Komunitas Dayak Lawangan Konsep

dimaksud adalah eksistensi balian Dayak Lawangan di Dusun Tengah. Jadi, eksistensi adalah keberadaan, wujud, yang tampak, dan yang memiliki aktualitas.

2.2.2 Komunitas Dayak Lawangan

Komunitas menurut Suparlan 2004: 117 adalah satuan kehidupan yang lebih kecil dari masyarakat, hidup dalam sebuah wilayah tertentu, dengan batas- batas wilayah yang jelas. Anggotanya saling terkait satu sama lain melalui jaringan sosial dan jaringan kekerabatan, karena garis keturunan dari satu nenek moyang yang sama atau karena melalui hubungan perkawinan. Sebuah komunitas mempunyai aturan, pengetahuan, nilai, dan norma yang dipakai sebagai acuan pedoman untuk bertindak dan memahami lingkungan hidupnya. Komunitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah orang Dayak Lawangan dengan budaya, tradisi, norma, nilai dan mitologi yang mengiringinya sebagai suku bangsa. Koentjaraningrat dalam Hardiman, 2009: 9 mengartikan suku bangsa sebagai suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas kesatuan budaya, yang sering dikuatkan oleh kesatuan kebudayaan dan tradisi. Kesatuan kebudayaan dan tradisi dalam satu kelompok masyarakat tidak ditentukan oleh orang luar, tetapi berdasarkan konversi para anggotanya. Banyak pernyataan dan perbedaan-perbedaan pendapat mengenai asal-usul nama etnis Dayak. Menurut O.K Rahmant dan R. Sunardi dalam Riwut, 2003: 57 Dayak merupakan suatu perkataan untuk menamakan stam-stam yang tidak beragama Islam yang mendiami pedalaman Kalimantan. Pendapat yang hampir sama dinyatakan oleh King dalam Maunati, 2006: 8 istilah Dayak paling umum digunakan untuk menyebut orang-orang asli non-muslim atau non-melayu yang tinggal di Pulau Kalimantan. “Dayak” literally means people of the interior, and is a collective name for a diverse group of tribal peoples who differ in language, art forms and many elements of culture and social organization MacKinnon, dkk., 1986: 358. Nama Dayak berasal dari bahasa Malay yaitu dari kata aja yang berarti asli Scharer, 1963: 1. Menurut Riwut 2003: 59 Dayak mempunyai sekitar 450 subsuku. Masyarakat Dayak secara umum saat ini dibedakan menjadi enam kelompok besar. Enam kelompok besar tersebut yaitu: Kenyah-Kayan-Bahau, Ot Danum, Iban, Murut, Klemantan dan Punan. Suku-suku tersebut terbagi lagi menjadi beberapa sub suku: Dayak Ngaju, Dayak Bakumpai, Dayak Ma’anyan, Dayak Lawangan, Dayak Siang, Dayak Murung, Dayak Dusun, Dayak Bawo, Dayak Sampit, OT Danum, Dayak Kotawaringin dan Dayak Taboyan Riwut, 2003: 61. Sedangkan penyataan Sillander 1995: 71 sebagai berikut. If someone were asked to mention one or a few Dayak groups, Luangan would unlikely be among those that first came to mind. On the contrary, few have ever heard about them even in Kalimantan. Still, the Luangan are distributed over a vast territory, located between two of the major rivers of Borneo - east of the middle reaches of the Barito, and south of the middle Mahakam - and their population is among the largest in Borneo - it exceeds 50,000 even by a very conservative count, and it approximates 100.000, if all potential candidates for subgroups are included. Durasid 1990: 47 menyatakan sebagai berikut. Kelompok Barito itu dibagi atas tiga subkelompok, yaitu Barito Barat, yang terdiri atas bahasa Kahayan dan Dohoi, Barito Timur yang terdiri atas bahasa Maanyan dan subkelompok Lawangan-Dusun Deyah yang terpisah menjadi bahasa Lawangan dan Duson Deyah, dan Barito – Mahakam, di sini diwakili bahasa Tunjung… penutur bahasa Lawangan bermukim di kabupaten administratif Barito Timur dan sekitarnya yang berpusat di kecamatan Dusun Tengah dengan ibukota kecamatan Ampah. Bahasa Lawangan berbatas langsung dengan bahasa Maanyan dan terjadi hubungan langsung. Jumlah penuturnya diperkirakan 120.000 orang. Perdebatan penggunaan istilah Luangan dan Lawangan, dalam kajian Weinstock 1983: 72--77 istilah Luangan berdasarkan pertemuannya dengan orang-orang yang berasal dari Sungai Luang, anak Sungai Teweh di Kalimantan Tengah. Istilah Luangan Weinstock dianggap sebagai kesalahan otografi oleh Mallinckrodt 1927. Perbedaan Mallinckrodt dengan istilah Lawangan dan Weinstock dengan istilah Luangan berfungsi untuk menerangkan hetrogenitas atau variasi pengunaan istilah bukan secara etimologi. Peneliti dalam kajian ini menggunakan istilah Lawangan atau Dayak Lawangan berdasarkan pernyataan komunitas Dusun Tengah untuk menamai identitas dirinya. Selain bahasa, kelompok Dayak Lawangan juga memiliki banyak unsur-unsur budaya yang sama. Menurut Sillander 1995: 71 hal yang paling penting seperti kutipan berikut ini. The most important of these are religious beliefs; adherence to the officially recognized Hindu-Kaharingan religion and a high percentage of members who have not converted to Christianitys sets these groups apart from other Dayaks. Elaborate secondary mortuary cermonies kwangkei, gombok, ijambé, tiwah are characteristic of these peoples, and frequent curing rituals belian, balian, wadian play an important part in their everyday Life. Regarding other commonalities social organization is more fluid than among many other Dayaks, especially among the Luangan. Longhouses are and were uncommon or small in comparison to central and northern Borneo. Headhunting was also less important, and among some groups it may not have been practised at Some form of stratification seems to have existed among all Barito Dayaks, but rank probably had only minor significance as a socially organizing principle. Dalam penelitian eksistensi balian bawo ini, sub suku Dayak yang diteliti adalah komunitas Dayak Lawangan yang berdomisili di Kecamatan Dusun Tengah, Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah yang memiliki keyakinan Kaharingan atau dikenal luas di Kalimantan Tengah sebagai Hindu Kaharingan. Seperti halnya etnis-etnis lain, etnis Dayak Lawangan juga memiliki budaya tersendiri yang berbeda dengan budaya etnis lainnya, yang di dalamnya terdapat seperangkat nilai, tradisi, dan pengetahuan. Sosok budaya komunitas Dayak Lawangan tercermin dengan eksistensi balian bawo dan pelaksanaan ritual balian bawo yang mereka laksanakan dalam siklus kehidupannya.

2.2.3 Kelangkaan dan Kepunahan Budaya