PEMBENTUKAN KARAKTER MELALUI PEMBINAAN PENCAK SILAT : Studi Eksperrimen pada siswa SMP di Bandung.

(1)

i

ABSTRACT

CHARACTER DEVELOPMENT THROUGH PENCAK SILAT TRAINING

Mulyana

Physical Education Study Program

Post Graduate Indonesia University of Education

This study is aimed at exploring the effects of pencak silat competitive oriented and pencak silat art oriented training on respect and responsibility toward students. An experimental method was conducted for this study. Sixty student from SMPN 22 Bandung participated as the subjects in this study. A non randomized pretest-posttest design was used in this study with applied some treatment on pencak silat skills along with some moral values included in pencak silat. Multivariate analysis was used to detect the effects on respect and responsibility among the subjects in the experimental group. Multivariate analysis revealed significant differences: (1) there is significant difference effect between the experimental group and the control group on respect and responsibility (2) there is no significant difference on respect between pencak silat competitive oriented and pencak silat art oriented training (3) there is no significant difference on responsibility between pencak silat competitive oriented and pencak silat art oriented training. From the result of this study it was that pencak silat should become an integral part of general education system on fostering character development.


(2)

ii ABSTRAK

PEMBENTUKAN KARAKTER MELALUI PEMBINAAN PENCAK SILAT

Mulyana

Program Studi Pendidikan Olahraga SPs- Universitas Pendidikan Indonesia

Penelitian ini bertujuan menyingkap pengaruh pendekatan pembinaan pencak silat orientasi olahraga kompetitif, dan pembinaan pencak silat orientasi seni terhadap respect dan tanggung jawab siswa. Metode eksperimen digunakan dalam penelitian ini. Penelitian ini melibatkan 60 siswa SMPN 22 Bandung sebagai sampel penelitian Desain penelitian menggunakan Non–Randomised Control Group Pre-test Post-tes Design, dengan memberi perlakuan latihan pencak silat beserta nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya. Analisis multivariat digunakan untuk mengetahui pengaruh latihan pencak silat terhadap respect dan tanggung jawab pada kelompok eksperimen. Hasil analisis multivariat menyatakan bahwa: (1) terdapat perbedaan pengaruh yang signifikan antara kelompok siswa yang mengikuti pembinaan pencak silat orientasi olahraga kompetitif dan orientasi seni terhadap respect dan tanggung jawab dibandingkan dengan kelompok siswa yang tidak diberi perlakuan atau kelompok konrol, (2) tidak ada perbedaan respect yang signifikan antara kelompok siswa yang diajar menggunakan pendekatan pencak silat olahraga kompetitif dengan pendekatan pencak silat seni, (3) tidak ada perbedaan tanggung jawab yang signifikan antara kelompok siswa yang diajar menggunakan pendekatan pencak silat olahraga kompetitif dengan pendekatan pencak silat seni. Dari hasil studi ini direkomendasikan bahwa pembinaan pencak silat selayaknya menjadi bagian integral pendidikan guna membentuk karakter dalam hal respect dan tanggung jawab untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.


(3)

iii

PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “PEMBENTUKAN KARAKTER MELALUI PEMBINAAN PENCAK SILAT”, beserta seluruh isinya adalah benar-benar karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung resiko yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau ada klaim terhadap keaslian karya ini.

Bandung Januari 2012 Yang membuat pernyataan


(4)

iv

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam. Apapun yang bergelar dimuka bumi ini adalah rahmat-Nya. Atas rahmat dan karunia-Nya saya diberi kekuatan untuk menyelesaikan disertasi ini. Solawat dan salam semoga Allah curah limpahkan kepada Nabi dan Rasul Allah Muhammad SAW.

Pendidikan karakter sudah sepatutnya pendapat perhatian masyarakat dan pemerintah. Sekolah-sekolah dihimbau untuk segera malaksanakan pendidikan karakter sebagai bagian dari program utama sekolah. Pendidikan karakter seharusnya terintegrasi ke dalam semua mata pelajaran tidak hanya pelajaran agama atau pendidikan kewarganegaraan (PKN) saja, termasuk mata pelajaran pendidikan jasmani dan olahraga. Pendidikan jasmani dan olahraga di sekolah memiliki potensi yang sangat strategis terhadap pengembangan pendidikan karakter. Berbagai aktivitas jasmani dan olahraga tidak diragukan lagi penuh dengan adegan interaksi sosial yang dapat berdampak pada meningkatnya karakter baik siswa.

Olahraga pencak silat sebagai bagian dari program pendidikan jasmani merupakan wahana yang dapat mengembangkan nilai-nilai pendidikan karakter karena bersumber pada budaya bangsa Indonesia. Pada masa yang lalu pencak silat telah terbukti menjadi alat perjuangan dalam rangka mempertahankan eksistensi bangsa dari penjajahan asing. Pada masa kini pencak silat harus terus dilestarikan dan dikembangkan sebagai sarana untuk pendidikan, karena diyakini mengandung nilai-nilai pendidikan yang luhur sebagaimana tercantum dalam falsafah pencak silat, yaitu falsafah budi pekerti luhur.


(5)

v

Salah satu bentuk melestarikan budaya bangsa adalah melalui pembelajaran pencak silat di sekolah dan di luar sekolah. Di lembaga pendidikan formal seperti di sekolah pencak silat merupakan bagian dari kurikulum pendidikan jasmani yang diajarkan dari mulai jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi, meskipun dalam pelaksanaannya belum optimal karena berbagai persoalan. Sedangkan di luar sekolah diajarkan pada dinas dan instansi, baik instansi pemerintah maupun instansi swasta.

Pembinaan pencak silat yang mengandung falsafah budi pekerti luhur dijiwai oleh nilai-nilai masyarakat melayu yang mengajarkan nilai-nilai seperti: Taqwa yang artinya beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tanggap artinya peka terhadap perubahan, bersikap berani, dan terus meningkatkan kualitas diri. Tangguh artinya ulet dalam usaha mengembangkan kemampuan agar dapat menghadapi dan menjawab setiap tantangan guna mencapai suatu tujuan. Tanggon berarti sanggup menegakkan keadilan, kejujuran, kebenaran, mempunyai harga diri, sikap ksatria yang mandiri dan percaya diri. Trengginas berarti energik, kreatif, inovatif, dan mau bekerja keras untuk mengejar kemajuan yang bermanfaat bagi masyarakat.

Sebagai upaya membangun kembali citra bangsa Indonesia yang masyarakatnya ramah, suka bergotong royong, respect dan tanggung jawab, dan bukan masyarakat yang mudah bertindak kekerasan, perilaku agresif, dan kurang terkendali, maka dalam penelitian ini penulis mencoba mengangkat tema penelitian mengembangkan pendidikan karakter melalui pembinaan olahraga pencak silat. Apakah melalui pembinaan olahraga pencak silat dapat meningkatkan karakter baik siswa? Secara praktis penelitian ini diharapkan mampu memecahkan persoalan ini,


(6)

vi

agar olahraga pencak silat dapat diajarkan sesuai dengan tujuan pendidikan secara umum, yaitu meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.

Pada Bab II peneliti menelusuri landasan teori yang berhubungan pendidikan karakter dan cara mengembangkannya melalui pembinaan olahraga pencak silat. Bab III membahas tentang metodologi penelitian, meliputi metode yang digunakan, variabel penelitian, populasi dan sampel, prosedur penelitian, instrumen penelitian, uji coba instrumen, dan teknik analisis data. Pengolahan dan analisis data disajikan pada Bab IV sebagai pembuktian secara statistik terhadap data yang diperoleh. Kemudian dilanjutkan dengan pengujian hipotesis, diskusi penemuan, dan beberapa hal yang dipandang oleh peneliti sebagai faktor-faktor keterbatasan penelitian. Pada bagian akhir penelitian ini dikemukakan kesimpulan, implikasi dan saran-saran untuk para guru, pelatih dan stakeholder lainnya yang terkait dalam pendidikan.

Bandung Januari 2012

Mulyana


(7)

vii

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah Subhanahuwata’ala atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga proses studi dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan. Atas bantuan dan bimbingan promotor, co-promotor dan anggota serta bantuan dari berbagai pihak yang memungkinkan disertasi ini dapat diwujudkan, peneliti menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya.

Pernyataan terima kasih pertama-tama disampaikan kepada yang terhormat Prof. Dr. H. Rusli Lutan sebagai Promotor, Prof. Dr. H. Syamsu Yusuf LN sebagai Ko-promotor dan kepada Danu Hoedaya Ph.D. sebagai anggota, atas saran-saran yang diberikan dan dorongan untuk melihat wawasan yang lebih luas, yang memberikan makna kepada peneliti. Untuk itu semua, peneliti menyampaikan rasa terima kasih yang tulus.

Terima kasih juga disampaikan kepada para staf pengajar Program Doktor Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia yang telah memperluas wawasan penulis. Selanjutnya ucapan terima kasih disampaikan kepada Dede Setiawan, M. M. Pd. sebagai Kepala Sekolah SMP Negeri 22 Bandung, Lies Irma sebagai guru Penjas sekaligus guru ekstrakurikuler Pencak silat, dan teman-teman dari Pengda IPSI Jawa Barat yang telah memberikan bantuan dan kesempatan melakukan penelitian ini.

Terima kasih disampaikan kepada Prof. Dr. H Didi Suryadi, M Ed. sebagai Direktur Sekolah Pascasarjana, Dr. M. Solehuddin, M. Pd., M.A, Asdir I, beserta jajarannya yang telah memfasilitasi dalam menyelesaikan studi.


(8)

viii

Kepada Prof. Dr. H. Adang Suherman, M.A, sebagai Ketua Program Studi Pendidikan Olahraga Sekolah Pascasarjana UPI yang telah memberikan dorongan dan kesempatan untuk menyelesaikan studi.

Terima kasih kepada rekan-rekan dosen Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan, dosen Jurusan Pendidikan Kepelatihan, dan rekan-rekan mahasiswa Program Studi Pendidikan Olahraga Sekolah Pascasarjana UPI atas semua bantuan dan dorongan yang diberikan. Akhirnya terima kasih yang tulus disampaikan kepada seluruh keluarga, istri tercinta, Nani Rohayani, S. Pd., dan anak-anakku M. Hamzah Ramadhan, Safira Aulia Khoerunnisa, M. Rifqy Akbar, atas dorongan dan kesabaran yang diberikan sehingga memungkinkan studi ini dapat terselesaikan.

Semoga hasil penelitian ini memberikan manfaat bagi pengembangan pendidikan umumnya dan pendidikan jasmani khususnya di Indonesia.

Bandung, Januari 2012 Peneliti,


(9)

ix DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ………. I

PERNYATAAN ……….. III

KATA PENGANTAR ……….. IV

UCAPAN TERIMAKASIH ……….. VII

DAFTAR ISI ………. IX

DAFTAR TABEL ………. XII

DAFTAR GAMBAR ……… XIV

DAFTAR LAMPIRAN ………... XV

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian……….………

1. Krisis Moral ………

2. Olahraga dan Pendidikan Karakter ……… 3. Pendidikan Karakter Melalui Olahraga dalam Perspektif

Sejarah……….. B. Masalah Penelitian ……… ………. C. Identifikasi Variabel dan Pertanyaan Penelitian..……….………... D. Tujuan Penelitian ……….. E. Manfaat Penelitian ……….………... F. Asumsi Dasar.. ……….……….. G. Hipotesis……….. ……….………. H. Metode Penelitian ………. I. Lokasi Dan Sampel Penelitian ……….………..

1 1 5 11 15 21 22 23 24 27 28 29 BAB II LANDASAN TEORI

A. Teori Etika…………. ………..………. 1. Pengertian Etika……….. ………. 2. Beberapa Aliran Pada Teori Etika………. ..… 3. Teori Etika Deontologi dan Etika Teleologi……….……… B. Pendidikan Karakter…… ………...

30 30 31 34 38


(10)

x

1. Pengertian Karakter………... 2. Faktor–faktor yang Mempengaruhi Karakter.………. C. Komponen Pendidikan Karakter ……….. 2.1. Pengetahuan Moral (Moral Knowing)...……….... 2.2. Perasaan Moral (Moral Feeling)……… 2.3. Tindakan Moral (Moral Action)……….. …. D. Tahapan Perkembangan Karakter Moral……….. 1. Fase Bayi: Membangun Fondasi Moral……….. 2. Fase 1: Berpikir Egosentris… ……….. ………. 3. Fase 2 : Patuh Tanpa Syarat……….. ………. 4. Fase 3 : Memenuhi Harapan Lingkungan ……….. 5. Fase 4 : Ingin Menjaga Kelompok ………. 6. Fase 5 : Moralitas Tidak Berpihak ………. E. Moralitas dalam Olahraga……….. 1. Fair Play ……….. 2. Sportsmanship ………. 3. Karakter ……….. F. Konsep Olahraga Sebagai Character and National Building…………... 1. Partisipasi Olahraga dan Kepribadian………. 2. Partisipasi Olahraga dan Perilaku……….. ……… 3. Partisipasi Olahraga dan Kenakalan Remaja ……….. 4. Partisipasi Olahraga dan Perilaku Agresif……….. G. Pendidikan Jasmani Sebagai Character and National Building……… 1. Pendidikan Jasmani dan Moral Karakter ………... 2. Pendidikan Moral melalui Pendidikan Jasmani……….. 3. Fungsi Pendidikan Jasmani dalam Membentuk Karakter Siswa… 4. Hasil-hasil Penelitian yang Relevan ………. H. Potensi Pendidikan Jasmani dalam Membina Respect dan Responsibility ………. 1. Konsep Respect……….. 2. Konsep Tanggung Jawab (Responsibility)……….

38 39 45 46 51 59 64 66 67 69 73 75 77 80 83 85 86 87 87 88 89 89 90 92 93 96 99 102 102 106


(11)

xi

I. Pencak Silat sebagai Wahana Pembentukan Karakter……… 1. Tuturan Pencak Silat dalam Perspektif Sejarah ……….. 2. Pencak Silat dan Nilai–nilai Pendidikan ………

109 109 117 BAB III METODE PENELITIAN

A. Desain, Lokasi, dan Subjek Penelitian………

1. Desain Penelitian ………

2. Lokasi Penelitian dan Waktu Pelaksanaan Penelitian……… 3. Populasi dan Sampel Penelitian ………

B. Variabel Penelitian………

C. Instrumen Penelitian……. ……….. 1. Proses Pengembangan Instrumen ……….. 2. Uji Coba Instrumen ……… 3. Analisis Instrumen ……… D. Limitasi Validitas Penelitian …….……… 1. Validitas Internal ……….. 2. Validitas Eksternal ………. E. Prosedur Penelitian ………. F. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ………

125 125 127 127 130 131 137 139 139 142 142 146 147 150 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Pengolahan dan Analisis Data ………. B. Pengujian Hipotesis ……… D. Diskusi Penemuan ……….

151 157 167 BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN-SARAN

A. Kesimpulan ………..………... B. Implikasi ………….. ………... C. Saran-Saran………..

178 178 182


(12)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

3.1 Variabel, Subvariabel dan Indikator Sikap Respect………. 132 3.2 Variabel, Subvariabel dan Indikator Tanggung Jawab…….……… 133 3.3 Penyebaran Butir Pernyataan Positif Dan Pernyataan Negatif Sikap

Hormat (Respect) ………

138 3.4 Penyebaran Butir Pernyataan Positif Dan Pernyataan Negatif

Tanggung Jawab ……….……….

138 3.5 Hasil Uji Validasi Butir Soal Instrumen Skala Respect……… 141 3.6 Hasil Uji Validasi Butir Soal Instrumen Skala Tanggung Jawab…. 141 4.1 Hasil Penghitungan Rata-rata, Simpangan Baku, dan Varians

Respect Tes Awal, dan Tes Akhir Pada Kelompok Eksperimen Pencak Silat Aspek olahraga Kompetitif………. 151 4.2 Hasil Penghitungan Rata-rata, Simpangan Baku, dan Varians

Respect Tes Awal, dan Tes Akhir Pada Kelompok Eksperimen

Pencak Silat Aspek Seni………. 152

4.3 Hasil Penghitungan Rata-rata, Simpangan Baku, dan Varian Respect Tes Awal, dan Tes Akhir pada Kelompok

Kontrol……… 152

4.4 Hasil Penghitungan Rata-rata, Simpangan Baku, dan varians Tanggung Jawab Tes Awal dan Tes Akhir pada Kelompok Eksperimen Pencak Silat Aspek Olahraga Kompetitif……….. 153 4.5 Hasil Penghitungan Rata-rata, Simpangan Baku, dan Varians

Tanggung Jawab Tes Awal dan Tes Akhir pada Kelompok Eksperimen Pencak Silat Aspek Seni ……… 153 4.6 Hasil Penghitungan Rata-rata, Simpangan Baku, dan Varians

Tanggung Jawab Tes Awal dan Tes Akhir pada Kelompok

Kontrol……… 154

4.7 Hasil Penghitungan Uji Normalitas Data Respect pada Kelompok Ekperimen Pencak Silat Kompetitif ………

154 4.8 Hasil Penghitungan Uji Normalitas Data Respect pada Kelompok

Ekperimen Pencak Silat Orientasi Seni………

155 4.9 Hasil Penghitungan Uji Normalitas Data Respect pada Kelompok

Kontrol………. 155

4.10 Hasil Penghitungan Uji Normalitas Data Tanggung Jawab pada Kelompok Eksperimen Pencak Silat Olahraga Kompetitif………..

156 4.11 Hasil Penghitungan Uji Normalitas Data Tanggung Jawab pada

Kelompok Ekperimen Pencak Silat Orientasi Seni……… 156


(13)

xiii

4.12 Hasil Penghitungan Uji Normalitas Data Tanggung Jawab

Kelompok Kontrol……… 157

4.13 Uji Multivariat (Multivariate test)……….. 158

4.14 Test of Between-Subjects Effects………. 159

4.15 Hasil Uji Perbandingan Pasangan……….. 161

4.16 Profil Respect Kelompok Pencak Silat Kompetitif……….. 165

4.17 Profil Respect Kelompok Pencak Silat Seni………. 166

4.18 Profil Tanggung Jawab Kelompok Pencak Silat Kompetitif…….. 166


(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Komponen Karakter yang Baik………... 46

DAFTAR BAGAN

Bagan Halaman

3.1 Teknik Pengambilan Sampel …………. .………. 129 3.2 Langkah-langkah Penyusunan Skala Instrumen.……… 134 3.3 Langkah-langkah Prosedur Penelitian ……….. 149


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1 Model Perlakuan Kelompok A (Pencak Silat yang Berorientasi

Olahraga Kompetitif) ……… 191

Lampiran 2 Model Perlakuan Kelompok B (Pencak Silat yang Berorientasi Seni)…….……….. ……… 224

Lampiran 3 Rekapitulasi Hasil Uji Coba Instrumen Penelitian Respect……. 257

Lampiran 4 Rekapitulasi Hasil Uji Coba Instrumen Penelitian Responsibility 260 Lampiran 5 Instrumen Penelitian Respect……… 264

Lampiran 6 Instrumen Penelitian Responsibility……… 267

Lampiran 7 Rekapitulasi Data Sikap Respect dan Tanggung Jawab Kelompok Eksperimen Pencak Silat Berorientasi Kompetititif……… 271

Lampiran 8 Rekapitulasi Data Sikap Respect dan Tanggung Jawab Kelompok Eksperimen Pencak Silat Berorientasi Seni………..……….. 272

Lampiran 9 Rekapitulasi Data Skala Respect Kelompok Kontrol………….. 273

Lampiran 10 Hasil Analisis Hipotesis Multivariat ………. 274

Lampiran 11 Permohonan Izin Penelitian ……….. 281

Lampiran 12 Izin Pelaksanana Kegiatan Penelitian ……….. 282


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian 1. Krisis Moral

Akhir-akhir ini, isu tentang pentingnya pendidikan karakter menjadi wacana yang sangat hangat diperbincangkan di dunia pendidikan Indonesia, bahkan telah ditetapkan sebagai kebijakan nasional di bidang pendidikan. Rencana menteri pendidikan Nasional periode 2010-2015 mengusung pendidikan budaya dan karakter sebagai suatu keniscayaan bagi kesatuan dan persatuan bangsa (Somantri, 2011; dalam Budimansyah & Komalasari, edt., 2011:3). Gagasan tentang pentingnya pendidikan karakter sebagai landasan pembangunan, sesungguhnya sejak lama sudah dicanangkan, semenjak era kepemimpinan Soekarno yang dikenal dalam visi “character and nation building” yang menjadi payung semua aspek pembangunan, termasuk olahraga. Visi ini merupakan kristalisasi dari semangat kebangsaan, yang secara historis mengkristal dalam wujud gerakan Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, dan Proklamasi 1945. Selanjutnya dalam Rancangan Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 (UU RI Nomor 17 Tahun 2007) tercantum, “…terwujudnya karakter bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, dan bermoral berdasarkan pancasila, yang dicirikan dengan watak dan perilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beragam, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, bertoleransi, bergotong royong, berjiwa


(17)

patriotik, berkembang dinamis, dan berorientasi ipteks.” (Winataputra & Saripudin 2011; dalam Budimansyah & Komalasasi, 2011:12).

Kebijakan pembangunan nasional merupakan artikulasi aspirasi bangsa dalam menyikapi kegalauan seluruh komponen bangsa tentang kondisi bangsa yang dirasakan mengkhawatirkan saat ini dan prospek bangsa di masa depan. (Winataputra & Saripudin, 2011; dalam Budimansyah & Komalasari, 2011:12), Persoalan budaya dan karakter bangsa kini menjadi sorotan tajam masyarakat (Somantri 2011; dalam Budimansyah & Komalasari, 2011:5). Persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, perusakan, perkelahian masal, kehidupan ekomoni yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak produktif dan sebagainya menjadi topik pembahasan hangat di media masa, seminar, dan berbagai kesempatan.

Di sekolah-sekolah di Indonesia sering terjadi konflik antar pelajar yang di negara-negara Barat dinamakan bullying, berupa tindakan agresi baik fisik maupun non fisik (Krahe, 2005). Aksi kekerasan di kalangan pelajar terutama di ibu kota sudah sedemikian mengkhawatirkan, tercermin pada data Polda Metro Jaya Jakarta yakni pada tahun 1998, tercatat 230 kasus tawuran yang melibatkan 97 sekolah. Pada kasus tersebut dilaporkan korban yang sangat signifikan yakni, 15 orang meninggal dunia, 34 orang luka berat, dan 108 luka ringan. Selain itu hasil penelitian Dina, Wahyu, dan Farrah (2001) di 5 SMK–TI Bogor dengan sampel 903 siswa, mengungkap data 66.7% siswa terlibat tawuran; 48.7% tawuran dengan menggunakan batu, 26% melakukan pemukulan dengan alat (kayu, besi dll), dan 1.7% menggunakan senjata tajam.


(18)

Sampai hari ini belum terungkap jelas akar persoalannya, mengapa banyak pelajar sangat agresif berkelahi dan mudah hilang kesabaran dalam mengendalikan diri. Penelitian terhadap kasus ini diantaranya mengungkap pengaruh ikatan kelompok. Dari 230 kasus tawuran di Jakarta, menurut hasil penelitian Dina et al, (2001), tercatat 25% dari 203 responden mengaku anggota gang, dan 66% dari remaja yang ikut tawuran tersebut karena alasan solidaritas.

Ikatan solidaritas itu juga mendorong siswa merusak diri sendiri misalnya menggunakan narkoba, minuman keras, dan seks bebas. Hasil penelitian Dina et al, (2001) di 5 SMK-TI Bogor memperlihatkan hasil yang mengejutkan yaitu: 30.3% siswa mengkonsumsi minuman keras, 15.4% pecandu narkoba, 34.6% berjudi/taruhan, 68% pernah nonton film porno, dan 3.2% pernah melakukan hubungan seks.

Mengabaikan sikap tanggung jawab juga secara nyata dapat menurunkan etos kerja. Penelitian Dina et al, (2001) dari 5 SMK-TI di Bogor menunjukkan bahwa: 87% siswa sering tidak mengerjakan pekerjaan rumah, 75% sering membolos, 33% keluyuran pada jam sekolah, 57% gemar duduk-duduk di pinggir jalan. Semua fenomena yang digambarkan tersebut memerlukan penanganan yang sangat serius dalam pendidikan.

Kecenderungan perilaku kekerasan atau perilaku negatif tersebut dapat dianggap sebagai pertanda krisis moral. Gejala krisis moral di kalangan pelajar diduga merupakan dampak globalisasi diperkuat oleh kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi. Kecanggihan teknologi tersebut membuka peluang lebar-lebar bagi merembesnya budaya asing yang boleh jadi tidak relevan dengan


(19)

budaya lokal. Kondisi ini apabila tidak diantisipasi dengan baik dapat berakibat buruk terhadap perubahan pola pikir dan perilaku siswa yang tidak terkendali. Televisi saat ini adalah media yang sangat efektif untuk menyampaikan berbagai macam informasi. Berbagai tayangan seperti berita kekerasan seringkali jadi tontonan anak-anak. Oleh karena itu televisi dianggap salah satu faktor kuat yang mempengaruhi perilaku individu. Menurut Krahe (2005), semakin sering orang melihat adegan kekerasan, akan memperburuk perilaku moralnya sehingga cenderung menjadi anak yang kurang sabar, agresif, dan mudah menyerah.

Kekerasan yang terjadi di kalangan pelajar dan masyarakat tersebut seolah dianggap biasa untuk melakukannya. Tulisan artikel Subandy (dalam Pikiran Rakyat, 21 April 2007), mungkin ada benarnya bahwa kekerasan yang dilakukan di suatu tempat ditiru ditempat lain. Kekerasan seolah-olah sudah menjadi gaya hidup, dan tampil seperti ritual dalam kehidupan. Kekerasan yang ditampilkan secara demonstratif oleh anggota geng motor atau suporter sepak bola misalnya tidak disertai kesan merasa bersalah, tetapi sebaliknya merasa bangga dalam perilaku ikatan kolektif, menyebabkan orang menjadi korban. Perilaku semacam itu dapat diinterpretasikan dari konsep Eric Fromm (1973), yaitu merupakan perilaku masyarakat kaum nekrofilus yaitu masyarakat yang mencintai kekerasan ketimbang kelembutan, suka kekacauan ketimbang kedamaian, dan suka keburukan ketimbang keindahan.

Untuk mengatasi masalah besar tersebut, pendidikan merupakan cara terbaik, sehingga dalam kebijakan nasional, pendidikan karakter berfungsi: (1) membentuk dan mengembangkan potensi manusia Indonesia berpikiran baik,


(20)

berhati baik, dan berperilaku baik sesuai dengan falsafah hidup pancasila, (2) memperbaiki dan memperkuat peran keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, dan pemerintah untuk ikut serta dalam pembangunan bangsa, (3) memilih budaya bangsa sendiri, dan menyaring budaya asing yang tidak relevan (Winataputra & Saripudin, 2011; dalam Budimansyah & Komalasari, 2011:13).

2. Olahraga dan Pendidikan Karakter

Bangkitnya kesadaran tentang pentingnya pendidikan watak terkait dengan perlunya seleksi terhadap nilai budaya yang berasal dari luar terdorong oleh aneka masalah dan tantangan yang dianggap sudah mengancam eksistensi bangsa. Fungsi penyaringan, salah satu di antara tiga fungsi yang tercantum dalam Kebijakan Nasional Pembangunan Bangsa (UU RI, 2011), menandaskan, pembangunan karakter bangsa berfungsi untuk memilah budaya bangsa sendiri dan menyaring budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat.

Ancaman itu sesungguhnya tidak semata-mata soal kekerasan dan penyimpangan perilaku serta perbuatan amoral yang sudah merebak di masyarakat, tetapi lebih mendalam lagi yakni munculnya perilaku kolektif yang kian merongrong ketenangan dan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Rongrongan itu berupa “isme” baru seperti “terorisme,” yang menyebarkan ketakutan dan sikap tidak toleran dalam perbedaan; vulgarisme semacam keterbukaan, keterusterangan, yang mungkin diakibatkan oleh ekses reformasi dan perubahan drastis menuju kehidupan demokrasi yang lebih mementingkan hak individu ketimbang tanggung jawab. Segala sesuatu dianggap boleh dibuka atau


(21)

dibicarakan secara “blak-blakan”, yang mestinya tidak semua perlu diketahui oleh khalayak umum. Semuanya seolah-olah sudah pantas masuk ke dalam “public shere”, ruang publik dalam makna bukan fisikal, sehingga orang tidak lagi merasa malu atau risi bila misalnya terungkap terlibat korupsi, perbuatan asusila atau masalah-masalah keluarga yang tidak senonoh. Akar masalah itu semuanya dapat dikembalikan pada isu moral, keputusan moral, yang pada gilirannya menyangkut karakter.

Sebagai bagian dari kehidupan masyarakat, olahraga mencerminkan nilai yang juga sebagai komponen budaya. Olahraga, seperti penjelasan Shields dan Bredemeier (1995: 1) merupakan “ . . . a highly symbolic and condensed medium for cultural values, a vehicle by which many young people come to learn about the core value of their culture.” Kata kunci dalam ungkapan tersebut adalah “highly symbolic” dan “core values”. Olahraga dianggap sebagai pengejawantahan cara hidup nyata, dan wahana bagi anak muda untuk belajar nilai-nilai inti. Karena itu Riysdorp, mantan dosen Akademi Pendidikan Jasmani Bandung tahun 1950-an, sebagai ketua ICHPERSD, ketika membuka konferensi ICHPERSD di Bali tahun 1975 mengatakan bahwa konsep olahraga yang dianut oleh bangsa Indonesia sangat tepat (Rusli Lutan 2001). Olahraga, kata Riysdorp, terdiri dari dua kata, “olah” dan “raga”. Olah, seperti lazim digunakan untuk menyebut proses mengolah tanah dalam pertanian, atau mengolah bahan makanan sehingga menjadi lezat, begitu dekat dengan kata “cultivization” dalam bahasa Inggris, yang maknanya dekat sekali dengan makna kata “education” yang diterjemah ke dalam bahasa Indonesia, pendidikan. Selanjutnya kata raga lebih


(22)

menunjuk kepada makna luas, kesatuan jiwa dan raga, yang bersandar pada filsafat monism. Karena itu di bagian lain Risydorp menjelaskan misi pendidikan jasmani merupakan proses pembinaan dan sekaligus pembentukan yang diungkapkannya dalam istilah forming.

Implikasi dari pandangan tersebut adalah sering dijumpai pengertian pendidikan sebagai proses pengalihan nilai budaya dari generasi tua ke generasi muda. Dalam pembahasannya tentang landasan budaya pendidikan, Pai (1990: 4) menjelaskan, dari perspektif budaya pendidikan itu dapat ditilik sebagai “ . . . a deliberate mean by which each society attempts to transmit and perpetuate its notion of good life, which is derived from the society’s fundamental beliefs concerning the nature of the world, knowledge, and values.” Upaya sadar dan sengaja serta bertujuan itu dimaksudkan untuk mengalihkan dan sekaligus menanamkan makna hidup yang baik, yang diangkat dari kepercayaan dan keyakinan masyarakat yang sangat mendasar tentang hakikat dunia, pengetahuan dan nilai. Kendati banyak definisi tentang pendidikan. Sesuai dengan sudut pandang masing-masing, tetapi para ahli pendidikan sering menggunakan istilah pendidikan sebagai proses akulturalisasi, seperti juga diungkap kembali oleh Somantri (2011; Budimansyah & Kumalasari Edt., 2011:1): “Dalam dunia pendidikan, proses akulturalisasi dan perubahan perilaku bangsa menjadikan masyarakat memasuki complex adaptive system.”

Memang ada persoalan, jika yang dimaksud dengan akulturalisasi itu semata-mata dalam pengertian hanya mengalihkan nilai, pengetahuan atau kearifan masa lalu yang dikemas dalam pengalaman belajar yang bermakna—


(23)

meaningful experience meminjam istilah yang dikembangkan oleh Dewey dalam naskah klasik, John Dewey and Experience (1938), tentang filsafat pengalaman, sebab tidak semua pengalaman itu mengandung nilai pendidikan. Jika semata-mata proses akulturalisasi maka yang terjadi, menurut Dewey yakni kegiatan utama lembaga pendidikan formal, dalam hal ini persekolahan, adalah mengalihkan kepada generasi muda “ . . . the bodies of information and of skill that have been worked out in the past.” Hal-hal masa lalu digunakan untuk mempersiapkan generasi muda menghadapi masa yang akan datang.

Untuk keluar dari kesulitan ini, terbantu oleh penjelasan padat Somantri (Budimansyah & Komalasari, 2011:1) yang menyatakan “ . . . menjadikan masyarakat memasuki complex adaptive system.” Dalam pernyataan ini tersirat makna pendidikan itu adalah untuk meningkatkan kapasitas peserta didik, ungkapan dalam nuansa teori konstruktivisme, yang pada intinya, menurut paparan Rovegino dan Dolly dalam naskahnya Constructivist Perspective on Learning (dalam Kirk, et,al Edt, 2006) menekankan pentingnya proses ajar yang memungkinkan meningkatnya kemampuan peserta didik untuk menumbuhkembangkan sendiri pengetahuan terkait dengan pengetahuan terdahulu. Kualitas ini diperlukan karena dibutuhkannya kemampuan beradaptasi dengan lingkungan serba baru yang berubah-ubah cepat dan tidak menentu.

Persoalan yang menarik adalah, bila pendidikan jasmani khususnya dan olahraga pada umumnya dipandang mengandung potensi pendidikan, dan merupakan bagian integral dari pendidikan pada umumnya, sejauh mana olahraga itu dapat dimanfaatkan untuk ikut serta memberi arah bagi perkembangan dan


(24)

perubahan sosial? Sejauh mana olahraga berpengaruh terhadap pembentukan watak atau karakter?

Untuk menjawab isu itu beberapa asumsi diajukan oleh para ahli pendukung olahraga sebagai alat pembentukan karakter. Terlepas dari kekurangan yang ada yang sering ditampilkan oleh olahraga, khususnya olahraga kompetitif, Shields dan Bredemeier (1995: 2) mengatakan bahwa “sport is at once a mirror and molder of social values; it reflects society’s potentials and limitations.” Dengan kata lain, olahraga merupakan cermin dan sekaligus wadah penjabaran nilai sosial; olahraga itu sekaligus mencerminkan potensi dan kelemahan masyarakat. Namun di bagian lain, Shields dan Bredemeier (1995:2) mengungkapkan bahwa “. . . sport is replete with opportunities to encounter, learn, transform, and enact moral values.” Begitu melimpah kesempatan untuk langsung mengalami, belajar dan mengalihkan nilai moral dalam olahraga. Selanjutnya dijelaskan bahwa begitu sering terjadi konflik moral dalam olahraga, seperti “the norm of fair play” dan “the desire to win”. Atas dasar alasan itulah, seperti pendapat Brickman (1977) dan Mark, Briant dan Lehman, (1983), yang dirangkum oleh Shields dan Bredemeier (1995: 2) yaitu “Sport may be an ideal setting for introducing children to conventional moral thinking. Some have ever suggested that society could benefit from emulating sport’s predominantly equity-based justice system.” Dikatakan ideal, karena dalam olahraga itu di antaranya diperagakan nilai inti yaitu sistem keadilan berlandaskan kesetaraan.

Setelah dicermati paparan di atas, maka perlu menegaskan posisi. Pertama, sudah waktunya profesi pendidikan jasmani dan olahraga di Indonesia mengambil


(25)

peranan ikut serta peduli untuk melaksanakan pendidikan karakter. Kecenderungan ini juga pernah disuarakan di AS, seperti dalam paparan Park (1983; dalam Shields & Bredemeier, 1995:2): “ . . . moral development as one of the most important social issues facing contemporary physical education.” Kedua, terkait dengan ide itu, dibutuhkan landasan filosofi, berkenaan dengan psikologi moral, yakni perlu dihapus pandangan dualisme jiwa-raga. Dalam kaitan ini kita sepaham dengan teori klasik Piaget yang menegaskan bahwa “ . . . children’s physical play to be the foundation for every cognitive advance, from quantum physic to interpersonal morality.” Piaget menekankan pentingnya aktivitas jasmani bagi anak karena penting bagi perkembangan kemampuan kogntif dan moral. Karena itu implikasi penting adalah perlunya diberikan kesempatan seluas mungkin bagi anak untuk mengeksplorasi lingkungannya melalui kegiatan bermain dan aktivitas jasmani yang sehat dan aman. Kemalasan dalam segala bentuknya dan hilangnya fitrah anak sebagai “mahluk bermain” merupakan bagian dari ancaman yang nyata kita hadapi karena menghambat perkembangan anak secara menyeluruh.

Ketiga, perlu dihapus pandangan dikhotomi individu dan masyarakat. Dalam konteks perkembangan moral, prosesnya tidak terlepas dari lingkungan. Pada awalnya Kohlberg, dalam pengembangan teori moral terfokus pada “individual moral reasoning”, pertimbangan moral secara individual. Baru akhir-akhir ini para sarjana mulai secara seksama mencermati “ . . . how social interaction and social context affect morality” (Kurtines & Gewirtz, 1987, 1991 a, 1991b, 1991c; Lind, Hartmann, & Wakenhut, 1985; dalam Shields & Bredemeier


(26)

(1995: 3). Posisi penting yang menjadi pegangan berikutnya adalah teori social-cognitive, yang menekankan model kausalitas, hubungan timbal balik antara perilaku manusia, faktor kognisi dan personal lainnya, dan kejadian di lingkungan.

3. Pendidikan Karakter Melalui Olahraga dalam Perspektif Sejarah Ungkapan tentang olahraga sebagai wahana pembentukan karakter pada masa kini dapat dirunut ke latar belakang sejarah. Perkembangan olahraga modern sebagai entitas global memiliki kaitan yang kompleks dengan pendidikan, ungkap Rees dan Miracle (2001; dalam Coakley & Dunning, Ed., 2006:277) dalam pembukaan artikelnya yang berjudul Education and Sports. Terdapat kesepahaman di kalangan sarjana olahraga (misalnya, Dunning, 1971; Gutmann, 1994; Mangan, 1981) bahwa pemanfaatan olahraga sebagai alat pembentukan watak bermula di sekolah “pemerintah” (sebenarnya di asrama sekolah swasta) di Inggris, tepatnya pada pertengahan abad ke-19. Di situlah olahraga beregu pertama dibina sebagai alat pendidikan untuk membina kebajikan (Mangan, 1981; Shields & Bredemeier, 1995: 176; Rees & Miracle (2001; dalam Coakley & Dunning, Ed., 2006:277). Olahraga seperti kriket dan rugby dibina dengan maksud untuk “ . . . to teach “manly” characteristic such as group loyality, physical toughness and self reliance.” (Rees & Miracle (2001; dalam Coakley & Dunning, (Ed.), 2006:277). Istilah “manly” di sini menunjuk kepada sifat kelaki-lakian, dan menurut Mangan (1981) yang dikutip Rees dan Miracle (2001; dalam Coakley & Dunning, Ed., 2006:278) kegiatan itu dilakukan setiap hari, tetapi biasanya tiga kali seminggu. Praktik pembinaan itu sangat popular pada tahun


(27)

1880-an, dimaksudkan sebagai bagian dari kehidupan Spartan di asrama, membina anak laki-laki untuk memikirkan dirinya sebagai orang-orang elit di masyarakat dan menyiapkan mereka menerima kepemimpinan di dalam dan di luar negeri.

Menurut catatan Mangan (1981; dalam Coakley & Dunning, Ed., 2006:278), program pembinaan tersebut menjadi bagian dari gerakan “Muscular Christianity yang intinya menegaskan bahwa menjadi kewajiban kaum gentleman Inggris “ . .. to help civilize what they perceive to be “less” fortunate” races which become part of the expanding British Empire.” Orang Inggris berkewajiban untuk memberadabkan ras yang “tidak beruntung” agar menjadi bagian Inggris Raya. Istilah “tidak beruntung” di sini sekadar penghalusan ungkapan “tidak beradab.”

Program pembinaan olahraga sebagai alat pembentukan watak itu selanjutnya mengandung motif politik untuk mendukung kepentingan Inggris di negara-negara jajahannya, yakni membekali pemuda Inggris dengan sifat-sifat tangguh seperti “percaya diri, determinisme, kekuatan fisik dan mental, dan keberanian guna memberdayakan mereka menjadi tentara, administrator dan misionaris di negara-negara koloni” (Shields & Bredemeier, 1995: 176). Gerakan Muscular Christianity jadi popular dalam novel Charles Kingsley, dan khususnya dalam Tom Crown’s Schoolday, karangan Thomas Hughes, yang memperkuat mitos tentang ide bahwa “olahraga membentuk karakter ” (Rees & Miracle (2001; dalam Coakley & Dunning, (Ed.), 2006:278).


(28)

Penelusuran benang merah dalam literatur, bagaimana kaitan antara olahraga dan pendidikan watak, dalam konteks kemasyarakatan Indonesia cukup sulit karena terbatasnya sumber-sumber yang ditulis secara cermat dan sungguh-sungguh oleh sarjana olahraga Indonesia. Namun dalam dokumen terpisah-pisah dapat dijumpai informasi. Pertama, dikembangkannya olahraga modern dengan mengadopsi olahraga Barat yang diperkenalkan oleh para penjajah dalam hal ini Inggris dan Belanda tiada lain merupakan “alat” perjuangan untuk menuju masyarakat modern. Dalam kaitan ini Collin Brown (2006:433) menjelaskan partisipasi dalam olahraga Barat itu merupakan “ . . . symbolic of the breaking of ties with traditional society, and adopting the individualistic, egalitarian norms of the modernizing world; it was in many respects a quasy-revolutionary act.” Status dalam olahraga benar-benar pada perorangan, bukan karena hubungan kerabat, sebab prestasi secara transparan dicapai oleh jerih payah pribadi, bukan karena keberpihakan siapa-siapa. Berdasarkan ciri ini De Wachter (2001) yang disitir kembali oleh Brown (2006: 432) menyebutkan olahraga modern adalah “a mirror of modernity”—cermin dari modernitas. Dengan mengadopsi olahraga Barat yang terjadi adalah semacam revolusi dalam perbuatan, karena secara simbolik seseorang melepaskan dirinya dari ikatan tradisional, mengadopsi nilai individualistik, dan norma egaliter yang dicirikan oleh dunia modern.

Kedua, praktik pembinaan olahraga di Indonesia pada awal revolusi ditandai oleh motif, olahraga sebagai bagian dari kebangkitan bangsa. Sangat kentara motif ini setelah pasca revolusi, ketika mulai digulirkan Pekan Olahraga Nasional. Tokoh sentral Bung Karno, tidak diragukan, memposisi olahraga dalam


(29)

visi “character and nation building dan gerakan olahraga merupakan bagian revolusi nasional (Rusli Lutan, 2005:414). Di bagian lain Rusli Lutan menuturkan bahwa perkembangan olahraga ketika mencapai puncaknya dalam era Soekarno awal tahun 1960-an didorong oleh motif politik, pengungkapan nasionalisme, dan lebih tegas lagi dalam rangka membangun Indonesia baru melalui tesisnya yang terkenal: menjebol dan membangun. Sasaran utama Soekarno, melalui olahraga adalah untuk membentuk self-esteem bangsa, yang dikonsepsikannya sebagai “Indonesia Baru” dalam pengertian ras dan anthropologi, yang berdiri tegak secara fisik dan mental. Soekarno menegaskan: “Kita ingin menjadi Indonesia baru yang berani melihat dunia dengan jiwa terbuka, percaya diri dan kuat jasmani dan rokhani.” (Rusli Lutan, 2005: 416)

Ungkapan politis seperti itu sebenarnya bukanlah baru, karena sejak PON diselenggarakan misalnya, dalam setiap sambutannya di depan publik Bung Karno selalu memfokuskan perhatian pada kemerdekaan, Indonesia memerintah dirinya sendiri dan juga tentang hormat diri bangsa. Tujuan nasional Indonesia, kata Soekarno adalah untuk membentuk kehidupan bangsa sesuai dengan prinsip Pancasila. Senafas dengan tujuan ini dalam pidatonya yang ditulis tangan (Djakarta 1 Djanuari 1954) antara lain beliau mengomentari keikutsertaan para atlet dalam PON yang meningkat dari PON ke PON: “Apakah ini berarti kenaikan minat-sport sadja? Ja. Tetapi djuga lebih dari itu. Ini berarti pula bahwa di kalangan pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi kita tidak pernah luntur trisumpah, bertanah air satu, berbangsa satu, berbahasa satu. Bahkan dengan sport dapatlah


(30)

kesetiaan kepada trisumpah itu dipupuk-dihidupkan!” (Dikutip di sini sesuai dengan ejaan aslinya).

Jarang kita mendengar fikiran tokoh lainnya tentang olahraga. Hatta sebagai wakil presiden mengutarakan buah pendapatnya dengan gaya yang berbeda. Bila Soekarno singkat, lugas, sederhana tetapi membakar semangat. Hatta menulis dalam paparan lebih akademis dalam ungkapan campur-campur bahasa Belanda, Inggris dan Jerman. Tetapi benang merah yang paling menarik, yang didokumentasikan dalam Laporan resmi (1954) beliau menegaskan pentingnya “sporting spirit” , penyempurnaan “karakter olahraga” (Atmosantoso, 1951; dalam Collin Brown 2006: 435). Hatta menekankan bahwa spirit keolahragaan itu penting bagi perkembangan demokrasi Indonesia. Menurut versi bahasa Inggris (aslinya bahasa Indonesia), yang disajikan kembali oleh Collin Brown, motif berolahraga yang bernuansa politis sebagai berikut.

This sporting spirit must give life to our developing democracy and to the achievement of social justice in the Indonesian community. Through sport we can teach our people that they should be prepared to accept constructive criticism and opinions [of others] which are better than their own; teach them to value opinions which differ from their own. Only through competition of ideas and the testing of opinions, and through hard work, can our nation speed up the achievement of national development. Pemikiran Hatta tersebut di atas menekankan peranan olahraga sebagai alat pendidikan dan pembinaan watak; pemikiran Hatta bersifat didaktik.

B. Masalah Penelitian.

Hingga kini masih terjadi debat dan silang pendapat di kalangan filosof dan peneliti tentang pengaruh olahraga terhadap pembentukan karakter (Dowel,


(31)

1971; dalam Shields & Bredemeier 1995). Antara dua kelompok, yang pro dan kontra, masing-masing mempertahankan pendapat dengan argumentasinya, disertai dukungan fakta empirik.

Dari sudut pandang pihak yang mendukung bahwa olahraga potensial dan berpengaruh terhadap pembentukan karakter. Shield dan Bredemeier (1995) menjelaskan terbentuknya karakter itu karena peolahraga itu harus mengatasi hambatan, tekun menghadapi perlawanan lawan, mengembangkan pengendalian diri, bekerjasama dengan teman seregu, dan belajar untuk hidup [terbiasa] dengan kemenangan dan kekalahan. Selanjutnya dijelaskan pula, olahraga merupakan wahana untuk belajar kebajikan seperti fairness, pengendalian diri, keberanian, ketekunan, loyalitas dan kerjasama tim.

Shields dan Bredemeier (1995) mensitir kembali uraian Peter Arnold (1984a) yang menegaskan olahraga sangat peduli dengan fairness. Dengan meminjam teori Rawls tentang keadilan (justice), Arnold (dalam Shields & Bredemeier, 1995) memaparkan bahwa fairness itu dipengaruhi oleh kebebasan dan persamaan hak, karena terkandung dua prinsip moral. Dijelaskannya, di dalam olahraga melekat kebebasan karena individu pada dasarnya bebas untuk berpartisipasi. Selain itu melekat pula prinsip persamaan hak karena ketika seseorang memutuskan untuk berpartisipasi, pada dasarnya keikhlasan tanpa paksaan untuk tunduk pada peraturan yang disepakati. Selanjutnya, karena peolahraga tahu bahwa aktivitasnya diatur oleh peraturan maka mereka memiliki kewajiban moral untuk diikat oleh peraturan, dan selanjutnya mereka merasa wajib terikat dengan peraturan yang sudah dirancang bagi kegiatan tersebut.


(32)

Pelanggaran secara sengaja terhadap peraturan menyebabkan esensi olahraga terhenti, karena olahraga terbentuk berlandaskan pada kebebasan dan persamaan.

Di bagian lain Shields dan Bredemeier (1995) mengungkapkan bahwa olahraga merupakan tempat bagi praktik kebajikan moral, karena olahraga mengandung prinsip moral. Untuk mempertegas paparan tentang pandangan yang pro terhadap olahraga sebagai wahana efektif pembentuk karakter, Shields dan Bredemeier mengutip uraian Arnold (1984a) sebagai berikut: “Moral character is developed in sport, as in other shere of life. In so far as much admired human qualities as loyality, courage and resolution are cultivated and directed to the upholding of what is fair and just in the interests of all. “ Apa alasannya bahwa olahraga merupakan wahana yang cocok dan tepat untuk mengembangkan karakter, Muray (1965) yang dikutip Arnold, (1984:279; dalam Shields & Bredemeier, (1995:174) berargumen, yaitu karena “ . . . there are not many situations in everyday life which provide either the kind of opportunities or the number of them evoking the qualities which are considered desirable.”

Argumentasi filosofis Arnold (1984) diungkapnya dari sudut pandang filsafat Emanuel Kant dalam istilah “self-formation” yakni keterlibatan pemahaman moral yang melandasi setiap praktik dan komitmen diri sendiri sebagai mahluk yang independen. Dalam olahraga self-formation ini sangat mungkin tatkala peolahraga itu menerima tanggung jawab pribadi untuk berolahraga, tidak melemparkannya kepada pelatih atau pengurus organisasi olahraga.


(33)

Akhir-akhir ini di tengah ancaman global kekerasan dan terorisme, PBB (United Nations, 2003) meluncurkan beberapa dokumen tentang nilai yang dapat dipelajari dalam olahraga: “Sport provides a forum to learn skills such as discipline, confidence and leadership and it teaches principles such as tolerance, cooperation and respect.”

Argumen Arnold (1984) dan pandangan normatif dalam dokumen PBB tersebut sangat filosofis, dan masih memerlukan data empirik sebagai pendukung. Di lain pihak, ekses olahraga, khususnya olahraga kompetitif tampak di depan mata, yang justru bertentangan dengan terbentuknya karakter, seperti kecurangan dan penipuan (misalya, kasus doping) dan kekerasan di lapangan.

Itulah sebabnya, pihak penyanggah juga kukuh dengan pendiriannya, disertai kritik keras, seperti yang dikemukakan Leopard (1972; dalam Shields & Bredemeier, 1995:175): ”If sports build character, it is character fit for a criminal.” Maksudnya perilaku dan karakter yang terbentuk melalui olahraga, dipahami cocok bagi tindakan kriminal. Kritik pedas juga terlontar dalam artikel yang ditulis Ogilvie dan Tutko (1971; dalam Shields & Bredemeier, 1995:175): If you want to build character try something else.” Dalam ungkapan lain, campakan olahraga karena justru berakibat negatif terhadap karakter. Kedua kutipan ini secara berterus terang pada posisi paling ekstrim menyanggah kebenaran bahwa olahraga efektif untuk membentuk karater.

Berkenaan dengan silang pendapat mengenai peranan olahraga untuk membentuk karakter, Shields dan Bredemeier (1995:175) mengetengahkan tiga kelompok pendapat. Pertama, pandangan yang bersifat netral, yaitu bahwa


(34)

olahraga tidak berpengaruh positif, dan tidak pula berpengaruh negatif terhadap karakter. Kedua, pendapat yang menegaskan bahwa olahraga dapat mengembangkan sifat-sifat tertentu yang diinginkan, tetapi meragukan apakah sifat itu dapat dijelmakan dalam kehidupan di luar olahraga. Ketiga, pihak yang justru membantah kebenaran bahwa olahraga berpengaruh terhadap pembentukan karakter, bahkan mereka menegaskan bahwa olahraga justru membentuk karakter yang tidak diharapkan. Para pendukung pendapat ini menegaskan “ . . . competition itself promotes antisocial behavior (Kohn, 1986; dalam Shields & Bredemeier (1995:175).

Setelah dicermati silang pendapat tersebut, penulis mengambil posisi yakni memang olahraga dan kegiatan kompetitif itu tidak dengan sendirinya mendatangkan manfaat bagi peolahraga, termasuk pembentukan karakter. Manfaat itu akan diperoleh apabila kegiatan itu dikelola sebaik-baiknya, sehingga begitu penting pendekatan pendidikan diterapkan sejak usia dini agar ekses negatif dapat diperkecil seminim mungkin, dan manfaat positif seoptimal mungkin pula. Menarik untuk dikaji adalah faktor apa yang memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya karakter melalui olahraga. Shields dan Bredemeier (1995:178) menjelaskan bahwa faktor yang memfasilitasi perkembangan karakter melalui olahraga adalah momen interaksi sosial ketika para peolahraga itu bergiat. Kedua pakar itu mengungkapkan bahwa “ . . . the potential influence of the social interaction that are fostered by sport experience.” Menjadi pelik masalahnya karena interaksi itu beraneka ragam, berbeda-beda antara cabang olahraga,


(35)

berbeda-beda pula antara satu regu dengan regu lainnya, dan bahkan antara tingkatan kompetisi.

Pencak silat termasuk seni beladiri Timur, diklaim oleh Indonesia sebagai olahraga tradisional. Pada awalnya seni beladiri ini memang digunakan untuk membentuk watak para pemuda. Semakin mahir para pemuda dalam menguasai pencak silat semakin kental penjiwaannya, bahwa pencak silat itu bukan untuk diperlihatkan di depan umum agar ditakuti, tetapi justru untuk memperlihatkan keluhuran budi dan nilai hormat kepada sesama.

Tradisi pembinaan adalah menumbuhkan tantangan, sifat-sifat kejujuran, dan sifat terpuji seperti sportivitas, dan menghormati lawan. Selama ini hampir tidak terdengar penelitian yang mencoba secara mendalam mengkaji potensi pencak silat untuk membentuk karakter, masih menjadi pertanyaan apakah sifat-sifat yang dimaksud timbul akibat pengalaman dari keterlaksanaan pencak silat itu sendiri atau akibat interaksi antara sesama pesilat atau efek dari faktor-faktor lain.

Ada sinyalemen bahwa pencak silat ditengarai sudah kehilangan jatidiri, karena mengutamakan aktivitas pencak silat sebagai kepentingan olahraga kompetitif. Nilai sportif pencak silat kian pudar karena tergeser oleh tujuan yang lebih mengutamakan kemenangan, padahal pembinaan dalam perkembangan pencak silat sebagai kegiatan yang menekankan seni sangat dominan di masyarakat.

Isu menarik lainnya adalah ada tidaknya perbedaan pengaruh antara pencak silat yang menekankan pada kompetitif dan seni terhadap pembentukan


(36)

watak. Selain itu apakah ada faktor-faktor yang membuat bahwa pencak silat itu efektif untuk pembinaan karakter. Isu inilah yang menjadi fokus peneltian ini.

C. Identifikasi Variabel dan Pertanyaan Penelitian

Variabel Bebas Pertama (X1) adalah pendekatan pembinaan pencak silat yang berorientasi pada olahraga kompetitif, yaitu pencak silat nomor tanding. Nomor tanding (wiralaga) adalah pertandingan pencak silat antara dua orang pesilat yang berlawanan dengan menggunakan unsur pembelaan berdasarkan kaidah olahraga.

Variabel Bebas Kedua (X2) adalah pendekatan pembinaan pencak silat yang berorientasi seni yaitu pencak silat yang menampilkan peragaan keindahan jurus dan kekayaan teknik secara etis, efektif, estetis, dengan tangan kosong yang diiringi oleh musik kendang pencak.

Variabel Terikat Pertama (Y1) adalah respect yaitu suatu sikap yang menaruh perhatian kepada orang lain dan memperlakukannya secara hormat. Sikap respect antara lain dicirikan dengan memperlakukan orang lain sebagimana seseorang memperlakukan dirinya sendiri; berbicara dengan sopan dengan siapapun; menghormati aturan yang ada dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Variabel Terikat Kedua (Y2) adalah responsibility atau tanggung jawab yaitu kemampuan untuk memberikan respons, atau reaksi secara cakap. Tanggung jawab dicirikan antara lain dengan melakukan apa yang telah disepakati dengan sungguh-sungguh; mengakui kesalahan yang dilakukan tanpa alasan; memberikan yang terbaik atas apa yang dilakukan.


(37)

Dari rumusan masalah dan variabel penelitian di atas secara rinci dijabarkan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Apakah ada perbedaan yang signifikan dalam hal respect dan tanggung jawab antar kelompok siswa yang mengikuti pembinaan pencak silat dibandingkan dengan siswa yang tidak diberi perlakuan. 2. Apakah ada perbedaan yang signifikan antara kelompok siswa yang

mengikuti pencak silat berorientasi olahraga kompetitif dan seni terhadap respect.

3. Apakah ada perbedaan yang signifikan antara kelompok siswa yang mengikuti pencak silat berorientasi olahraga kompetitif dan seni terhadap tanggung jawab.

D. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini untuk mengungkap pengaruh pendekatan pembinaan pencak silat sebagai alat pembentukan watak. Secara khusus penelitian ini bertujuan:

1. Menyingkap perbedaan pengaruh antara kelompok siswa yang mengikuti pembinaan pencak silat dengan yang tidak diberi perlakuan pencak silat terhadap respect dan tanggung jawab.

2. Menyingkap perbedaan antara kelompok siswa yang mengikuti pencak silat berorientasi olahraga kompetitif dan seni terhadap respect.

3. Menyingkap perbedaan antara kelompok siswa yang mengikuti pencak silat berorientasi olahraga kompetitif dan seni terhadap tanggung jawab.


(38)

D. Manfaat Penelitian

Dari perspektif pengembangan teori, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam kontek pengembangan Sport Pedagogy yang berkenaan dengan pengembangan pengetahuan pedagogi (pedagogical knowledge) program pendidikan jasmani. Program ini juga diharapkan dapat memperkaya isi kurikulum pendidikan jasmani di lembaga pendidikan sebagai pengalaman ajar yang efektif untuk mencapai tujuan pendidikan terutama dalam membangun karakter. Memberikan wawasan kepada pihak-pihak terkait seperti: orang tua, masyakat, lembaga pendidikan, dan lembaga lain tentang peranan pendidikan jasmani atau olahraga (melalui pencak silat) dalam rangka membangun karakter sebagai modal dasar pembangunan.

Manfaat praktis yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk mengatasi berbagai masalah psiko-sosial berupa perilaku kekerasan, dan perilaku negatif lainnya. Selain itu hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar kebijakan baik pemerintah pusat maupun daerah agar pencak silat dijadikan sebagai budaya yang wajib dipelajari di sekolah-sekolah dan sebagai wahana pendidikan. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai pijakan bagi penelitian berikutnya berkenaan dengan kontribusi pembinaan pencak silat terhadap tujuan pendidikan. Dengan demikian program pembinaan pencak silat dapat diselenggarakan secara sistematis sebagai pengayaan kurikulum pendidikan jasmani di semua jenjang pendidikan baik intrakurikuler maupun ekstrakurikuler.


(39)

F. Asumsi Dasar

Studi tentang pendidikan karakter terutama pada sikap hormat (respect) dan tanggung jawab (responsibility) yang dikembangkan melalui pembinaan olahraga berasumsi pada sandaraan normatif filosifis, dan hasil penelitian yang digunakan sebagai titik tolak penelaahan lebih lanjut. Asumsi itu lahir dari analisis teoretik dan empirik di lapangan.

Pembentukan karakter yang diintegrasikan ke dalam pendidikan jasmani dan olahraga, khususnya olahraga kompetitif, menurut Shields dan Bredemeier (1995: 2) bahwa “sport is at once a mirror and molder of social values; it reflects society’s potentials and limitations.” Dengan kata lain, olahraga merupakan cermin dan sekaligus wadah penjabaran nilai sosial; olahraga itu sekaligus mencerminkan potensi dan kelemahan masyarakat. Selanjutnya Shields dan Bredemeier (1995:2) mengungkapkan bahwa “. . . sport is replete with opportunities to encounter, learn, transform, and enact moral values.” Begitu melimpah kesempatan untuk langsung mengalami, belajar dan mengalihkan nilai moral dalam olahraga. Shields dan Bredemeier dengan tegas mengatakan bahwa terbentuknya karakter, karena peolahraga harus dapat mengatasi hambatan, tekun menghadapi perlawanan lawan, mengembangkan pengendalian diri, kerjasama, dan belajar untuk terbiasa dengan kemenangan dan kekalahan.

Dalam olahraga dan pendidikan jasmani siswa dibina aspek fisik, mental, sosial, dan emosional melalui interaksi sosial. Hal ini terungkap dari pernyataan klasik Baron Pierre de Coubertin, (Rusli Lutan, 2001: 1) bahwa:


(40)

Tujuan akhir olahraga dan pendidikan jasmani terletak dalam peranannya sebagai wadah unik penyempurnaan watak, dan sebagai wahana untuk memiliki dan membentuk kepribadian yang kuat, watak yang baik dan sifat yang mulia; hanya orang-orang yang memiliki kebijakan moral seperti inilah yang akan menjadi warga masyarakat yang berguna.

Ungkapan tersebut memposisikan olahraga dan pendidikan jasmani pada kedudukan yang strategis sebagai alat pendidikan yang juga diyakini oleh United Nations (2003) bahwa olahraga dan pendidikan jasmani dapat mengembangkan: cooperation, communication, respect for the rules, problem-solving, understanding, connection with others, leadership, respect for others, value of effort, how to win, how to lose, how to manage competition, fair play, sharing, self-esteem, trust, honesty, self-respect, tolerance, resilience, teamwork, discipline, confidence. Dalam prakteknya olahraga dan pendidikan jasmani tidak hanya sebatas pengetahuan dan keterampilan gerak semata, akan tetapi siswa secara langsung dapat mempraktekan nilai-nilai moral dalam pengalaman nyata.

Dukungan bukti-bukti penelitian dalam olahraga sebagai alat membentuk karakter banyak ditemukan antara lain Svoboda, (1994), Wankel dan Sefton (1994), dan Reid et al (1994) menemukan bahwa remaja yang terlibat aktif dalam kegiatan olahraga dapat meningkatkan kemampuan secara fisik, mental, sosial, dan emosional. Demikian juga sukses Hellison (1995) dalam mengajarkan sikap tanggung jawab melalui aktivitas jasmani, dalam bukunya ”teaching responsibility through physical activity. Shields dan Bredemeier, (1995) mengatakan bahwa sesungguhnya mengembangkan sikap fair play dalam olahraga, sesungguhnya merupakan perwujudan dari sikap respect. Dengan demikian banyak hal yang dapat dikembangkan melalui olahraga seperti


(41)

mengajarkan kecakapan sosial, membangun relasi sosial, kepercayaan diri, mengajarkan kerjasama, membangun moral dan nilai positif, membangun integrasi antar suku, meningkatkan kesadaran budaya dan lain-lain. Oleh karena itu kegiatan olahraga tidak diragukan lagi menjadi wahana yang strategis dalam membangun karakter bangsa, asalkan dikelola dengan prinsip pendidikan yang benar.

Pencak silat sebagai warisan budaya Indonesia yang berlandaskan pada nilai falsafah budi perkerti luhur diyakini dapat membentuk watak melalui proses interaksi antar individu, Menurut Sheilds dan Bredemeier, (1995) pembentukan watak dilihat sebagai sebuah proses reorganisasi dan transformasi struktur dasar penalaran moral. Dengan demikian pendidikan pencak silat berpotensi dalam mengembangkan watak asalkan proses pengajaran tersebut dilakukan dengan prinsip-prinsip pedagogis. Interaksi sosial yang terjadi tersebut merujuk pada nilai, norma, dan falsafah budaya Indonesia.

Perwujudan pencak silat sebagai beladiri berkembang menjadi olahraga kompetitif bukan tanpa resiko. Ditengarai bahwa pencak silat sudah kehilangan jatidiri karena mengutamakan aktivitas pencak silat sebagai kepentingan olahraga kompetitif. Nilai ksatria kian pudar karena tergeser olah tujuan yang lebih mengutamakan kemenangan. Pencak silat sebagai perwujudan ekspresi keindahan seni kian menghilang, yang pada akhirnya diduga berpengaruh terhadap pembentukan karakter moral yang berbeda. Meskipun asumsi ini tidak didukung oleh literatur yang memadai, maka pada olahraga pencak silat kompetitif pesilat sering dimotivasi oleh orientasi untuk memperoleh


(42)

kemenangan, sehingga dapat mendorong melakukan tindakan yang bertentangan dengan kaidah fair play. Leopard, Ogilvie, dan Tutko, dalam Shields dan Bredemeier (1995) menyatakan bahwa olahraga kompetitif justru berakibat negatif pada pembentukan karakter. Berbeda dengan pencak silat seni gerakan yang ditampilkan hanyalah untuk memenuhi kebutuhan estetis dan hiburan. Pencak silat seni merupakan perwujudan gerak etis dan estetis berdasarkan kaidah pencak silat yang mengandung nilai budi pekerti luhur, dan bersumber dari budaya Indonesia (PB IPSI, 1995). Itulah alasan mengapa pencak silat seni lebih efektif dalam mengembangkan sikap respect dan tanggung jawab. Meskipun sesungguhnya dalam pembelajaran pencak silat, secara khusus siswa diajarkan untuk hormat pada guru, orang lain dan juga dituntut untuk peduli dengan sesama manusia, sebagaimana diucapkan pada janjinya (talek) pada setiap kali latihan itu dimulai. Proses pembiasaan seperti ini diharapkan tertanam nilai-nilai moral yang baik pada siswanya. Siswa dituntut untuk bertanggungjawab menjaga, mengembangkan, dan melestarikan budaya lokal, kesiapan diri mendahulukan kepentingan orang lain, tidak menggunakan keterampilan beladiri untuk merugikan orang lain. Keterampilan itu justru harus dipergunakan untuk menolong sesama agar tercipta persaudaraan yang harmonis.

G. Hipotesis

Berdasarkan pada paparan asumsi dasar maka diajukan beberapa hipotesis yang memberi arah penelitian sebagai berikut:

1. Terdapat perbedaan pengaruh yang signifikan antara kelompok siswa yang mengikuti pembinaan pencak silat terhadap respect dan


(43)

tanggung jawab dibandingkan dengan siswa yang tidak diberi perlakuan.

2. Terdapat perbedaan pengaruh yang signifikan antara kelompok siswa yang mengikuti pencak silat berorientasi olahraga kompetitif dan seni terhadap respect.

3. Terdapat perbedaan pengaruh yang signifikan antara kelompok siswa yang mengikuti pencak silat berorientasi olahraga kompetitif dan seni terhadap tanggung jawab.

H. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuasi eksperimen, yakni memberi perlakuan latihan keterampilan gerak beserta nilai-nilai moral yang terkandung pada pencak silat sesuai untuk siswa SMP. Harapannya model pembinaan ini nantinya dapat dijadikan sebagai pedoman para guru penjas dan pelatih dalam pelaksanaan proses pembelajaran olahraga pencak silat.

Desain penelitian menggunakan Non–Randomised Control Group Pre-test Post-tes Design (Burn, 1994). Variabel-variabel dalam penelitian ini meliputi dua variabel bebas yang menjadi ruang lingkup subyek penelitian, yaitu (1) pendekatan pembinaan olahraga pencak silat yang berorientasi olahraga kompetitif, dan (2) pendekatan pembinaan olahraga pencak silat yang berorientasi seni, keduanya merupakan kelompok eksperimen (3) kelompok tanpa perlakuan, sebagai kelompok kontrol. Selanjutnya yang dijadikan variabel terikat, yaitu (1)


(44)

sikap respect, (hormat) dan (2) sikap responsibility (tanggung jawab) siswa dalam perannya sebagai siswa pada lingkungannya.

I. Lokasi dan Sampel Penelitian

Penelitian dilakukan di Kota Bandung Jawa Barat. Pembelajaran pencak silat di kota Bandung masih merupakan pelajaran muatan lokal pilihan. Artinya siswa dari mulai jenjang Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas, tidak diwajibkan belajar pencak silat di sekolah, melainkan hanya sebagai pilihan bagi mereka yang menyukai saja. Oleh karena itu agak sulit mencari sekolah yang menyelenggarakan ekstrakurikuler muatan lokal pencak silat, hanya beberapa sekolah saja antara lain Sekolah Menengah Pertama Negeri 22 Kota Bandung. Sampel penelitian adalah siswa sekolah menengah pertama yang mengikuti ekstrakurikuler pencak silat yang jumlahnya 40 orang. Ciri sampel antara lain berusia sekitar 12-13 tahun, dan belum pernah mengikuti latihan pencak silat.


(45)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain, Lokasi, Populasi dan Sampel Penelitian 1. Desain Penelitian

Metode kuasi eksperimen digunakan dalam penelitian ini, yakni memberi perlakuan berupa latihan keterampilan gerak pencak silat beserta nilai-nilai moral yang terkandung dalamnya yang disesuaikan bagi siswa SMP. Penggunaan metode eksperimen tersebut tujuannya untuk mengungkap pengaruh pembelajaran (pembinaan) pencak silat terhadap respect dan tanggung jawab siswa. Sesuai dengan penjelasan dalam sub bagian identifikasi variabel yang menjadi perlakuan dalam eksperimen ini adalah, pembinaan pencak silat yang berorientasi pada aspek olahraga kompetitif dan pembinaan pencak silat yang berorientasi pada aspek seni. Sementara hasil belajar sebagai variabel terpengaruh yaitu respect dan tanggung jawab.

Untuk menguji hubungan timbal balik antara variabel bebas dan variabel terikat tersebut, digunakan desain penelitian berupa tiga kelompok paralel yakni, dua kelompok memperoleh perlakuan yang disebut kelompok eksperimen, dan satu kelompok tidak memperoleh perlakuan yang kemudian disebut kelompok kontrol. Dua kelompok eksperimen yang memperoleh perlakuan yakni, satu kelompok memperoleh pembelajaran pencak silat yang berorientasi pada aspek olahraga kompetitif, dan satu kelompok lagi memperoleh pembelajaran pencak silat yang berorientasi pada aspek seni.


(46)

Desain penelitian menggunakan Non-Randomised Conntrol Group Pre-test and Post-tes Design (Burn, 1994). Pada desain ini pengambilan populasi tidak dilakukan secara acak, namun pengambilan sampel dilakukan secara acak. Setelah sampel terbentuk, sebelum eksperimen dilaksanakan terlebih dahulu di lakukan tes awal untuk mengetahui kemampuan awalnya, kemudian setelah diberi perlakuan di tes akhir untuk mengetahui dampak yang dihasilkan dari perlakuan tersebut. Desain ini dianggap memadai dan dapat memenuhi validitas internal dalam sebuah penelitian kuasi eksperimen. Data diperoleh dari hasil tes awal dan tes akhir masing-masing kelompok maka akan diperoleh jawaban, apakah perubahan yang terjadi pada kelompok yang menjalani eksperimen, benar-benar sebagai akibat dari perlakuan yang diberikan atau bukan? Apabila terdapat perbedaan nyata pada masing-masing kelompok tersebut, maka hal itu dipandang sebagai akibat dari pengalaman ajar yang disajikan dalam pelaksanaan eksperimen. Setiap kelompok menjalani tes skala respect dan tanggung jawab baik pada awal penelitian, maupun akhir penelitian.

Desain eksperimen tersebut digambarkan sebagai berikut;

Pre-Test Treatment Post-test Experiment Group Y1 X1 Y2

Y1 X2 Y2

Control Group Y1 Y2

Keterangan : Y1 : tes awal Y2: tes Akhir X1 : Perlakuan 1 X2 : Perlakuan 2


(47)

2. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kota Bandung Provinsi Jawa Barat. Pemberian perlakuan (treatment) dikenakan selama dua bulan (februari - maret 2011) sebanyak 16 kali pertemuan. Jadwal pelaksanaan penelitian dalam setiap minggu 2 kali sesi latihan, sehingga dalam setiap bulan jumlah sesi latihan 8 kali. Lama waktu latihan setiap sesi berkisar antara 90 menit sampai 120 menit. Dengan demikian jumlah seluruh pertemuan adalah 16 kali sesi latihan. Hal ini disesuaikan dengan ketentuan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di tingkat Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SMTP), yakni 16 kali pertemuan dalam satu semester.

3. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMPN 22 Kota Bandung Jawa Barat. Populasi berarti keseluruhan unit atau individu dalam ruang lingkup yang ingin diteliti. Populasi dibedakan menjadi dua macam yaitu populasi target dan populasi sampel (Sugiarto,Siagian, Sunaryanto dan Utomo, 2001). Populasi target adalah keseluruhan siswa di SMPN 22 Bandung. Sedangkan populasi sampel adalah siswa yang mengikuti ekstrakurikuler pencak silat yang dijadikan sebagai unit analisis. Dengan demikian maka, yang dikatakan populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMPN 22 Bandung yang mengikuti ekstrakurikuler pencak silat.

Dalam menetapkan SMPN 22 Bandung sebagai populasi penelitian setidaknya mengacu pada beberapa alasan antara lain: (1) pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler pencak silat di sekolah tersebut berlangsung sangat baik, karena ditangani oleh guru penjas yang sekaligus pelatih pencak silat. (2) karakteristik


(48)

moral siswa sekolah menengah pertama berada pada fase golden rule yaitu fase dimana siswa sudah mengerti moral baik dan buruk, bisa melakukan kebaikan, dan menerima tanggung jawab (Lickona, 1994). (3) sampel merupakan siswa yang belum pernah belajar pencak silat sebelumnya, (4) sampel terdiri dari siswa dan siswi yang berusia berkisar antara 12-13 tahun. Dengan demikian alasan tersebut dipandang cukup memadai dalam menetukan populasi dan sampel penelitian.

Di dalam menentukan jumlah sampel, tidak ada satu kaidah pun yang dapat digunakan secara meyakinkan (Cochran, 1991). Oleh karena itu peneliti menetapkan jumlah sampel yang dapat dijangkau sebanyak 60 orang, yang selanjutnya terbagi ke dalam 3 kelompok, yaitu kelompok A, kelompok B, dan kelompok C. Masing-masing kelompok terdiri dari 20 orang, dimana kelompok A adalah kelompok yang diberi pembinaan pencak silat yang berorientasi pada olahraga kompetitif, kelompok B diberi pembinaan pencak silat yang berorientasi seni, dan kelompok C adalah kelompok yang tidak memperoleh perlakuan. Perlu peneliti jelaskan bahwa untuk kelompok C (kelompok kontrol) adalah siswa yang tidak tergabung dalam kegiatan ekstrakurikuler pencak silat, tetapi masih merupakan siswa dari SMPN 22 Bandung.

Untuk mengurangi kemungkinan eksperimenter bias, maka dipilih siswa kelas 1 yang baru mengikuti latihan pencak silat. Tujuan penetapan sampel tersebut agar dapat meyakinkan bahwa peningkatan hasil penelitian disebabkan oleh perlakuan yang sudah dirancang sebelumnya dalam program latihan/pembelajaran.(lihat lampiran 1dan 2).


(49)

Langkah-langkah penentuan sampel untuk masing-masing kelompok dilakukan dengan cara diacak melalui undian untuk membagi dua kelompok eksperimen. Sebelum dilakukan pengacakan terlebih dahulu ditempuh langkah sebagai berikut:

1. Melakukan tes awal pada instrumen skala sikap respect dan sikap tanggung jawab, tujuannya untuk mengetahui sejauh mana respect dan tanggung jawab sampel .

2. Mengurutkan sampel dari skor yang tertinggi sampai dengan skor terendah. 3. Urutan skor tertinggi satu dan dua diundi untuk ditempatkan pada kelompok

eksperimen A dan kelompok B. Demikian juga urutan ketiga dan keempat dibagi menjadi dua kelompok dan seterusnya.

4. Untuk kelompok kontrol peneliti menentukan siswa yang tidak tergabung ke dalam ekstrakurikuler pencak silat. Hasil pembagian kelompok terlihat pada Bagan 3.1.

Kelompok Pencak Silat Olahraga

Kompetitif (A)

Pencak Silat Seni (B) Kontrol (C)

20 orang 20 orang 20 orang

Bagan 3.1. Teknik Pengambilan Sampel Populasi

terjangkau

Sampel 60 orang


(50)

B. Variabel Penelitian

Tema sentral penelitian ini adalah pendidikan karakter. Pendidikan karakter disebut juga pendidikan budi pekerti (Zuriah, 2008), atau pendidikan akhlak (Q-Anees & Hambali, 2009) yang mengandung setidaknya enam nilai moral yang berlaku secara universal yaitu: respect, responsibility, caring, honesty, fairness, dan citizenship (Martens, 2004). Menurut Lickona (1992) respect dan responsibility adalah karakter dasar (core value) yang menjadi landasan bagi nilai karakter lainnya. Selanjutnya Lickona mengatakan bahwa pembentukan karakter melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Ketiga aspek tersebut dalam pelaksanaannya harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan

Untuk membatasi ruang lingkup penelitian ini, peneliti menentukan dua variabel bebas dan dua variabel terikat. Variabel tersebut adalah: (1) variabel bebas pertama yaitu pendekatan pembinaan olahraga pencak silat yang berorientasi pada aspek olahraga kompetitif; (2) variabel bebas kedua adalah pendekatan pembinaan olahraga pencak silat yang berorientasi pada aspek seni. (1) sikap hormat (respect) dan (2) tanggung jawab.

Definisi operasional dari variabel-variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pendekatan pembinaan olahraga pencak silat yang berorientasi pada aspek olahraga kompetitif adalah pembelajaran pencak silat yang dititik beratkan pada kategori nomor tanding atau kempetitif. Kategori tanding atau wiralaga adalah pertandingan pencak silat yang dilakukan oleh dua orang pesilat dari


(1)

Budimansyah & Komalasari.Ed. (2011). Pendidikan Karakter Nilai Inti Bagu Upaya Pembinaan Kepribadian Bangsa. Bandung UPI. Widaya Aksara Press.

Burns, R B. (1994), Introduction to Research Methods, Longman Australia.

Butler, Lawrence, F. (2000) Fair Play: Respect for all. Journal of Physical Education, Recreation & Dance. Reston: Feb 2000. Vol 71, iss,2 pg 32, 4 pgs.

Character education quality standard, artikel: dalam Media Indonesi, 14 desember 2009.

Coakley. Jay, (2001). Sport in Society; Issues & Controversies. Seven Edition. University of Colorado.

Coakley & Dunning. (2006). Handbook of Sports Studies. Londom. Sage Publication.

Crum, Bart (2009), Character Development Through Sport: Empirical Evidence or Wishful thinking, Invited keynote at the conference on “Educational and Econimic Value of Sport”. National Commission on PE & Sport in cooperation with UPI, Bandung.

Depdiknas (2003) Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta, BP. Resindo Mediatama.

Dina, W F, et al. (2001) Tawuran Pelajar SMK-TI di Kota Bogor: Faktor Pendorong dan Faktor Penyebabnya. Laporan Penelitian Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB.

Docheff, D , (1998) Character in sport and physical education, Journal of Physical Education, Recreation & Dance. Reston: Feb 1998. Vol. 69, Iss. 2; pg. 24, 1 pgs.

Doty, Joseph. (2006) Sport Build Character. Journal of College & Character. 7 (3) 1-9.

Edwards,P. (1997). The Encyclopedia of Philosophy, vol 3. New York: Macmillan Publishing Co. Inc and The Free Press.

Erikson, E H (1963), Chilhood and Society. New York: W.W Norton & Company.


(2)

Freeman, W. (2001), Physical Education and Sport in a Changing Society. Campbell University, Allyn & Bacon: USA.

Fromm, E. (1973). The Anatomy of Human Destructiveness. New York: Fawcetts Crest.

Gerungan, (2004) Psikologi Sosial, Refika Aditama, Bandung.

Ghazali, I. (2011) Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program IBM SPSS 19, edisi 5, Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Goleman, D. (1997), Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosional), Alih Bahasa T. Hermaya. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.

Groot. George F. dan Notosoejitno. (2006). Pencak Silat Seni Beladiri Indonesia. PT. Granesia. Bandung

Hasanah, A. , (2009) Opini, UIN Bandung Media Indonesia 14 Desember 2009 Hellison, D 1995, Teaching Responsibility Through Physical Activity, Canada

Human Kinetic.

Hoedaya, Danu. (2009) Empati: dalam Kehidupan Bermasyarakat. UPI. Makalah Posisi Guru Besar.

Kavussanu, Maria (2008). Moral Behaviour in Sposrt: a critical review of the literature. International Review of Sport and Exercise psychology. Journal, University of Brimingham, UK. Vol 1, no 2, September 2008, 124-138. Keraf, S.A. (2002). Etika Lingkungan. Jakarta: Kompas Gramedia.

Kerlinger, F.N. (2002). Azas-Azas Penelitian Behavioral. Terjemahan Simatupang, L.R.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Koesoema, A. D. (2007), Pendidikan Karakter : Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.

Kohlberg, Lawrence (1980), Stages of Moral Development as a Basic for Moral Education. In: Mussey, Brenda (ed). Moral Development, Moral Education, and Kohlberg: Basic Issues in Philosophy, Psychology, Religion, and Education. Alabama: Religious Education Press.

Komaruddin Hidayat (2007), Pendidikan: Pembina Sekolah Berwawasan Internasional (SBI) Madania http://www.kompas.com/kompas-cetak/0502/03/opini/1538957.htm November 16,


(3)

Lickona, T. (1992), Educating for Character, How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books.

Lickona, T. (1994) Raising Good Children: From Birth Through the Teenage Years, New York: Bantam Books.

Lickona, T. (1999) Religion and Character. Newyork, Bantam.

Litchfield, Brenda, Juan M, and Laura Gray. (2007) "Engaging general biology students with learning contracts." Journal of College Science Teaching 37.2: 34. InfoTrac Humanities & Education Collection. Web

Lutan, R. et.al. (2004). Akar Sejarah dan Dimensi Keolahragaan Nasional. Direktorat Jendral Olahraga Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta

Lutan, R. (2001), Olahraga dan Etika Fair Play, Direktorat Jendral Olahraga Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta

Lutan, R. (2006). Kumpulan Transparansi Perkuliahan Seminar Isu Pedagogi Olahraga. Program Studi Pendidikan Olahraga. Bandung: SPS. UPI.

Lutan, R. (1999). Krisis Global Pendidikan Jasmani. Reinterpretasi Hasil Kongres World Summit on Physical Education dan Kesan tentang Keolahragaan Jerman. Makalah pada Lokakarya Pemantapan Kelompok-Kelompok Bidang Keahlian dalam Pendidikan Jasmani dan Ilmu Keolahragaan. FPOK UPI Bandung

Majid, A & Andayani, D. (2010), Pendidikan Karakter dalam Perspektif Islam, Bandung, Insan Citra Utama.

Marten, R. (2004), Successful Coaching, USA: Human Kinetic

Maryono, O’ong. (1998). Pencak Silat Merentang Waktu. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

McPherson, B. D., Curtis, J. E., Loy, J. W. (1989). The Social Significance of Sport. Champaign Illinois: Human Kinetics Books..

Megawangi, R. (1999), Membiarkan Berbeda, Sudut pandang Baru Tentang Relasi Gender, Bandung. Mizan Media Utama, edisi 2 2001

Megawangi, R. (2001), Mengapa Pendidikan Karakter, unpublished mimeograph, Indonesia Heritage Foundation.


(4)

Morgan, J. William & Meier V. Klaus (edt). (1995). Philosophic Inquiry in Sport. Human Kinetic. USA.Second Edition.

Muhibbinsyah. (1997). Psikologi Pendidikan; dengan pendekatan baru. Bandung. Remaja Rosdakarya.

Mulyasa. E. (2000) Kurikulum Berbasis Kompetensi: Bandung Remaja Rosda Karya.

Munas IPSI (1994), AD/ART IPSI dan Istilah-Istilah Teknik Pencak Silat. Jakarta. Munas VII IPSI (1986), Nilai-Nilai Luhur Pencak Silat Indonesia, Prasetya Pesilat

Indonesia dan Pola Dasar Pembangunan Pencak Silat, Jakarta. PB IPSI. Natawidjaja R dkk (editor). (2007), Ilmu Pendidikan: Rujukan Filsafat, Teori, dan

Praksis, Bandung, Universitas Pendidikan Indonesia Press.

Neuman, W.L. (1990). Social Research Method. (2nd ed.). Allyn and Bacon Notosoejitno, (1994), Khasanah Pencak Silat, Jakarta, CV Sagung Seto.

………, (1997b). Bagaimana Mewujudkan Kejuaraan dan Pertandingan Pesilaga yang Bermutu Tinggi. Jakarta: Gema Pencak Silat (ed 4 juli) Buletin.

Obon, B. (2009). Kebahagiaan dalam Pandangan Utilitarianisme Jeremy Bentham.STFLadalero-NTT.http://wwwbennyblogspotcom-benny.

blogspot.com/2009/10/kebahagiaan-dalam-pandangan.html

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005. Tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Depdiknas.

PB IPSI. (1997). Gema Pencak Silat (ed 2). Jakarta: Buletin.

Q-Anees. B dan Hambali, A. (2008), Pendidikan Karakter Berbasis Al-Quran, Bandung, Simbiosa Rekatama Media.

Reid, l et al (1994) Canadian Youth: Does Activity Reduce Risk? www.lin.ca/resource/html/dicument html.

Riddell, Craig W. 2004. The Social Benefits of Education: New Evidence on an Old Questions. Paper Prepared for the Conference “Taking Public

University Seriously, University of Toronto, December 3-4- 2004.

Ritzer, G & Goodman, D.J. (2003). Teori Sosiologi Modern. Edisi Keenam Jakarta: Kencana.


(5)

Riyadi (2006). Hubungan pola asuh orang tua dengan agresifitas remaja, SMA Surakarta, artikel dalam harian Wawasan, 9 Februari 2001, hal. 5).

Rohmat Mulyana, (2004) Mengartikulasikan Pendididkan Nilai, Alfabeta, Bandung

Saifudin Azwar (2003), Penyusunan Skala Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan V.

Saifudin Azwar. (1995). Sikap Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Saleh, Moch. (1997). Pencak Silat; Sejarah Perkembangan, Empar Aspek, Pembentukan Sikap dan Gerak. Bandung. IKIP.

Sarah Doolitle; Ken Demas, (2001) Fostering Respect Through Physical Activity, Journal of Physical Education, Recreation and Dance; Nov/Des 2001;72,9; Academic Research Library pg.28.

Shields and Bredemeier, (1995), Character Development and Physical Activity, United States of America: Human Kinetic

Siedentop, D. (1991). Developing Teaching Skill in Physical Education. Edisi ke tiga, Palo Alto, CA: Mayfield.

Simon, L. Robert. (1985). Sport and Social Values. New Jersey Englewood Cliffs: Prentice hall inc.

Sobur, Alex. (2003). Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia

Sugiarto, Siagian, Sunaryanto, dan Oetomo. (2001). Teknik Sampling. Jakarta. Gramedia Pustaka.

Suherman, A. (1998). Revitalisasi Keterlantaran Pengajaran dalam Pendidikan Jasmani. IKIP Bandung.

Sunaryo. (2004). Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta: Kedokteran ECG.

Svoboda, B. (1994), Sport and Physical Activity as a Socialization Environment: Scientific Review Part 1, Counsil of Europe, Committee for the Development of Sport (SDDS)

Swami Vivekanda 1995, Education for Character, Hyderabad: Vivekanda Vani Samsta)

Theodore, Brameld. (1957). Culture Foundation of Education: An Interdisciplinary Exploration. New York: Harper & Brother Published.


(6)

UNESCO, (1991), Value and Ethics and The Science and Technology Curriculum. Bangkok, Principal Regional Office for Asia and The Pacific. Wankel, LM and Sefton, JM. (1994). Physical Activity, Fitness and Health, (pp.

530-554), Champaign, IL, Human Kinetic Publisher, Inc.

William, Russell. & Ratna Megawangi (2002). Perilaku Tidak Jujur pada Pelajar, Buletin Semai Benih Bangsa, Indonesia Heritage Foundation, edisi 03/xi/November.

Yusuf, S., (2004). Psikologi Perkembangan Anak & Remaja. Bandung. Remaja Rosda Karya.

Zeigler, Terry. (2009). Teaching Responsibility in Young Sports: Kids Earn the Right to Compete by Demonstrating Responsible Behavior http:/.how-to-play-baseball. Suite 101.com/article.cfm/teaching_responsibility_in sports#ixzz0cS9akcpD.

Zubaedi, (2007). Filsafat Barat; Dari Logika Baru Rene Descrates hingga Revolusi Sains ala Thomas Kuhn. Jakarta: Ar-Ruzz Media Group.