Populasi dan Habitat Lutung Jawa (Tracyphitecus auratus E. Geoffrey 1812) di Resort Balanan, Taman Nasional Baluran.

POPULASI DAN HABITAT LUTUNG JAWA (Tracyphitecus
auratus E. Geoffrey 1812) DI RESORT BALANAN TAMAN
NASIONAL BALURAN

WAHYU INDAH ASTRIANI

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

ii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Populasi dan Habitat
Lutung Jawa (Tracyphitecus auratus E. Geoffrey 1812) di Resort Balanan Taman
Nasional Baluran adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun

tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015
Wahyu Indah Astriani
NIM E34110020

ii

ABSTRAK
WAHYU INDAH ASTRIANI. Populasi dan Habitat Lutung Jawa (Tracyphitecus
auratus E. Geoffrey 1812) di Resort Balanan, Taman Nasional Baluran.
Dibimbing oleh HARNIOS ARIEF dan LILIK BUDI PRASETYO.
Taman Nasional Baluran (TNB) merupakan salah satu habitat alami lutung
jawa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran aktual
kondisi populasi, habitat dan mendeskripsikan karakteristik habitat yang
digunakan lutung jawa di Resort Balanan, TNB. Penelitian dilakukan pada bulan
Maret – April 2014. Populasi lutung jawa diketahui menggunakan metode

terkonsentrasi. Pengaruh dari faktor biotik berupa vegetasi sebagai pakan dan
covernya serta faktor abiotik berupa ketinggian, kelerengan, jarak dari sungai dan
jarak dari gangguan (jalan dan pemukiman). Berdasarkan variabel dari faktor
penyusun habitat tersebut didapatkan nilai yang digunakan untuk mengetahui
karakteristik habitat yang digunakan lutung jawa menggunakan Analisis
Komponen Utama (AKU). Hasil menunjukkan terdapat sebanyak 6 kelompok
lutung jawa yang terdiri dari 93 individu dengan ukuran rata-rata 15,5 ± 5,381.
Faktor yang mendukung keberadaan lutung jawa dapat disimpulkan dalam 4
(empat) komponen yaitu faktor biotik tumbuhan regenerasi, faktor abiotik, faktor
fisik tumbuhan serta faktor biotik tumbuhan tua.
Kata kunci: abiotik, biotik, habitat, lutung jawa, populasi

ABSTRACT
WAHYU INDAH ASTRIANI. Population dan Habitat of Javan Langur
(Tracyphitecus auratus E. Geoffrey 1812) in Balanan Resort, Baluran National
Park. Supervised by HARNIOS ARIEF and LILIK BUDI PRASETYO.
Baluran National Park is a one of the habitat used by javan langur. The aims
of this research were to get the actual condition of population, habitat and to
describe the characteristics of habitat used by Javan langur especially in Balanan
Resort, Baluran National Park. Field observation had been done in March to April

2014. Population of javan langur was estimated using Concentration Count
Method. Influence of biotic factor, including vegetation as their feeds and cover as
well as abiotic factor including altitude, slope, distance from river, distance from
disturbance (road and villages) were analyzed by using Principal Component
Analysis (PCA). Result showed that there were 6 groups consisted 93 individuals,
with average size 15,5 ± 5,381. Factors that contributed to the existence of javan
langur could be summarized into four (4) component, which represented biotic
factors namely regeneration vegetations, and climax vegetations, and abiotic
factors as well as physics factors of vegetations.
Keywords: abiotic, biotic, habitat, javan langur, population

POPULASI DAN HABITAT LUTUNG JAWA (Tracyphitecus
auratus E. Geoffrey 1812) DI RESORT BALANAN TAMAN
NASIONAL BALURAN

WAHYU INDAH ASTRIANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan

pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

iv

Judul Skripsi: Populasi dan Habitat Lutung J awa (Tracyphitecus auratus E.
Geoffrey 1812) di Resort Balanan Taman Nasional Baluran
: Wahyu Indah Astriani
Nama
NIM
: E3411 0020

Disetujui oleh


M[ ャイh。ュ セヲ_@

\

Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc
Pembimbing II

Pembimbing I

Tanggal Lulus:

.? セ@

.-

N セNオ g@

2015

vi


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul “Populasi dan Habitat
Lutung Jawa (Tracyphitecus auratus E. Geoffrey 1812) di Resort Balanan Taman
Nasional Baluran” ini berhasil diselesaikan. Penelitian dilaksanakan sejak bulan
Maret-April 2014.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Harnios Arief, MScF dan Prof
Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc selaku pembimbing, serta Dr Ir I Nyoman Jaya
Wisata, MSc atas bimbingan dan sarannya. Penghargaan penulis sampaikan
kepada jajaran staf dari Taman Nasional Baluran, Ir Emi Endah Suwarni, MSc
selaku kepala balai TNB, Joko Waluyo, SHut, Bapak Banjar, Bapak Iqbal, H
Yusuf Sabarno, SHut, MSi, Bapak Mahrudin dan Bapak Sukadi, KSPTN I Bekol,
Bapak Drh Supriyanto, Bapak Suwono beserta staf serta Petugas Resort Balanan
Bapak Nurhadi, Bapak Nurkhuzaini, Bapak Indra Sagiwiyanto, Bapak Hendro
Siswandi, dan outsourcing Bapak dan Ibu Sukamat, Bapak Sulkan, Bapak Sanito
dan Bapak Karlin yang telah membantu penulis selama kegiatan pengumpulan
data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ibu, Bapak, Joko Susilo,
SHut, MSi, Qurrotu Ayunin, SHut, MSi, Dwi Hendriani, SPsi, Bapak Sunadi,

fantastic four (Fahri, Karim, Danish dan Raziq) atas segala doa dan kasih
sayangnya, Ikatan Keluarga Mahasiswa Bumi Sriwijaya (IKAMUSI) 48, Keluarga
Besar KSHE 48 (ex-Pongo pygmaeus) terspecial untuk Winda Agustiani dan Siti
Nurjannah atas segala kenangan manis dan tangis selama 3 tahun kebelakang,
rekan sebimbingan Berty Fatimah dan Widya Maharani atas kebersaman dan
perhatian tanpa henti dilapang, dan Keluarga Besar DKSHE atas dukungan dan
semangatnya, serta seseorang yang menjadi alasan atas tujuan ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015
Wahyu Indah Astriani

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii


DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian

2


Ruang Lingkup Penelitian

2

METODE

3

Lokasi dan Waktu

3

Alat dan Bahan

3

Metode Pengumpulan Data

3


Analisis Data

5

HASIL DAN PEMBAHASAN

8

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

8

Populasi Lutung Jawa

9

Habitat Lutung Jawa

11


Karakteristik Habitat Lutung Jawa

20

SIMPULAN DAN SARAN

22

Simpulan

22

Saran

22

DAFTAR PUSTAKA

23

LAMPIRAN

25

viii

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6

Kategori individu berdasarkan jenis kelamin
Kategeri individu berdasarkan kelas umur
Populasi lutung jawa di Resort Balanan Taman Nasional Baluran
Perhitungan struktur umur lutung jawa berdasarkan rata-rata tahunan
Luasan tutupan lahan di Resort Balanan Taman Nasional Baluran
Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener pada tiap tingkatan di tiap
tipe habitat
7 INP tertinggi tumbuhan tiap tingkatan per tipe habitat
8 Karakteristik pohon tidur
9 Nilai akar ciri
10 Matrik komponen terbentuk

4
4
9
10
10
11
11
12
20
21

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Kerangka pikir penelitian
Peta lokasi penelitian
Analisis vegetasi plot bentuk lingkaran
Bagan alir pembuatan peta ketinggian dan kemiringan lereng
Bagan alir pembuatan peta jarak sungai, jalan dan pemukiman
Lutung Jawa dan pakannya
Jalan setapak dan pemukiman
Peta distribusi lutung jawa berdasarkan ketinggian
Peta distribusi lutung jawa berdasarkan kemiringan lereng
Peta distribusi lutung jawa berdasarkan jarak sungai
Peta distribusi lutung jawa berdasarkan jarak gangguan

2
3
5
7
7
12
14
16
17
18
19

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Jenis-jenis tumbuhan pakan dan cover yang ditemukan
Indeks Nilai Penting tumbuhan tingkat tiang dan pohon di Resort
Balanan
Hasil Principal Component Analysis (PCA)
Tallysheet komponen habitat lutung jawa di Resort Balanan, Taman
Nasional Baluran

25
26
29
31

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Lutung Jawa (Trachypithecus auratus E. Geoffrey 1812) adalah salah satu
satwa endemik yang tersebar di pulau jawa, Bali dan Lombok. Berdasarkan Red
list International Unioun for Corservation of Nature and Natural Resources,
lutung jawa termasuk dalam kategori Vulnerable (Rentan) (IUCN 2014). Hal ini
dipengaruhi populasinya yang kian menurun karena habitatnya yang terganggu,
perburuan liar dan perdagangan illegal.
Dalam skala nasional, jumlah populasi lutung jawa menurun sebesar 30%
pada habitat alami oleh adanya aksi perburuan liar dan menyusutnya habitat
karena terfragmentasi (Sofial 2014). Menurut Febriyanti (2008), apabila tidak ada
tempat yang dapat menyediakan kebutuhan hidup lutung Jawa maka jumlah
populasinya akan semakin menurun.
Selain itu, satwa yang terdaftar dalam Appendix II CITES (Convention on
International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) marak
diperdagangkan secara ilegal. Hasil investigasi Profauna menunjukkan bahwa
lutung jawa diperdagangkan di pasar-pasar di daerah Jawa Timur, termasuk
Malang (Profauna Indonesia 2013).
Taman Nasional Baluran (TNB) merupakan kawasan pelestarian alam di
Provinsi Jawa Timur dan menjadi salah satu habitat alami lutung jawa.
Penyebaran lutung jawa dapat ditemukan pada ekosistem hutan mangrove, hutan
pantai dan hutan musim dataran rendah (BTNB 2005). Meskipun telah berstatus
taman nasional, TNB masih mengalami permasalahan terkait sengketa lahan
dengan masyarakat Eks-HGU PT Gunung Gumitir dan pemanfaatan hasil hutan
bukan kayu oleh masyarakat dari luar kawasan yang menyebabkan banyaknya
aktivitas manusia di dalam kawasan. Selain itu, tutupan lahan di kawasan taman
nasional yang didominasi savana merupakan faktor pembatas bagi primata
arboreal ini untuk memperoleh makanan. Padahal, satwa ini memiliki
ketergantungan terhadap vegetasinya sebagai pakan dan cover.
Kondisi ini diduga dapat mengganggu habitat dan mempengaruhi kestabilan
populasi lutung jawa. Oleh karena itu, perlu diketahui data terkini populasi lutung
jawa serta kondisi habitat di TNB dengan analisis spasial menggunakan SIG
(Sistem Informasi Geografis). Hal ini guna mengetahui keterkaitan lutung jawa
terhadap komponen habitat tertentu serta unsur biotik dan abiotik penyusunnya.
Sehingga, dapat menjadi dasar pertimbangan dalam pengambilan dan penerapan
kebijakan.

Tujuan
1. Memperoleh gambaran aktual kondisi populasi dan habitat lutung jawa di
Resort Balanan, TNB.
2. Mendeskripsikan karakteristik habitat yang digunakan lutung jawa di Resort
Balanan, TNB.

2
Manfaat
Hasil yang diperoleh diharapkan dapat dijadikan salah satu acuan data
periodik kedepannya bagi taman nasional. Sehingga, dapat menjadi pertimbangan
bagi pihak pengelola dalam upaya pelestarian Lutung Jawa serta habitatnya.

Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui populasi dan habitat lutung jawa
di Resort Balanan Taman Nasional Baluran. Spesifikasi data meliputi jumlah
individu, sex ratio¸struktur umur dan kepadatan populasi serta keterkaitan
populasi dengan keanekaragaman jenis tumbuhan pada masing-masing habitat
(Gambar 1). Sehingga, dapat mendeskripsikan karakteristik habitat yang
digunakan lutung jawa.

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

3

METODE

Waktu dan Lokasi
Penelitian ini dilaksanakan pada Maret-April 2015. Lokasi penelitian adalah
di Resort Balanan, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah (SPTNW) 1
Bekol, Taman Nasional Baluran, Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo,
Jawa Timur (Gambar 2).

Gambar 2 Peta lokasi penelitian

Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan berupa binokuler, walking stick, GPS,
kamera, meteran, termometer, tali rafia, tally sheet, alat tulis, kompas, plastik
spesimen, Fieldguide Flora Taman Nasional Baluran (Wahono 2013), laptop,
Microsoft Office 2010, ArcView 10.1, ERDAS IMAGINE 9.1. dan SPSS.18

Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan
data sekunder. Data primer terdiri dari :

4
Populasi
Data populasi yang dicari merupakan data komposisi kelompok meliputi
Nisbah Kelamin dan Struktur umur. Pengkategorian jenis kelamin dan kelas umur
disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2

Kategori
Jantan
Betina

Tabel 1 Kategori individu berdasarkan jenis kelamin
Definisi
Kepala mengerucut, berjambul, memiliki testis, beberapa
mengeluarkan suara berupa teriakan yang khas sebagai tanda.
Kepala mengerucut, berjambul, memiliki vulva vagina,
memiliki puting susu yang menggantung. Terdapat
perbedaan yang jelas pada betina yaitu suatu bidang putih
kekuningan tidak beraturan di bagian panggul betina serta
bulu yang berwarna pucat pada bagian pantat dan punggung
yang lebih hitam dari punggung lutung jantan.

Sumber : Lim dan Sasekumar (1979) dengan modifikasi definisi.

Kategori
Dewasa

Remaja
(muda)

Anakan

Tabel 2 Kategori individu berdasarkan struktur umur
Kisaran umur
Definisi
8-20 tahun
Perilaku dominan mengawasi, organ fisik sudah
berkembang sempurna terutama organ seksual
(matang kelamin), dan umunya memiliki ukuran
tubuh paling besar dibanding kelas umur
dibawahnya.
4-8 tahun
Ciri seksual belum terlalu terlihat, warna sudah
menyerupai individu dewasa, sudah mampu
mobilisasi sendiri, namun masih berada disekitar
induknya.
0-4 tahun
berwarna kuning jingga, masih menyusu dan
berada dalam gendongan induknya.

Sumber : Pekerti (2007) dengan modifikasi definisi.

Populasi lutung jawa di Resort Balanan TNB diketahui dengan melakukan
sensus. Perhitungan jumlah individu dilakukan pada periode aktif pukul 05.3007.00 dan sore hari 16.00-17.30. Metode yang digunakan adalah metode
terkonsentrasi (concentration count). Alikodra (2002) menyatakan bahwa metode
ini cocok digunakan untuk menghitung populasi lutung jawa yang memiliki pola
kehidupan berkelompok.
Lokasi perjumpaan lutung jawa ditandai dengan GPS. Pemilihan kelompok
dilakukan dan disesuaikan berdasarkan keadaan kondisi lapang yang
memudahkan pengamat mengikuti pergerakan lutung Jawa (Febriyanti 2008).
Habitat
Data habitat terdiri dari komponen biotik dan abiotik yang diketahui melalui
analisis habitat menggunakan plot berbentuk lingkaran dengan jari-jari 11,3 m
(luas 0,04 ha) (James dan Shugart 1970). Berikut ini gambar bentuk plot yang
akan digunakan (Gambar 3).

5

Gambar 3 Analisis vegetasi plot bentuk lingkaran
1. Komponen biotik
Pengukuran komponen biotik dalam penelitian ini dilakukan pada
vegetasi tingkat pohon dan tiang yang berperan bagi lutung jawa, baik untuk
sumber pakan maupun cover. Parameter yang dicari meliputi: kerapatan
pohon dan tiang, luas bidang dasar tingkat pohon dan tiang, persentase
penutupan tajuk, serta kerapatan tumbuhan pakan tingkat pohon dan tiang.
Kusmana (1997) membuat kategori yaitu :
- Kategori tiang yaitu dengan diameter batang antara 10 cm - 19,9 cm atau
keliling batang lebih dari 31,4 cm
- Kategori pohon yaitu pohon berdiameter batang ≥ 20 cm atau keliling
batang lebih dari 62,8 cm.
2. Komponen abiotik
Komponen abiotik yang diukur dalam penelitian ini meliputi : suhu,
kelembaban, ketinggian dan kelerengan, jarak dari tepi sungai dan gangguan
(jalan dan pemukiman).
Selain data primer diatas, dibutuhkan data sekunder untuk melengkapi
pembahasan, meliputi peta kawasan Taman Nasional Baluran, Citra satelit
landsat 8-OLI dan Citra SRTM Taman Nasional Baluran

Analisis Data
Populasi
Penduga Populasi Total = ̅ ± (t(α/2(df) . S ̅)

- Struktur umur (SU), nisbah kelamin (SR) dan kepadatan populasi (D)
Struktur umur merupakan perbandingan jumlah individu di dalam
setiap kelas umur (Alikodra 2002). Perbandingan disajikan sebagai berikut :
SU = Dewasa : Remaja : Anakan
Nisbah kelamin merupakan perbandingan antara jumlah jantan dan
betina yang berpotensi untuk reproduksi (Alikodra 2002). perbandingannya
sebagai berikut:
SR = Jantan : Betina

6
Kepadatan populasi adalah nilai yang menggambarkan ketersediaan
individu dalam suatu luasan wilayah tertentu. Luasan yang dipakai adalah
luasan areal berhutan saja. Analisis kepadatan populasi dihitung dengan
persamaan :
D = ∑ individu / Luas total wilayah (ha)
Habitat
Komponen biotik (tumbuhan) dianalisis dengan menggunakan :
a. Indeks Shannon-Wiener : untuk mengetahui kekayaan jenis (richness)
(Magurran 1988)

H’ = -ni/N ln ni/N

Keterangan : H’ = indeks Shannon-wiener
ni = Jumlah individu
N = Jumlah total individu
Kriteria nilai indeks keanekaragaman jenis berdasarkan indeks
Shanon-Wiener adalah jika H+< 1 dikategorikan sangat rendah, H+>1-2
kategori rendah, H+> 2-3 kategori sedang (medium), H+> 3-4 kategori
tinggi dan jika H+> 4 kategori sangat tinggi.
b. Indeks Nilai Penting : untuk menggambarkan kedudukan ekologis suatu
jenis dalam komunitas.
INP digunakan untuk menetapkan dominasi suatu jenis terhadap
jenis lainnya. Soerianegara dan Indrawan (1998) menjelaskan mengenai
Indeks Nilai Penting yang dihitung berdasarkan penjumlahan nilai
Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Dominansi Relatif
(DR) (Lampiran 2).
- Kerapatan (batang/ ha) = Jumlah individu jenis ke-i
Luas total petak contoh
- Kerapatan Relatif (%) = Kerapatan jenis ke-i x 100%
Kerapatan total
- Frekuensi = Jumlah petak contoh ditemukan jenis ke-i
Luas total petak contoh
- Frekuensi Relatif = Frekuensi jenis ke-i x 100%
Frekuensi total
- Dominansi (m2/ ha) = Luas bidang dasar (LBDS) jenis ke-i
Luas petak contoh
- Dominansi Relatif (%) = Dominansi jenis ke-i x 100%
Frekuensi total
- Indeks Nilai Penting = KR + FR + DR

7
Komponen abiotik dianalisis dengan menggunakan :
a. Pembuatan peta ketinggian dan kelerengan
Peta ASTER GDEM (Advanced Spaceborne Thermal Emission and
Reflection Radiometer Global Digital Elevation Model) merupakan peta
ketinggian diolah dengan program ArcGis 10.1 menghasilkan peta
kemiringan lereng. Proses pembuatan peta ketinggian dan kemiringan
lereng dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Bagan alir pembuatan peta ketinggian dan kemiringan lereng
b. Pembuatan peta jarak dari sungai dan gangguan (jalan dan pemukiman)
Pembuatan peta jarak dari sungai, jalan dan pemukiman penduduk
diperoleh dari peta jaringan sungai, jaringan jalan dan digitasi
pemukiman yang dianalisis dengan menggunakan software Arc Gis 10.1
(Gambar 5). Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif.

Gambar 5 Bagan alir pembuatan peta jarak sungai, jalan dan pemukiman
Karakteristik habitat lutung jawa
Principal Component Analysis adalah teknik statistik yang secara linear
mengubah rangkaian variabel menjadi rangkaian kecil variabel yang berkorelasi
yang menunjukkan informasi yang lebih banyak dari variabel asli (Dunteman
1989). Variabel yang dianalisis meliputi: jumah pohon (JP), jumlah tiang (JT),
jumlah pakan tingkat pohon (JPP), jumlah pakan tingkat tiang (JPT), LBDS
pohon (LBDSP) dan LBDS tiang (LBDST), tinggi pohon (TP), tinggi tiang (TT),
tutupan tajuk (CC), kelerengan (LRNG), ketinggian (TGG), jarak dari sungai
(JDS) dan jarak dari gangguan (JDG).

8
Metode ini dilakukan dengan menggunakan software SPSS 18. Tujuannya
adalah untuk mengurangi dimensional dari rangkaian data yang asli yang terdiri
dari banyak jumlah variabel yang tidak terkait, lalu memberikan sebanyak
mungkin variasi yang ada dari data sebelumnya (Jolliffe 2002 dalam Hasanah
2011).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Resort Balanan yang memiliki luas area total
sebesar 2.529, 97 Ha. Beberapa tipe ekosistem yang terdapat di lokasi ini
diantaranya sebagai berikut :
1) Hutan mangrove
Tipe ekosistem hutan mangrove berada pada ketinggian 0-25 mdpl.
Beberapa tumbuhan khas yang ditemukan pada tipe ekosistem ini diantaranya
Api-Api (Avicennia sp.), Santegi (Pemphis accidula), Tingi (Ceriops tagal),
dan Bakau-bakauan (Rhizopora sp.).
2) Hutan pantai
Tipe ekosistem hutan pantai berada pada ketinggian 25-75 mdpl.
Beberapa tumbuhan khas yang ditemukan pada tipe ekosistem ini diantaranya
Malengan (Excoecaria agallocha), Manting (Syzigium polyanthum), Ketapang
(Terminalia catappa) dan Waru Laut (Hibiscus tiliceus).
3) Savana
Tipe ekosistem savana berada pada ketinggian 75-100 mdpl. Savana di
Resort Balanan merupakan jenis savana undulata yang ditumbuhi oleh rumput
yang tinggi. Jenis tumbuhan yang ditemukan pada tipe ekosistem ini
diantaranya Rumput Merak (Mimosa sp.) dan Bunga Rumpun (Widelia
biflora). Savana juga menjadi salah satu daerah yang terinvasi oleh Akasia
berduri (Acaccia nilotica) di Resort Balanan, Taman Nasional Baluran.
4) Hutan musim.
Tipe ekosistem hutan musim yang terdapat di resort Balanan dapat
dibedakan kedalam dua kelompok, yaitu hutan musim primer dan hutan musim
sekunder. Hutan musim primer berada pada ketinggian ≥ 450 mdpl, berada
dalam zona inti dan minim gangguan terhadap manusia. Hutan musim
sekunder berada pada ketinggian 100-400 mdpl dan telah mengalami gangguan
dari invasi alien spesies yaitu Acaccia nilotica sehingga mengganggu
pertumbuhan dari vegetasi yang hidup didalamnya. Beberapa tumbuhan khas
yang ditemukan pada tipe ekosistem ini diantaranya Pilang (Accacia
leucophloea), Cangkring (Erythrina fusca), Asam (Tamarindus indica), Bunut
(Ficus pilosa), Mimba (Azedirachta indica) dan Kepuh (Stercullia foetida).
Resort Balanan menjadi salah satu kawasan pemukiman masyarakat EksHGU PT Gunung Gumitir hingga saat ini. Mata pencaharian masyarakat adalah
peternak, petani dan pedagang. Kedudukan masyarakat ini di dalam kawasan
taman nasional masih menjadi permasalah hingga saat ini. Potensi sumberdaya

9
hutan yang biasa dimanfaatkan masyarakat yaitu kopi rabika (biji akasia), savana
sebagai padang penggembalaan, dan sumberdaya perairan (memancing).
Populasi Lutung Jawa (Tracyphitecus auratus)
Berdasarkan pengamatan di lapangan secara sensus, ditemukan 6 kelompok
lutung jawa yang terdiri dari 93 individu dengan jumlah individu per kelompok
terdiri dari 6-20 individu atau 15,5 ± 5,381. Supriatna dan Wahyono (2000)
menyatakan bahwa lutung jawa membentuk kelompok yang terdiri dari 6-23 ekor.
Populasi lutung jawa di Resort Balanan Taman Nasional Baluran disajikan pada
Tabel 3.
Tabel 3 Populasi lutung jawa di Resort Balanan Taman Nasional Baluran
Dewasa
Kelompok
Remaja Anakan Jumlah
Habitat
Jantan
Betina
Kelompok 1
2
0
4
0
6
HMS
Kelompok 2
1
2
7
4
14
HMP,HMS
Kelompok 3
1
3
9
5
18
HP,DIA
Kelompok 4
1
5
8
6
20
HP, HM
Kelompok 5
1
3
7
5
16
HM
Kelompok 6
1
4
7
7
19
HM,HP
Total
7
17
42
27
93
Keterangan : HM (Hutan Mangrove); HP (Hutan Pantai); HMS (Hutan Musim Sekunder);
HMP (Hutan Musim Primer); DIA (Daerah Invasi Akasia).

Berdasarkan Tabel 3, diketahui nisbah kelamin kelompok lutung di Resort
Balanan bervariasi yaitu 1:2, 1:3, 1:4 dan 1:5. Hasil penelitian ini berbeda dengan
hasil penelitian oleh Ayunin (2013) di Taman Nasional Gunung Merapi yaitu 1:6
dengan 53 individu dan di Resort Bama, Taman Nasional Baluran oleh Kartikasari
(1986) yaitu 1:6,5 dengan jumlah 76 individu.
Perubahan ini menunjukkan bahwa jumlah betina produktif mengalami
penurunan dibandingkan sebelumnya. Hal ini diduga karena adanya daya stres.
Populasi yang stres ditandai dengan individu jantan yang lebih banyak
dibandingkan betina. Alikodra (1989) menjelaskan bahwa perubahan populasi
dipengaruhi oleh faktor fluktuatif (predator) dan siklis (Stres). Stres terjadi karena
adanya perubahan hormon pada tubuh yang mengendalikan proses fisiologis dan
perilaku satwaliar sehingga mempengaruhi ukuran populasinya.
Selain itu, perubahan terjadi karena sejumlah individu jantan remaja sudah
beranjak dewasa dan mulai membentuk kelompoknya sendiri. Leksono (2014)
menjelaskan bahwa lutung jawa remaja jantan akan membentuk kelompok baru
apabila sudah mendekati struktur umur dewasa. Hal ini ditandai dengan
ditemukannya lutung dewasa yang soliter ataupun kelompok bujangan (malegroups) seperti pada kelompok 1.
Selain nisbah kelamin, diketahui perbandingan lutung jawa berdasarkan ciri
kualitatif terhadap struktur umurnya (Tabel 4). Priyono (1998) menyatakan bahwa
perlu adanya penyusunan populasi pada setiap kelas umur kedalam selang waktu
yang sama dengan membagi ukuran populasi pada setiap kelas umur dengan lebar
selang kelasnya. Hal ini karena pengelompokkan secara kualitatif memiliki

10
kelemahan yaitu selang waktu antar kelas yang tidak sama, akibatnya timbullah
gambaran struktur populasi yang menurun.
Tabel 4 Perhitungan struktur umur lutung jawa berdasarkan rata-rata tahunan
Kisaran
Selang
Jumlah
Rata-rata
Kelas umur
umur*
umur
individu
tahunan
Dewasa
8-20 tahun
12
24
2
Remaja
3-8 tahun
5
42
8,4
Anakan
0-3 tahun
3
27
9
*Kisaran umur menggunakan pendekatan kelas umur oleh Pekerti (2007).

Berdasarkan hasil perhitungan rata-rata tahunan, perbandingan struktur
umur Dewasa : Remaja : Anakan adalah 2 : 8,4 : 9. Tarumingkeng (1992) dalam
Hasnawati (2006) menyatakan bahwa populasi mempunyai struktur umum yang
secara garis besar dapat di golongkan atas tiga pola, yaitu struktur menurun, stabil
dan meningkat. Struktur umur lutung jawa di Resort Balanan memiliki pola
meningkat, dimana kelas umur termuda lebih besar dibandingkan kelas umur
diatasnya dengan asumsi tidak ada predator. Semiadi (2006) menerangkan bahwa
semakin banyak jumlah individu pada kelas umur yang lebih muda
mengindikasikan bahwa populasinya akan meningkat dengan asumsi kematian
pada setiap selang waktu adalah konstan. Struktur umur ini dapat digunakan untuk
menilai keberhasilan perkembangbiakan satwa serta menduga prospek kelestarian
kedepannya (Alikodra 2002). Sehingga, semakin banyaknya jumlah populasi yang
mampu bertahan maka populasi lutung jawa di Taman Nasional Baluran akan
semakin meningkat.
Berdasarkan parameter populasi yang telah diketahui diatas, dapat diketahui
kepadatan populasi lutung jawa dengan luasan areal berhutan yang menjadi
habitat lutung jawa di Resort Balanan, Taman Nasional Baluran (Tabel 5). Luas
areal berhutan sebesar 1183,9 ha, sehingga kepadatan populasi lutung jawa
sebesar 0,08 individu/hektar.
Tabel 5 Luasan tutupan lahan di Resort Balanan Taman Nasional Baluran
No
Jenis tutupan lahan
Luas (ha)
1
Hutan mangrove
212,25
2
Hutan pantai
240,84
3
Hutan musim sekunder
430,11
4
Hutan musim primer
300,70
5
Savana (alami)
552,50
6
Lahan pertanian
73
7
Daerah terinvasi akasia
720,57
Luas total
2529,97
Lutung membutuhkan vegetasi tertentu untuk bergelantungan, berpindah,
makan dan cover. Oleh karena itu, satwa ini tidak ditemukan di savana yang
didominasi oleh tumbuhan bawah dan rumput saja. Beberapa lutung jawa
ditemukan mengkonsumsi buah akasia (Acacia nilotica) di daerah yang terinvasi
akasia. Hal ini diduga karena populasinya yang sedang tumbuh tidak didukung
dengan pakan yang cukup dihabitatnya sehingga satwa ini terpaksa untuk

11
mengkonsumsi buah akasia. Untuk itu dilakukan analisis terhadap komponen
habitat untuk melihat karakteristik habitat yang mempengaruhi populasi lutung
jawa.
Habitat Lutung Jawa
Komponen biotik
Identifikasi jenis tumbuhan diperlukan agar diketahui tingkat
keanekaragamannya. Vegetasi merupakan komponen habitat yang penting bagi
satwaliar yang digunakan sebagai pakan maupun cover (Meiliana 2001).
Berdasarkan hasil perhitungan Indeks Shannon-Wienner (ISW),
keanekaragaman tumbuhan termasuk kategori rendah-sedang (Tabel 6). Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat jenis-jenis tumbuhan yang mendominansi dalam
habitat tertentu. Soerianegara dan Indrawan (1998) menyatakan bahwa dalam
suatu masyarakat hutan, akibat dari adanya persaingan menyebabkan jenis tertentu
lebih berkuasa daripada jenis lainnya.
Tabel 6 Indeks keanekaragaman Shannon-wienner pada tiap tingkatan vegetasi
di tiap tipe habitat
Tipe habitat
Tingkat
Indeks Shannon-wiener
Keterangan
Hutan mangrove
Tiang
Pohon
1,3
Rendah
Hutan pantai
Tiang
1,9
Rendah
Pohon
2,4
Sedang
Hutan musim (sekunder)
Tiang
2,2
Sedang
Pohon
2,4
Sedang
Hutan musim (primer)
Tiang
1,6
Rendah
Pohon
1,9
Rendah
Untuk mengetahui jenis tumbuhan yang mendominansi, maka dicari Indeks
Nilai Penting (INP) masing-masing jenis tumbuhan. Indeks Nilai Penting
merupakan parameter kuantitatif dipakai untuk menunjukkan tingkat dominansi
suatu jenis tumbuhan dalam suatu komunitas tumbuhan (Indriyanto 2006). Tabel
7 menunjukkan INP tertinggi tumbuhan tiap tingkatan pada tiap tipe habitat.
Tabel 7 INP tertinggi tumbuhan tiap tingkatan per tipe habitat
Tipe
habitat
HM
HP
HMS
HMP

Tingkat

Jenis vegetasi

Tiang
Pohon
Tiang
Pohon
Tiang
Pohon
Tiang
Pohon

Rhizopora spilosa
Streblus asper
Streblus asper
Azadirachta indica
Ficus infectoria
Schleicera oleosa
Ficus pilosa

KR(%)

FR(%)

DR(%)

INP(%)

42,86
38,75
21,90
21,17
4,93
50
26,92

40
30,77
39,12
14,29
3,12
714,29
269,23

32,92
43,51
92,15
19,96
33,39
50,71
91,21

115,77
113,03
93,19
55,42
41,46
143,57
128,14

Keterangan : HM (Hutan Mangrove); HP (Hutan Pantai); HMS (Hutan Musim Sekunder);
HMP (Hutan Musim Primer).

12
Apak (Ficus infectoria) dan Bunut (Ficus pilosa) dimanfaatkan sebagai
pohon tidur sedangkan lainnya dimanfaatkan sebagai pakan. Jenis-jenis tumbuhan
yang mendominasi ini disebabkan adanya kemampuan tumbuhan untuk bersaing
dan beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ada (Mahardhika 2001).
Pakan
Lutung dikenal sebagai monyet pemakan daun (Ebony leaf monkey)
sehingga konsumsi pokok pakannya adalah daun serta sebagian lagi dari buah dan
biji. Buah Krasak (Ficus superba) dan daun Walikukun (Schoutenia ovata) adalah
bagian tumbuhan yang biasa dikonsumsi oleh primata ini (Gambar 6). Kartikasari
(1986) menyebutkan bahwa pakan kesukaan lutung di TNB adalah Krasak (Ficus
superba) dan Pilang (Acacia leucophloea).

(a)
(b)
Gambar 6 Lutung jawa dan pakannya : (a) Lutung jawa makan buah Krasak;
(b) Lutung jawa makan daun Walikukun
Pilang tidak lagi dijadikan pakan melainkan sebagai pohon tidur. Hal ini
terjadi karena adanya penurunan ketersediaan tumbuhan tersebut pada tingkat
tiang (Lampiran 2). Menurunnya kondisi tumbuhan pakan regenerasi dapat
menyebabkan tidak terpenuhinya pakan lutung jawa secara cukup dikemudian
hari. Sehingga, lutung mencari alternatif pakan lain yang relatif melimpah dan
mampu memenuhi kebutuhannya.
Alat pelindung (cover)
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat 33 jenis tumbuhan yang telah
teridentifikasi, 19 jenis diantaranya dimanfaatkan lutung jawa sebagai pakan dan
4 jenis sebagai cover (Lampiran 1). Alikodra (2002) menyatakan struktur vegetasi
sangat menentukan peranannya sebagai pelindung, terutama ditentukan oleh
bentuk tajuk dan percabangan. Pemilihan pohon tidur dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti ditunjukkan pada Tabel 8.

Jenis vegetasi
Acacia leucophloea
Ficus infectoria
Ficus pilosa
Stercullia foetida

Tabel 8 Karakteristik pohon tidur
Luas tutupan Rataan tinggi
Diameter
Kelerengan
tajuk
(m)
(cm)
0,004
12,4
51,9
> 40%
0,005
15,6
132,4
25-40%
0,003
14,5
202
0-25%
0,008
17,5
234,5
> 40%

13
Lutung jawa membutuhkan tajuk pohon maupun tiang yang saling
berhimpitan agar dapat berpindah dari satu pohon ke pohon lainnya dan
berlindung. Keberadaan pohon dengan kanopi bersambung merupakan kondisi
ideal sebagai habitat lutung jawa untuk keselamatan dan untuk menghindari
predator darat dan udara (Garber 1992 diacu dalam Ayunin 2013). Lutung sering
berpindah tempat tidur untuk menghindari parasit atau penyakit akibat
kotorannya. Satwa ini akan kembali lagi ke tempat semula dalam jangka waktu
agak lama agar parasit hilang terkena air hujan (Pekerti 2007).
Hasil analisis komponen biotik menunjukkan bahwa ketersediaan vegetasi
sebagai pakan dan cover di habitatnya mendukung kebutuhan lutung jawa untuk
dapat bertahan hidup dan berkembangbiak. Terutama ketersediaan pakan pada
tumbuhan tingkat tiang perlu diperhatikan untuk melihat tren dari ketersediaan
pakan bagi lutung jawa dikemudian hari. Akan tetapi, habitat tidak hanya terbatas
pada komponen biotik saja, untuk itu dibutuhkan analisis lanjutan terkait
komponen abiotik yang juga menyusun suatu habitat lutung jawa.
Komponen abiotik
Komponen abiotik yang diukur meliputi ketinggian, kelerengan, jarak dari
sungai, jarak dari gangguan (jalan dan pemukiman), suhu dan kelembapan.
Variable suhu dan kelembapan tidak diukur ditiap plot. Hasil pengukuran lapang,
suhu di Resort Balanan berkisar antara 27,5ᵒc-30ᵒc dengan kelembaban sebesar
80%-90%. Menurut Suwono (2006), kondisi iklim mikro seperti curah hujan,
suhu, dan kelembapan tidak terlalu berpengaruh bagi keberadaan lutung Jawa
karena kemampuan adaptasi dan hidup di hutan-hutan dataran rendah hingga
hutan dataran tinggi dengan ketinggian di atas 2400 mdpl. Variabel lainnya dari
komponen abiotik dijelaskan sebagai berikut.
a. Ketinggian
Lutung jawa dapat hidup di berbagai tipe hutan dengan komposisi
vegetasi yang berbeda. Menurut Ayunin (2013), ketinggian memengaruhi
kehadiran lutung jawa dikaitkan dengan komposisi vegetasi yang dapat
berubah sesuai dengan perubahan ketinggian tempat.
Hasil analisis peta menunjukkan bahwa ketinggian di lokasi penelitian
berkisar antara 0-1247 mdpl. Ketinggian tempat dilihat dari kontur yang
berbeda-beda (Gambar 9). Titik perjumpaan lutung jawa tersebar dari
ketinggian 0-450 mdpl yang didominasi ekosistem hutan mangrove, hutn
pantai, daerah terinvasi akasia, dan hutan musim. Hasil observasi lapang
menunjukkan bahwa dijumpai 8 titik di hutan mangrove pada ketinggian 0-25
mdpl. 19 titik di hutan pantai pada ketinggian 25-75 mdpl. 20 titik di hutan
musim (sekunder) pada ketinggian 50-225 mdpl. 1 titik di hutan musim
(primer) pada ketinggian 450 mdpl. 13 titik lainnya tersebar di daearah terinvas
akasia yang dulunya merupakan savana. Maryanto et al (2008) menyebutkan
bahwa primata ini mampu hidup di tipe hutan dataran rendah hingga dataran
tinggi. Lutung jawa juga dapat hidup di tipe hutan bakau,hutan rawa, daerah
yang terkena pasang surut seperti tepian sungai besar atau tepian danau
(Pekerti 2007).

14
b. Kelerengan
Kelerengan menjadi salah satu faktor dalam pemilihan pohon tidur lutung
jawa. Pengelompokan kelas kemiringan lereng disesuaikan dengan lokasi
penelitian sehingga menjadi tiga kelas yaitu, 0-25% (datar bergelombang) , 2540% (curam) dan >40% (sangat curam) (Gambar 10).
Hasil analisis peta menunjukkan bahwa 44 titik perjumpaan lutung jawa
ditemukan pada kelerengan 0%-25% (datar bergelombang), 17 titik pada
kelerengan 25%-40% (curam) dan 6 titik pada kelerengan >40% (sangat
curam). Hal ini merupakan bentuk adaptasi yang dilakukan oleh lutung jawa
dengan dominasi topografi yang datar hingga bergelombang di Taman
Nasional Baluran. Penelitian Abdillah (2004) di Resort Rowobendo Taman
Nasional Alas Purwo dan Idris (2004) di Pos Selabintana Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango (TNGGP) menemukan lutung jawa di lereng curam.
Kondisi tajuk vegetasi pada lereng curam yang emergent dimanfaatkan untuk
menghindari predator.
c. Jarak dari sungai
Lutung dan primata umumnya memanfaatkan embun, yang menempel di
daun, dan air yang menggenang pada batang-batang pohon untuk memenuhi
kebutuhan akan air. Hasil analisis peta membagi kelas jarak sungai dalam 5
kelas, yaitu kelas 0-50 m, 50-100 m, 100-150 m, 150-200 m dan >200 m
(Gambar 11). Hasil observasi lapang menunjukkan bahwa ditemukan lutung
jawa yaitu sebanyak 13 titik pertemuan lutung jawa ditemukan pada jarak 050m,7 titik pada 50-100m, 10 titik pada jarak 100-150m, 21 titik pada 150200m dan 10 titik berada lebih dari 200m. Melliana (2001) menjelaskan bahwa
lutung menyukai tempat yang berdekatan dengan air untuk mencari makan. Hal
ini berkorelasi dengan vegetasi disekitar sumber air yang relatif lebih banyak
dan lebih subur dibanding dengan lokasi yang jauh dari sumber air, terutama
pertumbuhan cabang dan tajuk.
d. Jarak dari gangguan (jalan dan pemukiman)
Lutung jawa memiliki sifat pemalu dan sangat sensitif terhadap kehadiran
manusia. Hasil analisis peta mengklasifikasikan 5 kelas jarak gangguan yaitu
0-100m, 100-200m, 200-300m, 300-400m, dan 400-500m. Dari
pengklasifikasian ini, ditemukan 19 titik (0-100m), 10 titik (100-200m), 1 titik
(200-300m), 2 titik (300-400m), dan 3 titik (400-500m). Gambaran pemukiman
dan jalan yang terdapat di Resort Balanan ditunjukkan pada Gambar 7
Terdapat sejumlah 55 kepala keluarga dari masyarakat Eks-HGU PT
Gunung Gumitir yang tinggal di Resort Balanan. Kebanyakan masyarakat
merupakan generasi kedua dan ketiga dari masyarakat yang dulunya bekerja
sebagai buruh di PT Gunung Gumitir untuk menanam Turi. Mereka
mendirikan pemukiman berupa rumah sederhana dari kayu. Pihak TNB
memberlakukan aturan untuk tidak membuat bangunan semi permanen dari
semen dan bata apabila masyarakat masih ingin tinggal di Balanan.

15

(a)
(b)
Gambar 7 Jalan setapak dan pemukiman: (a) jalan setapak di Blok Simacan;
(b) pemukiman masyarakat di Blok Simacan
Jalan setapak yang ada di Resort Balanan merupakan satu-satunya
aksesibilitas yang digunakan petugas operasional TN untuk patroli dan monitoring
berkala, wisata serta mobilisasi masyarakat keluar masuk kawasan menggunakan
sepeda motor. Lebar jalan berkisar antara 1 – 2 meter. Intensitas lalu lalang motor
relatif sedang karena keseharian masyarakat yang bertani dan beternak. Hal ini
perlu dikontrol agar penggunaan sepeda motor tidak makin meningkat terutama di
dalam kawasan dan habitat teretentu tempat lutung berada. Dampak lainnya yaitu
sampah, terutama di daerah pinggir pantai yang dapat mengganggu vegetasi di
habitat lutung jawa tersebut.
Hasil analisis komponen abiotik menunjuukan bahwa selain komponen
biotik, komponen abiotik pun mempengaruhi kehadiran lutung jawa dalam suatu
habitat tertentu. Namun, kedua analisis yang telah dilakukan hanya memberi
gambaran terhadap keterkaitan populasi lutung jawa dan habitatnya. Maka,
diperlukan analisis lanjutan untuk melihat secara lebih spesifik terkait
karakteristik habitat dengan beberapa variabel yang digunakan didasarkan pada
dua komponen penyusun habitat tersebut.

16
16

Gambar 9 Peta distribusi lutung jawa berdasarkan ketinggian

Gambar 10 Peta distribusi lutung jawa berdasarkan kemiringan lereng

17

18
18

Gambar 11 Peta distribusi lutung jawa berdasarkan jarak dari sungai

19

Gambar 12 Peta distribusi lutung jawa berdasarkan jarak gangguan
19

20
Karakteristik Habitat Lutung Jawa
Penentuan karakteristik lutung jawa dianalisis dengan metode PCA
(Principal Component Analysis) atau Analisis Komponen Utama (AKU). Metode
ini mengubah dari sebagian besar variabel asli yang saling berkolelasi menjadi
satu himpunan variabel baru yang lebih kecil dan saling bebas (tidak berkolelasi
lagi) (Ardiyansyah 2013). Data yang diolah telah diuji normalitasnya dengan
menggunakan Kolmogorov-Smirnov Test lalu ditransformasi menggunakan zscore untuk meminimalisasi bias pada data hasil pengukuran (Santoso 2006).
Analisis PCA mengharuskan pengujian seluruh matriks korelasi (korelasi
antar variabel) yang diukur dengan besaran Bartlett Test of
Sphericity dan Measure Sampling Adequacy (MSA) dengan nilai signifikansi
dibawah 0,05 (5%) (Lampiran 3). Pengujian nilai MSA mensyaratkan hasil
korelasi signifikan bernilai ≥ 0,5 agar bisa diprediksi variasi nya. Apabila tidak,
maka variabel yang tidak memenuhi syarat harus dikeluarkan dan pengujian
diulang kembali dengan menggunakan variabel yang memenuhi nilai ≥ 0,5.
Pengujian ulang ini juga harus memperhatikan asumsi awal yang telah terbentuk,
seperti normalitasnya.
Hasil perhitungan SPSS menunjukkan bahwa besarnya nilai Bartlett Test of
Sphericity adalah 413,072 dengan signifikansi 0,000. Hal ini dapat disimpulkan
bahwa variabel memiliki korelasi yang signifikan dan bisa diolah lebih lanjut lagi.
Pengujian nilai MSA mengharuskan variabel kelerengan (X10) dikeluarkan
karena tidak memenuhi ketentuan, sehingga tidak dapat diprediksi variannya.
Hasil pengujian ulang menghasilkan komponen baru yang terbentuk dari 12
variabel yang digunakan seperti ditunjukkan pada Tabel 9.

Komponen
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Total

3,591
2,560
1,943
1,130
,761
,550
,488
,326
,270
,189
,131
,063

Tabel 9 Nilai akar ciri
Nilai akar ciri
Ekstraksi komponen terbentuk
Ragam
Ragam
Total
Ragam
Ragam
(%)
kumulatif
(%)
kumulatif
(%)
(%)
29,922
29,922
3,591
29,922
29,922
21,335
51,257
2,560
21,335
51,257
16,194
67,451
1,943
16,194
67,451
9,417
76,868
1,130
9,417
76,868
6,339
83,207
4,581
87,788
4,067
91,855
2,713
94,567
2,247
96,815
1,571
98,386
1,092
99,478
,522
100,000

21
Tabel 9 menunjukkan bahwa Total keragaman data adalah sebesar 76,868%
dengan nilai nilai akar ciri sebesar > 1. Proporsi keragaman yang dianggap cukup
mewakili total keragaman data jika keragaman kumulatif mencapai 70% - 80%
(Timm 1975 diacu dalam Abdillah 2014). Dengan demikian, komponen yang
terbentuk adalah komponen 1, 2, 3 dan 4.
Metode PCA ini menggunakan metode Rotasi Varimax dengan Kaiser
Normalization. Melalui analisis ini, akan dihasilkan besarnya nilai sebuah variabel
berkorelasi dengan komponen yang terbentuk seperti pada Tabel Matriks
komponen terbentuk (Tabel 10).
Tabel 10 Matriks komponen terbentuk
Komponen
1
2
LBDS tiang
,932
-,077
Jumlah tiang
,929
-,085
Jumlah pakan tingkat tiang
,880
,061
Tinggi tiang
,612
,333
Ketinggian
,083
,930
Jarak dari gangguan
,004
,905
Tinggi pohon
,007
-,210
LBDS pohon
-,108
,376
Jarak dari sungai
,002
,605
Tutupan tajuk
,380
,045
Jumlah pohon
,017
,070
Jumlah tingkat pohon
,279
-,119

3
-,004
-,083
-,011
,175
-,135
,116
,771
,686
-,630
,548
,053
,208

4
,114
,051
,205
,016
-,064
,066
,132
,020
-,085
,418
,937
,834

Komponen 1 terdiri dari variabel LBDS tiang (X6), jumlah tiang (X2),
jumlah pakan tingkat tiang (X4), dan tinggi tiang (X8) yang menggambarkan
faktor biotik tumbuhan regenerasi. Komponen 2 terdiri dari variabel ketinggian
(X11), jarak dari gangguan (X13) dan jarak dari sungai (X12) yang
menggambarkan faktor abiotik. Komponen 3 terdiri dari variabel tinggi pohon
(X7), LBDS pohon (X5) dan tutupan tajuk (X9) yang menggambarkan faktor fisik
tumbuhan. Komponen 4 terdiri dari jumlah pohon (X1) dan jumlah pakan tingkat
pohon (X3) yang menggambarkan faktor biotik tumbuhan tua.
Berdasarkan
keempat komponen tersebut, komponen yang paling
berpengaruh adalah komponen 1 yang menggambarkan faktor biotik tumbuhan
regenerasi (tiang) yang mampu menyediakan pakan, cover serta tempat
bergelantung sebagai habitat terbaik bagi lutung jawa.

22

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
1. Jumlah populasi lutung jawa yang ditemukan adalah sebanyak 93 individu
yang terbagi menjadi 6 kelompok. Nisbah Kelamin lutung bervariasi sebesar
1:3, 1:4, dan 1:5 dengan perbandingan struktur umur dewasa : Remaja :
Anakan adalah 2 : 8,4 : 9. Kepadatan populasi lutung jawa adalah 0,08
individu/ha yang merupakan bentuk adaptasi terhadap keterbatasan habitat
yang ada di Resort Balanan Taman Nasional Baluran.
2. Hasil Analisis Komponen Utama (AKU/Principal Component Analysis)
menunjukkan terdapat 4 komponen yang menggambarkan karakteristik habitat
lutung jawa. Komponen 1 terdiri dari variabel LBDS tiang (X6), jumlah tiang
(X2), jumlah pakan tingkat tiang (X4), dan tinggi tiang (X8) yang
menggambarkan faktor biotik tumbuhan regenerasi. Komponen 2 terdiri dari
variabel ketinggian (X11), jarak dari gangguan (X13) dan jarak dari sungai
(X12) yang menggambarkan faktor abiotik. Komponen 3 terdiri dari variabel
tinggi pohon (X7), LBDS pohon (X5) dan tutupan tajuk (X9) yang
menggambarkan faktor fisik tumbuhan. Komponen 4 terdiri dari jumlah pohon
(X1) dan jumlah pakan tingkat pohon (X3) yang menggambarkan faktor biotik
tumbuhan tua.
Saran
1. Monitoring lutung jawa sebaiknya dilakukan dengan memperhatikan
komposisi kelompok (sex ratio dan struktur umur). Hal ini berkaitan dengan
upaya peningkatan populasi, terutama daya hidup anakan lutung jawa.
2. Perlunya pendokumentasian data populasi lutung jawa dan kondisi habitatnya
secara periodik agar kedepannya dapat dipantau perkembangan terhadap
populasi dan gangguan pada habitatnya.
3. Sebaiknya dilakukan pemantauan khusus terhadap tumbuhan pakan dan pohon
tidur yang dimanfaatkan lutung jawa, terutama tumbuhan regenerasinya
(tiang).
4. Adanya fragmentasi habitat karena invasi akasia berduri membutuhkan solusi.
Upaya rehabilitasi dan pembuatan koridor hutan perlu dilakukan agar lutung
jawa tidak terkurung dalam habitat tertentu dan membatasi ruang geraknya.

23

DAFTAR PUSTAKA
Abdillah R. 2014. Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Lutung Jawa
(Trachypithecus auratus Geoffroy, 1812) di Resort Rowobendo Taman
Nasional Alas Purwo. [skripsi]. Bogor [ID]: DKSHE, Fakultas Kehutanan.
Institut Pertanian Bogor.
Ardiyansyah RF. 2013. Pengenalan Pola Tanda Tangan Dengan menggunakan
Metode Principal Component Analysis (PCA). [jurnal]. Semarang [ID]:

Universitas Dian Nuswantoro
Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Bogor [ID]: Yayasan
Penerbit Fakultas Kehutanan (YPFK)
Ayunin Q. 2013. Seleksi habitat Lutung Jawa (Trachypithecus auratus cristatus)
di Taman Nasional Gunung Merapi. [tesis]. Yogyakarta [ID]: Universitas
Gadjah Mada
[BTNB] Balai Taman Nasional Baluran. 2005. Laporan Kegiatan Monitoring
Lutung Jawa Keberadaan Lutung (Trachypithecus auratus cristatus) di blok
Sumberbatu, Resort Bama Seksi Konservasi Wilayah II Bekol. Banyuwangi
[ID] : TNB
Dunteman GH. 1989. Principal Component Analysis. United States [US]: Sage
University Press.
Febriyanti NS. 2008. Studi karakteristik cover lutung jawa (trachypithecus
auratus geoffroy 1812) di blok ireng-ireng taman nasional bromo tengger
semeru jawa timur. [skripsi]. Bogor [ID]: DKSHE, Fakultas Kehutanan, IPB
Hasanah A. 2011. Studi Karakteristik Lanskap Habitat Musim dingin Sikep Madu
asia (Pernis ptylorhyncus) Berbasis Satellite Tracking di Kalimantan
Selatan. [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor
Hasnawati. 2006. Analisis Populasi dan Habitat Sebagai Dasar Pengelolaan Rusa
Totol (Axis axis Erxl.) di Taman Monas Jakarta [tesis]. Bogor [ID]: Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
[IUCN] International Union for Corservation of Nature and Natural Resources.
2014.
Trachypithecus auratus. http://www.iucnredlist.org/apps/redlist
/details/22034/0 (diakses 5 Jan 2012)
Idris I. 2004. Pola Pergerakan Lutung Jawa di Pos Selabintana, Taman Nasional
Gede Pangrango, Jawa Barat [skripsi]. Bogor [ID]: Program Diploma
Konservasi Sumberdaya Hutan. Departemen Konservasi Sumberdaya
Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta [ID]: PT Bumi Aksara
James FC, Shugart HH. 1970. A Quantitative Method of Habitat Description.
Audubon Field Notes 24: 727-736.
Kartikasari SN. 1986. Studi Populasi Lutung (Presbytis cristata Raffles) di Taman
Nasional Baluran [skripsi]. Bogor [ID]: Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Kusmana C. 1997. Metode Survey Vegetasi. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.

24
Leksono NP. 2014. Studi populasi dan habitat lutung jawa (trachypithecus
auratus sondaicus) di cagar alam pananjung pangandaran jawa barat.
[skripsi]. Bogor [ID]: DKSHE, Fakultas Kehutanan, IPB
Lim BH, Sasekumar A. 1979. A Prelimernary Study on Feeding Biology of
Mangrove Forest Primates. Kuala Selangor [MY]: The Malayan Nature
Journal. Hlm 105-112
Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. New Jersey
[US]: Princetown University Press.
Maryanto I, Achmadi AS, Kartono AP. 2008. Mamalia Dilindungi Perundangundangan Indonesia. Jakarta (ID): LIPI Press.
Meiliana H. 2001. Jenis palatabilitas pakan Lutung Budeng (Tracyphitecus
cristatus) dan Lutung Hitam (Tracyphitecus cristatus) di Taman Wisata
Alam Telaga Warna. [skripsi]. Bogor [ID]: Program Diploma III KSH,
DKSHE, Fahutan, IPB
Pekerti A. 2007. Aktivitas Harian Lutung Jawa (Tracyphitecus auratus) di Stasiun
Penelitian Cikaniki TNGHS. [skripsi]. Bogor [ID]: Program Diploma III
KSH, DKSHE, Fahutan, IPB
Priyono A. 1998. Penentuan ukuran populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca
fascicularis Raffles) dalam penangkaran dengan sistem pemeliharaan di
alam Bebas : Studi kasus di PT Musi Hutan Persada. [tesis]. Bogor [ID]:
Institut Pertanian Bogor
Profauna Indonesia. 2013. Lutung Jawa. http://www.google.com/Lutung-Jawa-di
-Pasar-Jawa-Timur/ (diunduh pada November 2014)
Santoso S. 2006. Analisis Multivariat : Konsep dan Aplikasi dengan SPSS. Jakarta
[ID] : Elex Media Computindo
Semiadi G. 2006. Biologi Rusa Tropis. Bogor [ID]: Pusat Penelitian Biologi LIPI.
Soerianegara I, Indrawan A. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor [ID]: Fakultas
Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Sofial M. 2014 Okt 30. Perburuan liar, populasi lutung jawa tinggal 30%. Bisnis
Indonesia. Rubrik Lintas Jagat: 4 (3-7)
Supriatna J,Wahyono EH. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta
[ID]: Yayasan Obor Indonesia
Suwono. 2006. Analisis Habitat Taman Nasional Bromo Tengger Semeru
Terhadap Pelepasliaran Lutung Jawa (Tracypithecus auratus) [skripsi].
Malang [ID]: Institut Pertanian Malang.
Wahono ND. 2013. Flora Taman Nasional Baluran. Banyuwangi [ID]: Balai
Taman Nasional Baluran

25
Lampiran 1 Pemanfaatan vegetasi sebagai pakan dan cover bagi lutung jawa

Famili

Nama jenis

Ceriops Tagal
Rhizopora spilosa
Rhizopora mucronata
Fabaceae
Tamarindus indica
Erythrina fusca
Leucaena leucocephala
Acacia nilotica
Acacia leucophloea
Parkia timoriana
Falcataria mollucana
Euphorbiaceae
Excoecaria agallocha
Cordia oblique
Meliaceae
Azedirachta indica
Tiliaceae
Grewia eriocarpa
Schoutenia ovate
Moraceae
Ficus superba
Streblus asper
Ficus pilosa
Ficus infectoria
Sapindaceae
Schleicera oleosa
Phyllanthaceae
Bridelia ovate
Rhamnaceae
Ziziphus rotundifolia
Sterculliaceae
Stercullia foetida
Malvaceae
Hibiscus tiliaceus
Anacardiaceae
Spondias cyantheara
Buchanania arborescens
Avicenniaceae
Avicennia sp.
Lythraceae
Pemphis acidula
Poaceae
Persea gratissima
Burseraceae
Protium javanicum
Myrtaceae
Syzigium polyanthun
Combretaceae
Terminalia catappa
Bentisan
Keterangan: P: pucuk ; D: Daun ; B: Buah.
Rhizoporaceae

Pemanfaatan
Pakan




















-

Cover
√√√

√√

-

Bagian yang
digunakan
P
D
B
*
**
**
**
*
*
***
*
*
**
**
**
***
*
**
***
***
**
*
*
*
-

26
26

Lampiran 2 Indeks Nilai Penting tumbuhan tingkat tiang dan pohon di Resort Balanan
Tipe Habitat
Hutan Mangrove

Hutan Pantai

Tingkat
Jenis v