Identifikasi Keragaman Gen Insulin-Like Growth Factor I (IGF-1) Pada Ayam Lokal Dan Ras Pedaging Dengan Metode PCR-RFLP.

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN INSULIN-LIKE GROWTH
FACTOR I (IGF-1) PADA AYAM LOKAL DAN AYAM
BROILER DENGAN METODE PCR-RFLP

SKRIPSI
PIPIH SUNINGSIH EFFENDI

DEPARTEMEN PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013

RINGKASAN
Suningsih. P. 2013. Identifikasi Keragaman Gen Insulin-Like Growth Factor I
(IGF-1) Pada Ayam Lokal Dan Ras Pedaging Dengan Metode PCR-RFLP. Skripsi.
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota

: Dr. Ir. Sri Darwati, M. Si.

: Ir. Harini Nurcahya M. M.Si.

Identifkasi keragaman gen perlu dilakukan pada k egiatan seleksi dengan metode
genetika molekuler terkait dengan tingkat produksi ternak. Salah satu gen yang diduga
memiliki pengaruh terhadap sifat pertumbuhan, dan produksi telur adalah gen
Insulin –Like Growth Factor I (IGF-1). Adanya keragaman gen IGF-1 diharapkan
dapat menjadi informasi dasar seleksi berdasarkan penciri DNA.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman gen IGF-I serta untuk
mengetahui adanya variasi gen pada beberapa ayam lokal dan ayam ras pedaging.
Sampel yang digunakan sebanyak 100 sampel, sampel darah berasal dari ayam lokal
dan ayam ras pedaging. Sampel terdiri dari 15 buah sampel ayam kampung, 16 buah
sampel ayam kedu, 15 buah sampel ayam sentul, 15 buah sampel ayam pelung, 23 buah
sampel ayam arab, dan 16 buah sampel ayam ras pedaging. Amplifikasi gen IGF-I
dilakukan dengan teknik Polymerase Chain Reaction, sedangkan umtuk menentukan
genotipe dilakukan dengan teknik Polymerase Chain Reaction- Restriction Fragment
Length Polymorphism menggunakan enzim restriksi Pst-1 memotong situs CTG|CAG.
Analisis yang digunakan adalah frekuensi genotipe, frekuensi alel, keseimbangan
Hardy-Weinberg, heterozigositas, jarak genetik, dan pohon filogenik.
Amplifikasi gen IGF-I menghasilkan fragmen dengan panjang 621 bp. Terdapat
dua tipe alel yang teridentifikasi, yaitu alel A (621 bp atau 600 621 bp), dan alel B

(364 bp dan 257 bp), sehingga menghasilkan tiga genotipe yaitu AA (621 bp atau 600
bp), AB (621 bp atau 600 bp, 364 bp dan 257 bp) dan BB (364 bp dan 257 bp).
Frekuensi genotipe AA pada ayam kampung memiliki genotipe AA terbanyak dengan
frekuensi gen sebesar 0,67; begitupun dengan ayam kedu, ayam sentul, ayam pelung
dan ayam arab memiliki genotipe AA terbanyak dengan frekuensi masing-masing 0,69;
0,67; 0,60; 0,52. Ayam kampung memiliki alel A lebih banyak dibandingkan alel B
dengan nilai frekuensi sebesar 0,83 begitupun dengan ayam kedu, sentul, pelung, broiler
dan Arab dengan nilai frekuensi masing-masing 0.84, 0,83, 0,80, 0,59 dan 0, 696, dan
dapat dikatakan bersifat polimorfik. Ayam kampung, kedu, sentul, pelung dan ras
pedaging berada dalam keseimbangan Hardy-Weinberg karena X2 hitung lebih kecil
dari X2 tabel. Ayam arab berbeda nyata karena nilai X2 hitung lebih besar dari nilai X2
tabel. Hal ini berarti tidak memenuhi keseimbangan hukum Hardy-Weinberg.
Keenam jenis ayam tersebut memiliki keragaman gen yang rendah sehingga kurang
beragam karena memiliki nilai heterozigositas dibawah 0,5. Hubungan kekerabatan
yang paling dekat terdapat antara populasi ayam kedu dan ayam sentul sebesar 0,395,
dan yang terjauh terdapat antara populasi ayam kampung dan ayam broiler yaitu sebesar
0,979.
Kata-kata kunci : ayam lokal, ayam broiler, gen IGF-I |Pst-1, PCR-RFLP, keragaman
genetik


ABSTRACT
Identification of The Insulin-Like Growth Factor I (IGF-1) Gen Polymorphism in
Native Chicken and Broiler Chicken Using PCR-RFLP
Suningsih, P. E., Darwati, S., H. N. Mariandayani
Identification of gene diversity is closely related on production levels. One of
the genes that suspected to have an influence on the nature of growth is the insulin-like
growth Factor I (IGF-1). Restriction fragment length polymorphisms and polymerase
chain reaction allows the identification of genetic diversity directly at the DNA level.
This study aims to identify the diversity of IGF-1 and find out the variation of genes at
several native chicken and broiler. Total number of samples were 100 heads from are
native chicken and broiler chicken. Native chicken that consists of four types : 15
kampoeng chickens, 16 kedu chickens, 15 sentul chickens and 15 pelung chickens, 23
arab chickens, and 16 broiler chickens. Using PCR-RFLP method by Pst1 restriction
enzyme. Genotyping the IGF-1 gene resulted in two alleles, namely A and B, with three
genotypes, namely AA, AB dan BB. The average frequency of the A allele followed by
native chickens and broiler chickens was higher (0.68) than the B allele (0.32). AA
genotype had the highedt average frequency (0.56) than the AB genotype (0.40) and the
BB genotype (0.04). Chi-Square analysis showed that kampoeng chickens, kedu
chickens, sentul chickens, pelung chickens, and broiler chickens were in Hardyweinberg (HW) equilibrium (X2 < X2(0.05)), contrast to arab chickens (X2 > X2(0.05)). The
sixth type of chicken has a low heterozygosity values. The closest kinship exists between

populations kedu chicken and chicken Sentul at 0.395, and the farthest are the populations of
broiler chickens and that is equal to 0.979.

Keyword : native chickens, broiler chicken, IGF-I, genetic polymorphism

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN INSULIN-LIKE GROWTH
FACTOR I (IGF-1) PADA LOKAL DAN AYAM
BROILER DENGAN METODE PCR RFLP

PIPIH SUNINGSIH EFFENDI
D14086020

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan
pada Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN INSULIN-LIKE GROWTH FACTOR I
(IGF-1) PADA AYAM LOKAL DAN AYAM
BROILER DENGAN METODE PCR-RFLP

Oleh :
PIPIH SUNINGSIH EFFENDI
D14086020

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan
komisi ujian lisan pada tanggal 2012

Pembimbing Utama

Pembimbing Anggota

Dr. Ir. Sri Darwati M. Si.
NIP.19630928 198803 1 002


Ir. Harini Nurcahya, M.Si.
NIP. 19570611 198703 2 001

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 12 Juli 1973 dari ayah yang
bernama H. Mahbub Effendi dan ibu bernama Ratna Suminar. Penulis merupakan
anak keempat dari lima bersaudara.
Pendidikan penulis dimulai dari TK Tunas Rimba Bogor dari tahun 1979
hingga tahun 1980. Selanjutnya penulis memulai pendidikan dasar pada SD Rimba
Putra Bogor pada tahun 1980 hingga tahun 1986. Penulis lulus Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama PGRI 3 Bogor pada tahun 1989. Selanjutnya penulis lulus Sekolah
Menengah Atas Negeri 6 Bogor pada tahun 1992.
Penulis melanjutkan pendidikannya pada jenjang perguruan tinggi pada tahun
1992 dengan terdaftar sebagai Mahasiswa Diploma pada Program Studi Teknisi
Usaha Ternak Unggas Jurusan Ilmu Produksi Ternak Fakultas Peternakan Institut
Pertanian Bogor. Penulis terdaftar sebagai Mahasiswa Ilmu Produksi dan Teknologi
Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008. Selama
menjadi mahasiswa penulis aktif mengikuti berbagai kegiatan kepanitian dan kuliah
umum.


Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana, penulis

menyelesaikan skripsi dengan judul ”Identifikasi

Keragaman Gen

Insulin-Like

Growth Factor I (IGF-1) pada Ayam Lokal dan Ayam Ras Pedaging dengan
Metode PCR-RFLP”.

KATA PENGANTAR
Bismillaahirrohmaanirrohiim
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT atas
segala nikmat, karuniaNya dan hidayahNya, sehingga penulis memperoleh
kemudahan dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini, tiada daya dan upaya
kecuali atas kehendakNya. Sholawat dan salam senantiasa Penulis senandungkan
teruntuk nabi tercinta Rosulullah SAW. Skripsi yang berjudul “Identifikasi
Keragaman Gen Insulin-Like Growth Factor I (IGF-1) pada Ayam Lokal dan Ayam
Ras Pedaging dengan Metode PCR-RFLP” ini merupakan salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Ayam lokal merupakan ternak yang dibudidayakan oleh masyarakat
Indonesia karena pemeliharaannya sangat mudah, namun produktivitas ayam masih
belum banyak berkembang, sehingga belum dapat memenuhi kebutuhan di dalam
negeri sehingga harga jualnya relatif tinggi. Upaya dalam meningkatkan
produktivitas ternak dapat dilakukan melalui seleksi level DNA, salah satu cara yaitu
melalui teknik PCR-RFLP yang dapat mendeteksi keragaman gen yang terkait
dengan sifat ekonomis seperti sifat pertumbuhan.
Penelitian ini bertujuan menjadi studi awal untuk mengetahui keragaman gen
Insulin-Like Growth Factor I (IGF-1) dengan metode PCR- RFLP pada ayam lokal
dan ras pedaging sebagai informasi untuk seleksi berbasis molekuler pada ternak.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna,
namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat menjadi tetesan air dalam gelas
yang mampu melepaskan dahaga para pecinta molekuler dan berkontribusi positif
dalam kemajuan peternakan Indonesia. Amin.

Bogor, Januari 2012
Penulis

DAFTAR ISI

Halaman
RINGKASAN .....................................................................................................

i

ABSTRACT........................................................................................................

ii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................

iii

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................

iv

RIWAYAT HIDUP ............................................................................................

v


KATA PENGANTAR ........................................................................................

vi

DAFTAR ISI.......................................................................................................

vii

DAFTAR TABEL...............................................................................................

viii

DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................

ix

DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................

x


PENDAHULUAN ..............................................................................................

1

Latar Belakang ........................................................................................
Tujuan .....................................................................................................

1
2

TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................................

3

Ayam Lokal ............................................................................................
Ayam Kampung ......................................................................................
Ayam Kedu.............................................................................................
Ayam Sentul ...........................................................................................
Ayam Pelung ..........................................................................................
Ayam Broiler ..........................................................................................
Ayam Arab ..............................................................................................
Seleksi .....................................................................................................
Insulin-like Growth Factor-1 (IGF-I) .....................................................
Ektraksi DNA .........................................................................................
Keragaman Genetik .................................................................................
Identifikasi Keragaman DNA dengan Metode PCR-RFLP ....................
Elektroforesis ..........................................................................................
Keseimbangan Hardy-Weinberg (HW) .................................................

3
3
4
5
6
6
7
7
8
8
8
9
10
10

MATERI DAN METODE ..................................................................................

11

Lokasi dan Waktu ...................................................................................
Materi ......................................................................................................
Sampel ...........................................................................................
Primer ............................................................................................
Ekstraksi DNA ..............................................................................
Amplifikasi DNA dengan Polymerase Chain ReactionRestriction Fragment Length Polymorphism ……..……………..
Elektroforesis .................................................................................
Genotyping ....................................................................................

11
11
11
11
12
12
12
12

Prosedur ..................................................................................................
Pengambilan Sampel Darah...........................................................
Ekstraksi DNA ..............................................................................
Amplifikasi DNA ..........................................................................
Elektroforesis Produk PCR ...........................................................
Genotiping ....................................................................................
Analisa Data............................................................................................
Frekuensi Genotipe ........................................................................
Frekuensi Alel……………………………………………...........
Uji Keseimbangan Hardy-Weinberg .............................................
Derajat Bebas (Db) ........................................................................
Heterozigositas...............................................................................
HASIL DAN PEMBAHASAN ..........................................................................

13
13
13
14
14
14
15
15
15
16
16
16
17

Amplifikasi Gen Insulin-like Growth Factor-1 (IGF-1) .........................
Genotiping ...............................................................................................
Frekuensi Alel………………………………………………………….
Keseimbangan Hardy- Weinberg ............................................................
Heterozigositas........................................................................................
Jarak Genetik dan Pohon Filogenetik ....................................................

17
20
20
22
23
24

KESIMPULAN DAN SARAN ..........................................................................

26

Kesimpulan .............................................................................................
Saran .......................................................................................................

26
26

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................

27

LAMPIRAN........................................................................................................

31

DAFTAR TABEL
Nomor

Halaman

1. Sampel Darah Ayam yang Digunakan dalam Penelitian .........................

11

2. Hasil Identifikasi Genotipe Gen IGF-I pada Ayam .................................

20

3. Frekuesi Genotipe dan Frekuensi Alel IGF-1 pada Ayam ........................

21

4. Hasil Analisis Keseimbangan Hardy-Weinberg dengan Uji Chi Kuadrat
(X2) pada Setiap Jenis Ayam....................................................................

22

5. Nilai Heterozigositas Harapan (h) Alel IGF-1 pada Setiap Jenis Ayam ..

23

6. Jarak Genetik pada Ayam Lokal dan Ayam Broiler ...............................

24

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Halaman

1. Visualisasi Hasil Amplifikasi Gas Insulin-like Growth Factor-1
(IGF-1) Sepanjang 621 bp pada Gel agarose 1,5%. M (Marker)
dan 1-5 (Sampel) Ayam Lokal, (Sampel Ayam Broiler)…………......

18

2. (IGF-1) pada Gel Agarose 2% dengn Genotipe AA (621 bp atau
600 bp) AB (621 bp atau 600 bp, 364 bp, 257 bp) BB (364 bp, 257
bp), M (Marker) 1 dan 9 (Sampel Ayam Kedu), 2 dan 10 (Sampel
Ayam Sentul), 3. 7. 8 dan 11 (Sampel Ayam Broiler), 12-14 (Sampel
Ayam Kmpung).................................................................................

19

3. Dendogram Ayam Lokal dan Ayam Broiler......................................

25

DAFTAR LAMPIRAN
Nomor

Halaman

1. Perhitungan Frekuensi Alel…………………………………............

31

2. Perhitungan Frekwensi Genotipe……………………………………

31

3. Perhitungan Hukum Keseimbangan Hardy-Weinberg ……………..

32

4. Perhitungan Heterozigositas………………………………………...

32

5. Perhitungan Standard Eror………………………………………….

33

6. Perhitungan Jarak Genetik.................................................................

34

7. Perhitungan Gen IGF-1 pada Ayam.................................................

35

8. Metode Analisis Ekstraksi DNA......................................................

36

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ayam lokal merupakan salah satu sumberdaya genetik ternak lokal di
Indonesia. Perkembangan ayam lokal di Indonesia merupakan ayam yang diawali
proses domestikasi dimulai sehingga menjadi ayam lokal saat ini dan dikenal sebagai
ayam asli atau native chicken. Penyebaran ayam lokal merata di seluruh pelosok
Indonesia dan kehidupannya telah menyatu dengan masyarakat pedesaan sehingga
ayam lokal mempunyai peranan yang cukup penting bagi masyarakat, seperti untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi, sumber protein, dan hobi. Hal ini disebabkan ayam
lokal atau buras memiliki beberapa keunggulan yaitu mempunyai kemampuan
bertahan hidup dalam kondisi kualitas pakan yang rendah, berkembang biak dengan
baik serta tahan terhadap penyakit. Diantara ayam-ayam lokal ini ada beberapa jenis
yang cukup dikenal masyarakat Indonesia dan memiliki karakteristik yang berbeda
antara lain ayam kampung, ayam kedu, ayam sentul, dan ayam pelung.
Ayam lokal di Indonesia mempunyai keunikan dan keanekaragaman yang
dicirikan oleh fenotipe yang beragam.

Informasi dasar

meliputi ciri spesifik,

asal-usul, performans, dan produktifitas ayam lokal diperlukan dalam rangka
mengoptimalkan pemanfaatan ayam lokal di Indonesia serta menjadikan ayam lokal
Indonesia lebih dikenal, dikembangkan, juga dilestarikan sehingga dapat
dimanfaatkan secara berkelanjutan. Upaya untuk meningkatkan produktivitas ayam
lokal agar berkelanjutan adalah dengan melakukan seleksi dan persilangan.
Kemajuan teknologi bidang genetika molekuler memungkinkan seleksi dilakukan
pada tingkat DNA.
Pemanfaatan ayam lokal sebagai penghasil daging dan telur agar lebih efektif
diperlukan penanda genetik. Penanda genetik merupakan suatu teknik yang
digunakan dalam genetika modern sebagai alat bantu untuk mengidentifikasi genotip
suatu individu atau sample yang diambil dari hewan tersebut. Salah satu penanda
genetik yang berkaitan dengan sifat ekonomis yaitu gen IGF-I. Growth hormone
(GH) dan Insulin-like growth factor-I (IGF-I) adalah hormon yang berperan penting
terhadap pertumbuhan tulang dan otot pada hewan (Curi et al., 2005). Target GH

(gen pertumbuhan) secara langsung maupun melalui IGF-1 menstimulir prosesproses anabolik, seperti pembelahan sel, pertumbuhan tulang, dan sintesis protein.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman gen IGF-I serta
untuk mengetahui adanya variasi gen pada beberapa ayam lokal dan ayam ras
pedaging.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Ayam Lokal
Ayam lokal

yang menyebar di seluruh kepulauan Indonesia memiliki

beberapa rumpun dengan karakteristik morfologis yang berbeda dan khas
berdasarkan daerah asal. Sampai saat ini telah diidentifikasi sebanyak 31 rumpun
ayam lokal, yaitu ayam kampung, pelung, sentul, wareng, lamba, ciparage, banten,
nagrak, rintit/walik, siem, kedu hitam, kedu putih, cemani, sedayu, Olagan, Nusa
Penida, Merawang/Merawas, Sumatra, Balenggek, Melayu, Nunukan, Tolaki, Maleo,
Jepun, Ayunai, Tukung, Bangkok, Brugo, Bekisar, Cangehgar/Cukir/Alas dan
Kasintu (Nataamijaya, 2000). Ayam Indonesia termasuk dalam Phylum Chordata,
Subphylum Vertebrata, Class Aves, Subclass Neornithes, Ordo Galliformes, Genus
Gallus, Spesies Gallus gallus (Suprijatna et al., 2005).
Ayam di dunia berasal dari daerah Selatan India, pegunungan Himalaya,
Assam, Burma, Ceylon, dan beberapa daerah di pulau Sumatra dan Jawa. Empat
spesies tersebut adalah (1) Gallus gallus atau Gallus bankiva (Ayam Hutan Merah),
(2) Gallus lafayetti (Ayam Hutan Ceylon), (3) Gallus sonneratii atau ayam Hutan
Abu-abu dan (4) Gallus varius (Ayam Hutan Jawa) (Crawford, 1990).
Ayam lokal Indonesia selain dipelihara sebagai ayam pedaging dan petelur
juga merupakan hewan kesayangan yang bermanfaat sebagai penghias halaman,
aduan, keperluan ritual atau sebagai pemberi kepuasan melalui suara kokok yang
merdu. Informasi dasar meliputi ciri spesifik, asal usul, performa dan produktivitas
diperlukan sebagai sumber daya genetik ternak ayam lokal lebih dikenal dan lebih
dikembangkan secara berkelanjutan (Sulandari et al., 2007).
Ayam Kampung
Nataamijaya (2000) menyatakan bahwa ayam kampung merupakan ayam asli
Indonesia yang hampir dapat ditemukan di seluruh daerah di Indonesia.

Ayam ini

termasuk dalam 31 galur ayam lokal. Genus dari ayam Kampung adalah Gallus
gallus dan spesies dari ayam ini adalah Gallus domesticus (Brakeyl dan Bone, 1985).
Fenotipe ayam kampung masih bervariasi seperti warna bulu yang masih
beragam yaitu warna hitam, tipe liar, pola kolumbian, bulu putih, dan bulu lurik

(Sulandari et al., 2007).

Bentuk jengger ayam kampung juga bervariasi yaitu

tunggal, rose, pea, walnut (Sulandari et al. 2007).
Nataamijaya (2005) menyatakan bahwa rataan bobot badan ayam kampung
2.405,141 ± 151,510 g (jantan) dan 1.650,00 ± 124,31 g (betina). Panjang shank
ayam Kampung jantan adalah 26,30 ± 1,73 cm dan betina adalah 20,04 ± 1,56 cm.
Panjang leher ayam kampung jantan adalah 19,12 ± 1,40 cm dan betina 21,01 ± 0,92
cm. Panjang tulang punggung ayam kampung jantan 22,40 ± 2,16 cm dan betina
adalah 22,34 ± 2,47 cm. Nugraha (2007) menyatakan bahwa tulang femur pada
jantan ayam kampung adalah 102,29 ± 6,45 mm; sedangkan pada betina adalah 83,48
± 3,79 mm. Panjang tibia jantan adalah 152,95 ± 10,24 mm; sedangkan betina
123,14 ± 5,92 mm. Panjang shank pada jantan adalah 110,04 ± 9,11 mm; sedangkan
betina 85,81 ± 4,82 mm. Lingkar shank pada jantan adalah 53,29 ± 7,44 mm;
sedangkan pada betina 39,64 ± 3,02 mm. Panjang jari ketiga pada jantan 64,27
±5,93 mm; sedangkan pada betina 52,64 ± 5,16 mm panjang sayap pada jantan
adalah 234,79 ± 15,10 mm; sedangkan pada betina 192,14 ± 11,61 mm. Tinggi
jengger pada jantan adalah 49,45 ± 19,40 mm; pada betina 16,84 ±10,09 mm.
Yusdja et al. (2005) menyatakan bahwa ayam kampung menghasilkan telur dan
karkas yang lebih kecil dibandingkan telur dan daging ayam ras, sedangkan harga
produk ayam kampung lebih mahal.
Ayam Kedu
Ayam kedu terdiri dari tiga jenis yaitu ayam kedu putih, ayam kedu lurik atau
blorok, dan ayam kedu hitam (Santoso, 1989). Namun demikian hanya ayam kedu
hitam yang kini banyak dijumpai. Menurut Sarwono (1989) ayam kedu menjadi
popular untuk pertama kali pada tahun 1926 yakni pada saat diselenggarakan kontes
ayam di pekan raya Semarang. Ayam kedu tersebut diduga merupakan hasil
persilangan liar antara ayam Inggris (Australorp hitam) yang dibawa orang pada
jaman Raffles (1811-1816) dengan ayam kampung sekitar tempat peristirahatan
Dieng. Selanjutnya ditegaskan juga bahwa sekarang yang disebut sebagai ayam
kedu adalah ayam lokal yang terdapat dan berasal dari desa Kedu, Kecamatan Kedu,
Kabupaten Temanggung. Menurut Santoso (1989) penyebaran ayam kedu kini telah
mencakup daerah yang luas, hampir di semua kota besar di Jawa seperti Semarang,
Bogor, Jakarta, Surabaya, dan lainnya.

4

Ayam kedu hitam memiliki warna bulu hitam mengkilat bercahaya hijau
seperti kumbang sedangkan kulitnya berwarna kuning dengan balung tunggal. Pial,
balung, dan cupingnya pada masa kecil berwarna hitam dan setelah berumur enam
bulan warna pial, balung dan cupingnya berubah menjadi merah pada yang jantan
dan tetap hitam pada yang betina (Hardjosubroto, 1977; Sarwono, 1989).
Keanekaragaman warna bulu pada ayam kedu pada masa kecil, setelah terjadi rontok
bulu sebagian besar berubah menjadi warna hitam atau terdapat warna hitam. Kaki,
kuku, dan paruh pada ayam kedu berwarna hitam (Sarwono, 1994).
Ayam kedu dikelompokkan dalam tiga tipe, yaitu ayam kedu tipe dwiguna
(pedaging dan petelur), ayam kedu tipe petelur, dan ayam kedu tipe sabung (khusus
untuk ayam kedu jantan) (Sarwono, 1989), Nataamijaya (1994) menyatakan bahwa
rataan bobot badan ayam kedu hitam pada umur 16 minggu adalah 1.060,8 g.
Ayam Sentul
Ayam sentul merupakan ayam lokal di Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Ayam
sentul dipelihara secara semi intensif dan dapat dijadikan komoditas untuk
meningkatkan pendapatan masyarakat Ciamis (Iskandar et al., 2004). Dijelaskan
pula bahwa kepemilikan ayam sentul per kepala keluarga relatif sedikit meskipun
ayam ini tersebar di beberapa kecamatan di Kabupaten Ciamis.
Ciri khas ayam sentul adalah warna yang didominasi oleh warna abu-abu baik
pada jantan maupun betina. Intensitas warna abu-abu pada betina bervariasi dari abu
kehitaman, abu-abu tua, abu-abu muda, dan sedikit warna coklat pada dada tetapi
pada jantan, variasi bulu tidak sebanyak seperti pada betina.

Jantan umumnya

berwarna abu-abu disertai warna merah pada bagian leher, punggung, dan pinggul.
Bentuk jengger pada ayam sentul yaitu single dan pea. Bentuk postur tubuh ayam
Sentul menyerupai ayam kampung dengan tubuh yang lebih padat dan kompak.
Kulit berwarna putih dan kuning, sedangkan shank berwarna abu-abu, putih serta
kuning. Panjang leher pada jantan 19 cm dan tulang punggungnya 23 cm yang
menyerupai ayam pelung (Nataamijaya, 1993).
Produksi telur dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan (Jull, 1979)
Menurut Nataamijaya (1993) produksi telur ayam sentul berkisar antara 10-18 butir
per periode bertelur. Widjastuti (1996) menyatakan bahwa fertilitas telur ayam
Sentul yang dipelihara pada dua sistem

alas kandang yaitu sebesar 80% pada

5

kandang cage dan 79% pada kandang litter, sedangkan daya tetas telur ayam sentul
sebesar 68,41% pada kandang cage dan 67,13%.
Ayam Pelung
Ayam pelung adalah ayam lokal khas Cianjur, Jawa Barat yang mempunyai
potensi sebagai ayam penyanyi dan pedaging (Sulandari et al., 2007). Ayam pelung
memiliki sosok tubuh yang besar dan tegap, kaki yang panjang, kuat serta paha
berdaging tebal.
Pola warna bulu ayam pelung adalah kombinasi antara warna hitam, coklat,
merah, dan putih. Di pedesaan warna bulu ayam pelung sangat bervariasi
(Nataamijaya et al., 2003). Hal ini mungkin diturunkan dari warna bulu nenek
moyang ayam pelung yang berasal dari proses seleksi jangka panjang sedangkan
ayam kampung sendiri berasal dari keturunan ayam hutan merah (Gallus gallus).
Selanjutnya Sulandari et al. (2007) menyatakan bahwa ayam pelung jantan
mempunyai bulu punggung dan warna ekor berwarna dominan merah, hitam, dan
kehijauan, serta warna hitam serta bertipe liar banyak ditemukan di daerah pedesaan.
Ayam pelung jantan memiliki suara khas yang panjang dan merdu serta pada ayam
betina merupakan pedaging unggul.
Nilai ekonomis (harga jual) ayam pelung yang tinggi karena kualitas suara
kokok pada jantan. Beberapa kriteria penilaian suara dilakukan berdasarkan durasi,
volume, kejernihan, irama, dan keras suara (Nataamijaya, 2005). Kualitas dan
panjang suara kokok ayam pelung jantan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
genetik, cara pemeliharaan, dan perawatan, kondisi kesehatan serta jenis pakan yang
diberikan. Rusdin (2007) menyatakan bahwa ayam pelung jantan yang mempunyai
suara jelek dijadikan sebagai ayam pedaging. Produksi telur ayam pelung adalah 3968 butir/tahun atau sekitar 13-17 butir/periode bertelur. Ayam pelung mulai bertelur
antara umur 6-7 bulan. Bobot telur ayam pelung adalah 40-50 g/butir.
Ayam Ras Pedaging (Broiler)
Ayam ras mulai dikembangkan di Indonesia sebagai ayam yang mempunyai arti
ekonomi pada tahun 1968 dengan mengimpor bibit parent stock layer dan parent
stock broiler pada tahun 1974 yang kemudian digandakan untuk mendapat galur
galur baru sebagai ayam final stock.

Selanjutnya dijelaskan oleh Astuti (1994)

6

bahwa ayam ras pedaging atau petelur yang dipasarkan berupa ayam final stock yang
dihasilkan melalui dua tahapan yaitu proses riset genetik dan proses multifikasi.
Kedua hal tersebut dimasukan dalam program pembibitan ayam yang mempunyai
klasifikasi pelaku usaha yaitu pure line stock, foundation s tock, grand parent stock,
foundation stock, dan final stock.

Proses riset genetik biasa dilakukan oleh

perusahaan grandparent stock, parent stock, dan final stock.
Galur-galur baru yang merupakan hasil karya seorang pembibit mempunyai
fungsi yang khas dan membawa nama perdagangan seperti Hyline, Harco, Starco,
Babcock, Cobb, Golden Commet, dan sebagainya.

Masing-masing mempunyai

fungsi sebagai ayam tipe petelur, tipe pedaging atau tipe dwiguna. Ayam-ayam
tersebut dihasilkan dari ayam-ayam murni yang telah diakui oleh American Poultry
Association (APA) seperti Single Rhode Island Red, New Hampshire, dan Australop
(Astuti, 1994).
Ayam Arab
Ayam arab yang berkembang di Indonesia ada dua jenis yaitu ayam Arab
Silver dan Golden Red ( ayam Arab Merah), tetapi yang lebih dikenal di masyarakat
adalah ayam arab Silver (Pambudhi, 2003). Ayam Arab Silver diduga merupakan
hasil persilangan antara pejantan ayam Arab yang asli (Silver Braekels) dengan ayam
betina lokal. Asal usul ayam Golden Red terdiri atas dua versi yang pertama yaitu
ayam ini diduga hasil persilangan antara ayam arab Silver jantan (Silver Braekels)
dengan ayam ras betina petelur merah (Leghorn), versi yang kedua menyatakan
bahwa ayam arab Golden Red diduga merupakan hasil persilangan antara ayam Arab
Silver jantan dengan ayam Merawang betina. Ayam arab Silver mempunyai bulu
berwarna putih di kepala dan lehernya dengan padanan totol-totol hitam. Ayam arab
Golden Red memiliki bulu berwarna kuning keemasan di bagian leher dan terdapat
totol-totol hitam di sekitar sayap dan paha.
Seleksi
Seleksi merupakan suatu proses dalam memilih individu dari suatu populasi
untuk dijadikan tetua (induk) bagi generasi berikutnya. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan mutu genetik ternak adalah dengan metode seleksi

7

dan persilangan. Kemajuan teknologi bidang genetika molekuler memungkinkan
seleksi dilakukan pada tingkat DNA.
Identifikasi keragaman DNA yang terkait dengan sifat kuantitatif dapat
dijadikan dasar untuk menerapkan program Marker Assisted Selection (MAS)
(Montaldo et al., 1988). Upaya seleksi pada tingkat DNA memiliki keakuratan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan seleksi secara konvensional yang melihat dari segi
fenotipik dan melalui ukuran tubuh (morfometrik).
Insulin-like Growth Factor-1 (IGF-1)
Insulin-like growth factor-1 pada ayam merupakan protein yang tersusun atas
70 asam amino (Ballard, et al., 1990).

Hormon IGF-1 pada ayam disandi oleh

sebuah gen yang terletak pada kromosom 1 dekat dengan sentromer (Klein et al.,
1996).
Kajimoto dan Rotwein (1991) menemukan bahwa gen IGF-1 pada ayam
terdiri dari empat exon dan tiga intron dan panjangnya lebih dari 50 kb. Dalam gen
terdapat tujuh daerah yang mengandung elemen berulang (repetitive element).
Ekstrasi DNA
DNA merupakan molekul yang terdapat dalam inti sel dan diwariskan kepada
keturunannya.

DNA dapat diisolasi dari berbagai jaringan mahluk hidup yang

memiliki inti dengan tingkat kesulitan yang berbeda (Sambrook et al., 1989).
Ekstrasi DNA yang paling umum dilakukan adalah dengan mengekstranya
dari darah karena dalam darah terdapat sel darah putih yang mengandung inti.
Kemudahan penyediaan sampel serta prosedur isolasi yang menjadi pertimbangan
dalam penggunaannya membuat sampel darah banyak digunakan dalam ekstrasi
DNA (Benyamin, 1999).
Keragaman Genetik
Keragaman genetik dalam suatu populasi digunakan unuk mengetahui dan
melestarikan bangsa-bangsa dalam populasi terkait dengan penciri suatu sifat khusus.
Pengetahuan akan keragaman genetik suatu bangsa akan sangat bermanfaat bagi
keamanan dan ketersediaan bahan pangan yang berkesinambungan (Blott et al.,
1998).

8

Hukum Hardy-Weinberg menyatakan frekuensi genotip suatu populasi yang
cukup besar akan selalu dalam keadaan seimbang bila tidak ada seleksi migrasi,
mutasi dan genetic drift, selain itu juga silang dalam dan silang luar juga dapat
mempengaruhi frekuensi genotip (Noor, 2000).
Nei (1987), menyatakan bahwa derajat heterozigositas merupakan rataan
persentase lokus heterozigositas tiap individu atau rataan persentase individu
heterozigot dalam populasi. Avise (1994) juga menyatakan bahwa semakin tinggi
derajat heterozigositas suatu populasi maka daya tahan hidup populasi tersebut akan
semakin tinggi.

Seiring dengan menurunnya derajat heterozigositas akibat dari

silang dalam dan fragmenasi populasi, sebagian besar alel resesif yang bersifat lethal
semakin meningkat frekuensinya.
Estimasi perhitungan keragaman genetik dalam populasi secara kuantitatif
biasa diperoleh melalui dua ukuran keragaman variasi populasi yaitu proporsi lokus
polimorfisme dalam populasi dan rata-rata proporsi individu heterozigot dalam setiap
lokus (Nei, 1987). Polimorfisme genetik dalam suatu populasi dapat digunakan
dalam menemukan hubungan antar subpopulasi yang terfregmentasi dalam suatu
spesies (Hartl dan Carlk, 2000). Keragaman genetik dalam antara subpopulasi dapat
diketahui dengan melihat persamaan dan perbedaan frekuensi alel diantara
subpopulasi (Li et al., 2000)
Identifikasi Keragaman DNA dengan Metode PCR-RFLP
PCR (Polymerase Chain Reaction) merupakan suatu reaksi in-vitro untuk
menggandakan jumlah molekul DNA pada target tertentu dengan cara mensintesis
molekul baru yang berkomplemen dengan molekul DNA target tersebut dengan
bantuan enzim dan oligonukleotida sebagai primer dalam suatu thermocycler
(Muladno, 2002). Bahan dasar reaksi PCR adalah DNA target yang akan
diamplifikasi, pasangan primer, buffer PCR, MgCl2, dNTP, dan enzim DNA
polymerase. Umumnya, enzim polymerase yang dipakai berasal dari bakteri yang
mampu hidup pada suhu tinggi, diantaranya adalah Thermus aquticus (Taq DNA
poltmerase), pycoccus woese (Pwo DNA polymerase), dan Thermus thermophilus
(Tth DNA polymerase) (Viljoen et al., 2005).
Secara ringkas, PCR terdiri atas tiga tahapan yaitu denaturasi, penempelan
primer (annealing), dan ekstensi.

Proses dari denaturasi-penempelan-ekstensi

9

disebut sebagai satu siklus (Muladno, 2002). PCR pada umumnya terdiri atas 25-30
siklus. Pada tahap denaturasi, DNA dipanaskan hingga 94 oC sehingga DNA untai
ganda terpisah menjadi DNA untai tunggal.

Tahap penempelan primer adalah

tahapan yang paling menentukan, karena tiap pasang primer memiliki suhu
penempelan yang spesifik. Tahap ekstensi/elongasi/pemanjangan primer terjadi pada
suhu 72 oC. Pada tahapan ini, enzim Taq polymerase. Buffer PCR, dNTP, dan Mg2+
memulai aktifitasnya memperpanjang primer (Viljoen et al., 2005).
Restriction Fragment Length Polymorphism atau RFLP merupakan suatu
teknik

yang

digunakan

untuk

mengidentifikasi

keragaman

DNA

dengan

mengaplikasikan enzim restriksi spesifik pada untaian DNA. Teknik ini sangat
akurat untuk mengenali keragaman pada daerah pengenalan dan pemotongan enzim
restriksi (Viljoen et al., 2005). Passarge (2001) menyatakan bahwa pada setiap 100
pasang basa (pb.) sekuen DNA, terdapat perbedaan pada beberapa basa yang dapat
menyebabkan adanya keragaman DNA (DNA polymorpfism). Sebagai akibatnya,
daerah pengenalan dan pemotongan oleh suatu enzim restriksi dari satu individu
dapat berbeda dengan individu lainnya, sehingga panjang pita DNA hasil potongan
enzim restriksi dapat berbeda ukuran (Restriction Fragment Length Polymorphism,
RFLP).
Elektroforesis
Elektroforesis adalah suatu teknik pemisahan molekul seluler berdasarkan
ukurannya. Elektroforesis menggunakan medan listrik yang dialirkan pada suatu
medium yang mengandung sampel yang akan dipisahkan. Teknik ini dapat
digunakan dengan memanfaatkan muatan listrik yang ada pada makromolekul,
misalnya DNA yang bermuatan negatif (Yuwono, 2008).
Hasil analisis

dapat dilihat melalui proses elektroforesis, gel merupakan

komponen bahan kimia terpenting dalam proses elektroforesis (Muladno, 2002)
Keseimbangan Hardy-Weinberg (HW)
Hukum Hardy-Weinberg menggambarkan keseimbangan suatu lokus dalam
populasi diploid yang mengalami perkawinan secara acak, yang bebas dari faktor
yang berpengaruh terhadap kejadian proses evolusi seperti mutasi, migrasi dan
pergeseran genetik (Gillespi, 1998).

10

Suatu populasi dikatakan seimbang jika nilai λ2 yang didapatkan lebih kecil
dari λ2 tabel pada selang kepercayaan 5% dan derajat bebas tertentu.
Nilai Chi-Kuadrat (λ2) hitung yang lebih kecil dari nilai Chi-Kuadrat (λ2) table juga
dapat dikatakan bahwa hasil perkawian antar individu dari setiap bangsa tersebut
berada pada keseimbangan (Nei, 1987). Menurut Noor (2008) suatu populasi yang
ccukup besar berada dalam keadaan keseimbangan Hardy-Weinberg jika frekuensi
genotip dominan dan resesif konstan dari generasi ke generasi, tidak ada seleksi,
mutasi, migrasi dan genetic drift.

11

METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang dan Laboratorium
Molekuler Bagian Genetika dan Pemuliaan Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan
Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian

dilakukan selama lima bulan dari bulan Pebruari 2012 sampai bulan Agustus 2012
Materi
Sampel
Jumlah sampel darah ayam yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak
100 sampel. Sampel darah berasal dari ayam lokal dan ayam ras pedaging yang
dipelihara di Laboratorium Lapang Pemuliaan dan Genetika Ternak, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Jumlah sampel darah ayam lokal dan ayam ras
pedaging yang digunakan dalam penelitian ini tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1. Sampel Darah Ayam yang Digunakan dalam Penelitian ini
No. Jenis Ayam

Jumlah Sampel darah ( ekor)

1.

Ayam Ras Pedaging

16

2.

Ayam Kampung

15

3.

Ayam Kedu

16

4.

Ayam Sentul

15

5.

Ayam Pelung

15

6.

Ayam Arab

23

Total

100

Primer
Primer adalah molekul pendek utas tunggal DNA yang akan menempel pada
DNA cetakan pada tempat yang spesifik. Sekuen primer yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Insulin-like Growth Factor-I (IGF-I) berdasarkan primer yang
digunakan oleh Mu’in (2008)

yaitu : IGF-IF’: 5’-GAC-TAT-ACA-GAA-AGA-

ACC-CAC-3’ dan IGF-IR’: 5’-TAT-CAC-TCA-AGT-GGC-TCA-AGT-3’.

Ekstraksi DNA
Bahan-bahan yang digunakan dalam ekstraksi DNA adalah DW (Destilation
Water), SDS 10% (Sodium Dodecyl Sulfate), Proteinase-K, STE (Sodium TrisEDTA), Phenol, CIAA (Chloroform iso amil alkohol), NaCl (Natrium chloride), dan
Ethanol. Alat yang digunakan tabung ependorf 1,5 ml, Vortex mixer, Rak tabung
ependorf, Refrigerated microcentrifuge, autoclave, pipetor atau pitman untuk (20 µl1000 µl) dan (20 µl-200 µl), inkubator, sarung tangan, dan kotak penyimpan sample.
Amplifikasi DNA dengan Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment
Length Polymorphism
Bahan-bahan yang digunakan dalam PCR-RFLP adalah air bebas ion steril,
sampel DNA, buffer, MgCl2, pasangan primer, enzim taq dan dNTP dan enzim
retriksi PstI. Alat yang digunakan satu set pipet mikro dan tipnya, alat sentrifugasi,
tabung PCR, vortex, dan refrigerator.
Elektroforesis
Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan gel agarose adalah agarose,
0,5XTBE, EtBr (Ethidium bromide). Alat yang digunakan horizontal agarose gel
electhrophoresis (MUPID), sisir pembentuk sumur, power supply 100 volt, pipetor
atau pipetman (1 µl-10 µl), tip pipet warna kuning dan putih, alat timbang, dan
plastik.
Genotyping
Bahan-bahan yang digunakan yaitu loading dye (bromthymol blue 0,01%,
xylene cyanol 0,01%, dan gliserol 50%) dan untuk membuat 1 lembar gel agarose
2% adalah sebagai berikut : agarose 0,6 g; 0,5xTBE 30 ml; 2,5 µl EtBr. Alat-alat
yang digunakan adalah microwave, stirrer, magnet stirrer, gelas ukur, tabung
erlenmeyer, gel tray, pencetak untuk sumur (comb), power supply 100 volt, gelas
ukur, tip, pipet makro dan mikro.

12

Prosedur
Pengambilan Sampel Darah
Sampel darah diambil dari ayam secara langsung dengan menggunakan spuit
dari bagian vena pangkal sayap. Sampel darah dimasukkan ke dalam tabung yang
berisi EDTA atau Ethanol 70% untuk mencegah terjadinya penggumpalan sekaligus
mengawetkan sampel darah tersebut. Sampel disimpan pada suhu ruang sampai akan
digunakan lebih lanjut.
Ekstraksi DNA
Ektraksi DNA dilakukan secara konvensional mengikuti metode Sambrook
et al. (1989). Pengambilan sampel darah sebanyak 100 µl dimasukkan ke dalam
ependorf baru. Penambahan DW sebanyak 1.000 µl ke dalam sampel lalu dikocok
menggunakan vortex sampai tersuspensi dengan sempurna dan disentrifugasi dengan
kecepatan 8.000 rpm selama 5 menit.

Bagian supernatan dibuang kemudian

ditambahkan DW sebanyak 1.000 µl ke dalam sampel lalu disentrifugasi dengan
kecepatan dan waktu yang sama seperti sebelumnya dan supernatan yang tersisa
dibuang.
Pelisisan Sel. Sampel dilisis dengan menambahkan 40 µl 10% SDS (sodium
dodesil sulfat) , 10 µl proteinase-K dan 1 x STE (sodium tris-EDTA) sampai 400 µl.
Campuran diinkubasi pada suhu 55

o

C selama 2 jam sambil dikocok pelan

menggunakan alat pemutar (tilting).
Pemisahan DNA. Molekul DNA dimurnikan dengan metode phenolchloroform yaitu dengan menambahkan 40 µl 5 M NaCl dan 400 µl larutan phenol
dan CIAA (chloroform-isoamil-alkohol), kemudian dikocok pelan (tilting) pada suhu
ruang selama 2 jam.
Pemurnian DNA. Molekul DNA yang larut dalam fase air dipisahkan dari
fase phenol dengan disentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit.
Molekul DNA dipindahkan ke dalam tabung baru sebanyak 400 µl dan ditambahkan
800 µl etanol absolut dan 40 µl 5 M NaCl. Molekul DNA kemudian disimpan
dalam freezer semalam (24 jam) pada suhu -20 oC. Molekul DNA disentrifugasi
dengan kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit, kemudian supernatan yang diperoleh
dibuang. Endapan yang dihasilkan dilakukan pencucian dengan menambahkan 800

13

µl ETOH 70% kemudian disentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit.
Sisa etanol setelah dibuang kemudian diuapkan dalam ruang terbuka. Endapan DNA
kemudian disuspensikan dalam 100 µl 80% buffer TE (tris EDTA).
Amplifikasi DNA
Perbanyakan gen IGF-I yang diapit oleh primer forward dan reverse secara in
vitro dilakukan menggunakan mesin Applied Biosystem PCR Thermacycler.
Pereaksi untuk amplifikasi DNA secara umum dilakukan menggunakan campuran
yang terdiri dari 1 µl sampel DNA yang telah diekstraksi dari darah sebelumnya
dengan metode ekstraksi Sambrook et al. (1987),

0,3 µl primer (forward dan

reverse), 0,05 µl taq polimerase, 1,5 µl buffer, 0,5 µl MgCl2 dan 0,3 µl dNTP.
Proses amplifikasi yang terjadi pada mesin Applied Biosystem PCR Thermal Cycler
ini berlangsung dalam empat tahap. Tahap pertama adalah denaturasi awal 95 oC
selama lima menit. Tahap kedua merupakan 35 siklus amplifikasi yang terdiri dari
denaturasi pada suhu 95 oC selama 30 detik. Penempelan (annealing) primer pada
suhu 55 oC selama 45 detik dan pemanjangan (elongasi) molekul DNA pada suhu
72 oC selama satu menit. Tahap ketiga adalah pemanjangan (elongasi) akhir molekul
DNA pada suhu 72 oC selama lima menit.
Elektroresis Produk PCR
Elektroforesis produk PCR dilakukan menggunakan 2 µl produk PCR pada
gel agarose 1,5% dengan tegangan 150 volt selama 60 menit. Gel dibuat dengan
cara mencampurkan agarose 0,45 g, 0,5 TBE 30 ml dan 2,5 µl EtBr. Sebanyak 2 µl
produk PCR dicampur dengan loading dye (bromthymol blue 0,01%, Xylene cyanol
0,01% dan gliserol 50%) . Setelah elektroforesis selesai gel agarose diambil untuk
dilihat panjang pita DNA dengan menggunakan UV-Transilluminator.
Genotiping
Produk PCR yang telah dielektroforesis sebanyak 2 µl didistribusikan ke
dalam tabung 0,5 ml yang ditambahkan 1 µl DW; 0,3 µl enzim restriksi PstI; 0,7 µl
buffer RE. Campuran tersebut diinkubasi dalam inkubator pada suhu 37 oC selama
16 jam. Sampel DNA yang telah dipotong dengan enzim restriksi dielektroforesis
pada gel agarose 2% dengan tegangan 100 volt selama 30 menit. Setelah proses
elektroforesis selesai, dilakukan proses visualisasi dengan UV-Transilluminator.

14

Pita DNA yang muncul dibandingkan dengan marker untuk mengetahui panjang
pitanya.

Setiap pita DNA dari setiap sampel dibandingkan untuk menentukan

genotipe pita DNA. Satu posisi migrasi yang sama dianggap sebagai satu tipe atau
satu alel DNA.
Pita-pita DNA yang muncul dibandingkan dengan marker untuk diketahui
panjang fragmen dan jumlah pita DNA dari setiap sampel dibandingkan untuk
ditentukan genotipe penentuan pita DNA. Penentuan alel A dan C ditunjukkan
dengan jumlah dan ukuran fragmen yang terpotong berdasarkan sekuen gen IGF-1.
Alel A tidak memiliki titik potong dan menunjukkan satu fragmen dengan panjang
621 bp atau 600 bp sedangkan alel B memiliki satu titik potong dan menunjukkan
dua fragmen 364 bp dan 257 bp. Pada peneltian ini diharapkan diperoleh tiga
genotipe yaitu AA (621 bp atau 600 bp), AB (621 bp atau 600 bp, 364 bp dan 257
bp) dan BB (364 bp dan 257 bp).
Analisis Data
Frekuensi Genotipe
Keragaman genotipe tiap-tiap individu dapat ditentukan dari migrasi pita-pita
DNA hasil pemotongan enzim restriksi. Masing-masing sampel dibandingkan
berdasarkan ukuran (marker) yang sama dan dihitung frekuensi genotipenya.
Frekuensi genotipe dengan dihitung merujuk pada rumus Nei dan Kumar (2000) :
Xii = nii
n
Keterangan :
Xii
nii
n

=
=
=

Frekuensi genotipe
Jumlah individu yang bergenotip ii
Jumlah individu sampel

Frekuensi Alel
Frekuensi alel merupakan rasio suatu alel terhadap keseluruhan alel pada
suatu lokus dalam populasi. Alel masing-masing alel setiap lokus dihitung
berdasarkan rumus Nei (1987).

15

Keterangan:
Xi
nij
nii
n

=
=
=
=

Frekuensi alel
Jumlah individu yang bergenotipe ij
Jumlah individu yang bergenotipe ii
Jumlah individu sample

Uji Keseimbangan Hardy-Weinberg
Uji Keseimbangan Hardy-Weinberg bertujuan untuk mengetahui apakah
suatu populasi berada dalam keseimbangan. Keseimbangan Hardy-Weinberg
dilakukan dengan pengujian Chi-Kuadrat berdasarkan (Nei dan Kumar, 2000).

Keterangan:
x2
obs
exp

= Uji Chi-kuadrat (obs – exp)2
= Jumlah pengamatan Genotip ke-ii
= Jumlah harapan genotip ke-ii

Derajat Bebas (Db)
Derajat bebas (db) dihitung untuk mendapatkan nilai x2 tabel. Nilai derajat
bebas dihitung berdasarkan Allendrof dan Luikart (2007) dengan menggunakan
rumus :
Db = (Genotipe-1) – (Alel-1)
Heterozigositas
Heterozigositas digunakan untuk menentukan keragaman alel pada sampel
DNA jenis ayam ras dan ayam bukan ras.

Nilai hetrozigositas dapat dihitung

menggunakan rumus sebagai berikut (Nei, 1973):

16

Keterangan:
H
Xi
Q

=
=
=

Nilai heterozigositas
Frekuensi alel ke-i
Jumlah alel

Jarak Genetik dan Pohon Filogenetik
Jarak Genetik dan pohon kekerabatan dibuat dengan metode UPGMA
menurut Nei (1972).
Dn = DXY - ( DX (m) + DY (m) )/2
D

= - log I

Keterangan :
Dn
DXY
DX
DY
D

=
=
=
=
=

Jumlah frekuensi alel
Jumlah frekuensi alel Individu x dan y
Frekuensi alel x
Frekuensi alel y
Jarak genetik

17

Ampifikasi Gen Insulin-like Growth Factor-1 (IGF-1)
Hasil amplifikasi gen Insulin-like Growth Factor-1 (IGF-1) sepanjang 621
bp pada gel agarose 1.5% disajikan pada Gambar 1.
M

1

2

3

4

5

6

621 bp
500 bp

300bp
200 bp

100 bp

Gambar 1. Visualisasi Hasil Amplifikasi Gen Insulin-like Growth Factor-1
(IGF-1) Sepanjang 621 bp pada Gel Agarose 1,5%. M (Marker)
dan 1 - 5 (Sampel Ayam Lokal), 6 (Sampel Ayam Broiler).
Keberhasilan amplifikasi sebanyak 100 sampel dari 120 sampel atau sebesar
83,33%. Ketidakberhasilan ampilifikasi pada penelitian ini disebabkan DNA yang
terambil dari sampel tidak mencukupi keberhasilan amplifikasi, sampel yang sudah
didistribusi terlalu lama disimpan dalam refrigerator, saat mencampur tidak sesuai
dengan prosedur, konsentrasi enzim yang berlebihan, dan melakukan elektroforesis
hasil PCR yang sudah lama disimpan. Menurut Muladno (2002), denaturasi yang
tidak lengkap mengakibatkan DNA mengalami renaturasi (membentuk DNA untai
ganda kembali) secara cepat, dan ini mengakibatkan gagal pada proses amplifiikasi,
selain itu konsentrasi enzim yang berlebihan dapat menyebabkan amplifikasi DNA
pada sekuens yang bukan target.

Suhu annealing (penempelan primer) pada

penelitian ini adalah 55 oC. Menurut Muladno (2002), suhu penempelan primer

(annealing) berkisar antara 36 oC sampai dengan 72 oC, namun suhu yang biasa
digunakan

50-60 oC. Kondisi ini berbeda dengan suhu penempelan primer yang

dilakukan oleh Muin (2009) yaitu 60 oC, ini disebabkan perbedaan sampel DNA
ayam lokal

yang digunakan berbeda letak geografisnya. Suhu annealing

merupakan suhu optimum terjadinya penempelan primer yang digunakan pada titik
pemotongan DNA selama proses amplifikasi berlaku. Konsentrasi pereaksi pada
penelitian ini dilakukan dengan tepat sesuai prosedur yang sudah dilakukan di
laboratorium genetika molekuler. Ini sesuai dengan pernyataan

Viljoen et al.

(2005), bahwa keberhasilan amplifikasi gen sangat tergantung pada interaksi
komponen pereaksi PCR dalam konsentrasi yang tepat.
Pemotongan fragmen tersebut dilakukan dengan menggunakan enzim
restriksi Pst-I dan enzim ini memotong situs ctg|cag. Fragmen DNA spesifik yang
mengandung SNP (single nucleotide polymorphism) pada ayam-ayam penelitian
telah berhasil diamplifikasi. Mutasi yang terjadi pada fragmen gen IGF-1|Pst-1
adalah mutasi substitusi tipe tranversi yaitu terjadi perubahan basa pirimidin (T-C)
berubah menjadi basa purin (A-G). Me