Analisis isi klaim hijau pada iklan televisi

ANALISIS ISI KLAIM HIJAU PADA IKLAN TELEVISI

FEBRIKA SETIYAWAN

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul ANALISIS ISI KLAIM
HIJAU PADA IKLAN TELEVISI adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2014

Febrika Setiyawan
NIM I24090049

ABSTRAK
FEBRIKA SETIYAWAN. Analisis Isi Klaim Hijau pada Iklan Televisi. Dibimbing
oleh UJANG SUMARWAN.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis isi iklan televisi yang menggunakan
klaim hijau dengan metode analysis isi. Variabel yang dianalisis didalam penelitian
ini adalah produk yang diiklankan, karakteristik tayangan video iklan, sifat pesan
iklan, dan klaim hijau. Iklan yang dianalisis adalah iklan yang diunggah di
TVCOnair pada periode 1 November 2012 hingga 31 Desember 2012. Iklan
tersebut dievaluasi menggunakan Undang-Undang Perlindungan Konsumen
Nomor 8 Tahun 1999 (UUPK) dan Etika Pariwara Indonesia (EPI) atau Tata Krama
dan Tata Cara Periklanan Indonesia (TKTCPI). Berdasarkan evalusai dan
kesesuaian dengan tayangan iklan dengan Etika Pariwara Indonesia (EPI) atau Tata
Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia (TKTCPI) dan Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, ada 4 tayangan iklan yang memenuhi Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, ada 29 tayangan iklan yang memenuhi Etika Pariwara

Indonesia (EPI) atau Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia (TKTCPI),
dan ada 7 tayangan iklan yang sudah memenuhi Undang-Undang Perlindungan
Konsumen dan Etika Pariwara Indonesia (EPI) atau Tata Krama dan Tata Cara
Periklanan Indonesia (TKTCPI). Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa
sebagian besar tipe klaim hijaunya berorentasi produk (61,67%). Hasil penelitian
ini harapannya negara selaku pemerintah lebih tegas dan ketat dalam
memberlakukan, mengawasi, dan mengontrol pelaksanaan Undang-Undang
Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 (UUPK) dan Etika Pariwara
Indonesia (EPI).
Kata kunci: analisis isi, EPI, perlindungan konsumen, peraturan, UUPK

ABSTRACT
FEBRIKA SETIYAWAN. Content Analysis of Green Claims in Television
Advertisements. Supervised by UJANG SUMARWAN.
The aim of this study was to analyze the contents of television advertisements which
use green claim using content analysis method. There are four variables which been
analyzed, kind of product, characteristics of television advertisements, and green
claims. Analyzed advertisement took from TVCOnair in a perioed from November
1st 2012 until December 31st 2012. Furthermore, those advertisements evaluated by
Undang-undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 (UUPK) and

Etika Pariwara Indonesia (EPI). An evaluation shows that there are only 4
advertisements fulfilled Undang-undang Perlindungan Konsumen’s advertising
standards, 29 advertisements fulfilled Etika Pariwara Indonesia’s advertising
standards and only 7 advertisements fulfilled both standards. Descriptive
analysis showed that most of them type of green claim’s are product oriented
(61,67%).

ANALISIS ISI KLAIM HIJAU PADA IKLAN TELEVISI

FEBRIKA SETIYAWAN
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2014

Judul Penelitian: Analisis Isi Klaim Hijau pada Iklan Televisi
Nama
: Febrika Setiyawan
NIM
: I24090049

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Ujang Sumarwan, MSc
Pembimbing

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Ujang Sumarwan, MSc
Ketua Departemen

Tanggal Disetujui:


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis mampu meyelesaikan proposal yang berjudul Analisis Isi
Klaim Hijau pada Iklan Televisi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Ujang Sumarwan, MSc
selaku pembimbing, Ir. Retnaningsih, Msi selaku penguji I, Dr. Ir. Lilik Noor
Yuliati, MFSA selaku penguji II dan pemandu, Dr. Ir. Istiqlaliyah, dan Msi yang
selalu sabar ketika mengingatkan.
Tidak luput pula ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu,
serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya., serta teman-teman
yang telah memberikan masukan dan saran.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2014

Febrika Setiyawan

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR

DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN

iv
iv
iv
1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

3


Kegunaan Penelitian

3

TINJAUAN PUSTAKA

4

Televisi sebagai Media Komunikasi

4

Iklan sebagai Bentuk Komunikasi Pemasaran

5

Tayangan Iklan pada Media Televisi

6


Pesan Iklan

6

Media Iklan

7

Masalah Etika Periklanan

8

Iklan yang Mengelabui

10

Klaim Iklan

11


Produk Hijau

13

Analisis Isi

14

KERANGKA PEMIKIRAN

16

METODE PENELITIAN

17

Desain, Lokasi dan Waktu Penelitian

17


Pemilihan Sampel Penelitian

17

Variabel Penelitian

17

Pengumpulan dan Analisis Data

18

Definisi Operasional

19

HASIL DAN PEMBAHASAN

20


Karakteristik Iklan

20

Hubungan antara Kategori Produk dengan Karakteristik Iklan

24

Klaim Iklan

32

Analisis Pelenggaran Iklan

33

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan

37
37

Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

37
38

DAFTAR GAMBAR

1 Belanja iklan media
2 Kerangka berfikir penelitian

8
16

DAFTAR TABEL

1 Klaim-klaim yang Berbeda dalam Objektivitas dan Veriabilitas
2 Profil Jenis-Jenis Media Utama

12
23

DAFTAR LAMPIRAN

1. Tabel Profil Jenis-Jenis Media Utama
2. Jadwal Kegiatan
3. Rincian dana rencana penelitian

23
24
25

v

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Konsumen memiliki beberapa hak untuk mendapatkan informasi. Salah satu
hak konsumen adalah mendapatkan informasi yang sebenarnya dan tidak
menyesatkan mengenai barang atau jasa yang ditawarkan. Undang-Undang
Perlindungan Konsumen (UUPK) pasal 4 menyatakan bahwa hak atas informasi
yang benar, jelas dan jujur meliputi kondisi dan jaminan barang atau jasa. Informasi
ini diperlukan untuk membantu konsumen memutuskan produk yang akan
dikonsumsinya. Salah satu bentuk informasi yang diberikan kepada konsumen yaitu
berupa iklan (Suksmaningsih, 1997).
Iklan merupakan pesan yang menawarkan suatu produk yang ditujukan
kepada masyarakat lewat suatu media. Berbeda halnya dengan pengumuman biasa,
iklan lebih diarahkan untuk membujuk orang supaya membeli suatu produk/jasa
(Kasali 1992). Dilihat dari sudut pandang yang lain, terkadang konsumen mudah
dirugikan karena informasi yang mengelabuhi (deceptive information) atau banyak
informasi yang tidak sesuai dengan kenyataannya, tidak logis dan tanpa landasan
yang jelas (Sumarwan 1994).
Pengenalan produk yang baik akan mempengaruhi pengambilan keputusan
konsumen terhadap suatu produk. Sumarwan et al (2012) menyatakan bahwa iklan
mempunyai peranan sangat penting dalam pengenalan suatu produk dan sebagai
sumber informasi yang dapat mempengaruhi keputusan konsumen. Iklan yang
sering ditayangkan akan memberikan dampak positif bagi produk tersebut karena
konsumen akan lebih mengetahui dan mengenal produk tersebut. Hal ini
menunjukan bahwa iklan mempunyai pengaruh yang sangat nyata bagi konsumen.
Iklan produk seharusnya memiliki sumber informasi yang jelas dan benar, namun
masih ada pihak produsen yang memberikan informasi mengecoh, tidak benar serta
menyesatkan konsumen. Menurut Sudjiman dan Zoest (1996), terdapat sebuah teori
dusta yang menyatakan bahwa jika sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengecoh,
berarti tidak dapat digunakan untuk mengatakan sesuatupun. Alasan pengecoh
tersebut yang biasa dipakai pihak produsen untuk mengelak atas informasi iklan
yang tidak sesuai. Contoh iklan yang menerapkan teori tersebut yaitu pada iklan
Sabun Surf atau Sabun Rinso yang menggambarkan mengenai kemudahan dan
kekuatan deterjen tersebut, tetapi pada kenyataanya tidak dapat dibuktikan (Bungin,
2008).
Mengutip dari Metronews.com (2013), bahwa belanja iklan perusahaan
pada media di Indonesia mengalami kenaikan sebesar 20% pada tahun 2012 atau
mencapai Rp 87.471 triliun. Dari jumlah tersebut, televisi merupakan media yang
digunakan untuk memasang iklan dengan porsi 64% dari total belanja iklan, diikuti
oleh koran 33 persen (33%), dan majalah serta tabloid 3 persen (3%)1.
Hal ini membuktikan bahwa iklan memiliki peran penting bagi produsen
untuk menaikkan citra produknya pada konsumen. Sumarwan et al (2012)
menyatakan bahwa perusahaan membangun citra merek produknya melalui
berbagai macam program dan cara. Tujuan pembangunan citra ini adalah untuk
menanamkan persepsi positif kepada konsumen akan merek produk suatu
1

Irawan Pratignyo, Managing Director Media Nielsen Indonesia [6 Maret 2013]

1

2

perusaahan. Pembangunan citra produk perusahaan yaitu dengan memberikan
berbagai informasi mengenai produknya kepada konsumen. Informasi ini akan
memberikan pengaruh terhadap konsumen dalam mengambil keputusan terhadap
suatu merek produk. Persepsi positif yang terbangun dari iklan diharapkan akan
meningkatkan sikap positif konsumen, sehingga konsumen percaya dan mau
membeli serta menggunakan merek produk tersebut. Selain itu dengan adanya
pengenalan produk melalui media iklan diharapkan akan mendatangkan
keuntungan yang lebih besar.
Salah satu cara menaikkan citra produk dan memberikan persepsi positif
pada konsumen adalah dengan menginformasikan bahwa suatu produk yang
dihasilkannya ramah. lingkungan/produk hijau. Produk hijau merupakan produk
yang menggunakan bahan yang aman bagi lingkungan dan terbarukan serta
diproses dengan energi yang efisien (Sumarwan, 2012). Menurut Situmorang
(2011), bahan produk hijau lebih menghemat energi yang dalam implementasainya
menghemat biaya serta tidak menghasilkan bunyi bising dalam proses
penggunannya.
Penelitian ini ingin membuktikan kesesuaian implementasi klaim produk
ramah lingkungan/produk hijau melalui tayangan iklan terhadap pemenuhan
standar iklan dan aturan periklanan yang berlaku.
Ketika beberapa perusahaan menggunakan green marketing sebagai poros
strategi pemasarannya yang sukses, seperti perusahaan kosmetik Body Shop dan
perusahaan pakaian olah raga Patagonia (Henriques & Sadorsky, 1999), maka
mulai saat itu green marketing mulai menjadi fokus utama bisnis bagi berbagai
perusahaan. Tetapi banyak pula perusahaan yang hanya memandang green
marketing hanya sebagai strategi pemasaran minor, bahkan hanya menjadi strategi
niche pada pasar (Fuller, 1999).
Hal tersebut yang menjadi dasar untuk melakukan kajian kesesuaian
tayangan iklan yang menglaim produk ramah lingkungan/produk hijau dengan
penilaian pemenuhan standar iklan yang berlaku sebagai bentuk pemantuan
swadaya masyarakat serta turut membantu mendidik konsumen dalam memilih
produk yang tepat.
Perumusan Masalah
Berdasarkan newsletter Nielsen edisi Mei 2011; dalam tiga tahun terakhir,
potensi penonton televisi pada kelas menengah telah mengalami kenaikan. Hal ini
merupakan kesempatan emas bagi para pemasar iklan untuk menginformasikan
produk barang atau jasa perusahaan yang ditawarkan melalui tayangan iklan
televisi. Iklan membantu masyarakat untuk mendapatkan informasi terkait produk
barang atau jasa serta menjadikannya sebagai sumber informasi dalam mengambil
keputusan. Paparan tayangan iklan di televisi akan memotivasi masyarakat untuk
melakukan tindakan pembelian produk barang atau jasa yang ditawarkan.
Disisi lain, terdapat beberapa perusahaan yang memanfaatkan iklan untuk
mengelabuhi, menipu dan melakukan tindakan yang tidak adil pada masyarakat
selaku konsumen. Salah satu contohnya adalah dengan memberikan klaim produk
yang tidak sesuai dengan kenyataannya. Hal ini akan merugikan masayarakat
karena mendapatkan sesuatu yang tidak sesuai denga apa yang diinformasikan.

3

Untuk melindungi masyarakat dari praktek kecurangan ini, pemerintah telah
membuat peraturan dan kebijakan yang tertuang pada UU Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen dan Tata Krama serta Tata Cara Periklanan
Indonesia (TKTCPI). Dengan adanya peraturan dan kebijakan tersebut, maka
periset media, pemerhati konsumen dan peneliti bisa mengkaji kesesuaian
pelaksanaan periklanan yang ada di Indonesia dengan aturan dan standar yang
berlaku. Untuk membatasi penelitian yang akan dikaji ini, peneliti memiliki
beberapa pertanyaan yang ingin dijawab yaitu:
1. Bagaimana karakteristik iklan klaim hijau pada tayangan iklan televisi?
2. Bagaimana klasifikasi iklan klaim hijau pada tayangan iklan televisi?
3. Bagaimana kesesuaian dan evaluasi isi pada tayangan iklan televisi
berdasarkan Etika Pariwara Indonesia (EPI) atau Tata Krama dan Tata Cara
Periklanan Indonesia (TKTCPI) dan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen?
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menilai pemenuhan iklan produk pada
tayangan iklan televisi yang menggunakan klaim hijau dengan metode analisis isi.
Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi karakteristik iklan klaim hijau pada tayangan iklan
televisi.
2. Mengklasifikasi iklan klaim hijau pada tayangan iklan televisi.
3. Menganalisis klaim hijau pada tayangan iklan televisi berdasarkan Etika
Pariwara Indonesia (EPI) atau Tata Krama dan Tata Cara Periklanan
Indonesia (TKTCPI) dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat bagi peneliti, institusi,
masyarakat dan pemerintah, yaitu :
1. Bagi Peneliti
Bagi penulis penelitian ini dapat menjadi sarana untuk meningkatkan
kemampuan serta keterampilan berfikir logis dan sistematik, meningkatkan
kemampuan menganalisa suatu permasalahan sesuai dengan disiplin ilmu
yang dimiliki penulis.
2. Bagi Institusi
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya literatur di bidang ilmu
konsumen yang khususnya terkait dengan analisis klaim iklan produk pada
tayangan iklan televisi dan dapat digunakan sebagai referensi literatur untuk
penelitian selanjutnya.
3. Bagi Masyarakat
Memberikan informasi dan bahan pertimbangan bagi konsumen dalam
mempercayai klaim hijau pada iklan produk di televisi.
4. Bagi Pemerintah

4

Memberikan masukan terkait peningkatan pengawasan terhadap
pelaksanaan iklan di Indonesia yang masih melanggar peraturan.

TINJAUAN PUSTAKA
Televisi sebagai Media Komunikasi
Televisi merupakan generasi terbaru media elektronik yang dapat
menyampaikan pesan-pesan audio dan visual secara serentak. Akan tetapi aspek
visual lebih dominan dalam menarik respon masyarakat. Apabila gambar bergerak
disajikan secara kreatif dengan tata warna dan pesan yang tepat, dapat
menyuguhkan seolah-olah realitas yang sebenarnya. Oleh karena itu, televisi
mampu memikat lebih banyak khalayak dibanding media yang lain (Jahi, 1988 dan
Rimmer, 1986).
Menurut Jenkins dalam Jahi (1988), televisi memiliki beberapa sifat
potensial, yakni: (1) dapat mencapai khalayak yang luas (besar) dan mereka dapat
mengambil manfaat walaupun tidak bisa membaca; (2) dapat dipakai untuk
mengajarkan banyak subjek dengan baik; (3) bersifat otoritatif dan bersahabat.
Berdasarkan potensi tersebut, televisi dapat digunakan sebagai media
pengajaran untuk menimbulkan efek perilaku tertentu pada masyarakat. Namun
demikian, televisi juga sering menyebabkan terjadinya incidental learning pada
khalayak, yang kadangkala tidak diinginkan sesuai tujuan (Jahi, 1988). Hal ini
terjadi karena televisi tidak hanya menyajikan pesan yang bersifat politis, komedi,
atau berita, tetapi juga iklan dan film-film yang mengandung unsur kekerasan
(Reeves dan Thorson, 1986).
Dampak siaran televisi terhadap perubahan perilaku dipengaruhi antara lain
oleh frekuensi perulangan tayangan, konsekuensi yang akan muncul, dan dorongan
dari dalam diri masyarakat (McQuail, 1979). Rusadi (1991) menyatakan bahwa hal
lain yang turut mempengaruhi ialah perbedaan individual (kemampuan organisasi
personal, kemampuan belajar, potensi biologis dan lingkungan khalayak), kondisi
sosial (latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, pendapatan) dan pola
hubungan sosial.
Siaran televisi sering pula menimbulkan dampak perubahan yang tak
diinginkan masyarakat desa yang secara tidak disengaja “mempelajari” kebiasaan
kehidupan orang kota yang ditayangkan lewat film atau iklan televisi (Jahi, 1988).
Sejalan dengan itu, Rogers et al. (1985), menyatakan bahwa stasiun televisi
dinegara-negara Dunia Ketiga umumnya lebih banyak menayangkan berita politik,
iklan, dan mengabaikan informasi tentang inovasi petanian. Fenomena ini hanya
membangkitkan keinginan petani dan penduduk miskin perkotaan untuk dapat
hidup layak sebagaimana dilukiskan pada siaran di televisi, namun tanpa
memberikan jalan keluar yang positif.
Televisi, terutama milik swasta, biasannya menyisipkan siaran iklan di selasela program acaranya, karena televisi swasta memang hidupnya dari iklan (Siregar,
1993). Padahal menurut Hartono (1994), iklan dapat menimbulkan dampak
psikologi, sosial, ekonomi, dan budaya pada masyarakat. Secara spesifik, dampak
iklan televisi meliputi precipitation (mempercepat pegambilan keputusan),

5

persuation (membangkitkan emosi), reinforcement (memperteguh kayakinan
pengguna produk) dan reminder (peguat dampak reinforcement).
Dampak iklan terkuat ialah pada anak-anak (Head dan Sterling, 1987).
Mereka mudah “diserang” iklan televisi sehingga dalam jangka panjang akan
berpengaruh negatif pada sosialisasi mereka. Anak-anak, terutama yang lebih
muda, mudah tertipu oleh teknik televisi yang mampu membuat suatu produk yang
diiklankan seolah-olah sangat dibutuhkan, padahal sebenarnya tidak. Karena itu
anak-anak sebaiknya dihindarkan dari eksploitasi iklan televisi (Dominick, 1990).
Dalam skala yang lebih luas menurut Hartono (1994) dan Siregar (1993), iklan
televisi menimbulkan konsumerisme di masyarakat pedesaan.
Iklan sebagai Bentuk Komunikasi Pemasaran
Kleppner (1986) menyatakan bahwa iklan (advertising) berasal dari bahasa
Latin yaitu ad-vere berarti mengoperkan pikiran dan gagasan pada pihak lain. Iklan
dalam hal ini memiliki pengertian komunikasi satu arah. Proses komunikasi ini
penting sebagai alat pemasaran untuk membantu menjual barang, memberi
pelayanan serta gagasan atau ide-ide melalui saluran tertentu dalam bentuk
informasi persuasif. Pattis (1993) mengartikan bahwa iklan adalah setiap bentuk
komunikasi yang dimaksudkan untuk memotivasi seorang pembeli potensial dan
mempromosikan penjualan suatu produk atau jasa, untuk mempengaruhi pendapat
publik, memenagkan dukungan publik untuk berpikir atau bertindak sesuai dengan
keinginan si pemasang atau pembuatnya. Sumarwan (2012) mendifinisikan iklan
adalah sebuah metode komunikasi pemasaran yang dipakai perusahaan atau
lembaga bukan bisnis untuk mengomunikasikan produk atau program. Dan
menurut Shimp, iklan atau kampanye yang terdiri dari komunikasi massa melalui
surat kabar, majalah, radio, televisi, dan media lain (billboards, internet, dan
sebagainya. Serta p3i pusat mendifinisikan iklan adalah segala bentuk pesan tentang
suatu produk disampaikan melalui suatu media, dibiayai oleh pemrakarsa yang
dikenal, serta ditujukan kepada sebagian atau seluruh masyarakat2.
Dalam pemasaran, iklan merupakan salah satu alat komunikasi terencana
yang digunakan oleh organisasi yang secara spesifik berguna untuk memberikan
informasi dan membedakan produk yang diiklankan dari produk yang lain kepada
konsumen. Konsumen akhir merupakan sasaran yang lebih dominan daripada
perusahaan atau organisasi di dalam iklan (Fill 2009). Menurut Lee dan Johnson
(2007), iklan dapat diklasifikasikan ke dalam sembilan kelompok, yaitu iklan
produk, iklan eceran, iklan korporasi, iklan bisnis-ke-bisnis, iklan politik, iklan
direktori, iklan respon tidak langsung, iklan layanan masyarakat, dan iklan
advokasi. Kesembilan iklan tersebut dapat dibedakan berdasarkan objek dan tujuan
pelaksanaan iklan tersebut.
Iklan merupakan fenomena sosiologis yang pada prinsipnya penting dan
dibutuhkan masyarakat sebagai media informasi, karena keberadaan iklan sebagai
akibat perkembagan indutrialisme dan kapitalisme, sehingga tidak akan dapat
ditolak seiring dengan perkambangan menuju masyarakat industri (Effendi, 1993).
Selain itu iklan terbukti sangat efektif bagi produsen karena memiliki jangkauan
yang lebig luas, Konsumen sering kali lebih tertarik pada iklan daripada membaca
2

http://www.p3i-pusat.com/rambu-rambu/buku-pedoman/193-definisi-iklan [diunduh 2013 April
8]

6

label yang tertera pada kemasan. Iklan seharusnya memudahkan pemilihan bukan
mengandung informasi yang mengelabuhi konsumen (Sumarwan, 2012).
Disamping itu iklan harus dapat menjelaskan kepada konsumen kapan suatu
produk dapat digunakan, bagaimana menilai kualitas atau penampilan suatu produk
atau bagaimana membandingkan merek produk atau institusi. (Perbawaningsih,
1994).
Tujuan atau sasaran iklan dapat diklasifikasikan berdasarkan maksud yang
diinginkan yaitu untuk memberi informasi (periklanan informatif), untuk
meyakinkan (periklanan persuasif) dan untuk memberikan peringkatan (periklanan
megingatkan) (Kotler, 1993).
Engel et al. (1995), membagi iklan atas tiga bagian berdasarkan
keberpihakan pesan yaitu: (1) Iklan informasional: iklan yang sifatnya memberikan
informasi; (2) Iklan komparatif: iklan yang pesannya berusaha merebut bisnis dari
merek yang sudah ada; (3) Iklan transformasional: iklan yang pesannya berusaha
membuat pengalaman produk lebih kaya, lebih hangat, lebih menggairahkan dan
lebih menyenangkan, dari pada yang diperoleh semata-mata dari uraian objektif
dari merek yang diiklankan.
Tayangan Iklan pada Media Televisi
Tayangan iklan di televisi dapat berupa audio yaitu musik, naratif, dialog,
atau kombinasi dari semuanya. Sedangkan secara visual, menurut Burton ada empat
teknik pembuatan iklan secara visual, yaitu; (1) gambar hidup (life action); (2)
kartun (cartoon); (c) gambar mati (stop motion); (d) animasi foto (photo
animation). Sebagai media audiovisual, televisi merupakan sarana periklanan yang
dapat diandalkan, karena media elektronik tersebut dapat mengkombinasikan antara
gambar, suara, gerakan, dan warna, Menurut Alfian dan Chu (1981), tayangan iklan
di media televisi berkaitan dengan jenis kelamin, usia, kebangsaan, gaya hidup,
status sosial, dan pekerjaan. Seacara tersirat juga mengandung tentang perkiraan
harga dari produk yang ditawarkan.
Durasi iklan televisi biasanya tidak terlalu lama. Ini karena iklan televisi
adalah bahasa visual. Setiap gambar dan suara biasanya berisikan ajakan dan
persuasi. Kompilasi gambar-gambar iklan begitu cepat bergerak, berganti terus
menerus dalam komposisi, frame yang indah. Tingkat kepadatan yang tinggi inilah
yang menjadikan iklan dengan hitungan detik, paling lama 60 detik sudah tergolong
lama. Ada sebuah kontradiksi pemikiran. Dalam hitungan detik saja iklan sudah
mampu menciptakan homogenitas perilaku, sementara program-program televisi
standar lain dengan mengambil durasi lebih dari 30 menit sangat sulit membentuk
kesetaraan pola (Sutherland dan Silvester, 2005). Resepnya memang terletak pada
tingkat kontinuitas dan intensitas iklan televisi ditayangkan. Sebuah iklan akan
mampu menciptakan satu trend bahasa, perilaku konsumtif yang setara akibat
adanya penayangan secara berulang-ulang.

Pesan Iklan
Periklanan merupakan suatu proses yang dilakukan oleh pemasar untuk
mengumumkan informasi terkait produknya kepada khalayak. Pengumuman

7

informasi tersebut dikemas di dalam suatu pesan agar dicapai kesamaan makna
antara pemasar dan konsumen. Pesan iklan merupakan bungkusan tentang apa yang
menarik dan menjadi nilai tambah suatu produk sehingga dapat diketahui dan
diterima oleh konsumen. Agar penyampaian pesan iklan menjadi menarik, pemasar
dapat melakukan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan emosi (Percy 2008; Fill
2009) dan pendekatan informasi aktual (Fill 2009).
Pendekatan emosi mencakup strategi menumbuhkan rasa takut,
menyelipkan humor, seks (Schiffman & Kanuk 2008; Fill 2009), menampilkan
animasi (lebih terspesialisasi untuk anak-anak), musik, dan fantasi (Fill 2009).
Strategi animasi dan musik tidak akan dikaji lebih lanjut didalam penelitian ini
karena iklan televisi tidak dapat menampilkan animasi dan musik sehingga animasi
diganti dengan gambar kartun, boneka, atau robot karena sama-sama terspesialisasi
untuk menarik perhatian anak-anak. Sedangkan pendekatan informasi aktual
mencakup strategi penyampaian pesan dengan menambahkan informasi yang
benar, informasi tentang cerita kehidupan, demo penggunaan produk, dan
membandingkan dengan produk lain (Fill 2009). Strategi demo penggunaan produk
juga tidak dikaji didalam penelitian ini karena iklan televisi tidak dapat
menampilkan secara jelas demo penggunaan produk. Jika dikaji lebih lanjut
menggunakan undang-undang dan peraturan tentang iklan, strategi iklan yang telah
dilakukan tidak menutup kemungkinan dapat mengandung pelanggaran yang dapat
merugikan konsumen.
Berdasarkan proses penyampaian makna kepada konsumen, pesan iklan
dapat dibagi kedalam pesan langsung dan tidak langsung. Pesan langsung
merupakan pesan yang menyampaikan pesan secara jelas tanpa kiasan. Sedangkan
pesan tidak langsung menuntut keterlibatan yang lebih tinggi dari pembaca karena
dalam hal tersebut pembaca harus menerjemahkan kembali isi pesan iklan. Selain
itu, pesan iklan ada yang bersifat tuntas dan bersambung. Pesan iklan tuntas
biasanya menyampaikan seluruh pesan iklan dalam satu waktu atau satu kolom
iklan. Sedangkan pesan yang bersambung membuat konsumen menunggu
kelengkapan pesan iklan pada televisi yang akan terbit beberapa waktu kemudian
(Sutherland dan Sylvester 2005).
Media Iklan
Ada dua media yang biasa digunakan untuk menyampaikan pesan iklan,
yaitu media lini atas dan media lini bawah. Media lini atas terdiri dari media cetak
maupun elektronik atau biasa disebut media massa dan media luar ruang.
Sedangkan media lini bawah terdiri atas pameran, direct mail, point of purchase
(Zulkarnaen, 1993).
Media massa biasannya menjadi perhatian utama untuk digunakan sebagai
media iklan, walaupun tidak menutup kemungkinan digunakan media sebagai
penunjuang atau pelngkap iklan di media massa. Jangkauan media massa lebih luas
dan media massa telah berkembang ke arah spesialisasi khalayak. Dengan demikian
pemasang iklan lebih mudah merencanakan dan mengoptimalkan penggunaan
media (Susilo, 1993).
Media periklanan utama dapat dilihat pada Lampiran Tabel 1. Jenis media
utama berdasarkan urutan volume periklanan adalah: Surat kabar, televisi, surat
langsung, radio, majalah dan di luar ruangan. Masing-masing mempunyai

8

keunggulan dan kelemahan tertentu. Pilihan ditentukan berdasarkan beberapa
pertimbangan seperti: kebiasaan audiens sasaran, produk, pesan dan biaya (Kotler
dan Amstrong, 1996).
Iklan merupakan salah satu sumber utama yang menjadi penunjang
kehidupan industri media (Budi. 1994) selanjutnya iklan dan konsumen media
adalah sumber yang tidak kecil perannya bagi media.
Porsi belanja iklan terbesar masih di televisi (61%), disusul kemudian oleh
surat kabar (36%) dan majalah/tabloid (3%). Walaupun memiliki porsi terbesar,
porsi iklan di televisi sedikit menurun, yaitu dari 62% pada tengah tahun pertama
tahun lalu, sedangkan porsi iklan di surat kabar bertambah dari 35% (Newsletter
Nielsen Media Research, 2011).
Kenaikan belanja iklan baik di televisi, surat kabar dan majalah/tabloid
relatif lebih kecil. Namun pertumbuhan belanja iklan di surat kabar lebih tinggi
daripada di televisi dan majalah/tabloid. Televisi hanya tumbuh 16% menjadi Rp
20,5 triliun, padahal pertumbuhan di tahun sebelumnya mencapai 35%. Begitupula
dengan majalah/tabloid yang hanya tumbuh 7% menjadiRp 997 miliar, padahal
pertumbuhan di tahun lalu mencapai 16%. Hanya surat kabar yang pertumbuhannya
relatif stabil dengan 19% menjadi Rp 11,8 triliun; sedikit lebih kecil daripada tahun
lalu yang mencapai 21%.

Gambar 1 Belanja iklan media
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nielsen Media Research, pada
tahun terakhir (2006-2009), total durasi iklan naik dari 15.106 jam menjadi 17.259
jam di 11 stasiun TV nasional atau sekitar 18% dari total jam tayang program.
Alokasi Iklan televisi umumnya ditempatkan antara jam 06.00 hingga 22.00 dengan
alokasi yang hampir sama besar disetiap paruh waktu (pagi, siang, sore, dan malam)
walaupun ada perbedaan yang sangat signifikan dalam hal jumlah penontonnya. Di
tahun 2009, distribusi durasi iklan pada jam 06.00 hingga 22.00 adalah antara 19%

9

hingga 22%, dengan alokasi terbesar saat prime time atau jam tayang utama (18.00
hingga 22.00), sementara alokasi di malam hingga tengah malam hanya 13% dan
di dini hari hanya 6%. Alokasi iklan di pagi hingga sore hari relatif tetap dalam
empat tahun terakhir yang berkisar antara 19% hingga 21%. Sementara itu, alokasi
iklan di jam tayang utama cenderung berkurang pada tiga tahun pertama dari 22%
menjadi 20%, namun bertambah lagi menjadi 22% di tahun 2009. Sebaliknya,
alokasi iklan di pagi hari bertambah dari 4% di tahun 2006 menjadi 6% di tahun
2009.
Persentase durasi iklan terhadap total jam siaran program meningkat dari
16% di tahun 2006 menjadi 18% di tahun 2009. Walaupun demikian, sedikit
penurunan ditemukan di tahun 2007 (15%) seiring dengan awal dari krisis ekonomi
global di pertengahan tahun. Penuhnya iklan terutama terjadi antara jam 06.00
hingga 22.00 dan semakin bertambah banyak dalam dua tahun terakhir. Porsi
terbesar ditemukan di tahun 2009, yaitu pada jam 10.00-14.00 dan 18.00-22.00
(23%). Jumlah ini lebih tinggi daripada tahun 2008 (20%). Sementara di tahun
2006-2007, durasi iklan khususnya di jam tayang utama kurang dari 20%. Pada slot
malam hingga tengah malam (22.00-02.00), porsi iklan di dalam program pada
tahun 2009 (17%) lebih rendah daripada tahun sebelumnya (18%). Durasi iklan di
dini hari juga berkurang dari tahun 2008 menjadi 6%, namun lebih tinggi daripada
tahun 2006-2007. Secara umum, durasi iklan di tahun 2008-2009 lebih lama
daripada 2006-2007. Saat jeda iklan, biasanya kebanyakan penonton akan
berpindah saluran televisi. Semakin lama jeda iklan, semakin banyak penonton
yang pergi sehingga semakin kecil rating program yang bisa diraih. Sebaliknya,
dengan berkurangnya jeda iklan, rating cenderung naik. Hal ini terlihat pada grafik
di bawah hampir di sepanjang waktu siaran (Newsletter Nielsen Media Research,
2010).
Sebagai model komunikasi tidak langsung, iklan membutuhkan media
untuk menyampaikan gagasan produk yang dimiliki perusahaan kepada khalayak.
Menurut Fill (2009), pemilihan media iklan berkaitan dengan tujuan penyampaian
pesan iklan yang optimum kepada khalayak sasaran. Secara umum, Lee dan
Johnson (2007) membagi media iklan menjadi tiga, yaitu media cetak, media siaran,
dan media hibrida atau internet. Media cetak untuk iklan meliputi majalah dan
televisi. Menurut Morissan (2010) televisi terbagi kedalam tiga jenis berdasarkan
waktu terbit dan khalayak pembaca, yaitu televisi harian, televisi mingguan, dan
televisi khusus untuk kelompok pembaca tertentu.
Lebih lanjut didalam bukunya, Morissan (2010) mengategorikan iklan
televisi menjadi iklan display yang terdiri dari judul serta kombinasi gambar dan
foto, iklan baris yang terdiri jumlah kata-kata yang terbatas, iklan display pada
halaman iklan baris, dan iklan khusus seperti pengumuman, pemberitahuan, atau
maklumat dari pemerintah. Adapun media siaran meliputi iklan televisi dan iklan
radio. Media yang terbaru adalah media internet, salah satu alat yang termasuk
dalam kategore media internet adalah jejaring sosial. Iklan yang dianalisis dalam
penelitian ini merupakan iklan display, iklan baris, dan iklan display pada halaman
iklan baris yang dimuat di televisi harian.

10

Masalah Etika Periklanan
Iklan dianggap bertanggung jawab terhadap baik buruknya kejadian dalam
masyarakat. Iklan dianggap tidak jujur dan menipu, iklan bersifat manipulatif, iklan
bersifat ofensif dan berselera buruk, iklan menciptakan dan mempertahankan
stereotip, orang-orang membeli barang yang tidak begitu diperlukan dan yang
terakhir iklan memanfaatkan rasa takut dan ketidakamanan.
Menurut Sudaryatmo (1996) di dalam tata karma dan tata cara periklanan
Indonesia tercantum tiga azas umum yaitu: (1) iklan harus jujur, bertanggung
jawab, dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku; (2) iklan tidak boleh
menyinggung perasaan dan atau merendahkan martabat agama, tata susila, adat,
budaya, suku dan golongan; (3) iklan harus dijiwai oleh persaingan yang sehat.
Ditegaskan kembali dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen dan Tata Krama serta Tata Cara Periklanan Indonesia (TKTCPI).
Menurut Pattis (1993), secara umum setiap iklan haruslah memenuhi
kriteria sebagai berikut:
1. Benar : apa yang disampaikan atau dijanjikan oleh pesan dalam suatu iklan
haruslah benar, tidak berbohong dan tidak salah atau menyesatkan
konsumen pada khususnya, dan masyarakat pada umumnya.
2. Betanggung jawab: agen atau pengusaha iklan harus bersedia memberikan
pertanggungjawaban bila ada suatu tuntutan atas kerugian yang ditimbulkan
oleh iklannya.
3. Selera dan kesusilaan: iklan haruslah bebas dari dan selera masyarakat
umum, pernyataan, ilustrasi ataupun implikasi yang bersifat ofensif atau
melanggar tata susila.
4. Iklan umpan: sebuah iklan hanya boleh menawarkan produk atau jasa yang
telah siap dijual dengan harga sesuai tertera di iklan.
5. Garansi dan jaminan: garansi dan jaminan yang telah diiklankan haruslah
dipenuhi.
6. Harga murah/ penghematan bohong-bohongan: sebuah iklan tidak
dibenarkan mengiklankan harga yang menawarkan suatu penghematan
bersifat tipuan.
7. Mutu palsu: sebuah iklan tidak dibenarkan menjanjikan mutu atau manfaat
yang berlebihan atau yang lain dari kenyataan yang sesungguhnya.
8. Testimonial/tanda penghargaan: iklan yang menyebutkan tanda
penghargaan yang telah diperoleh oleh suatu produk, hendaknya harus
disertai para saksi yang berkompeten, benar-benar merefleksikan pilihan
yang jujur dan sebenarnya.
Dari perspketif perlindungan konsumen, iklan dapat disebut sebagai sumber
informasi jika bersifat mengikat, artinya apapun informasi yang diberikan dalam
iklan harus dapat dibuktikan kebenarannya dan bersedia dituntut, jika ternyata itu
tidak sesuai dengan kenyataan (Sukmaningsih, 1997)
Iklan yang Mengelabui
Sumarwan (2012) merangkum pengelabuan iklan menjadi tiga jenis, yaitu
klaim subjektif, klaim dua arti, dan klaim tidak rasional. Klaim subjektif merupakan

11

klaim yang disampaikan oleh pemasar tanpa ada alasan yang jelas, objektif dan
tanpa bukti yang dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan klaim dua arti
merupakan klaim yang dilakukan dengan menutupi informasi yang benar dan
menampilkan informasi yang salah dengan tujuan menutupi kekurangan yang
dimiliki oleh produk dan membesar-besarkan kelebihan yang dimiliki produk.
Adapun klaim tidak rasional merupakan klaim yang disampaikan secara berlebihan
dimana sebenarnya klaim tersebut tidak didukung oleh logika dan tidak masuk akal.
Berdasarkan Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia (TKTCPI),
iklan yang mengelabui merupakan iklan yang melanggar ketentuan isi iklan,
penggunaan tokoh iklan dan ketentuan khusus untuk masing-masing jenis produk
yang diiklankan. Pelanggaran terhadap salah satu ketentuan dari TKTCPI dapat
diklasifikasikan kedalam salah satu jenis klaim yang dipaparkan oleh Sumarwan
(2012). Jika dikaitakan dengan Consumer Bill of Rights, maka pengelabuhan dalam
iklan merupakan tindakan yang bertentangan dengan pemenuhan hak konsumen
untuk mendapatkan informasi, yaitu dengan memberikan informasi yang tidak
tepat mengenai isi, kandungan, manfaat, dan resiko yang terdapat di dalam produk.
Klaim Iklan
Selain dengan strategi pesan, pemasar juga menyatakan klaim di dalam
sebuah iklan. Klaim iklan merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh
perusahaan untuk memengaruhi persepsi konsumen. Melalui persepsi yang tercipta,
lebih lanjut konsumen akan mengevaluasi alternatif produk yang telah dikenalnya
dan memutuskan untuk membeli produk (Morissan, 2010).
Menurut Engel, et al (1995), kuantitas dan kualitas klaim yang dibuat dalam
sebuah pesan dapat mempengaruhi persuasi. Suatu klaim kuat jika relevansi bersifat
kritis. Berdasarkan objektivitasnya, klaim terdiri atas klaim yang subjektif dan
klaim yang objektif. Klaim yang subjektif adalah klaim yang mungkin
menghasilkan tafsiran yang berbeda antar individu. Sedangkan klaim yang objektif
berfokus pada informasi faktual, yang tidak tunduk pada tafsiran individu.
Berdasarkan verifiabilitas, klaim terdiri atas klaim pencarian, klaim pengalaman
dan klaim kepercayaan.
Klaim pencarian adalah klaim yang dapat dievaluasi secara akurat sebelum
pembelian. Klaim pengalaman adalah klaim yang dapat dievaluasi sepenuhnya
hanya sesudah pemakaian produk. Klaim kepercayaan adalah klaim yang evaluasi
akuratnya berada di luar kemampuan konsumen. Tabel 2. Menyajikan beberapa
contoh klaim yang berbeda dalam veriabilitas dan objektivitas.
Iklan sering dijadikan media klaim atas sesuatu tanpa bukti. Klaim-klaim
tanpa bukti akan mengarahkan konsumen membeli barang yang buruk atau produk
bermutu sama dengan harga yang lebih mahal (Sumarwan 2012). Klaim-klaim yang
ditampilkan pada produk makanan bermacam-macam, kadang malah
membingungkan konsumen larena berkesan terlalu “ilmiah” ataupun tidak
memberikan keterangan yang jelas, yang berkaitan dengan klaimnya (Sudarisman,
1997).
Klaim hijau merupakan salah satu klaim yang disampaikan perusahaan
dalam beriklan. Menurut Carlson (1993) di dalam Gurbuz et al (2012), klaim hijau
dapat dikelompokan menjadi lima kategori, yaitu klaim berorientasi produk, klaim
berorientasi proses, klaim berorientasi gambaran atau pencitraan, klaim yang sesuai

12

dengan realitas lingkungan, dan klaim yang terintegrasi. Klaim berorientasi produk
berisi pernyataan tentang produk yang memiliki sifat ramah lingkungan. Sedangkan
klaim berorientasi proses menyatakan bahwa proses produksi berbasis lingkungan
dimana perusahaan menggunakan metode yang ramah lingkungan dan teknologi
pengolahan limbah yang benar dan tidak membahayakan lingkungan. Adapun
klaim yang berkaitan dengan penggambaran atau pencitraan yaitu klaim dimana
perusahaan menyatakan telah melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan.
Klaim pencitraan ini lebih mengarah kepada pengangkatan citra perusahaan di mata
konsumen.
Tabel 2 Klaim-klaim yang Berbeda dalam Objektivitas dan Veriabilitas3
Objektif
Subjektif
Pencarian
1. Kamu menawarkan lima model 1. Kami
menawarkan
lemari dan kayu cedar
koleksi
perhiasan
2. Merek kami tanpa kolestrol
yang luas biasa.
2. Ada bermacam model
yang menarik.
Pengalaman 1. Tenda buatan kami tetap kering.
1. Kami
menawarkan
2. Tes kami memberikan hasil kepada
hidangan yang lezat.
Anda dalam waktu 30 menit.
2. Mudah
digunakan
dengan
hasil
professional.
Kepercayaan 1. Kami menginvestasikan $ US 5 1. Ban kami sudah diuji
miliar dalam jaringan jangka
secara ekstensif.
2. Anggur
kami
panjang kami.
2. Pemoles kami digunakan oleh 77
difermentasikan
galeri dan museum terkemuka.
secara alami.
Klaim yang mungkin dapat menjadi klaim yang paling sesuai dengan
peraturan perundangan-undangan dan periklanan adalah klaim yang sesuai dengan
realitas. Dalam hal ini, perusahaan melakukan klaim dengan menyampaikan
informasi tentang lingkungan yang sebenarnya dan dapat dipertanggungjawabkan
karena memiliki dasar yang jelas. Jenis klaim yang terakhir adalah klaim
terintegrasi, dimana perusahaan mungkin menggunakan satu atau lebih model
klaim dalam penyampaian pesan iklan.
Sistem Komunikasi Periklanan
Proses komunikasi periklanan yang efektif berlangsung dua tahap, yaitu
melalui saluran media sampai kepada pembaca dan pemirsa, serta pendengar yang
selanjutnya meneruskannya lagi kepada orang lain. Model komunikasi dua tahap
ini memandang khalayak media sebagai individu-individu yang berinteraksi.
Interaksi khalayak media massa ini meliputi orang yang tidak terkena media massa
secara langsung sehingga sasaran media massa menjadi lebih besar dibanding

3

Sumber: Ford, Smith dan Swasy (1988) dalam Engel, dkk 1995.

13

khalayak. Interaksi khalayak dengan orang yang tertepa media massa dalam
merubah pesan komunikasi dikenal dengan komunikasi getok tular.
Menurut Sudiana dalam Moniharapon (1998), bahwa sistem komunikasi
periklanan terdiri dari:
1. Sumber: pada setiap iklan paling sedikit ada dua macam sumber yakni; (a)
pemasang iklan, yaitu perusahaan yang berkepentingan menyampaikan
informasi tertentu kepada khalayak; (b) Juru bicara,model, atau suatu hal yang
berkaitan dengan ing-masing memiliki karakteristik yang mempengaruhi
komunikasi, seperti hal wibmedia massa dan produk yang dicantumkan dalam
iklan. Kedua sumber ini masawa (credibility, expertness, unbiasedness) dan
daya tarik (prestigiousess, similirality, physical attractiveness).
2. Pesan: pesan merujuk pada isi dan penggrapan iklan sebagai suatu totalitas
yang akan mempengaruhi persepsi khalayaknya. Penggarapan pesan dapat
digambarkan dalam pengertian pendekatan kreatif.
3. Saluran: saluran dalam periklanan adalah media massa seperti televisi, radio,
surat kabar, majalah, billboard dan lain-lain. Mengingat keterbatasan waktu
dan tempat periklanan, maka komunikasi dua tahap sangat berperan dalam
periklanan.
4. Khalayak: dalam sistem komunikasi periklanan, khlayak tertepak media
periklanan. Dengan demikian dapat digolongkan dalam beberapa kategori,
berkenaan dengan lapisan masyarakat, gaya hidup, keagamaan, minat, dan
berbagai aspek lainnya, menurut kebutuhan dan kepentingan mereka yang
dibutuhkan dalam iklan. Dampak komunikasi periklanan terhadap pemirsa
sangat bervariasi, dan yang diharapkan pengiklan adalah membangkitkan
kesadaran, memberikan informasi, membina atau mengubah citra, dan
menumbuhkan atau mengubah sikap.
Produk Hijau
Konsep pemasaran hijau tentunya berkaitan dengan produk hijau yang
dipasarkan. Menurut Sumarwan (2012), produk hijau merupakan produk yang
menggunakan bahan yang aman bagi lingkungan dan terbarukan serta diproses
dengan energi yang efisien. Jika ditinjau dari manfaatnya, produk hijau menurut
Ottman (2011) di dalam Situmorang (2011) merupakan produk dengan bahan baku
yang lebih menghemat energi yang dalam implementasinya menghemat biaya serta
tidak menghasilkan bunyi bising dalam proses penggunannya. Pada literatur dan
tahun yang berbeda, pernyataan Ottman (1998) yang dikutip di dalam Sumarwan
(2012), memaparkan bahwa produk hijau mencakup produk yang dalam prosesnya
dapat memberikan konservasi terhadap air tanah, memberikan proteksi habitat
alami dan hewan yang dilindungi, serta produk dengan kemasan yang mudah terurai
dan tidak meninggalkan carbon print terlalu banyak. Haryadi (2009)
mendifinisikan produk hijau adalah produk yang bukan benar-benar ‘hijau’, namun
mengurangi tingkat kerusakan yang ditimbulkan. Maka dapat disimpulkan bahwa
produk yang termasuk dalam kategori produk hijau adalah bola lampu Compact
Fluorescent Lamp (CFL), mobil hybrid, kertas daur ulang, kantung plastik mudah
terurai, deterjen, alat elektronik hemat listrik, pendingin non-CFC seperti kulkas
dan pengatur udara, makanan dan minuman dari pertanian organik, kosmetik, obatobatan, pakaian, minyak nabati, furnitur ekolabel, dan hunian asri. Czinkota dan

14

Ronkainen (1992) dalam Lazada (2000) mengatakan bahwa “perusahaan akan
dapat memperoleh solusi pada tantangan lingkungan melalui strategi marketing,
produk, dan pelayanan agar dapat tetap kompetitif”. Hal ini termasuk pada (1)
teknologi baru untuk menangani limbah dan polusi udara; (2) standardisasi produk
untuk menjamin produk yang ramah lingkungan; (3) menyediakan produk yang
‘benar-benar’ alami, dan (4) orientasi produk lewat konservasi sumber daya dan
yang lebih memperhatikan kesehatan.
Hailes dan Makower dalam buku “the Green Consumer”, terdapat kriteria
yang dapat digunakan untuk menentukan apakah suatu produk ramah lingkungan
atau tidak terhadap lingkungan yaitu: (1) tingkat bahaya produk bagi kesehatan
manusia atau binatang; (2) seberapa jauh produk dapat menyebabkan kerusakan
lingkungan selama di pabrik, digunakan, atau dibuang; (3) tingkat penggunaan
jumlah energi dan sumberdaya yang tidak proporsional selama di pabrik, digunakan
atau dibuang; (4) seberapa banyak produk menyebabkan limbah yang tidak berguna
ketika kemasannya berlebihan atau untuk suatu penggunaan yang singkat; (5)
Seberapa jauh produk melibatkan penggunaan yang tidak ada gunanya atau kejam
terhadap binatang; (5) penggunakan material yang berasal dari spesies atau
lingkungan yang terancam.
Peningkatan ragam produk di pasar yang mendukung pengembangan
berkelanjutan dapat melakukan dasar-dasar pengelolaan produk, yaitu (1) produk
dapat dibuat dari bahan yang dapat didaur ulang; (2) Produk dapat didaur ulang
(recycle) atau dapat digunakan ulang (reuse); (3) produk effisien, yang menghemat
penggunaan air, energi atau bensin, penghematan uang, dan menekan pengaruh
produk pada lingkungan; (4) kemasan produk yang bertanggung jawab; (5) produk
tidak mengandung bahan yang merusak kesehatan pada manusia dan hewan; (6)
menggunakan green label yang menguatkan penawaran produk; (7) produk
organik, banyak konsumen bersedia melakukan pembelian produk organik dengan
harga premium yang menawarkan kepastian kualitas; (8) pelayanan yang
menyewakan atau meminjamkan produk, misalnya perpustakaan; (9) produk
bersertifikasi yang sudah pasti memenuhi kriteria tanggung jawab pada lingkungan.
Analisis Isi
Analisis isi merupakan metode penelitian yang sudah digunakan dan
dipublikasikan sejak tahun 1952 oleh Bernald Berelson. Metode analisis isi
bertujuan untuk menganalisis isi pesan pada suatu dokumen tertulis. Berdasarkan
teori di dalam ilmu komunikasi, penggunaan metode analisis isi terletak pada pesan
yang disampaikan melalui media komunikasi yang ada (Berelson 1952 didalam
Mayring 2000). Salah satu tujuan penggunaan metode analisis isi adalah untuk
menjelaskan karakteristik isi pesan yang ada sehingga peneliti dapat menganalisis
apakah pesan tersebut sudah memenuhi standar komunikasi yang ada atau belum
(Berelson 1952 di dalam Prasad 2008). Rahardjo (2010) juga menyatakan bahwa
penggunaan metode analisis isi dapat dilakukan untuk menganalisis data empirik
yang nyata. Krippendorf (1993) mengartikan analisi isi adalah suatu model
penelitian dalam ilmu komunikasi massa untuk membuat inferensi-inferensi yang
dapat ditiru (replicable) dan sahih dari data yang memperhatikan konteksnya.
Kerlinger (1995) dan Berelson dalam Stempel dan Wetly (1981) memberikan
definisi yang sedikit berbeda, tetapi disepakati bahwa analisi isi adalah teknik

15

penelitian untuk mendeskripsikan secara obyektif, sistematik, dan kuantitatif dari
peubah-peubah yang diamati.
Obyektif artinya bebas dari subyektif dan bias dari peneliti; Sistematik
artinya pada semua isi yang dianalisa diterapkan dengan suatu prosedur sama; dan
Kuantitatif artinya analisis isi memberikan nilai-nilai yang akan dihitung untuk
merepresentasikan isi pesan.
Metode analisis isi dapat digunakan untuk menganalisis makna dari simbolsimbol pesan karena sifatnya sensitif. Walaupun tidak bisa menganalisis hubungan
sebab akibat (Chadwick et al 1984 didalam Prasad 2008), penggunaan analisis isi
dapat dilakukan untuk menguji teori dan meningkatkan pemahaman terhadap data
(Cavanagh 1997). Metode analisis isi dikatakan sebagai metode penelitian tertua
yang mulai ditemukan sejak Perang Dunia kedua (Cavanagh 1997; Prasad 2008).
Ironinya, penelitian ini masih kurang dikenal oleh para peneliti. Menurut Rahardjo
(2010), penggunaan metode analisis isi dapat menjadi semi-kualitatif karena selain
mencari makna, menguji teori, dan mendapatkan pemahaman mendalam; peneliti
juga dapat menyajikan data hasil analisis dalam bentuk angka. Penyajian data
secara kuantitatif dapat dilakukan dengan mengkuantifikasi jumlah temuan yang
identik dan menampilkan dalam bentuk persen dan tabulasi silang. (Cavanagh
1997; Prasad 2008).
Penelitian yang menggunakan model analisis isi, perlu memperhatikan
empat hal; yaitu unit analisis, konstruksi kategori, pemilihan contoh dan keandalan
(Stempel dan Westley, 1981). Unit analisis merupakan unsur terkecil dari analisis
isi yang akan dihitung untuk membuat sebuah kesimpulan. Unit analisis ini meliputi
kata, tema, ciri, atau karakter, kalimat, paragraf, artikel, butir, dan ukuran ruang dan
waktu (Stempel dan Westley, 1981; Berelson dalam Kerlinger, 1995; Wimmer dan
Dominick, 1993). Selain itu, menurut Dominick (1981), aspek yang dapat dianalisis
dari televisi meliputi durasi shot, pengeditan, seleksi shot, lokasi scene, dan sudut
kamera (camera angle).
Konstruksi kategori disusun untuk mengklasifikasikan isi media. Stempel
dan Westley (1981) menyarankan untuk menggunakan kategori yang telah tersedia,
karena kategori tersebut dapat dipergunakan untuk memperoleh kesimpulan. Dalam
hal ini, para peneliti dapat membuat kategori sendiri dengan memperhatikan tiga
hal, yaitu (1) kategori harus relevan dengan tujuan penelitian; (2) kategori harus
fingsional, dan; (3) sistem kategori harus dapat dikendalikan.
Wimmer dan Dominick (1981) menambahkan, bahwa kategori harus
memenuhi persyaratan mutual exclusive, exhaustive, dan reliable. Mutual exclusive
dapat diartikan bahwa unit analisis hanya ditempatkan pada satu kategori.
Exhaustive adalah unit analisis yang hanya ditempatkan pada satu tempat yang ada;
dan reliable, bila kategori bersangkutan digunakan oleh pengkode berbeda untuk
memberikan hasil yang sama.

16

KERANGKA PEMIKIRAN
Produk yang diiklankan berpotensi untuk mengelabuhi konsumen. Maka
dari itu, pengelabuhan terhadap iklan dapat dikelompokan ke dalam tindakan
penipuan yang melanggar hukum. Maka dari itu, untuk mengantisipasi semakin
maraknya pelanggaran dan meningkatkan martabat konsumen, pemerintah
mengeluarkan Undang-undang Nomor 8