Khasiat Berbagai Sediaan Daun Katuk Terhadap Penampilan Produksi, Kualitas Telur Dan Profil Hematologi Ayam Petelur Fase Pertumbuhan

KHASIAT BERBAGAI SEDIAAN DAUN KATUK TERHADAP
PENAMPILAN PRODUKSI, KUALITAS TELUR DAN PROFIL
HEMATOLOGI AYAM PETELUR
FASE PERTUMBUHAN

DUSTAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Khasiat Berbagai
Sediaan Daun Katuk Terhadap Penampilan Produksi, Kualitas Telur dan Profil
Hematologi Ayam Petelur Fase Pertumbuhan” adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2016
Dustan
NIM B151130031

RINGKASAN
DUSTAN. Khasiat Berbagai Sediaan Daun Katuk Terhadap Penampilan Produksi,
Kualitas Telur dan Profil Hematologi Ayam Petelur Fase Pertumbuhan.
Dibimbing
oleh
AGIK
SUPRAYOGI
dan
ARYANI
SISMIN
SATYANINGTIJAS.
Katuk (Sauropus androgynus (L) Merr.) merupakan salah satu jenis
tanaman sayur dan sekaligus tanaman obat yang diketahui memiliki manfaat dan
khasiat sebagai pemicu produksi air susu ibu (ASI). Pada hewan ternak tanaman

ini juga diketahui sebagai feed additive untuk memicu pertambahan produksi
telur. Penelitian mengenai pemanfaatan daun katuk sebagai feed additive pada
ayam petelur masih banyak menggunakan tepung daun katuk. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tepung daun katuk memiliki efek samping yang tidak
diharapkan seperti tanda-tanda penurunan berat badan dan penurunan bobot
kerabang telur pada unggas. Namun demikian, sampai saat ini belum diketahui
senyawa aktif mana yang paling bertanggung jawab terhadap efek toksik tersebut.
Keberadaan senyawa tanin dan saponin pada sediaan daun katuk diketahui masih
cukup tinggi sebagai anti nutrisi. Besar kemungkinan suatu upaya menurunkan
senyawa anti nutrisi dengan metode ekstrasi dapat menjadi alternatif guna
meminimalisir dampak negatif daun katuk tersebut. Penelitian ini menitik
beratkan pada bentuk sediaan daun katuk (SDK) berupa ekstrak katuk kering
(EKK), ekstrak katuk seduhan (EKS) dan katuk perasan (KP) yang dibandingkan
dengan tepung daun katuk (TDK). Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi SDK
yang lebih baik sebagai feed additive berdasarkan hasil uji fitokimia dan uji
bioaktifitas terhadap produksi telur, kualitas telur dan profil hematologi ayam.
Melalui penelitian ini diharapkan dapat ditentukan jenis SDK yang lebih baik
sebagai feed additive.
Pembuatan SDK pada penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan.
Sediaan EKK dibuat dalam bentuk tepung kemudian dimaserasi dengan etanol

(80%) dan dievaporasi (500C). Sediaan EKS dibuat dengan cara daun katuk kering
diseduh dengan air hangat (500C) kemudian secara berurutan dioven (500C),
dibuat tepung, dimaserasi etanol (80%) dan dievaporasi (500C). Sediaan KP
dibuat dengan cara melumatkan daun katuk segar bersama dengan air kemudian
diperas dan sarinya dievaporasi (500C). Sediaan TDK dibuat dengan cara daun
katuk kering dibuat menjadi tepung. Semua SDK tersebut selanjutnya diuji
kandungan fitokimia.
Dosis setiap SDK dalam pakan dihitung dengan cara melakukan uji
pendahuluan sesuai dengan dosis yang digunakan oleh Saragih (2005) yaitu 5%
TDK dalam pakan. Hasil uji pendahuluan menunjukkan 5 % TDK setara dengan
50 g TDK yang bersumber dari 250 g daun katuk segar. Selanjutnya dengan berat
daun segar yang sama (250 g) dilakukan uji pendahuluan untuk mendapatkan
dosis perlakuan EKK, EKS dan KP. Hasil uji pendahuluan menunjukkan 250 g
daun segar setara dengan 17.07g (1.71% dalam pakan) EKK, 9.63g (0.96% dalam
pakan) EKS dan 34.68g (3.47% dalam pakan) KP.
Penelitian ini menggunakan 50 ekor ayam petelur (hisex brown) usia 14
minggu yang diadaptasikan hingga usia 16 minggu. Ayam penelitian dibagi
menjadi 5 kelompok perlakuan (EKK, EKS, KP, TDK dan Kontrol) sehingga

setiap perlakuan terdiri atas 10 ekor ayam. Pakan perlakuan diberikan selama 70

hari setelah periode adaptasi. Selama pemberian pakan perlakuan dilakukan
pengukuran konsumsi pakan, produksi telur, bobot telur, kualitas telur. Pada akhir
penelitian dilakukan pengambilan sampel darah untuk mengukur nilai hematologi
dan konsentrasi hormon estradiol. Data yang terkumpul dianalisis sidik ragam
(ANOVA) dengan taraf kepercayaan 95%.
Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa setiap kelompok SDK mengandung
4 senyawa aktif yang sama (steroid, flavonoid, tanin dan saponin) dengan
intensitas yang berbeda. Perbedaan intensitas senyawa aktif tersebut sangat
dipengaruhi oleh metode ekstraksi yang digunakan. Perlakuan EKK dan TDK
memiliki 4 senyawa aktif yang semuanya cenderung positif kuat. Perlakuan EKS
memiliki 2 senyawa positif kuat (steroid dan flavonoid) dan 2 senyawa (tanin dan
saponin) cenderung positif lemah. Perlakuan KP memiliki 1 senyawa (steroid)
positif kuat dan 3 senyawa (flavonoid, tanin dan saponin) positif lemah.
Keberadaan 4 senyawa aktif tersebut memberikan pengaruh yang nyata
terhadap kondisi ayam penelitian. Hasil uji bioaktifitas menunjukkan pengaruh
yang berbeda pada setiap kelompok. Secara umum, pemberian SDK menunjukkan
respon positif terutama perlakuan EKS lebih baik dibandingkan dengan perlakuan
kontrol. Perlakuan EKS merupakan perlakuan dengan rataan konsumsi pakan dan
produksi telur tertinggi. Hasil pengukuran kualitas telur menunjukkan perlakuan
EKS juga cenderung lebih baik dari perlakuan lainnya. Pengamatan profil

hematologi menunjukkan semua ayam penelitian berada pada keadaan sehat.
Pengaruh senyawa aktif SDK terhadap sintesis hormon estradiol tidak terlihat di
akhir penelitian ini.
Penelitian ini membuktikan bahwa komponen senyawa aktif yang terdapat
di dalam SDK dapat memberikan pengaruh terhadap peningkatan konsumsi
pakan, produksi telur, kualitas telur dan menunjukkan ayam masih dalam keadaan
sehat. Perlakuan EKS merupakan perlakuan yang lebih baik dibandingkan dengan
perlakuan SDK lainnya.
Kata kunci: Ayam, Fitokimia, Katuk, Pakan, Telur

SUMMARY
DUSTAN. Efficacy of Various Leaves Katuk Preparations to Production
Performance, Eggs Quality and Hematology Profile of Grower Phase Laying Hens.
Supervised by AGIK SUPRAYOGI and ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS.
Katuk (Sauropus androgynus (L) Merr.) is a vegetable crops which known
as medicinal plant because of its capability to trigger production of breast milk
(ASI). The plant is also known as a feed additive to trigger accretion of eggs
production. Previous research used leaf katuk meal as a feed additive in laying
hen with unexpected side effects such as weight loss and huge reduction in poultry
eggshell. However active compounds which most responsible for the mentioned

toxic effects has not known yet. Existency of tannin and saponin in the leaves
katuk preparation has known to be quite high as an anti nutrients. Another
alternative way to reduce anti nutritions compounds can be done by modification
of extraction methods to make form leaves katuk (SDK) in the form of dry katuk
extract (EKK), steeping katuk extract (EKS) and juice katuk (KP). This study
aimed to identify the form SDK for better feed additive based on phytochemical
test and bioactivity test on egg production, egg quality and hematology profile of
chicken.
Preparations of SDK contained of several steps. EKK preparation were
made in the form of flour and then macerated with ethanol (80%) and evaporated
(500C). EKS preparation were made by dry leaves katuk brewed with warm water
(500C) then sequentially baked (500C), created of flour, macerated with ethanol
(80%) and evaporated (500C). KP preparations were made by the fresh leaves
katuk pulverized along water, squeezed and the juice is evaporated (500C). TDK
preparations were made by dried leaves katuk into flour. All these SDK
mentioned were further tested phytochemical content.
The dose of SDK in the feed was calculated according to the dose used by
Saragih (2005) ie 5% TDK in feed which equivalent to 50 g TDK that sourced
from 250 g fresh leaves katuk. The same treatment were used to get the dose of
other that all come from 250 g fresh katuk leaves. Preliminary test showed that

250 g equivalent to 17.07g (1.71% in feed) EKK, 9.63g (0.96% in feed) EKS and
34.68g (3:47% in feed) KP.
This study used 50 laying hens (Hisex brown) age 14 weeks that adapted to
age 16 weeks. Chickens were divided into 5 groups (EKK, EKS, KP, TDK and
Control) each treatment consisting of 10 chickens. The treatment were
administered for 70 days after a period of adaptation. Meanwhile measurement of
feed consumption, egg production, egg weight, egg quality was also done at the
same time. At the end of the study, blood was taken to measure the hematology
profile and concentration of the estradiol hormone. The collected data were
analyzed of variance (ANOVA) with a 95% confidence level.
Phytochemical test results showed that all SDK group contain the same
active compounds (steroids, flavonoids, tannins and saponins) with different
intensity which highly influenced by the extraction method used. EKK and TDK
treatment have 4 active compound, which tend to strongly positive contained.
EKS treatment have two compounds that strongly positive (steroids and
flavonoids) and two compounds (tannins and saponins) tend to be weakly positive.

KP treatment have one compound (steroids) that strong positive and 3 compounds
(flavonoids, tannins and saponins) weakly positive.
The existence of four active compound mentioned gave a real impact on the

conditions of chickens with different bioactivity from each group. In general, the
administration of the SDK showed a positive response especially EKS treatment
better than the control treatment. EKS treatment showed average the highest feed
consumption, egg production and better egg quality than other treatments.
Observations of hematological profile still in the normal range. SDK active
compounds did not showed influenced the estradiol hormone at the end of the
study.
This study was proved that the components of the active compound in the
SDK can give effect to increase feed consumption, egg production, egg quality
and showed the normal hematological value. EKS treatment were better treatment
than other SDK treatment.
Keywords: Chicken, Phytochemicals, katuk, Feed, Eggs

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

KHASIAT BERBAGAI SEDIAAN DAUN KATUK TERHADAP
PENAMPILAN PRODUKSI, KUALITAS TELUR DAN PROFIL
HEMATOLOGI AYAM PETELUR FASE PERTUMBUHAN

Dustan

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu-Ilmu Faal dan Khasiat Obat

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:

Dr. Drh. Anita Esfandiari, M.Si

Judul Tesis : Khasiat Berbagai Sediaan Daun Katuk Terhadap Penampilan
Produksi, Kualitas Telur dan Profil Hematologi Ayam Petelur
Fase Pertumbuhan
Nama
: Dustan
NIM
: B151130031

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Drh. Agik Suprayogi, M.ScAgr
Ketua

Dr. Drh. Aryani Sismin S., M.Sc
Anggota


Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu-Ilmu Faal dan Khasiat Obat

Prof. Dr. Drh. Agik Suprayogi, M.Sc Agr

Tanggal Ujian:

(Selasa, 28 Juni 2016)

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, M.Sc Agr

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Penulis memanjatkan puji dan syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala
atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Salawat
serta salam kepada Nabi Terakhir dan Nabi Teladan, Muhammad Shallahu alaihi
wa sallam. Judul penelitian ini adalah Khasiat Berbagai Sediaan Ekstrak Daun
Katuk Terhadap Penampilan Reproduksi, Kualitas Telur dan Profil Hematologi
Ayam Petelur Fase Pertumbuhan
Penulis mengucapkan terimakasih serta do’a “Jazakumullahukhairan”
kepada semua dosen pengampuh mata kuliah pascasarjana IPB IFO dan secara
khusus kepada kedua pembimbing saya Bapak Prof Dr drh Agik Suprayogi, MSc
Agr dan Ibu Dr. Drh Ariyani Sismin Satyaningtijas, M.Sc. Keduanya telah banyak
mendidik, membimbing mengarahkan, memotifasi dan mensuport hingga tesis ini
dapat diselesaikan.
Penulis juga mengucapkan terimakasih dan do’a “Jazakumullahukhairan”
yang tak pernah terhingga kepada kedua orang tua penulis Wa Insafu dan
Landoala (Rhm) atas semua kebaikan yang tak akan pernah bisa digambarkan
dengan kata-kata terindah sekalipun. Saudara-saudaraku Dirsan Samuna, Darmia,
Deri dan Rollyn, Istriku tercinta Iin Nurdiyanty Nurdin, kedua anakku Ayyub dan
Iysa. Kalian semua adalah goresan takdir yang senantiasa mengiringi langkah kaki
sebagai penggugah semangat, inspirasi dan motifasi.
Penulis juga mengucapkan terimakasih dan do’a “Jazakumullahukhairan”
kepada keluarga besar Geledagan family (La Uda, La Anto, Ikbal, Bang Mus,
Agus Kurniawan Putra, Madin, Dias dan Risman), kepada semua Asatidz dan
Ikhwah yang ada di DPD Wahdah Islamiyah Bogor terutama Ust. Samsul Basri,
kepada rekan-rekan seperjuangan di S2 IFO 2013 (Fachru, Ridi, Krido, Maika,
Rysa, Cut Dara, Arria dan Henny), kepada keluarga besar Forum Wacana
SULTRA, kepada Pak Namat dan keluarga yang telah bersedia membantu
menyediakan katuk, kepada semua pekerja di Darmawan Group terkhusus Pak
Harun, Pak Warsiman dan Pak Cucu yang telah banyak membantu dalam
pelaksanaan penelitan kami dilapangan.
Terakhir penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi
masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, Juni 2016
Dustan

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah dan Kerangka Pikir
Tujuan Penelitian
Hipotesis
Manfaat Penelitian

1
1
2
2
2
2

3 TINJAUAN PUSTAKA
Deskripsi Katuk (Sauropus androgynus L. Merr)
Senyawa Aktif Daun Katuk
Gambaran Reproduksi Ayam Petelur
Kualitas Telur Ayam
Hematologi Ayam Petelur

3
3
4
6
8
9

3 METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Bahan dan Alat Penelitian
Penyiapan Sediaan Daun Katuk (SDK) dan Pakan
Rancangan dan Pelaksanaan Penelitian
Parameter Pengamatan
Analisis Data

12
12
12
12
14
14
16

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Kandungan Fitokimia Sediaan Daun Katuk (SDK)
Konsumsi Pakan
Produksi Telur
Kualitas Telur
Profil Hematologi
Hormon Estradiol

16
16
18
19
22
24
25

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

26
26
26

DAFTAR PUSTAKA

27

LAMPIRAN

30

RIWAYAT HIDUP

32

DAFTAR TABEL
1 Komposisi nutrisi pakan standar ayam petelur
2 Hasil analisis fitokimia sediaan daun katuk (SDK)
3 Konsumsi pakan ayam selama penelitian (70 hari) pada setiap
perlakuan (N=10)
4 Rataan dan jumlah butir telur ayam selama penelitian (70 hari) pada
setiap perlakuan (N=10)
5 Rataan kualitas telur ayam penelitian
6 Rataan nilai hematologi ayam penelitian
7 Rataan konsentrasi hormon estradiol ayam penelitian

14
16
18
20
22
24
25

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7

Alur desain kerangka pemikiran
Katuk (Sauropus androgynus L. Meer)
17β-Estradiol dan senyawa aktif (steroid dan flavonoid) daun katuk
Ovarium ayam petelur
Anatomi telur ayam
Deskripsi tahapan pelaksanaan penelitian
Rataan butir telur ayam persepuluh hari

2
3
5
6
9
14
20

DAFTAR LAMPIRAN
1. Bagan metode pembuatan sediaan daun katuk (SDK)

31

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Telur ayam merupakan salah satu sumber pangan hewani yang istimewa,
karena selain harganya relatif terjangkau dan disenangi oleh seluruh lapisan
masyarakat, telur ayam juga memiliki kandungan zat yang cukup kompleks.
Sebutir telur ayam mengandung kalori sekitar 72 kal, yang terdiri atas protein
sekitar 6.3 g, lemak sekitar 4.8 g, karbohidrat sekitar 0.4 g dan berbagai vitamin
dan mineral serta zat-zat lain yang sangat bermanfaat bagi kesehatan (Egg
Nutrition Center 2010). Permintaan telur yang tinggi dipasaran telah mendorong
berbagai usaha untuk meningkatkan produksi telur melalui berbagai cara. Diatara
usaha yang cukup potensial dikembangkan adalah memanfaatkan bahan alam
berkhasiat.
Daun katuk telah dikenal di Indonesia sebagai bahan alam pelancar ASI, dan
juga dikenal berkhasiat terhadap hewan ternak karena memiliki berbagai macam
kandungan senyawa aktif. Senyawa aktif daun katuk telah diketahui oleh Agustal
et al. (1997) melalui analisis GCMS yang menyebutkan komponen kimia utama
daun katuk adalah monomethyl succinate (C5H8O4), 2-phenylmalonic acid
(C9H8O4), cylopentanol,2-methil-acetate (C8H14O2), benzoic acid (C7H6O2),
2-phyrolidinone (C4H7NO), dan methylpyroglutamate (C6H9NO3). Suprayogi
(2000) menambahkan bahwa daun katuk mengandung 7 senyawa aktif yang
kebanyakan merupakan golongan Polyunsaturated Fatty Acid (PUFA). Subekti
(2007) juga melaporkan bahwa ekstrak daun katuk memiliki kandungan senyawa
fitosterol dan asam lemak yang cukup tinggi. Laporan lain menyatakan daun
katuk mengandung flavonoid dari kelompok quercetin dan kaempferol (Ray-Yu et
al. 2008; Andarwulan et al. 2010). Hermana et al. (2014) melaporkan katuk
memiliki kandungan saponin dan tanin yang cukup tinggi. Katuk juga dilaporkan
memiliki kandungan α-tokopherol sebanyak 426.8 mg/kg (Ching dan Mohamed
2001).
Penelitian mengenai peran daun katuk terhadap ayam petelur telah banyak
dilakukan. Tepung daun katuk dilaporkan berpengaruh terhadap peningkatan
kualitas karkas, peningkatan kadar vitamin A telur, penurunan kadar kolesterol
kuning telur, percepatan umur dewasa kelamin, dan peningkatan konsentrasi
hormon estradiol (Subekti 2003; Saragih 2005; Wiradimadja 2010). Santoso et al.
(2005) melaporkan ekstrak air panas dari daun katuk dapat meningkatkan
produksi telur dan efisiensi konversi pakan dan mengurangi kolesterol telur.
Penelitian mengenai pemanfaatan katuk sebagai feed additive untuk ayam
petelur masih banyak yang menggunakan tepung daun katuk. Tepung daun katuk
pada dosis 5%-15% menyebabkan penurunan bobot kerabang dan bobot putih
telur (Saragih 2005). Penurunan tersebut diduga sebagai akibat dari efek samping
dari adanya senyawa aktif pada TDK yang merugikan diantaranya tanin dan
saponin. Berdasarkan pemikiran tersebut pemanfaatan daun katuk sebagai feed
additive dalam bentuk bukan tepung menjadi alternatif lain. Oleh karena itu perlu
adanya penelitian yang berorientasi pada pencarian bentuk sediaan daun katuk
yang lebih aman dan efektif dalam bentuk ekstrak dan perasan.

2
Perumusan Masalah dan Kerangka Pikir
Katuk merupakan salah satu tanaman yang telah diteliti berpotensi baik
untuk meningkatkan kualitas produksi telur ayam, namun tidak dipungkiri juga
memiliki beberapa efek negatif. Saat ini pemanfaatan daun katuk sebagai feed
additive masih banyak yang berupa tepung daun katuk yang memiliki senyawa
anti nutrisi (saponin dan tanin) cukup tinggi.
Metode yang cukup berkembang dalam pembuatan feed additive adalah
ekstraksi senyawa aktif. Prinsip utama metode ini adalah memanfaatkan pelarut
tertentu untuk memperoleh sediaan yang kita harapkan mengurangi kandungan zat
anti nutrisi. Metode ini digunakan untuk membuat feed additive yang diharapkan
dapat meningkatkan fungsi daun katuk dan mengurangi beberapa efek negatif
yang ditimbulkannya sehingga dapat dibuktikan kelayakannya sebagai feed
additive.

Gambar 1. Alur desain kerangka pemikiran
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai sediaan daun katuk
(SDK) yang lebih baik sebagai feed additive berdasarkan hasil uji fitokimia dan
uji bioaktifitas terhadap produksi telur, kualitas telur dan profil hematologi ayam.
Hipotesis
Sediaan daun katuk (SDK) mengandung senyawa aktif yang akan
menyebabkan peningkatan produksi telur kualitas telur dan perbaikan kesehatan.
Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan dapat ditentukan jenis sediaan daun katuk
(SDK) yang lebih baik sebagai feed additive untuk meningkatkan produksi telur,
kualitas telur dan memperbaiki status kesehatan ayam petelur.

3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Deskripsi Katuk (Sauropus androgynus L. Merr)
Tanaman katuk memiliki karakteristik antara lain: bentuk tanaman seperti
semak kecil dan bisa mencapai tinggi 3 m, batang muda berwarna hijau dan yang tua
berwarna coklat, daun tersusun selang-seling pada satu tangkai, seolah-olah terdiri
dari daun majemuk. Bentuk helaian daun lonjong sampai bundar, kadang-kadang
permukaan atasnya berwarna hijau gelap. Bunganya tunggal atau terdapat diantara
satu daun dengan daun lainnya. Bunga sempurna mempunyai helaian kelopak
berbentuk bulat telur sungsang atau bundar, berwarna merah gelap atau merah dengan
bintik-bintik kuning. Cabang dari tangkai putik berwarna merah, tepi kelopak bunga
berombak atau berkuncup enam, berbunga sepanjang tahun. Buah bertangkai (Ditjen
POM 1989).

Klasifikasi
Kingdom
Subkingdom
Super Divisi
Divisi
Kelas
Sub Kelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies

: Plantae (Tumbuhan)
: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
: Magnoliopsida (Berkeping dua/dikotil)
: Rosidae
: Euphorbiales
: Euphorbiaceae
: Sauropus
: Sauropus androgynus (L) Merr.
www.plantamor.com/index.php?plant=1116
(Diakses tanggal 16 juni 2016, pukul 11.26 WIB).

Gambar 2. Katuk
(Sauropus androgynus L. Merr)

4
Senyawa Aktif Daun Katuk
Daun katuk diketahui memiliki berbagai macam kandungan senyawa aktif.
Menurut Agustal et al. (1997), berdasarkan hasil penelusuran dengan
menggunakan analisis GCMS daun katuk teridentifikasi memiliki komponen
kimia utama berupa monomethyl succinate (C5H8O4); 2-phenylmalonic acid
(C9H8O4); cylopentanol,2-methil-acetate (C8H14O2); benzoic acid (C7H6O2);
2-phyrolidinone (C4H7NO); dan methylpyroglutamate (C6H9NO3). Selain itu
menurut Suprayogi (2000), daun katuk mengandung 7 senyawa aktif yaitu asam
oktadekanoid, 9-eikosin; asam etilester 5,8,11-heptadekatrienoik; asam etil ester
9,12,15-oktadekatrienoik; asam metil ester 11,14,17-eikosatrienoik; androstan-17one,3-etil-3-hidroksi-5α dan asam 3,4-dimetil-2-oksosiklopenta-3-enil asetat.
Selvi dan Bhaskar (2012) melalui analisis kromatografi gas spektrofotometer
massa pada ekstrak daun katuk menunjukkan keberadaan senyawa-senyawa aktif
seperti 1,14 - tetradekanediol ; 1 - oktadekin ; 1 - heksadekin; asam dekanoik; etil
ester; fitol; piren; heksadekahidro ; 2 (1H) neftalenon,3,5,6,7,8,8a - heksahidro 4,8a - dimetil - 6 - (-1metilenil) - ; azulen, 1,2,3,5,6,7,8,8a - oktahidro - 1,4 dimetil - 7 - (- 1 - metiletenil) -, [1- metiletenil]-; dan skualen. Senyawa-senyawa
tersebut memiliki aktifitas biologis sebagai agen antibakteri, antiperadangan,
antialergi, antihistamin, antipiretik, antitumor, antikangker, antioksidan,
nematosida, responautoimun, imunostimulan, dan inhibitor lipooksigenase.
Laporan lainnya menyebutkan daun katuk mengandung senyawa quercetin dan
kaempferol yang merupakan jenis senyawa aktif dari kelompok flavonoid (RayYu et al. 2008; Andarwulan et al. 2010). Selain itu dilaporkan juga bahwa daun
katuk mengandung senyawa α-tokopherol (Ching dan Mohamed 2001) dan
senyawa tanin dan saponin (Hermana et al. 2014). Katuk memiliki dua senyawa
aktif yang diketahui mampu meningkatkan sintesis hormon estradiol di dalam
tubuh yaitu steroid dan flavonoid.
Steroid
Senyawa Steroid merupakan senyawa yang umum ditemukan ada di dalam
tumbuhan. Akan tetapi, secara khusus steroid yang terkandung di dalam daun
katuk memiliki makna yang sangat penting di dalam tubuh, terutama
hubungannya dengan peningkatan sintesis hormon steroid (estrogen dan
progesteron). Peran steroid dalam meningkatkan sintesis hormon steroid telah
disebutkan oleh para peneliti sebelumnya. Suprayogi et al. (2015) menyebutkan
bahwa senyawa aktif non-polar (steroid) di dalam daun katuk dapat bersifat
anabolik steroid. Hal ini dikuatkan oleh hasil penelitian Suprayogi (2000)
sebelumnya yang menyebutkan bahwa steroid yang terdapat di dalam daun katuk
yang direpresentasikan oleh senyawa 3-ethyl-3-hydroxy-5α-androstan-17-one
berperan sebagai senyawa antara (intermediate-step) dalam biosintesis hormonhormon steroid di ovarium, yaitu progesteron dan estrogen.
Flavonoid (Fitoestrogen)
Fitoestrogen adalah senyawa estrogenik pada tumbuhan yang mampu
membangkitkan respons biologis dengan mengaktifkan ERα dan ERβ di ovarium
dan organ-organ reproduksi lainnya (Dusza et al. 2006; Kuiper et al. 1998).
Fitoestrogen merupakan ligan afinitas tinggi terutama untuk ERβ. Namun untuk
memiliki afinitas yang kuat, antara satu spesies dengan spesies lainnya berbeda

5
intensitas fitoestrogennya (Dusza et al. 2006; Kuiper et al. 1998). Senyawa
estrogenik bertindak sebagai antagonis dalam lingkungan estrogen yang tinggi dan
sebagai agonis dalam lingkungan estrogen yang rendah (Hwang et al. 2006).
Flavonoid merupakan senyawa umum yang biasanya ada pada berbagai
tumbuhan. Akan tetapi, secara khusus Andarwulan et al. (2010) meneliti bahwa
flavonoid yang terkandung di dalam daun katuk adalah kelompok quercetin dan
kaempferol. Penelitian tersebut dikuatkan pula oleh hasil penelitian lainnya yaitu
Ray-Yu et al. (2008) yang menyebutkan bahwa daun katuk memiliki kandungan
kaempferol yang cukup tinggi. Kedua senyawa flavonoid tersebut (kaempferol
dan quercetin) merupakan senyawa yang memiliki afinitas terhadap reseptor
estrogen α dan β di sel-sel ovarium dan organ-organ reproduksi lainnya (Kuiper et
al. 1998; van der Woude et al. 2005; Moutsatsou 2007; Junjian et al. 2009).

Gambar 3. 17β-Estradiol dan senyawa aktif (steroid dan flavonoid) daun katuk
(Marquez et al. 2012; Suprayogi 2000).
Tanin dan Saponin
Tanin dan saponin merupakan senyawa yang umum pada tumbuhan. Pada
konsentrasi yang tinggi, kedua senyawa tersebut dapat bertindak sebagai faktor
anti nutrisi yang dapat menyebabkan penyerapan nutrisi di usus halus menjadi
tidak maksimal. Menurut Tandi (2010) dan Das et al. (2012) terdapat beberapa
cara tanin dan saponin menghambat absorbsi nutrisi di dalam usus.
1.
Tanin dan saponin merupakan senyawa yang mampu mengikat protein
membentuk ikatan kompleks protein-tanin atau saponin-protein sehingga
protein tersebut sukar dicerna oleh enzim protease diusus.
2.
Bahan makanan yang mengandung tanin dan saponin berlebih rasanya sepat
(astringent), ini disebabkan akibat dari pembentukan kompleks antara tanin
dan protein atau saponin dan protein dalam mulut.
3.
Saponin dapat menyebabkan penurunan motilitas usus.

6
4.

Saponin dapat menyebabkan penurunan daya cerna protein, kerusakan pada
membran usus dan penghambatan transportasi nutrisi.
5.
Tanin juga dapat melapisi permukaan usus halus sehingga dapat
menghambat penyerapan berbagai nutrisi penting di dalam usus.
6.
Tanin memengaruhi metabolisme karbohidrat dengan mengikat pati
sehingga sukar dicerna oleh enzim amilase.
Pada konsentrasi yang rendah, tanin dan saponin dapat berkerja
meningkatkan permeabilitas permukaan usus halus sehingga mempermudah
proses penyerapan berbagai nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh.
Gambaran Reproduksi Ayam Petelur
Ovarium
Pada unggas hanya ovarium kiri yang berkembang secara baik.
Perkembangan ovarium dan saluran telur berlangsung selama periode maturasi
(pematangan seksual) (Wistedt 2013). Ovarium terletak pada daerah kranial ginjal
diantara rongga dada dan rongga perut pada garis punggung sebagai penghasil
ovum (Sturkie 2000).
Jumlah oosit embrio ayam mengalami peningkatan sekitar 28.000 pada hari
ke-9 selanjutya mengalami perkembangan menjadi 680.000 pada hari ke-17 dan
kemudian menurun hingga 480.000 pada saat periode pengeraman, saat oogenesis
dihentikan. Ovarium unggas dewasa terdiri atas folikel kecil, yang setidaknya
berjumlah 2.000 yang terlihat dengan mata telanjang yang akan mengalami
penyusutan (250-500) saat mencapai umur kematangan dan berovulasi. Ovarium
ayam yang telah matang memiliki hirarki folikel yang jelas dan secara
keseluruhan memiliki berat 20-30 g. Umumnya, ada 4-6 folikel kuning yang telah
besar dengan diameter 2-4 cm yang didampingi sejumlah besar dari folikel kecil
dengan diameter 6 sampai 12 mm yang telah mengalami deposisi kuning telur dan
juga terdapat banyak folikel putih yang belum masak (Sturkie 2000).

Gambar 4. Ovarium ayam petelur (McLelland 1990)
Ket: (a) ovarium, (b) infundibulum, (c) magnum, (d) isthmus, (e)
saluran uterus, (f) kantong uterus, (g) vagina)

7
Siklus Ovulasi
Produksi estrogen menyebabkan folikel-folikel kecil di ovarium dimulai
pada masa pubertas dan menginduksi perkembangan saluran telur, bulu dan
karakteristik seksual sekunder lainnya. Estrogen juga menginduksi sintesis protein
putih telur di magnum dan sintesis progesteron. Sebelum mulai bertelur,
konsentrasi estrogen sangat tinggi pada ayam muda. Hal ini mungkin penting
untuk sintesis protein kuning telur, dan tulang meduler untuk pembentukan
cangkang kemudian (Wistedt 2013).
Tingkat estrogen yang beredar di dalam plasma berkorelasi dengan siklus
ovulasi dan mencapai puncaknya sekitar enam jam sebelum ovulasi (Wistedt
2013). Pola sekresi estrogen selama masa produksi tidak jelas, sedangkan selama
siklus ovulasi berlangsung terjadi tingkat estrogen yang bervariasi. Oleh sebab itu
pengambilan sampel darah sangat ditentukan oleh waktu pengambilannya. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi estrogen yang diukur dari umur 35
sampai 100 minggu menunjukkan tidak ada perbedaan konsentrasi estrogen antara
ayam muda dan tua. Penurunan estrogen baru terdeteksi ketika ayam telah
memasuki masa meranggas (Braw-Tal et al. 2004). Joyner et al. (1987)
melaporkan bahwa selama ayam menghasilkan telur, tingkat estrogen dalam
plasma adalah sama, tetapi terjadi penurunan pada ayam tua non-petelur.
Oviduk (Saluran Telur)
Saluran telur memiliki struktur yang berbelit-belit. Saluran ini dibentuk
seperti tabung dan tersuspensi dalam rongga perut melekat bagian punggung oleh
ligamen membran peritoneum. Di sisi ventral dari saluran telur terdapat sebuah
ligamen yang serupa, tidak terhubung ke dinding tubuh dengan berkas otot di
sepanjang saluran telur (Wistedt 2013).
Infundibulum adalah bagian pertama dari saluran telur. Bagian ini berfungsi
menangkap ovum dalam waktu sekitar 15 menit setelah ovulasi (Wistedt 2013).
Pada infundibulum terdapat situs penyimpanan sperma yang disebut kelenjar
groves yang merupakan tempat fertilisasi. Periode singkat pembuahan dapat
terjadi sebelum lapisan pertama albumen disimpan, disebut "jendela pembuahan"
dan hanya sekitar 15 menit (Wishart dan Horrocks 2000), selanjutnya ovum tidak
dapat dibuahi dan sekarang disebut telur. Bagian selanjutnya adalah magnum yang
marupakan bagian terpanjang dari saluran telur dan berfungsi sebagai tempat
sekresi albumen selama kurang lebih 3 jam (Wistedt 2013). Bagian selanjutnya
adalah saluran isthmus yang berfungsi sebagai tempat pembentukan atau deposisi
dua bagian membran cangkang. Membran cangkang dalam berfungsi mengelilingi
albumen dan membran cangkang luar sebagai pendukung dari kerabang telur yang
akan dibentuk. Bagian akhir dari isthmus berfungsi sebagai situs kristalisasi dan
jangkar kerabang ke membran luar (Solomon 2010). Telur akan tetap berada di
bagian saluran telur selama kurang lebih 1.5 jam. Selanjutnya, telur akan
memasuki kelenjar cangkang untuk proses pengendapan cangkang keras selama
18-22 jam (Wistedt 2013). Terakhir, akan dibentuk katikula dan lapisan lilin.
Telur akan meninggalkan kelenjar cangkang, melewati tubulus penyimpanan
sperma utero-vaginal dan memasuki vagina di mana telur tetap berada disini
selama beberapa menit sebelum oviposisi melalui kloaka (Wistedt 2013).

8
Reseptor Estrogen
Aktifitas biologis estrogen (17β-estradiol) dimediasi melalui reseptor
estrogen (ER). Estrogen berdifusi ke dalam sel dan berikatan dengan reseptor
yang terletak di inti untuk mengatur transkripsi gen, menghasilkan respon
fisiologis. Tanggapan ini terjadi selama 1 jam. Estrogen dapat bertindak lebih
cepat, dalam hitungan detik atau menit, melalui mekanisme non-genomik melalui
ER yang terletak berdekatan dengan membran plasma, dengan respon seluler
seperti peningkatan konsentrasi Ca2+ atau NO (DeRoo dan Korach 2006). ER ada
dalam dua bentuk utama, yaitu alpha dan beta (ERα, ERβ), dikodekan oleh gen
terpisah, ESR1 dan ESR2, dan ditemukan di dua lokasi kromosom yang berbeda
(Morani et al. 2008; DeRoo dan Korach 2006). Ekspresi ERα lebih dominan
dibandingkan dengan ERβ di organ reproduksi selama diferensiasi seks puyuh dan
ovarium ayam negeri dewasa (Mattsson et al 2008.).
Kualitas Telur Ayam
Haryono (2000) menyatakan kualitas telur dalam pemasaran dapat diartikan
sebagai kondisi dari kerabang dan isi telur, penyimpanan, penanganan dan
penentuan kualitas, yang keseluruhannya memerlukan pertimbangan seksama
untuk memberikan kepuasan terhadap konsumen. Faktor-faktor yang
memengaruhi kualitas telur adalah kondisi bagian kerabang telur, bagian kuning
telur dan putih telur. Haryono (2000) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang
memengaruhi kualitas telur adalah:
Kerabang Telur
Kerabang telur merupakan bagian terluar yang membungkus isi telur dan
berfungsi mengurangi kerusakan fisik maupun biologis, serta dilengkapi dengan
pori-pori kulit yang berguna untuk pertukaran gas dari dalam dan luar kulit telur.
Tebal kerabang telur berkisar antara 0.33-0.35 mm. Tipisnya kulit telur
dipengaruhi beberapa faktor yakni: umur/tipe ayam, zat-zat makanan, peristiwa
faal dari organ tubuh, stress dan komponen lapisan kulit telur. Kulit yang tipis
relatif berpori lebih banyak dan besar, sehingga mempercepat turunnya kualitas
telur akibat penguapan dan pembusukan lebih cepat. Penentuan kualitas kerabang
telur dilakukan dengan memperhatikan warna, kebersihan, kehalusan dan
keutuhan. Telur yang baik harus mempunyai kerabang dengan warna yang
seragan, bersih, permukaan halus/rata, tidak retak/pecah dan mempunyai
ketebalan yang cukup
Kuning Telur
Kuning telur merupakan bagian telur terpenting, karena di dalamnya
terdapat bahan makanan untuk perkembangan embrio. Telur yang segar kuning
telumya terletak ditengah-tengah, bentuknya bulat dan warnanya kuning sampai
jingga. Beberapa pendapat mengatakan bahwa makanan berpengaruh langsung
terhadap warna kuning telur (mengandung pigmen kuning). Antara kuning dan
putih telur terdapat lapisan tipis yang elastis disebut membaran vitelin dan
terdapat chalaza yang befungsi menahan posisi kuning telur. Kuning telur
memiliki komposisi gizi yang lebih lengkap dibandingkan putih telur, yang terdiri
atas air, protein, lemak karbohidrat, vitamin dan mineral.

9
Putih Telur
Putih telur terdiri atas bahan padat (40%) yang terdiri atas empat lapisan
yaitu: lapisan putih telur tipis, lapisan tebal, lapisan tipis bagian dalam dan lapisan
"Chalaziferous". Kekentalan putih telur yang semakin tinggi dapat ditandai
dengan tingginya putih telur kental. Hal ini menunjukkan bawa telur kondisinya
masih segar, karena putih telur banyak mengandung air, maka bagian ini lebih
mudah rusak.
Ukuran Telur
Ukuran telur merupakan faktor penting yang dapat menentukan penerimaan
harga dalam aspek pemasaran. Penentuan klasifikasi standar berat telur perbutir
khususnya dinegara maju seperti Jepang, Amerika dan negara maju lainnya telah
dilakukan secara seksama dan disesuaikan dengan harga jualnya. Klasifikasi
standar berat telur di Jepang adalah sebagai berikut : a. Ukuran Jumbo (> 76 g); b.
Extra large (70-77 g); c. Large (64-70 g); d. Medium (58-64 g); e. Medium Small
(52-58 g) dan g. Small (< 52 g). Telur yang berukuran kecil memiliki kualitas isi
yang tinggi dibanding telur yang besar. Standar ukuran dalam pemasaran telur
adalah 56,7 gram per butir. Telur yang baik berbentuk oval dan idealnya
mempunyai "shape index" (SI) antara 72-76 . Telur yang lonjong S1= < 72 dan
telur bulat SI= >76. Kualitas ukuran telur dihitung dengan mengukur panjang dan
lebar telur menggunakan jangka sorong, bobot telur menggunakan neraca analitik
dan indeks telur menggunakan formulasi rumus (Monira et al. 2003) yaitu: Indeks
telur (shape indeks) = (lebar telur/panjang telur) x 100. Faktor keseragaman
bentuk telur merupakan hal yang perlu diperhatikan, bentuk telur yang tidak
beraturan dimungkinkan akibat adanya penyakit seperti Infectius Bronchitis dan
lain-lain.

Gambar 5. Anatomi telur ayam
www.geochembio.com/biology/organisms/chicken/#egg
(diakses tanggal 20 Agustus 2016, pukul 14.04 WIB).
Hematologi Ayam Petelur
Darah merupakan komponen yang sangat penting di dalam tubuh setiap
hewan. Volume darah unggas berada pada kisaran 6.5-10% dari berat tubuhnya,
Packed cell volume (PCV) berada antara 28-48 % berat tubuhnya, volume plasma
darah berada pada kisaran antara 4-8% dari berat tubuhnya. Pada kondisi normal,
PCV sebanding dengan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin. Peningkatan atau

10
penurunan salah satu diantaranya akan memengaruhi yang lainnya (Schalm’s
2010). Nilai hematokrit juga akan bertambah jika terjadi keadaan polisitemia
dimana jumlah eritrosit lebih banyak dibandingkan dengan jumlah normal
(Guyton dan Hall 2010).
Eritrosit/ Butir Darah Merah (BDM)
Eritrosit merupakan sel darah merah yang membawa hemoglobin dalam
sirkulasi. Sel ini berbentuk bikonkaf yang dibentuk di sumsum tulang belakang
(Ganong 2008). Fungsi utama sel darah merah adalah untuk membawa
hemoglobin yang membawa oksigen dari paru-paru serta nutrien untuk diedarkan
ke jaringan tubuh. Hemoglobin dalam sel darah merah merupakan buffer yang
baik untuk mempertahankan keseimbangan keseluruhan darah (Guyton dan Hall
2010)
Eritrosit merupakan produk erythropoiesis dan proses tersebut terjadi dalam
sumsum tulang merah (medulla asseum rubrum) yang antara lain terdapat dalam
berbagai tulang panjang. Erythropoiesis membutuhkan bahan dasar berupa protein
dan bebagai aktivator. Beberapa aktivator erythropoiesis adalah mikromineral
berupa Cu, Fe dan Zn. Mineral Cu akan berperan dalam pembentukan protein
kolagen, Fe berperan dalam pembentukan senyawa heme dan Zn berperan dalam
pembentukan protein pada umumnya. Eritrosit pada unggas intinya terletak di
tengah dan berbentuk oval. Eritrosit dipengaruhi oleh konsentrasi hemoglobin dan
hematokrit, selain itu juga dipengaruhi oleh umur, bangsa, jenis kelamin, aktivitas,
nutrien, produksi telur, volume darah, panjang hari, faktor iklim dan suhu
lingkungan. Schalm’s (2010) menyebutkan standar normal nilai ertitosit adalah
antara 2.5-3.5 juta/µL.
Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin merupakan pigmen merah pembawa oksigen dalam darah
merah. Hemoglobin merupakan protein yang berbentuk molekul bulat dan terdiri
atas empat subunit. Tiap subunit mengandung satu gugus heme yang terkonjugasi
oleh suatu polipeptida. Heme adalah suatu derivat porfirin yang mengandung besi.
Polipeptida-polipeptida itu secara kolektif disebut sebagai bagian globulin dari
molekul hemoglobin. Ada dua pasang polipeptida di setiap molekul hemoglobin
(Ganong 2008). Sintesis hemoglobin dimulai saat proeritoblas dan berlanjut
sampai tahap retikulosit dari sel darah merah. Ketika retikulosit meninggalkan
sumsum tulang dan masuk ke dalam aliran darah, proses pembentukan
hemoglobin terus berlanjut hingga sel darah merah menjadi dewasa. Rendahnya
oksigen dalam darah menyebabkan peningkatan produksi hemoglobin dan eritrosit.
Pembentukan hemoglobin membutuhkan beberapa nutrien seperti protein,
terutama glisin, dan mineral besi (Guyton dan Hall 2010).
Hemoglobin mengikat oksigen untuk membentuk oksihemoglobin, O2
menempel pada Fe2+ di heme. Afinitas hemoglobin terhadap oksigen dipengaruhi
oleh oksigen, pH, suhu, dan konsentrasi 2,3- bifosfogliserat (2,3-BPG) dalam sel
darah merah. 2,3 BPG dan H+ akan berkompetisi dengan O2 untuk berkaitan
dengan hemoglobin dengan oksigenasi sehingga afinitas hemoglobin terhadap
oksigen berkurang dengan bergesernya posisi empat rantai peptide (Ganong 2008).
Berat molekul hemoglobin berkisar 66.000-69.000. Adanya inti dalam sel darah
merah unggas menyebabkan kadar hemoglobinnya menjadi lebih rendah dari
mamalia. Menurut Schalm’s (2010) nilai normal Hb berada antara 7-13 g/dl

11
Hematokrit/ Packed Cell Volume (PCV)
Nilai hematokrit dipengaruhi oleh temperatur lingkungan. Selain itu, nilai
hematokrit juga dipengaruhi oleh jumlah dan ukuran sel. Volume sel mungkin
mengalami perubahan akibat peningkatan air plasma (hemodilition) atau
penurunan air plasma (hemoconcentration) tanpa memengaruhi jumlah selnya.
Nilai hematokrit juga akan bertambah jika terjadi keadaan polisitemia yaitu
jumlah eritrosit lebih banyak dibandingkan dengan jumlah normal (Guyton dan
Hall 2010). Menurut Schlam’s (2010) standar normal nilai PCV ayam berada
antara 22-35%.
Leukosit/ Butir Darah Putih (BDP)
Leukosit atau sering disebut dengan sel darah putih merupakan bagian dari
sistem pertahanan tubuh yang dapat bergerak di dalam sistem peredaran darah. Sel
darah putih sebagian dibentuk di sumsum tulang belakang (granulosit dan monosit
serta sebagian limfosit) dan sebagian lagi dibentuk di jaringan limfa (limfosit dan
sel plasma). Setelah pembentukan, sel darah putih masuk ke dalam peredaran
darah dan menuju ke bagian tubuh dimana sel darah putih dibutuhkan (Guyton
dan Hall 2010). Morfologi leukosit sangat beragam antar spesies unggas.
Keragaman ini dapat dilihat dari penampakan morfologi granula, warna eosinofil,
dan bentuk granula heterofil pada setiap spesies unggas. Melalui identifikasi
deferensiasi leukosit, dapat diketahui status ketahanan ternak terhadap penyakit.
Benda darah leukosit, yaitu berupa heterofil dan limfosit, juga dapat dijadikan
indikator stress pada unggas (Schalm’s 2010).
Jumlah sel darah putih sangat tergantung pada umur, jenis kelamin, stres,
penyakit, dan pemberian pakan atau obat tertentu sel darah putih akan bekerja
bersamasama melalui dua cara untuk mencegah penyakit yaitu (1) dengan benarbenar merusak bahan yang menyerbu melalui proses fagositosis dan (2) dengan
membentuk antibody dan limfosit yang peka, salah satu atau keduanya dapat
menghancurkan atau membuat penyerbu tidak aktif (Guyton dan Hall 2010).
Ganong (2008) membagi leukosit berdasarkan ada tidaknya granul menjadi dua,
yaitu leukosit granuler dan leukosit agranuler. Leukosit granuler terdiri atas
heterofil, eosinofil dan basofil. Leukosit agranuler terdiri atas limfosit dan
monosit. Heterofil merupakan bagian terbesar dari granulosit unggas (Schlam’s
2010). Fungsi utama dari sel ini adalah menghancurkan berbagai produk bakteri,
berbagai produk yang dilepaskan oleh sel rusak dan produk reaksi kekebalan.
Heterofil berfungsi dalam merespon adanya infeksi dan mampu ke luar dari
pembuluh darah menuju daerah infeksi untuk menghancurkan benda asing dan
membersihkan sisa jaringan yang rusak (Ganong 2008). Heterofil bekerja secara
cepat sehingga dikenal sebagai first line defense, yaitu sistem pertahanan pertama.
Heterofil juga mampu melakukan pinositosis, selain fagositosis. Kombinasi antara
fagositosis dan pinositosis dalam heterofil disebut endositosis (Day dan Schultz
2010). Limfosit merupakan jenis leukosit unggul pada darah unggas, termasuk
ayam petelur (Schalm’s 2010). Limfosit dibentuk di jaringan limfoid seperti limfa,
tonsil, timus dan bursa fabricius. Peningkatan limfosit antara lain disebabkan
terjadinya penurunan heterofil (sifatnya relatif), leukimia limfositik, inflamasi
kronis (infeksi bakteri, virus, fungi dan protozoa) pengeluaran epinefrin,
defesiensi korkostreoid (hypoadrenokorticism), neoplasia (Dharmawan 2002).
Menurut Schalm’s (2010), standar normal nilai BDP adalah 7940-24240/µL.
Standar normal nilai limfosit adalah 2639-10294/µL. Standar normal nilai

12
heterofil adalah 1703 – 9746/µL. Standar normal nilai monosit adalah antara 5444123/µL atau 150-2000/µL. Standar normal monosit ayam petelur adalah 0346/µL. Basofil sendiri merupakan diferensiasi dari BDP yang paling jarang
ditemukan.

3 METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kandang Peternakan Ayam Petelur CV.
Darmawan Group di JL. Raya Bogor, KP. Hambulun, Desa Tegal, Kecamatan
Kemang, Kabupaten Bogor dan Laboratorium Fisiologi Departemen AFF FKH
IPB. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April hingga September 2015.
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain daun katuk, ayam
grower petelur (hisex brown) umur 14 minggu (900-1200 g), aquadest, etanol
80%, pakan standar ayam grower dan layer petelur. Alat yang digunakan dalam
penelitian ini antara lain; waring net, blender, kertas saring, kain penyaring,
evaporator, oven, gelas kimia, peralatan kandang lengkap, spuit, tabung reaksi
yang mengandung EDTA dan lemari pendingin.
Penyiapan Sediaan Daun Katuk (SDK) dan Pakan
Pembuatan Sediaan Daun Katuk (SDK)
Sediaan Daun Katuk (SDK) dibuat menggunakan daun katuk segar dari
sentral pertanian katuk Bogor, kemudian diproses lebih lanjut sesuai dengan
prosedur yang dibutuhkan. Daun katuk dipisahkan dari batangnya, ditimbang dan
dicuci dengan air bersih. Selanjutnya, sebagian daun katuk dikeringkan selama
kurang lebih 3 hari diatas permukaan waring net dengan rata-rata temperatur 300C
dan kelembaban 71,8%. Daun katuk segar yang lainnya langsung digunakan untuk
persiapan pembuatan katuk perasa (KP).
Ekstrak katuk kering (EKK) dibuat dengan memodifikasi metode Suprayogi
et al. (2009) yaitu daun katuk yang telah kering layu dikeringkan kembali dengan
oven pada suhu 500C selama 1x24 jam. Kemudian, daun katuk kering tersebut
dilumatkan hingga menjadi tepung lalu dimaserasi dengan etanol 80% selama
1x24 jam. Bagian yang terlarut dipisahkan dari bagian yang tidak terlarut dengan
kertas saring. Hasil penyaringan dievaporasi pada suhu 500C. Hasil evaporasi
disiapkan untuk uji fitokimia dan campuran pakan. Bagan alir metode pembuatan
ekstrak katuk kering (EKK) dapat dilihat pada lampiran 1.
Ekstrak katuk seduhan (EKS) dibuat juga dengan cara memodifikasi metode
Suprayogi et al. (2009). Daun katuk yang telah kering layu, dikeringkan kembali
dengan oven pada suhu 500C selama 1x24 jam. Selanjutnya daun katuk tersebut
diseduh dengan air hangat (500C-600C) selama ± 10 menit sambil beberapa kali
diaduk. Hasil seduhan yang berupa air dipisahkan dari bagian yang masih berupa
daun. Bagian yang masih berupa daun dioven kembali pada suhu 500C selama

13
1x24 jam. Setelah dikeluarkan dari oven, bahan kering daun katuk tersebut
dilumatkan hingga menjadi tepung dan dimaserasi dengan Etanol 80% selama
1x24 jam. Bagian yang terlarut dipisahkan dari bagian yang tidak terlarut dengan
kertas saring. Hasil penyaringan dievaporasi pada suhu 500C. Hasil evaporasi
disiapkan untuk uji fitokimia dan campuran pakan. Bagan metode pembuatan
ekstrak katuk seduhan (EKS) dapat dilihat pada lampiran 1.
Katuk perasan (KP) dibuat dengan metode pembuatan juice. Daun katuk
segar ditambahkan aquadest dengan perbandingan 1.5:1 (exp: 150 g daun katuk:
100 ml air) kemudian diperas dan disaring dengan kain halus. Hasil perasan
dievaporasi pada suhu 500C. Hasil evaporasi disiapkan untuk uji fitokimia dan
campuran pakan. Bagan alir metode pembuatan katuk perasan (KP) dapat dilihat
pada lampiran 1.
Tepung daun katuk (TDK) dibuat dengan memodifikasi metode Saragih
(2005). Daun katuk yang telah kering layu, dikeringkan kembali dengan oven
pada suhu 500C selama 1x24 jam. Selanjutnya, daun katuk kering dilumatkan
hingga menjadi tepung. Hasil yang diperoleh disiapkan untuk uji fitokimia dan
campuran pakan. Bagan alir metode pembuatan tepung daun katuk (TDK) dapat
dilihat pada lampiran 1.
Uji Fitokimia
Semua SDK yang telah dibuat diuji fitokimia untuk diketahui senyawa aktif
yang dikandung oleh tiap jenis SDK. Uji fitokimia dilakukan dengan cara
mengambil 5 g SDK dari masing-masing sediaan untuk dianalisis fotokimia
dengan metode Harborne (1987). Pelaksanaan uji fitokimia ini dikerjakan di
Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka LPPM-IPB.
Penentuan Dosis Sediaan Daun Katuk (SDK) dan Penyusunan Pakan
Dosis sediaan daun katuk (SDK) pada penelitian ini ditentukan melalui uji
pendahuluan berdasarkan dosis 5% TDK yang digunakan oleh Saragih (2005). Uji
pendahuluan ini bertujuan untuk mencari kesetaraan bahan aktif antara dosis 5%
TDK dengan bentuk sediaan daun katuk lainnya. Uji pendahuluan dilakukan
dengan jalan menghitung mundur dosis 5% TDK tersebut. Hasilnya 5% TDK
setara dengan 50 g TDK atau 250 g daun katuk segar. Selanjutnya berlandaskan
hasil uji tersebut, 250 g daun katuk segar diolah sesuai dengan metode pembuatan
SDK dalam bentuk EKK, EKS, dan KP. Hasil uji pendahuluan menunjukkan
kandungan ekstrak dan perasan yaitu EKK, EKS dan KP adalah berturut-turut
17.07g, 9.63g, 34.68g. Hasil uji tersebut dikonversi kedalam dosis pada setiap
perlakuan berturut- turut adalah 1.71%, 0.96%, 3.47% dan 5% dari pakan yang
dikonsumsi.
Pakan perlakuan pada penelitian ini adalah pakan standar ayam petelur yang
ditambahkan SDK sesuai dengan dosisnya masing-masing secara merata. Pakan
standar yang digunakan dalam penelitian adalah pakan komersil yang
mengandung komposisi nutrisi sebagaimana tertera dalam Tabel 1.

14

Tabel 1. Komposisi Nutrisi Pakan Standar Ayam Petelur
Jenis Nutrisi
Kadar air
Protein
Serat kasar
Abu
M.E
Ca
P

Kadar
11-13
17-18
6-8
10-13
2650-2800
3.25-4.25
0.60-1.00

Satuan
%
%
%
%
Kcal/Kg
%
%

Ket: M.E (energi metabolisme ), Ca (kalsium) dan P (fosfor)

Rancangan dan Pelaksanaan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap
(RAL) menurut Steel dan Torrie (1991). Penelitian menggunakan 5 kelompok
percobaan yang terdiri atas 4 kelompok perlakuan dan 1 kelompok kontrol, setiap
kelompok terdiri atas 10 ekor ayam. Kelompok perlakuan diberikan pakan yang
telah ditambahkan SDK, sedangkan kelompok kontrol diberikan pakan standar
tanpa penambahan SDK. Satu kelompok percobaan terdiri atas 2 petak kandang
dengan ukuran 1m x 0.5 m x 0.3 m yang masing-masing berisi 5 ekor ayam.
Pemberian pakan pada penelitian ini terdiri atas tiga periode yaitu