Eksistensi Balian Bawo Dayak Lawangan di Dusun Tengah, Barito Timur, Kalimantan Tengah.

(1)

EKSISTENSI

BALIAN BAWO

DAYAK LAWANGAN

DI DUSUN TENGAH, BARITO TIMUR,

KALIMANTAN TENGAH

ERVANTIA RESTULITA L. SIGAI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Globalisasi sudah melewati proses sejarah yang sangat panjang, suatu fenomena yang dirasakan semakin kuat mencengkram memasuki abad dua puluh satu ini. Umat manusia menghadapi sebuah lompatan kuantum ke depan, menghadapi pergolakan sosial terdalam dan restrukturisasi kreatif sepanjang masa (Toffler dan Heidi, 2002: 1-2). Globalisasi telah menjadi ideologi baru dengan ciri-ciri seakan-akan dunia tanpa batas, ruang, dan waktu. Globalisasi menjadi suatu pertanda bahwa zaman baru telah datang dan tidak bisa dibendung ataupun ditolak.

Globalisasi adalah penyebaran praktik, relasi, kesadaran, dan organisasi di seluruh penjuru dunia. Hampir setiap bangsa dan jutaan orang di seluruh dunia mengalami transformasi, sering dramatis, yang disebabkan globalisasi (Ritzer, 2012: 976). Hal ini memberikan dampak dalam berbagai aspek kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Terjadinya perubahan secara langsung maupun tidak langsung akan menggeser tata nilai yang lama dengan tata nilai yang baru di masyarakat.

Walaupun demikian, bukan berarti globalisasi begitu saja dapat menyebabkan perubahan budaya suatu masyarakat tanpa reaksi masyarakat yang bersangkutan, karena sebagaimana dikemukakan Naisbitt dan Aburdene (dalam Ardika, 2007: viii) bahwa kecendrungan lain yang muncul di era globalisasi


(3)

sekarang ini adalah semacam penolakan (counter trend) terhadap homogenitas budaya, sehingga timbul hasrat untuk menegaskan keunikan kultural dan bahasa.

Terkait dengan penolakan tersebut, berbagai strategi dan kebijakan telah diupayakan oleh berbagai kelompok-kelompok masyarakat untuk tetap mempertahankan kebudayaannya. Strategi kebudayaan itu terkait dengan kondisi alam lingkungannya dan tradisi yang telah turun-temurun dari generasi ke generasi. Malinowski (1939) menyatakan segala sesuatu yang terdapat di dalam masyarakat ditentukan oleh adanya kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu. Dengan demikian, kebudayaan merupakan penyeimbang (equilibrium) yang memuat totalitas ideologi dan konsepsi-konsepsi tata kehidupan mereka.

Tradisi dalam kebudayaan masyarakat menurut Piliang (2005: 5) merupakan repitisi dan reproduksi atau keberlanjutan masa lalu ke masa kini. Tradisi dengan demikian adalah suatu yang tidak pernah berubah dan dilanjutkan dari satu generasi ke generasi berikutnya sebagai sebuah pengetahuan (knowledge), kebenaran (truth), yang tidak perlu dipertanyakan atau diinterpretasikan kembali (reinterpretation).Tradisi akan kehilangan sifat ‘tradisi’

apabila ia diubah. ‘Perubahan’ dianggap sebagai ‘musuh’ tradisi, yang

mengancam keaslian, otensitas, dan keberlanjutannya. Pudentia (1998: vii) menyatakan dalam konteks pewarisannya, tradisi kadangkala diwariskan secara lisan (oral) dari satu generasi ke generasi berikutnya atau dikenal dengan istilah tradisi lisan. Etnis Dayak Lawangan hanya mengenal budaya lisan. Keberlanjutan tradisi secara turun-temurun dilangsungkan secara lisan. Demikian pula balian bawo, selalu diwartakan secara lisan. Menurut Giddens (2003: 47-48) tradisi


(4)

3

adalah medium identitas. Identitas adalah penciptaan konstansi dalam perjalanan waktu, yang menghubungkan masa lalu dengan masa depan.

Di dalam tradisi budaya masyarakat, selalu ada nilai-nilai dan kepercayaan yang disakralkan atau disucikan yang berfungsi sebagai pedoman yang memberi orientasi kepada kehidupan masyarakatnya. Lebih lanjut Haviland (1988: 207) menyatakan bahwa di antara berbagai unsur dalam suatu kebudayaan ada yang disebut inti (culture core) yang berupa unsur-unsur kebudayaan yang menentukan berbagai bentuk kehidupan suatu masyarakat yang telah terintegrasi ke dalam cara-cara hidupnya (the ways of social life) atau segala aspek kehidupannya (all aspects of social life). Jadi, terdapat korelasi timbal balik yang padu (integrated correlation) antara keseimbangan batin manusia dan keseimbangan holistik alam raya dalam mewadahi dan menghidupi manusia.

Ritualbalianhingga kini masih menjadi salah satu ritual utama yang ada dalam kehidupan masyarakat Dayak di pulau Kalimantan. Dalam praktiknya, ritual balian ini memiliki berbagai variasi di tiap wilayah atau etnis yang berbeda. Dalam komunitas Dayak Meratus di pengunungan Meratus Kalimantan Selatan, pengobatan balian dilakukan bersamaan dengan upacara selamatan atau

baaruh. Di Kalimantan Timur, Kabupaten Kutai Barat dalam komunitas Dayak Benuaq di rumah panjang Papas Eheng Barong Tongkok, ritual balian digelar hingga 20 hari dengan upacara besar-besaran yang diakhiri dengan menyembelih beberapa ekor sapi (Ranan, 2011: 2). Sementara di Kalimantan Tengah, pelaksanaan ritual balian bawo mempunyai keunikan tersendiri dibandingkan daerah Kalimantan lainnya, yang salah satunya bisa dilihat dalam ritual balian


(5)

bawo komunitas Dayak Lawangan di daerah Dusun Tengah. Sampai saat ini, pelaksanaan ritualbalian bawo di Dusun Tengah ini tidak bisa dilepaskan dari ritus siklus kehidupan orang Dayak Lawangan.

Ritual balian bawo dan balian bawo merupakan inti kebudayaan yang penting, tidak sekadar sebagai stimulate of emotion, tetapi menjaga keselarasan antarmanusia dengan manusia dan manusia dengan kosmos. Dalam menjaga keselarasan manusia diingatkan akan hakikat kemanusiaannya bahwa ada kekuatan-kekuatan lain di luar kemampuan jangkauan pikiran manusia.

Van Gennep (dalam Koentjaraningrat, 1985: 32) menyatakan bahwa siklus hidup dalam tahap-tahap pertumbuhan sebagai individu, yaitu sejak ia lahir, kemudian masa kanak-kanaknya, melalui proses menjadi dewasa dan menikah, menjadi orang tua, dan hingga saatnya ia meninggal. Manusia mengalami perubahan biologi serta perubahan dalam lingkungan sosial budaya yang dapat memengaruhi jiwanya dan menimbulkan krisis mental. Van Gennep (dalam Koentjaraningrat, 1985: 33) menganggap rangkaian ritus dan upacara sepanjang tahap-tahap pertumbuhan, atau lingkaran hidup (life cycle rites), sebagai rangkaian ritus dan upacara yang paling penting, mungkin paling tua dalam masyarakat, dan kebudayaan manusia.

Dalam komunitas etnis Dayak Lawangan di Dusun Tengah, siklus kehidupannya dimulai dari fase kelahiran sampai dengan kematian. Setiap fase dalam siklus kehidupannya (life cycle rites) diikuti juga dengan pelaksanan ritual

balian, seperti ritual balian palas bidan (ritual setelah kelahiran), balian nyapu ipar(ritual setelah upacara kematian), memohon rejeki, balian burung juei(pesta


(6)

5

pernikahan tingkat yang paling tinggi), membangun rumah, pengobatan, menolak bala atau membersihkan alam semesta, dan syukur terhadap panen yang melimpah.

Dilihat dari siklus kehidupan orang Dayak Lawangan di Dusun Tengah meliputi lima aspek, yaitu: (1) kelahiran, (2) kematian (ritual pasca kematian), (3) kesejahteraan, (4) keselamatan/kedamaian, dan (5) kesehatan. Dalam setiap aspek tersebut melibatkan peran utama seorangbalian bawo sebagai pelaksana ritual. Contohnya dalam aspek kesehatan, peran seorang balian bawo akan menjadi sangat penting dalam ritual pengobatan sebagai sentral dari hubungan antara penyembuh dengan penderita yang dapat mendatangkan kekuatan supranatural menjadi energi penyembuh. Balian bawo itu berusaha menembus ruang bawah sadar pasien, memengaruhi pikiran pasien untuk membebaskannya dari rasa takut. Kekuatan pasien dirangsang dijadikan penyembuh alami.

Ritual balian bawo berjalan secara turun-temurun sehingga merupakan sebuah konstruksi budaya yang berkaitan dengan keyakinan Hindu (Kaharingan) yang mereka anut. Kebudayaan mempunyai hubungan yang timbal balik yang sangat erat dengan agama atau sistem kepercayaan (believe system). Kebudayaan suatu masyarakat atau bangsa sering melahirkan suatu agama atau sistem kepercayaan tertentu. Sebaliknya suatu sistem kepercayaan tertentu yang dianut oleh mayoritas penduduk di suatu tempat merupakan manifestasi dari sistem budaya yang berlaku di situ atau paling tidak memiliki kesesuaian dengan sistem nilai yang dianut oleh penduduk yang bersangkutan (Florus, 1994: 18). Ritual


(7)

moyang, dan‘sahabat’.

Namun, globalisasi dengan segala implikasinya telah membawa pengaruh ke dalam kehidupan komunitas Dayak Lawangan di Dusun Tengah. Salah satunya terlihat dari keberadaan balian bawo belakangan ini yang semakin langka terdegradasi oleh arus modernisasi. Menurut Giddens (2003: 67), globalisasi membawa prinsip budaya modernitas sehingga memunculkan berbagai permasalahan sosial dalam peradaban manusia. Hal ini mengancam eksistensi budaya lokal akan menjadi rusak atau bahkan mengantarkan budaya lokal menuju kepunahan (Strey dalam Alkausar, 2011: 54).

Pada saat ini para penutur balian bawo tersebut semakin kurang diminati oleh generasi penerus. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan tokoh masyarakat, didapatkan informasi bahwa pada periode tahun 1980-1990 jumlah balian bawo ada duabelas orang; pada periode tahun 1991-2008 sekitar delapan orang balian bawo; tahun 2009-2010 sekitar lima orang dan pada periode tahun 2011 sampai sekarang lima orang balian bawo yang terdiri atas dua orang usia lanjut dan fisik lemah, sedangkan tiga orang masih sehat.

Saat ini keadaan penuturbalian bawoyang secara fisik mampu melakukan tugasnya memimpin ritual ada tiga orang. Dari tiga orang balian bawo tersebut hanya satu orangbalian bawo yang mampu secara paripurna melaksanakan semua aspek ritual dalam setiap fase siklus kehidupan Dayak Lawangan di Dusun Tengah sedangkan dua orang balian bawo yang lain tidak bersedia menjalankan ritual yang terkait dengan ritual setelah kematian. Fakta tersebut juga


(8)

7

mengungkapkan di Dusun Tengah terjadi krisis pelaku balian bawo Dayak Lawangan.

Malinowski (1939: 938, 1960: 34--37) menyatakan aksioma bahwa setiap unsur kebudayaan itu berfungsi bagi kehidupan, manakala tidak berfungsi lagi, maka kebudayaan tersebut akan hilang atau punah. Dilihat dari pandangan Malinowski di atas, realitas keberadaan balian bawo yang terjadi di Dusun Tengah agak berbeda. Balian bawo mengarah kepada kelangkaan padahal eksistensi balian bawo dalam berbagai segi kehidupan komunitas Dayak Lawangan masih berfungsi. Dengan demikian, keberadaan balian bawo

menjadi unsur pranata budaya yang masih memiliki arti bagi komunitas Dayak Lawangan. Kaplan dan Manner (dalam Wirata, 2010: 196) menyatakan bahwa sistem budaya sangat memungkinkan untuk dipertahankan eksistensinya selama memiliki syarat-syarat fungsional bagi masyarakatnya.

Di sisi lain terjadi pula kontradiktif di kalangan generasi muda Dayak Lawangan di Dusun Tengah, di tengah kelangkaan balian bawo tersebut justru banyak dari kalangan generasi mudanya bersikap permisif terhadap warisan leluhur dan kurang tertarik menjadi balian bawo. Bahkan, beberapa

dari kalangan generasi muda yang telah “ditunjuk” sebagai penerus balian bawo cendrung tidak menjalankan profesi sebagai balian bawo. Hal ini akan berpengaruh pada proses pewarisanbalian bawoselanjutnya.

Balian bawo merupakan pranata sosial budaya yang tak terpisahkan dari struktur sosial budaya komunitas etnis Dayak Lawangan yang mengandung nilai religius. Pelaksanaan ritual balian bawo banyak


(9)

mengandung kearifan lokal, simbol, nilai, dan dampak bagi kehidupan masyarakat pendukungnya. Dari semua uraian realitas di atas, maka kajian penelitian mengenai eksistensi balian bawo di Dusun Tengah, Barito Timur, Kalimantan Tengah ini dinilai sangat penting untuk segera dilakukan, mengingat keberadaan balian bawo berkaitan erat dengan siklus hidup maupun praktik kehidupan sehari-hari Dayak Lawangan.

Tradisi lisan sebagai titik tolak penelitian ini merupakan suatu bentuk upaya agar tradisi lisan tersebut dapat dimanfaatkan, dikembangkan, direvitalisasi, dan dilestarikan. Balian bawo sebagai suatu bentuk kebudayaan yang perlu dijaga dari ancaman kepunahannya demi keberlanjutan tradisi komunitas etnis Dayak Lawangan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka bisa ditarik beberapa rumusan permasalahan sebagai berikut.

1. Bagaimana praktik balian bawo dan relasinya dengan pranata kehidupan komunitas Dayak Lawangan di Dusun Tengah, Barito Timur, Kalimantan Tengah?

2. Mengapa terjadi kelangkaan balian bawo Dayak Lawangan di Dusun Tengah, Barito Timur, Kalimantan Tengah?

3. Bagaimana implikasi kelangkaan balian bawo bagi komunitas Dayak Lawangan di Dusun Tengah, Barito Timur, Kalimantan Tengah?


(10)

9

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini secara umum bertujuan mengkaji, mendeskripsikan, dan memahami tentang praktik balian bawo dan relasinya dengan pranata kehidupan komunitas Dayak Lawangan, penyebab utama yang memengaruhi terjadinya kelangkaan balian bawodan implikasinya bagi komunitas Dayak Lawangan di Dusun Tengah, Barito Timur, Kalimantan Tengah.

1.3.2 Tujuan khusus

Secara khusus penelitian ini dilakukan untuk menemukan jawaban atas masalah yang dirumuskan sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui praktik balian bawo dan relasinya dengan pranata kehidupan komunitas Dayak Lawangan di Dusun Tengah, Barito Timur, Kalimantan Tengah.

2. Untuk mengetahui penyebab yang memengaruhi terjadinya kelangkaan

balian bawo Dayak Lawangan di Dusun Tengah, Barito Timur, Kalimantan Tengah

3. Untuk memahami implikasi kelangkaan balian bawo Dayak Lawangan bagi komunitas Dayak Lawangan di Dusun Tengah, Barito Timur, Kalimantan Tengah.


(11)

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis

Manfaat penelitian ini secara teoretis diharapkan sebagai berikut.

1. Menghasilkan temuan yang bisa memberikan sumbangan pemikiran bagi upaya pengembangan kajian tradisi lisan di Nusantara.

2. Memberi kontribusi secara keilmuan bagi akademisi dan peneliti lain yang berminat mengkaji budaya lokal sebagai kajian untuk pengembangan pengetahuan lebih lanjut.

1.4.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:

1. memberikan pengetahuan, wawasan, dan penyadaraan pelestarian budaya lokal

balian bawobagi masyarakat;

2. memberikan kontribusi kepada pembuat kebijakan pembangunan khususnya pemerintah daerah dan pihak terkait dalam menetapkan kebijakan yang tepat untuk pelestarian budaya lokal.


(12)

11

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

2. 1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka dilakukan untuk menelusuri penelitian yang relevan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Secara khusus studi tentang Eksistensi Balian Bawo Dayak Lawangan di Dusun Tengah, Barito Timur, Kalimantan Tengah relatif sedikit dikaji oleh para peneliti terdahulu. Adapun tulisan-tulisan tersebut akan dijadikan rujukan guna mendukung dan memberi inspirasi dalam penelitian ini.

Dari penelusuran terhadap studi-studi terdahulu tentang balian yang mempunyai relevansi dengan penelitian ini ada beberapa tulisan yang bisa dipakai sebagai acuan kajian pustaka, yaitu penelitian Andreas W. Massing

(1982), “Where Medicine Fails: Belian Disease Prevention and Curing Rituals

Among the Lawangan Dayak of East Kalimantan” dalam Borneo Research

Bulletin vol.14. Penelitian ini dilakukan di Kalimantan Timur di wilayah Benuaq dan Tanjung. Dalam penelitiannya ini, Massing menyatakan bahwa kajiannya tidak hanya untuk kalangan antropolog saja, tetapi bisa bermanfaat juga bagi dokter dan tenaga kesehatan untuk membuat mereka memahami subjektif keyakinan pasien.

Menurut Massing (1982), tenaga medis atau dokter perlu memahami tentang asal-usul penyakit, psikologis pasien, dan cara penyembuhannya yang


(13)

didasarkan pada agama Dayak Lawangan. Tindakan utama yang perlu dilakukan adalah bagaimana membuat obat medis menjadi lebih efektif dengan tidak menyatakan keyakinan mereka sebagai sebuah tahayul.

Hasil penelitian Massing ini bersifat deskripsi, memberikan pemahaman tentang pentingnya ritual balian dalam komunitas Dayak Lawangan, akan tetapi Massing dalam penelitiannya lebih banyak mengulas dan mengklasifikasikan tipe

baliandaripada menyatakan peran ritual balian. Penelitian ini digunakan peneliti untuk melihat tipe-tipe klasifikasi ritualbalian.

Penelitian yang serupa juga dilakukan oleh Isabell Herrmans (2011),

Towards the Breaking Day,An Ethnography of Belian Curing Rituals among the Luangans of Indonesian Borneo. Penelitian ini mulai dilakukan pada tahun 1983, kemudian dilanjutkan kembali pada tahun 1996 sampai 1997, dengan mengambil lokasi penelitian di daerah perbatasan provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Herrmans mengkaji karakteristik yang muncul dari variabel ritual pertunjukan dalam praktik-praktik sosial penyembuhan, transformasi, dan representasional. Tulisan Hermans ini digunakan peneliti sebagai acuan untuk melihat telaah diskursus dialetika yang terjadi terutama pada mitologi yang menghidupkan hubungan manusia-roh dalam ritual. Kajiannya Herrmans tidak secara spesifik meneliti tentang balian bawo, karena varian ritual balian

bermacam-macam fungsi dan peruntukannya.

Kedua penelitian terdahulu di atas Massing (1982), Herrmans (2011) digunakan sebagai acuan pustaka, bahan rujukan dan pembanding. Telaah penelitian Massing dan Herrmans berbeda paradigma dengan penelitian ini secara


(14)

13

bidang keilmuan, jangka waktu, dan lokasi penelitian. Walaupun yang dikaji tentang balian, tetapi kedua penelitian tersebut lebih fokus dalam masalah ritual

balian pengobatan, sedangkan penelitian ini difokuskan pada masalah eksistensi

balian bawodalam siklus hidup Dayak Lawangan di Dusun Tengah.

Penelitian yang dilakukan oleh Noerid Haloei Radam (2001) dalam bukunya yang berjudul“Religi Orang Bukit: Suatu Lukisan Struktur dan Fungsi

dalam Kehidupan Sosial-Ekonomi”. Penelitian ini dilakukan di selama 20 bulan,

yakni dari bulan April 1979 hingga November 1980 dengan lokasi penelitian di kawasan hulu Amandit, Kalimantan Selatan. Radam dalam penelitian ini melukiskan kehidupan orang Bukit dengan menghubungkan aspek-aspek ekonomi dan ekologis perladangan yang erat kaitannya dengan sistem keagamaannya dengan menggunakan pendekatan strukturalisme fungsional.

Dalam penelitiannya, Radam menyatakan bahwa Orang Bukit meyakini adanya sejumlah Ilah, roh alam dan roh nenek moyang, yang mempunyai wilayah kekuasaan dan objek pemeliharaannya masing-masing pada berbagai upacara yang dilakukan. Hal yang menarik dari penelitian Radam adalah bagaimana budaya lokal (kosmologi keyakinan mereka) mengalami proses budaya, secara historis mungkin diadopsi dari kebudayaan orang Banjar Hulu yang banyak dipengaruhi agama Islam.

Proses-proses budaya yang terjadi pada kehidupan orang Bukit bersentuhan dengan gagasan dan nilai agama Islam dengan agamanya, yang disebut agama balian. Proses-proses tersebut terlihat dalam mite penciptaan


(15)

pertama. Kejadian alam semesta terjadi karena perluasan gerakan dan dorongan biologisDatu AdamdanDatu Tihawa.

Dalam religi orang bukit mengenal pula konsepsi tentang nabi dan malaikatJabarilpendampingSuwaramendapat pengaruh agama Islam.Guguhan

atau Suwara itu disebut pula Panglangit (Bapak Langit) juga diyakini sebagai sumber asal mula yang ada, baik yang hidup di muka bumi maupun yang berada di alam semesta. Guguhan atau Suwara sebagai Ilahi yang tinggal di kawasan langit tertinggi yakni di Langit Ing-ingan yang juga dipercaya sebagai tempat tinggalIndung Hawa dan Adam serta Nining Bahatara. Hal menarik dari tulisan ini adalah diantara nabi-nabi itu ada yang menjadibalian setelah berguru dengan padaBalian Asa Mula, yakniDatu Adam.

Radam mengungkapkan penamaan Nining Bahatara diadopsi dari Hinduisme yang pernah berkembang di Kalimantan Selatan, tetapi tidak diungkapkan lebih jauh mengenai temuan tersebut. Radam juga tidak menguraikan mengapa masyarakat orang Bukit menamai agama mereka sebagai agamaBalian.

Fredrik Ngindra (1999) dalam bukunya “Upacara Agama Bungan Pada

Masyarakat Kenyah Bakung di Long Apan Baru”, lebih banyak

mendokumentasikan kegiatan keagamaan dan upacara ritual agama lama masyarakat Kenyah Bakung di Long Apan Baru, Kecamatan Long Pujungan, Kalimantan Timur, yang dinamakan agama Bungan. Penelitian Ngindra menggunakan data yang diperoleh dari responden yang dipilih dalam jangka waktu yang relatif lama ketika keberadaan rumah panjang masih mudah


(16)

15

ditemukan dan respondennya sudah berusia lanjut. Agama Bungan kini tidak dipraktikkan lagi karena seluruh penduduknya telah menganut agama Kristen.

Dalam penelitian ini, Ngindra mengulas tentang upacara ritual agama

Bungan. Salah satu ritual yang diulas adalah upacara mending yang menggunakan balian untuk mengusir roh-roh jahat yang menggangu kehidupan penghuni rumah panjang. Mendiang berarti “mendindingi (semua celah-celah

rumah)”.Tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai otoritas dan peran baliandalam

agamaBunganselain mengusir roh-roh jahat dan sebagai dukun yang mengobati orang sakit.

Tulisan Daniel Lawing (1999), “Lagu-lagu dan Alat Musik Dayak

Kenyah Leppo’ Ma’ut”, merupakan hasil penelitian singkat yang dilaksanakan

Lewing di Desa Long Alango di Kecamatan Long Pujungan, Kalimantan Timur. Penelitian ini dilakukan melalui wawancara dengan orang-orang tua yang menguasai kebudayaanLeppo’ Ma’ut.

Hasil penelitian Lawing (1999) ini merangkum lagu-lagu dan musik rakyat Leppo’ Ma’utdengan menggunakan nada pentatonis, yaitu nada terbatas, hanya ada lima sampai dengan tujuh nada maupun diatonis (untuk lagu yang menggunakan nada satu oktav penuh). Rima lagu-lagu rakyat Dayak Kenyah Leppo’ Ma’ut pada umumnya A-A-B-B. Adapun jenis dan kategori lagu yang ditulis dalam buku tersebut, yaitu: (1) lagu belian, terdiri atas tiga jenis lagu:

belian kenai ndok, belian suket dan belian sakit; (2) lagu silun, terdiri atas tiga jenis:silun tindau, silun ketena’ dan silun menjaeng; (3) londe; (4) uyon along; dan (5)melalo.


(17)

Dari penelitian Ngindra (1999) dan Lawing (1999) ini diketahui bahwa jenis balian yang diungkapkan berbeda dengan penelitian balian bawo dari aspek religi, tata cara ritual, maupun bahasa atau mantra yang digunakan. Fokus penelitan Lawing terutama sastra lisan, lagu-lagu rakyat, dan alat musik tradisonalnya, sementara penelitian Ngindra mengenai sistem religi.

Penelitian lain yang meneliti tentang kegiatan ritual suku Dayak di wilayah kabupaten Barito Timur dilakukan oleh Wayan Gepu (2009), “Upacara

Balian Palas Bidan pada Masyarakat Hindu Kaharingan Suku Lawangan di Desa Putai Kabupaten Barito Timur Kalimantan Tengah (Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna)”. Upacarabalian palas bidanmerupakan upacara memohon

anugerah dan berkah kepada Tuhan, dengan tujuan untuk mendapatkan keselamatan dan kesucian. Upacara balian palas bidan merupakan kewajiban yang patut dilaksanakan dengan tujuan agar anak yang sudah dilahirkan atau sudahkepus tali pusermenjadi bersih dan suci, serta diizinkan dibawa ke tempat ibadah.

Berdasarkan hasil penelitiannya, Gepu (2009) menyimpulkan pelaksanaan upacara balian palas bidan dibagi dalam tiga tahap, yaitu tahap persiapan, tahap kegiatan pokok, dan tahap akhir yang dipimpin oleh seorang

belian (balian). Tahap persiapan merupakan kegiatan untuk mempersiapkan segala sarana yang digunakan. Sedangkan tahap pokok berisi kegiatan penyucian atau memandikan bayi yang disaksikan oleh Juwata sebagai penguasa sungai. Tahap akhir mengantar kembali Mulung Umbo dan Mulung Uwokkembali ke asalnya, yaitu langit (alam atas).


(18)

17

Penelitian Gepu memfokuskan pada prosesi pelaksanaan ritual atau upacara yang meliputi bentuk pelaksanaan, sarana prasarana, mantra yang digunakan, tempat, dan waktu pelaksanaannya.

Kuri (2008) “Tradisi Tuyo Hindu Kaharingan di Desa Rodok, Barito

Timur, Kalimantan Tengah (Kajian Teologi Lokal)”, tulisan tentang sebuah

tradisi unik yang ada di Desa Rodok yang disebut tuyo. Dalam penelitiannya, Kuri menguraikan bahwa pada mulanya sebutan tradisituyo itu bervariasi antara lain disebut bapajem, bekapek, dan nyuli. Pada zaman penjajahan Belanda banyak pengikut tuyo yang ditangkap karena tradisi tuyo dianggap menghidupkan manusia yang sudah meninggal dunia untuk melawan penjajah. Hal menarik lain disebutkan pada tahun 1942 pernah ada orang Jepang bernama

Tuan Balok Enam Belas” yang ikut melaksanakan tradisi tuyo karena ajaran

tuyodilihat memiliki kesesuaian dengan kepercayaan orang Jepang yang bersifat

“suci hati”.

Tradisituyo merupakan salah satu bentuk pemujaan yang ada pada etnis Dayak Lawangan untuk memohon keselamatan, kesejahteraan, kedamaian, dan pembersihan atau penyucian diri kepada Mo Maha Pengewasa Ulun Tinggi Alam Pengelamen dalam manifestasinya sebagai dewa penjaga delapan penjuru mata angin.

Tradisi tuyo dalam pelaksanan ritualnya dilakukan dengan tuye (tarian

tuyo) yang diiringi tinga-tinga (doa atau mantra). Menari memutar mengelilingi tempat dan sarana persembahyangan sebanyak empat atau delapan kali putaran dari arah kanan. Banyaknya putaran tergantung dengan ketentuan atau instruksi


(19)

pemimpin sembahyang. Pemimpin sembahyang tradisi tuyo yang disebut belian tuyo.

Tradisi tuyo saat ini biasa dilaksanakan di lingkungan keluarga yang dilakukan sebanyak tiga kali sehari, yaitu pada pagi hari pukul 06.00 wib, siang hari pukul 12.00 wib, dan sore hari pukul 18.00 wib. Di lingkungan umat dilaksanakan di langar rodok loma bawoo dan langar tudan tuyo (tempat ibadah) setiap malam Senin dan Kamis. Tradisituyojuga dilaksanakan pada hari tertentu yaitu setiap tanggal 1 Januari tahun baru masehi sebagai ungkapan syukur atas anugrah tahun sebelumnya dan mendoakan keselamatan pengikut

tuyopada tahun baru berikutnya.

Perayaan besar lain yang biasa dirayakan adalah ulang tahun tuyo yang dirayakan tiap tahun pada tanggal 4 Juni, yang sudah dilaksanakan sejak tahun 1959. Setiap tahun pada tanggal 17 Agustus tradisi tuyo dirayakan pula untuk mendoakan memohon keselamatan umat manusia, bangsa, dan negara.

Tradisi tuyo berbeda dengan ritual balian bawo walaupun memiliki persamaan dalam tujuan ritual. Tradisi tuyo lebih menekankan aspek ibadah dan penyucian diri. Dalam penelitian Kuri tidak dijelaskan lebih mendalam tentang keunikan teologi tradisi tuyo dan bagaimana agama lokal mengalami perwujudkan sebagai identitas ideologi lokal.

Hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas dijadikan sebagai sumber data sekunder yang akan digunakan sebagai bahan pembanding dan pelengkap, sedangkan sumber data primer yang akan digali di lapangan. Sumber data primer yang paling utama adalah informasi hasil eksplorasi dari para narasumber,


(20)

19

terutama penutur utama balian bawo yang masih hidup. Balian bawo

merupakanliving traditions.Penelitian ini akan menggali ingatan kolektif yang tersimpan dalam memori komunitas Dayak Lawangan.

2.2 Konsep

Konsep merupakan sejumlah karateristik yang menjelaskan suatu objek, kejadian, gejala, kondisi atau situasi yang diyatakan dalam satu istilah atau kata. Konsep bersifat operasional yang menyatakan seperangkat petunjuk atau kriteria, atau operasional yang lengkap tentang apa yang harus diamati dan bagaimana mengamati (Silalahi, 1999: 79). Definisi operasional tentang suatu konsep yang dikemukakan oleh setiap peneliti dapat berbeda meskipun topik atau konsep yang diteliti sama. Adapun konsep yang dirumuskan dalam penelitian ini, yaitu: (a) eksistensi balian bawo, (b) komunitas Dayak Lawangan, dan (c) kelangkaan dan kepunahan Budaya.

2.2.1 EksistensiBalian Bawo

Sistem ritus dan upacara dalam religi berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan baktinya terhadap Tuhan, Dewa-dewa, roh nenek moyang, atau makhluk halus lain. Ritus atau upacara religi biasanya terdiri atas suatu kombinasi yang merangkaikan satu, dua, atau beberapa tindakan, seperti berdoa, bersujud, bersaji, berkorban, makan bersama, menari dan menyanyi, berproses, berseni drama suci, berpuasa, intositasi, bertapa, dan bersemedi (Koentjarangrat, 1985: 44).


(21)

Asumsi filosofis ritus adalah manusia sebagai homo religious. Kottak (dalam Vianey, 2008: 28--29) menegaskan ritus sebagai representasi dan artikulasi dari religi yang memuat unsur verbal dan non-verbal. Unsur verbal dari dalam religi dalam ritus antara lain terungkap dalam doa, mitos, ajaran kearifan hidup berupa tuturan-tuturan ritual berbentuk ungkapan-ungkapan tradisional yang memuat pernyataan-pernyataan filosofis, teologis, dan moral yang berkaitan dengan manusia dan Tuhan.

Unsur-unsur non-verbal ritus dapat dilihat dalam proses pelaksanaannya berupa sarana prasarana yang dihadirkan, sesaji, bahan-bahan ritual, serta waktu dan tempat yang digunakan untuk mengaktualkan ritual tersebut oleh para pemimpin upacara serta pembantu-pembantu khususnya dan warga atau umat yang terlibat.

Dhavamony (1995: 175-176) membedakan ritus menjadi empat macam, yaitu: (1) tindakan magi, yakni tindakan yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja karena daya-daya magis; (2) tindakan religius; (3) ritual konstitutif, yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial dengan merujuk pada pengertian-pengertian mistik sehingga dengan demikian upacara-upacara kehidupan menjadi khas; (4) ritual faktif, yakni meningkatkan produktivitas atau kekuataan, atau permurnian dan perlindungan, atau dengan kata lain meningkatkan suatu kesejahteraan materi dari suatu kelompok.

Upacara ataupun ritual merupakan sebuah tindakan dan perbuatan manusia dalam rangka usaha menghubungkan dirinya dengan semua objek yang dipandang sakral, dikagumi ataupun yang ditakutinya, dengan segala sesuatu yang


(22)

21

dipandangnya amat mempengaruhi, dan menentukan kehidupan di masa depan. Upacara menjadi alat pengukur religi individu ataupun komunitas.

Menurut Hadi (1999: 29-30) ritual merupakan suatu bentuk perayaan yang berhubungan dengan beberapa kepercayaan atau agama yang ditandai dengan sifat khusus yang menimbulkan rasa hormat atau rasa luhur yang merupakan pengalaman yang suci. Sedangkan Endaswara (2003: 175) mengklasifikasi ritual menjadi dua, yaitu: pertama, ritual krisis hidup, artinya ritual yang berhubungan dengan krisis hidup manusia. Manusia pada dasarnya akan mengalami krisis hidup ketika masuk dalam peralihan. Pada masa ini, manusia akan masuk dalam lingkup krisis karena terjadi perubahan tahap hidup, termasuk dalam lingkup ini antara lain kelahiran, pubertas, dan kematian. Kedua, ritual ganguan, yakni ritual sebagai negosiasi dengan roh agar tidak menggangu hidup manusia. Ritual balian bawo

termasuk dalam semua klasifikasi tersebut.

Ritual balian bawo tidak bisa lepas dari peran balian bawo dan merupakan satu kesatuan yang utuh. Berdasarkan hasil wawancara dengan berbagai narasumber Ririt (wawancara, 24 November 2013); Eben Tube (wawancara, 25 November 2013); Martan (wawancara, 22 Agustus 2014); Ardiansyah (wawancara, 18 November 2013); dan Aking Dugoi (wawancara, 22 November 2013), dinyatakan balian bawo mempunyai arti, yaitu: (1) pimpinan ritual upacara, dukun dan tabib; (2) prosesi ritual balian bawo, (3) identitas orang yang memimpin ritual disebut balian bawo. Sedangkan arti katabalianmenurut Dusio Moenge mempunyai arti sebagai berikut.

Kata balian artinya orang yang menggantikan, tukang ganti, tukang pengembali. Bali artinya benda, balian itu tukang kembali.


(23)

Mengembalikan segala sesuatu yang tidak diinginkan dan menukarkan atau ganti diri dengan sajianhampatung (sajen) supaya tetap serasi seperti asalnya. Mengharmoniskan alam semesta tidak ada saling iblis setan itu menggangu. Mengembalikan roh-roh yang tidak diinginkan (wawancara, 10 September 2013).

Istilah kata balian dalam peyebutan bervariasi, Massing (1982) dan Herrmans (2011) menggunakan kata belian bawo. Dalam penelitian ini menggunkan istilah balian bawo berdasarkan informasi dari para balian bawo

Dusun Tengah. Namun, untuk membatasi dan memudahkan pemahaman antara

balian bawosebagai individu danbalian bawosebagai ritual. Dalam penelitian ini dilakukan pembatasan. Peneliti menggunakan istilah “balian atau balian bawo”

untuk konotasi yang merujuk individu, sedangkan istilah “ritual balian bawo”

untuk hal yang merujuk ritual.

Pelaksanaan ritual-ritual dalam siklus hidup komunitas etnis Dayak Lawangan dipimpin oleh balian bawo. Balian bawo bertugas sebagai mediator dan komunikator dengan Tuhan, alam semesta, dan mahluk lainnya, yang keberadaannya tidak terlihat secara kasat mata. Menurut Randam (2001: 2),

balianadalah perantara (medium,syaman) antara komunitas religius maupun yang magis dengan Ilahi-ilahi, Hyang, dan roh yang diyakini menguasai kehidupan orang banyak. Komunitas Dayak Lawangan percaya balian bawo memiliki kemampuan istimewa yang tidak dimiliki oleh setiap orang.

Kemampuan para balian tidak terbagi dalam spesialisasi ritual yang akan ditangani. Para balian secara individual mampu melaksanakan ritual dalam semua siklus hidup Dayak Lawangan. Jumlah para balian ketika menjalankan ritual bervariasi mulai dari hanya satu orang sampai tiga orang


(24)

23

tergantung dari jenis ritual dan permintaan warga yang menyelenggarakan ritual tersebut. Ritualnya bersifat terbuka yang dapat ditonton warga setempat.

Eksistensi berasal dari kata latin existere dari kata ex yang artinya keluar dan kata sitere yang bermakna membuat sendiri. Dengan demikian, artinya apa yang ada, ada yang memiliki aktualitas, apa yang dialami. Dalam konteks ini menekankan bahwa sesuatu itu ada (Sutrisno, 1993: 355). Eksistensi adalah merupakan pangkal dari eksistensialisme. Menurut pandangan Harun Hadiwiyono (dalam Salam, 1996: 207-208) eksistensi adalah; (1) cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi. Pusat perhatian ada pada manusia. Oleh karena itu, bersifat humanistis, (2) bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, bereksistensi berarti berbuat, menjadi dan merencanakan, (3) dalam filsafat eksistensialisme, manusia dipandang terbuka. Manusia adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Pada hakikatnya manusia terikat kepada dunia manusia, (4) filsafat eksistensialisme memberi tekanan kepada pengalaman yang kongkret, pengalaman yang eksistensial.

Eksistensi adalah keadaan kesadaran manusia yang mampu melampaui situasi-situasi yang melingkari, mampu mengatasi apa yang fakum dan datum dalam proses transendensi melampaui pagar-pagar yang membatasi alam yang mendukungnya (Sutrisno, 1993: 355). Eksistensi adalah hal-ihwal, sedang esensi adalah apa-nya (Adian, 2005: 161). Ketika peneliti bertanya apa itubalian bawo, sesungguhnya peneliti bertanya tentang esensi, sedang eksistensi adalah kenyataan bahwa balian bawo ‘ada’. Dalam penelitian ini eksistensi yang


(25)

dimaksud adalah eksistensi balian Dayak Lawangan di Dusun Tengah. Jadi, eksistensi adalah keberadaan, wujud, yang tampak, dan yang memiliki aktualitas.

2.2.2 Komunitas Dayak Lawangan

Komunitas menurut Suparlan (2004: 117) adalah satuan kehidupan yang lebih kecil dari masyarakat, hidup dalam sebuah wilayah tertentu, dengan batas-batas wilayah yang jelas. Anggotanya saling terkait satu sama lain melalui jaringan sosial dan jaringan kekerabatan, karena garis keturunan dari satu nenek moyang yang sama atau karena melalui hubungan perkawinan. Sebuah komunitas mempunyai aturan, pengetahuan, nilai, dan norma yang dipakai sebagai acuan pedoman untuk bertindak dan memahami lingkungan hidupnya. Komunitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah orang Dayak Lawangan dengan budaya, tradisi, norma, nilai dan mitologi yang mengiringinya sebagai suku bangsa. Koentjaraningrat (dalam Hardiman, 2009: 9) mengartikan suku bangsa sebagai suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas kesatuan budaya, yang sering dikuatkan oleh kesatuan kebudayaan dan tradisi. Kesatuan kebudayaan dan tradisi dalam satu kelompok masyarakat tidak ditentukan oleh orang luar, tetapi berdasarkan konversi para anggotanya.

Banyak pernyataan dan perbedaan-perbedaan pendapat mengenai asal-usul nama etnis Dayak. Menurut O.K Rahmant dan R. Sunardi (dalam Riwut, 2003: 57) Dayak merupakan suatu perkataan untuk menamakan stam-stam yang tidak beragama Islam yang mendiami pedalaman Kalimantan. Pendapat yang hampir sama dinyatakan oleh King (dalam Maunati, 2006: 8) istilah Dayak paling umum


(26)

25

digunakan untuk menyebut orang-orang asli non-muslim atau non-melayu yang tinggal di Pulau Kalimantan.“Dayak” literally means people of the interior, and

is a collective name for a diverse group of tribal peoples who differ in language, art forms and many elements of culture and social organization (MacKinnon, dkk., 1986: 358). Nama Dayak berasal dari bahasaMalayyaitu dari kataaja yang berarti asli (Scharer, 1963: 1).

Menurut Riwut (2003: 59) Dayak mempunyai sekitar 450 subsuku. Masyarakat Dayak secara umum saat ini dibedakan menjadi enam kelompok besar. Enam kelompok besar tersebut yaitu: Kenyah-Kayan-Bahau, Ot Danum, Iban, Murut, Klemantan dan Punan. Suku-suku tersebut terbagi lagi menjadi

beberapa sub suku: Dayak Ngaju, Dayak Bakumpai, Dayak Ma’anyan, Dayak

Lawangan, Dayak Siang, Dayak Murung, Dayak Dusun, Dayak Bawo, Dayak Sampit, OT Danum, Dayak Kotawaringin dan Dayak Taboyan (Riwut, 2003: 61). Sedangkan penyataan Sillander (1995: 71) sebagai berikut.

If someone were asked to mention one or a few Dayak groups, Luangan would unlikely be among those that first came to mind. On the contrary, few have ever heard about them even in Kalimantan. Still, the Luangan are distributed over a vast territory, located between two of the major rivers of Borneo - east of the middle reaches of the Barito, and south of the middle Mahakam- and their population is among the largest in Borneo - it exceeds 50,000 even by a very conservative count, and it approximates 100.000, if all potential candidates for subgroups are included.

Durasid (1990: 47) menyatakan sebagai berikut.

Kelompok Barito itu dibagi atas tiga subkelompok, yaitu Barito Barat, yang terdiri atas bahasa Kahayan dan Dohoi, Barito Timur yang terdiri atas bahasa Maanyan dan subkelompok Lawangan-Dusun Deyah (yang terpisah menjadi bahasa Lawangan dan Duson Deyah), dan Barito– Mahakam, di sini diwakili bahasa Tunjung… penutur bahasa Lawangan


(27)

berpusat di kecamatan Dusun Tengah dengan ibukota kecamatan Ampah. Bahasa Lawangan berbatas langsung dengan bahasa Maanyan dan terjadi hubungan langsung. Jumlah penuturnya diperkirakan 120.000 orang. Perdebatan penggunaan istilah Luangan dan Lawangan, dalam kajian Weinstock (1983: 72--77) istilah Luangan berdasarkan pertemuannya dengan orang-orang yang berasal dari Sungai Luang, anak Sungai Teweh di Kalimantan Tengah. Istilah Luangan Weinstock dianggap sebagai kesalahan otografi oleh Mallinckrodt (1927). Perbedaan Mallinckrodt dengan istilah Lawangan dan Weinstock dengan istilah Luangan berfungsi untuk menerangkan hetrogenitas atau variasi pengunaan istilah bukan secara etimologi. Peneliti dalam kajian ini menggunakan istilah Lawangan atau Dayak Lawangan berdasarkan pernyataan komunitas Dusun Tengah untuk menamai identitas dirinya. Selain bahasa, kelompok Dayak Lawangan juga memiliki banyak unsur-unsur budaya yang sama. Menurut Sillander (1995: 71) hal yang paling penting seperti kutipan berikut ini.

The most important of these are religious beliefs; adherence to the officially recognized Hindu-Kaharingan religion (and a high percentage of members who have not converted to Christianitys) sets these groups apart from other Dayaks. Elaborate secondary mortuary cermonies (kwangkei, gombok, ijambé, tiwah) are characteristic of these peoples, and frequent curing rituals (belian, balian, wadian) play an important part in their everyday Life. Regarding other commonalities social organization is more fluid than among many other Dayaks, especially among the Luangan. Longhouses are and were uncommon or small in comparison to central and northern Borneo. Headhunting was also less important, and among some groups it may not have been practised at Some form of stratification seems to have existed among all Barito Dayaks, but rank probably had only minor significance as a socially organizing principle.

Dalam penelitian eksistensibalian bawo ini, sub suku Dayak yang diteliti adalah komunitas Dayak Lawangan yang berdomisili di Kecamatan Dusun


(28)

27

Tengah, Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah yang memiliki keyakinan

Kaharingan atau dikenal luas di Kalimantan Tengah sebagai Hindu Kaharingan. Seperti halnya etnis-etnis lain, etnis Dayak Lawangan juga memiliki budaya tersendiri yang berbeda dengan budaya etnis lainnya, yang di dalamnya terdapat seperangkat nilai, tradisi, dan pengetahuan. Sosok budaya komunitas Dayak Lawangan tercermin dengan eksistensibalian bawodan pelaksanaan ritualbalian bawo yang mereka laksanakan dalam siklus kehidupannya.

2.2.3 Kelangkaan dan Kepunahan Budaya

Warisan budaya mempuyai cakupan pengertian yang luas, meliputi budaya yang bersifat kebendaan yang dapat diraba (tangible) dan yang tidak dapat diraba (intangible). Warisan budaya yang tak teraba (intangible) tercakup didalamanya hal-hal yang bisa ditangkap panca indera lain diluar peradaban, seperti musik, pembacaan sastra maupun bahasa lisan (Sedyawati, 2008: 207). Budaya akan tumbuh dan berkembang apabila didukung oleh masyarakatnya. Masyarakat sebagai ahli waris sekaligus pelaku menuju terciptanya situasi yang disebut sadar budaya. Sadar budaya adalah kesadaran atau pemahaman di kalangan masyarakat sebagai individu yang berada di tengah tatanan pergaulan, posisinya tidak pernah singular, melainkan plural. Di samping itu, suatu masyarakat tidak akan mampu menjaga eksistensinya dan menghayati budayanya sendiri apabila tidak bergaul dengan masyarakat lain (Sayuti, 2008: 25-26).

Masalah yang dihadapi masyarakat pemilik tradisi dewasa ini adalah makin memudarnya kekuataan religi, para penutur, dan komunitas tradisi lisan.


(29)

Intensitas penyelenggaraan ritual balian bawo dan upacara tradisonal lainnya, yang sesungguhnya merupakan kekuataan masyarakat di daerah-daerah sebagai perekat kebersamaan. Menghidupkan budaya lokal sama artinya dengan menghidupkan kembali identitas lokal, oleh karena identitas merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan (Piliang, 2004: 279).

Tradisi lisan mempunyai peluang bertahan, berkembang atau bisa juga punah. Kepunahan itu disebabkan terlalu lama tidak diingat oleh masyarakat dan tidak pernah diperdengarkan lagi (Sukarman, 2009: 13). Menurut Ali (2000: 15-16), kepunahan tradisi lisan bisa disebabkan oleh beberapa hal antara lain, yaitu:

(1) dampak keberhasilan pembangunan diiringi merambahnya media pandang dengar sehingga membuat anak-anak melupakan tradisi lisan; (2) tidak ada alih cerita dan penutur generasi tua banyak yang meninggal dunia dan generasi muda enggan mewarisi tradisi karena dianggap kuno; dan (3) kurangnya kesadaraan dari pemerintah maupun masyarakat akan pentingnya fungsi tradisi lisan sebagai sarana pendidikan, yakni sebagai sarana penyampaian nilai luhur bangsa.

Kepunahan tradisi terjadi karena faktor internal maupun faktor eksternal yang terjadi di dalam masyarakat tersebut. Akibat dari situasi dan kondisi kelangkaan tradisi tersebut membuat manusia tidak dapat memuaskan semua kebutuhan subjektifnya. Kebutuhan subjektif meliputi kebutuhan keadaan alam, agama dan kepercayaan, dan adat istiadat. Manusia menginterpretasikan pemenuhan kebutuhan dan keinginan untuk mencapai kebahagiaan dengan berusaha menyelaraskan dan menyeimbangkan dua sisi kehidupan duniawi dan religi.


(30)

29

2.3 Landasan Teori

Pada hakikatnya teori digunakan untuk menjelaskan mengapa sesuatu terjadi yang berlaku dalam kenyataan, teori melaksanakan fungsi ganda, yaitu pertama, menjelaskan fakta yang sudah diketahui, dan kedua, membuka celah pandangan baru untuk menemukan fakta baru. Apabila kejadian yang sama ditafsirkan dalam konteks teoretis berbeda, akan muncul jenis-jenis fakta yang berlainan pula (Kaplan, 2002: 15). Teori sebagai panduan menganalisis dan mengembangkan pikiran dalam upaya menjawab masalah yang dikaji. Dalam penelitian ini digunakan sejumlah teori, yaitu (a) teori genealogi, kekuasaan dan pengetahuan, (b) teori praktik sosial, dan (c) teori semiotika.

2.3.1 Teori Genealogi, Kekuasaan dan Pengetahuan

Teori genealogi, kekuasaan dan pengetahuan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Michael Foucault, yang lahir di Poitiers Prancis, 15 Oktober 1926 dan meninggal 25 Juni 1984 (Foucault, 2002: 5-6). Foucault adalah figur sentral dalam filsafat Prancis abad ke-20 yang ide-idenya sering diasosiasikan dengan aliran pascastruktural. Pemikirannya amat memengaruhi perkembangan kajian budaya kontemporer. Pemikiran Michael Foucault kental dipengaruhi Nietzsche. Michael Foucault berikhtiar untuk mengidentifikasikan kondisi-kondisi historis dan sejumlah aturan yang berkontribusi dalam pembentukan pelbagai wacana sekaligus bekerjanya model kekuasaan pengetahuan dalam praktik sosial (Barker, 2014: 101).


(31)

Language, Foucault mengembangkan pemikirannya pada pendekatan arkeologi (Ritzer, 2010: 67). Michael Foucault juga mengembangkan kajiannya ke arah genealogi (sisilah) kekuasaan (Edkins-Williams, 2010: 211). Dalam kajian budaya, konsep genealogi mendapatkan makna yang khas bila dikaitkan dengan karya Foucault yang menggunakan konsep ini untuk meneliti relasi kekuasaan serta kesinambungan (Barker, 2014: 106).

Genealogi Michael Foucault memfokuskan asal usul perkembangan rezim-rezim kekuasaan dan ilmu pengetahuan (Ritzer, 2010: 78). Genealogi Michael Foucault memaparkan bagaimana klaim-klaim kebenaran mempunyai keterkaitan histories dengan akar-akar institusional tertentu dalam sejarah. Genealogi Michael Foucault diilhami oleh Frederich Nietzche dalam karya

genealogi of morals (1887). Genealogi berhubungan dengan sejarah. Dalam genealogi Foucault mengungkapkan perhatiannya pada hubungan timbal balik antara sistem kebenaran dan mekanisme kuasa. Genealogi tidak mencari asal usul melainkan menemukan awal-awal dari pembentukan diskursus, menganalisis pluralitas sejarah kemunculan mereka secara faktual, dan melepaskan diri dari ilusi identitas (Hadiyanta, 1997: 14).

Genealogi berkaitan dengan keturunan dan kesinambungan serta ketidaksinambungan historis sebuah wacana pada saat ia dimainkan dalam kondisi-kondisi historis yang spesifik dan tereduksi (Barker, 2005: 512).

Lebih lanjut Foucault (1984: 76) menyatakan bahwa:

[genealogi] must record the singularity of events outside of any monoton ous finality. It must be sensitive to their recurrence, not in order to trance the gradual curve of their evolution, but isolate the different scenes where they engage in different role.


(32)

31

Genealogi Foucault berusaha memperlihatkan bagaimana relasi-relasi kekuasaan dan pengetahuan berjalan untuk menguasai dan mengontrol. Pada tahap ini Foucault berusaha mendudukkan antara kekuasaan dan diskursus. Pengetahuan dan kekuasaan mempunyai hubungan timbal balik. Penyelenggaraan pengetahuan akan menimbulkan efek kekuasaan (Eriyanto, 2003: 65).

Michael Foucault juga berbicara tentang relasi antara pengetahuan dan kekuasaan. Dalam konteks ini, pandangan Michael Foucault (dalam Sarup, 2003), kekuasaan dapat menciptakan realitas serta objek dan ritual kebenaraan yang dijunjung tinggi, dibekukan, dan diwariskan dalam relasi kekuasaan. Karena itu kemudian praktik kekuasaan dapat melahirkan objek pengetahuan baru yang menciptakan pengaruh-pengaruh kekuasaan.

Lebih detil Michael Foucault mengungkapkan berikut ini.

Kekuasaan menciptakan realitas dan kekuasaan menciptakan domain objek dan ritual kebenaran. Pelaksanaan kekuasaan itu sendiri menciptakan dan melahirkan objek pengetahuan yang baru. Sebaliknya, pengetahuan menciptakan pengaruh-pengaruh kekuasaan. Tanpa pengetahuan kekuasaan tidak mungkin dijalankan, pengetahuan tidak mungkin tidak melahirkan kekuasaan (dalam Sarup, 2003: 124--128). Menurut Foucault kekuasaan terartikulasi ke dalam pengetahuan dan sebaliknya pengetahuan terartikulasi ke dalam kekuasaan. Dengan kata lain, kekuasaan tidak hanya punya relasi dengan pengetahuan, melainkan kekuasaan terdiri atas pengetahuan, sebagaimana halnya pengetahuan juga terdiri atas kekuasaan (dalam Suryawan, 2010: 121).

Bagi Foucault, kekuasaan bukan hubungan subjektif searah, kemampuan seseorang atau kelompok untuk memaksakan kehendak kepada orang lain. Kekuasaan merupakan strategi kompleks dalam suatu masyarakat dengan


(33)

perlengkapan, manuver, teknik, dan mekanisme tertentu. Menurut Haryomoko (2002: 8--21) sebagai berikut ini.

Secara umum harus diakui bahwa kekuasaan lebih beroperasi daripada dimiliki. Kekuasaan tidak merupakan hak istimewa yang didapat atau dipertahankan kelas dominan, tetapi akibat dari keseluruhan posisi strategisnya, akibat yang menunjukkan posisi mereka yang didominasi. Dengan demikian, kekuasaan tidak bisa dilokalisasi pada tempat tertentu menjadi milik seseorang. Kekuasaan itu ada di mana-di mana menyebar dalam hubungan-hubungan masyarakat.

Bertens (2014: 311--314) menyimpulkan, teorities kuasa Michael Foucault dapat dibagi dalam empat perspektif penting, sebagai berikut.

Pertama, kuasa bukanlah milik melainkan strategi. Kuasa tidak dimiliki tetapi dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain dan senantiasa mengalami pergeseran. Kedua, kuasa tidak dapat dilokalisasi tetapi terdapat di mana-mana. Menurut Foucault strategi kuasa berlangsung di mana-mana. Dimana saja terdapat susunan, aturan-aturan, dan hubungan-hubungan itu dari dalam, malah memungkinkan semua itu. Ketiga, kuasa tidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi terutama melalui normalisasi dan regulasi. Keempat, kuasa tidak bersifat destruktif melainkan produktif. Kuasa tidak menghancurkan tetapi menghasilkan sesuatu. Kuasa itu produktif, kuasa memungkinkan segala sesuatu. Menolak kuasa termasuk strategi kuasa itu sendiri.

Menurut Foucault (dalam Suryawan, 2010: 121) kuasa tidak bersifat subjektif. Inilah salah satu alasan mengapa Michael Foucault menolak Marxistis; kuasa tidak dapat dilihat sebagai suatu proses dialektis di mana si A menguasai si B dan kemudian (sesudah beberapa syarat telah terpenuhi) si B menguasai si A. Kuasa juga tidak bekerja dengan negatif dan represif, melainkan dengan cara positif dan produktif. Pandangan Foucault (dalam Bartens, 2014: 313) sebagai berikut ini.

Kita harus berhenti melukiskan akibat-akibat kuasa dengan cara negatif: seolah-olah kuasa ‘meniadakan’, ‘merepresi’, ‘mensensor’, ‘mengabstrakkan’,‘menyelubungi’,‘menyembunyikan’.Pada kenyataannya


(34)

33

lingkup objek dan ritus-ritus kebenaran. Baik manusia perorangan maupun pengetahuan yang dapat diperoleh daripadanya, termasuk produksi ini. Menurut Foucault (2002a: 23), pengetahuan selalu berkaitan dengan kekuasaan. Keduanya saling menguatkan satu sama lain, misalnya berbekal pengetahuan psikologi seseorang mempunyai kekuasaan untuk menghakimi kondisi mental orang lain. Pengetahuan terbentuk di dalam praktik kekuasaan dan membangun perkembangan, perbaikan dan profilerasi teknik baru kekuasaan (Barker, 2004: 83).

Bahasa dan praktik mengacu kepada produksi pengetahuan bahasa yang memberikan makna kepada objek matrial dan praktik sosial. Diskursus mengkontruksikan, mendefinisikan, dan menghasilkan objek pengetahuan dengan cara yang dapat dipahami sambil mengesampingkan bentuk penalaran lain sebagai suatu yang tidak dapat dipahami (Barker, 2004: 81). Foucault (2002: 9) menegaskan bahwa diskursus adalah cara menghasilkan pengetahuan, berserta praktik sosial yang menyertainya, bentuk subjektivitas yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan yang ada di balik pengetahuan dan praktik sosial tersebut, serta saling keterkaitan di antara semua aspek ini.

Teori Genealogi, kekuasaan dan pengetahuan dipergunakan dalam penelitian ini untuk melihat kaitan antara mitologi, silsilah atau sejarah dan proses menjadibalian bawo terkait dengan pengetahuanbalian bawo mempunyai punya efek kuasa. Balian bawo memproduksi pengetahuan sebagai basis kekuasaan. Pengetahuan berada di dalam relasi-relasi kuasa itu sendiri. Relasi tercipta antara

balian bawodengan komunitas Dayak Lawangan. Tanpa pengetahuannya,balian bawo tanpa kuasa dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Produksi


(35)

pengetahuan yang dilakukanbalian bawo melandasi kekuasaannya karena setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan. Eksistensi

balian bawo menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu yang menimbulkan efek kuasa. Pengetahuan dan kekuasaan mempunyai hubungan timbal balik.

2.3.2 Teori Praktik Sosial

Teori praktik sosial yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Pierre-Felix Bourdieu, seorang pemikir Prancis terkemuka yang lahir di Denguin Distrik Pyrenees-Altantigues barat daya Prancis, 1 Agustus 1930 dan meninggal di rumah sakit Saint-Antoine Paris, 23 Januari 2002. Dalam teori praktik sosial, Bourdieu merumuskan bahwa praktik adalah gabungan habitus, modal, dan ranah (Harker dkk, 2009).

Teori praktik sosial ini dikembangkan untuk memahami kompleksitas realitas sosial. Dalam teori ini mengajukan analisis dialektis atas kehidupan praktis dan menawarkan kesanggupan untuk menunjukkan hubungan saling memengaruhi antara praktik personal dan praktik sosial eksternal. Praktik sosial merupakan akumulasi proses habitus manusia, pola pikir maupun tingkah laku. Bourdieu memahami praktik-praktik sosial sebagai kegiatan reflektif dan reproduktif, baik dalam hal relasi-relasi sosial yang objektif maupun interpretasi-interpretasi subjektif (dalam Soeriadiredja, 2012: 8).

Pierre Bourdieu (dalam Harker, 2009: 13) menyatakan rumus generatif, yakni (Habitus X Modal) + Ranah = Praktik. Habitus adalah struktur kognitif


(36)

35

yang memerantarai individu dan realitas sosial. Habitus juga merupakan struktur subjektif yang terbentuk dari pengalaman individu berhubungan dengan individu lain dalam jaringan struktur objektif yang ada di dalam ruang sosial. Habitus

diindikasikan sebagai skema-skema yang merupakan perwakilan konseptual dari benda-benda dalam realitas sosial.

Menurut Takwin (2003: 114), skemahabitustersebut membentuk struktur kognitif yang memberi kerangka acuan sebuah tindakan kepada individu di dalam setiap keseharian mereka. Habitusjuga dapat dinyatakan ketidaksadaran kultural, yakni pengaruh sejarah yang disadari dianggap alamiah. Pembelajaran yang dilakukan terkadang tidak disadari secara halus dan tampil sebagai sesuatu yang wajar, sehingga akan kelihatan alamiah atau berasal dari sananya.

Habitus (Jenkins, 2004: 109) merupakan hasil pembelajaran melalui pengasuhan aktivitas bermain, belajar, dan pendidikan masyarakat di dalam arti luas. Habitus juga mencakup pengetahuan dan pemahaman seseorang mengenai dunia yang memberikan kontribusi tersendiri pada realitas dunia itu.Habitus juga berubah-ubah yang mengupayakan adanya kompromi dan kondisi material. Hal ini akan memunculkan kontribusi baru untuk membangun suatu prinsip baru untuk memunculkan sebuah praktik di dalam individu.

Sementara itu, modal budaya (cultural capital) menurut Bourdieu (dalam Herwanto, 2005: 181-182), ada tiga modal yang berperan dalam masyarakat yang menentukan kekuasaan sosial dan ketidaksetaraan sosial. Pertama, modal ekonomis yang menunjukkan sumber ekonomi. Kedua, modal sosial yang berupa hubungan-hubungan sosial yang memungkinkan seseorang bermobilisasi demi


(37)

kepentingannya sendiri. Ketiga, modal budaya yang memiliki beberapa dimensi seperti: (a) pengetahuan objektif tentang seni dan budaya; (b) cita rasa budaya (cultural tastes) dan preferensi; (c) kualifikasi-kualifikasi formal; (d) kemampuan-kemampuan budayawi (cultural skills) dan pengetahuan praktis (savoir-faireatau

know-how seperti kemampuan memainkan alat musik), serta (e) kemampuan untuk dibedakan dan untuk membuat perbedaan antara yang baik dan yang buruk.

Modal budaya sebagai dimensi yang lebih luas dari habitus, sekaligus menunjukkan lingkungan sosial pemiliknya dan modal budaya yang dapat berubah-ubah. Modul budaya terbentuk selama bertahun-tahun hingga terinternalisasikan dalam diri seseorang (Soeriadiredja, 2012: 10). Komunitas Dayak Lawangan sebagai orang-orang yang memiliki habitus-nya sendiri dan modal budaya, bergerak secara aktif di dalam ranah-ranah, sehingga menghasilkan praktik sosial. Dalam arenanya komunitas Dayak Lawangan, hal ini terjadi di dalam arena konflik yang melibatkan modal budaya, peran

balian bawodan generasi mudanya.

Teori Praktik sosial, pertama digunakan untuk mengamati tentang struktur objektif Dayak Lawangan yang terinternalisasi oleh ritual balian bawo

terhubung dengan keyakinan mereka. Kedua, digunakan untuk mencari struktur subjektif peran di dalam internal komunitas Dayak Lawangan. Ketiga, untuk menemukan pola-pola praktik sosial yang diyakini orang Dayak Lawangan untuk memproduksi struktur objektif maupun struktur subjektif yang bermunculan di sekitar mereka. Keempat, bagaimana balian bawo dipakai sebagai bagian dari praktik sosial ritualnya sekaligus mengidentifikasi praktik sosial sebagai


(38)

37

kebutuhan subjektif.

2.3.3 Teori Semiotika

Semiotika mempunyai satu pandangan global bahwa apabila di dalam setiap praktik sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya, dan keagaamaan digunakan tanda-tanda dalam berbagai bentuk, maka semua praktik pertandaan (signifying practice) dapat dibaca melalui semiotika (Piliang, 2012: 249). Menurut Hoed (2011: 3), semiotika adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus diberikan makna.

Pendekatan semiotika atau semiologi didasarkan pada asumsi bahwa tindakan manusia atau hal yang dihasilkannya menunjukkan makna asalkan tindakan tersebut berfungsi sebagai tanda, tentu ada sistem konvensi dan pembedaan yang mendasarinya dan yang memungkinkan adanya makna tersebut. Di mana ada tanda di situlah ada sistem. Hal inilah yang sama-sama ada dalam berbagai kegiatan yang menjadi penanda (Culler, 1996: 74).

Elemen dasar semiotika adalah tanda (penanda dan petanda), aksi tanda (sintagma dan sistem), tingkatan tanda (denotasi dan konotasi), serta relasi tanda (metafora dan metonimi) (Piliang, 2012: 301). Semiotika terkait dengan permasalahan penelitian ini, khususnya tentang eksistensi balian bawo Dayak Lawangan di Dusun Tengah. Dalam kaitan ini, pendekatan semiotika terhadap

balian bawo meliputi analisis penanda, untuk mengindentifikasi pelibat balian bawo¸petanda untuk memahami pelibatan eksistensinya.


(39)

Ritual Balian bawo merupakan penanda bentuk atau ekspresi dari komunitas Dayak Lawangan, sedangkan petanda-nya menjelaskan konsep ideologi dan makna ritual balian bawo bagi mereka. Balian bawo tidak bisa dilihat hanya secara individu, akan tetapi dalam relasi dan kombinasinya dengan tanda-tanda yang lain terkait masyarakat pendukungnya. Analisis tanda berdasarkan sistem kepercayaan mereka.

Roland Barthes (2012: 90) mengembangkan dua tingkatan petanda (stagered systems), yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat petanda yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan yang ekplisit, langsung dan pasti. Makna denotasi, dalam hal ini adalah makna yang tampak (Piliang, 2012: 304). Apa saja yang terkandung secara eksplisit secara pasti dan langsung dari kelangkaan balian bawo. Apakah kelangkaan

balian bawo akibat keenganan generasi mudanya untuk terlibat ataukah faktor internal dan faktor eksternal di dalam komunitas mereka.

Metode analisis teks semiotika interpretatif pada dasarnya beroperasi pada dua jenjang analisis. Pertama, analisis tanda secara individual, misalnya jenis tanda, mekanisme atau struktur tanda, dan makna tanda secara individual. Kedua, analisis tanda sebagai sebuah kelompok atau kombinasi, yaitu kumpulan tanda-tanda yang membentuk apa yang disebut sebagai teks (Piliang, 2012: 313). Tipe-tipe teks yang paling jelas adalah kalimat-kalimat yang diucapkan penutur

balian bawo atau unsur-unsur atribut balian bawo yang digunakannya. Unsur-unsur aktribut balian bawo dapat dianggap kumpulan tanda-tanda, dengan kode


(40)

39

dan aturan tertentu, sehingga menghasilkan sebuah ekspresi bermakna. Sistem budaya sebagai sistem makna yang secara bersama-sama membentuk budaya manusia.

Ketika teks dan konteks dilihat dalam dimensi sosialnya, maka diperlukan analisis yang menghubungkan teks dengan struktur mikro, yaitu mitos dan ideologinya. Pada tataran analisis makronya menyangkut pengalaman langsung dalam kehidupan keseharian komunitas Dayak Lawangan berhadapan dengan ideologi religi balian bawo dan tradisi maupun sistem pewarisannya. Jadi, eksistensi balian bawo adalah sebuah teks dan konteks, bagaimana relasi pranata sosial budaya, faktor dan implikasi yang terdapat dalambalian bawobagi komunitas Dayak Lawangan.

2.3 Model Penelitian

Model penelitian Eksistensi Balian Bawo Dayak Lawangan di Dusun Tengah, Barito Timur, Kalimantan Tengah tampak dalam gambar 2.1 Model Penelitian berikut ini.


(41)

Gambar 2.1 Model Penelitian

Sumber: Konstruksi Ervantia, 2013

Keterangan:

: Hubungan memengaruhi secara langsung

Model penelitian pada gambar di atas mengimplementasikan globalisasi merambah di segala segi kehidupan. Globalisasi secara langsung maupun tidak langsung akan menggeser tata nilai yang lama dengan tata nilai yang baru. Pengaruh modernisasi, kapitalisme, teknologi, dan rasionalitas memberikan pengaruh yang intens bagi masyarakat. Semakin intens masyarakat lokal mentrasformasi kultural, dapat berdampak pada identitas, nilai, dan tradisi yang

GLOBALISASI

Praktikbalian bawo

& relasinya dengan pranata kehidupan Dayak Lawangan Temuan Penelitian Implikasi kelangkaan balian bawo EKSISTENSI BALIAN BAWO DAYAK LAWANGAN DI DUSUN TENGAH - Kapitalisme

- Teknologi - Rasionalitas

Penyebab utama yang memengaruhi kelangkaan balian bawo KEBUDAYAAN LOKAL - Kosmologi - Sistem Ritual - Kepercayaan Magis

TEMUAN PENELITIAN


(42)

41

akan memengaruhi dan mengubah paradigma berpikir, bersikap, motivasi maupun tindakan. Globalisasi dapat memperteguh, memperkuat kebudayaan lokal, tetapi juga dapat menihilkan kebudayaan lokal tersebut.

Di satu sisi kebudayaan lokal tetap mempertahankan kebudayaan sebagai bagian kosmologi, sistem ritual, dan kepercayaan magis. Keberadaanbalian bawo

belakangan ini semakin langka tereduksi oleh modernisasi. Dalam kehidupan masyarakat etnis Dayak Lawangan di Dusun Tengah setiap fase siklus hidup komunitas mereka tidak bisa dilepaskan dari balian bawo. Dalam Praktiknya,

balian bawodominan dalam segala aspek kehidupan mereka. Pergulatan tersebut menjadi problematika bagi eksistensi balian bawo Dayak Lawangan di Dusun Tengah. Oleh sebab itu, diperlukaan perlindungan dan pelestarian demi kelangsungan sebuah komunitas Dayak Lawangan sebagai pemilik kebudayaan

balian bawo.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penting eksplorasi eksistensi

balian bawo Dayak Lawangan di Dusun Tengah. Hal ini akan bermanfaat bagi keberlangsungan kehidupan Dayak Lawangan. Tradisi sebagai kekuataan kultural merupakan pembentukan peradabaan, jangan sampai

balian bawohanya menjadi sekadar cerita yang pernah ada dan tidak dikenal oleh generasi yang akan datang. Penelitian ini harus segera dilakukan karena suatu tradisi budaya sebagai bentuk kebudayaan untuk dimanfaatkan, dikembangkan, direvitalisasi, dan perlu dijaga dari kepunahannya.


(1)

kepentingannya sendiri. Ketiga, modal budaya yang memiliki beberapa dimensi seperti: (a) pengetahuan objektif tentang seni dan budaya; (b) cita rasa budaya (cultural tastes) dan preferensi; (c) kualifikasi-kualifikasi formal; (d) kemampuan-kemampuan budayawi (cultural skills) dan pengetahuan praktis (savoir-faireatau know-how seperti kemampuan memainkan alat musik), serta (e) kemampuan untuk dibedakan dan untuk membuat perbedaan antara yang baik dan yang buruk.

Modal budaya sebagai dimensi yang lebih luas dari habitus, sekaligus menunjukkan lingkungan sosial pemiliknya dan modal budaya yang dapat berubah-ubah. Modul budaya terbentuk selama bertahun-tahun hingga terinternalisasikan dalam diri seseorang (Soeriadiredja, 2012: 10). Komunitas Dayak Lawangan sebagai orang-orang yang memiliki habitus-nya sendiri dan modal budaya, bergerak secara aktif di dalam ranah-ranah, sehingga menghasilkan praktik sosial. Dalam arenanya komunitas Dayak Lawangan, hal ini terjadi di dalam arena konflik yang melibatkan modal budaya, peran balian bawodan generasi mudanya.

Teori Praktik sosial, pertama digunakan untuk mengamati tentang struktur objektif Dayak Lawangan yang terinternalisasi oleh ritual balian bawo terhubung dengan keyakinan mereka. Kedua, digunakan untuk mencari struktur subjektif peran di dalam internal komunitas Dayak Lawangan. Ketiga, untuk menemukan pola-pola praktik sosial yang diyakini orang Dayak Lawangan untuk memproduksi struktur objektif maupun struktur subjektif yang bermunculan di sekitar mereka. Keempat, bagaimana balian bawo dipakai sebagai bagian dari praktik sosial ritualnya sekaligus mengidentifikasi praktik sosial sebagai


(2)

kebutuhan subjektif.

2.3.3 Teori Semiotika

Semiotika mempunyai satu pandangan global bahwa apabila di dalam setiap praktik sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya, dan keagaamaan digunakan tanda-tanda dalam berbagai bentuk, maka semua praktik pertandaan (signifying practice) dapat dibaca melalui semiotika (Piliang, 2012: 249). Menurut Hoed (2011: 3), semiotika adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus diberikan makna.

Pendekatan semiotika atau semiologi didasarkan pada asumsi bahwa tindakan manusia atau hal yang dihasilkannya menunjukkan makna asalkan tindakan tersebut berfungsi sebagai tanda, tentu ada sistem konvensi dan pembedaan yang mendasarinya dan yang memungkinkan adanya makna tersebut. Di mana ada tanda di situlah ada sistem. Hal inilah yang sama-sama ada dalam berbagai kegiatan yang menjadi penanda (Culler, 1996: 74).

Elemen dasar semiotika adalah tanda (penanda dan petanda), aksi tanda (sintagma dan sistem), tingkatan tanda (denotasi dan konotasi), serta relasi tanda (metafora dan metonimi) (Piliang, 2012: 301). Semiotika terkait dengan permasalahan penelitian ini, khususnya tentang eksistensi balian bawo Dayak Lawangan di Dusun Tengah. Dalam kaitan ini, pendekatan semiotika terhadap balian bawo meliputi analisis penanda, untuk mengindentifikasi pelibat balian bawo¸petanda untuk memahami pelibatan eksistensinya.


(3)

Ritual Balian bawo merupakan penanda bentuk atau ekspresi dari komunitas Dayak Lawangan, sedangkan petanda-nya menjelaskan konsep ideologi dan makna ritual balian bawo bagi mereka. Balian bawo tidak bisa dilihat hanya secara individu, akan tetapi dalam relasi dan kombinasinya dengan tanda-tanda yang lain terkait masyarakat pendukungnya. Analisis tanda berdasarkan sistem kepercayaan mereka.

Roland Barthes (2012: 90) mengembangkan dua tingkatan petanda (stagered systems), yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat petanda yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan yang ekplisit, langsung dan pasti. Makna denotasi, dalam hal ini adalah makna yang tampak (Piliang, 2012: 304). Apa saja yang terkandung secara eksplisit secara pasti dan langsung dari kelangkaan balian bawo. Apakah kelangkaan balian bawo akibat keenganan generasi mudanya untuk terlibat ataukah faktor internal dan faktor eksternal di dalam komunitas mereka.

Metode analisis teks semiotika interpretatif pada dasarnya beroperasi pada dua jenjang analisis. Pertama, analisis tanda secara individual, misalnya jenis tanda, mekanisme atau struktur tanda, dan makna tanda secara individual. Kedua, analisis tanda sebagai sebuah kelompok atau kombinasi, yaitu kumpulan tanda-tanda yang membentuk apa yang disebut sebagai teks (Piliang, 2012: 313). Tipe-tipe teks yang paling jelas adalah kalimat-kalimat yang diucapkan penutur balian bawo atau unsur-unsur atribut balian bawo yang digunakannya. Unsur-unsur aktribut balian bawo dapat dianggap kumpulan tanda-tanda, dengan kode


(4)

dan aturan tertentu, sehingga menghasilkan sebuah ekspresi bermakna. Sistem budaya sebagai sistem makna yang secara bersama-sama membentuk budaya manusia.

Ketika teks dan konteks dilihat dalam dimensi sosialnya, maka diperlukan analisis yang menghubungkan teks dengan struktur mikro, yaitu mitos dan ideologinya. Pada tataran analisis makronya menyangkut pengalaman langsung dalam kehidupan keseharian komunitas Dayak Lawangan berhadapan dengan ideologi religi balian bawo dan tradisi maupun sistem pewarisannya. Jadi, eksistensi balian bawo adalah sebuah teks dan konteks, bagaimana relasi pranata sosial budaya, faktor dan implikasi yang terdapat dalambalian bawobagi komunitas Dayak Lawangan.

2.3 Model Penelitian

Model penelitian Eksistensi Balian Bawo Dayak Lawangan di Dusun Tengah, Barito Timur, Kalimantan Tengah tampak dalam gambar 2.1 Model Penelitian berikut ini.


(5)

Gambar 2.1 Model Penelitian

Sumber: Konstruksi Ervantia, 2013 Keterangan:

: Hubungan memengaruhi secara langsung

Model penelitian pada gambar di atas mengimplementasikan globalisasi merambah di segala segi kehidupan. Globalisasi secara langsung maupun tidak langsung akan menggeser tata nilai yang lama dengan tata nilai yang baru. Pengaruh modernisasi, kapitalisme, teknologi, dan rasionalitas memberikan pengaruh yang intens bagi masyarakat. Semakin intens masyarakat lokal mentrasformasi kultural, dapat berdampak pada identitas, nilai, dan tradisi yang

GLOBALISASI

Praktikbalian bawo

& relasinya dengan pranata kehidupan Dayak Lawangan Temuan Penelitian Implikasi kelangkaan balian bawo EKSISTENSI BALIAN BAWO DAYAK LAWANGAN DI DUSUN TENGAH - Kapitalisme

- Teknologi - Rasionalitas

Penyebab utama yang memengaruhi kelangkaan balian bawo KEBUDAYAAN LOKAL - Kosmologi - Sistem Ritual - Kepercayaan Magis

TEMUAN PENELITIAN


(6)

akan memengaruhi dan mengubah paradigma berpikir, bersikap, motivasi maupun tindakan. Globalisasi dapat memperteguh, memperkuat kebudayaan lokal, tetapi juga dapat menihilkan kebudayaan lokal tersebut.

Di satu sisi kebudayaan lokal tetap mempertahankan kebudayaan sebagai bagian kosmologi, sistem ritual, dan kepercayaan magis. Keberadaanbalian bawo belakangan ini semakin langka tereduksi oleh modernisasi. Dalam kehidupan masyarakat etnis Dayak Lawangan di Dusun Tengah setiap fase siklus hidup komunitas mereka tidak bisa dilepaskan dari balian bawo. Dalam Praktiknya, balian bawodominan dalam segala aspek kehidupan mereka. Pergulatan tersebut menjadi problematika bagi eksistensi balian bawo Dayak Lawangan di Dusun Tengah. Oleh sebab itu, diperlukaan perlindungan dan pelestarian demi kelangsungan sebuah komunitas Dayak Lawangan sebagai pemilik kebudayaan balian bawo.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penting eksplorasi eksistensi balian bawo Dayak Lawangan di Dusun Tengah. Hal ini akan bermanfaat bagi keberlangsungan kehidupan Dayak Lawangan. Tradisi sebagai kekuataan kultural merupakan pembentukan peradabaan, jangan sampai balian bawohanya menjadi sekadar cerita yang pernah ada dan tidak dikenal oleh generasi yang akan datang. Penelitian ini harus segera dilakukan karena suatu tradisi budaya sebagai bentuk kebudayaan untuk dimanfaatkan, dikembangkan, direvitalisasi, dan perlu dijaga dari kepunahannya.