoA yang
kemudian dimetabolisir menjadi air, CO2 dan menghasi1kan adenosin tri fosdat
(ATP). Asam lemak yang dilepas dalam jumlah besar dari jaringan lemak
menyebabkan hati tidak mampu mengoksidasi semua asetil-CoA secara sempurna
dan terjadi pembentukan badan keton. Pemecahan asam lemak yang tidak
sempurna menyebabkan asetil-CoA diubah menjadi asetoasetil-CoA dan
selanjutnya menjadi asam asetoasetat. Asam asetoasetat ini mengalami reduksi
menjadi asam β hidroksi butirat atau mengalami dekarboksilasi menjadi aseton.
Asam β hidroksi butirat merupakan badan keton yang paling banyak ditemukan
dalam darah sapi perah yang mengalami ketosis. Ketosis terjadi karena
pembentukan badan-badan keton yang berlebihan dalam hati dan berkurangnya
penggunaan badan-badan keton oleh jaringan (Bradley 1971).
Kejadian ketosis sering terjadi di peternakan sapi perah Indonesia dan
menyebabkan kerugian ekonomi pada peternak akibat terjadinya penurunan
produksi ternak. Tingkat kejadian ketosis dapat dikurangi dengan beberapa cara
antara lain dengan perbaikan manajemen pakan dan manajemen kesehatan.
Gustafsson et al. (1995) menyatakan bahwa pemberian jumlah konsentrat dan cara
pemberiannya berhubungan dengan kejadian ketosis. Oleh karena itu, perlu
diperhatian perbandingan antara hijauan dan konsentrat dalam ransum. Ketosis
sapi perah dapat ditangani dengan pemberian obat berupa terapi cairan dan
suplemen serta manajemen pakan yang baik.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil penelitian diperoleh 2 dari 30 ekor sapi mengalami ketonuria. Sapi
perah ketonuria diperkuat dengan BCS yang rendah (1.5) dan peningkatan
metabolisme yang ditandai dengan peningkatan frekuensi pulsus dan napas.
Metode urine strip test terbukti efektif dalam mendeteksi kejadian ketonuria.

11
Saran
Efektivitas urine strip-test perlu dimantapkan dengan diadakan studi kasus
pada tempat dan lokasi yang berbeda dengan jumlah sampel yang lebih banyak.
Pendiagnosaan ketosis di lapangan perlu didukung dengan pemeriksaan indeks
kesehatan seperti BCS, frekuensi napas dan nadi. Untuk mengatasi ketosis perlu
dilakukan penyuluhan kepada peternak tentang manajemen pakan dan
pemeliharan kesehatan ternak yang baik.

DAFTAR PUSTAKA
Alien R. 1970. Lipid Metabolism. Duke Physiology of Domestic Animal. 8th Ed.
M.J. Swenson. Ed (US): Cornell University Pr.
Bath DL, Dickinson FN, Tucker HA, Appleman RD. 1985. Dairy Cattle:
Principle, Practice, Problem, and Profits. 3rd Ed. Philadelphia (US): Lea
and Febringer.
Bradley RF. 1971. Diabetic Ketoacidosis and Coma, Joslins Diabetis Melitus.
11th Ed. Philadelphia (US): Lea and Febringer.
Busato A, D Faissler, U Küpfer, JW Blum. 2002. Body condition scores in dairy
cows: associations with metabolic and endocrine changes in healthy dairy
cows. J. Vet. Med. Ser. A. 49:455-460.
Chase LE. 1990. Kelainan Metabolik Dalam Nutrisi Sapi Perah. Di dalam:
Seminar International F.H. PPSKI. Bandung.
Cunningham JG. 2002. Veterinary Physiology. Philadeplhia (US): Saunders Co.
Dewan Standardisasi Indonesia. 1992. Sapi Perah Bibit. Jakarta (ID): SNI 012891-1992.
Edmonson AJ, Lean IJ, Weaver LD, Loid JW, Farver T, Webster G. 1989. A
Body Condition Scoring Chart for Holstein dairy cows. J Dairy Sci. 72: 6870.
Ensminger ME, Oldfield JE, Heinemann W. (1990). Feeds and Nutrition. (US):
Ensminger Publishing Co.
Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi ke-4. Penerjemah.
Srigandono M dan Koen Praseno SU. Fakultas Peternakan Diponegoro.
Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Pr. 648-677.
Ganong WF. 1983. Review of medical physiology. Edisi ke-11 Departement of
Physiology, University of California San Fransisco. California (US):
LANGE Medical Publications. hlm 350-354.
Gustafsson GM, Lund-Magnussen. 1995. Effect of Daily Exercise on the Getting
Up and Lying Down Behavior of Tied Dairy Cows. Prev Vet Med. 25: 2736.
Guyton AC. 1983. Ventilasi Paru-paru. In: Buku Teks Fisiologi Kedokteran.
Jakarta: EGC. 1-13.
Harper HA, VW Roowell, PA Mayer. 1979. Biokimia Edisi ke-17. Jakarta (ID):
Kedokteran EGC Pr.

12
Henry’s. 2007. Basic Examination of Urine in Clinical Diagnosis and
Management by Laboratory Methods. 21st Ed. 2007: 397.
Herdt TH. 2000. Ruminant Adaptation to Negative Energy Balance. Vet. Clin.
North Am. Food Anim. Pract. 16: 215-230.
Hibbett KG. 1980. The Genesis of Ketosis. Scientific Found. of Veterynary
Medicine, Ed AT. Phyllipson, LW. Hall, WR. Pritchard, William Heineman.
London (GB): Medical Book Limited.
Ingvartsen KL, Andersen JB. 2000. Integration of metabolism and intake
regulation: a review focusing on periparturient animals. J Dairy Sci 83:
1573-1597.
Jackson PG, Cockroft PD. 2002. Clinical Examination of Farm Animals. Inggris
(UK): University of Cambridge. [Internet]. [diunduh 2014 Nov 21].
Tersedia pada: http://www.wanfangdata.com.cn/NSTLHY_NSTL
_HY323912.aspx.
James RG. 1992. Modern Livestock and Poultry Production. 4th Ed. Albany
(NY): Delmar Publishers. pp: 767-768.
Kelly WR. 1984. Veterinary Clinical Diagnosis. London (GB): Bailliere Tindall.
Marcks DB, Marcks AB, Smith CM. 1996. Basic Medical Biochemistry: A
Clinical Approach. Baltimore (US): Lippincot William and Wilkins.
McDonald P, RA Edwards, JFD Greenhalgh, CA Morgan. 2010.
Animal Nutrition. 7th Ed. Gosport (GB): Ashford Colour Pr.
McKee T, McKee JR. 2003. Carbohydrate Metabolism, in: The Molecular Basis
of Life. New York (US): McGraw-Hill.
Murtenson WP, EM Juergenson. 1974. Approved Practices in Dairying. Calcuta
(IN). Oxford and IBK publishing Co.
Otto RL, Ferguson JD, Fox DG, Sniffen CJ. 1991. Relationship between body
condition score and compotition of ninth to eleven rib tissue in Holstein
dairy cows. J Dairy Sci. 74: 852 – 861.
Pammusureng. 2009. Penilaian kondisi tubuh dan pengukuran pertumbuhan pedet
& dara. Bahan presentasi KPSBU Lembang.
Penstate. 2004. Begginer’s guide to Body Conditions Scoring. A Tool For Dairy
Herd management. Web presentation.
Prihatman K. 2000. Proyek Pengembangan Masyarakat Ekonomi Pedesaan.
Jakarta (ID): Bappenas.
Rasmussen LK, BL Nielsen, JE Pryce, TT Mottram, RF Veerkamp. 1999. Risk
factors associated with the incidence of ketosis in dairy cows. J. Anim. Sci.
68:379-386.
Rosenberger G. 1979. Clinical Examination of Cattle. Berlin & Hamburg (GR):
Verlag Paul Parley.
Santoso U. 2002. Tata Laksana Pemeliharaan Ternak Sapi. Jakarta (ID): Penebar
Swadaya.
Schultz LH. 1970. Management and Nutritional Aspects of Ketosis .J. Dairy Sci.
54 (6): 962.971.
Sudono A, RF. Rosdiana, dan BS. Setiawan. 2003. Beternak Sapi Perah Secara
Intensif. Jakarta (ID): Agromedia Pustaka.
Sudono A. 1999. Produksi Sapi Perah. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Pr.
Sutardi T. 1981. Sapi Perah dan Pemberian Makanannya. Diktat Kuliah. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

13
Sutardi T, M Djohari. 1979. Hubungan kondisi faali sapi laktasi dengan
kebutuhan makanannya. Buletin Makanan Ternak S (4) : 189-207. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Tehrani-Sharif M, Hadadi M, Noughabi HH, Mohammadi A, Rostami F an
Sharifi H, 2011. Bovine subclinical ketosis in dairy herds in Nishaboor.
(IR): Comp Clin Pathol. DOI: 10.1007/s00580-011-1340-2.
Toharmat T. 1982. Evaluasi pemberian pakan sapi perah berdasarkan kondisi
faalinya. [Skripsi]. Bogor (ID):Fakultas Peternakan. Instutut Pertanian
Bogor.

14

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Malintang Julu, Sumatera Utara pada tanggal 17 Juni
1990 dari ayah Syarmen Nasution (Alm) dan ibu Nelan. Penulis merupakan putra
keenam dari tujuh bersaudara. Tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Plus
Sipirok dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian
Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor
(USMI) dan diterima di Fakultas Kedokteran Hewan (FKH).
Selama melakukan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan IPB, penulis
pernah menjadi Anggota Himpunan Profesi Ruminansia Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor.