PENGARUH TERAPI MUROTTAL SURAT AL-MULK TERHADAP KUALITAS TINGKAH LAKU ANAK AUTIS DI SEKOLAH LUAR BIASA NEGERI 01 BANTUL YOGYAKARTA

(1)

KARYA TULIS ILMIAH

PENGARUH TERAPI MUROTTAL SURAT AL-MULK TERHADAP KUALITAS TINGKAH LAKU ANAK AUTIS DI SEKOLAH LUAR BIASA

NEGERI 01 BANTUL YOGYAKARTA

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagiansyarat Memperoleh Derajat Sarjana Keperawatan pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kedokteran Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta

Evi Novita Sari 20120320102

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(2)

Mama Unirah tercinta Ayahanda Eman tersayang A Yogi Wiguna dan Teh Susi Qoriah Keponakan Ardi Setiawan dan Asifa Nisa Wiguna

Alm. Aki suhandi dan Almh. Emak icih Alm. Aki Isna dan Almh. Emah Hana

Almh. Mi Atnah

Mang Sariman dan mang Nanak serta

Ibu Romdzati selaku pembimbing yang saya hormati Ibu Zulkhah selaku penguji yang saya hormati

Anak-anak autis yang saya banggakan dan

Teh Ririz Arisqia

Sahabat Tercinta Seli Febriyanti

Terima kasih Mama, terima kasih ayah atas semua cinta, dukungan dan doanya. Tanpa kalian berdua anakmu bukanlah apa-apa.


(3)

KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang sudah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal yang berjudul: “Pengaruh Terapi Murottal Surat Al-Mulk Terhadap Tingkah Laku Pada Anak Autis di Sekolah Luar Biasa Negeri 01 Bantul Yogyakarta Tahun 2016” tanpa kesulitan yang berarti.

Proposal disusun sebagai salah satu syarat mencapai sebutan persyaratan kelulusan S1 Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. Proposal ini tidak akan dapat diselesaikan dengan baik tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada :

1. dr Ardi Pramono Sp. An., M. Kes., Selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

2. Sri Sumaryani, M. Kep., Ns., Sp.Mat., selaku ketua Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengadakan dan menyusun Karya Tulis Ilmiah.

3. Shanti Wardaningsih., M.Kep., Ns., Sp.Kep.J., PhD., selaku koordinator Karya Tulis Ilmiah (KTI) Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta .


(4)

5. drh Zulkhah Noor, M.Kes, selaku penguji yang telah banyak memberikan saran dan masukan dan sudah meluangkan waktu untuk menguji.

6. Seluruh staf dan siswa Sekolah Luar Biasa Bina Negeri 01 Bantul Yogyakarta yang telah memberikan izin tempat dan bantuan dalam penelitian ini.

7. Keluarga yang senantiasa selalu memberikan dukungan moril, spiritual, serta materi sehingga memperlancar tersusunnya penelitian ini.

8. Sahabatan dan saudara yang selalu membantu dan mendoakan.

9. Teman-teman yang satu payungan di proposal ini yaitu Mega Nurul Anah, Desi Hapsari dan Yurika Chendy yang selalu membantu, terima kasih atas dukungan dan kerjasamanya .

10.Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan serta kelemahannya, untuk penulis tetap mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dan semoga proposal ini bermanfaat.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.

Yogyakarta, 27 Agustus 2016


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

INTISARI ... xi

ABSTRACT ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Keaslian Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10

A. Tinjauan Pustaka ... 10

B. Kerangka Konsep . ……… 38

C. Hipotesis ... 39

BAB III METODE PENELITIAN ... 40

A. Desain Penelitian ... 40

B. Populasi dan Sampel Penelitian ... 40

C. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 43

D. Variabel Penelitian ... 43

E. Definisi Operasional ... 44

F. Instrumen Penelitian ... 46

G. Cara Pengumpulan Data ... 48

H. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 51

I. Metode Pengumpulan Sampel ... 53

J. Analisa Data ... 53


(6)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 79 A. Kesimpulan ... 79 B. Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(7)

DAFTAR GAMBAR

Halaman


(8)

Gambar 1. Tabel Variabel penelitian dan Definisi Oprasional ... 52 Gambar 4.1. Tabel Karakteristik Responden ... 53 Gambar 4.2. Tabel Rerata Hasil Pre-Test Dan Post-Test Tingkah Laku ... 53 Gambar 4.3. Tabel Pre-Post Test dan Uji Statistik Kualitas Tingkah Laku .... 54


(9)

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Surat permohonan ijin studi pendahuluan Lampiran 2. Surat permohonan ijin penelitian

Lampiran 3. Surat uji validitas Lampiran 4. Surat ijin BAPEDA Lampiran 5. Surat ETIK

Lampiran 6. Surat tembusan BAPEDA

Lampiran 7. Surat permohonan menjadi responden Lampiran 8. Inform concent

Lampiran 9. Instrument ATEC Lampiran 10. Olah data


(10)

(11)

(12)

Purpose : This study aimed to determine the effect of therapy murottal Al-Mulk toward the quality of the behavior of children with autism.

Method : This research uses the Method Pre-Eksperiment with the design Pre-Post Test in a group of (one group pra-post design). Sample research consisting of 12 students autism to school in SLB land 01 Bantul Yogyakarta .With therapy murottal Al-Mulk for 10 times and every day therapy with duration for 09 minutes 45 seconds. Quality assessments of behavior measured by the questionnaire Autism Treatment Evaluation Checklist (ATEC). Data analyzed by Simple Paired T Test.

Results : Behavior autism children with therapy murottal Al-Mulk many as 2 until 3 times drop from 18.87 to 17.75. A frequency distribution therapy 4-10 times have a score ATEC of 41.75 until 36,00. A score ATEC showed that the decrease in a score ATEC on child autism that no meaning with the pre test 26.50 std. Deviation -,24 and value post test 23.83 std. Deviation 5.57 and it has value p= 0,069 (p< 0.05).

Conclusion: The research can be concluded that therapy murottal a letter Al-Mulk for 10 days improving the quality of behavior on child autism in no meaning.

Advice : Research extended to be able to make a difference meaningful. Keyword : Therapy murottal, Autism, ATEC.


(13)

Intisari

Latar belakang: Terapi audio dengan murottal dapat digunakan sebagai alternatif terapi pendamping pada anak autis sesuai dengan teori yang telah ada bahwa suara dapat mengontrol seluruh tubuh, mengatur organ vital, dan koordinasi gerakan-gerakan.

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada pengaruh terapi murottal Al-Mulk terhadap kualitas tingkah laku anak autis.

Metode penelitian: Penelitian ini menggunakan metode Pre-Eksperiment dengan desain pre-post tes dalam satu kelompok (One group pra-post design). Sample penelitian terdiri dari 12 siswa autis yang bersekolah di SLB Negeri 01 Bantul Yogyakarta. Dengan terapi murottal Al-Mulk selama 10 kali dan dilakukan sehari 1 kali terapi dengan durasi selama 09 menit 45 detik. Penilaian kualitas tingkah laku diukur dengan kuesioner Autism Treatment Evaluation Checklist (ATEC).Data dianalisis dengan Simple Paired T Test.

Hasil penelitian : Tingkah laku anak autis dengan terapi murottal Al-Mulk sebanyak 2-3 kali mengalami penurunan dari 18,87 menjadi 17,75. Distribusi frekuensi terapi 4-10 kali memiliki skor ATEC dari 41,75 sampai 36,00. Skor ATEC menunjukkan penurunan skor ATEC pada anak autis yang tidak bermakna dengan nilai pre test 26,50 std.deviation -,24 dan mempunya nilai rerata post test 23,83 std.deviation 5,57 dan mempunyai nilai p= 0,069 (p < 0,05).

Kesimpulan: Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terapi murottal surat Al-Mulk selama 10 hari memperbaiki kualitas tingkah laku pada anak autis secara tidak bermakna.

Saran : Penelitian diperpanjang supaya bisa memberi pengaruh yang bermakna. Kata kunci : Terapi Murottal, Autis, ATEC.


(14)

A. Latar Belakang Masalah

Autis merupakan sebuah sindrom yang disebabkan oleh kerusakan otak kompleks yang mengakibatkan terjadinya gangguan perilaku, emosi, komunikasi, dan interaksi sosial. Gejalanya sudah tampak sebelum anak mencapai usia tiga tahun (Priyatna, 2010).

Perkembangan anak autis akan terganggu terutama dalam komunikasi, interaksi dan perilaku. Gangguan perilaku pada anak-anak terlihat dari ketidakmampuan anak untuk berhubungan dengan orang lain. Seolah-olah mereka hidup dalam dunianya sendiri. Umumnya anak autis sering melakukan gerakan-gerakan aneh yang diulang-ulang. Seperti duduk sambil menggeleng-gelengkan kepala, mengucapkan kata-kata sering diulang-ulang dan sulit dimengerti oleh anak seusia mereka. Oleh karena itu diperlukan latihan modifikasi perilaku yang bertujuan untuk mengurangi atau bahkan menghilngkan perilaku menyimpang pada anak autis tersebut. Sehingga apa yang selama ini terjadi seperti anak menunjukkan perilaku yang aneh sebagai luapan emosinya dapat dihindari atau dikurangi (Kasmia, 2014). Gejalanya sudah tampak sebelum anak mencapai usia tiga tahun. Perkembangan mereka menjadi terganggu terutama dalam komunikasi, interaksi dan perilaku (Kasmia, 2014).


(15)

2

United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) mengemukakan angka kejadian autis di dunia pada tahun 2011 tercatat 35 juta orang. Rata-rata 6 dari 1000 orang di dunia penyandang autis. Data dari WHO menyebutkan bahwa penyandang autisme diperkirakan berjumlah sekitar 4-6 per 10.000 kelahiran dan meningkat drastis pada tahun 2000 yaitu sekitar 60 per 10.000 kelahiran (Sutadi, 2012). Center for Disease Control (CDC) Amerika Serikat pada tahun 2008 menyatakan bahwa perbandingan autis pada anak usia delapan tahun yang terdiagnosa autis adalah 1:80 (Hazliansyah, 2013).

Pada tahun 2010, jumlah penderita autis di Indonesia, diperkirakan mencapai 2,4 juta orang. Hal itu berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) (Syahrir, 2012). Di Indonesia belum ditemukan data yang akurat mengenai jumlah penderita autis, Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementrian Kesehatan, Setia menyebutkan terdapat 112.000 anak di Indonesia yang menyandang autis dengan rentang usia 5-19 tahun. Maka jika di asumsikan dengan prevalensi autis 1,68 per 1000 anak di bawah 15 tahun. Jumlah anak yang berumur 5-19 tahun di indonesia mencapai 66.000.805 jiwa, maka terdapat lebih dari 112.000 anak penyandang autis padarentang usia 5-19 tahun (Hazliansyah, 2013). Laporan terakhir badan kesehatan dunia (WHO) menyatakan perbandingan anak autis dengan anak normal di


(16)

seluruh dunia, termasuk Indonesia telah mencapai 1:100 (Dewanti & Machfud, 2014).

Jogja Autism Care (n.d) mengemukakan provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) diperkirakan jumlah anak autis meningkat 4-6 orang setiap tahunnya, dari tahun 2001 sampai 2010 terus meningkat jumlahnya. Dari data Dinas Pendidikan DIY (n.d) dalam Badan Perkembangan Perempuan dan Masyarakat (BPPM) DIY (2014), di DIY saat ini terdapat 272 anak penderita autis, jumlah anak laki-laki penderita autis lebih banyak dibandingkan dengan perempuan.

Terapi yang sudah ada yaitu terapi perilaku yang mengacu pada Applied Behavioral Analisys (ABA), terapi wicara, terapi okupasi, terapi fisik, sosial, bermain, dan terapi visual yang sama sesuai porsi masing-masing (Dewanti & Machfud, 2014).

Terapi murottal Al-Quran termasuk dalam terapi yang dapat dijadikan alternative sebagai terapi perilaku pada anak autis. Terapi audio dapat menghilangkan tegangan otot dan stress, mengurangi rasa sakit, kecemasan, menstimulasi sistem imun, menurunkan tekanan darah, serta meningkatkan komunikasi pada pasien dengan autis, gangguan pendengaran, dan penyakit Alzheimer (Gray, 2012). Menurut Hady (2012) mengemukakan terapi murottal lebih efektif terhadap perkembangan kognitif anak autis. Terapi dengan alunan Al-Quran dapat dijadikan pilihan karena terapi murottal merupakan terapi yang ekonomis dan tidak menimbulkan efek samping. Membaca atau mendengarkan


(17)

Al-4

Qur’an pada orang atau pasien akan membawa gelombang suara dan mendorong otak untuk memproduksi zat kimia yang disebut neuropeptide. Molekul ini akan memengaruhi reseptor didalam tubuh sehingga hasilnya tubuh merasa nyaman (Alkahel, 2011).

Terapi murottal baik untuk di perdengarkan karena baik muslim maupun non-muslim, baik yang mengerti bahasa arab maupun tidak, mengalami beberapa perubahan fisiologis yang menunjukkan tingkat ketegangan urat syaraf tersebut. Fakta ini secara tepat terekam oleh Ahmed Elkadi dalam system detector elektronic yang didukung komputer guna mengukur perubahan apapun dalam fisiologi (organ) tubuh (Mahmudi, 2011). Penelitian Ahmed Elkadi yang dilakukan pada tahun 1985 mengungkapkan, bahwa ketegangan urat syaraf berpotensi mengurangi daya tahan tubuh yang disebabkan terganggunya keseimbangan fungsi organ dalam tubuh untuk melawan sakit atau membantu proses penyembuhan. Untuk eksperimen yang kedua pada efek relaksasi yang ditimbulkan Al-Qur’an pada ketegangan syaraf beserta perubahan-perubahan fisiologis (Mahmudi, 2011). Eksperimen yang dilakukan oleh Ahmed Elkadi mengungkapkan bahwa pembacaan Al-Qur’an dapat memunculkan relaksasi pada ketegangan syaraf beserta perubahan-perubahan fisiologis. Peneliti menilai, hanya dengan pembacaan Al-Qur’an saja dapat membuat efek yang baik bagi tubuh, terlebih lagi jika pembacaan Al-Qur’an tersebut diperdengarkan dengan irama yang stabil dan dilakukan dengan tempo yang lambat


(18)

serta harmonis, maka akan memunculkan ketenangan bagi pendengarnya dan dapat dijadikan penyembuh baik dari gangguan fisik maupun psikis. Wahyudi (2012) berpendapat bahwa Al-Qur’an sebagai penyembuh telah dilakukan dan dibuktikan, orang yang membaca Al-Qur’an atau mendengarkan akan memberikan perubahan arus listrik di otot, perubahan sirkulasi darah, perubahan detak jantung dan perubahan kadar darah pada kulit. Alkahel (2011) menyebutkan membaca atau mendengarkan Al-Qur’an memberikan efek relaksasi, sehingga pembuluh darah nadi dan denyut jantung mengalami penurunan. Terapi bacaan Al-Qur’an ketika diperdengarkan pada orang atau pasien akan membawa gelombang suara dan mendorong otak untuk memproduksi zat kimia yang disebut neuropeptide. Molekul ini akan memengaruhi reseptor didalam tubuh sehingga hasilnya tubuh merasa nyaman.

Terapi audio dengan murottal surah Ar-Rahman dapat digunakan sebagai alternatif terapi pendamping pada anak autis sesuai dengan teori yang telah ada bahwa suara dapat mengontrol seluruh tubuh, mengatur organ vital, dan koordinasi gerakan-gerakan. Terapi audio dapat menghilangkan tegangan otot dan stress, mengurangi rasa sakit, kecemasan, menstimulasi sistem imun, menurunkan tekanan darah, serta meningkatkan komunikasi pada pasien dengan autis, gangguan pendengaran, dan penyakit Alzheimer (Gray, 2012).

Berdasarkan hasil study pendahuluan jumlah anak autis di SLB Negeri 01 Bantul Yogyakarta berjumlah 16 anak, semuanya terdiri dari


(19)

6

TK, SD, SMP, SMA, Waktu pembelajaran dimulai dari hari senin sampai sabtu, dari pukul 07.00 WIB sampai pukul 11.00 WIB. Terapi yang sudah ada dan dilakukan pada anak autis di SLB Negeri 01 Bantul, Yogyakarta yaitu terapi musik, ABA, Keterampilan, menggambar, berenang, dan okupasi. Di SLB Negeri 01 Bantul, Yogyakarta belum ada terapi dengan menggunakan murottal surat Al-Mulk.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Huda (2011), penelitian ini mengkaji terjemahan surat Al-Mulk yang terdiri atas 30 ayat. Surat Al-Mulk termasuk golongan surat-surat Makkiyah yang diturunkan sesudah surat Ath-Thuur. Nama Al-Mulk diambil dari kata Al-Mulk yang terdapat pada ayat pertama surat ini yang artinya kerajaan atau kekuasaan. Surat Al Mulk disebut juga dengan At Tabaarak (Maha Suci). Pokok-pokok isinya ialah: Hidup dan mati ujian bagi manusia, Allah menciptakan langit berlapis-lapis dan semua ciptaan-Nya mempunyai keseimbangan, perintah Allah untuk memperhatikan isi alam semesta, adzab yang diancamkan terhadap orang-orang kafir, janji Allah kepada orang-orang mukmin, Allah menjadikan bumi sedemikian rupa sehingga mudah bagi manusia untuk mencari rezeki, peringatan Allah kepada manusia tentang sedikitnya mereka yang bersyukur kepada nikmat Allah.

Dari uraian di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terapi murottal surat Al-Mulk terhadap kualitas tingkah laku anak autis di SLB Negeri 01 Bantul, Yogyakarta.


(20)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah pada penelitian adalah “Apakah terapi murottal surat al-mulk berpengaruh terhadap tingkah laku anak autis di sekolah luar biasa negeri 01 Bantul Yogyakarta?”

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini yaitu ingin mengetahui apakah ada pengaruh terapi murrotal terhadap kualitas tingkah laku anak autis. 2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui data demografi responden.

b. Untuk mengetahui perbedaan kualitas tingkah laku anak autis di Sekolah Luar Biasa Negeri 01 Bantul Yogyakarta sebelum dan sesudah mendapatkan terapi murottal.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi bagi dianas pendidikan mengenai terapi murrotal terhadap kualitas tingkah laku anak.

2. Bagi Sekolah Luar Biasa

Hasil penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan dalam institusi pendidikan Sekolah Luar Biasa untuk mengoptimalkan kualitas tingkah laku anak autis dengan terapi murrotal.


(21)

8

3. Bagi Pelayanan Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan asuhan keperawatan, terutama keperawatan anak autis terkait dengan tingkah laku dengan terapi .

4. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian diharapkan dapat berguna untuk menambah pengetahuan masyarakat khususnya keluarga dengan anak autis terkait dengan terapi murrotal terhadap kualitas tingkah laku sehingga keluarga mampu mengaplikasikannya.

5. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan bagi peneliti terkait terapi murrotal terhadap kualitas tingkah laku pada anak autis.

6. Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini bisa dijadikan referensi penelitian selanjutnya

E. Keaslian Penelitin

1. Ragil Adi Sampurna, dengan judul Pengaruh Senam Otak (Brain Gym) Terhadap Kualitas Pemfokusan PemahamanAnak Autis Di Yogyakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kualitas pemfokusan pemahaman dan tingkah laku antara siswa


(22)

autis di SLB Bina Anggita sebagai kelompok eksperimen dengan siswa autis di SLB Dian Amanah sebagai kelompok control.

Penelitian menggunakan desain Quasi-Eksperimen, dengan siswa autis SLB Bina Anggitasebagai kelompok eksperimen dan siswa autis SLB Dian Amanah sebagai kelompok kontrol.

Hasil penelitian menunjukkan rerata peningkatan skor ATEC antara sebelum dan sesudah senam otak untuk kualitas pemfokusan pemahaman pada kelompok kontrol diketahui nilai mean 2,375, kelompok eksperimen senam 36 kali sebanyak 6,214, dan kelompok eksperimen senam 16-35 kali sebanyak 7,50. Uji ANOVA memperlihatkan perbedaan antara kelompok memiliki nilai p = 0,019 (p < 0,05).

Perbedaan menggunakan desain Quasi Eksperiment, ada kelompok konrtol, uji statistik berbeda.

2. Mayrani & Hartati (2012), dengan judul Intervensi Terapi Audio Dengan Murotal Surah Ar-Rahman Terhadap Perilaku Anak Autis. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memberikan gambaran pengaruh terapi audio dengan murottal surah Ar-Rahman terhadap anak autis.

Penelitian menggunakan desain pra eksperimental. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 18 anak yang dipilih dengan metode purposive sampling berdasarkan kriteria inklusi


(23)

10

dan eksklusi. Alat ukur yang digunakan untuk mengukur pretest dan post test adalah lembar observasi perilaku anak autis.

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya penurunan gangguan perilaku anak autis pada aspek interaksi sosial, perilaku, dan emosi setelah mendapatkan terapi audio dengan murottal surah Ar-Rahman.

Perbedaan penelitian ini dengan yang akan diteliti yaitu jumlah responden 18 anak, jenis terapi yang diberikan berbeda, tempat penelitian, frekuensi terapi.

3. Fithroh Roshinah, Laila Nursaliha, dan Saiful Amri (2014), dengan judul Pengaruh Terapi Murottal Terhadap Tingkat Hiperaktif-Impulsif Pada Anak Attention Deficit Hiperaktive Disorder (ADHD).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan proses terapi murottal yang dilakukan pada anak ADHD dan untuk mengetahui pengaruh terapi murottal terhadap perilaku hiperaktifimpulsif pada anak ADHD.

Metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian eksperimen dengan subjek tunggal atau yang dikenal dengan istilah Single Subject Research (SSR).

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh terapi murottal terhadap menurunnya gejala yang timbul dari subjek


(24)

penelitian. Pada awalnya gejala yang muncul masih berada di kisaran enam gejala namun pada tahap observasi kedua atau baselineII gejala tersebut sudah menurun menjadi tiga gejala yang muncul. Walaupun frekuensi yang muncul tidak stabil. Berikut grafik perbandingan per tahapan penelitian.

Perbedaannya dengan penelitin ini yaitu variabel dependen,


(25)

(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka 1. Anak

a. Definisi Anak

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan terdapat dalam undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal tersebut menjelaskan bahwa, anak adalah siapa saja yang belum berusia 18 tahun dan termasuk anak yang masih didalam kandungan, yang berarti segala kepentingan akan pengupayaan perlindungan terhadap anak yang sudah dimulai sejak anak tersebut berada didalam kandungan hingga berusia 18 tahun.

b. Kebutuhan Dasar Anak

Kebutuhan dasar untuk tumbuh kembang anak secara umum digolongan menjadi kebutuhan fisik-biomedis (Asuh) yang meliputi, pangan atau gizi, perawatan kesehatan dasar, tempat tinggal yang layak, sanitasi, sandang, kesegaran jasmani atau rekreasi. Kebutuhan emosi atau kasih sayang (Asih), pada tahun-tahun pertama kehidupan, hubungan yang erat, mesra dan selaras antara ibu atau pengganti ibu dengan anak merupakan syarat yang mutlak untuk menjamin tumbuh kembang yang selaras baik fisik, mental maupun psikososial. Kebutuhan akan stimulasi mental


(27)

12

(Asah), stimulasi mental merupakan cikal bakal dalam proses belajar (pendidikan dan pelatihan) pada anak. Stimulasi mental ini mengembangkan perkembangan mental psikososial diantaranya kecerdasan, keterampilan, kemandirian, kreativitas, agama, kepribadian dan sebagainya.

c. Tingkat Perkembangan Anak

Menurut Damaiyanti (2008), karakteristik anak sesuai tingkat perkembangan:

1) Usia Bayi (0-1 tahun)

Pada masa ini bayi belum dapat mengekspresikan perasaan dan fikirannya dengan kata-kata. Oleh karena itu, komunikasi dengan bayi lebih baik menggunakan jenis komunikasi non verbal. Pada saat lapar, haus, basah dan perasaan tidak nyaman lainnya, bayi hanya bisa mengekspresokan perasaannya dengan menangis. Walaupun demikian, sebenarnya bayi dapat merespon terhadap tingkah laku orang dewasa yang berkomukasi dengan secara non verbal, misalnya memberi sentuhan, dekapan, menggendong dan berbicara lemah lembut.

Ada beberapa respon non verbal yang biasa ditunjukan bayi mislanya menggerakan badan, tangan dan kaki. Hal ini terutama terjadi pada bayi kurang dari 6 bulan sebagai cara menarik perhatian orang. Oleh karena itu perhatian saat


(28)

berkomunikasi dengannya. Jangan langsung menggendong atau memangkunya karena bayi akan merasa takut. Lakukan komunikasi terlebih dahulu dengan ibunya. Tunjukan bahwa kita ingin membina hubungan yang baik dengan ibunya.

2) Usia Pra Sekolah (2-5 tahun)

Karakteristik anak pada masa ini terutama pada anak dibawah tiga tahun adalah sangat egosentris. Selain itu anak juga mempunyai perasaan takut pada ketidaktahuan sehingga anak perlu diberi tahu tentang apa yang akan terjadi padnya. Misalnya, pada saat akan diukur suhu, anak akan merasa melihat alat yang akan ditempelkan ke tubuhnya. Oleh karena itu jelaskan bagaimana akan merasakannya. Beri kesempatan padanya untuk memegang thermometer sampai dia yakin bahwa alat tersebut tidak berbahaya untuknya.

Dari hal Bahasa, anak belum amampu berbicara fasih. Hal ini disebabkan karena anak belum mampu berkata-kata 900-1.200 kata. Oleh karena itu saat menjelaskan, gunakan kata-kata yang sederhana, singkat dan gunakan istilah yang dikenalnya. Berkomunikasi dengan anak melalui objek transisional seperti boneka. Berbicara dengan orangtua bila


(29)

14

anak malu-malu. Beri kesempatan pada anak yang lebih besdar untuk berbicara tanpa keberadaan orangtua.

Satu hal yang akan mendorong anak untuk meningkatkan kemampuan dalam berkomunikasi adalah dengan memberikan pujian atas apa yang telah dicapainya. 3) Usia Sekolah (6-12 tahun)

Anak pada usia ini sudah sangat peka terhadap stimulus yang dirasakan yang mengancam keutuhan tubuhnya. Oleh karena itu, apabila berkomukasi dan berinteraksi sosial dengan anak di usia ini harus menggunakan Bahasa yang mudah dimengerti anak dan berikan contoh yang jelas sesuai dengan kemampuan kognitifnya.

Anak usia sekolah sudah lebih mampu berkomukasi dengan orang dewasa. Perbendaharaan katanya sudah banyak, sekitar 3.000 kata disukai dan anak sudah mampu berfikir secara kongkrit.

4) Usia Remaja (13-18 tahun)

Fase remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari akhir masa anak-anak menuju masa dewasa. Anak harus diberi kesempatan untuk belajar memecahkan masalah secara positif. Apabila anak merasa cemas atau


(30)

setres, jelaskan bahwa ia dapat mengajak bicara dengan teman sebaya atau oran dewasa yang dia percaya.

Menghargai keberadaan identitas diri dan harga diri merupakan hal yang prinsif dalam komunikasi. Luangkan waktu bersama dan tunjukan ekspresi yang bahagia.

d. Tugas Perkembangan Anak

Tugas perkembangan menurut teori Havighurst (1961) adalah tugas yang harus dilakukan dan dikuasi invidu pada tiap tahap perkembangannya. Tugas perkembangan bayi 0-2 adalah berjalan, berbicara, makan-makanan padat dan kestabilan jasmani. Tugas perkembanga anak usia 3-5 tahun adalah mendapat kesempatan bermain, bereksperiment dan bereksplorasi, meniru, mengenal jenis kelamin, membentuk pengertian sederhana mengenai kenyataan social dana lam, belajar mengadakan hubungan emosiaonal, belajar membedakan salah dan benat serta mengembangkan kata hati juga proses sosialisai.

Tugas perkembang usia 6-12 tahun adalah belajarv mengusai keterampilan fisik dan motoric, membentuk sikap yang sehat vmengenai diri sendiri, be;lajar bergaul denga teman sebaya, memainkan peranan sesuai dengan jenis kelamin, mengembagkan konsep yang diperluka dalam kehidupan sehar-hari, nmengembangkan keterampilan yang pundamental, mengembangkan pembentukan kata hati, moral dan skala nilai,


(31)

16

mengembangkan sikap yang sehat terhadap kelompok social dan lembaga. Tugas perkembangan anak usia13-18 tahun adalah menerima keadaab fisiknya dan menerima peranannya sebagai perempuan dan laki-laki, menyadari hubungan-hubungan baru dengan teman sebaya dengan lawan jenis, menemukan diri sendiri berkat refleksi dan kritik terhadap diri sendiri, serta mengembangkan nilai-nilai hidup.

2. Autis

a. Definisi Autis

Monks, et al. (1988) menyebutkan bahwa autis berasal dari kata “Autos” yang berarti “Aku”. Autis merupakan gangguan neurobiologis yang berat sehingga gangguan tersebut mempengaruhi bagaimana anak belajar, berkomunikasi dalam lingkungan dan hubungan dengan orang lain. Autis merupakan gangguan perkembangan yang komplek dan muncul selama tiga tahun kehidupan pertama sebagai akibat gangguan neuorologis yang mempengaruhi fungsi otak (Ritud dan Freeman, 1978 dan The Autism Society of America, 2007 cit Hasdianah, 2013).

Mifzal (2012:3) mengemukakan anak autis merupakan suatu gangguan perkembangan yang kompleks yang meliputi gangguan perilaku, kognitif, bahasa, komunikasi, dan gangguan interaksi sosialnya.


(32)

Autisme merupakan sebuah sindrom yang disebabkan oleh kerusakan otak kompleks yang mengakibatkan terjadinya gangguan perilaku, emosi, komunikasi, dan interaksi sosial (Priyatna, 2010).

Anak autis mempunyai ketidakstabilan perasaan dan perubahan emosi yang dapat muncul tiba-tiba seperti ledakan emosi atau menangis tanpa sebab yang jelas (The Pediatric Neurology Site, 2012).

Hasdiana (2013) berpendapat bahwa autis merupakan gangguan perkembangan kompleks yang muncul tiga tahun pertama kehidupan akibat gangguan neurologic yang mempengaruhi fungsi otak dan autis mengalami gangguan perkembangan yang secara signifikan yang dapat mempengaruhi komunikasi verbal dan nonverbal serta interaksi sosial. Autis merupakan gangguan perkembangan yang sangat kompleks pada anak (Pamoedji, 2007).

Autis merupakan suatu kumpulan sindrom yang mengganggu saraf, diagnosisnya diketahui dari gejala-gejala yang tampak dan ditunjukkan dengan adanya penyimpangan perkembangan (Prasetyo, 2008).

Autisme merupakan gangguan perkembangan yang ditandai dengan adanya abnormalitas muncul sebelum anak berusia tiga tahun, dengan ciri-ciri, terganggunya perkembangan, sehingga


(33)

18

anak tidak mampu membentuk hubungan sosial dan komunikasi dengan normal, dan tidak memiliki kontak mata dengan orang lain (Marienzi, 2012).

b. Penyebab Autis

Ma’ruf, et al (2013) mengemukakan ada beberapa penyebab autis yaitu:

1) Lama Masa Kehamilan

Usia kehamilan normal pada ibu hamil yaitu 37-42 minggu. Ini adalah sebutan untuk kehamilan cukup bulan. Disebut kehamilan preterm jika usia kehamilan kurang dari 37 minggu. Hal ini berdampak pada bayi dimana kekebalan tubuh bayi masih lemah karena fungsi organ tubuh dan perkembangannya belum terbentuk sempurna (Hartati, 2010). 2) Diabetes Pada Kehamilan

Pada ibu penderita diabetes dan kemungkinan kondisi pra-diabetes di masa kehamilan, pengaturan glukosa menjadi sulit diatur sehingga meningkatkan produksi insulin pada janin. Produksi insulin yang tinggi membuat kebutuhan akan oksigen menjadi lebih besar, akibatnya suplai oksigen bagi janin menjadi berkurang. Kejadian diabetes pada ibu hamil bisa didapat saat hamil atau sebelumnya memang memiliki kadar gula yang tinggi (Solikhah, 2011).


(34)

Perdarahan pada awal kehamilan berkaitan dengan kelahiran prematur dan memiliki berat bayi rendah, dimana kondisi ini sangat rentan terjadinya autis. Bila terjadi gangguan kelahiran, maka hal yang paling berbahaya adalah hambatan aliran darah ke otak dan oksigen ke seluruh tubuh. Dan organ yang paling sensitif terkena autis adalah otak (Pieter, et al, 2011).

Hasdiana (2013) menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya autis yaitu sebagai berikut:

1) Genetik

Menurut National Institute of Health menyebutkan bahwa keluarga ysng memiliki satu anak autis memiliki peluang 1-20 kali lebih besar untuk melahirkan anak yang terkena autis. Penelitian menemukan pada anak yang kembar jika salah satu anaknya terkena autis maka kembarannya kemungkinan besar memiliki gangguan autis juga.

2) Peptisida

Paparan peptisida yang tinggi juga dihubungkan dengan terjadinya autism karena peptisida akan mengganggu fungsi gen di system saraf pusat.


(35)

20

Bayi yang terpapar obat-obatan tertentu ketika dalam kandungan biasanya memiliki resiko lebih besar mengalami autisme. Obat-obatnya adalah valpronic dan thalidomide.

4) Usia orangtua

Menurut Halladay, Direktur Riset Studi Lingkungan Aitism Speak. contohnya “Memamg belum diketahui dengan pasti hubungan usia orangtua dengan autis. Namun, hal ini diduga karena terjadinya faktor mutasi gen”. Perempuan usia 40 tahun memilki resiko 50 persen memiliki anak autis dibandingkan dengan perempuan berusia 20-29 tahun. Kehamilan pada usia lebih dari 35 bisa berakibat pada persalinan yang memakan waktu cukup lama, disertai perdarahan dan risiko cacat bawaan. Sedangkan hamil di bawah usia 20 tahun bisa berakibat kesulitan dalam melahirkan dan keracunan saat hamil (Hartati, 2010).

5) Perkembangan otak

Area tertentu di otak, termasuk serebal korteks dan cerebellum yang bertanggung jawab pada konsentrasi, pergerakan dan pengaturan mood, berkaitan dengan autis, ketidakseimbangan neurotrasmiter, seperti dopamine dan serotonin, di otak juga dihubungkan dengan autisme.


(36)

6) Flu

Wanita yang mengalami flu atau demam jangka panjang ketika sedang hamil lebih berisiko untuk melahirkan anak autis. Infeksi-infeksi yang sering terjadi seperti demam ringan dan infeksi saluran kencing bukanlah faktor utama penyebab anak terlahir autis.

c. Gejala Anak Autis

Jenis dan berat gejala autis berbeda antara masing-masing anak. Gejala autis akan tampak pada anak sebelum usia 3 tahun, yakni mencakup interaksi sosial, komunikasi, perilaku dan cara bermain yang tidak seperti anak lain (Rahmayanti, 2008). Sebagian di antara gejala tersebut dapat muncul pada anak normal, hanya intensitas dan kualitasnya yang berbeda (Yuwono, 2009).

Penelitian Yuwono (2009), menyebutkan bahwa autis merupakan gangguan neurobiologis yang menetap, gejalanya tampak pada gangguan komunikasi dan bahasa, interaksi, dan perilaku. Gangguan neurobiologis yang terjadi karena otak tidak mampu mengolah input sensori secara efisien (Ayres, 1998).

Gejala autisme sangat bervariasi, sebagian anak autisme berperilaku hiperaktif dan agresif atau menyakiti diri, tapi ada pula yang pasif. Mereka cenderung sangat sulit mengendalikan


(37)

22

emosinya dan sering tempertantrum (menangis dan mengamuk). (Ria, 2011). Namun gejala yang paling menonjol adalah sikap anak yang cendrung tidak memperdulikan lingkungan dan orang-orang sekitarnya, seolah menolak berkomunikasi dan berinteraksi (Smart, 2010).

d. Klasifikasi Anak Autis

Autis diklasifikasikan menjadi beberapa macam (Veskarisyanti, 2008 et al Prasetyo, 2008), yaitu:

1) Autis masa kanak-kanak (autis infatile)

Autis masa kanak-kanak adalah gangguan perkembangan pada anak yang gejalanya sudah tampak sebelum anak tersebut mencapai umur 3 tahun. Anak-anak ini sering juga menunjukkan emosi yang tidak wajar, mengamuk tidak terkendali, rasa takut yang tidak wajar, tertawa dan menangis tanpa sebab, anak-anak ini menunjukkan gangguan sensoris, seperti adanya kebutuhan untuk mencium/menggigit benda dan tidak suka dipeluk. 2) sperger syndrome (AS)

Asperger syndrome mirip dengan autis infantile dalam hal kurangnya interaksi sosial, tetapi mereka masih mampu berkomunikasi cukup baik. Anak sering memperlihatkan perilakunya yang tidak wajar, minat yang terbatas dan mengalami kesulitan untuk berinteraksi dengan teman sebaya.


(38)

Anak asperger syndrome mempunyai daya ingat yang kuat dan perkembangan bicaranya tidak terganggu dan cukup lancar.

3) Attention Deficit Hyperactive Disorder (ADHD)

ADHD merupakan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas. Hiperaktivitas adalah perilaku motorik yang berlebihan.

4) Pervasive Developmental Disorder Not Otherwise Specifed (PDD-NOS)

Gangguan perkembangan pervasif mempunyai gejala gangguan perkembangan dalam bidang komunikasi, interaksi maupun perilaku, namun gejalanya tidak sebanyak seperti pada autis infatile. Kualitas dari gangguan tersebut lebih ringan, sehingga kadang-kadang anak ini masih bisa bertatap mata, ekspresi fasial tidak terlalu datar dan masih bisa diajak bergurau.

5) Anak gifted

Anak gifted adalah anak dengan intelegensi yang mirip dengan intelegensi yang super atau genius, namun memiliki gejala-gejala perilaku yang mirip dengan autis. Intelegensi yang jauh diatas normal membuat perilaku mereka seringkali terkesan aneh.


(39)

24

Anak dengan rett syndrome memiliki ciri dengan periode regresi yang mempengaruhi bicara dan bahasa, sosial, perilaku, perkembangan dan kesulitan belajar yang berat. e. Perilaku Anak Autis

Perilaku anak berkebutuhan khusus dengan gangguan autisme dalam kesehariannya berbeda satu sama lain meskipun gangguan mereka sama. Secara keseluruhan, perilaku mereka menampakkan perbedaan dimana DNA mengalami gangguan autisme yang tergolong ringan sedangkan BGS mengalami gangguan autisme kategori berat. DNA yang autisme ringan menunjukkan perilaku yang berkekurangan (deficient) ditunjukkan dengan ekolalia (pengulangan kata), sedangkan BGS yang tergolong kategori berat juga lebih menunjukkan perilaku yang berlebihan (excessive) seperti mengamuk, menjambak, berteriak (Widiastuti, 2014).

Hasdiana (2013) meneyebutkan bahwa perilaku anak autis ada beberapa perilaku menunjukan perbedaan yang mencolok dengan anak-anak pada umumnya, yaitu: Menendang, memukul atau melempar dengan merusak benda yang ada di sekitarnya, menyerangan orang lain, mencambak, memberantakan benda bahkan bisa mengigit orang, dan agresif. Walaupun tidak semua anak autis menunjukan perilaku agresif, tetapi ini merupakan gejala yang sangat umum. Hal yang berkaitan dengan ciri-ciri anak autis


(40)

adalah seperti perilaku tidak terarah, mondar-mandir, lari-lari, manjat-manjat, berputar-putar, lompat-lompat, terpukau terhadap benda yang berputar atau benda yang bergerak. Perilaku ini menunjukkan perbedaan yang nyata dengan teman seusianya. Dalam perbedaan ini perilaku anak autis menjadi masalah dari segi perilaku dan berkomunikasi. Saragih (2011) mengemukakan ciri-ciri anak autis diantaranya adalah gangguan pada kognitif gangguan pada bidang interaksi sosial, gangguan bidang komunikasi, gangguan dalam persepsi sensori, gangguan dalam perilaku dan gangguan dalam bidang perasaan.

f. Terapi Autis

Penyandang autis sebaiknya berdiet gluten dan kasein yang dikenal diet GF/CF (gluten free casein free). Selain diyakini dapat memperbaiki gangguan pencernaan, juga bisa mengurangi gejala atau tingkah laku autistik anak. Diet GF/CF sebenarnya merupakan terapi penunjang yang tidak dapat bersifat langsung menyembuhkan autisme, namun diharapkan dapat mempercepat proses penyembuhan (Dewanti & Machfud, 2014). Diet CFGF berarti penyandang autis harus menghindari produk berbasis susu sapi yang mengandung kasein dan tepung terigu yang mengandung gluten (Winarno dan Agustinah, 2008). Meski sama-sama keluarga protein, gluten dan kasein berbeda. Gluten adalah protein yang berasal dari keluarga gandum-ganduman, semisal


(41)

26

terigu, wheat, oat, dan barley, sementara kasein berasal dari susu sapi, dari kedua jenis protein ini sulit dicerna (Dewanti & Machfud, 2014).

Hasdiana (2013) mengemukakan ada beberapa terapi yang dapat di lakukan oleh penderita autis, yaitu:

1) Terapi Applied Behavior Analysis (ABA)

ABA adalah jenis terapi yang sudah lama dipakai, sudah ada yang melakukan penelitian dan desain khusus untuk anak dengan autism, system yang dipakai adalah memberi pelatihan khusus pada anak dengan memberikan positive reinforcement (hadiah atau pujian).

2) Terapi Wicara

Hampir semua anak dengan autism mempunyai kesulitan dalam bicara dan berbahasa. Dalam hal ini terapi wicara dan berbahasa akan sangat menolong. Terapi wicara membantu anak melancarkan otot-otot mulut sehingga membantu anak berbicara lebih baik dan akhirnya berkomunikasi. Terapi dilakukan dengan rutin, teratur dan intensif, sehingga kemampuan berbicara dan memahami kosa katanya meningkat dan gangguan bicara anak berkurang (Pamoedji, 2007).

3) Terapi Okupasi

Semua anak autis mempunyai keterlambatan dalam perkembangan motorik halus. Gerak-geriknya kaku dan kasar,


(42)

mereka kesulitan untuk memegang pensil dengan benar, kesulitan untuk memegang sendok dan menyuap makanan kemulutnya, dan lain sebagainya. Dalam hal ini terapi okupasi sangat penting untuk melatih mempergunakan otot-otot halusnya dengan benar.

4) Terapi Fisik

Autisme adalah suatu gangguan perkembangan perpasive. Banyak diantara individu autis mempunyai gangguan perkembangan dalam motorik kasarnya. Terkadang tonus ototnya lembek sehingga jalanya kurang kuat. Keseimbangan tubuhnya kurang bagus. Fisioterapi dan terapi integrasi sensoris akan sangat banyak menolong untuk menguatkan otot-otot dan memperbaiki keseimbangan tubuhnya.

5) Terapi Sosial

Kekurangan yang paling mendasar bagi induividu autisme adalah dalam bidang komunikasi dan interaksi. Banyak anak-anak ini membutuhkan pertolongan dalam keterampilan berkomunikasi 2 arah, membuat teman dan main bersama ditempat bermain. Seorang terapis sosial membantu dengan memberikan fasilitas pada mereka untuk bergaul dengan teman-teman sebaya dan mengajari cara-caranya.


(43)

28

Meskipun terdengarnya aneh, seorang anak autis membutuhkan pertolongan dalam belajar bermain. Bermain dengan teman sebaya berguna untuk belajar bicara, komunikasi dan interaksi sosial. Seseorang terapis bermain dapat membantu anak dalam hal ini ada teknik-teknik tertentu. (Veskarisyanti, 2008).

7) Terapi Perilaku

Anak autis seringkali merasa frustasi. Teman-temannya seringkali tidak memahami mereka sehingga mereka sulit mengekspresikan keinginannya, mereka banyak yang hipersensitif terhadap suara, cahaya dan juga sentuhan. Tidak heran bila mereka sering mengamuk. Seorang terapis perilaku terlatih untuk mencari solusinya dengan merekomendasikan perubahan lingkungan yang rutin untuk memperbaiki perilakunya.

8) Terapi Perkembangan

Fllortime, Son-rise dan RDI (Relationship Developmental Iintevention) diangggap sebagai tingkat perkembangan. Artinya anak dipelajari minat, kekuatan dan tingkat perkembangannya, kemudian ditingkatkan kemampuan sosial, emosianal dan itelektualnya.


(44)

Individu autis lebih mudah belajar dengan melihat (visual, learners atau visual thinkers). Karena hal inilah yang kemudian dipakai untuk mengembangkan metode belajar komunikasi melaui gambar-gambar, misalnya: Metode PECS (Picture Exchange Communication System) dan beberapa vidio game bisa juga dipakai untuk mengembangkan keterampilan komunikasi. Gejala adanya disintegrasi sensoris bisa tampak dari pengendalian sikap tubuh, motorik halus, dan motorik kasar. Adanya gangguan dalam ketrampilan persepsi, kognitif, psikososial, dan mengolah rangsang (Handojo, 2009). 10)Terapi Biomedik

Terapi biomedik merupakan penanganan secara biomedis melalui perbaikan metabolisme tubuh serta pemberian obat-obatan oleh dokter yang berwenang, vitamin dan obat yang dianjurkan adalah vitamin B6, risperidone, dan lain-lain (Veskarisyanti, 2008). Anak autis diperiksa secara intensif pemeriksaan, misalnya pemeriksaan darah, urin, feses, dan rambut. Obat-obatan yang dipakai terutama untuk penyandang autis, sifatnya sangat individual dan perlu berhati-hati karena baik obat maupun vitamin dengan dosis yang salah dapat memberikan efek yang tidak diinginkan (Handojo, 2009). Dosis dan jenisnya sebaiknya diserahkan kepada dokter spesialis yang memahami dan mempelajari


(45)

30

autis (Ratnadewi, 2010). Terapi biomedik tidak menggantikan terapi‐terapi yang telah ada tapi terapi biomedik melengkapi (Ratnadewi, 2010).

3. Perilaku

a. Pengertian perilaku

Perilaku dari pandangan biologis adalah merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, perilaku manusia itu mempunyai bentangan yang sangat luas, mencakup berjalan, berbicara, bereaksi, berpakaian, dan sebagainya. Bahkan kegiatan internal (internal activity) seperti berpikir, persepsi dan emosi juga merupakan perilaku manusia. Untuk kepentingan kerangka analisis dapat dikatakan bahwa perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut, baik dapat diamati secara langsung atau secara tidak langsung (Notoatmodjo, 2007).

Notoatmodjo 2007 mengemukakan perilaku adalah segala sesuatu yang dilakukan dan dikatakan oleh manusia. Secara teknis, perilaku adalah aktivitas glandular, muscular, atau elektrikal seseorang. Termasuk perilaku adalah tindakan-tindakan sederhana (simple action), seperti mengedipkan mata, menggerakan jari tangan, melirik dan sebagainya.


(46)

Terdapat dua kelompok besar perilaku, yaitu perilaku yang tampak atau dapat diobservasi (overt, observable) dan yang tidak tampak, tersembunyi, atau tidak dapat diobservasi (covert, not directly observable). Perilaku yang Nampak, adalah perilaku yang dapat diamati oleh orang lain, misalnya: berbicara, berjalan, berlari, menangis, melempar bola, berteriak dan lain-lain. Sedangkan perilaku yang tidak dapat diamati secara langsung oleh orang lain, misalnya: berfikir dan merasakan. Untuk mengetahui perilaku yang tersembunyi harus disimpulkn dari respon-respon yang terbuka (cover behavior must be inferred from overt responses). Perilaku juga dapat diartikan sebagai semua aktivits yang merupakan reaksi terhadap lingkungan, apakah itu reaksi yang bersifat motorik, fisiologis, kognitif, ataupun afektif. Dari aspek biologis perilaku yaitu suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan. Secara singkat aktivitas manusia tersebut dikelompokkan menjadi dua, yaitu: aktivitas yang dapat diamati oleh orang lain, dan aktivitas yang tidak dapat diamati oleh orang lain (Notoatmodjo, 2010).

Perilaku merupakan suatu tindakan yang ditampakkan oleh seseorang dalam kehidupan sehari-harinya. Perilaku setiap anak itu berbeda-beda, ada yang berperilaku adaptif dan ada yang berperilaku maladaptif. Perilaku maladaptif pada seorang anak ini harus cepat ditangani karena perilaku yang menetap akan


(47)

32

menjadi kebiasaan yang sulit untuk dirubah. Apalagi bagi anak berkebutuhan khusus (Kasmia, 2014).

Sunardi (2010) menyatakan bahwa perilaku sinonim dari aktivitas, aksi, respons, atau reaksi. Perilaku adalah segala sesuatau yang dilakukan dan dikatakan oleh manusia.

b. Klasifikasi perilaku

Notoatmodjo 2010 mengemukakan teori “S-O-R” perilaku manusia dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu sebagai berikut: 1) Perilaku tertutup (covert behavior)

Perilaku tertutup terjadi apabila respons terhadap stimulus tersebut belum dapat diamati oleh orang lain dari luar secara jelas. Respons seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan.

2) Perilaku terbuka (overt behavior)

Perilaku terbuka yaitu terjadi apabila respons terhadap stimulus tersebut sudah berupa tindakan atau praktik ini dapat diamati oleh orang lain dari lur atau “observable behavior”. c. Tahap perubahan perilaku

Prabandari (2009), menyebutkan bahwa perubahan perilaku pada seseorang terjadi melalui tahap-tahap sebagai berikut:


(48)

Tahap ini seseorang belum memiliki kesadaran untuk melakukan sesuatu yang diketahuinya dan belum bersedia untuk merubah perilaku. Intervensi yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan informasi, komunikasi secara persuasif, dan memberikan pengalaman.

2) Kontemplasi

Tahap kontemplasi merupakan tahap seseorang untuk berfikir dan memiliki kesadaran terhadap suatu objek tetapi belum beraksi. Intervensi yang dapat dilakukan sama dengan tahap prekontemplasi yaitu dengan memberikan informasi, komunikasi secara persuasif, dan memberikan pengalaman. 3) Persiapan

Tahap ini seseorang mengalami perubahan sikap dan menjadi langkah awal untuk bertindak. Pendekatan intervensi yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan keterampilan.

4) Tindakan

Tindakan merupakan aksi seseorang terhadap objek. Intervensi yang dilakukan adalah dengan memberikan dukungan dan manajemen diri.


(49)

34

Tahap ini seseorang memerlukan manajemen diri dan dukungan dari lingkungan sehingga perilaku yang sudah terwujud dapat terpelihara dengan baik.

d. Domain perilaku

Meskipun perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku.

Notoatmodjo (2007) menyebutkan bahwa determinan perilaku dapat dibedakan menjadi:

1) Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan, yang bersifat given atau bawaan, misalnya: tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.

2) Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku.

e. Faktor yang mempengaruhi perilaku

Notoatmodjo (2007) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku adalah terdiri dari 3 faktor, yaitu :


(50)

1) Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam faktor demografi (umur, pendidikan, pekerjaan, sosial ekonomi), pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya.

2) Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya tempat pelayanan kesehatan, obat-obatan, dan sebagainya. 3) ktor-faktor pendorong (reinforcing factors), yang terwujud

dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

4. Terapi Murotal

Siswantiah (2011) berpendapat bahwa murottal adalah lantunan ayat-ayat suci Al Quran yang di lagukan oleh seorang qori direkam serta di perdengarkan dengan tempo yang lambat serta harmonis. Bacaan Al Qur’an sebagai penyembuh penyakit jasmani dan rohani melalui suara, intonasi, makna ayat-ayat yang ditimbulkan baik perubahan terhadap sel-sel tubuh, perubahan pada denyut jantung. Murottal merupakan salah satu musik yang memiliki pengaruh positif bagi pendengarnya (Widayarti, 2011). Terapi murrotal dapat mempercepat penyembuhan, hal ini telah dibuktikan oleh berbagai ahli seperti yang telah dilakukan Ahmad Al Khadi direktur utama


(51)

36

Islamic Medicine Institute for Education and Research di Florida, Amerika Serikat.Mendengarkan bacaan Al-Qur’an secara murottal mempunyai irama yang konstan, teratur dan tidak ada perubahan irama yang mendadak. Tempo murottal Al-Qur’an juga berada antara 60-70/ menit, serta nadanya rendah sehingga mempunyai efek relaksasi dan dapat menurunkan kecemasan (Widayarti, 2011).

Murottal merupakan salah satu musik dengan intensitas 50 desibel yang membawa pengaruh positif bagi pendengarnya (Wijaya, 2009). Smith (2012) menerangkan bahwa intensitas suara yang rendah merupakan intensitas suara kurang dari 60 desibel sehingga menimbulkan kenyamanan dan tidak nyeri.

Terapi murottal baik untuk di perdengarkan karena baik muslim maupun non-muslim, baik yang mengerti bahasa arab maupun tidak, mengalami beberapa perubahan fisiologis yang menunjukkan tingkat ketegangan urat syaraf tersebut. Fakta ini secara tepat terekam oleh Ahmed Elkadi dalam system detector elektronic yang didukung komputer guna mengukur perubahan apapun dalam fisiologi (organ) tubuh (Mahmudi, 2011). Penelitian Ahmed Elkadi yang dilakukan pada tahun 1985 mengungkapkan, bahwa ketegangan urat syaraf berpotensi mengurangi daya tahan tubuh yang disebabkan terganggunya keseimbangan fungsi organ dalam tubuh untuk melawan sakit atau membantu proses penyembuhan. Untuk eksperimen yang kedua pada efek relaksasi yang ditimbulkan


(52)

Al-Qur’an pada ketegangan syaraf beserta perubahan-perubahan fisiologis (Mahmudi, 2011). Eksperimen yang dilakukan oleh Ahmed Elkadi mengungkapkan bahwa pembacaan Al-Qur’an dapat memunculkan relaksasi pada ketegangan syaraf beserta perubahan-perubahan fisiologis. Peneliti menilai, hanya dengan pembacaan Al-Qur’an saja dapat membuat efek yang baik bagi tubuh, terlebih lagi jika pembacaan Al-Qur’an tersebut diperdengarkan dengan irama yang stabil dan dilakukan dengan tempo yang lambat serta harmonis, maka akan memunculkan ketenangan bagi pendengarnya dan dapat dijadikan penyembuh baik dari gangguan fisik maupun psikis.

Wahyudi (2012) berpendapat bahwa Al-Qur’an sebagai penyembuh telah dilakukan dan dibuktikan, orang yang membaca Al-Qur’an atau mendengarkan akan memberikan perubahan arus listrik di otot, perubahan sirkulasi darah, perubahan detak jantung dan perubahan kadar darah pada kulit. Alkahel (2011) menyebutkan membaca atau mendengarkan Al-Qur’an memberikan efek relaksasi, sehingga pembuluh darah nadi dan denyut jantung mengalami penurunan. Terapi bacaan Al-Qur’an ketika diperdengarkan pada orang atau pasien akan membawa gelombang suara dan mendorong otak untuk memproduksi zat kimia yang disebut neuropeptide. Molekul ini akan memengaruhi reseptor didalam tubuh sehingga hasilnya tubuh merasa nyaman.


(53)

38

Lama dan jumlah sesi yang digunakan pada penelitian sebelumnya bermacam-macam misalnya setiap hari, tiga kali per minggu, atau satu kali per minggu dengan durasi berbeda mulai dari 10 menit hingga 30 menit. Dalam penelitian sumaja (2014) terapi musik (perlakuan) dilakukan selama 60 menit yaitu dari jam 10.00-11.00 WIB. Penelitian yang dilakukan Mayrani & Hartati (2013), menggunakan terapi murottal dengan sesi tiga kali dalam tiga hari berturut-turut dengan durasi 11 menit 19 detik. Banyaknya sesi pemberian terapi dapat mempengaruhi hasil dan pengaruh terhadap perilaku anak autis. (Geretsegger et al., 2012 dalam Mayrani dan Hartati, 2013).

Terapi musik dapat diputar saat anak tidur dan bangun atau berkativitas dengan volume pelan yang cukup didengar oleh semua orang disekitar. Ketika memutar musik anak tidak harus konsentrasi atau sengaja mendengarkan. Mereka bisa tidur atau bermain sesuka hati mereka. Lama terapi ketika tidur 30 menit dan bangun 60 menit, rutin setiap hari sampai merasa tidak dibutuhkan terapi lagi (Pusat Riset Terapi Musik & Gelombang Otak, n.d.).


(54)

B. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur yang akan dilakukan pada penelitian. Kerangka konsep terdiri dari variabel-variabel serta hubungan antara variabel yang satu dengan variabel yang lain

(Notoatmodjo, 2010). Faktor penyebab

autis: 1. Genetic 2. Infeksi 3. Autoimun 4. Kelainan Organ Otak 5. Peptisida 6. Obat-obatan 7. Usia orangtua 8. Lingkungan 9. Flu 10.Glutein Autis Test ATEC (Pre-test) Interaksi Sosial

Komunikasi Respon

Kognitif Perilaku Faktor-faktor yang dapat memepengaruhi perilaku yaitu:  Faktor prediposisi  Faktor pendorong  Faktor pendukung Terapi yang di ikuti oleh anak yaitu:

 Musik  Senam otak  Berenang  Okupasi

 Oral terapi Perbedaan Kualitas

Tingkah Laku :Yang akan diteliti

:Yang tidak akan diteliti

Test ATEC (Post-test) Musik Murottal

Menstimulasi otak dan ditransmisikan ke

seluruh tubuh, aktivitas gelombang


(55)

40

C. Hipotesis

Hipotesis adalah pernyataan awal tentang kemungkinan hasil penelitian mengenai hubungan antar variabel yang diteliti (Dharma, 2011). Dari uraian diatas penelitian memiliki hipotesis yaitu: “Ada pengaruh terapi murrotal surat Al-Mulk terhadap kualitas tingkah laku anak autis di SLBN 01 Bantul Yogyakarta”.


(56)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Nursalam (2013) mengemukakan desain penelitian adalah sesuatu yang sangat penting dalam penelitian, memungkinkan pengontrolan maksimal beberapa faktor yang dapat memepengaruhi akurasi suatu hasil. Desain dapat digunakan peneliti sebagai petunjuk dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian untuk mencapai suatu tujuan atau menjawab suatu pertanyaan penelitian.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif. Penelitian ini menggunakan desain pra-eksperiment (uji coba) dengan desain pre-post tes dalam satu kelompok (One group pra-post design). Ciri penelitian ini adalah mengungkapan hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan satu kelompok subjek. Kelompok subjek diobservasi sebelum dilakukan intervensi kemudian diobservasi lagi setelah intervensi (Nursalam, 2013).

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Nursalam (2013) berpendapat bahwa populasi penelitian adalah subjek (misalnya manusia, klien) yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan.


(57)

42

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti (2016), jumlah siswa di Sekolah Khusus Luar Biasa Negeri 01 Bantul yaitu 16 siswa. 2. Sampel

Sampel merupakan terdiri atas bagian populasi terjangkau yang dapat dipergunakan sebagai subjek penelitian melalui sampling. Sedangkan sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi yang dapat mewakili populasi yang ada (Nursalam, 2013). Teknik sampling atau cara pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan total sampling.

Teknik total sampling yaitu pengambilan sampel apabila seluruh anggota populasi dijadikan sampel (Sugiono, 2005). Siswa yang digunakan sebagai sampel berjumlah 12 responden yang sudah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sedangkan 4 anak lainnya tidak dijadikan sampel karena 2 diantanya beragama non islam dan yang 2 anak sudah libur sekolah.

a. Kriteria inklusi:

Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari suatu populasi target yang terjangkau yang akan diteliti (Notoatmodjo, 2010). Kriteria inklusi dalam penelitian ini terdiri dari: 1) Bersedia menjadi responden (diwakili orang tua).


(58)

2) Anak autis yang mengikuti kegiatan belajar di Sekolah Luar Biasa Negeri 01 Bantul Yogyakarta dan Sekolah Khusus Autis Fajar Nugraha Yogyakarta.

3) Semua anak autis.

4) Beragama Islam karena terapy yang digunakan munggunakan Al-Quran surat Al-Mulk.

b. Kriteria eksklusi:

Kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subjek yang tidak memenuhi kriteria inklusi karena berbagai sebab sehingga tidak dapat menjadi responden penelitian (Notoatmodjo, 2010). Kriteria eksklusi penelitian ini yaitu:

1) Gangguan pendengaran. C. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Sekolah Luar Biasa Negeri 01 Bantul Yogyakarta.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dijadwalkan berlangsung selama 10 hari pada bulan juni 2016.


(59)

44

Variabel adalah perilaku atau karakteristik yang memberikan nilai beda terhadap sesuatu (benda, manusia, dan lain-lain) (Nursalam 2013). Penelitian ini memiliki dua variabel, yaitu:

a. Variabel independen (variabel bebas) adalah variabel yang mempengaruhi. Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu terapi murotal.

b. Variabel dependen (variabel tergantung) adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas. Variabel dependen dalam penelitian ini yaitu skore kualitas tingkah laku.

c. Variabel pengganggu adalah variabel yang nilainya ikut menentukan variabel baik secara langsung maupun tidak langsung (Nursalam, 2013) variabel dalam penelitian ini yaitu stress, aktivitas fisik, program terapi lain yang sedang dilakukan oleh pihak sekolah, intake makanan atau nutrisi, lingkungan rumah dan keluarga.

1) Variabel pengganggu bisa di kendalikan : Makanan, keseragaman guru dalam pelaksanaan terapi murotal dan kesamaan program sekolah.

2) Variabel pengganggu yang tidak bisa dikendalikan: lingkungan rumah dan keluarga.


(60)

E. Definisi Operasional

Definisi operasional bertujuan untuk membatasi ruang lingkup atau pengertian variabel-variabel yang dimati atau diteliti serta mengarahkan kepada pengukuran atau pengamatan terhadap variabel-variabel yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2010).

1. Siswantiah (2011) berpendapat bahwa murottal adalah lantunan ayat-ayat suci Al Quran yang di lagukan oleh seorang qori direkam serta di perdengarkan dengan tempo yang lambat serta harmonis. Durasi pembacaan surah Al-Mulk adalah selama 09 menit 45 detik dan irama pelan dengan pitch 24 Hz (Hertz). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Huda (2011), penelitian ini mengkaji terjemahan surat Al-Mulk yang terdiri atas 30 ayat. Surat Al-Mulk termasuk golongan surat-surat Makkiyah yang diturunkan sesudah surat Ath-Thuur. Nama Al-Mulk diambil dari kata Al-Mulk yang terdapat pada ayat pertama surat ini yang artinya kerajaan atau kekuasaan. Surat Al Mulk disebut juga dengan At Tabaarak (Maha Suci). Pokok-pokok isinya ialah: Hidup dan mati ujian bagi manusia, Allah menciptakan langit berlapis-lapis dan semua ciptaan-Nya mempunyai keseimbangan, perintah Allah untuk memperhatikan isi alam semesta, adzab yang diancamkan terhadap orang-orang kafir, janji Allah kepada orang-orang mukmin, Allah menjadikan bumi


(61)

46

sedemikian rupa sehingga mudah bagi manusia untuk mencari rezeki, peringatan Allah kepada manusia tentang sedikitnya mereka yang bersyukur kepada nikmat Allah.

2. Tingkah laku adalah tindakan yang sudah dipilih seseorang untuk dilakukan bedasarkan atas niat atau kehendak ke dalam action atau tindakan. Alat ukur yang digunakan yaitu lembar observasi ATEC dan skala yang digunakan adalah skala kategorik. Setiap pertnanyaan dinilain dengan [T] Tidak masalah= 0, [S] Masalah sedang= 1, [R] Masalah ringan= 2, [B] Masalah Serius/Berat= 3. Semakin rendah skor semakin sedikit masalah.

F. Instrument Penelitian

1. Alat terapi, terdiri dari: Audio murottal anak surat Al-Mulk dari Muhammad Taha dan speaker.

Kandungan surak Al-Mulk ayat 20 dalam perkataan “min dunir rahman” (selain Allah yang Maha Pemurah) memberi pengertian bahwa rahmat Allah itu dilimpahkan kepada seluruh makhluk yang ada di alam ini, baik ia beriman kepada Allah maupun ia kafir kepada-Nya, sehingga semuanya dapat hidup dan berkembang (Dahlan & Noesalim, 2007).

Karakteristik rekaman murottal surah Al-Mulk yang digunakan sebagai terapi dalam penelitian ini adalah mempunyai tempo 64 beats


(62)

Rentang tempo lambat yaitu 60 sampai 120 bpm. Tempo lambat merupakan tempo yang seiring dengan detak jantung manusia, sehingga jantung akan mensinkronkan detakannya sesuai dengan tempo suara (Mayrani & Hartati, 2013). Durasi pembacaan surah Al-Mulk adalah selama 09 menit 45 detik dan irama pelan dengan pitch 24 Hz (Hertz). Durasi ini tidak terlalu singkat dan tidak terlalu lama untuk diperdengarkan. Durasi yang terlalu lama tidak efektif untuk diperdengarkan kepada anak autis karena akan mengganggu mood anak autis dan konsentrasi anak autis tidak dapat bertahan dalam waktu yang lama (Dominick et.al., 2007 cit. Mayrani & Hartati, 2013). 2. Lembar observasi ATEC

Kualitas tingkah laku akan diukur dengan menggunakan form Autism Treatment Evaluation Checklist (ATEC). Tes ini dilakukan sebelum dan sesudah pelaksanaan terapi musik murottal.

ATEC adalah salah satu desain checklist yang dirancang untuk diisi oleh orang tua, guru atau pengasuh. ATEC merupakan alat sederhana namun efektif untuk menilai keparahan gejala serta aspek perkembangan autisme. Selain itu, dapat mengukur efektivitas berbagai intervensi autisme. ATEC yang berisi 77 item, meliputi empat bidang utama gangguan ASD termasuk komunikasi, sosialisasi, kesadaran sensorik-kognitif dan kesehatan fisik-perilaku. Peneliti akan melakukan penelitian


(1)

dalam melakukan terapi murottal pada anak autis dan dapat diaplikasikan dalam praktek keperawatan, khususnya keperawatan anak dan keperawatan komunitas yang komprehensif agar gangguan perilaku pada anak autis membaik tetapi harus di damping oleh terapi lain.

4. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian diharapkan dapat berguna untuk menambah pengetahuan masyarakat khususnya keluarga dengan anak autis terkait dengan terapi murrotal terhadap kualitas tingkah laku sehingga

keluarga mampu

mengaplikasikannya. 5. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan bagi peneliti terkait terapi murrotal terhadap kualitas tingkah laku pada

anak autis dan jika di aplikasikan harus di damping oleh terapi lainnya. 6. Peneliti Selanjutnya

Untuk peneliti selanjutnya dapat menggunakan metode penelitian yang berbeda agar hasil penelitian lebih representative dan mengelompokkan anak autis sesuai umur dan beratnya gejala sehingga hasil penelitian lebih maksimal sehingga dapat melihat hubungan-hubungan lain yang dapat meningkatkan dan menghambat perilaku pada anak autis. Menggunakan desain quasy experiment dan ada kelompok kontrol. Jika di aplikasikan harus di damping terapi lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Adriana, D. (2011). Tumbuh Kembang dan Terapi Bermain pada Anak. Jakarta. Salemba Medika. 2. Al - Kaheel, A. (2011). Al-Qur’an

The Healing Book . Jakarta: Tarbawi Press Qadiy, A. 1984.


(2)

Pengaruh Terapi Murottal Terhadap Organ Tubuh. http://www.mail archive.com. Tanggal akses: 15 April 2014.

3. Anonim. (2013). Jumlah anak autis melonjak, Indonesia, 2013. http://www.binaautis.org/2013/01/ju mlah-anakautis-melonjak.html. [22 Agustus 2013].

4. Autism Research Institute.(n.d). Studies Confirm Validity of ATEC Report. Diakses 30 juni 2015, dari http://www.autism.com/ind_atec_rep ort.

5. Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat. (2014). Profil Gender dan Anak Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta.

6. Damayanti, M. (2008). Komunikasi Teraupetik Dalam Praktik Keperawatan. Bandung. PT refika Adama.

7. Davidson, Geralt. C. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta: PT Raja Gravindo Persada.

8. Depkes. (2014). Jumlah Anak Autis Meningkat. Dari http://www.autis.info/index.php/artik elmakalah/artikel/210-jumlahanak-autis-meningkat (di akses tanggal 31 Desember 2013).

9. Dharma, K. K. Metodelogi Penelitian Keperaatan (Pedoman Melaksanakan dan Menerapkan Hasil Penelitian). Jakarta: TIM, 2011.

10. Fina & Maya. 2012. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak. Jogjakarta. D-Medika.

11. Geretsegger., M Ulla., H & Gold., C. (2012). Randomised controlled Trial of improvisational music Therapy’s Effectiveness for Children with Autism Spectrum Disorders (TIME-A): Study Protocol. BMC Pediatrics, 12(2), 1471-2431.

12. Gold., C, Wigram., T, & Elefant., C. (2010). Music Therapy for Autistic Spectrum Disorder (Review). The Cochrane Collaboration. John Wiley & Sons, Ltd.

13. Gurdi, Aulia. (2011). Autisme, Lebih Rentan di Sandang Anak Laki-laki. http://kesehatan.kompasiana.com /kejiwaan/2011/07/19/autisme- lebihrentandisandang-anak-laki-laki-379568.html diperoleh tanggal 20 Mei 2014.

14. Handayani, R. et al (2011). Pengaruh Terapi Murottal Al-Qur’an Untuk Penurunan Nyeri Persalinan Dan Kecemasan Pada Ibu Bersalin Kala I Fase Aktif.

15. Hadis. 2006. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Autistik. Bandung : Alfabeta.

16. Handojo, Y. (2009). Autisme pada Anak. Jakarta: PT Buana Ilmu Populer Kelompok Gramedia.

17. Hasdianah., HR. (2013). Autis Pada Anak Pencegahan, Perawatan dan Pengobatan. Yogyakarta : Medical Book.

18. Hazliansyah. (2013, April). 112.000 Anak Indonesia Diperkirakan Menyandang Autis. Republika Online.


(3)

19. Huda , M. (2011). Kajian Frase Dan Ragam Kalimat Dalam Terjemahan Al Quran Surat Al Mulk. Http://eprints.ums.ac.id/18760/1/02.-_HALAMAN_DEPAN.pdf

20. Dewanti., H.W & Machfud., S. (2014 Mei-Agustus). Pengaruh Diet Bebas Glutein Dan Kasein Terhadap Perkembangan Anak Autis Di SLB Khusus Autistik Fajar Nugraha Sleman, Yogyakarta. http://jurnal.uii.ac.id/index.php/JKKI /article/view/3381/3030.dari

21. Jogja Autism Care. (n.d). BAB 2 Tinjauan Autisme dan Pusat Terapi Anak Autis. Diakses 28 Oktober 2015, dari http://www.e-journal.uajy.ac.id/3342/3/2TA12506. pdf.

22. Kasmia. R. (2014). Congklak games to reduce the shaking head behavior in children with autism x grade 4c in SLB Lubuk Kilangan Padang. . http://ejournal.unp.ac.id/index.php/ju pekhu.

23. Kustiani, R & Santosa, E. (2010). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kegagalan Terapi Perilaku Pada Penyandang Autisme Anak. Dari file:///C:/Users/Novi/Downloads/FAK

TOR-FAKTOR%20YANG%20MEMPENG ARUHI%20KEGAGALAN%20TERA PI%20(1).pdf.

24. Lestarin, D.R. (2012). Pengaruh Senam Otak (Brain Gym) Terhadap Kualitas Komunikasi pada Anak Autis di Yogyakarta. Karya Tulis Ilmiah srata satu, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta.

25. Lisa, P.L.A., dan E. M. Christy. 2012. Diet Gluten dan Kasein bagi PenderitaAnak Autis. Dalam http://meetdoctor.com/article/diet-

gluten-dan-kaseinbagi-anak-penderita-autism, diakses pada 30 Maret 2014.

26. Mahestu, Gayes. (2013). Tingkat Autisme.

http://kamihebat.com/perbedan- jeniskelamin-mempengaruhi-tingkat-autisme/diperoleh tanggal 22 Mei 2014.

27. Mahmudi. (2012). Manfaat mendengarkan Al-Quran. Diperoleh dari

http://www.google.com/seach?=oepr a+manfaat+mendengarkan+Al-Quran.pdf

28. Ma`ruf, E., Prasetyo, R., Rini,. H.L (2013). Gambaran Faktor Pre Natal Sebagai Penyebab Autis Di Sekolah Anak Khusus Kembang Mekar Desa Kepanjen Kecamatan Jombang Kabupaten Jombang Tahun. 2013. http://stikespemkabjombang.ac.id/eju

rnal/index.php/Juli-2013/article/view/34/65.

29. Marienzi. R. (2012). Meningkatkan kemampuan mengenal konsep angka melalui metode multisensory bagi

anak autis.

http://ejournal.unp.ac.id/index.php/ju pekhu.

30. Maulana, Mirza. 2011. Mendidik Anak Autis dan Gangguan Mental Lain Menuju Anak Cerdas dan Sehat. Yogyakarta: Katahati.

31. Mayrani, D.E., Hartati, E. (2013). Intervensi Terapi Murottal Surat Ar-


(4)

Rahmah terhadap Perilaku Anak Autis. Jurnal Keperawatan Soedirman. 8(2), diakses dari http://keperawatan.unsoed.ac.id/sites /default/files/jks20130802_69-7 pada tanggal 7 juni 2015.

32. Minropa, A. (2014). Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kemajuan Terapianak Autis Di Kota Padang

Tahun 2013.

file:///C:/Users/Novi/Downloads/6g% 20(1).pdf.

33. Monks, et al. (1988). Autisme Pada Anak. Yogyakarta. Nuhamedika.

34. Notoatmodjo, S. (2007). Ilmu kesehatan masyarakat, Cetakan 1. Jakarta.: Rineka Cipta.

35. Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta.

36. Notoatmodjo, S. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. 37. Notoatmodjo, S. 2010. Metodelogi

Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta.

38. Notoatmodjo, S. (2013). Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta.

39. Nursalam, (2013). Konsep dan penerapan metodelogi penelitian ilmu keperawatan: pedoman skipsi, tesis, dan instrument penelitian keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

40.Nursalam, (2013). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.

41. Park, T. (2014). Autism and the Enviromental. National institute of

child health and human development. Diakses pada https://www.niehs.nih.gov/health/ma terials/autism_and_the_environment _508. pdf pada tanggal 8 juni 2015. 42. Pamoedji, G. (2007). Seputar

Autisme. Jakarta: Gramedia

43. Permono, H. (2013). Peran Orangtua Dalam Optimalisasi Tumbuh Kembang Anak Untuk Membangunkarakter Anak Usia Dini. Universitas Persada Indonesia, Jakarta. Diakses pada tanggal 2 April

2016 dari

http://publikasiilmiah.umy.ac.id/bust er/handle.

44. Pieter, et al. (2011). Pengantar Psikopatologi Untuk Keperawatan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

45. Prabandari, Y. S. (2009). Strategi Perubahan Perilaku. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran UGM.

46. Prasetyo, D. S., (2008). Serba-Serbi Anak Autis: Mengenal, Menangani, dan Mengatasinya dengan Tepat dan Bijak. Yogyakarta: Diva Press.

47. Pratiwi, R.A. & Dieny, F.F. (2014). Hubungan Skor Frekuensi Diet Bebas Gluten Bebas Casein Dengan Skor Perilaku Autis. Journal of Nutrition College, Volume 3, Nomor 1, Tahun 2014.

48. Priyatna A. (2010). Amazing Autism, Memahami, Mengasuh, dan mendidik Anak Autis. Jakarta: Gramedia.


(5)

49. Priyoto. (2014). Teori Sikap & Perilaku dalam Kesehatan. Pacitan: Medical Book.

50. Raharjo, D.S. (2014). Pengaruh Terapi Bermain Menggunting Terhadap Peningkatan Motorik Halus Pada Anak Autisme Usia 11 – 15 Tahun di Sekolah Luar Biasa

Negeri Semarang.

file:///C:/Users/Novi/Downloads/JUR NAL%20SKRIPSII%20(1).pdf. 51. Rahmayanti, S. (2008). Gambaran

Penerimaan Orang Tua terhadap Anak Autisme.Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma. 52. Rahmawati. S. (2012). Pengaruh

Metode ABA (Applied Behavior Analysis):Kemampuan Bersosialisai Terhadap Kemampuan Interaksi Sosial Anak Autis Di SLB TPA(Taman Pendidikan dan Asuhan)Kabupaten Jember. http://repository.unej.ac.id/handle/12 3456789/3213

53. Ratnadewi. (2010). Peran Orangtua pada Terapi Biomedis untuk Anak Autis. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.Sari, I. D. 2009. Nutrisi pada Pasien Autis. Jakarta: CDK (Cermin Dunia Kedokteran).

54. Ria, R. T. (2011). Pengalaman ibu merawat anak autistik dalam memasuki masa remaja di Jakarta. Diperoleh pada tanggal 13 Juni 2014 dari fpbs.upi.edu.

55. Sadikin., J.Y., & Suryandono., A. J. (2015). Perkembangan Tortila Berkalsium sebagai Alternative Pangan Diet Casein Free-Glutein Free pada Industri Kecil Dengan

Metode Value Enginerring. http://jurnalagritech.tp.ugm.ac.id/ojs/ index.php/agritech/article/view/570/ 631.

56. Salwa, (2011). Demografi, Faktor Risiko dan Terapi pada Pasien Anak

Dengan Autisme.

http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/h andle/123456789/26028/1/Salwa-fkik.pdf

57. Saragih, M., et al. (2011). Pengantar Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta.Kencana. 58. Sintowati, R (2007). Autisme.

Jakarta: Sunda Kelapa Pustaka. 59. Simpson., K., & Deb., K. (2011).

Music interventions for Children with Autism: Narrative Review.

Virginia: Springer

Science+Business media; Vol. 41 (1507-1514).

60. Siswantinah, (2011). Pengaruh terapi murottal terhadap kecemasan pasien gagal ginjal kronik yang dilakukan tindakan hemodialisa di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan. Semarang: Skripsi, Universitas Muhamadiyah Semarang. Diperoleh dari http://jkb.ub.ac.id/index.php/jkb/artic

le/view/672/441 diakses pada

tanggal 8 juni 2015.

61. Smart, A. (2010). Anak Cacat Bukan Kiamat(Metode Pembelajaran dan Terapi untuk Anak Berkebutuhan Kusus. Jakarta : kata Hati.

62. Solikhah, U. (2011). Asuhan Keperawatan; Gangguan Kehamilan, Persalinan, dan Nifas. Yogyakarta: Nuha Medika.


(6)

63.Sumaja, W.H. (2014). Pengaruh Terapi Musik Terhadap KomunikasiVerbal Pada Anak Autisme Di Slb Autis Permata Bunda Payakumbuh Tahun 2014.

64. Sunardi. (2010). Konsep Dasar Modifikasi Perilaku. Jakarta: PLB FIP UPI.

65. Sugiyono, (2005). Statistik untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. 66. Sutadi, R. (2011). “Epidemiologi

Autisme”. Available from http://kesehatan.kompasiana.com/ibu dananak/2011/08/16/epidemiologiaut isme.

67. Suwanti, Iis. (2011). Pengaruh Musik Klasik Terhadap Perubahan Daya Konsentrasi Anak Autis di SLB Aisyiyah 08 Mojokerto. http://www.dianhusada.ac.id/jurn alper6. htm diperoleh tanggal 21 Mei 2014.

68. Syahrir. (2012). Tumbuh Kembang Anak : Jakarta dari http://tumbuh kembang

anakku.com/2012/08/11/angka- kejadian-autism-diberbagai-belahan-dunia/(diakses tanggal 31 Desember 2013)

69. Tauchid, M. N. (2012). Pengaruh Senam Otak (Brain Gym) Terhadap Kualitas Tingkah Laku Anak Autis Di Yogyakarta. Fkik (Pendidikan Dokter), 7(8).

70. Veskarisyanti, G. A. (2008). 12 Terapi Autis. Yogyakarta: Pustaka Anggrek

71. Wardhani, Y. F. (2008). Apa dan Bagaimana Autisme itu. Apa dan Bagaimana Autisme; Terapi Medis

Alternatif (pp. 1-37). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 72. Wong, D. L. (2008). Pedoman Klinis

Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC.

73. Word Health Organization. (2013, 16-18 April). Autism Spectrum Disorder & other Developmental Disorder from Raising Awareness to Building Capacity. Switzerland. Diakses 7 November 2015, dari http://www.who.int/irisbitstream/106 65/103312/1/9789241506618_eng.p df.

74. Widiastuti. D. (2014). Perilaku anak kebutuhan khusus utisme di SLN Negeri Semarang tahun 2014. http://journal.unnes.ac.id/sju/index.p hp/belia

75. Winarno, F.G. dan Agustinah, W. (2008). Pangan dan autisme,

Indonesia, 2008.

http://www.lspr.edu/csr/autismaware ness/media/seminar/Autism%20dan

%20Peran%20Pangan%20- %20Prof%20Winarno%2020-09-08.pdf. [9 Oktober 2012].

76. Yuwono, J. (2009). Memahami Anak Autistik (Kajian Teoritik dan Empirik). Bandung: Alfabeta