F. Asumsi Dasar
Studi tentang pendidikan karakter terutama pada sikap hormat respect dan tanggung jawab responsibility yang dikembangkan melalui pembinaan
olahraga berasumsi pada sandaraan normatif filosifis, dan hasil penelitian yang digunakan sebagai titik tolak penelaahan lebih lanjut. Asumsi itu lahir dari
analisis teoretik dan empirik di lapangan. Pembentukan karakter yang diintegrasikan ke dalam pendidikan jasmani
dan olahraga, khususnya olahraga kompetitif, menurut Shields dan Bredemeier 1995: 2 bahwa “sport is at once a mirror and molder of social values; it reflects
society’s potentials and limitations.” Dengan kata lain, olahraga merupakan cermin dan sekaligus wadah penjabaran nilai sosial; olahraga itu sekaligus
mencerminkan potensi dan kelemahan masyarakat. Selanjutnya Shields dan Bredemeier 1995:2 mengungkapkan bahwa “. . . sport is replete with
opportunities to encounter, learn, transform, and enact moral values.” Begitu melimpah kesempatan untuk langsung mengalami, belajar dan mengalihkan nilai
moral dalam olahraga. Shields dan Bredemeier dengan tegas mengatakan bahwa terbentuknya karakter, karena peolahraga harus dapat mengatasi hambatan, tekun
menghadapi perlawanan lawan, mengembangkan pengendalian diri, kerjasama, dan belajar untuk terbiasa dengan kemenangan dan kekalahan.
Dalam olahraga dan pendidikan jasmani siswa dibina aspek fisik, mental, sosial, dan emosional melalui interaksi sosial. Hal ini terungkap dari pernyataan
klasik Baron Pierre de Coubertin, Rusli Lutan, 2001: 1 bahwa:
Tujuan akhir olahraga dan pendidikan jasmani terletak dalam peranannya sebagai wadah unik penyempurnaan watak, dan sebagai wahana
untuk memiliki dan membentuk kepribadian yang kuat, watak yang baik dan sifat yang mulia; hanya orang-orang yang memiliki kebijakan moral seperti
inilah yang akan menjadi warga masyarakat yang berguna.
Ungkapan tersebut memposisikan olahraga dan pendidikan jasmani pada kedudukan yang strategis sebagai alat pendidikan yang juga diyakini oleh United
Nations 2003 bahwa olahraga dan pendidikan jasmani dapat mengembangkan: cooperation,
communication, respect
for the
rules, problem-solving,
understanding, connection with others, leadership, respect for others, value of effort, how to win, how to lose, how to manage competition, fair play, sharing,
self-esteem, trust, honesty, self-respect, tolerance, resilience, teamwork, discipline, confidence. Dalam prakteknya olahraga dan pendidikan jasmani tidak
hanya sebatas pengetahuan dan keterampilan gerak semata, akan tetapi siswa secara langsung dapat mempraktekan nilai-nilai moral dalam pengalaman nyata.
Dukungan bukti-bukti penelitian dalam olahraga sebagai alat membentuk karakter banyak ditemukan antara lain Svoboda, 1994, Wankel dan Sefton
1994, dan Reid et al 1994 menemukan bahwa remaja yang terlibat aktif dalam kegiatan olahraga dapat meningkatkan kemampuan secara fisik, mental, sosial,
dan emosional. Demikian juga sukses Hellison 1995 dalam mengajarkan sikap tanggung jawab melalui aktivitas jasmani, dalam bukunya ”teaching
responsibility through physical activity. Shields dan Bredemeier, 1995 mengatakan bahwa sesungguhnya mengembangkan sikap fair play dalam
olahraga, sesungguhnya merupakan perwujudan dari sikap respect. Dengan demikian banyak hal yang dapat dikembangkan melalui olahraga seperti
mengajarkan kecakapan sosial, membangun relasi sosial, kepercayaan diri, mengajarkan kerjasama, membangun moral dan nilai positif, membangun
integrasi antar suku, meningkatkan kesadaran budaya dan lain-lain. Oleh karena itu kegiatan olahraga tidak diragukan lagi menjadi wahana yang strategis dalam
membangun karakter bangsa, asalkan dikelola dengan prinsip pendidikan yang benar.
Pencak silat sebagai warisan budaya Indonesia yang berlandaskan pada nilai falsafah budi perkerti luhur diyakini dapat membentuk watak melalui proses
interaksi antar individu, Menurut Sheilds dan Bredemeier, 1995 pembentukan watak dilihat sebagai sebuah proses reorganisasi dan transformasi struktur dasar
penalaran moral. Dengan demikian pendidikan pencak silat berpotensi dalam mengembangkan watak asalkan proses pengajaran tersebut dilakukan dengan
prinsip-prinsip pedagogis. Interaksi sosial yang terjadi tersebut merujuk pada nilai, norma, dan falsafah budaya Indonesia.
Perwujudan pencak silat sebagai beladiri berkembang menjadi olahraga kompetitif bukan tanpa resiko. Ditengarai bahwa pencak silat sudah kehilangan
jatidiri karena mengutamakan aktivitas pencak silat sebagai kepentingan olahraga kompetitif. Nilai ksatria kian pudar karena tergeser olah tujuan yang lebih
mengutamakan kemenangan. Pencak silat sebagai perwujudan ekspresi keindahan seni kian menghilang, yang pada akhirnya diduga berpengaruh
terhadap pembentukan karakter moral yang berbeda. Meskipun asumsi ini tidak didukung oleh literatur yang memadai, maka pada olahraga pencak silat
kompetitif pesilat sering dimotivasi oleh orientasi untuk memperoleh
kemenangan, sehingga dapat mendorong melakukan tindakan yang bertentangan dengan kaidah fair play. Leopard, Ogilvie, dan Tutko, dalam Shields dan
Bredemeier 1995 menyatakan bahwa olahraga kompetitif justru berakibat negatif pada pembentukan karakter. Berbeda dengan pencak silat seni gerakan
yang ditampilkan hanyalah untuk memenuhi kebutuhan estetis dan hiburan. Pencak silat seni merupakan perwujudan gerak etis dan estetis berdasarkan kaidah
pencak silat yang mengandung nilai budi pekerti luhur, dan bersumber dari budaya Indonesia PB IPSI, 1995. Itulah alasan mengapa pencak silat seni lebih
efektif dalam mengembangkan sikap respect dan tanggung jawab. Meskipun sesungguhnya dalam pembelajaran pencak silat, secara khusus siswa diajarkan
untuk hormat pada guru, orang lain dan juga dituntut untuk peduli dengan sesama manusia, sebagaimana diucapkan pada janjinya talek pada setiap kali latihan itu
dimulai. Proses pembiasaan seperti ini diharapkan tertanam nilai-nilai moral yang baik pada siswanya. Siswa dituntut untuk bertanggungjawab menjaga,
mengembangkan, dan melestarikan budaya lokal, kesiapan diri mendahulukan kepentingan orang lain, tidak menggunakan keterampilan beladiri untuk
merugikan orang lain. Keterampilan itu justru harus dipergunakan untuk menolong sesama agar tercipta persaudaraan yang harmonis.
G. Hipotesis