Pertumbuhan Dan Produksi Ratun Padi Sawah (Oryza Sativa L.) Yang Ditanam Dengan Metode System Of Rice Intensification (Sri) Di Kelurahan Sindangbarang, Kecamatan Bogor Barat, Bogor, Jawa Barat

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI RATUN PADI SAWAH
( Oryza sativa L.) YANG DITANAM DENGAN METODE
SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) DI
KELURAHAN SINDANGBARANG, KECAMATAN BOGOR
BARAT, BOGOR, JAWA BARAT

NINDYA AYU UTARI

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK
CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pertumbuhan dan
Produksi Ratun Padi Sawah (Oryza sativa L.) yang ditanam dengan Metode
System of Rice Intensification (SRI) di Kelurahan Sindangbarang,
Kecamatan Bogor Barat, Bogor, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan

arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis
lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
Nindya Ayu Utari
NIM A14090046

ABSTRAK
NINDYA AYU UTARI. Pertumbuhan dan Produksi Ratun Padi Sawah
(Oryza sativa L.) yang ditanam dengan Metode System of Rice
Intensification (SRI) di Kelurahan Sindangbarang, Kecamatan Bogor Barat,
Bogor, Jawa Barat. Dibimbing oleh ISWANDI ANAS dan RAHAYU
WIDYASTUTI.
Sistem ratoon (ratun) untuk tebu sudah diterapkan sejak lama karena
produksi ratun tebu tidak jauh berbeda dengan tanaman induknya. Ratun
merupakan tunas yang muncul dari tanaman induknya bila tanaman induk

sudah dipanen. Sisa tanaman yang telah dipanen akan menghasilkan bibit
baru yang kemudian dipelihara menjadi tanaman baru dengan demikian
pada sistem ratun tidak diperlukan bibit baru, pengolahan tanah, sehingga
biaya produksi berkurang dari tanaman musim pertama, dan keuntungan
petani bisa meningkat. Selama ini ratun padi tidak menjadi perhatian petani
karena produksi ratun sangat rendah dibandingkan dengan produksi
tanaman utamanya. Beberapa tahun terakhir di Sumatera Barat telah
diterapkan sistem ratun untuk padi dengan produksi yang menyamai
produksi tanaman pertamanya, yang dikenal dengan Salibu. Penelitian
secara ilmiah mengenai padi salibu ini masih sangat terbatas. Tinggi
pemotongan dan waktu pemotongan dilaporkan merupakan faktor yang
paling menentukan keberhasilan ratun untuk tanaman padi.
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti pengaruh budidaya dan tinggi
pemotongan terhadap pertumbuhan dan produksi ratun. Rancangan
penelitian yang dicobakan adalah rancangan acak kelompok dengan dua
faktor dan lima ulangan. Faktor pertama adalah sistem budidaya padi yaitu;
(1) sistem budidaya padi secara Konvensional dan (2) sistem budidaya padi
SRI (System of Rice Intensification). Faktor kedua adalah tinggi
pemotongan jerami padi yaitu; (1) 3 cm dan (2) 15 cm dari permukaan tanah.
Hasil penelitian menunjukkan pada musim tanam pertama, budidaya padi

SRI menghasilkan jumlah anakan produktif lebih banyak (29.6 anakan
rumpun-1) dibanding dengan budidaya konvensional (17.4 anakan rumpun-1).
Hasil produksi gabah kering panen (7.78 ton ha-1) dan hasil gabah kering
giling (6.69 ton ha-1) pada budidaya SRI lebih tinggi dibandingkan budidaya
konvensional yaitu sebesar 6.08 ton ha-1 pada gabah kering panen dan 5.23
ton ha-1 pada gabah kering giling. Pada musim tanam kedua (ratun), variabel
pertumbuhan dan hasil produksi perlakuan pemotongan 3cm lebih tinggi
dibanding dengan pemotongan 15 cm baik pada sistem budidaya SRI
maupun konvensional. Hasil produksi gabah kering panen sebesar 3.86 ton
ha-1 dan gabah kering giling sebesar 3.32 ton ha-1 pada pemotongan 3 cm
pada sistem budidaya konvensional sedangkan pada budidaya SRI
menghasilkan gabah kering panen sebesar 5.34 ton ha-1 dan gabah kering
giling sebesar 4.59 ton ha-1.
Kata kunci: ratun, sistem budidaya padi , tinggi pemotongan jerami, hasil
produksi

ABSTRACT
NINDYA AYU UTARI. The Growth and Yield of Rice Ratoon (Oryza
sativa L.) that were planted with System of Rice Intensification (SRI) in
Sindangbarang, Bogor, West Java. Supervised by ISWANDI ANAS and

RAHAYU WIDYASTUTI.

Ratooning for sugarcane has been applied for a long time because its
productions are not much different from the first growth. Ratoon crop is the
new cane which grows from the stubble of a previously harvested crop. The
stubble will produce new seeds which then maintained into a new plant,
thus ratoon didn’t need new seedlings, soil preparation, so less production
cost, therefore farmers will get more benefits. Ratooning is not interesting
for rice, since yields of conventionally-grown ratooned rice are very low. In
the last few years in West Sumatra has been reported that the yield of
ratooned crop can be equally from the first growing season , which is
known as Salibu. Scientific research regarding Salibu is still very limited.
The length of straw cutting and harvesting time are reported as the most
important factors determined the success of rice ratooning.
The aim of this experiment was to evaluate the effect of rice
cultivation methods and length of straw cutting on the growth and yield of
ratoon . The experiment was set up according to randomized block design
with two factors and five replications. The first factor was rice cultivation
system, i.e.; (1) Conventional rice cultivation and (2) System of Rice
Intensification (SRI). The second factor was the length of straw cutting i.e.;

(1) 3 cm and (2) 15 cm from the soil surface. The results showed in the first
growing season, SRI cultivation produces more number of productive tillers
(29.6 tillers ) compared to conventional cultivation (17.4 tillers). The yield
harvested-dried grain (7.78 tons ha-1) and milled dried grain yield (6.69 ton
ha-1) at SRI cultivation was significantly higher than conventional
cultivation with harvested-dried frain yield 6.08 tons ha-1 and milled dried
grain yield 5.23 tons ha-1. In the second growing season (ratoon crop), the
growth and yield of short straw cutting (3cm) appeared to be better for both
cultivation than long straw cutting (15 cm). The yield of harvested-dried
grain and milled dried grain yield of 3 cm cutting were 3.86 tons ha-1 and
3.32 ton ha-1 for conventional cultivation systems while at SRI cultivation
were 5.34 tons ha-1 and 4.59 ton ha-1.
Keywords: ratoon, rice cultivation method, length of straw cutting, and
yield

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI RATUN PADI SAWAH
( Oryza sativa L.) YANG DITANAM DENGAN METODE
SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) DI
KELURAHAN SINDANGBARANG, KECAMATAN BOGOR
BARAT, BOGOR, JAWA BARAT


NINDYA AYU UTARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Judul Skripsi : Pertumbuhan dan Produksi Ratun Padi Sawah (Oryza sativa
L.) yang ditanam dengan Metode System of Rice
Intensification (SRI) di Kelurahan Sindangbarang,
Kecamatan Bogor Barat, Bogor, Jawa Barat
Nama

: Nindya Ayu Utari
NIM
: A14090046

Disetujui oleh

Prof. Dr. Ir. Iswandi Anas, M.Sc
Pembimbing I

Dr. Rahayu Widyastuti, M.Sc
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc
Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala karunia-Nya sehingga laporan hasil penelitian (Skripsi) yang berjudul
“Pertumbuhan dan Produksi Ratun Padi Sawah (Oryza sativa L.) yang
ditanam dengan Metode System of Rice Intensification (SRI) di Kelurahan
Sindangbarang, Kecamatan Bogor Barat, Bogor, Jawa Barat” dapat
diselesaikan. Skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan di program
studi Manajemen Sumberdaya Lahan IPB.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada Bapak Prof. Dr. Ir Iswandi Anas, M.Sc selaku dosen pembimbing
pertama sekaligus penyandang dana dalam penelitian ini yang telah
memberikan arahan, nasehat, dan masukan yang berharga selama
berlangsungnya penelitian hingga penyelesaian skripsi. Ucapan terima kasih
juga penulis berikan kepada Ibu Dr. Rahayu Widyastuti, M.Sc selaku dosen
pembimbing kedua atas bimbingan, saran, dan kritik yang berharga selama
berlangsungnya penelitian hingga penyelesaian skripsi. Ungkapan terima
kasih juga disampaikan kepada dosen penguji skripsi, Bapak Dr.Arief
Hartono, M.Sc yang telah memberikan arahan dan masukan demi perbaikan
skripsi ini. Penghargaan penulis berikan kepada kedua orang tua, adik,
teman-teman Ilmu Tanah 46 atas doa, motivasi, saran, dan bantuan yang
telah diberikan kepada penulis.

Saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan dalam
perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat memberikan
kontribusi nyata bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, Sepetember 2015.
Nindya Ayu Utari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ......................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. x
PENDAHULUAN ....................................................................................... 11
Latar Belakang ......................................................................................... 11
Tujuan ........................................................................................................ 2
Hipotesis .................................................................................................... 2
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 3
Tanaman Padi ............................................................................................. 3
Tanah Sawah .............................................................................................. 4
System of Rice Intensification (SRI) ......................................................... 5
Ratun .......................................................................................................... 8
Padi Salibu ................................................................................................. 9

METODE PENELITIAN ............................................................................ 11
Waktu dan Lokasi Penelitian ................................................................... 11
Bahan dan Alat ......................................................................................... 11
Prosedur Penelitian .................................................................................. 11
Penanaman Padi Pertama ..................................................................... 12
Penanaman Padi Ratun ......................................................................... 13
Penetapan Variabel Pertumbuhan dan Komponen Hasil ......................... 14
Analisis Data ............................................................................................ 15
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 16
Tanaman Pertama ..................................................................................... 16
Tanaman Ratun ........................................................................................ 20
SIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 24
Simpulan .................................................................................................. 24
Saran ........................................................................................................ 24
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 25
LAMPIRAN ................................................................................................ 29
RIWAYAT HIDUP ..................................................................................... 36

DAFTAR TABEL
1 Tinggi tanaman padi musim pertama pada umur 56 dan 90 HSS

2 Bobot gabah kering panen, bobot gabah kering giling, dan persentase
gabah hampa tanaman padi musim pertama
3 Tinggi tanaman ratun umur 56 dan 90 Hari Setelah Panen (HSP)
4 Bobot gabah kering panen, bobot gabah kering giling, dan persentase
gabah hampa tanaman ratun
5 Persentase hasil produksi GKG ratun terhadap tanaman musim pertama

16
17
20
21
21

DAFTAR GAMBAR
1 Profil Tanah Sawah menurut Koenings (1950) serta Moorman dan van
Breemen (1978)
2 Tata letak petak penelitian lapang musim tanam pertama
3 Tata letak petak penelitian lapang tanaman ratun

5
13
14

DAFTAR LAMPIRAN
1 Deskripsi karakteristik padi verietas Ciherang (Suprihatno et al. 2007)
2 Kandungan analisis pupuk
3 Analisis awal sifat kimia tanah yang digunakan dalam penelitian di
Kelurahan Sindangbarang
4 Bobot gabah kering panen, bobot gabah kering giling, dan persentase
gabah hampa tanaman ratun
5 Kebutuhan pupuk per perlakuan pada percobaan lapang tanaman ratun (5
ulangan)
6 Rekapitulasi sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap tinggi tanaman
contoh pada musim tanam pertama di Kelurahan Sindangbarang berbasis
hari setelah semai (HSS)
7 Rekapitulasi sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap komponen hasil
pada musim tanam pertama di Kelurahan Sindangbarang
8 Rekapitulasi sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap tinggi tanaman
contoh pada tanaman ratun di Kelurahan Sindangbarang berbasis hari
setelah panen (HSP)
9 Rekapitulasi sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap komponen hasil
pada tanaman ratun di Kelurahan Sindangbarang
10 Pertumbuhan tanaman padi musim tanam pertama
11 Pertumbuhan tanaman ratun padi

29
30
30
30
31

31
32

32
33
34
35

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Padi merupakan komponen utama dalam sistem ketahanan pangan
nasional. Kebutuhan beras yang semakin meningkat saat ini tidak sebanding
dengan produksi padi per hektar dan konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian merupakan penyebab utama rendahnya produksi beras nasional.
Rata-rata peningkatan produksi padi nasional beberapa tahun terakhir masih
rendah yaitu 2.2-2.3 persen per tahun. Indonesia setidaknya harus
menambah ketersediaan beras hingga tujuh juta ton pada 2025-2030 untuk
mengantisipasi penambahan jumlah penduduk (Departemen Pertanian 2009).
Gerakan Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) adalah kegiatan
peningkatan produksi beras disertai penyediaan input sarana dan prasarana
melalui optimalisasi pemanfaatan sumberdaya pertanian, teknologi, dan
kelembagaan. Untuk mengejar kekurangan target produksi tersebut,
Kementerian Pertanian melakukan upaya percepatan dengan cara
peningkatan produktivitas padi, bantuan benih unggul, bantuan langsung
pupuk, irigasi, bantuan alat mesin pertanian serta penyuluh pertanian (Retno
2012).
System of Rice Intensification (SRI) merupakan salah satu sistem
budidaya yang dapat digunakan untuk intensifikasi pertanian. Sistem
budidaya SRI memiliki prinsip yaitu: bibit tanaman dipindahtanamkan
ketika masih sangat muda (7-11 hari), satu bibit per lubang tanam, jarak
tanam longgar 25 cm x 25 cm, sistem irigasi terputus dan tidak tergenang,
dan penggunaan pupuk anorganik sedapat mungkin dikurangi dan
digantikan dengan pupuk organik (Dobermann dan Fairhurst 2004).
Perbedaan antara metode konvensional dan SRI adalah pendekatan SRI
berbentuk paket teknologi yang diyakini dapat diterapkan pada semua
kondisi, komponen teknologi SRI mudah diadopsi petani (Balitbang
Pertanian 2006).
Selain SRI, salah satu upaya peningkatan produktivitas lain adalah
dengan memanfaatkan tanaman kedua (ratoon). Sistem ratun untuk tebu
sudah biasa diterapkan karena produksi ratun tebu yang tidak jauh berbeda
dengan tanaman pertama. Ratun merupakan tunggul-tunggul baru yang
muncul dari tanaman yang telah dipanen . Tunggul-tunggul tersebut
kemudian dipelihara kembali sampai menghasilkan tunas-tunas baru yang
kemudian menjadi tanaman baru (Chauhan et al. 1985). Tanaman ratun
untuk padi selama ini tidak menarik perhatian petani karena produksinya
yang rendah. Di Sumatera Barat telah diterapkan sistem ratun untuk padi
dengan produksi yang menyamai produksi tanaman pertamanya, yang
dikenal dengan Salibu (Erdiman, 2013). Penelitian secara ilmiah mengenai
sistem ratun ini masih terbatas. Faktor yang menentukan keberhasilan ratun
antara lain tinggi pemotongan dan waktu pemotongan batang sisa panen.
Pengurangan biaya bibit/benih, pengolahan tanah dan waktu panen tanaman
ratun dapat meningkatkan produksi per unit luas dan per unit waktu. Hal

2
yang sering dilakukan para petani setelah menanam padi adalah
memberakan lahannya. Akibatnya, nilai produktivitas lahan menjadi
menurun padahal mereka dapat memanfaatkan ratun tersebut (Chauhan et al.
1985).

Tujuan
1. Mempelajari pertumbuhan dan hasil produksi padi musim tanam
pertama dan musim tanam kedua (ratun) pada sistem budidaya
konvensional dengan SRI.
2. Mempelajari pertumbuhan dan hasil produksi ratun padi yang dipotong
3 cm dengan 15 cm.

Hipotesis
1. Pertumbuhan dan produksi padi musim tanam pertama dan musim
tanam kedua (ratun) yang ditanam secara SRI lebih baik dari padi yang
ditanam secara konvensional.
2. Pertumbuhan dan produksi ratun yang dipotong 3 cm lebih baik dari
ratun yang dipotong 15 cm.

TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Padi
Padi (Oryza sativa L.) yang termasuk golongan tumbuhan golongan
tumbuhan Graminae tersebar luas di seluruh dunia dan tumbuh di hampir
semua bagian dunia yang memiliki cukup air dan suhu udara yang cukup
hangat. Padi menyukai tanah yang lembab dan tergenang. Secara umum ciriciri padi adalah sebagai berikut: berakar serabut, daun berbentuk lanset
(sempit memanjang), urat daun sejajar, memiliki pelepah daun, bunga
tersusun sebagai bunga majemuk, serta buah dan biji sulit dibedakan karena
merupakan bulir atau kariopsis (Chang dan Bardenas 1976).
Menurut Yoshida (1981), keseluruhan organ tanaman padi terdiri
dari dua kelompok, yaitu organ vegetatif yang meliputi akar, batang serta
daun dan organ generatif (reproduktif) yang meliputi malai, gabah dan
bunga. Pertumbuhan padi menjadi 3 bagian yakni fase vegetatif, reproduktif
dan pemasakan. Fase vegetatif meliputi pertumbuhan tanaman mulai dari
berkecambah sampai dengan inisiasi primodia malai, fase reproduktif
dimulai dari inisiasi primodia malai sampai berbunga dan fase pemasakan
dimulai dari berbunga sampai masak panen.
Fase reproduktif ditandai dengan memanjangnya ruas teratas pada
batang, yang sebelumnya tertumpuk rapat dekat permukaan tanah. Di
samping itu, fase reproduktif ditandai dengan berkurangnya jumlah anakan,
munculnya daun bendera, bunting dan pembungaan. Fase pemasakan benih
terdiri dari 4 stadia, yaitu stadia masak susu ditandai dengan tanaman padi
yang masih berwarna hijau, malai yang sudah terkulai, ruas batang bawah
terlihat kuning dan jika gabah ditekan dengan jari akan keluar cairan seperti
susu.Selanjutnya stadia masak kuning seluruh tanaman tampak kuning
hanya buku-buku bagian atas yang masih hijau, isi gabah sudah mengeras
tetapi mudah pecah dengan kuku. Selanjutnya stadia masak penuh yang
ditandai dengan buku atas sudah menguning, batang mulai kering da nisi
gabah sukar dipecahkan. Stadia terakhir dalam fase pemasakan benih adalah
stadia mati dimana isi gabah sudah mengeras dan kering, pada varietas yang
mudah rontok pada stadia ini sudah mulai rontok (Yoshida 1981).
Nitrogen, fosfor dan kalium merupakan unsur yang biasa diberikan
sebagai pupuk. Hal ini karena kandungan ketiga unsur tadi dalam tanah
jumlahnya sedikit, sedangkan yang diangkut tanaman tiap tahunnya sangat
banyak. Pengaruh nitrogen bagi tanaman antara lain merangsang
pertumbuhan di atas tanah dan memberikan warna hijau pada daun. Pada
serelia, nitrogen dapat memperbesar bulir-bulir dan persentase protein
(Soepardi 1983). Umumnya nitrogen sangat diperlukan untuk pembentukan
dan pertumbuhan bagian-bagian vagetatif tanaman seperti daun, batang dan
akar namun jika telalu banyak dapat menghambat pembungaan dan
pembuahan tanaman (Sarief 1985).
Kalium merupakan unsur yang sangat penting dalam sintesis dari
asam amino dan protein dari asam-asam ammonium. Adanya kalium
tersedia yang cukup dalam tanah menjamin ketegaran tanaman, membuat

4
tanaman lebih tahan terhadap penyakit dan merangsang pertumbuhan akar.
Unsur ini diperlukan oleh serelia sewaktu pengisian bulirnya. Kalium
cenderung meniadakan pengaruh buruk nitrogen dan dapat mengurangi
kematangan yang dipercepat oleh fosfor (Soepardi 1983). Apabila tidak
disertai dengan kalium yang cukup, efisiensi nitrogen dan fosfor akan
rendah dan produksi yang tinggi tidak mungkin dicapai (Sarief 1985).

Tanah Sawah
Tanah sawah (paddy soil) adalah tanah yang dimanfaatkan atau
berpotensi untuk dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanaman padi sawah
(aquatic rice atau lowland rice). Faktor penting dalam proses pembentukan
profil tanah sawah adalah genangan air di permukaan, dan penggenangan
serta pengeringan yang bergantian. Proses pembentukan profil tanah sawah
meliputi berbagai proses, yaitu (a) proses utama berupa pengaruh kondisi
reduksi-oksidasi yang bergantian; (b) penambahan dan pemindahan bahan
kimia atau partikel tanah; dan (c) perubahan sifat fisik, kimia, dan
mikrobiologi tanah, akibat penggenangan pada tanah kering yang
disawahkan, atau perbaikan drainase pada tanah rawa yang disawahkan.
Secara lebih rinci, proses pembentukan profil tanah sawah meliputi
(a) gleisasi dan eluviasi; (b) pembentukan karatan besi (Fe) dan mangan
(Mn); (c) pembentukan warna kelabu (grayzation); (d) pembentukan selaput
(cutan); (e) penyebaran kembali basa-basa; dan (f) akumulasi dan
dekomposisi bahan organik.
Berdasarkan proses pembentukan profil tanah seperti yang telah
diuraikan, maka terbentuklah profil tanah sawah dengan sifat morfologi
yang berbeda-beda, tergantung dari sifat tanah asalnya. Profil tanah sawah
yang tipikal, atau Aquorizem , yang terbentuk pada tanah kering dengan air
tanah dalam seperti yang dikemukaan oleh Koenings (1950), sedikit berbeda
profil tanah sawah dengan air tanah yang agak dangkal (Moorman dan Van
Breemen 1978) (Gambar 1)
Pada tanah kering dengan air tanah dalam yang disawahkan, akan
terbentuklah susunan horizon sebagai berikut:
1. Lapisan olah yang tereduksi dan tercuci (eluviasi) (Ap);
2. Lapisan tapak bajak (Adg);
3. Horizon iluviasi Fe (Bir) di atas horizon iluviasi Mn (Bmn), yang
sebagian besar teroksidasi;
4. Horizon tanah asal, yang tidak terpengaruh perswahan (Bw, Bt).
5. Horizon terduksi permanen (Cg)
Pengamatan di berbagai tempat di Indonesia menunjukkan bahwa lebih
banyak tanah sawah yang tidak menunjukkan profil tanah yang tipikal
tersebut dibandingkan dengan yang memilikinya. Hal ini disebabkan karena
kebanyakan swah di Indonesia,antara lain, dibuat pada tanah dengan air
tanah yang sangat dangkal, atau lahan rawa yang dikeringkan, penyawahan
yang terus-menerus dilakukan sepanjang tahun, tekstur tanah yang terlalu
kasar atau terlalu halus, tanah yang mengembang mengerut, dan sebagainya.

5

Gambar 1. Profil tanah sawah menurut Koenings (1950) serta Moorman dan
van Breemen (1978)
Karena banyak tanah sawah di Indonesia terdapat di daerah pelembahan
atau dataran aluvial yang terus-menerus tergenang air, baik air hujan, air
luapan sungai atau air tanah dangkal, dan kondisi topografi yang tidak
memungkinkan gerakan air ke bawah solum tana, maka horizon iluviasi Fe
dan Mn ataupun lapisan tapak bajak sulit terbentuk. Demikian juga, tekstur
tanah yang terlalu kasar atau halus , atau adanya sifat tanah mengembang
dan mengerut, menghalangi pembentukan horizon-horizon tersebut.

System of Rice Intensification (SRI)
SRI merupakan suatu usaha tani padi sawah irigasi yang dilakukan
secara intensif dan efisien dalam pengelolaan tanah, tanaman dan air melalui
pemberdayaan kelompok dan kearifan lokal serta berbasis pada kaidah
ramah lingkungan. Selain itu SRI juga dapat dikatakan sebagai suatu model
cara penanaman padi yang mengutamakan perakaran yang berbasis pada
pengolahan tanah, tanaman dan air dengan tetap menjaga produktivitas dan
mengedepankan nilai ekonomis (Setiadjie dan Wardana 2008). Budidaya ini
berasal dari Madagaskar antara tahun 1983 dan 1984 oleh Fr. Henri de
Laulanie, seorang Pastor Jesuit asal Perancis. Di Indonesia SRI telah
diterapkan di Jawa, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara
Timur, Sulawesi, Kalimantan dan Papua (Setiadjie dan Wardana 2008). Di
Indonesia uji coba budidaya SRI pertama kali dilaksanakan oleh Lembaga
Penelitian dan Pengembangan Pertanian Sukamandi, Jawa Barat dengan
hasil 6.2 ton ha-1 pada musim kemarau 1999, dan 8.2 ton ha-1 pada musim
hujan 1999/2000. Tahun 2006, di Jawa Barat, SRI telah diterapkan di lahan
seluas 749 ha oleh 3200 petani dengan hasil 7.85 ton ha-1 (Sato dan Uphoff
2007). Sementara itu pada tahun 2006 kegiatan validasi pengaruh SRI telah
di uji coba di 20 negara lain dengan hasil positif (Setiadjie dan Wardana
2008).

6
Menurut Berkelaar (2001), terdapat beberapa komponen penting
dalam SRI ,yaitu:
a. Penggunaan bibit yang lebih muda. Bibit padi dipindahtanamkan
saat dua daun telah muncul pada batang muda, biasanya saat
berumur 8-15 hari. Penyemaian bibit dilakukan dalam petakan
khusus dengan menjaga tanah tetap lembab dan tidak tergenang air.
Pada saat pindah tanam dari petak semaian ke lahan sawah dilakukan
secara hati-hati serta dijaga kelembabannya. Sisa benih yang telah
berkecambah dibiarkan agar tetap menempel dengan akar tunas,
karena merupakan sumber energi bagi bibit muda. Pindah tanam
bibit dilakukan secepat mungkin tidak lebih dari setengah jam. Saat
penanaman bibit di lahan dilakukan secara dangkal 1-2 cm dengan
posisi akar membentuk huruf L (horizontal) karena ujung akar
membutuhkan keleluasaan untuk tumbuh. Pemindahtanaman bibit
yang masih muda secara hati-hati dapat mengurangi guncangan dan
meningkatkan kemampuan tanaman dalam memproduksi batang dan
akar selama tahap pertumbuhan vegetatif, lebih banyak batang yang
muncul dalam satu rumpun, dan akan menghasilkan bulir padi yang
lebih banyak setiap malainya.
b. Penanaman bibit tunggal. Hal ini dilakukan agar tanaman memiliki
ruang untuk menyebar dan memperdalam perakaran. Tanaman tidak
bersaing terlalu ketat untuk memperoleh ruang tumbuh, cahaya, dan
nutrisi dalam tanah sehinggga sistem perakaran menjadi sangat baik.
c. Jarak tanam lebar. Bibit yang ditanam dalam pola luasan yang cukup
lebar dari segala arah akan lebih baik dibandingkan dengan bibit
yang ditanam di baris yang sempit. Biasanya jarak minimal SRI
adalah 25 cm x 25 cm. Pada prinsipnya tanaman harus mendapat
ruang cukup untuk tumbuh. Jarak tanam yang lebar akan memberi
kemungkinan lebih besar kepada akar untuk tumbuh leluasa.
Budidaya SRI membutuhkan benih yang jauh lebih sedikit yaitu 7 kg
ha-1 dibandingkan budidaya konvensional.
d. Kondisi tanah lembab. Tanah dijaga agar tetap lembab selama tahap
vegetatif, untuk memungkinkan lebih banyak oksigen bagi
pertumbuhan akar. Kondisi tanah tidak tergenang selama
pertumbuhan vegetatif, selanjutnya setelah pembungaan sawah
digenangi setinggi 2 cm. Petak sawah mulai dikeringkan saat 25 hari
sebelum panen.
Menurut Uphoff dan Fernandes (2003), keuntungan penerapan
budidaya SRI antara lain:

7
1. Memiliki hasil panen yang lebih tinggi (peningkatannya mencapai
50-200 % dengan hasil 4-8 ton ha-1, tetapi hasil di atas 10 ton ha-1
juga sering kali dilaporkan).
2. Hasil kerja yang lebih efisien (dengan produksi lebih tinggi per hari
kerja).
3. Penghematan air sampai dengan 50 %.
4. Perbaikan mutu tanah dan pemakaian pupuk yang lebih efisien (baik
organik maupun anorganik).
5. Kebutuhan benih yang lebih sedikit hanya memerlukan benih
sekitar 5-10 kg ha-1 atau 5-10 kali lipat lebih sedikit dari jumlah
yang biasa digunakan.
6. Kebutuhan atas input yang digunakan lebih sedikit (biaya produksi
atau input yang digunakan lebih sedikit tentu menyumbang
pendapatan yang lebih tinggi bagi para petani).
7. Mutu benih yang lebih bagus (ketersediaan benih unggul lebih cepat
karena jauh lebih banyak benih yang dapat dihasilkan oleh satu
tanaman saja).
8. Diversifikasi produksi (untuk menghasilkan jumlah padi yang sama,
lahan yang digunakan lebih sedikit, sehingga tanah sisa dapat
dipakai lagi untuk menghasilkan pupuk hijau atau tanaman lain yang
nilainya lebih tinggi).
9. Keuntungan bagi lingkungan hidup (sebagai dampak berkurangnya
kebutuhan air dan pemakaian pupuk anorganik dan pestisida).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hidayati (2015), metode
SRI dspat meningkatkan laju fotosintesis, kandungan klorofil, serapan
nitrogen dan fosfor, rambut akar sebesar 59.9%, dan potensial redoks (Eh)
tanah. Perbedaan fisiologi, anatomi padi dan perakaran pada tanaman padi
dengan metode SRI mempengaruhi pertumbuhan vegetatif dan generatif
tanaman padi. Pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman padi yang
dibudidayakan dengan metode SRI lebih tinggi dibandingkan dengan
metode konvensional. Pertumbuhan yang lebih baik pada tanaman padi
dengan metode SRI menghasilkan gabah sebesar 24% lebih tinggi dari
metode konvensional., SRI juga memiliki beberapa tantangan, yaitu: 1.)
Perlu kontrol pengairan yang lebih baik dari sistem budidaya konvensional
(memungkinkan penambahan volume air yang telah berkurang apabila
diperlukan demi mempertahankan kelembaban tanah tanpa mencapai titik
jenuhnya) 2.) Petani yang tidak mempunyai kontrol atas pengairan atau
tidak mempunyai akses kepada air yang dapat diatur, akan mendapakan
keuntungan yang lebih sedikit 3.) Keperluan tenaga kerja yang lebih banyak
4.) Perubahan kebiasaan-kebiasaan petani yang drastis yang sering tidak
diterima oleh para petani, peneliti atau pemerintah 5.) Tuntutan kepada para
petani agar lebih terampil (petani diharapkan menerapkan prinsip SRI pada
kondisi mereka sendiri berdasarkan uji coba dan evaluasi mereka sendiri).
Sebenarnya hal ini tentu bisa menyumbang pada perkembangan sumber

8
daya manusia, yang merupakan keuntungan dan bukan dilihat sebagai
kerugian semata. (Uphoff dan Fernandes 2003).

Ratun
Morfologi dari tanaman ratun (ratoon) atau tanaman yang pangkal
batangnya dibiarkan tumbuh menjadi tanaman baru setelah dipanen sangat
berbeda tanaman non-ratoon. Biasanya, tinggi tanaman sangat rendah dan
cabang muda yang efektif lebih sedikit pada ratun jika dibandingkan dengan
tanaman lainnya. Namun, sebagian tanaman penghasil jenis ratun
mempunyai total produksi cabang muda yang lebih besar daripada tanaman
non-ratun. Ratun juga mengembangbiakkan banyak cabang yang tidak
produktif dan tunas yang muncul dari ketiak daun yang mengandung
aktivitas metabolik saat proses pengisian bulir padi (Sun et al. 1988).
Tunas yang muncul dari ketiak daun akan berkembang pada bagian
cabang, dan akan terus tumbuh hingga menjadi cabang ratun. Cabang muda
tumbuh dari ruas cabang yang lebih tinggi serta berkembang dan matang
lebih cepat. Ruas cabang biasanya juga memiliki jumlah daun yang lebih
sedikit. Malai ratun berasal dari bonggol yang lebih rendah yang
memproduksi lebih banyak butir padi per malai daripada yang diproduksi
oleh ruas cabang yang lebih tinggi, tetapi dengan persentase pengisian yang
lebih rendah. Malai yang berasal dari ruas cabang yang lebih tinggi akan
memberikan kontribusi lebih banyak terhadap produksi butir pada ratun jika
dibandingkan dengan hasil yang diperoleh ruas cabang yang lebih rendah
(Sun et al., 1988).
Varietas yang berbeda akan memproduksi cabang ratun yang
berbeda pula. Beberapa cabang tumbuh dari ruas muda pada pangkal
tunggul jerami, sedangkan yang lainnya dibentuk dari ruas yang lebih muda,
tepatnya pada ruas ketiga. Hal tersebut menunjukkan bahwa tanaman ratun
akan memproduksi lebih baik jika tunggul utamanya terdiri dari 2-3 cabang
muda. Cabang yang berasal dari ruas yang lebih tinggi dengan perbandingan
C/N yang lebih tinggi, akan bereaksi seperti benih yang sudah tua.
Sebaliknya, cabang dari ruas yang paling rendah dengan kondisi C/N yang
rendah juga mempunyai karakteristik benih muda (Chauhan et al., 1985).
Menurut Chauhan et al. (1985), tinggi tunggul menunjukkan jumlah
tunas yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh kembali. Pengaruh dari
tinggi ini akan bervariasi. Sebagian varietas akan memproduksi ratun dari
ruas yang lebih tinggi sedangkan yang lainnya memproduksi dari ratun pada
posisi terbawah yang tidak terkena proses pemotongan.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Quddus dan Pendleton (1983),
tanaman pertama dipanen dengan memotong 5 cm dan 15 cm di atas
permukaan tanah, serta dengan menggunakan ani-ani (diambil malainya
saja). Pemotongan ini tidak banyak mempengaruhi nilai produksi, tetapi
pada tinggi pemotongan 5 cm, dihasilkan persentase hasil yang cukup tinggi
terhadap hilangnya hills (rumpun), jiika dibandingkan dengan tinggi
pemotongan 15 cm atau penggunaan ani-ani. Pada tinggi pemotongan 5 cm
juga diperoleh jumlah bulir per hill lebih sedikit daripada perlakuan yang

9
lain, tetapi dengan pertumbuhan ratun yang lebih sehat, bobot bulir yang
lebih berat, serta masa pematangan yang lebih panjang jika dibandingkan
dengan yang lain.
Mahadevappa et al. (1986), menyatakan bahwa pada waktu
pemanenan ratoon ( dilakukan pada umur sekitar 70 hari setelah panen
tanaman utama) dari varietas Intan yang dipotong pada ketinggian 8-10 cm
di atas permukaan tanah, dari sejumlah 742 anakan (46 rumpun), terdapat
360 anakan yang sudah masak (48%, 315 anakan dalam tahap pembungaan
(42.5%), dan 67 anakan masih dalam masa pertumbuhan vegetatif (9.0%).
Dari data didapat rata-rata 8 anakan per rumpun dalam kondisi masak serta
nilai produksi ratoon mencapai 3.6 ton ha-1.

Padi Salibu
Budidaya padi salibu (ratun yang dimodifikasi) dapat memacu
peningkatan produksi dengan meningkatkan indeks panen (IP). Padi salibu
adalah tanaman padi yang tumbuh lagi setelah batang sisa panen
ditebas/dipangkas, tunas akan muncul dari buku yang ada di dalam tanah
tunas ini akan mengeluarkan akar baru sehingga suplai hara tidak lagi
tergantung pada batang lama, tunas ini bisa membelah atau bertunas lagi
seperti padi tanaman pindah biasa, inilah yang membuat pertumbuhan dan
produksinya sama atau lebih tinggi dibanding tanaman pertama (ibunya).
Ratun adalah padi yang tumbuh dari batang sisa panen tanpa dilakukan
pemangkasan batang, tunas akan muncul pada buku paling atas, suplai hara
tetap dari batang lama. (Erdiman, 2013)
Pertumbuhan tunas setelah dipotong sangat dipengaruhi oleh
ketersediaan air tanah, dan pada saat panen sebaiknya kondisi air tanah
dalam keadaan kapasitas lapang. Untuk menimbang kebutuhan unsur hara
pada masa pertumbuhan anakan, padi salibu perlu pemupukan yang cukup
terutama hara nitrogen. Unsur nitrogen merupakan komponen utama dalam
sintesis protein, sehingga sangat dibutuhkan untuk fase vegetatif tanaman,
khususnya dalam proses pembelahan sel . Tanaman yang cukup
mendapatkan nitrogen memperlihatkan daun yang hijau tua dan lebar,
fotosintesis berjalan dengan baik, unsur nitrogen adalah faktor penting
untuk produktivitas tanaman.
Hasil uji coba padi salibu pada beberapa daerah di Sumatera Barat
cukup bagus antara lain: di Nagari Pauh, Kecamatan Matur, Kabupaten
Agam hasil (7.2 ton ha-1) meningkat 20% dibanding tanaman pertamanya, di
Lima Kaum Kabupaten Tanah Datar hasil (6.4 ton ha-1) meningkat 10-15%
dibanding tanaman pertama. Di daerah ini sudah ada petani yang
mensalibukan padinya lebih 2 kali, berarti 1 kali tanam telah 3 kali panen,
hasilnya tetap stabil, di Koto Nan Ampek Payakumbuh hasil padi salibu
juga sama dengan tanaman pertamanya.
Budidaya padi salibu meningkatkan indeks panen (IP), karena waktu
produksi menjadi lebih pendek, hanya membutuhkan 80-90% waktu
dibandingkan tanaman utamanya. Hal ini akan meningkatkan IP berkisar
0,5-1/tahun, meningkatkan produktivitas: 3-6 ton gabah/ha/tahun setara Rp.

10
12-24 juta/ha/tahun. Secara ekonomis budidaya salibu menghemat biaya
60% untuk pekerjaan persiapan lahan dan menanam, 30% untuk biaya
produksi, hal ini menekan biaya setara Rp 2-3 juta ha-1 sekali panen.
Budidaya padi salibu akan lebih ekonomis sekitar 45% dibanding budidaya
tanam pindah, hal inilah yang meningkatkan pendapatan petani (Erdiman,
2013).

METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan dari bulan September 2013 hingga Maret
2014. Lokasi penelitian bertempat di Kelurahan Sindangbarang, Kecamatan
Bogor Barat, Kota Bogor. Musim tanam I dilaksanakan mulai dari bulan
September 2013-Desember 2013, sedangkan musim tanam II (tanaman
ratun) dilaksanakan mulai dari Desember 2013 hingga Maret 2014.
Penelitian laboratorium dan analisis sifat kimia dan fisik tanah dilakukan di
Laboratorium Bioteknologi Tanah dan Laboratorium Kimia dan Kesuburan
Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah benih padi varietas Ciherang yang
diperoleh dari Balai Besar Penelitian Padi Muara, contoh tanah untuk
analisis tanah (disajikan pada Lampiran 3), pupuk urea (46.77% N), KCl
(60.73% K2O), dan SP-36 (36.48% P2O5). Alat yang digunakan dalam
penelitian lapang adalah cangkul, meteran, timbangan serta alat-alat
laboratorium untuk analisis tanah dan alat-alat lain yang diperlukan dalam
penelitian.

Prosedur Penelitian
Analisis tanah digunakan untuk mengetahui kondisi kesuburan tanah
yang terdiri atas analisis sifat kimia dan sifat fisika tanah,dilakukan satu kali
pada saat sebelum tanam. Pengambilan tanah di lapang dilakukan secara
komposit setelah pembuatan petak penelitian selesai. Contoh tanah diambil
dari lima titik yang berbeda pada setiap petak dengan kedalaman 0-20 cm
untuk memperkecil keragaman dari areal yang mewakili. Hasil analisis awal
sifat kimia tanah di Kelurahan Sindangbarang dilakukan di Laboratorium
Kimia dan Kesuburan Tanah yang disajikan pada Lampiran 3.
Pelaksanaan Penelitian Lapang
Penelitian lapang dirancang berdasarkan Rancangan Acak Kelompok
(RAK) dengan dua faktor dan lima ulangan. Faktor pertama adalah sistem
budidaya terdiri atas sistem budidaya konvensional (M0) dan sistem
budidaya SRI (M1). Faktor kedua adalah tinggi pemotongan yang terdiri
atas 3 cm (T0) dan 15 cm (T1). Jumlah satuan percobaan adalah 20 satuan
percobaan.

12
Penanaman Padi Pertama
1). Persiapan Lahan dan Pengolahan Tanah
Pengolahan tanah dilakukan 2 minggu sebelum penanaman dengan
cara pembajakan, pembalikan tanah dan pelumpuran. Lahan tersebut
selanjutnya dibuat petak percobaan masing-masing berukuran 4m x 5m.
Pengaturan air dibuat sedemikian rupa mulai dari air masuk ke lokasi
penelitian sampai air keluar sehingga air yang keluar dari setiap petak
percobaan tidak dapat masuk kembali, seperti pada Gambar 1. Untuk
menghindari tercampurnya air dari satu petakan dengan petakan lainnya
dibuat pematang dengan lebar 50 cm. Pengaturan air pada setiap petakan
percobaan dilakukan dengan menggunakan paralon dan knee (belokan pipa)
untuk mengukur dan mengontrol ketinggian air.
2). Persemaian
Seleksi benih dilakukan dengan cara merendam benih ke dalam air.
Benih yang tenggelam adalah benih yang akan disemai. Benih selanjutnya
dicuci dan direndam selama satu malam. Benih yang telah direndam
selanjutnya ditiriskan dan diperam selama 2 hari hingga berkecambah.
Persemaian padi konvensional dan SRI dilakukan secara bersamaan
sedangkan waktu tanamnya berbeda sehingga perbandingan umur tanaman
pada kedua sistem budidaya tersebut sama. Penyemaian benih untuk
budidaya padi konvensional dilakukan dengan menyebar benih yang telah
berkecambah secara langsung di lahan sedangkan budidaya SRI dilakukan
di nampan.
3). Penanaman
Penanaman padi konvensional dilakukan pada waktu umur bibit 25
hari setelah semai (HSS), jarak tanam 20 cm x 20 cm sebanyak 3 bibit per
lubang tanam. Penanaman padi SRI dilakukan pada waktu umur bibit 10
hari setelah semai (HSS), jarak tanam 25 cm x 25 cm sebanyak satu bibit
per lubang tanam dan dangkal 2 cm, serta posisi akar membentuk huruf L
(horizontal).
4). Pengairan
Pengairan budidaya padi konvensional dilakukan secara kontinu
dengan ketinggian air 5cm. Pada saat pindah tanam patakan sawah mulai
digenangi pada hari ke-5 setelah tanam untuk menghindari hama keong.
Pengairan padi budidaya SRI diatur sampai tanah mencapai kondisi lembab
tetapi tidak tergenang selama waktu pertumbuhannya. Pengairan dihentikan
pada saat satu minggu menjelang panen.
5). Pemupukan
Pupuk untuk tanaman pertama diberikan dengan dosis 250 kg Urea,
150 kg SP-36 dan 100 kg KCl per hektar sesuai rekomendasi di lokasi
setempat. Pemberian pupuk dilakukan sebanyak dua kali yaitu setengah
dosis urea, seluruh dosis SP-36 dan KCl diberikan pada 25 HST, sedangkan
sisa setengah dosis urea diberikan pada saat tanaman berumur 40 HST. Cara
aplikasi ditebar secara merata pada setiap petakan. Pada budidaya
konvensional, air keluar ditutup agar tidak terjadi pencucian hara.
6). Pemeliharaan
Pemeliharaan tanaman meliputi: penyulaman, penyiangan, dan
pengendalian hama penyakit. Penyulaman dilakukan sampai dengan 14 HST,

13
bibit yang digunakan untuk penyulaman adalah bibit cadangan yang telah
ditempatkan di masing-masing petak percobaan. Penyiangan gulma
dilakukan dengan menggunakan landak. Pada budidaya SRI dilakukan
sebanyak 4 kali yaitu pada saat 10, 20, 30 dan 40 HST, sedangkan pada
budidaya konvensional penyiangan dilakukan sebanyak 2 kali yaitu pada
saat 20 dan 40 HST. Pengendalian hama keong mas (Pomacea canaliculata
lamarck) dilakukan secara manual baik dengan menggunakan tangan
maupun memakai jebakan daun-daunan. Menjelang panen pengendalian
serangan burung dilakukan dengan menggunakan jaring.
7). Panen
Tanaman pertama dipanen pada umur 100 hari setelah semai.
Tanaman yang memasuki masa panen diamati terlebih dahulu baik pada fase
vegetatif maupun fase generatifnya. Pemanenan dilakukan dengan
memangkas batang padi dengan ketinggian ± 20 cm dari permukaan tanah.

Gambar 2 Tata letak petak penelitian lapang musim tanam pertama

Penanaman Padi Ratun
Pada tanaman ratun perlakuan pemotongan dilakukan saat 7 hari
setelah panen (7 HSP). Penjarangan dan dan penyulaman tanaman ratun saat
10-15 HSP dilakukan dengan memindahkan tanaman yang memiliki jumlah
anakan banyak ke tanaman yang tidak tumbuh anakan baru. Tanah dijaga
tetap lembab hingga 21 HSP. Pemupukan ratun dengan dosis 250 kg Urea,
75 kg SP-36 dan 50 kg KCl per hektar dilakukan sebanyak dua kali yaitu
setengah dosis urea, seluruh dosis SP-36 dan KCl diberikan pada 25 hari
setelah panen (HSP), sedangkan sisa setengah dosis urea diberikan pada saat

14
tanaman berumur 40 HSP. Perlakuan menurut sistem budidaya
konvensional maupun SRI dilakukan mulai minggu ke 4 stelah panen.
Pemeliharaan ratun dilakukan dengan penyiangan gulma dan penggemburan
tanah secara berkala. Panen tanaman ratun dilakukan pada umur 100 hari
setelah panen (HSP). Tata letak plot-plot percobaan tanaman ratun disajikan
pada Gambar 2.

Gambar 3 Tata letak petak penelitian lapang tanaman ratun

Penetapan Variabel Pertumbuhan dan Komponen Hasil
Penetapan variabel pertumbuhan tanaman pertama dan ratun
dilaksanakan melalui pengamatan parameter tinggi tanaman yang diamati
sebanyak dua kali, yaitu pada umur 56 hari setelah semai (HSS), 90 HSS, 56
hari setelah panen (HSP), dan 90 HSP. Penetapan variabel produksi
tanaman pertama dan ratun dilaksanakan saat panen berlangsung. Parameter
yang diamati meliputi jumlah anakan produktif, bobot GKP dan bobot GKP .
Penetapan komponen hasil dilakukan pada tanaman contoh. Sementara itu
dilakukan pula penetapan variabel produksi dengan membuat ubinan seluas
2.5 m x 2.5 m (Konvensional sebanyak 144 rumpun, sedangkan SRI
sebanyak 100 rumpun) yang seluruhnya dikonversi ke dalam satuan ton ha-1.

15

Analisis Data
Analisis statistik untuk mengevaluasi pengaruh perlakuan
menggunakan uji ANOVA dan apabila hasil berpengaruh nyata, selanjutnya
akan dilakukan analisis lanjutan dengan menggunakan Duncan’s Multiple
Range Test (DMRT) atau uji wilayah Duncan pada taraf α = 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Tanaman Pertama
Berdasarkan pengamatan tinggi tanaman padi musim pertama pada
umur 56 dan 90 HSS, terlihat bahwa pada Tabel 1 bahwa tinggi tanaman
budidaya SRI pada umur 56 HSS lebih tinggi dibandingkan dengan sistem
budidaya konvensional pada umur yang sama. Hal ini dikarenakan pada
sistem budidaya konvensional, tanaman baru ditanam setelah 25 hari semai,
sedangkan sistem budidaya SRI sudah ditanam lebih dahulu yaitu pada
umur 10 hari semai sehingga memiliki waktu yang lebih lama untuk
beradaptasi. Pada 90 hari setelah setelah semai (90 HSS) tinggi tanaman
pada perlakuan konvensional tidak berbeda nyata dengan budidaya SRI.
Tinggi tanaman pada konvensional dapat menyamai tinggi tanaman SRI
karena fase pertumbuhan vegetatif telah berakhir dan mulai memasuki fase
pertumbuhan generatif.
Tabel 1 Tinggi tanaman padi musim pertama pada umur 56 dan 90 HSS
Tinggi Tanaman
Perlakuan
Jumlah Anakan Produktif
56 HSS
90 HSS
. . . . . . cm . . . . . .
. . anakan rumpun -1 . .
Konvensional 53.10b
106.20
17.40b
SRI
59.96a
105.76
29.60a
a

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf 0.05 berdasarkan uji Duncan

Anakan yang menghasilkan malai disebut anakan produktif. Jumlah
anakan produktif dipengaruhi oleh jarak tanam, jumlah bibit, dan umur bibit
tanaman. Jarak tanam yang relatif sempit pada budidaya konvensional
seluas 20 cm x 20 cm, sebanyak 3 bibit per lubang tanam, dan umur
persemaian yang mencapai usia 25 hari (tua) menyebabkan sistem perakaran
bersaing dalam memperebutkan nutrisi dan sinar matahari dengan banyak
sistem perakaran disekitarnya sehingga tanaman kesulitan dalam mencukupi
kebutuhan haranya. Hal tersebut yang menyebabkan anakan produktif pada
sistem konvensional lebih rendah dibanding dengan sistem SRI yang
ditunjukkan pada Tabel 1. Budidaya SRI menggunakan bibit yang ditanam
tunggal yang dapat menyebabkan tanaman memiliki ruang untuk menyebar
dan memperdalam perakaran. Tanaman tidak bersaing terlalu ketat untuk
memperoleh ruang tumbuh, cahaya, dan nutrisi dalam tanah sehingga sistem
perakaran menjadi baik. Jarak tanam yang lebar memberi kemungkinan
lebih besar kepada akar untuk tumbuh leluasa, tanaman juga akan menyerap
lebih banyak menyerap sinar matahari, udara, dan nutrisi. Hasilnya akar dan
batang akan tumbuh lebih baik serta jumlah anakan lebih banyak. Sumardi
et al. (2007) menyatakan bahwa kondisi perakaran yang baik tidak hanya
tampak pada morfologi saja tetapi juga terekspresi pada bagian atas tanaman,
seperti jumlah anakan, tinggi tanaman, dan persentase anakan produktif,

17
ketiga parameter tersebut merupakan indikator yang paling kuat untuk
melihat hasil gabah per rumpun.
Berdasarkan uji lanjut Duncan yang disajikan pada Tabel 2
menunjukkan bahwa tanaman musim pertama, sistem budidaya SRI
menghasilkan bobot gabah kering panen dan bobot gabah kering giling lebih
tinggi (kadar air 14%) 27.90% dibandingkan dengan sistem budidaya
konvensional. Persentase gabah hampa antar kedua perlakuan tidak berbeda
nyata walaupun rataan persentase gabah hampa pada metode konvensional
sedikit lebih besar dibanding kan metode SRI.
Tabel 2

Bobot gabah kering panen, bobot gabah kering giling, dan
persentase gabah hampa tanaman padi musim pertama
Persentase Gabah
Perlakuan
Bobot GKP
Bobot GKG
Hampa
-1
. . . . . . . ton ha . . . . . . .
...%...
Konvensional
6.08b
5.23b
23.80
SRI
7.78a
6.69a
23.04
a

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf 0.05 berdasarkan uji Duncan

Peningkatan serapan hara N dan P metode konvensional jauh lebih
kecil dibandingkan dengan metode SRI sebagai respon aplikasi pupuk NPK
bisa disebabkan oleh kondisi rizosfer tanaman padi konvensional yang
cenderung anaerob, sehingga menyebabkan serapan unsur-unsur hara
kurang optimal. Tanaman padi sawah tidak menghendaki kondisi anaerob
pada media pertumbuhannya, namun tanaman ini toleran terhadap kondisi
anaerob tersebut. Pada kondisi jenuh air, tanaman sulit mendapatkan O2
sehingga tanaman menyiasatinya dengan membentuk jaringan aerenchym.
Semakin lama tanaman padi tumbuh pada kondisi anaerob maka akan
semakin banyak dan semakin besar aerenchym yang terbentuk. Apabila
jaringan aerenchym yang terbentuk semakin banyak, maka akan
mengganggu proses penyerapan hara dan air oleh akar tanaman (Sumardi
2007).
Tanah yang lembab pada metode SRI dapat memberi aerasi yang
baik di sekitar perakaran. Kondisi pertumbuhan yang menguntungkan pada
metode SRI ini memungkinkan banyak phyllochron dari tanaman padi
berkembang membentuk anakan sebelum fase pembungaan, sehingga
menghasilkan lebih banyak anakan dan sistem perakaran lebih luas daripada
metode konvensional. Tanah jenuh adalah tanah yang semua pori-porinya
terisi oleh air (Wraith dan Or 2001). Selain itu, kekuatan pendorong utama
dari transpirasi adalah gradien potensial air antara ruang dalam stomata dan
atmosfer udara (potensial air udara). Oleh karena itu, kondisi tanah yang
tergenang terus menerus pada metode konvensional telah dianggap sebagai
pemborosan air karena penggunaan air yang berlebihan melebihi kebutuhan
tanaman padi. Hal tersebut juga didukung oleh pernyataan Ndiiri et al.
(2012) bahwa metode SRI lebih efisien dalam menggunakan air
dibandingkan dengan metode konvensional.

18
Tanah yang lembap dan jarak tanam yang lebar pada metode SRI
membuat akar tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal
karena akar teraerasi dengan baik. Akar padi pada metode SRI lebih panjang
dibanding metode konvensional karena kelembaban tanah dan aerasi tanah
yang baik pada metode SRI memiliki dampak besar pada pertumbuhan akar,
viabilitas akar, dan akhirnya berpengaruh juga pada pertumbuhan tanaman
(Huang 1999).
Nilai Eh tanah yang rendah mengindikasikan bahwa tanah tersebut
bersifat reduktif (Mer dan Roger 2001). Semakin lama tanah tergenang
maka nilai Eh tanah akan semakin turun. Nilai potensial redoks tanah (Eh)
pada metode konvensional dan metode SRI pada saat umur tanaman padi 55
HSS berturut-turut -210.1 mV dan -149.4 mV, sedangkan pada saat umur
tanaman padi 70 HSS nilai potensial redoks tan