Pengaruh Gaya Pengasuhan Ibu, Kekerasan di Rumah dan Perilaku Bullying Sekolah terhadap Self Esteem Anak Sekolah Dasar

PENGARUH GAYA PENGASUHAN IBU, KEKERASAN DI
RUMAH DAN PERILAKU BULLYING DI SEKOLAH
TERHADAP SELF ESTEEM ANAK SEKOLAH DASAR

ANDRIANSYAH ADHA PRATAMA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Gaya Pengasuhan, Ibu,
Kekerasan di Rmah dan Perilaku Bullying di Sekolah terhadap Self Esteem Anak
Sekolah Dasar adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014

Andriansyah Adha Pratama
NIM I251100041

RINGKASAN
ANDRIANSYAH ADHA PRATAMA. Pengaruh Gaya Pengasuhan Ibu, Kekerasan
di Rumah dan Perilaku Bullying Sekolah terhadap Self Esteem Anak Sekolah Dasar
Dibimbing oleh DIAH KRISNATUTI dan DWI HASTUTI
Self esteem merupakan salah satu kemampuan sosial emosional anak yang
perlu dikembangkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan
berkompeten. Lingkungan keluarga dan sekolah menjadi bagian yang penting
dalam pembentukan self esteem anak. Fenomena kekerasan di rumah dan bullying
di sekolah menjadi sebuah masalah yang harus segera diselesaikan, karena dapat
menghambat perkembangan anak.
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh gaya
pengasuhan ibu dan perilaku bullying di sekolah terhadap self esteem anak sekolah
dasar. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah menganalisis hubungan antara

karakteristik anak dan keluarga, gaya pengasuhan ibu, kekerasan dirumah, perilaku
bullying di sekolah dan self esteem anak, serta menganalisis faktor-faktor
yangmempengaruhi self esteem anak.
Desain penelitian ini adalah cross sectional yang dilakukan pada bulan
April 2014 dan bertempat di 3 sekolah dasar negeri yang berada di Kecamatan
Ciracas, Jakarta Timur yang dipilih secara acak. Contoh dari penelitian ini adalah
siswa kelas 4 dan 5 yang dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin. Setelah itu
masing-masing kelompok dipilih secara acak sebanyak 50 siswa, sehingga total
contoh dalam penelitian ini adalah 100 siswa. Jenis data dalam penelitian ini adalah
data primer yang dikumpulkan menggunakan kuesioner dengan teknik pelaporan
diri (self report).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel gaya pengasuhan
authoritarian ibu dan variabel korban bullying di sekolah memberikan pengaruh
yang negatif dan signifikan terhadap self esteem anak. Ini berarti bahwa semakin
authoritarian ibu mengasuh anak dan semakin sering anak menjadi korban bullying,
maka self esteem anak akan semakin rendah.

Kata kunci : gaya pengasuhan, kekerasan di rumah, bullying di sekolah, korban
bullying, self esteem


SUMMARY
ANDRIANSYAH ADHA PRATAMA. Influence of Mother Parenting Style,
Domestic Violence and Bullying at School Againt Self Esteem of Child Elementary
School. Suvervised by DIAH KRISNATUTI and DWI HASTUTI
Self esteem is one of the emotional and social skills that children need to be
developed to produce qualified and competent human. Family environment and the
school became an important part in the formation of children's self esteem. The
phenomenon of domestic violence and bullying at school becomes an issue that
must be resolved, because it can inhibit the child's development.
In general the study is to analyze the influence of the style of parenting
mother and bullying behavior in school against self esteem the son of elementary
school.As for the special purpose of this research is analyzed the relationship
between characteristic of a child and family, a style of parenting mother, violence at
home, a bullying behavior in school children, and self esteem and analyzing factors
yangmempengaruhi self esteem child.
It was a cross sectional study design which was conducted in april 2014 and
takes place at 3 of public elementary school who was in ciracas sub-district, East
Jakarta and it’s randomly selected. Sample of this research is a student 4th and 5 th
grade and grouped based on gender. After that each of a group of randomly selected
as many as 50 students, so the total sample in this research is 100 students. The

kind of data in this research is the primary data collected using a questionnaire with
the technique of reporting self.
This research result indicates that variable authoritarian parenting style of
mother and the variables of bullying victim in school giving negative influence and
significantly to self esteem child. This means that the more authoritarian mother
nursing child and are increasingly frequent the son to be the victim of bullying, and
children will be more low self esteem.

Keywords : Parenting style, domestic violence, school bullying, victim bully, bully,
self esteem

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGARUH GAYA PENGASUHAN IBU, KEKERASAN DI
RUMAH DAN PERILAKU BULLYING DI SEKOLAH
TERHADAP SELF ESTEEM ANAK SEKOLAH DASAR

ANDRIANSYAH ADHA PRATAMA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister sains
pada
Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti, MSi


Judul Tesis

: Pengaruh Gaya Pengasuhan Ibu, Kekerasan di Rumah dan
Perilaku Bullying Sekolah terhadap Self Esteem Anak Sekolah
Dasar
Nama
: Andriansyah Adha Pratama
NRP
: I251100041
Program Studi : Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Diah K Pranadji, M.S.
Ketua

Dr. Ir. Dwi Hastuti, M.Sc.

Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi
Ilmu Keluarga dan
Perkembangan Anak

Dr. Ir. Herien Puspitawati, MSc MSc

Tanggal Ujian: 25 Agustus 2014

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Agr

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur atas kehadirat Allat SWT yang telah memberikan

kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Tema
yang dipilih pada penelitian yang dilaksanakan pada bulan April 2014 ini adalah
self esteem, dengan judul Pengaruh Gaya Pengasuhan Ibu, Kekerasan di Rumah
dan Perilaku Bullying Sekolah terhadap Self Esteem Anak Sekolah Dasar.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Diah Krisnatuti, MS dan Ibu
Dr. Ir. Dwi Hastuti, MSc selaku pembimbing, Ibu Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti, Msi
selaku penguji luar komisi dan Ibu Dr. Ir. Herien Puspitawati, MSc, MSc selaku
Ketua Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak yang telah
memberikan saran dan masukan. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan
semua pihak yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima
kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa
dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

Andriansyah Adha Pratama

DAFTAR ISI
Halaman

i
ii
iii

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
3
4
5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Keluarga

Teori Keluarga Struktural Fungsional
Teori Ekologi
Gaya Pengasuhan
Bullying
Self Esteem
3 KERANGKA PEMIKIRAN
4 METODE PENELITIAN
Disain, Tempat, dan Waktu Penelitian
Penarikan Sampel
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Pengolahan dan Analisis Data
Definisi Operasional
5 DAMPAK GAYA PENGASUHAN IBU DAN PERILAKU BULLYING DI
SEKOLAH PADA SELF ESTEEM ANAK SEKOLAH DASAR
Abstrak
Abstract.
Pendahuluan
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Metode Penelitian

Hasil
Pembahasan
Simpulan dan Saran
Daftar Pustaka
6 HUBUNGAN GAYA PENGASUHAN IBU, KEKERASAN DI RUMAH
DAN PERILAKU BULLYING PADA ANAK SEKOLAH DASAR
Abstrak
Abstract.
Pendahuluan
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Metode Penelitian
Hasil
Pembahasan
Simpulan dan Saran
i

6
6
7
8
9
10
13
13
13
14
15
16
18
18
18
19
20
20
21
22
27
29
30
31
31
31
32
33
33
33
34
40
41

Daftar Pustaka
7 PEMBAHASAN UMUM
8 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA

41
43
45
45
45
46

DAFTAR TABEL
1. Jenis dan cara pengumpulan data
2. Hasil uji reliabilitas kuesioner gaya pengasuhan, kekerasan di rumah,
bullying di sekolah dan self esteem
3 Rata-rata karakteristik keluarga berdasarkan jenis kelamin anak
4 Sebaran responden menurut status bekerja ibu berdasarkan jenis kelamin
responden
5 Rata-rata gaya pengasuhan ibu berdasarkan jenis kelamin responden
6 Sebaran gaya pengasuhan ibu berdasarkan jenis kelamin anak
7 Rata-rata skor perilaku bullying di sekolah
8 Sebaran anak berdasarkan jenis korban bullying di sekolah dan jenis
kelamin
9 Sebaran anak berdasarkan jenis pelaku bullying di sekolah dan jenis
kelamin
10 Sebaran anak menurut tingkat self esteem dan rata- rata skor self esteem
anak berdasarkan jenis kelamin
11 Koefisien korelasi antara gaya pengasuhan dengan self esteem anak
12. Koefisien korelasi antara perilaku bullying di sekolah dengan self
esteem anak
13. Hasil analisis regresi linear berganda faktor-faktor yang mempengaruhi
self esteem anak
14. Rata-rata karakteristik keluarga berdasarkan jenis kelamin anak
15. Sebaran responden menurut status bekerja ibu berdasarkan jenis kelamin
responden
16. Rata-rata gaya pengasuhan ibu berdasarkan jenis kelamin responden
17. Sebaran gaya pengasuhan ibu berdasarkan jenis kelamin anak
18. Rata-rata skor kekerasan di rumah berdasarkan jenis kelamin anak
19. Sebaran anak berdasarkan jenis kekerasan di rumah dan jenis kelamin
anak
20. Sebaran anak berdasarkan tingkat kekerasan di rumah dan jenis kelamin
anak
21. Rata-rata skor perilaku bullying di sekolah
22. Sebaran anak berdasarkan peran bullying di sekolah dan jenis kelamin
23. Sebaran anak berdasarkan tingkat peran bullying dan jenis kelamin
24. Koefisien korelasi antara karakteristik keluarga dengan kekerasan di
rumah berdasarkan jenis kelamin
25. Koefisien korelasi antara gaya pengasuhan ibu dengan kekerasan di
ii

Halaman
14
14
22
23
23
23
24
24
25
25
25
26
27
34
35
35
36
36
36
37
37
38
38
39
39

rumah berdasarkan jenis kelamin
26. Koefisien korelasi antara kekerasan di rumah dengan korban bullying di
sekolah berdasarkan jenis kelamin

39

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran penelitian pengaruh gaya pengasuhan,
kekerasan di rumah, dan perilaku bullying di sekolah terhadap self
esteem anak Sekolah Dasar
2 Teknik penarikan sampel

iii

Halaman
12

13

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Di abad 21 ini, bangsa Indonesia dihadapkan pada tantangan-tantangan yang
semakin lama semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena perkembangan di
berbagai bidang kehidupan semakin hari semakin pesat, sehingga kita dihadapkan
pada situasi yang dinamis dan penuh ketidakpastian. Selain itu persaingan di dalam
kehidupan juga terus meningkat yang disebabkan karena bertambahnya populasi
manusia secara signifikan. Untuk dapat bertahan di tengah-tengah tantangan
tersebut, maka bangsa Indonesia mutlak memiliki generasi penerus yang berkualitas
dan kompeten. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010 tercatat bahwa 27,3
juta jiwa penduduk indonesia merupakan anak-anak usia sekolah dasar. Jumlah ini
tentu bukanlah jumlah yang sedikit, akan tetapi jumlah ini tidak akan berarti apaapa jika tidak berkualitas.
Goleman (1995) menekankan bahwa keberhasilan hidup seseorang lebih
ditentukan oleh kemampuan emosionalnya dibandingkan dengan kemampuan
intelektual. Dengan demikian pengembangan aspek kepribadian seorang anak
seharusnya menjadi prioritas utama dalam pembentukan generasi penerus yang
berkualitas dan kompeten. Salah satu kemampuan sosial emosional anak yang
perlu dikembangkan sehingga ia memiliki modal untuk menjadi manusia yang
berkualitas dan kompeten adalah self esteem.
Menurut Santrock (2007) self esteem merupakan penilaian umum terhadap
dirinya sendiri tentang penghargaan yang diekspresikan di dalam sikap individu
terhadap dirinya sendiri. Sementara itu Blascovic dan Tomaka dalam John dan
McArthur (2004) menambahkan bahwa self esteem tidak hanya sebatas bagaimana
individu menilai dirinya tetapi juga merupakan nilai-nilai individu, persetujuan,
penghargaan, hadiah atau rasa suka terhadap dirinya sendiri. Dengan demikian self
esteem merupakan penilaian diri mengenai dirinya sendiri baik secara positif
maupun negatif. Menurut Coopersmith (1967) ada beberapa faktor yang
mempengaruhi self esteem, diantaranya : 1) penghargaan dan penerimaan dari
orang-orang yang signifikan; 2) kelas sosial dan kesuksesan; 3) nilai dan inspirasi
individu dalam menginterpretasi pengalaman. dan 4) cara individu dalam
menghadapi devaluasi. Dengan kata lain self esteem dalam perkembangannya
terbentuk dari interaksi individu dengan lingkungannya dan atas sejumlah
penghargaan, penerimaan, dan perlakuan orang lain terhadap dirinya.
Berdasarkan teori ekologi yang dikemukakan oleh Bronfenbrenner (1979),
setidaknya ada dua lingkungan mikrosistem yang sangat dekat dan berpengaruh
langsung terhadap anak di usia sekolah yaitu keluarga dan sekolah. Selanjutnya
Bronfenbrenner (1979) menjelaskan bahwa semakin bertambahnya jumlah
mikrosistem dalam kehidupan anak, maka akan meningkatkan interaksi timbal
balik. Keluarga adalah tempat yang pertama dan utama dalam mengasuh anak,
sehingga kualitas anak sangat tergantung dari pengasuhan orang tuanya. Baumrind
(1966) dalam Parrillo (2008) menyatakan bahwa gaya pengasuhan yang terbaik
yang dapat dilakukan oleh orang tua adalah gaya pengasuhan authoritative, yaitu
orang tua memegang kendali atas anaknya namun dengan memperhatikan perasaan
dan keinginan anak, sehingga pendapat anak didengar dan menjadi masukan bagi
orang tuanya dalam menetapkan aturan. Sementara itu Chao dan Tseng (2002)

2

mengungkapkan bahwa umumnya orang tua di negara-negara Asia mengasuh
anaknya dengan gaya authoritarian/otoriter, dimana orang tua memegang kendali
atas anaknya dan anak adalah pihak yang harus taat terhadap semua perkataan
orang tua.
Menurut Baumrind (1966) dalam Parrillo (2008) dalam gaya pengasuhan
authoritarian, orang tua merupakan pihak yang benar dan tidak dapat dibantah.
Dengan demikian anak yang diasuh dengan gaya pengasuhan authoritarian bisa
menjadi anak yang pemarah dan agresif. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh
Utami dan Mulyati (2009) menunjukkan bahwa perilaku bullying akan semakin
meningkat seiring dengan meningkatnya pola asuh otoriter. Sementara itu terkait
hubungannya dengan self esteem, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Deshpande
dan Chhabriya (2013) menunjukkan bahwa orang tua yang mengasuh anaknya
dengan kasih sayang berhubungan positif dengan self esteem remaja. Hasil senada
juga ditunjukkan oleh penelitian Martinez, Garcia dan Yubero (2007) bahwa self
esteem remaja yang diasuh dengan gaya authoritative lebih tinggi daripada remaja
yang diasuh dengan gaya authoritarian and neglectful.
Selain keluarga, sekolah juga merupakan lingkungan mikrosistem bagi anak
usia sekolah. Menurut Papalia et al. (2004) bahwa pada tahun-tahun pertengahan
masa anak-anak (usia 6 – 11 tahun) merupakan titik penting perkembangan fisik,
kognitif dan psikososial karena anak pada usia tersebut memasuki masa sekolah
dan akan berinteraksi dengan kelompok teman sebaya yang akan memberikan
pengaruh terhadap perkembangan anak. Sementara itu menururt Erikson (1982)
masa sekolah merupakan masa yang penting dalam pembentukan kepercayaan diri.
Menurut Myers, Willise dan Villalba (2011) rasa percaya diri setiap individu dapat
bervariasi dalam lingkungan yang berbeda. Penilaian dari lingkungan sekitar saat
seseorang berinteraksi dengan lingkungannya akan mempengaruhi penilaian diri
orang tersebut, sehingga positif atau negatifnya penilaian diri seseorang sangat
tergantung penilaian dari lingkungan.
Centi (1995) menambahkan bahwa dukungan yang baik yang diterima dari
lingkungan akan memberi rasa nyaman. Dengan memiliki rasa nyaman tersebut,
maka anak secara otomatis akan memiliki pandangan yang positif terhadap dirinya
sendiri. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa anak yang memiliki self esteem
positif memiliki penerimaan dan penghormatan terhadap diri sendiri yang baik.
Dengan kondisi seperti ini tentunya anak akan mampu membina hubungan yang
baik dengan temannya dan menjaga hubungan tersebut agar tidak melukai perasaan
maupun fisik temannya. Sebaliknya anak dengan self esteem yang negatif akan
memandang dirinya sebagai orang yang tidak berguna, sehingga hal tersebut akan
membuat anak mengalami masalah dalam interaksi sosial, merasa tidak diterima
dan merasa memiliki kekurangan secara fisik. Hal ini akan mengakibatkan anak
mudah tersinggung dan marah. Dan pada akhirnya anak tersebut akan melakukan
perbuatan yang dapat menyakiti temannya baik secara fisik maupun psikis.
Sementara itu, saat ini kita dihadapkan oleh sebuah masalah serius, yaitu
bullying. Bullying merupakan perilaku yang menggunakan kekuasaan atau kekuatan
untuk menyakiti seseorang atau sekelompok orang, suatu perilaku mengancam,
menindas dan membuat perasaan orang lain tidak nyaman. Bullying dapat berupa
kontak fisik, verbal dan non verbal baik langsung maupun tak langsung. Dalam
sebuah penelitian di Amerika di dapat hasil bahwa 1 dari 3 orang responden
mengaku mengalami bullying (Santrock, 2006). Bahkan yang lebih
mengkhawatirkan lagi bahwa dalam berbagai hasil penelitian yang dilakukan di

3

beberapa negara tercatat bahwa bullying di tingkat sekolah dasar lebih tinggi dari
pada di tingkat sekolah menengah (Dake et al, 2003).
Di Indonesia hal serupa juga terjadi. Data KPAI (komisi Perlindungan Anak
Indonesia) menunjukkan bahwa pada tahun 2007 jumlah pelanggaran hak anak
yang terpantau sebanyak 40.398.625 kasus. Jumlah itu melonjak drastis jika
dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 13.447.921 kasus.. Dari
seluruh prilaku bullying terhadap anak, presentase terbesar yaitu 18% terjadi di
rumah dan 11,3% dilakukan oleh guru di sekolah. Sementara itu data dari forum
Penanganan Korban Bullying Perempuan dan Anak (FPK2PA) Provinsi DIY di
tahun 2011 menunjukkan bahwa dari total 367 kasus, 140 kasus merupakan
perilaku bullying terhadap anak. Kondisi ini tentu meresahkan kita karena
korbannya adalah generasi muda. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Spade
(2007) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara
perilaku bullying dan self esteem. Artinya semakin tinggi perilaku bullying terhadap
anak, maka akan semakin rendah self esteem anak tersebut.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka penulis bermakud untuk meneliti
lebih lanjut tentang pengaruh gaya pengasuhan terhadap perilaku bullying pada
anak dan self esteem anak.
Perumusan Masalah
Papalia et al. (2004) menyatakan bahwa pada tahun-tahun pertengahan masa
anak-anak (usia 6 – 11 tahun) merupakan titik penting perkembangan fisik, kognitif
dan psikososial. Menurut Bronfenbrenner (1979) keluarga dan sekolah merupakan
lingkungan mikrosistem yang langsung mempengaruhi anak. Oleh karena itu di
Indonesia diberlakukan UU RI no 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Undang-undang ini mengatur tentang hak dan kewajiban bagi anak, sehingga
dengan adanya undang-undang ini harapannya anak-anak mendapatkan dukungan
yang baik dalam proses tumbuh dan berkembang. Adapun yang dimaksud dengan
anak dalam Undang-undang ini adalah seseorang yang berada dalam kandungan
sampai usia 18 tahun.
Keluarga adalah tempat yang pertama dan utama dalam mengasuh anak.
Sehingga kualitas anak sangat tergantung dari pengasuhan orang tuanya.
Berdasarkan Baumrind (1966) dalam Parrillo (2008) , gaya pengasuhan yang
terbaik yang dapat dilakukan oleh orang tua adalah gaya pengasuhan authoritative,
yaitu orang tua memegang kendali atas anaknya namun dengan memperhatikan
perasaan dan keinginan anak, sehingga pendapat anak didengar dan menjadi
masukan bagi orang tuanya dalam menetapkan aturan. Sementara itu Chao dan
Tseng (2002) mengungkapkan bahwa umumnya orang tua di negara-negara Asia
mengasuh anaknya dengan gaya authoritarian/otoriter, dimana orang tua
memegang kendali atas anaknya dan anak adalah pihak yang harus taat terhadap
semua perkataan orang tua. Menurut Baumrind (1966) dalam Parrillo (2008)
menyatakan bahwa dalam gaya pengasuhan authoritarian, orang tua merupakan
pihak yang benar dan tidak dapat dibantah.
Di sisi lain sekolah merupakan salah satu lingkungan mikrosistem yang
langsung mempengaruhi anak selain lingkungan keluarga (Bronfenbrenner, 1979).
Di mana guru dan teman sebaya merupakan pihak yang berinteraksi langsung
dengan anak. Akan tetapi jika kita melihat data KPAI, maka jumlah bullying yang
terjadi setiap tahun menunjukkan grafik yang terus meningkat. Selain itu KPAI

4

mencatat bahwa sebagian besar pelaku bullying terhadap anak adalah orangtua,
guru dan teman sebaya. Menurut Coopersmith (1967) penghargaan dan penerimaan
dari orang-orang yang signifikan dapat meningkatkan self esteem anak. Sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Widiharto, Sandjaja dan Eriany terhadap 73 siswa
laki-laki kelas 5 di SDN 03, 04 dan 05 Sendangmulyo yang pernah mendapatkan
tindakan bullying menunjukkan hasil bahwa ada hubungan yang negatif dan sangat
signifikan antara self esteem anak dan perilaku bullying terhadap anak. Sementara
itu salah satu kasus kematian akibat bullying verbal adalah kasus Fifi Kusrini (13)
pada tanggal 15 Juli 2005. Siswi SMP ini bunuh diri karena minder dan frustasi
akibat sering diejek sebagai anak tukang bubur oleh teman-temannya. Dalam kasus
ini terlihat jelas bahwa ia memiliki penilaian diri yang negatif tentang dirinya
sebagai dampak dari ejekan – ejekan yang dilontarkan teman – temannya. Menurut
Coopersmith (1967) wanita memiliki self esteem yang lebih rendah dari laki-laki,
seperti merasa kurang mampu dan merasa harus dilindungi.
Dukungan yang baik yang diterima dari lingkungan akan memberi rasa
nyaman pada anak (Centi, 1995). Sebaliknya, kondisi lingkungan yang tidak
menyenangkan dikarenakan adanya bullying terhadap anak dapat menimbulkan rasa
self esteem yang rendah. Berdasarkan uraian di atas, terdapat tiga pertanyaan yang
ingin ditemukan jawabannya melalui penelitian ini, yaitu : 1) Apakah gaya
pengasuhan orangtua mempengaruhi tingkat bullying terhadap anak berdasarkan
jenis kelamin?; 2) Apakah gaya pengasuhan orangtua mempengaruhi self esteem
anak berdasarkan jenis kelamin; dan 3) Apakah bullying terhadap anak akan
mempengaruhi self esteem anak berdasarkan jenis kelamin?
Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis pengaruh gaya
pengasuhan ibu, kekerasan di rumah dan perilaku bullying di sekolah terhadap self
esteem anak sekolah dasar berdasarkan jenis kelamin. Sedangkan tujuan khusus
dari penelitian ini adalah :
1. Menganalisis hubungan karakteristik keluarga dengan gaya pengasuhan
orang tua dan kekerasan di rumah
2. Menganalisis hubungan karakteristik anak dengan kekerasan di rumah dan
perilaku bullying sekolah
3. Menganalisis hubungan kekerasan di rumah dan perilaku bullying sekolah
4. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi self esteem anak
berdasarkan jenis kelamin.

5

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pihak terkait,
yaitu orangtua dan guru. Bagi orang tua, penelitian ini dapat memberikan gambaran
mengenai gaya pengasuhan yang dapat meningkatkan self esteem anak. Gaya
pengasuhan orang tua saat ini dipengaruhi oleh gaya pengasuhan orang tuanya
terdahulu, sehingga jika ia mendapatkan gaya pengasuhan yang salah ia harus
merubahnya agar tidak melakukan kesalahan tersebut kembali. Bagi guru,
penelitian ini dapat memberikan gambaran bagaimana menjadi seorang pendidik
yang baik, yang mampu meningkatkan self esteem anak serta mampu membantu
mengembangkan potensi – potensi yang dimiliki oleh anak didik. Selain itu
penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada guru untuk
senantiasa peduli terhadap perilaku – perilaku bullying yang dilakukan oleh siswa
terhadap temannya Akan tetapi untuk dapat merubah sesuatu yang sudah menjadi
kebiasaan atau sesuatu yang dianggap wajar karena sering terjadi diperlukan
dukungan dan kekuasaan yang kuat, salah satu dukungan yang diharapkan adalah
dukungan dari pemerintah. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat
menjadi masukan dalam mengembangkan program, baik program bagi sistem
keluarga maupun program bagi sistem sekolah. program tersebut diperuntukkan
bagi yang akan menjadi orang tua maupun yang sudah menjadi orang tua.
Sementara itu program bagi sistem sekolah berguna untuk meningkatkan kualitas
guru serta menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif dan benar-benar menjadi
tempat pengembangan potensi anak. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi bagi pengembangan keilmuan terutama ilmu keluarga dan
perkembangan anak, serta dapat menjadi pertimbangan untuk pengembangan
penelitian sejenis berikutnya.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Keluarga
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 keluarga merupakan
unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-isteri atau suami-isteri
dengan anaknya atau ayah dengan anaknya, atau ibu dengan anaknya. Sementara
itu Geary dan Flinn (2001) mendefinisikan keluarga secara lebih luas dengan
menyertakan empat ciri dari keluarga, yaitu (1) terdiri dari kumpulan orang yang
bersatu karena ikatan darah, perkawinan, atau adopsi; (2) anggota keluarga
biasanya hidup dalam satu atap membentuk satu rumah tangga, dan jika ada
anggota yang tinggal terpisah maka ia cenderung menganggap rumah tangga
tersebut adalah rumahnya; (3) memiliki kesatuan interaksi dan komunikasi antar
anggotanya di mana setiap anggota keluarga memegang peranannya masingmasing; dan (4) mempertahankan kebudayaan yang ada yang berasal dari
kebudayaan di masyarakat secara umum, namun dalam sebuah tatanan masyarakat,
setiap keluarga memiliki budaya yang berbeda-beda. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa keluarga merupakan unit terkecil di masyarakat yang
anggotanya memiliki hubungan darah, pernikahan, atau adopsi serta tinggal
bersama dalam satu atap, di mana di dalamnya terjadi interaksi dan komunikasi
dengan memperhatikan peran sosialnya sebagai suami-istri, ayah-ibu, anak, serta
kakak-adik.

6

Teori Keluarga Struktural Fungsional
Menurut Strong dan DeVault (1979) teori struktural fungsional merupakan
teori utama yang digunakan untuk menjelaskan bagaimana sebuah keluarga dapat
berhasil, dan menjelaskan bagaimana interaksi antar anggota keluarga serta
interaksi keluarga dengan masyarakat luas. Teori ini berusaha untuk menemukan
tujuan struktur sosial yang ada dan menemukan bagaimana tujuan tersebut dicapai.
Teori struktural fungsional lebih sering menekankan pada struktur daripada proses.
Inilah hal mendasar yang membedakan teori keluarga struktural fungsional dengan
teori-teori keluarga yang lain. Asumsi dari teori keluarga struktural fungsional
adalah dimana tujuan keluarga merupakan sarana untuk memenuhi peran tertentu
dalam rangka menjaga masyarakat sebagai suatu fungsi yang lancar secara
keseluruhan (Newman & Grauerholz 2002). Menurut teori ini, ada dua fungsi yang
dikaji dalam keluarga, yaitu fungsi keluarga untuk masyarakat, serta fungsi dari
subsistem (anggota keluarga) untuk keluarga dan untuk subsistemnya sendiri.
Menurut Suhendi dan Wahyu (2001) Fungsi tersebut dapat dilihat satu sama lain
melalui suatu hubungan sosial. Pendekatan teori struktural fungsional adalah
pendekatan teori sosiologi yang diterapkan dalam institusi keluarga. Dimana
keluarga sebagai sebuah institusi dalam masyarakat mempunyai prinsip-prinsip
serupa yang terdapat dalam kehidupan sosial masyarakat (Megawangi, 1999).
Teori Ekologi
Berdasarkan teori ekologi keluarga yang dikemukakan oleh Bronfenbrenner
(1979) bahwa anak dapat mempengaruhi orangtua dan lingkungannya, begitu pula
sebaliknya. Perkembangan anak terjadi pada lapisan lingkungan yang berjenjang
dan kompleks, di mana jika terjadi sebuah perubahan kecil di salah satu lapisan
lingkungan, maka hal tersebut akan mempengaruhi lapisan lingkungan yang lain.
Berdasarkan teori ini jelas terlihat bahwa perkembangan anak bukan hanya
ditentukan oleh lingkungan keluarga saja namun juga dipengaruhi oleh lingkungan
sekitarnya yang lebih besar. Dengan demikian meskipun di dalam lingkungan
keluarga pengasuhan sudah dilakukan secara ideal namun kondisi lingkungan justru
sebaliknya, maka perkembangan anak dapat menuju arah yang tidak diharapkan
orangtuanya. Jika demikian kondisinya, maka orangtua harus dapat merubah
lingkungannya, atau mencari lingkungan baru yang lebih kondusif.
Menurut Bronfenbrenner (1979) lapisan lingkungan yang terdekat dengan anak
dan langsung mempengaruhi anak disebut dengan lapisan mikrosistem. Bagi anak
usia sekolah setidaknya ada dua lingkungan mikrosistem yang langsung
mempengaruhi perkembangan anak yaitu lingkungan keluarga dan lingkungan
sekolah. Lapisan mikrosistem ini berkembang sesuai dengan usia anak. Dengan
bertambahnya jumlah mikrosistem dalam kehidupan anak, maka akan interaksi
timbal balik antara anak dan lingkungan akan semakin meningkatkan.
Dengan demikian berdasarkan teori ekologi Bronfenbrenner (1979), keluarga
berada di lingkungan mikrosistem. Keluarga menjadi unit yang pertama dan utama
yang berpengaruh terhadap perkembangan anak, dan orang tua memegang peranan
yang dominan dalam perkembangan anak. Sehingga apa yang dilakukan oleh orang
tua sangat mempengaruhi kehidupan anak (Hoghughi & Long 2004). Oleh karena
itu, gaya pengasuhan orang tua perlu diperhatikan. Bahkan tidak hanya gaya
pengasuhan saja, akan tetapi karakteristik yang ada pada diri orang tua juga perlu
diperhatikan karena dapat mempengaruhi kehidupan anak. Beberapa karakteristik
orang tua yang dapat mempengaruhi anak di antaranya adalah usia (Berryman

7

2000), keadaan sosial-ekonomi (McLyod & Wilson 1991), dan jumlah anak
(Becker 1991)
Gaya Pengasuhan
Menurut Hoghughi (2004) pengasuhan merupakan aktivitas yang ditujukan
untuk memastikan perkembangan dan ketahanan anak. Sementara itu Brooks
(2001) mengngkapkan bahwa pengasuhan adalah proses interaksi antara orang tua
dan anak dengan mengacu kepada perkembangan anak. Menurut Kordi dan
Baharudin (2010) Gaya pengasuhan merupakan standar strategi orang tua yang
terbentuk secara psikologis dalam membesarkan anak mereka. Gaya pengasuhan
merupakan hal yang penting dalam perkembangan anak (Shears et al. 2008).
Menurut Baumrind (1967) gaya pengasuhan dapat diidentifikasi dalam empat
dimensi penting, yaitu strategi pendisiplinan, kehangatan dan perawatan, gaya
komunikasi, serta harapan terhadap kedewasaan dan kontrol. Dari keempat dimensi
tersebut maka Baumrind membagi gaya pengasuhan menjadi tiga tipe, yaitu
authoritative (menekankan pada tuntutan yang beralasan), authoritarian (menuntut
kepatuhan/otoriter), dan permissive (menuruti keinginan anak).
Menurut Timpano et al. (2010) gaya pengasuhan authoritative merupakan
gaya pengasuhan dengan tingkat kehangatan dan pendisiplinan yang tinggi. Dengan
gaya pengasuhan ini, Orang tua memberikan peraturan dengan penjelasan logis
serta mengutamakan kehangatan di dalam praktek pengasuhan. Selain itu, orang tua
membuka ruang pendapat bagi anak mengenai peraturan yang berlaku sebagai
masukan meskipun pendapat anak tersebut bertentangan dengan keinginan mereka.
Anak yang diasuh dengan gaya pengasuhan authoritative akan terhindar dari
perbuatan kriminal, memiliki kompetensi sosial yang baik, memiliki tujuan
(Okorodudu 2010), serta memiliki kepercayaan dan kesadaran diri yang tinggi
(Kordi & Baharudin 2010). Selain itu, mereka memiliki tingkat kebahagiaan dan
kemampuan yang tinggi serta sukses (Maccoby 1992).
Timpano et al. (2010) mengungkapkan bahwa gaya pengasuhan authoritarian
merupakan gaya pengasuhan dengan tingkat kehangatan antara orang tua dan anak
yang rendah namun dengan tingkat pendisiplinan yang tinggi. Dengan gaya
pengasuhan ini orang tua biasanya menerapkan peraturan tanpa kompromi dengan
anak, mereka tidak menjelaskan mengapa peraturan tersebut ditetapkan Orang tua
juga kaku terhadap nilai-nilai peraturan dan kurang kasih sayang Dengan kata lain
orang tua menuntut kepatuhan dari anak. Menurut Baumrind (1991) jika anak tidak
mematuhi peraturan yang sudah ditetapkan maka anak akan mendapatkan
hukuman. Umumnya anak yang diasuh dengan gaya pengasuhan authoritarian akan
memiliki kemampuan sosial yang rendah (Zhou et al. 2004) dan kepercayaan diri
yang rendah. Selain itu, mereka lebih mudah cemas, memiliki tingkat kebahagiaan
yang rendah (Baumrind 1991) sehingga mudah pula terkena depresi (Rothrauff,
Cooney, & An 2009).
Gaya pengasuhan permissive adalah gaya pengasuhan yang ditandai dengan
tingkat kehangatan yang tinggi tetapi kontrol terhadap perilaku yang rendah.
Menurut Timpano et al. (2010) Pada gaya pengasuhan ini orang tua mengizinkan
anak untuk melakukan apa yang mereka mau lakukan dengan tingkat disiplin yang
rendah. Orang tua dengan gaya pengasuhan permissive adalah orang tua yang tidak
menuntut kedewasaan dari diri anak dan mereka menghindari pertengkaran dengan
anak. Menurut Baumrind (1991).Orang tua ini sering berkomunikasi dengan
anaknya, bahkan mereka menjadi seperti teman bagi anak mereka. Hasil penelitian

8

menunjukkan bahwa anak yang diasuh dengan gaya pengasuhan permissive
cenderung untuk melakukan tindakan kriminal ketika remaja (Okorodudu 2010)
dan lebih agresif (Underwood, Beron, Rosen 2009). Selain itu, dikarenakan sikap
orang tua yang mengikuti keinginan anak dan rendahnya pendisiplinan maka anak
yang diasuh secara permissive cenderung untuk menjadi anak dengan tingkat
disiplin dan tanggung jawab yang rendah.
Bullying
Definisi
Menurut Olweus (1993) bullying mengandung tiga unsur perilaku
mendasar, yaitu: agresif dan bersifat negatif; dilakukan secara berulang kali; adanya
ketidakseimbangankekuatan antara pihak yang terlibat. Sama halnya dengan
pendapat Papalia et al. (2004) yang menyatakan bahwa bullying merupakan
perilaku agresif yang disengaja dan dilakukan berulang untuk menyerang target
atau korban, dimana korban umumnya adalah orang yang lemah, mudah diejek dan
tidak bisa membela diri. Hal senada juga disampaikan oleh Coloroso (2007) yang
menyatakan bullying merupakan aktivitas sadar, disengaja dan bertujuan untuk
melukai, menanamkan ketakutan melalui ancaman agresi, dan menciptakan teror
yang dilandasi oleh ketidakseimbangan kekuatan.
Hurlock (1993) menyebutkan bahwa korban dari intimidasi merupakan
sekelompok target yang menjadi reaksi berulang dimana ia memiliki kekuatan dan
kebanggaan yang kurang dibandingkan orang-orang yang melakukan agreisiksi
terhadapnya. Rice dan Dolgin (2008) menambahkan bahwa perilaku bullying
merupakan perilaku agresif dengan kecenderungan menyakiti orang lain yang
biasanya berulang lagi. Yayasan Sejiwa (2008) menjelaskan bahwa bullying dapat
dilakukan secara fisik, verbal dan psikologis. Demikian halnya yang dikemukakan
oleh Berns (2004) bahwa bullying merupakan tindakan yang biasa dilakukan seperti
mengancam, mengganggu, memanggil dengan istilah, wajah atau bahasa tubuh
yang menandakan tidak suka atau mengejek, memukul, menendang, mencubit, dan
penganiayaan fisik lainnya, dimana korbannya senantiasa mendapat perlakuan yang
dapat dilihat dan diulang dalam waktu yang lama.
Bentuk-bentuk bullying
Menurut Nahuda et al (tanpa tahun) bentuk bentuk bullying di sekolah dapat
digolongkan dalam tiga jenis yaitu: 1) secara fisik seperti memukul, menendang,
mengambil milik orang lain; 2) secara verbal seperti mengolok-olok nama siswa
lain, menghina, mengucapkan kata-kata yang menyinggung; 3) secara tidak
langsung seperti menyebarkan cerita bohong, mengucilkan, menjadikan siswa
tertentu sebagai target humor yang menyakitkan, mengirim pesan pendek atau surat
yang keji. Mengolok-olok nama merupakan hal yang paling umum karena ciri-ciri
fisik siswa, suku, etnis, warna kulit dan lain-lain. Sementara itu Page (2007)
menyatakan bahwa bullying yang dilakukan oleh guru dapat terjadi karena guru
merasa memiliki kekuasaan penuh di kelas, sehingga ia merasa dapat melakukan
berbagai cara agar siswa-siswanya melakukan atau berperilaku sesuai yang
diharapkan oleh guru. Selain itu Page juga menambahkan terdapat tiga masalah
mendasar yang memungkinkan guru untuk melakukan bullying. Ketiga hal tersebut
antara lain 1) umumnya guru adalah siswa yang baik pada masanya, sehingga
mereka kurang memahami kondisi anak yang memiliki rasa malu, bosan atau takut
menunjukkan kemampuan yang dimilikinya; 2) kurangnya pengalaman dan

9

pelatihan guru dalam merespon perilaku siswa yang tidak kooperatif; 3) kesalahan
guru dalam menggunakan strategi pengajaran.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bullying merupakan perilaku
negatif yang agresif yang dilakukan secara fisik, verbal dan non verbal serta
dilakukan secara berulang-ulang.dari waktu ke waktu.
Self esteem
Definisi
Menurut Greenberg (2008) bahwa self esteem merupakan kebutuhan dasar
manusia. Sementara itu Allport (1961) dalam Guindon (2009) menambahkan
bahwa perkembangan self esteem menjadi isu utama bagi anak-anak. Mengenai
definisi self esteem Coopersmith (1967) menyatakan bahwa self esteem merupakan
suatu penilaian pribadi tentang penghargaan yang diekspresikan di dalam sikap
individu terhadap dirinya sendiri. Selanjutnya Coopersmith (1967) menabahkan
bahwa self esteem dalam perkembangannya terbentuk dari interaksi individu
dengan lingkungannya dan atas sejumlah penghargaan, penerimaan, dan perlakuan
orang lain terhadap dirinya. Coopersmith (1967) mendapatkan bahwa individu yang
mempunyai self esteem tinggi lebih menyukai dan menghormati dirinya, menilai
dan melihat dirinya sebagai seseorang yang berani menghadapi dunia yang
dihayatinya, berpandangan bahwa dirinya sejajar dengan yang lainnya, mengenali
keterbatasannya, dan berharap untuk tumbuh. Sedangkan orang yang mempunyai
harga diri rendah cenderung untuk menolak dirinya, merasa dirinya selalu tidak
puas, kurang percaya diri sehingga tidak jarang mereka sering terbentur pada
kesulitan sosial dan biasanya pesimistis dalam perjalanan hidupnya, bahkan
rendahnya harga diri cenderung akan menyebabkan seseorang berperilaku tidak
terpuji, karena adanya perasaan kurang yakin terhadap kemampuan dan keadaan
dirinya.
Menurut Santrock (2007) menjelaskan bahwa self esteem merupakan
evaluasi individu terhadap dirinya sendiri secara positif atau negatif. Individu yang
memiliki self esteem positif akan menerima dan menghargai dirinya sendiri apa
adanya. Sementara itu Blascovic dan Tomaka dalam John dan Mac Arthur (2004)
menambahkan bahwa self esteem tidak sebatas bagaimana individu menilai dirinya
tetapi juga merupakan nilai-nilai individu, persetujuan, penghargaan, hadiah atau
rasa suka terhadap dirinya sendiri. Sedangkan Rosenberg dalam John dan Mac
Arthur (2004) memberikan definisi yang lebih sederhana tentang self esteem, yaitu
sikap yang menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap diri individu.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa self esteem merupakan
penilaian diri anak mengenai dirinya sendiri secara negatif atau positif. Anak yang
memiliki self esteem positif akan menerima dan menghargai dirinya sendiri apa
adanya. Sementara itu Twenge dan Campbell (2002); Twenge dan Crocker (2002)
dalam Guindon (2009) menyatakan bahwa self esteem yang rendah berhubungan
dengan beberapa fenomena negatif seperti kehamilan di usia remaja, menkonsumsi
alkohol dan obat-obat terlarang, bullying, depresi dan bunuh diri.
Faktor-faktor yang mempengaruhi self esteem
Twenge dan Campbell (2002); Twenge dan Crocker (2002) dalam Guindon
(2009) mengungkapkan bahwa beberapa faktor yang menjadi penentu self esteem
diantaranya adalah gender, ras, tingkat ekonomi, orientasi seksual, status imigran
dan lain-lain.

10

Menurut Kapoor (2013) anak-anak dengan self esteem tinggi mampu
mengekspresikan perasaan dan emosi dengan cara yang terkendali, sedangkan
anak-anak dengan self esteem rendah cenderung mengandalkan penilaian orang lain
dan tidak mampu membentuk pendapat pribadi, mudah putus asa, terus-menerus
menyalahkan orang lain atas kesalahan dan kegagalan mereka. Lebih lanjut Kapoor
mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya self esteem anak
antara lain:
1. Sikap orang tua yang keliru seperti kurang komunikasi, penolakan, disiplin
ketat, tuntutan yang tidak realistis, serta perlindungan yang berlebihan.
2. Situasi keluarga disfungsional seperti perselisihan, perceraian, kematian,
orangtua kehilangan pekerjaan serta sering berpindah-pindah rumah.
3. Faktor lingkungan sekolah seperti tekanan atau penolakan teman sebaya, serta
guru yang suka menghukum.
4. Lain-lain seperti tindak bullying, masalah kesehatan, serta kondisi fisik.

3 KERANGKA PEMIKIRAN
Seorang anak mengawali kehidupan dalam lingkungan mikro yaitu keluarga.
Selanjutnya keluarga akan mendampingi hidup anak hingga sang anak siap untuk
hidup mandiri. Sehingga gaya pengasuhan orang tua merupakan faktor penting
yang dapat mempengaruhi output pada anak. Gaya pengasuhan orang tua dapat
dipengaruhi oleh berbagai hal, yaitu karakteristik anak, karakteristik orang tua.
Karakteristik anak yang terdiri dari usia, jenis kelamin, dan urutan kelahiran
mempengaruhi gaya pengasuhan orang tua. Menurut Hurlock (1994) hal ini
disebabkan karena usia setiap anak terkait dengan tugas perkembangannya. Dengan
demikian menurut Herbert (2004) dibutuhkan strategi pengasuhan yang berbeda
untuk membimbing anak agar berkembang sesuai tahap perkembangannya.
Perlakuan orang tua akan berbeda menurut jenis kelamin anak. Anak perempuan
cenderung lebih dimanja daripada anak laki-laki. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa ayah lebih melindungi anak perempuannya dibandingkan dengan anak lakilakinya (Stephens 2009). Berdasarkan urutan kelahiran, penelitian Jacobs dan Moss
menunjukkan bahwa ibu lebih sering bercengkerama dengan anak pertama
dibandingkan dengan anak kedua (Bredin & Rodney 2002).
Karakteristik orang tua yang terdiri dari usia, pendidikan, pendapatan, dan
jumlah anak juga mempengaruhi gaya pengasuhan. Usia orang tua akan
mempengaruhi gaya pengasuhannya. Seseorang dengan tingkatan usia yang lebih
tua akan cenderung lebih dewasa atau bijak dalam mengambil sikap. Berryman
(2000) menunjukkan bahwa ibu yang lebih tua lebih sering tidur bersama bayinya
dan memberikan ASI dibandingkan dengan ibu yang usianya lebih muda. Kedua
hal tersebut sangat penting dalam pengasuhan karena akan memperkuat ikatan
kasih sayang antara ibu dan anak yang tentunya akan baik bagi perkembangan
anak. Pendidikan dan pendapatan orang tua menentukan keadaan sosial ekonomi.
Pinderhughes et al. (2000) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang negatif
antara status sosial ekonomi orang tua dengan kebiasaan orang tua memukul anak.
Ini artinya orang tua dengan pendapatan rendah akan cenderung lebih sering
memukul anaknya dibandingkan orang tua dengan pendapatan lebih tinggi. Hal ini
diduga karena orang tua dengan pendapatan rendah akan berpotensi sering
mengalami stres, dan stres akan berkaitan dengan gaya pengasuhan.

11

Jumlah anak yang dimiliki orang tua juga akan mempengaruhi gaya
pengasuhan orang tua. Menurut Becker (1991) semakin banyak jumlah anak yang
dimiliki maka akan semakin menurun kualitas pengasuhan anak tersebut. Hal ini
disebabkan karena berkurangnya ketersediaan waktu, tenaga, dan materi yang
diberikan orang tua kepada anak.
Berdasarkan kondisi tersebut sebuah keluarga akan memiliki ciri khas tertentu
dalam setiap aktivitasnya, termasuk dalam hal pengasuhan. Dengan demikian gaya
pengasuhanpun akan berbeda untuk setiap keluarga, gaya pengasuhan yang
cenderung otoriter diduga akan melakukan praktek-praktek kekearasan terhadap
anak, sedangkan gaya pengasuhan permisif diduga akan cenderung mengabaikan
anaknya. Hal ini didasarkan pada pernyataan Baumrind (1966) dalam gaya
pengasuhan authoritarian, orang tua merupakan pihak yang benar dan tidak dapat
dibantah. Sebagai pihak yang merasa selalu benar, tentu orang tua akan melakukan
berbagai cara agar anak mengikuti kehendaknya termasuk melakukan tindakan
kekerasan pada anak bahkan dengan dalih untuk pendisiplinan. Selain itu beberapa
karakteristik pelaku dan korban bullying yang dirangkum oleh Dake et al (2003)
antara lain memiliki orang tua yang otoriter, kurang responsif dan mendukung,
menerapkan hukuman dalam pendisiplinan, kurangnya komunikasi antara anak dan
orang tua.
Selain keluarga, lingkungan mikro yang langsung berpengaruh pada
perkembangan anak adalah lingkungan sekolah. Peran dan otoritas guru untuk
memimpin dan mengontrol kegiatan pembelajaran sangat mempengaruhi
keberhasilan pemahaman siswa. Guru yang lebih banyak berperan sebagai sahabat,
mentor, dan fasilitator akan sangat mendukung kelancaran pemahaman siswa.
Forbes (1996) mengibaratkan peran guru seperti seorang teman dalam perjalanan
yang telah berpengalaman dan menyenangkan.
Akan tetapi berdasarkan data KPAI presentase korban bullying sebagian besar
terdapat di keluarga dan sekolah. Sekolah yang merupakan tempat belajar kedua
setelah keluarga ternyata disadari atau tidak telah menjalankan praktek-praktek
bullying. Pihak yang banyak memegang peranan dalam praktek-praktek bullying
adalah guru dan teman sebaya. Menurut Page (2007) bullying yang dilakukan oleh
guru dapat terjadi karena guru merasa memiliki kekuasaan penuh di kelas, sehingga
ia merasa dapat melakukan berbagai cara agar siswa-siswanya melakukan atau
berperilaku sesuai yang diharapkan oleh guru. Selain itu Page juga menambahkan
terdapat tiga masalah mendasar yang memungkinkan guru untuk melakukan
bullying. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Twemlow et al (tanpa tahun)
terhadap 116 guru dari 7 sekolah dasar di Amerika Serikat menunjukkan hasil
bahwa guru yang melakukan bullying terhadap siswa mengalami hal yang serupa
disaat mereka menjadi siswa. Berdasarkan penjelasan tersebut karakteristik guru
yang dapat memicu perilaku bullying terhadap siswa meliputi umur, lama
mengajar, lama pendidikan dan riwayat bullying di masa lalu. Sementara itu
bullying yang dilakukan oleh teman sebaya dapat diakibatkan karena pelaku juga
merasa memiliki kekuatan dan kekuasaan lebih dibandingkan teman – temannya
atau hal ini dapat pula terjadi karena pengaruh gaya pengasuhan orang tuanya.
Twenge dan Campbell (2002); Twenge dan Crocker (2002) dalam Guindon
(tanpa tahun) menyatakan bahwa self esteem yang rendah berhubungan dengan
beberapa fenomena negatif seperti kehamilan di usia remaja, menkonsumsi alkohol
dan obat-obat terlarang, bullying, depresi dan bunuh diri. Menurut O’Moore dan
Kirkham (2001); Juvonen et al (2000) dalam Dake et al (2003) menyatakan bahwa

12

karakteristik korban bullying adalah memiliki self esteem yang rendah. Sejalan
dengan pernyataan tersebut Rudi (2010) menyatakan bahwa korban bullying akan
mengalami masalah emosional dan perilaku. Dengan
demikian dapat di simpulkan bahwa bullying dapat menimbulkan rasa tidak
nyaman, minder, merasa terisolasi, dan merasa tidak berharga. Perasaan-perasaan
semacam ini akan dapat membentuk penilaian diri yang negatif, sehingga inilah
yang menyebabkan rendahnya self esteem anak. Untuk lebih jelasnya berikut ini
disajikan kerangka berpikir dalam bentuk bagan.
Karakteristik Keluarga
• Umur orang tua 
• Lama pendidikan orang tua 
• Pendapatan keluarga 

• Status bekerja ibu 

Karakteristik Anak
• Umur 

• Jenis kelamin 

sistem sekolah
• Persepsi anak 
terhadap sekolah  
• Sistem 
pembelajaran di 

Teman sebaya 

Gaya Pengasuhan Orang Tua





Gaya Pengasuhan Otoriter 
(Authoritarian) 
Gaya Pengasuhan Demokratis 
(Authoritative) 

Gaya Pengasuhan Permissive 

Kekerasan di rumah
• Kekerasan  fisik 
• Kekerasan verbal 
• Kekerasan psikososial 

Self esteem
anak

Bullying di lingkungan Sekolah

• Korban Bullying fisik
• Korban Bullying verbal
• Korban Bullying non verbal
• Pelaku Bullying fisik
• Pelaku Bullying verbal
• Pelaku Bullying non verbal

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian pengaruh gaya pengasuhan, kekerasan di
rumah, dan perilaku bullying di sekolah terhadap self esteem anak
Sekolah Dasar

13

4 METODE PENELITIAN
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional study yaitu suatu teknik
pengambilan data yang dilakukan melalui survey lapang pada suatu titik waktu
tertentu. Penelitian dilakukan di tiga Sekolah Dasar Negeri yang berada di
Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur yang dipilih secara acak (simple random
sampling). Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan April 2014.
Penarikan Sampel
Populasi contoh pada penelitian ini adalah siswa kelas 4 dan 5 Sekolah Dasar
Negeri (SDN) di Kecamatan Ciracas. Pertimbangan pemilihan siswa kelas 4 dan 5
sebagai contoh adalah karena siswa kelas 4 dan 5 dianggap sudah dapat menilai
gaya pengasuhan orang tua lebih baik dibandingkan dengan siswa kelas rendah (1 –
3).
Dari seluruh data Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Ciracas, diambil tiga
sekolah secara acak. Semua siswa kelas 4 dan 5 dengan kondisi normal, artinya
bukan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) berdasarkan diagnosa psikolog atau
guru, yang berasal dari tiga sekolah terpilih dikelompokkan berdasarkan jenis
kelamin. Pengambilan contoh dalam penelitian dilakukan secara acak berkelompok
(cluster random sampling) yang terdiri dari 50 anak laki-laki dan 50 anak
perempuan, sehingga total contoh adalah 100 anak. Berikut adalah kerangka
pengambilan contoh.
Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Ciracas

Sekolah Dasar Negeri

SD
Negeri ke 1
kelas 4 dan 5

SD
Negeri ke 2
kelas 4 dan 5

Laki-laki

Cluster
Acak

50

Perempuan

50

n = 100 siswa
Gambar 2. Tekn