Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Lutung Jawa (Trachypithecus auratus Geoffroy, 1812) di Resort Rowobendo Taman Nasional Alas Purwo

PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT LUTUNG
JAWA (Trachypithecus auratus Geoffroy, 1812) DI RESORT
ROWOBENDO TAMAN NASIONAL ALAS PURWO

REZA ABDILLAH

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemodelan Spasial
Kesesuaian Habitat Lutung Jawa (Trachypithecus auratus Geoffroy, 1812) di
Resort Rowobendo Taman Nasional Alas Purwo adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2014

Reza Abdillah
NIM E34090073

ABSTRAK
REZA ABDILLAH. Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Lutung Jawa
(Trachypithecus auratus Geoffroy, 1812) di Resort Rowobendo Taman Nasional
Alas Purwo. Dibimbing oleh LILIK BUDI PRASETYO dan DONES RINALDI.
Salah satu habitat lutung jawa adalah di Resort Rowobendo Taman Nasional
Alas Purwo. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan kesesuaian habitat,
menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi kesesuaian habitat dan menentukan
luas kesesuaian habitat lutung jawa. Pembuatan peta kesesuaian menggunakan
beberapa variabel yaitu NDVI, ketinggian, kelerengan, jarak dari jalan, jarak dari
sungai dan jarak dari pemukiman. Nilai masing-masing titik kemudian dianalisis
dengan analisis komponen utama untuk mendapatkan bobot setiap variabel.
Model kesesuaian lutung jawa yang terbentuk adalah Y = (1.189*FkNDVI) +

(2.546*Fktinggi) + (1.058*Fkmiring) + (1.058*Fksungai) + (2.546*Fkjalan) +
(2.546*Fkpenduduk). Model kesesuaian habitat Lutung jawa diklasifikasikan
menjadi tiga kelas. Kelas kesesuaian habitat rendah memiliki luas 953.60 ha, kelas
kesesuaian habitat sedang memiliki luas 1899.35 ha dan kelas kesesuaian habitat
tinggi memiliki luas 859.43 ha. Model kesesuaian habitat Lutung jawa dapat
diterima dengan tingkat validasi 87,10 %.
Kata kunci: kesesuaian habitat, lutung jawa, pemodelan spasial

ABSTRACT
REZA ABDILLAH. Spatial Modelling Habitat Suitability of Ebony Leaf Monkey
(Trachypithecus auratus Geoffroy, 1812) in Rowobendo Resort Alas Purwo
National Park. Under supervision by LILIK BUDI PRASETYO and DONES
RINALDI.
One of the Ebony leaf monkey habitat is Rowobendo Resort in Alas Purwo
National Park. The research objectives are mapping habitat suitability, to
identifying factors which highly influence habitat suitability and to determining
area of Ebony leaf monkey habitat suitability. Ebony leaf monkey habitat
suitability mapping was initiated by collection data, such as digital map, data
survey and literature. This mapping was based on some habitat variables, namely
NDVI, altitude, slope, distance from road, distance from river, and distance from

village. The value from each points then being analyzed by using principal
component analysis (PCA) to get the weight of each variable. Habitat suitability
model of ebony leaf monkey was Y = (1.189*FkNDVI) + (2.546*Fkaltitude) +
(1.058*Fkslope) + (1.058*Fkriver) + (2.546*Fkroad) + (2.546*Fkvillage). The habitat
suitability map were reclassified into three suitability classes. The result showed
that there were 953.60 ha of low habitat suitability, 1899.35 ha of medium habitat
suitability, 859.43 ha of high habitat suitability. The habitat suitability map could
be accepted by showing the validation about 87,10%.
Keywords: ebony leaf monkey, habitat suitability, spatial modelling

PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT LUTUNG
JAWA (Trachypithecus auratus Geoffroy, 1812) DI RESORT
ROWOBENDO TAMAN NASIONAL ALAS PURWO

REZA ABDILLAH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada

Departemen Konsevasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Lutung Jawa
(Trachypithecus auratus Geoffroy, 1812) di Resort Rowobendo
Taman Nasional Alas Purwo
Nama
: Reza Abdillah
NIM
: E34090073

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc
Pembimbing I


Ir Dones Rinaldi, MScF
Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

Judul Skripsi: Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Lutung Jawa
(Trachypithecus auratus Geoffroy, 1812) di Resort Rowobendo
Taman Nasional Alas PUlWO
: Reza Abdillah
Nama
: E34090073
NIM

Disetujui oleh


L
Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc
Pembimbing I

ones Rinaldi, MScF
Pembimbing II

MS

Tanggal Lulus:

o1

APR LG4

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah

Pemodelan spasial, dengan judul Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Lutung
Jawa (Trachypithecus auratus Geoffroy, 1812) di Resort Rowobendo Taman
Nasional Alas Purwo.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo,
MSc dan Bapak Ir Dones Rinaldi, MSc.F selaku pembimbing, yang telah banyak
memberi bimbingan dan saran. Selain itu, penghargaan juga penulis sampaikan
kepada jajaran staf dari Balai Taman Nasional Alas Purwo, mas gendut, mas
farikhin, bu dian, pak diro, mas rahmat, pak misenu, pak komar, pak heri, pak
misijo, pak suwarsono, pak karminto, dan pak saiful serta Pengelola Taman
Nasional Alas Purwo yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, adik-adik, keluarga besar
Anggrek Hitam 46, Himakova dan keluarga besar KSHE atas dukungan dan
semangatnya, serta Nidya Nanda Harahap yang selalu menyemangati dan
mendampingi selama penulisan karya ilmiah ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2014

Reza Abdillah


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1


Tujuan Penelitian

1

METODE

2

Waktu dan Lokasi

2

Metode Pengumpulan Data

2

Pengolahan dan Analisis Data

3


HASIL DAN PEMBAHASAN

6

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

6

Penutupan Lahan dan Persebaran Lutung Jawa

7

Faktor Penentu Kesesuaian

9

Kesesuaian Habitat Lutung Jawa
SIMPULAN DAN SARAN


20
25

Simpulan

25

Saran

25

DAFTAR PUSTAKA

26

LAMPIRAN

28

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Penentuan nilai kelas kesesuaian habitat lutung jawa
Luas penutupan lahan resort Rowobendo
Pembagian kelas NDVI
Kelas nilai ketinggian
Kelas nilai kemiringan lereng
Kelas jarak dari sungai
Kelas jarak dari jalan
Kelas jarak dari pemukiman
Nilai akar ciri (initial eigenvalues)
Vektor ciri PCA
Nilai bobot tiap variabel
Skor tiap variabel kesesuaian habitat
Kelas kesesuaian habitat
Validasi model kesesuaian habitat

5
7
9
11
13
14
17
20
21
22
22
23
23
25

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Peta lokasi penelitian
Bagan alir pembuatan peta NDVI
Bagan alir pembuatan peta ketinggian dan kemiringan
Bagan alir pembuatan peta jarak jalan, jaringan sungai dan
pemukiman
Jenis penutupan lahan
Peta Penutupan Lahan Resort Rowobendo
Peta Kelas NDVI
Peta kelas ketinggian
Aliran sungai di resort Rowobendo
Peta kelas kelerengan
Peta kelas jarak dari sungai
Kondisi jalan di resort Rowobendo
Peta kelas jarak dari jalan
Peta kelas jarak dari pemukiman
Peta kelas kesesuaian habitat lutung jawa

2
3
3
4
7
8
10
12
14
15
16
17
18
19
24

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Bagan alir penelitian
Hasil analisis spasial terhadap variabel
Hasil Principal Component Analysis (PCA)
Daftar jenis tumbuhan sumber pakan lutung jawa di resort Rowobendo

28
29
31
33

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Lutung jawa merupakan salah satu primata endemik Indonesia yang
penyebarannya terbatas di pulau Jawa, Bali dan Lombok. Berdasarkan daftar
merah IUCN (International Union for Conservation of Nature dan Natural
Resources), lutung jawa masuk ke dalam status rentan (vulnerable) akibat
pengurangan populasi hingga 30% dalam tiga generasi terakhir serta termasuk
dalam daftar appendiks II CITES (Convention on International Trade in
Endangered Species of Wild Fauna and Flora) sehingga perdagangan satwa ini
dibatasi. Primata arboreal ini juga dilindungi di Indonesia berdasarkan pada
Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 733/Kpts-II/1999.
Pengurangan populasi lutung jawa diakibatkan oleh perdagangan satwa,
perburuan dan hilangnya habitat.
Habitat lutung jawa meliputi hutan primer, hutan sekunder, hutan pantai,
hutan mangrove maupun hutan hujan tropis. Selain memiliki keragaman habitat
yang tinggi, lutung jawa juga memiliki daerah jelajah yang cukup luas sehingga
memerlukan koridor untuk pergerakannya. Menurut Supriatna dan Wahyono
(2000), daerah jelajah lutung jawa berkisar antara 15-23 ha. Primata yang
menggunakan keempat tungkainya (quadropedal) ini sangat bergantung pada
keberadaan vegetasi hutan untuk menunjang pergerakannya (Sari 2010).
Taman Nasional Alas Purwo (TNAP) merupakan hutan alam dataran rendah
yang merupakan habitat alami bagi lutung jawa. Kendati telah memiliki status
taman nasional, TNAP masih mengalami berbagai gangguan seperti penebangan
liar, perburuan liar, pengambilan kayu bakar, pengambilan hasil hutan bukan kayu
(HHBK), dan perambahan kawasan yang berakibat pada berkurangnya hutan alam
dan terganggunya habitat satwaliar (BTNAP 2011). Kondisi tersebut diduga dapat
menurunkan kualitas habitat lutung jawa yang akan berakibat pada penurunan
populasinya.
Guna mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan rinci mengenai habitat
lutung jawa perlu dilakukan analisis spasial dengan penerapan Sistem Informasi
Georgafis (SIG) dan penginderaan jauh. Dengan melakukan analisis spasial akan
diketahui keterkaitan lutung jawa terhadap komponen habitat tertentu, wilayah
yang mungkin dapat dipergunakan sebagai habitat lutung jawa dan penentuan
luasan dari wilayah yang dapat dipergunakan tersebut melalui penggunaan
informasi yang berkaitan dengan lingkungan fisik dan biologis dari lutung jawa.
Selain itu, analisis spasial juga tidak hanya dapat menampilkan informasi
mengenai kondisi habitat tertentu, melainkan juga dapat digunakan untuk evaluasi
terhadap perubahan faktor ekologi dan sosial sehingga dapat menjadi
pertimbangan dalam pengambilan dan penerapan kebijakan.
Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk memetakan kesesuaian habitat dan menduga luas
kesesuaian habitat lutung jawa (Trachypithecus auratus Geoffroy 1812) di resort
Rowobendo TNAP.

2

METODE
Waktu dan Lokasi
Pengambilan data lapangan dilaksanakan di resort Rowobendo TNAP
(Gambar 1), pada bulan Februari-Maret 2013. Pengolahan data dilakukan di
Laboratorium Analisis Lingkungan dan Permodelan Spasial, Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB.

Gambar 1 Peta lokasi penelitian
Metode Pengumpulan Data
Observasi Lapang
Data primer yang dikumpulkan berupa data sebaran geografis lutung jawa.
Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan observasi lapang dan
data hasil patrol tahun 2009-2012. Data yang dicatat ialah koordinat perjumpaan
langsung (direct encounter) dan perjumpaan tidak langsung (indirect encounter).
Studi Literatur
Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka seperti bio-ekologi lutung
jawa, kondisi umum lokasi penelitian, interaksi lutung jawa dengan masyarakat
sekitar resort Rowobendo TNAP. Data sekunder lain yang dikumpulkan adalah
peta batas kawasan, peta batas resort, peta jalan dan peta aliran sungai.

3
Pengolahan dan Analisis Data
Pembuatan Peta NDVI (Normalized Difference Vegetation Index)
Pembuatan peta NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) diperoleh
dari Citra Landsat path/row: 117/066, dengan tanggal akuisisi 26 Mei 2013 yang
telah dikoreksi geometris (Gambar 2). Perhitungan NDVI dengan Erdas Imagine
�� 4− �� 3
9.1 menggunakan rumus: ���� =
�� 4+

�� 3

Citra landsat 7

Pemotongan citra

Koreksi geometri

Model maker

Peta NDVI

Gambar 2 Bagan alir pembuatan peta NDVI
Pembuatan peta ketinggian dan kemiringan lereng
Peta ASTER GDEM (Advanced Spaceborne Thermal Emission and
Reflection Radiometer Global Digital Elevation Model) merupakan peta
ketinggian diolah dengan program ArcGis 9.3 menghasilkan peta kemiringan
lereng. Proses pembuatan peta ketinggian dan kemiringan lereng dapat dilihat
pada Gambar 3.
ASTER GDEM

Peta Ketinggian

Surface

Slope

Peta Kemiringan

Gambar 3 Bagan alir pembuatan peta ketinggian dan kemiringan

4
Pembuatan Peta jarak dari jalan, sungai, dan pemukiman penduduk
Pembuatan peta jarak dari sungai, jalan dan pemukiman penduduk diperoleh
dari peta jaringan sungai, jaringan jalan dan digitasi pemukiman yang dianalisis
dengan menggunakan software Arc Gis 9.3. Proses pembuatan peta jarak dari
sungai, jalan dan pemukiman penduduk disajikan pada Gambar 4.
Peta jaringan jalan,
sungai, dan penduduk

Spatial analyst

Distance

Euclidean Distance
Peta jarak jalan, jaringan
sungai dan pemukiman

Gambar 4 Bagan alir pembuatan peta jarak jalan, jaringan sungai dan pemukiman
Principal Component Analysis (PCA)
Principal Component Analysis (PCA) adalah analisis statistika peubah
ganda yang digunakan untuk menyusutkan banyaknya peubah yang tidak tertata
untuk tujuan analisis dan penarikan kesimpulan. Parameter habitat yang akan
dianalisis untuk mengetahui kesesuaian habitat lutung jawa adalah: NDVI,
ketinggian, kemiringan lereng, jarak dari sungai, dan jarak dari jalan dan jarak
dari pemukiman. Analisis PCA dilakukan dengan bantuan software atau perangkat
lunak SPSS 20.0. Jumlah komponen utama yang digunakan sudah memadai jika
total keragaman yang dapat diterangkan berkisar antara 70-80% (Timm 1975
diacu dalam Pareira 1999). Selanjutnya hasil dari PCA digunakan untuk
menentukan bobot masing-masing faktor habitat dan untuk analisis spasial
sehingga menghasilkan persamaan sebagai berikut:
Y = aFk1 + bFk2 + cFk3 + dFk4 + eFk5 + fFk6
Keterangan:
Y
= Model habitat lutung jawa
a-g
= Nilai bobot setiap variabel
Fk1
= Faktor NDVI
Fk2
= Faktor ketinggian
Fk3
= Faktor kemiringan lereng
Fk4
= Faktor jarak dari sungai
Fk5
= Faktor jarak dari jalan
Fk6
= Faktor jarak dari pemukiman penduduk

5
Analisis Spasial
Titik sebaran lutung jawa dianalisis dengan faktor-faktor spasialnya yang
meliputi NDVI, ketinggian, kemiringan lereng, jarak dari sungai, dan jarak dari
jalan dan jarak dari pemukiman untuk mendapatkan bobot variabel. Analisis
spasial dilakukan dengan metode tumpang susun (overlay), pengkelasan (class),
pembobotan (weighting), dan pengharkatan (skoring). Pemberian skor didasarkan
atas nilai kepentingan atau kesesuaian bagi habitat lutung jawa. Nilai skor
tertinggi menunjukkan faktor habitat yang paling berpengaruh, nilai skor di
bawahnya menunjukkan faktor habitat yang berpengaruh, dan nilai skor terendah
menunjukkan faktor habitat yang kurang berpengaruh. Nilai skor klasifikasi untuk
kesesuaian habitat didapat melalui rumus:
SKOR=
Keterangan :
Wi = bobot untuk setiap variabel

Wi *Fki
Fki = faktor kelas dalam variabel

Kelas kesesuaian habitat lutung jawa
Peta kesesuaian habitat lutung jawa yang diperoleh selanjutnya dibagi
menjadi tiga kelas kesesuaian yaitu kesesuaian tinggi, kesesuaian sedang dan
kesesuaian rendah. Nilai selang klasifikasi kesesuaian habitat dihitung
berdasarkan sebaran nilai piksel yang dihasilkan dari analisis spasial. Penentuan
kelaskesesuaian habitat lutung jawa ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Penentuan nilai kelas kesesuaian habitat lutung jawa
Kelas kesesuaian
Rumus
Rendah
Min Sampai (Mean – Std)
Sedang
(Mean – Std) Sampai (Mean + Std)
Tinggi
(Mean + Std) Sampai Max
Keterangan :
Min
: Nilai piksel terendah
Max
: Nilai piksel tertinggi
Mean : Nilai rata-rata yang dihasilkan dari proses overlay
Std
: Nilai standar deviasi yang dihasilkan dari proses overlay

Validasi model
Validasi model dilakukan untuk mengetahui nilai akurasi klasifikasi
kesesuaian habitat (Lampiran 1). Validasi dilakukan dengan membandingkan
jumlah seluruh individu lutung jawa yang terdapat di tiap kelas kesesuaian habitat
dengan jumlah seluruh jumlah individu yang digunakan untuk validasi. Nilai
validasi klasifikasi kesesuaian habitat lutung jawa:
n
V= x100%
N
Keterangan:
n = jumlah titik pertemuan lutung jawa pada satu klasifikasi kesesuaian
N = jumlah total titik pertemuan lutung jawa hasil survey
V = persentase kepercayaan (Validasi)

6

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Resort Rowobendo secara administratif masuk ke dalam desa Kalipait
kecamatan Tegaldlimo kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Resort Rowobendo
sebelah utara berbatasan dengan KPH Banyuwangi selatan dan resort Kucur
SPTNW II Muncar, sebelah selatan berbatasan dengan Teluk Grajagan, sebelah
timur berbatasan dengan resort Sembulungan dan resort Pancur dan sebelah barat
berbatasan dengan resort Grajagan. Resort Rowobendo merupakan pintu masuk
utama untuk masuk kedalam kawasan TNAP.
Resort Rowobendo memiliki empat tipe ekosistem yakni, hutan tanaman,
hutan mangrove, hutan bambu, dan hutan pantai. Secara umum resort Rowobendo
memiliki topografi dari datar hingga curam dengan ketinggian mulai dari 0 – 332
mdpl. Menurut klasifikasi iklim Schmidt – Ferguson, resort Rowobendo memiliki
iklim D (agak lembab) hingga E (agak kering) dengan curah hujan merata
sepanjang tahun berkisar antara 1000 mm – 1500 mm. Jenis tanah yang terdapat
di Resort Rowobendo adalah kelompok Mediteran Merah (Litosol, Regosol
kelabu, Grumosol kelabu dan Alluvial Gidromorf).
Potensi jasa lingkungan yang terdapat di resort Rowobendo ialah sumber air
goa Basori yang dimanfaatkan sebagai sumber air minum satwaliar, terutama
Banteng (Bos Javanicus), Kijang (Muntiacus muntjak) dan Merak (Pavo muticus).
Goa Basori juga dimanfaatkan untuk kegiatan wisata spiritual, sedangkan padang
penggembalaan Sadengan dijadikan sebagai lokasi atraksi wisata. Sumber air
patirtan mas Mangleng dimanfaatkan untuk kegiatan ritual. Pura Giri Luhur
Salaka dimanfaatkan sebagai tempat sembahyang umat hindu dengan upacara
Pagerwesi setiap 210 hari sekali. Goa Mangleng untuk kegiatan wisata ritual.
TNAP merupakan habitat alami bagi beberapa jenis satwaliar seperti
banteng (Bos javanicus), ajag (Cuon alpinus), merak (Pavo muticus), rusa timor
(Rusa timorensis), macan tutul (Panthera pardus melas), dan kijang (Muntiacus
muntjak). Beberapa jenis penyu langka dan dilindungi yang mendarat di pantai
grajagan ialah penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu belimbing
(Dermochelys coriacea), penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan penyu hijau
(Chelonia mydas). Secara umum terdapat lebih dari 700 jenis tumbuhan yang
telah teridentifikasi di kawasan dan terbagi dalam 123 famili. Verbenaceae dan
Poaceae merupakan famili yang memiliki jumlah jenis terbanyak. Jika dilihat
berdasarkan pengelompokan tempat tumbuh, tumbuhan dataran rendah memiliki
jenis terbanyak, disusul tumbuhan pantai, dan tumbuhan mangrove.
Kondisi sebagian besar mata pencaharian masyarakat disekitar kawasan
adalah bertani, buruh tani, dan nelayan. Masyarakat nelayan kebanyakan tinggal
di wilayah Muncar dan wilayah Grajagan. Mayoritas penduduk di sekitar kawasan
memluk agama Islam. Sebagian pemeluk agama hindu tinggal di desa Kedungasri
dan Kalipait. Secara umum masyarakat sekitar TNAP masih memegang tradisi
jawa kuno. Pagerwesi, sayan, bayenan serta selamatan lain yang berkaitan batin
masih dilaksanakan.

7
Penutupan Lahan dan Persebaran Lutung Jawa
Hasil klasifikasi tutupan lahan dari citra landsat 7 ETM+ tahun 2013
menunjukkan bahwa di resort Rowobendo TNAP terdapat enam jenis penutupan
lahan, yaitu hutan alam dataran rendah, hutan tanaman, hutan mangrove, savanna
buatan, bambu, dan badan air. Luas masing penutupan lahan disajikan dalam
Tabel 2. Jumlah titik perjumpaan lutung yang ditemukan berjumlah 105 titik.

No
1
2
3
4
5
6

Tabel 2 Luas penutupan lahan resort Rowobendo
Penutupan lahan
Luas (Ha)
Jumlah titik lutung
Hutan alam dataran rendah
2596.36
37
Hutan tanaman
909.30
51
Hutan mangrove
42.18
0
Savana
49.08
1
Bambu
88.96
3
Badan air
24.77
3

Penutupan lahan yang paling luas diketahui ialah hutan alam dataran
rendah lalu diikuti dengan hutan tanaman (Gambar 5). Jenis-jenis vegetasi pohon
dominan di hutan dataran rendah antara lain: kepuh (Sterculia foetida), bendo
(Artocarpus elastica), kedawung (Parkia roxburghii), kemiri (Aleurites
moluccana), beringin (Ficus benjamina), kedondong hutan (Spondias pinnata).
Sedangkan pada hutan tanaman terdiri dari hutan tanaman jati (Tectona grandis),
kesambi (Schleichera oleosa), mahoni (Swietenia macrophylla), johar (Casia
siamea), legaran (Alstonia villosa), akasia (Acacia auriculiformis) dan sonokeling
(Dalbergia latifolia).

(a)
(b)
(c)
Gambar 5 Jenis penutupan lahan a) hutan tanaman, b) savanna sadengan, c) bambu
Jumlah perjumpaan lutung jawa terbanyak ada pada kelas hutan tanaman
yakni sebanyak 51 titik, diikuti hutan alam dataran rendah sebanyak 37 titik.
Tidak terdapat titik perjumpaan lutung pada hutan mangrove. Berdasarkan hasil
pengamatan, diketahui titik perjumpaan lutung di hutan tanaman lebih banyak
dijumpai pada jarak dekat dengan jalan. Persebaran titik lutung jawa pada kelas
penutupan lahan dapat dilihat pada Gambar 6.

8
8

Gambar 6 Peta Penutupan Lahan Resort Rowobendo

9
Faktor Penentu Kesesuaian
NDVI
NDVI menggambarkan penutupan vegetasi di atas permukaan tanah
dengan nilai kecerahan yang berbeda-beda berdasarkan pada perbedaan nilai
digital number melalui perhitungan kanal cahaya tampak dan inframerah dekat.
Hung (2000) menyatakan bahwa nilai NDVI menggambarkan tingkat kehijauan
biomassa dan merupakan indikator yang baik untuk menentukan status kerapatan
vegetasi pada suatu wilayah namun tidak berhubungan langsung dengan
ketersediaan air tanah di wilayah tersebut.
Nilai NDVI di lokasi penelitian berkisar antara -0.47 - 0.45. Dephut (2005)
mengklasifikasikan nilai NDVI pada tiga kelas yakni -1 – 0.32 untuk kerapatan
tajuk rendah, nilai 0.32 – 0.42 untuk kerapatan tajuk sedang dan nilai 0.42 - 1
untuk kerapatan tajuk rapat. Berdasar pada acuan klasifikasi tersebut,
pengklasifikasian nilai NDVI di lokasi penelitian dibagi menjadi empat kelas.
meliputi < 0; 0 – 0.2; 0.2-0.4 dan > 0.4 (Gambar 7), dimana kelas < 0
menunjukkan badan air, bayangan awan atau stripping pada landsat 7 ETM+.
Selang kelas dan luasan masing-masing kelas NDVI disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Pembagian kelas NDVI
No
1
2
3
4

NDVI
0.4

Luas (Ha)
31.97
22.62
3602.76
52.47

Jumlah titik lutung yang masuk
3
0
71
0

Kelas NDVI 0.2-0.4 merupakan kelas terluas yang mencakup 96.53% resort
Rowobendo dengan kerapatan tajuk sedang. Pada kelas 0-0.2 tidak dijumpai
lutung jawa karena pada kelas ini umumnya merupakan lahan yang cukup terbuka
dengan vegatasi tumbuhan tingkat pancang hingga tiang. Pada kelas ini
didapatkan 71 titik perjumpaan lutung. Hal ini mengindikasikan bahwa kerapatan
tajuk merupakan faktor penting bagi keberlangsungan hidup lutung. Kerapatan
tajuk sangat diperlukan oleh lutung karena primata ini merupakan satwa arborealquadropedal sehingga perilaku hariannya yang meliputi perilaku makan, perilaku
istirahat, perilaku bergerak dan aktivitas sosial dominan dilakukan diatas pohon.
Penutupan tajuk dapat dikorelasikan dengan kelembaban udara di kawasan
tersebut. Nilai NDVI semakin besar menunjukan bahwa penutupan tajuk semakin
rapat atau tertutup, sehingga intensitas cahaya matahari ke bawah tajuk semakin
kecil dan kelembaban udara di bawah tajuk akan semakin meningkat. Rendahnya
intensitas cahaya matahari yang mampu menembus sampai ke tanah menyebabkan
tingginya kelembapan udara yang diakibatkan oleh rendahnya tingkat evaporasi
yang terjadi di bawah tajuk. Kondisi lingkungan seperti ini sangat disukai oleh
lutung jawa. Pada pengamatan cover lutung jawa oleh Febriyanti (2009), lutung
jawa menyukai lingkungan cover dengan kelembaban tinggi, topografi datar dan
intensitas cahaya rendah.

10
10

Gambar 7 Peta Kelas NDVI

11
Ketinggian tempat
Ketinggian tempat merupakan faktor yang mempengaruhi keanekaragaman
jenis spesies tumbuhan dan satwa. Semakin tinggi suatu tempat menyebabkan
semakin sedikit keanekaragaman jenis tumbuhan sehingga variasi dalam memilih
sumber pakan menjadi terbatas (Primack et al. 1998). Lutung jawa dapat
ditemukan pada berbagai tipe hutan hingga ketinggian 3500 mdpl (Nijman 2000).
Mulai dari hutan mangrove, hutan dataran rendah, hingga hutan pegunungan
(Supriatna dan Wahyono 2000).
Hasil analisis peta menunjukkan bahwa ketinggian di lokasi penelitian
berkisar antara 0 – 331 m dpl. Ketinggian dibawah 100 m di dominasi oleh hutan
tanaman. Oleh karena itu, pada kelas ketinggian dapat dibedakan menjadi dua
kelas ketinggian, yaitu kelas ketinggian 0 – 100 m dan kelas ketinggian >100 m
(Gambar 8). Luas dan jumlah titik lutung disajikan pada Tabel 4.

No
1
2

Ketinggian (m)
0 – 100
> 100

Tabel 4 Kelas nilai ketinggian
Luas (Ha)
Jumlah titik lutung yang masuk
1406.81
70
2305.57
4

Hasil observasi lapang menunjukkan bahwa lutung jawa lebih banyak
dijumpai pada kelas ketinggian 0-100 m dibandingkan dengan kelas ketinggian
>100 m. Total 74 titik perjumpaan lutung, didapatkan 70 titik perjumpaan pada
kelas ketinggian 0-100 m dan hanya 4 titik dijumpai pada kelas ketinggian >100
m. Hal ini disebabkan oleh ketersediaan pakan yang melimpah pada ketinggian 0100 m yaitu pohon jati dan pohon mahoni.
Kool (1993) menyatakan bahwa daun muda dari pohon jati (Tectona
grandis) merupakan sumber makanan penting bagi lutung. Pakan lutung terdiri
dari dedaunan muda dan tua, buah-buahan matang maupun mentah, bunga,
kuncup bunga, dan larva serangga (Kool 1993). Komposisi makanan lutung 50%
berupa daun, 32% berupa buah, 13% berupa bunga dan sisanya bagian dari
tumbuhan atau serangga (Supriatna dan Wahyono 2000). Menurut hasil
pengamatan, pada ketinggian 0-100 m pohon jati di hutan tanaman dimanfaatkan
juga oleh lutung sebagai tempat beristirahat dan tidur karena memiliki
percabangan yang banyak dan tajuk yang relatif rimbun, sedangkan pohon mahoni
hanya dimanfaatkan untuk tempat beristirahat sementara.
Kelas ketinggian >100 m lebih didominasi oleh hutan alam dataran rendah
dengan topografi bergelombang hingga terjal. Pada kelas ketinggian ini variasi
pakan lutung jawa lebih tinggi dibandingkan dengan di hutan tanaman. Tercatat
27 jenis tanaman pakan ditemukan pada hutan alam dataran rendah. Jenis-jenis
yang banyak dimanfaatkan sebagai pakan lutung diantaranya ialah Dadap
(Erythrina villosa), Keben (Barringtonia asiatica), Nyamplung (Calophyllum
inophyllum), Apak (Ficus infectoria), Beringin (Ficus benjamina), Bayur
(Pterospermum javanicum), serta Bendo (Artocarpus elasticus). Jenis tumbuhan
pakan lutung lainnya dapat dilihat pada Lampiran 4. Adapun beberapa jenis pohon
pakan yang juga dimanfaatkan sebagai tempat istirahat dan tidur pada kelas
ketinggian >100 m ialah Beringin (Ficus benjamina), Apak (Ficus infectoria),
Johar (Cassia Siamea) dan Kesambi (Schleichera oleosa).

12
12

Gambar 8 Peta kelas ketinggian

13
Kemiringan lereng
Kemiringan lereng adalah sudut yang dibentuk oleh permukaan lereng
terhadap bidang horizontal yang dinyatakan dalam derajat atau persen. Pada lokasi
penelitian diketahui 49% dari luasan berada pada kelas kemiringan 0-15% (datar).
Pengelompokan kelas kemiringan lereng didasarkan pada tabel kriteria penetapan
hutan lindung menurut SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/II/1980 yang
membaginya kedalam lima kelas yakni 0-8% (datar), 8-15% (landai), 15-25%
(bergelombang), 25-40 (curam), dan >40% (sangat curam) namun disesuaikan
dengan lokasi penelitian (Gambar 10) sehingga di reduksi menjadi tiga kelas
yakni 0-15%, 15-40% dan >40%. Luas masing-masing kelas kemiringan lereng
dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.

No
1
2
3

Tabel 5 Kelas nilai kemiringan lereng
Kemiringan (%)
Luas (Ha)
Jumlah titik lutung yang masuk
0-15
1826.75
52
15-40
1636.16
17
>40
249.48
5

Hasil analisis peta perjumpaaan lutung di lokasi penelitian terhadap
kemiringan lereng menunjukkan 50% dari titik perjumpaan lutung ditemukan
pada daerah yang datar (0-15%). Hanya dijumpai 0.04% titik perjumpaan lutung
pada daerah sangat curam. Hal ini mengindikasikan bahwa lutung jawa di resort
Rowobendo relatif memilih topografi yang datar.
Kemampuan lutung jawa dalam beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya
berbeda-beda pada setiap kelompoknya. Beberapa penelitian menunjukkan
kelompok lutung jawa lebih memilih topografi yang landai (0-15%), namun
ditemukan juga kelompok lutung jawa yang lebih memilih topografi yang terjal
(>40%). Penelitian Idris (2004) menemukan pohon tidur lutung jawa di Pos
Salabintana, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) pada lereng
lereng yang terjal yang memiliki tajuk yang emergent agar terhindar dari predator
terrestrial. Namun penelitian Febriyanti (2009) di blok Ireng-ireng Taman
Nasional Bromo Tengger Semeru menunjukkan bahwa lutung lebih memilih
topografi datar dalam memilih pohon tidurnya.
Pemilihan topografi yang relatif datar oleh lutung di resort Rowobendo
dimungkinkan karena banyaknya pohon pakan serta jarak yang dekat dengan
pohon tidur lutung karena pada umumnya topografi datar lebih banyak terdapat
pada ketinggian 400
1500.86
19

Hasil observasi lapang menunjukkan bahwa dari 74 titik perjumpaan
lutung yang ditemukan di lokasi penelitian terhadap jarak dengan sungai, 55 titik
perjumpaan berada di jarak 0–400 m dari sungai dan sebanyak 19 titik
perjumpaan ditemukan pada jarak >400 m. Jarak dengan sungai yang semakin
dekat dimanfaatkan lutung jawa dalam penentuan cover karena kelembapan udara
semakin tinggi (Febriyanti 2009). Supriatna dan Wahyono (2000) juga
menyatakan bahwa lutung jawa lebih memilih pohon tidur di sekitar sungai.
Berdasarkan hasil pengamatan, jenis pohon tidur umumnya dijumpai pada jarak 0100 dari sungai. Beberapa jenis pohon tidur disekitar sungai yang digunakan oleh
lutung jawa diantaranya ialah apak (Ficus infectoria), johar (Cassia siamea), dan
kesambi (Schleichera oleosa). Pemilihan pohon tidur ini karena banyaknya
percabangan pohon dan kerimbunan tajuknya.

15

15

Gambar 10 Peta kelas kelerengan

16
16

Gambar 11 Peta kelas jarak dari sungai

17
Jarak dari jalan
Pembuatan model kesesuaian habitat tidak hanya didasarkan pada faktor
kebutuhan hidup lutung jawa namun juga didasarkan pada potensi gangguan yang
didapat lutung jawa akibat aktivitas manusia. Keberadaan jalan merupakan salah
satu bentuk gangguan melalui peningkatan aktivitas manusia dan meningkatnya
kebisingan (Sari 2010).

(a)

(b)

Gambar 12 Kondisi jalan di resort Rowobendo a) kondisi jalan di hutan tanaman
b) Kondisi jalan di sekitar kantor resort
Kondisi jalan di lokasi penelitian merupakan jalan berbatu dengan lebar
jalan ±6m (Gambar 12). Jaringan jalan di lokasi penelitian merupakan jalan utama
yang menghubungkan antar resort, Selain itu, jaringan jalan juga digunakan dalam
kegiatan patroli, transportasi masyarakat untuk beribadah, ritual dan menangkap
ikan serta aksesibilitas kegiatan wisata. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas
manusia di sekitar jalan sangat tinggi. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan
bahwa lutung jawa disekitar jalan sudah terhabituasi dengan keberadaan
kendaraan yang melintasi jalan, namun masih sensitif ketika mengetahui manusia
mendekati lutung jawa. Berdasarkan keadaan tersebut, peta jarak dari jalan dibagi
ke dalam tiga kelas yaitu 0-200 m, 200-400 m, dan lebih dari 400 m (Gambar 13).
Luas dan jumlah titik lutung pada masing-masing kelas disajikan pada Tabel 7.

No
1
2
3

Tabel 7 Kelas jarak dari jalan
Jarak dari jalan (m)
Luas (Ha)
Jumlah titik lutung yang masuk
0-200
390.01
47
200-400
296.40
12
>400
3025.97
15

Berdasarkan hasil analisis peta antara titik perjumpaan lutung jawa dengan
jarak dari jalan, lutung jawa banyak jumlah titik perjumpaan pada jarak kurang
dari 200 m dari jalan. Banyaknya titik perjumpaan lutung pada kelas jarak jalan 0200 m disebabkan terdapatnya pohon pakan lutung jawa yang berdekatan dengan
jalan. Hasil pengamatan Sulistyadi (2013) menunjukkan bahwa lutung jawa
dominan beraktivitas pada area di sekitar jalan pada kisaran jarak 0-50 meter
dengan aktivitas paling dominan adalah istirahat dan makan. Pemilihan pohon
pakan tersebut dimungkinkan karena pohon pakan dekat dengan pohon tidur
lutung jawa. Hal ini terlihat pada waktu perjumpaan yang banyak dijumpai diatas
jam 12.00-17.00 dan jarak terhadap sungai yang relatif dekat.

18
18

Gambar 13 Peta kelas jarak dari jalan

19

19

Gambar 14 Peta kelas jarak dari pemukiman

20
Jarak dari pemukiman penduduk
Resort Rowobendo merupakan pintu gerbang utama untuk memasuki
kawasan taman nasional. Resort ini berbatasan dekat dengan kawasan pemukiman
penduduk. Jarak dengan pemukiman penduduk yang dekat diduga dapat
mengakibatkan tekanan terhadap lutung jawa semakin tinggi, karena aktivitas
manusia yang semakin tinggi. Sifat lutung jawa yang pemalu dan sensitif terhadap
keberadaan manusia membuat lutung cenderung menjauh dan berlindung apabila
mengetahui kehadiran manusia.
Penelitian ini membagi kelas jarak dari pemukiman penduduk pada tiga
kelas, yakni pada kelas 0-500 m, 500-100 m dan lebih dari 1000 m (Gambar 14).
Luasan dan jumlah titik perjumpaan masing-masing kelas disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Kelas jarak dari pemukiman
No

Jarak dari pemukiman (m)

Luas (Ha)

Jumlah titik lutung yang masuk

1
2
3

0-500
500-1000
>1000

7.39
153.17
3551.81

0
28
46

Berdasarkan hasil analisis peta antara titik perjumpaan lutung jawa dengan
jarak dari pemukiman penduduk, lutung jawa cenderung lebih banyak dijumpai
pada jarak yang jauh dari pemukiman penduduk. Sebanyak 46 titik perjumpaan
ditemukan pada jarak lebih dari 1000 m dari pemukiman penduduk, dan tidak
ditemukan lutung jawa pada kelas jarak 0-500 m dari pemukiman. Banyaknya
titik perjumpaan lutung pada jarak >1000 m diakibatkan tingginya aktivitas
manusia di sekitar pemukiman sehingga lutung jawa cenderung menjauh. Lutung
jawa memberikan respon terhadap kehadiran manusia yang dekat dengan
kelompoknya. Lutung menggunakan komunikasi suara saat terjadi ancaman,
biasanya jantan dewasa mengeluarkan suara peringatan jika ada ancaman yang
mendekati kelompoknya (Cannon 2009). Selain itu aktivitas manusia, kondisi
vegetasi juga mempengaruhi sebaran lutung. Kondisi vegetasi di sekitar
pemukiman lebih jarang dan kurang tersedia pohon pakan sehingga lutung jawa
lebih memilih vegetasi yang jauh dari pemukiman.
Kesesuaian Habitat Lutung Jawa
Model kesesuaian
Penentuan nilai bobot variabel-variabel kesesuaian habitat Lutung jawa
dilakukan dengan analisis PCA melalui software statistik SPSS 20.0. Analisis
komponen utama atau Principal Component Analysis (PCA) merupakan suatu
teknik analisis statistik untuk mentransformasi peubah-peubah asli yang masih
saling berkorelasi satu dengan yang lain menjadi satu set peubah baru yang tidak
berkorelasi lagi. Variabel-variabel yang digunakan dalam membuat model
kesesuaian habitat lutung jawa sebanyak enam variabel yaitu NDVI, ketinggian,
kemiringan lereng, jarak dari sungai, jarak dari pemukiman dan jarak dari jalan.
Data yang digunakan dalam analisis komponen utama adalah titik sebaran
lutung jawa sebanyak 74 titik yang didapat dari survey lapang di resort
Rowobendo. Data titik sebaran tersebut dianalisis letak sebaran spasialnya dengan

21
peta NDVI, ketinggian, kemiringan lereng, jarak dari jalan, jarak dari sungai dan
jarak dari pemukiman sehingga didapatkan nilai untuk setiap titik pada masingmasing variabel. Data hasil analisis spasial antara titik dengan masing-masing
variabel selengkapnya disajikan pada Lampiran 2. Perbedaan satuan isi data yang
disajikan pada Lampiran 2 sangat mencolok dapat menyebabkan bias dalam
analisis komponen utama sehingga data asli harus di transformasi sebelum
dianalisis (Santoso 2002). Transformasi data dilakukan dengan menggunakan zscore pada software SPSS 20.0.
Analisis sebaran spasial akan menghasilkan nilai setiap variabel kemudian
akan dianalisis PCA untuk mendapatkan variabel baru. Pada analisis PCA,
penilaian kelayakan variabel diuji dengan pengukuran besaran Bartlett test of
sphericity dan Measure Sampling Adequacy (MSA) dengan nilai signifikansi
dibawah 0.05. Pengujian ini mengharuskan adanya korelasi yang signifikan
dengan nilai diatas 0.5 (Santoso 2002). Hasil pengujian Bartlett test of sphericity
didapatkan hasil 0.645 dengan signifikansi 0.001, hal ini menunjukkan bahwa
variabel dan sampel yang ada dapat dianalisis lebih lanjut. Nilai MSA pada
pengujian (Tabel anti-image matrices) diketahui diatas 0.5. Nilai MSA>0.5
menunjukkan bahwa variabel masih dapat diprediksi dan dianalisis lebih lanjut,
Namun apabila nilai MSA125
Kemiringan
0-15
15-40
>40
Jarak dari sungai
0-200
200-400
>400
Jarak dari jalan
0-200
200-400
>400
Jarak dari pemukiman

0-500
500-1000
>1000

Skor
0
1
2
3
3
2
3
2
1
3
2
1
1
2
3
1
2
3

Hasil analisis spasial dengan metode pembobotan, pengkelasan, skoring,
dan tumpang tindih (overlay) menghasilkan nilai piksel terendah yaitu 18.00, nilai
piksel tertinggi yaitu 33.00 dan nilai rata-rata (mean) adalah 27.52 serta nilai
standar deviasi sebesar 2.12. Sedangkan untuk penentuan kelas kesesuaian habitat
Lutung jawa dilakukan berdasarkan nilai piksel terendah, nilai piksel tertinggi,
nilai rerata (mean) dan nilai standar deviasi yang disajikan pada Tabel 13.

No
1
2
3

Tabel 13 Kelas kesesuaian habitat
Kelas kesesuaian habitat
Selang
Kesesuaian rendah
18.00 – 25.40
Kesesuaian sedang
25.40 – 29.64
Kesesuaian tinggi
29.64 – 33.00

Luas (Ha)
454.82
2748.23
509.34

Hasil pengkelasan kesesuaian habitat lutung jawa didapat selang kelas
kesesuaian sedang yang berkisar antara 25.40 – 29.64 merupakan kelas kesesuaian
terluas dengan luasan 2748.23 ha. Karakteristik kelas kesesuaian ini sangat
dipengaruhi oleh nilai NDVI yang merata, kelerengan >15% dan jarak dari jalan
>200 m. Kelas kesesuaian tinggi memiliki luasan 509.34 ha dengan karakteristik
kelas kesesuaian habitat yang terbentuk umumnya sangat dipengaruhi oleh
ketinggian 400 m dan jarak dari pemukiman >1000 m.
sedangkan kelas kesesuaian rendah memiliki luasan 454.82 ha dengan
karakteristik yang sangat berpengaruh ialah jarak dari jalan 85% pada kelas kesesuaian sedang dan
tinggi (Dhistira 2011). Data yang digunakan untuk melakukan validasi sebanyak
30% (31 titik) dari jumlah keseluruhan titik perjumpaan lapang.
Nilai validasi didapatkan dengan membagi banyaknya titik perjumpaan dari
setiap kelas kesesuaian terhadap jumlah keseluruhan. Hasil validasi menunjukkan
bahwa model kesesuaian habitat lutung jawa yang dibangun dapat diterima
dengan jumlah presentase total validasi sebesar 87.10% (Tabel 14).

No
1
2
3

Tabel 14 Validasi model kesesuaian habitat
Kelas kesesuaian
Jumlah titik
Persentase (%)
Kesesuaian rendah
4
12.90
Kesesuaian sedang
7
22.58
Kesesuaian tinggi
20
64.52

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Penelitian pemodelan spasial kesesuaian habitat lutung jawa
(Trachypithecus auratus Geoffroy 1812) di resort Rowobendo Taman Nasional
Alas Purwo menghasilkan model kesesuaian habitat sebagai berikut:
Y=(1.189*FkNDVI)+(2.546*Fktinggi)+(1.058*Fkmiring)+(1.058*Fksungai)+(2.546*F
kjalan) + (2.546*Fkpenduduk). Habitat Lutung jawa di Resort Rowobendo dibedakan
atas tiga kelas kesesuaian, yakni kelas kesesuaian tinggi dengan luas 509.34 ha,
kelas kesesuaian sedang dengan luas 2748.23 ha, tingkat kesesuaian rendah
sebesar 454.82 ha. Model kesesuaian habitat lutung jawa dapat diterima dengan
validasi sebesar 58.07% untuk kesesuaian tinggi, dan 29.03% untuk kesesuaian
sedang.
Saran
1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai keberadaan lutung jawa pada di
semua resort dengan variabel ekologi lain yang lebih sensitif untuk lebih
meningkatkan kepercayaan terhadap model yang dibangun.
2. Perlu dilakukan pengambilan titik koordinat geografis sebaran Lutung jawa
secara merata di Resort Rowobendo maupun pada seluruh resort Taman
Nasional Alas Purwo agar dapat dibuat pemodelan yang menyeluruh.
3. Pembinaan habitat lutung pada kelas kesesuaian habitat sedang dan rendah.

26

DAFTAR PUSTAKA
Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar. Jilid 1. Bogor: Yayasan Penerbit
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
[BTNAP] Balai Taman Nasional Alas Purwo. 2011. Analisa dan Pelaporan Data
Gangguan Keamanan Hutan Balai Taman Nasional Alas Purwo. Banyuwangi:
Balai Taman Nasional Alas Purwo
Cannon W, Vos A. 2009. "Trachypithecus auratus" (On-line), animal diversity
web [internet]. [diunduh 24 Desember 2013]. Tersedia pada:
http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/Trachypithec
us_auratus.html.
[Dephut] Departemen Kehutanan. 2005. Pedoman Inventarisasi dan Identifikasi
Lahan Kritis Mangrove. Jakarta (ID): Departemen Kehutanan Direktorat
Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial.
Dewi H. 2005. Tingkat Kesesuaian Habitat Owa Jawa (Hylobates moloch
Audebert) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak [Tesis]. Bogor: Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Dhistira MA.2011. Pemetaan Kesesuaian Habitat Rafflesia zollingeriana Kds.
(Studi Kasus di Resort Sukamade Wilayah Seksi I Sarongan Taman Nasional
Meru Betiri Jawa Timur). [Skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumber
Daya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Febriyanti NS. 2008. Studi Karakteristik Cover Lutung Jawa (Trachypithecus
auratus Geoffroy 1812) di Blok Ireng-Ireng Taman Nasional Bromo Tengger
Semeru Jawa Timur [skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya
Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Hung T. 2000. Modis Aplications in Monitoring Surface Parameters. University
of Tokyo. Institute of Industrial Science.
Indrawati YM. 2010. Pemodelan Spasial Habitat Monyet Hitam Sulawesi
(Macaca nigra Desmarest, 1822). [skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi
Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor.
Kool KM. 1993. The diet and feeding behavior of the silver leaf monkey
(Trachypithecus auratus sondaicus) in Indonesia. International Journal of
Primatology 14(5):667–700.
Lo CP. 1995. Penginderaan Jauh Terapan. Purbowaseso B, penerjemah. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia.
Nijman V. 2000. Geographic distribution of ebony leaf monkey Trachypithecus
auratus (E. Geoffroy Saint-Hilaire, 1812) (Mammalia: Primates:
Cercopithecidae). Contr. Zool. 69(3):157-177.
Pareira MHY. 1999. Karakteristik habitat beo Flores (Gracula religiosa mertensi)
di desa Tanjung Boleng, Kabupaten Manggarai, Pulau Flores [skripsi]. Bogor:
Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Primack RB, Supriatna J, Indrawan M, Kramadibrata P. 1998. Biologi Konservasi.
Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia.
Santoso S. 2002. Buku Latihan SPSS Statistik Multivariat. Jakarta: Alex Media
Komputindo

27
Sari DRK. 2010. Analisis Kesesuaian Habitat Preferensi Surili di Taman Nasional
Gunung Halimun Salak Jawa Barat [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.
Supriyatna J, Wahyono EH. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Sulistyadi E. 2013. Perilaku Lutung Jawa Trachypithecus auratus (Geoffroy,
1812) pada Fragmen Habitat Terisolasi di TWA Gunung Pancar [tesis]. Bogor:
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

28
28

Lampiran 1 Bagan alir penelitian
Analisis Peta

ASTER GDEM

Peta jalan

Peta rupa bumi

Survey Lapang

Citra Landsat

Titik Sebaran
Lutung Jawa
Peta Jarak dari
Sungai

Peta Jarak dari
Pemukiman

Peta Jarak
dari Jalan

Peta
Ketinggian

Peta
Kemiringan

Peta NDVI

Analisis Spasial (Zonal Statistics as table)
Peta Kesesuaian Habitat
Lutung Jawa
Analisis Statistik (PCA)
Validasi
Overlay
aFk1+bFk2+cFk3+dFK4+eFK5+fFk6
Akurasi model
Tidak

Ya
Model diterima

29
Lampiran 2 Hasil analisis spasial terhadap variabel
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45

Kode
L4
L12
L13
L14
L15
L18
L19
L21
L22
L27
L29
L32
L33
L34
L35
L36
L37
L39
L41
L42
L46
L47
L50
L52
L54
L55
L57
L58
L59
L60
L63
L65
L68
L70
L74
L76
L77
L78
L79
L81
L82
L83
L85
L89
L91

NDVI
0.34
0.23
0.33
0.40
0.32
0.39
0.26
0.25
0.27
0.27
0.29
0.32
0.36
0.25
0.28