Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Usahatani Padi Organik di Kabupaten Tasikmalaya

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERAPAN
USAHATANI PADI ORGANIK DI KABUPATEN
TASIKMALAYA

RYAN HADIWIJAYA

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Faktor yang
Mempengaruhi Penerapan Usahatani Padi Organik di Kabupaten Tasikmalaya”
adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum pernah
diajukan dalam bentuk apapun di perguruan tinggi lain atau lembaga lain
manapun. Sumber Informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2013

Ryan Hadiwijaya
NRP. H34090133

ABSTRAK
RYAN HADIWIJAYA. Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Usahatani Padi
Organik di Kabupaten Tasikmalaya. Dibimbing oleh NUNUNG KUSNADI.
Isu ekonomi dan lingkungan seharusnya menjadi alasan yang kuat untuk
meningkatkan penerapan pertanian organik di negara berkembang. Adanya
masalah yang dihadapi petani konvensional serta keuntungan dan peluang yang
dimiliki oleh pertanian organik, kemudian menjadi pertanyaan mengapa pertanian
padi organik tidak diterapkan oleh sebagian besar petani. Penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis keuntungan usahatani padi organik dibandingkan dengan
keuntungan usahatani padi konvensional, dan untuk menganalisis faktor yang
mempengaruhi keputusan petani dalam menerapkan usahatani padi organik di
Kabupaten Tasikmalaya. Hasil analisis dengan menggunakan R/C rasio
menunjukkan bahwa usahatani padi organik lebih efisien daripada usahatani padi

konvensional. Selain itu, hasil analisis dengan menggunakan regresi logistik
menunjukkan bahwa faktor utama yang mempengaruhi pengambilan keputusan
petani untuk menerapkan usahatani organik adalah pelatihan dan keuntungan
usahatani.
Kata Kunci: Padi organik, regresi logistik, usahatani padi

ABSTRACT
The economics and enviromental justification for organic farming could be
considered strong enough to promote its adoption. Specially in the developing
countries. Due the problems that are facing in conventional farmers,and reported
benefits and opportunities derived from organic farming, questions may be asked
about why organic rice farming is not adopted by most of the farmers. This
research aims to analyze organic rice farming profit compare to conventional rice
farming, and to analyze determinant factor in adopting of organic farming in
Tasikmalaya. By using R:C ratio it can be proved that organic rice farming is
more beneficial than conventional rice farming. Beside that, the result from using
logit regression showed that the important factors in adopting organic farming is
the training and farming profit.
Keywords: logit regresion, organic rice, rice farming.


FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERAPAN
USAHATANI PADI ORGANIK DI KABUPATEN
TASIKMALAYA

RYAN HADIWIJAYA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Usahatani Padi Organik
di Kabupaten Tasikmalaya

: Ryan Hadiwijaya
Nama
: H34090133
NIM

Disetujui oleh

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS
Pembimbing

Diketahui oleh

Tanggal Lulus:

07 OCT 2013

Judul Skripsi : Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Usahatani Padi Organik
di Kabupaten Tasikmalaya
Nama
: Ryan Hadiwijaya

NIM
: H34090133

Disetujui oleh

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Nunung Kusnadi MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala berkah dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Faktor yang
Mempengaruhi Penerapan Usahatani Padi Organik di Kabupaten Tasikmalaya”.
Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW sebagai

uswatun hasanah dan pemimpin terbaik bagi umat manusia.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS,
selaku pembimbing atas masukan dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi.
Terima kasih penulis juga ucapkan kepada Ibu Dr. Ir Dwi Rachmina selaku dosen
penguji utama dan Ibu Eva Yolynda Aviny SP MM selaku dosen penguji komisi
pendidikan Departemen Agribisnis. Penghargaan penulis sampaikan kepada
Keluarga Bapak Yana, Bapak Edi, Ibu Rusmini, Bapak Ateng Djaelani, selaku
ketua kelompok tani dan seluruh petani yang telah membantu penulis dalam
memberikan data yang diperlukan. Disamping itu, penulis sampaikan terima kasih
kepada Bapak Adang S, Bapak Asep dan Bapak Burhanudinbeserta staf Balai
Proteksi Tanaman Pangan Kabupaten Tasikmalaya atas bantuan dan arahannya
selama penulis mengumpulkan data di lokasi penelitian. Ungkapan terima kasih
juga disampaikan kepada ayah, mamah, serta seluruh keluarga, atas segala doa,
support, dan kasih sayangnya. Terima kasih dan tetap semangat untuk temanteman BEM FEM 2010 khususnya departemen Budaya Seni, Agribisnis 46,
HIPMA, Bike to Campus Bogor, HMI Komisariat FEM dan penghuni setia Kost
Baud dan Pakuan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2013

Ryan Hadiwijaya


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Padi Organik
Penerapan Teknologi pada Padi di Indonesia
Studi Tentang Usahatani Padi Organik dan Konvensional
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka Pemikiran Operasional
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Metode Pengumpulan Data dan Penentuan Sampel

Metode Pengolahan dan Analisis Data
Analisis Keuntungan Usahatani
Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C)
Analisis Imbalan Modal dan Tenaga Kerja Dalam Keluarga
Analisis Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Padi Organik
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Karakteristik Petani Responden
Penyelenggaraan Budidaya Padi Organik dan Padi Konvensional
Alasan Penerapan Usahatani Padi Konvensional
KEUNTUNGAN USAHATANI PADI
Penerimaan Usahatani Padi Organik dan Konvensional
Biaya Usahatani Padi Organik dan Padi Konvensional
Keuntungan Usahatani
Efisiensi Usahatani
Imbalan Terhadap Tenaga Kerja Keluarga dan Imbalan Terhadap Modal
Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Padi Organik
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vii
viii
1
1
4
4
5
5
5
5
6
8
9
9
15
18
18

18
19
19
20
21
22
26
28
33
37
39
39
41
48
49
50
51
56
56
56

57
59
66

DAFTAR TABEL
1 Perkembangan produksi dan konsumsi beras nasional tahun 1950-2008
2 Karakteristik penduduk Kabupaten Tasikmalaya berdasarkan mata
pencaharian tahun 2012
3 Sebaran responden menurut usia petani pada usahatani padi organik dan
usahatani padi konvensional di Kabupaten Tasikmalaya
4 Sebaran responden menurut pengalaman usahatani padi pada usahatani
padi organik dan usahatani padi konvensional di Kabupaten
Tasikmalaya
5 Sebaran responden menurut tingkat pendidikan formal pada usahatani
padi organik dan usahatani padi konvensional di Kabupaten
Tasikmalaya
6 Sebaran responden menurut keikutsertaan pelatihan SRI pada usahatani
padi organik dan usahatani padi konvensional di Kabupaten
Tasikmalaya
7 Sebaran responden menurut luas lahan garapan pada usahatani padi
organik dan usahatani padi konvensional di Kabupaten Tasikmalaya
8 Sebaran responden menurut jumlah tanggungan keluarga pada
usahatani padi organik dan usahatani padi konvensional di Kabupaten
Tasikmalaya
9 Sebaran responden menurut pekerjaan sampingan pada usahatani padi
organik dan usahatani padi konvensional di Kabupaten Tasikmalaya
10 Sebaran responden menurut pendapatan non usahatani setiap bulan
pada responden usahatani padi organik dan usahatani padi konvensional
di Kabupaten Tasikmalaya
11 Alasan petani masih bertahan pada usahatani padi konvensional di
Kabupaten Tasikmalaya
12 Penerimaan usahatani padi organik dan usahatani padi konvensional
tiga kali musim tanam tahun 2012 - 2013 di Kabupaten Tasikmalaya
13 Penerimaan usahatani padi organik dan usahatani padi konvensional per
hektar tiga kali musim tanam tahun 2012 - 2013 (Rp 000)
14 Biaya usahatani padi organik dan usahatani padi konvensional tiga kali
musim tanam tahun 2012 - 2013 di Kabupaten Tasikmalaya (Rp/Ha)
15 Penggunaan tenaga kerja dalam dan luar keluarga pada usahatani padi
organik dan usahatani padi konvensional tiga kali musim tanam tahun
2012 - 2013 di Kabupaten Tasikmalaya (HOK/Ha)
16 Biaya sewa lahan rata-rata pada pada usahatani padi organik dan
usahatani padi konvensional tiga kali musim tanam tahun 2012 - 2013
di Kabupaten Tasikmalaya (HOK/Ha)
17 Biaya Pupuk pada usahatani padi organik dan usahatani padi
konvensional tiga kali musim tanam tahun 2012 - 2013 di Kabupaten
Tasikmalaya (Rp/Ha)
18 Biaya pestisida pada usahatani padi organik dan usahatani padi
konvensional tiga kali musim tanam tahun 2012 – 2013 di Kabupaten
Tasikmalaya (Rp/Ha)

1
28
28

29

30

30
31

31
32

33
38
39
40
41

42

43

44

46

19 Perbandingan keuntungan usahatani padi organik dan usahatani padi
konvensional tiga kali musim tanam tahun 2012 - 2013 di Kabupaten
Tasikmalaya (Rp 000/Ha)
20 Nilai R/C rasio usahatani padi organik dan usahatani padi konvensional
tiga kali musim tanam tahun 2012 - 2013 per hektar di Kabupaten
Tasikmalaya
21 Nilai Return to Family Labor usahatani padi organik dan usahatani padi
konvensional di Kabupaten Tasikmalaya (Rp/Ha)
22 Nilai Return to Capital Usahatani Padi Organik dan Usahatani Padi
Konvensional di Kabupaten Tasikmalaya (Rp/Ha)
23 Informasi variabel respon (dependen) pada model regresi logistik faktor
yang mempengaruhi penerapan padi organik di Kabupaten Tasikmalaya
24 Hasil pendugaan model regresi logistik faktor yang mempengaruhi
penerapan padi organik di Kabupaten Tasikmalaya

48

49
50
51
52
53

DAFTAR LAMPIRAN
1 Luas panen, produktivitas, dan produksi tanaman padi seluruh provinsi
Indonesia
2 Data Produksi Padi organik setiap kecamatan di Kabupaten
Tasikmalaya
3 Transformasi penerapan usahatani padi organik menjadi skala biner dan
data-data yang diduga mempengaruhi penerapan usahatani padi organik
4 Hasil output minitab 14 analisis regresi logistik penerapan usahatani
padi organik di Kabupaten Tasikmalaya
5 Daftar Riwayat Hidup

59
60
61
64
66

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Berasmerupakan komoditas pangan yang menduduki posisi penting sebagai
makanan pokok penduduk Indonesia. Menurut data CIA world fact book 2006
hampir sekitar 95% lebih masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras sebagai
sumber makanan pokok1. Tingkat konsumsi beras penduduk Indonesia per kapita
per tahun mencapai 139 kg. Jumlah ini jauh lebih tinggi daripada konsumsi beras
rata-rata di dunia sebesar 60 kg perkapita per tahun2. Tingginya tingkat konsumsi
beras, menjadikan beras sebagai komoditas yang strategis dalam perekonomian
Indonesia.
Indonesia sebagai negara agraris sampai saat ini belum mampu memenuhi
kebutuhan beras dari produksi sendiri. Tingkat produksi beras dalam negeri
cenderung defisit dalam memenuhi kebutuhan beras nasional.Swasembada beras
hanya dapat dicapai pada tahun 1984 dan 2008(Swastika2011).Data tingkat
produksi dan konsumsi beras di Indonesia tersaji pada tabel 1.

Tabel 1Perkembangan produksi dan konsumsi beras nasional tahun 1950-2008
Tahun
1950
1970
1990
2000
2006
2008
a

Produksi (ton)
6 561 000
10 961 000
25 617 000
29 426 000
30 875 000
34 205 000

Konsumsi (ton)
7 501 000
11 917 000
25 665 000
30 780 000
31 313 000
33 219 000

Surplus/defisit (ton)
-940 000
-956 000
-48 000
-1 354 000
-438 000
986 000

Sumber : PSE Litbang Departemen Pertanian (2011) (diolah)

Tabel 1 menunjukan produksi beras dalam negeri cenderung defisit dalam
memenuhi kebutuhan beras nasional. Hal ini disebabkan pertumbuhan penduduk
yang terus meningkat berdampak pada meningkatnya permintaan beras yang tidak
diiringi dengan meningkatnya produksi beras dalam negeri. Selain itu, praktek
konversi lahan pertanian memperparah masalah produksi beras karena
memberikan kontribusi terhadap penurunan luas lahan pertanian di Indonesia.
Dalam upaya memenuhi kekurangan persediaan beras nasional, pemerintah
melakukan berbagai cara salah satunya dengan menetapkan kebijakan impor.
Akan tetapi ketergantungan pada beras impor akan membahayakan ketahanan
pangan nasional. Hal ini disebabkan pasar beras internasional sangat terbatas dan
tidak stabil. Sebagian besar produksi beras dikonsumsi oleh negara-negara
produsen, dan hanya sekitar 4% yang dijual ke pasar international. (Swastika
2011)
1

CIA.2006. CIA World fact book [internet]. [diakses juli 17]. Tersedia pada :
https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/id.html
2
Nurhajat, Wiji. 2013. KonsumsiBerasTertinggi di Dunia, Indonesia RawanKena Diabetes
[internet]. [diakses maret 24]. Tersedia pada Https://www.Detik Finance.com.

2
Pemerintah menyadari bahwa kebijakan impor bukan merupakan kebijakan
terbaik dalam mengatasi masalah beras di Indonesia. Sehingga sekitar tahun 1950
pemerintah mencanangkan program peningkatan produksi beras dengan
memperbaiki sistem pertanian. Puncak pembangunan pertanian di Indonesia
dimulai pada akhir tahun 1960 yang dikenal dengan era Revolusi Hijau. Pada saat
itu pemerintah meluncurkan berbagai program seperti Bimbingan Massal
(BIMAS) tahun 1968, Intensifikasi Khusus (INSUS) tahun 1979 dan Supra
INSUS pada tahun 1987. Program inibertujuan untuk meningkatkan produksi
pangan terutama beras (Swastika 2011).Revolusi Hijau dilaksanakan untuk
mengatasi kerawanan pangan melalui pendekatan peningkatan produksi beras
dengan penggunaan teknologi kimia pada input usahatani padi, atau lebih dikenal
dengan istilah Panca Usahatani. Panca Usahatani yaitu perbaikan pengolahan
lahan, pemupukan dengan pupuk buatan, perbaikan jaringan pengairan,
penanaman benih unggul, serta pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan
pestisida kimia. Teknologi ini menggunakan teknik bercocok tanam intensif
dengan ciri khusus penggunaan pestisida dan pupuk kimia sintetik.
Revolusi hijau dengan penggunaan teknologi kimia yang intensif, ternyata
berhasil meningkatkan produksi beras dalam negeri rata-rata sebesar 4.34%
pertahun. Puncaknya pada tahun 1984, Indonesia mampu mencapai swasembada
beras nasional. Hal ini kemudian berdampak pada berkurangnya masalah
kerawanan pangan dalam negeri. Selain itu, karena dianggap berhasil
meningkatkan produksi, penggunaan bahan kimia semakin ditingkatkan. Hal
tersebut dilakukan untuk memperoleh hasil produksi dan keuntungan yang lebih
besar.
Penggunaan teknologi kimia dalam jangka pendek memang sudah terbukti
dapat meningkatkan hasil produksi padi. Akan tetapi jika input kimia digunakan
secara terus menerus dengan dosis yang tidak sesuai akan menyebabkan dampak
negatif bagi lingkungan. Mikroorganisme di dalam tanah akan mati sehingga
tanah menjadi lebih padat, drainase buruk, tidak dapat menyimpan air, dan mudah
terjadi erosi saat curah hujan yang tinggi. Selain itu, penggunaan pestisida kimia
tanpa memperhatikan konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dapat
menyebabkan pencemaran terhadap lingkungan dan memusnahkan serangga yang
bermanfaat bagi tanaman padi serta menggangu keseimbangan ekosistem (Untung
1997).
Revolusi hijau dengan ciri khusus penggunaan bahan kimia sebagai input
usahatani selain menyebabkan kerusakan lingkungan juga menurunkan tingkat
kesejahteraan petani. Suwantoro (2008) menyebutkan bahwa revolusi hijau
dengan asumsi yang mendasarkan pada pertumbuhan produksi ternyata salah.
Pertumbuhan produksi yang berhasil tidak mampu meningkatkan kesejahteraan
petani. Revolusi hijau membuat petani menjadi tergantung pada perusahaanperusahaan besar untuk menjalankan usaha pertanian mereka. Input kimia pada
usahatani menyebabkan mikrobiologi yang berperan dalam sirkulasi unsur hara
pada tanah mati oleh bahan-bahan kimia. Sehingga, tanah tidak lagi menyediakan
unsur hara yang mencukupi untuk pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu
pertumbuhan tanaman sangat tergantung pada input kimia.
Untuk mengatasi dampak negatif yang ditimbulkan dari pertanian modern
tidak berkelanjutan, para ahli pertanian dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
pertanian mengembangkan pertanian alternatif. Sistem pertanian alternatif ini

3
diharapkan dapat meningkatkan produksi dengan kualitas yang baik tanpa
merusak ekologi atau ramah lingkungan. Berdasarkan hal tersebut muncul
gagasan untuk mengembangkan konsep pertanian organik.
Pertanian organik dianggap sebagai salah satu solusi bagi revolusi hijau.
Menurut United States Departement of Agriculture (USDA 1997), pertanian
organik adalah suatu sistem produksi yang mengabaikan atau meminimalkan
penggunaan bahan kimia seperti pupuk kimia, pestisida kimia atau bahan-bahan
kimia lainya dan digantikan dengan penggunaan pupuk dan pestisida alami 3 .
Selain itu, pertanian organik juga dapat memperbaiki unsur kesuburan tanah
sehingga mampu meningkatkan kemampuan tanah dalam menyerap dan
menyimpan air, serta memberi dampak yang menguntungkan bagi lingkungan
(Sutanto 2002). Pertanian organik menggunakan input produksi yang berasal dari
residu pada mahluk hidup, seperti kotoran hewan dan daun-daunan. Hal ini
berdampak pada serangga dan mahluk hidup yang bermanfaat bagi tanaman tidak
musnah dan tidak mengganggu keseimbangan ekosistem pada lingkungan
tanaman.
Metode pertanian organik mulai diterapkan dalam budidaya tanaman padi.
Penggunaan input kimia sintesis seperti pupuk kimia digantikan dengan pupuk
kandang yang dikompos. Selain itu dalam pengendalian hama digunakan bahanbahan yang tersedia di lingkungan sekitar usahatani dan memperhatikan konsep
pengendalian hama terpadu.
Beras yang dihasilkan dari sitem pertanian padi organik ternyata mendapat
respon yang sangat baik dari masyarakat. Hal ini disebabkan adanya tren gaya
hidup sehat yang mensyaratkan jaminan bahwa produk yang dikonsumsi harus
mempunyai atribut yang aman dikonsumsi, mempunyai kandungan nutrisi yang
tinggi, dan ramah lingkungan. Semua syarat atribut ini ternyata melekat pada
beras organik. Selain itu juga, informasi yang mudah didapat dan bersifat terbuka
turut memperluas pemikiran masyarakat mengenai pola gaya hidup sehat.
Masyarakat semakin sadar penggunaan bahan-bahan kimia pada pertanian akan
menimbulkan efek negatif terhadap lingkungan dan kesehatannya.
Perubahan pola pikir tersebut, khususnya kalangan menengah ke atas,
mengubah pola konsumsi dari penggunaan produk beras nonorganik menjadi
beras organik. Semakin tinggi jumlah masyarakat yang sadar terhadap gaya hidup
sehat maka semakin tinggi pula kebutuhan beras organik dan berdampak pada
meningkatnya potensi pasar yang tersedia. Menurut IFOAM (International
Federation of Organic Agriculture Movements) dalam data statistik dan tren
pertanian organik tahun 2011, pasar untuk produk pertanian organik memiliki
prospek yang sangat baik. Permintaan akan produk pertanian organik setiap
tahunnya mengalami peningkatan. Penjualan produk organik bersertifikat di dunia
meningkat dari tahun 2007 ke 2009, diperkirakan jumlahnya mencapai 54.9 miliar
dolar AS.
Sumberdaya alam yang dimiliki Indonesia bisa menjadi modal utama dalam
pengembangan padi organik. Potensi luas lahan yang dapat digunakan untuk
kegiatan pertanian diperkirakan mencapai 75.5 juta hektar dan baru sekitar 25.7
juta hektar lahan yang telah diolah untuk sawah dan perkebunan. Hal ini
menunjukan pengembangan pertanian masih dapat terbuka lebar khususnya untuk
3

USDA.1997.organic agriculture [internet]. [diakses
http//extension.agron.iastate.edu/organicag/whatis.html

juli

17].

Tersedia

pada

:

4
pengembangan pertanian organik. Adanya potensi sumberdaya alam dan
terbukanya pasar bagi pertanian organik meyebabkan pemerintah mencanangkan
program Go Organik 2010. Program Go Organik 2010 merupakan strategi untuk
mempercepat terwujudnya pembangunan agribisnis yang memiliki daya saing
tinggi, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan (eco-agribisnis). Selain itu
program ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani.

Perumusan Masalah

Menurut Badan Pusat Statistik (2013), Jawa Barat merupakan salah satu
sentra produksi padi di Indonesia dengan produksi sebesar 11 633 891 ton atau
17.69% dari total produksi nasional (Lampiran 1). Hal ini tidak terlepas dari
kontribusi hampir seluruh Kabupaten atau Kota di Jawa Barat yang melakukan
budidaya tanaman padi. Salah satu daerah yang memiliki kontribusi cukup besar
dalam produksi beras adalah Kabupaten Tasikmalaya.
Kabupaten Tasikmalaya memiliki luas area tanam padi sekitar 143 222
hektar dengan luas panen 135 916 hektar yang menghasilkan produksi beras
sebesar 727 321 ton dengan produktivitas 6 115 ton/hektar (BPS 2013). Sebagai
salah satu sentra produksi padi, Kabupaten Tasikmalaya memiliki potensi yang
sangat besar untuk mengembangkan padi organik. Selain itu pengembangan padi
organik juga didukung oleh pemerintah Kabupaten Tasikmalaya yang terdapat
pada Rencana Strategis Kabupaten. Dalam rancangan program tersebut
pemerintah setempat merencanakan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan
pembangunan agribisnis melalui pembangunan budidaya pertanian organik.
Potensi sumber daya alam, peluang pemasaran serta adanya dukungan
pemerintah pusat dan daerah untuk mengembangkan usahatani padi organik
ternyata penerapannya belum mendapatkan respon yang baik dari sebagian besar
petani. Hal ini dapat dilihat dari luas panen padi organik hanya seluas
5230.04hektar atau sekitar 3.84% dari total luas panen padi di Kabupaten
Tasikmalaya. Sehingga menjadi pertanyaan mengapa sebagian besar petani padi
di Kabupaten Tasikmalaya masih menerapkan usahatani padi konvensional?.
Selain itu, apakah faktor keuntungan usahatani mempengaruhi penerapan
usahatani padi organik? adakah faktor lain yang mempengaruhi penerapan
usahatani padi organik di Kabupaten Tasikmalaya?.

Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan
sebelumnya, maka tujuan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan alasan petani masih menerapkan usahatani padi
konvensional
2. Menganalisis tingkat keuntungan usahatani padi organik dibandingkan
dengan keuntungan usahatani padi konvensional di Kabupaten Tasikmalaya.
3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam
menerapkan usahatani padi organik.

5
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan informasi yang dapat
membantu petani padi dalam mengelola usahataninya, serta memberikan
gambaran keuntungan petani jika mengusahakan padi organik atau padi
konvensional. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi
kepada pemerintah sehingga dapat membantu di dalam perumusan kebijakan dan
perencanaan pembangunan. Selain itu, penelitian ini diharapkan menjadi
sumbangan dan tambahan informasi untuk penelitian selanjutnya mengenai
analisis usahatani padi organik dan padi konvensional serta faktor yang
mempengaruhi dalam penerapan padi organik.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan lingkup regional Kabupaten Tasikmalaya
dengan komoditi padi organik dan konvensional. Responden pada penelitian ini
adalah petani yang menanam padi organik dan konvensional dalam kegiatan
usahataninya. Penelitian ini memfokuskan pada keuntungan usahatani padi
organik dan konvensional, serta faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan padi
organik. Musim tanam yang diamati dalam penelitian ini yaitu tiga musim tanam
tahun 2012-2013

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Padi Organik
Menurut Food and Agricultural Organization, pertanian organik diartikan
sebagai sistem manajemen produksi pertanian yang menyeluruh tanpa
penggunaan pupuk kimia, pestisida kimia dan penggunaan organisme hasil
rekayasa genetika. Selain itu pertanian organik juga meminimalkan terbentuknya
polusi udara, air, dan tanah, serta peningkatan kesehatan, produktivitas tanaman
dan ternak dalam satu kesatuan4. Mengacu pada pengertian tersebut, pengertian
padi organik adalah padi yang dihasilkan dari proses budidaya yang tidak
menggunakan bahan-bahan kimia dan digantikan dengan bahan organik. Selain itu,
padi organik juga dihasilkan dari lahan yang terbebas dari kandungan bahan kimia.
Pemanfaatan bahan organik pada budidaya padi merupakan faktor yang sangat
penting. Bahan organik sangat diperlukan untuk memperbaiki sifatfisik, kimia dan
biologi tanah. Bahan organik juga dapat berfungsi untuk (1) menyimpan air dalam
tanah, mengurangi penguapan, membuat tanah mudah untuk pergerakan akar
tanaman, (2) menyediakan unsur hara bagi tanaman. (3) meningkatkan daya
menahan unsur hara, sehingga unsur hara tidak mudah lepas dari tanah, (4)
4

FAO. 1998. Organic Agriculture [internet].
http://www.fao.org/docrep/003/ac116e/ac116e02.htm

[diakses

juli

17].

Tersedia

pada

:

6
menetralkan keracunan yang dihasilkan dari bahan kimia (5) sebagai media
tumbuh mikroorganisme tanah (Sutaryat 2008).
Bahan-bahan organik biasanya mudah didapatkan dari sekitar wilayah
usahatani,seperti hijauan, sisa tanaman hasil panen, kotoran ternak dan kompos.
Akan tetapi,bahan organik juga memiliki kekurangan yaitu bersifat bulky atau
diperlukan dalam jumlah yang banyak, jika kualitas bahan organik kurang baik
dan sistem drainase sawah buruk akan menimbulkan senyawa kimia yang bersifat
racun pada tanaman. Maka dari itu, selain bahan organik yang mudah didapatkan
dari lingkungan sekitar, bahan organik yang akan dijadikan input pada usahatani
padi juga harus memiliki jumlah yang banyak dan berkualitas.

Penerapan Teknologi pada Padi di Indonesia
Berbagai teknologi pada budidaya padi di Indonesia telah diterapkan oleh
pemerintah untuk dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Beberapa
penerapan teknologi pada budidaya padi yang sudah dilakukan oleh pemerintah
diantaranya yaitu, teknik budidaya organik, teknologi padi hibrida, dan
pengendalian hama terpadu. Akan tetapi dalam pelaksanaan penerapan teknologi
pada budidaya padi, masih banyak petani yang belum menerapkan teknologi yang
diberikan oleh pemerintah karena berbagai faktor.
Penelitian mengenai penerapan teknologi oleh petani padi telah dilakukan
diberbagai daerah di Indonesia. Susanti (2008) dan Putri (2011) telah melakukan
penelitian mengenai penerapan teknologi organik pada usahatani padi. Basuki
(2008) telah melakukan penelitian mengenai penerapan teknologi padi hibrida.
Selain itu, penelitian terhadap penerapan teknologi pengendalian hama terpadu
pada padi telah dilakukan oleh Surya (2002).
Penelitian yang dilakukan oleh Susanti (2008) dan Putri (2011) mengenai
penerapan padi organik memiliki tujuan yang berbeda. Susanti (2008) melakukan
penelitian dengan tujuan untuk mengetahui dan mengkaji tingkat signifikasi
faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan petani dalam penerapan
pertanian padi organik. Akan tetapi, penelitian yang dilakukan oleh Putri (2011)
mempunyai tujuan untuk mengidentifikasi penerapan pertanian organik dan
persepsi petani tentang karakteristik pertanian organik serta pengaruhnya terhadap
penerapan teknologi.
Susanti (2008) yang melakukan penelitian di Kabupaten Sragen Jawa
Timur, menjelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan
petani dalam penerapan padi organik adalah Usia, tingkat pendidikan, luas lahan,
tingkat keuntungan, lingkungan ekonomi dan sosial. Faktor usia diduga dapat
mempengaruhi pengambilan keputusan petani karena, usia akan mempengaruhi
kemampuan fisik dan respon petani terhadap hal baru dalam menjalankan
usahataninya. Tingkat pendidikan petani juga diduga mempengaruhi pola pikir
petani dalam menghadapi teknologi yang baru sehingga diduga dapat
mempengaruhi keputusan petani. Luas lahan yang diusahakan petani akan
mempengaruhi hasil produksi yang berakibat pada tingkat keuntungan petani,
semakin besar luas lahan garapan diduga akan semakin besar hasil yang diperoleh
dan berdampak pada meningkatnya keuntungan petani. Semakin tinggi tingkat
keuntungan petani diduga akan mempengaruhi keputusan petani dalam

7
menerapkan teknologi baru. Selain itu terdapat juga faktor lingkungan ekonomi
dan sosial yang diduga berpengaruh terhadap pengambilan keputusan petani
dalam penerapan padi organik. Hasil penelitian menunjukan bahwa tingkat
pendidikan serta lingkungan sosial dan ekonomi petani memiliki nilai yang
signifikan. Hal ini menunjukan bahwa tingkat pendidikan serta lingkungan sosial
ekonomi petani berpengaruh nyata terhadap pengambilan keputusan petani dalam
menerapkan padi organik.
Penelitian Putri (2011) menyebutkan bahwa semakin positif persepsi petani
terhadap penerapan teknologi, maka budidaya yang dilakukan akan mengarah
pada penerapan pertanian organik. Kemudian semakin besar luas lahan yang
dikelola maka akan semakin positif persepsi terhadap pertanian organik. Selain
itu, semakin petani berani mengambil resiko dan terbuka dengan informasi maka
semakin positif persepsi petani terhadap karakteristik inovasi teknologi pertanian
organik.
Penelitian yang dilakukan oleh Basuki (2008) tentang analisis keuntungan
usahatani dan faktor yang mempengaruhi petani untuk menanam padi hibrida,
menyebutkan bahwa usahatani padi hibrida memberikan keuntungan yang lebih
kecil dibandingkan padi inhibrida. Selain itu, hasil analisis regresi logistik
menunjukan bahwa terdapat empat faktor yang berpengaruh secara signifikan
terhadap penerapan padi hibrida di Kecamatan Cibuaya, Kabupaten Karawang.
Luas lahan, status lahan, rasio keuntungan usahatani padi terhadap keuntungan
total dan usia berpengaruh signifikan terhadap penerapan padi hibrida. Semakin
luas, lahan garapan petani maka kemungkinan petani mengadopsi benih padi
hibrida juga semakin tinggi. Petani penggarap bukan pemilik tanah ternyata
mempunyai kemungkinan yang lebih tinggi untuk menggunakan benih padi
hibrida. Semakin tinggi rasio keuntungan usahatani padi terhadap keuntungan
total, maka semakin tinggi kemungkinan petani untuk menggunakan benih padi
hibrida. Semakin tua petani maka kemungkinan petani untuk menanam padi
hibrida semakin kecil.
Selain penerapan teknologi padi organik dan padi hibrida, terdapat juga
penelitian mengenai penerapan teknologi pengendalian hama terpadu pada padi.
Penelitian Surya (2002) menjelaskan tentang analisis usahatani dan faktor yang
mempengaruhi petani dalam mengadopsi usahatani padi metode pengendalian
hama dan penyakit (PHT) di Kecamatan Tempuran, Kabupaten Karawang. Hasil
penelitian menunjukan bahwa hasil rata-rata per hektar usahatani padi metode
PHT 13 persen lebih rendah dibandingkan padi konvensional. Akan tetapi nilai
R/C rasio metode PHT sebesar 1.72 lebih tinggi daripada R/C padi konvensional
yaitu 1.63. Hal ini disebabkan usahatani padi dengan metode PHT lebih efisien
dalam menggunakan sumber daya yang tersedia. Berdasarkan hasil analisis logit
model diketahui bahwa pelatihan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terdapu
(SLPHT), luas lahan, dan biaya tenaga kerja merupakan faktor yang
mempengaruhi petani dalam menerapkan usahatani metode PHT. Pelatihan
SLPHT dapat memberikan pemahaman pada petani tentang pelaksanaan usahatani
metode PHT serta keuntungan yang diperoleh secara ekonomis maupun ekologis.
Luas lahan garapan berimplikasi terhadap total biaya tunai yang harus
dikeluarkan, petani yang memiliki lahan yang luas cenderung untuk menerapkan
usahatani padi metode PHT untuk menghemat biaya tunai. Biaya tenaga kerja
khususnya TKLK memiliki koefisien negatif dalam penerapan usahatani padi

8
metode PHT. Hal ini menunjukan bahwa, jika biaya tenaga kerja semakin rendah
maka peluang petani dalam menerapkan padi metode PHT semakin tinggi.

Studi Tentang Usahatani Padi Organik dan Konvensional
Sarianti et al (2011) melakukan penelitian di Kabupaten Tasikmalaya dan
Kabupaten Subang untuk menganalisis usahatani padi organik dan sistem
tataniaga beras. Dalam penelitian mereka, terdapat dua jenis teknik budidaya yang
digunakan dalam usahatani padi yaitu teknik budidaya padi organik dan teknik
budidaya padi konvensional. Hasil penelitian menunjukan bahwa usahatani padi
metode organik di Kabupaten Subang mampu meningkatkan hasil usahatani
dibandingkan usahatani konvensional. Peningkatan hasil padi berkisar antara
27.58% – 48.65% atau sekitar 1.11 – 1.69 ton per hektar. Biaya total yang
dikeluarkan pada usahatani padi organik lebih tinggi dibandingkan pada padi
konvensional, akan tetapi biaya yang tinggi dapat diimbangi dengan penerimaan
dari hasil produksi yang lebih tinggi sehingga pada budidaya padi organik
mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi. Analisis imbangan penerimaan dan
biaya menunjukan bahwa dengan teknologi padi organik R/C untuk padi organik
di kedua lokasi penelitian menghasilkan rasio lebih besar daripada satu dan lebih
besar daripada nilai R/C usahatani padi konvensional. Hal ini menunjukan bahwa
usahatani padi organik lebih efisien dijalankan daripada padi konvensional.
Namun apabila dibandingkan antar lokasi penelitian, nilai R/C padi organik di
Kabupaten Tasikmalaya lebih tinggi dibandingkan Kabupaten Subang. Hal ini
disebabkan adanya dukungan gapoktan yang turut aktif dalam penguatan
kelembagaan kelompok tani dan membantu petani dari mulai teknis (penyuluhan),
pembuatan kompos, sampai dukungan pemasaran.
Rachmiyanti (2009) yang menyebutkan bahwa keuntungan atas biaya tunai
maupun keuntungan atas biaya total petani padi organik lebih rendah
keuntungannya dibandingkan padi konvensional. Selain itu, hasil analisis
statistika uji-t menyimpulkan bahwa perubahan sistem usahatani yang dilakukan
oleh petani padi ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap keuntungan usahatani.
Biaya total yang diperlukan dalam usahatani padi organik di lokasi penelitian
sebesar Rp11 197 570 dengan produktivitas sebesar 5 752 ton sehingga
penerimaan usahatani yang diperoleh sebesar Rp17 259 000 per hektar per musim
tanam. Keuntungan atas biaya total usahatani yang diterima petani sebesar Rp6
061 430 per hektar per musim tanam.Padi dengan teknik konvensional
memerlukan biaya total Rp5 644 655. Produktivitas sebesar 6.105 ton, maka
penerimaan total usahatani sebesar Rp12 212 000 per hektar per musim tanam.
Keuntungan petani padi konvensional atas biaya total usahatani sebesar Rp6 567
345 per hektar per musim tanam.
Rendahnya keuntungan petani padi organik dibandingkan dengan petani
padi konvensional disebabkan oleh produktivitas padi organik yang lebih rendah,
padahal harga jual padi organik lebih mahal dibandingkan dengan padi
konvensional. Rendahnya produktivitas disebabkan sistem pertanian organik pada
padi dengan metode SRI baru pertama kali dikembangkan di Desa Bobojong
sehingga lahan yang digunakan masih belum bisa maksimal dalam penyerapan
unsur haranya atau dengan kata lain masih dalam tahap konversi. Selain itu para

9
petani baru pertama kali mempraktekkan sistem usahatani metode SRI ini
sehingga hasil panen pada musim pertama ini masih belum maksimal.

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis
Konsep Usahatani
Usahatani didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana
seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien untuk
tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Efektif bila
petani dapat mengalokasikan sumber daya yang mereka miliki sebaik-baiknya,
dan dapat dikatakan efisien bila pemanfaatan sumberdaya tersebut mengeluarkan
output yang melebihi input (Soekartawi 1995). Mosher (1978)mengartikan
usahatani sebagai pertanian rakyat yang berasal dari perkataan farm dalam bahasa
inggris. Farm sebagai suatu tempat di permukaan bumi di mana pertanian
diselenggarakan oleh seorang petani tertentu, apakah ia seorang pemilik,
penyakap atau manajer yang digaji.
Keberhasilan usahatani tidak terlepas dari faktor-faktor produksi yang
dialokasikan oleh produsen. Faktor produksi dalam usahatani memiliki
kemampuan yang terbatas, akan tetapi dapat ditingkatkan nilai produktivitasnya
jika dikelola dengan baik. Menurut Shinta (2011) terdapat empat faktor produksi
yang mempengaruhi produktivitas usahatani yaitu :
1. Tanah
Tanah merupakan faktor produksi yang paling penting. Hal ini disebabkan
tanah merupakan tempat tumbuhnya tanaman, hewan ternak dan tempat
berlangsungya usahatani keseluruhan. Tanah dapat diperoleh dari beberapa
sumber yaitu, membeli, sewa, sakap atau bagi hasil, pemberian negara,
warisan dan wakaf.
2. Tenaga Kerja
Tenaga kerja adalah energi yang dicurahkan dalam suatu proses kegiatan
untuk menghasilkan suatu produk. Tenaga kerja manusia (pria dan
perempuan) bisa berasal dari dalam keluarga ataupun dari luar keluarga.
3. Modal
Modal adalah barang atau uang yang digunakan bersama faktor produksi
lainnya untuk menghasilkan produk pertanian. Contoh modal dalam usahatani
yaitu, tanah, bangunan, alat-alat pertanian, tanaman, ternak, sarana produksi,
piutang dari bank dan uang tunai. Sumber modal bisa berasal dari milik
sendiri, pinjaman, warisan, dari usaha lain dan kontrak sewa.
4. Manajemen
Manajemen usahatani adalah kemampuan petani dalam merencanakan,
mengorganisir, mengarahkan, mengkoordinasikan dan mengawasi faktor
produksi seperti yang diharapkan.
Jenis atau tipe usahatani yang diusahakan dan cara mengusahakannya, baik
secara khusus atau secara campuran atau diversifikasi sering dipakai sebagai

10
kriteria untuk menentukan tipe usahatani. Menurut (Tjakrawilaksana dan
Soeriatmadja, 1983) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penentuan tipe
usahatani disuatu daerah. Faktor-faktor tersebut adalah:
1. Faktor alam
Faktor ini merupakan faktor yang paling penting dalam penentuan tipe
usahatani dari suatu daerah, meliputi iklim, tanah dan topografi yang
keadaannya berbeda di setiap wilayah.
2. Faktor ekonomi
Faktor ini cenderung menentukan cabang-cabang usahatani tanaman dan
hewan ternak serta komoditi lain yang dihasilkan.Dalam berbagai
kemungkinan pilihan yang disediakan oleh faktor alam yang termasuk
didalam faktor ekonomi diantaranya, adanya permintaan pasar, ongkos
tataniaga, adanya persaingan antara cabang usahatani, adanya siklus
kelebihan dan kekurangan produksi, nilai lahan, tersedianya modal dan
tersedianya tenaga kerja.
3. Faktor budaya
Faktor ini mempengaruhi kehidupan masyarakat dalam berbagai aspek
diantaranya, adat kepercayaan kepada agama, perkembangan pendidikan dan
perkembangan tingkat hidup masyarakat.
4. Faktor kebijaksanaan pemerintah
Kebijakan pemerintah sangat berperan dalam kegiatan usahatani yang
mengatur tersedianya bahan-bahan input usahatani, distribusi hasil pertanian
dan infrastrukstur yang memperlancar kegiatan usahatani.
Ukuran Keuntungan Usahatani
Analisis keuntungan dalam usahatani terkadang hanya dihitung berdasarkan
uang yang didapat dari hasil penjualan usahatani padahal yang tidak termasuk
uang juga penting. Ukuran keuntungan mencakup nilai transaksi barang dan
perubahan nilai investasi atau kekayaan usahatani selama kurun waktu tertentu
yang dapat dihitung (Soekartawi et al 1986). Menurut pembahasan Soekartawi,
sebelum mengukur keuntungan usahatani perlu diperhatikan terlebih dahulu
bagaimana cara menilai produk yang berbentuk uang tidak tunai. Caranya bisa
dinilai dengan menggunakan harga pasar namun jika barang tersebut tidak
diperdagangkan dipasar setempat bisa menggunakan harga barang subtitusi yang
dapat dinilai berdasarkan kadar gizinya.
Menurut Soekartawi et al (1986), banyak istilah yang digunakan untuk
menyatakan ukuran keuntungan usahatani. Penggunaan beberapa istilah dan
artinya dalam mengukur keuntungan usahatani adalah sebagai berikut:
1. Penerimaan total usahatani didefinisikan sebagai nilai produk total usahatani
dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual.
2. Penerimaan tunai didefinisikan sebagai nilai uang yang diterima dari hasil
penjualan produk usahatani.
3. Penerimaan diperhitungkan merupakan penerimaan yang bukan dalam bentuk
uang tunai seperti hasil panen yang dikonsumsi, digunakan bibit atau
makanan ternak, digunakan untuk pembayaran, disimpan digudang dan
menerima pembayaran dalam bentuk benda.

11
4.

Biaya total usahatani didefinisikan sebagai nilai semua masukan yang habis
terpakai atau dikeluarkan didalam produksi. Pengeluaran total usahatani
mencakup pengeluaran tunai dan tidak tunai.
5. Biaya tunai adalah pengeluaran yang dilakukan dalam usahatani berdasarkan
nilai uang, keperluan usahatani yang dibayar dalam bentuk benda tidak
dimasukan dalam pengeluaran tunai.
6. Biaya diperhitungkan merupakan pengeluaran dalam usahatani yang bukan
berbentuk dalam uang. Misalnya membayar jasa untuk keperluan usahatani
dengan hasil produksi.
7. Keuntungan tunai adalah selisih antara penerimaan tunai dan biaya tunai.
8. Keuntungan total usahatani adalah selisih antara penerimaan total dan biaya
total, yang mengukur imbalan yang diperoleh usahatani dari penggunaan
faktor-faktor produksi.
Return Cost Ratio atau yang biasa dikenal R/C merupakan imbangan
antara penerimaan dengan biaya. Nilai R/C ratio dapat digunakan dalam
menentukan tingkat efisiensi suatu usahatani. Semakin besar nilai R/C ratio yang
dihasilkan oleh suatu usahatani, maka semakin efisien usahatani tersebut
dijalankan. Selain itu, jika nilai R/C ratio lebih dari satu menunjukan pemanfaatan
faktor produksi menghasilkan output yang lebih tinggi daripada input. Akan tetapi
jika nilai R/C ratio lebih kecil daripada satu maka usahatani tersebut
menghasilkan output yang lebih rendah daripada input. Selain itu, ketika nilai R/C
sama dengan satu maka usahatani tersebut berada pada titik impas, atau
penggunaan faktor produksi menghasilkan output yang sama dengan input.
Nilai R/C ratio biasanya dihitung atas imbangan penerimaan atas biaya total
dan imbangan penerimaan atas biaya tunai. Soekartawiet al (1986) membagi
perhitungan R/C menjadi dua macam R/C yaitu :
a. R/C berdasarkan biaya yang benar-benar dibayarkan oleh petani (biaya tunai)
b. R/C berdasarkan biaya yang memperhitungkan biaya imbangan seperti, biaya
tenaga kerja, sewa lahan (jika lahan milik sendiri), alat-alat pertanian, dan
sebagainya.
Menurut Soekartawi et al (1986) dalam kegiatan usahatani semi komersial,
imbalan terhadap modal merupakan patokan yang baik untuk menggambarkan
suatu usahatani. Imbalan kepada modal (return to capital) merupakan selisih
antara nilai kerja keluarga dari keuntungan bersih usahatani dan dibagi dengan
total modal petani. Dalam perhitungan ini biasanya, tenaga kerja keluarga dinilai
menurut tingkat upah yang berlaku dan hasilnya biasanya dinyatakan dalam
persen terhadap nilai seluruh modal pada kegiatan usahatani. Nilai return to
capitalbiasanya dihubungkan dengan nilai-nilai imbalan yang tersedia untuk
investasi lainnya.
Imbalan terhadap tenaga kerja dalam keluarga (return to family labour)
dapat diperoleh dari penghasilan bersih usahatani dengan mengurangkan bunga
modal petani yang diperhitungkan. Ukuran imbalan ini dapat dibandingkan
dengan imbalan atau upah pada kegiatan lain ataupun pada kegiatan usahatani
sebagai buruh tani.
Penerapan Inovasi pertanian
Inovasi merupakan istilah yang sering digunakan di berbagai bidang, seperti
industri, jasa, pemasaran termasuk pertanian. Menurut Rogers (1983) inovasi

12
adalah sebuah ide, praktek, atau objek yang dianggap hal baru oleh individu atau
unit kelompok yang lain. Selain itu, penerapan inovasi merupakan suatu mental
atau perubahan perilaku baik berupa pengetahuan (cognitive), sikap (affective),
maupun keterampilan (psychomotor) pada diri seseorang sejak ia menerima
inovasi sampai memutuskan untuk menerapkannya inovasi tersebut. Berdasarkan
penjelasan tersebut dalam proses penerapan inovasi didahului oleh adanya
pengenalan inovasi kepada masyarakat, yang selanjutnya terjadi proses mental
untuk menerima atau menolak inovasi tersebut.
Proses penerapan suatau inovasi menurut Musyafak dan Ibrahim (2005)
melalui beberapa tahapan yaitu kesadaran (awarness), perhatian (interest),
penaksiran (evaluation), percobaan (trial), adopsi (adopsi) dan konfirmasi
(confirmation). Pada tahap kesadaran, suatu pihak mulai sadar bahwa telah
muncul suatu jenis inovasi dan mempunyai pemahaman yang terbatas berkaitan
inovasi tersebut. Selanjutnya pihak tersebut mulai terdorong untuk menggali
informasi yang lebih banyak berkaitan inovasi dan masuk pada tahap perhatian.
Setelah adanya ketertarikan selanjutnya akan terjadi penaksiran inovasi tersebut
apakah layak diterapkan atau tidak. Pada tahap percobaan suatu pihak mencoba
inovasi tersebut kemudian setelah dilakukan percobaan pihak tersebut
memberikan pilihan menerima atau menolak inovasi tersebut. Penerapan terjadi
saat suatu pihak menerapkan inovasi. Tahap konfirmasi merupakan penegasan
untuk melanjutkan menerapkan inovasi atau berhenti dari menerapkan inovasi
karena harapan menerapkan inovasi tidak tercapai.
Musyafak dan Ibrahim(2005)menyebutkan bahwa inovasi teknologi dalam
pertanian dapat berupa peralatan pertanian, teknik budidaya, input produksi,
pengolahan hasil produksi, dan lainnya. Tujuan dari teknologi adalah mencapai
output yang lebih tinggi dari sejumlah lahan, tenaga kerja, dan sumberdaya
tertentu. Teknologi mempunyai peranan yang penting untuk mengekonomiskan
suatu proses.
Salah satu teknologi dalam bidang pertanian adalah teknik budidaya
tanaman. Teknik budidaya tanaman terus dikembangkan oleh para ahli untuk
meningkatkan hasil produksi. Inovasi teknik budidaya juga semakin
dikembangkan dengan mempertimbangkan keadaan lingkungan. Sehingga
diharapkan teknik budidaya tanaman bisa menghasilkan hasil yang tinggi tanpa
merusak lingkungan.
Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Inovasi Pertanian
Salah satu faktor penting yang mempengaruhi penerapan inovasi adalah
karakteristik inovasi itu sendiri. Inovasi harus memiliki karakteristik yang bersifat
dapat diaplikasikan dengan mudah dan tepat guna. Menurut Musyafak dan
Ibrahim (2005) menjelaskan bahwa terdapat beberapa kriteria yang dapat
menentukan inovasi yang tepat guna, diantaranya yaitu,
1. Inovasi harus dirasakan sebagai kebutuhan oleh petani kebanyakan.
Inovasi akan dirasakan manfaatnya ketika inovasi tersebut dapat memenuhi
kebutuhan petani. Selain itu, inovasi juga harus dapat memecahkan masalah
yang sedang dihadapi oleh petani.
2. Inovasi harus memberikan keuntungan yang nyata bagi petani
Salah satu faktor yang mempengaruhi penerapan inovasi ialah peningkatan
keuntungan perorangan. Jika teknologi baru akan memberikan keuntungan

13
yang relatif lebih besar dari nilai yang dihasilkan teknologi lama, maka
kecepatan adopsi inovasi akan berjalan lebih cepat.
3. Inovasi harus mempunyai kompabilitas/keselarasan.
Inovasi yang diperkenalkan harus memiliki kesesuaian yang berkaitan dengan
teknologi yang telah ada sebelumnya, pola pertanian, nilai sosial, budaya dan
kepercayaan petani.
4. Inovasi harus mengatasi faktor-faktor pembatas.
Faktor pembatas seringkali menjadi kendala pada proses produksi, dengan
adanya inovasi diharapkan mengatasi faktor pembatas yang ada dalam sistem.
Inovasi yang secara nyata dapat mengatasi faktor pembatas akan cenderung
lebih mudah diterapkan.
5. Inovasi harus menggunakan sumber daya yang sudah ada.
Adopsi inovasi akan berlangsung lebih cepat jika sumberdaya yang
digunakan berasal dari lingkungan sekitar, mudah didapat dan sudah dimiliki
oleh petani. Selain itu jika sumberdaya dari luar dibutuhkan maka
sumberdaya tersebut harus murah, mudah diperolehdan memilki kualitas yang
baik.
6. Inovasi harus terjangkau secara finansial petani
Jika inovasi membutuhkan sarana produksi dengan biaya yang tidak
terjangkau oleh finansial petani, maka inovasi tersebut akan sulit diterapkan.
Apalagi jika kebanyakan petani relatif miskin, maka inovasi yang dirasakan
murah akan lebih cepat diadopsi dibandingkan inovasi yang mahal.
7. Inovasi harus sederhana tidak rumit, dan mudah dicoba.
Kesederhanaan suatu inovasi sangat berpengaruh terhadap percepatan inovasi.
Semakin mudah teknologi baru untuk dapat dipraktekan, maka semakin
semakin cepat juga proses adopsi inovasi yang dilakukan petani. Oleh karena
itu, agar proses adopsi dapat berjalan dengan cepat, maka penyajian suatu
inovasi harus lebih sederhana
8. Inovasi harus mudah diamati.
Jika suatu inovasi mudah diamati maka banyak petani akan meniru atau
menerapkan inovasi tanpa harus bertanya kepada petani yang telah
menerapkan inovasi. Dengan demikian petani yang menerapkan inovasi
menjadi lebih banyak. Agar inovasi mudah diamati, maka pada tahap awal
dilakukan percontohan atau demonstrasi inovasi yang dilakukan disuatu
tempat yang mudah diamati, melakukan kunjungan lapang dan
mendiskusikan teknologi yang ada di lapangan secara langsung.
Selain karakteristik inovasi yang mempengaruhi adopsi inovasi terdapat
juga beberapa faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi. Terdapat tiga kelompok
faktor yang diduga dapat mempengaruhi petani dalam mengadopsi atau
menerapkan inovasi dalam usahataninya. Ketiga faktor tersebut adalah faktor
yang berkaitan dengan karakteristik petani, faktor yang berkaitan dengan
usahatani yang dijalankannya dan faktor lingkungan usahatani.
Faktor yang diduga berkaitan dengan karakteristik petani yang
mempengaruhi adopsi inovasi antara lain usia petani, pendidikan petani,
pengalaman usahatani, jumlah tanggungan keluarga, dan pendapatan non
usahatani. Keuntungan total usahatani merupakan faktor yang diduga berkaitan
dengan usahatani yang dijalankan. Selain itu faktor yang diduga berkaitan dengan
faktor lingkungan usahatani adalah kemitraan, fasilitas penyuluhan dan pelatihan.

14
Berikut ini adalah penjelasan beberapa faktor yang diduga mempengaruhi
penerapan padi organik di Kabupaten Tasikmalaya.
1. Usia Petani
Semakin muda usia petani biasanya mempunyai semangat untuk ingin tahu apa
yang mereka belum ketahui, sehingga mereka berusaha untuk lebih cepat
melakukan adopsi inovasi walaupun sebenarnya mereka belum berpengalaman
dalam adopsi inovasi tersebut (Soekartawi 1995). Hal tersebut memberikan
pengertian bahwa usia memiliki pengaruh terhadap penerapan teknologi padi
organik. Semakin muda usia petani memiliki kemungkinan yang lebih besar
dalam menerapkan adopsi teknologi, beg