Hubungan Antara Kadar Insulin-Like Growth Factor-1 (IGF-1) Dalam Serum Dan Derajat Keparahan Akne Vulgaris

(1)

Tesis

HUBUNGAN ANTARA KADAR

INSULIN-LIKE

GROWTH FACTOR-1 (IGF-1)

DALAM SERUM

DAN DERAJAT KEPARAHAN AKNE VULGARIS

Peneliti

:

dr. Joice Sonya Panjaitan

Pembimbing

:

dr. Nelva K. Jusuf, SpKK(K)

dr. Daratia I. Kadri, SpKK

Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik

Medan – 2010


(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur, hormat dan kemuliaan penulis panjatkan kehadirat Allah Bapa yang Maha Pengasih lewat putraNya yang tunggal Tuhan Yesus Kristus, yang telah memampukan penulis dalam menyelesaikan seluruh rangkaian punyusunan tesis yang berjudul: “Hubungan antara Insulin-Like Growth Factor 1 dengan derajat keparahan akne vulgaris” sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh keahlian dalam bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Tidak ada satupun karya tulis dapat diselesaikan seorang diri tanpa bantuan dari orang lain. Dalam penyelesaian tesis ini, baik ketika penulis melakukan penelitian maupun saat penulis menyusun setiap kata demi kata dalam penyusunan proposal dan hasil penelitian, ada banyak pihak yang Tuhan telah kirimkan untuk membantu, memberikan dorongan dan masukan kepada penulis. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, ijinkanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih dan perhargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Yang terhormat dr. Nelva K. Jusuf, SpKK (K), selaku pembimbing utama penulis, yang dengan penuh kesabaran membimbing, memberikan nasehat, masukan, dan koreksi kepada penulis selama proses penyusunan tesis ini.

2. Yang terhormat dr. Daratian I. Kadri, SpKK selaku pembimbing kedua penulis, yang juga telah membimbing dan memberikan masukan-masukan yang sangat bermanfaat selama penyusunan tesis ini.

3. Yang terhormat Prof. Dr. dr. Irma D. Roesyanto-Mahadi, SpKK (K), sebagai Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, juga sebagai guru besar, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti pendidikan spesialis di bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dan juga selalu memberikan dukungan, bimbingan dan dorongan kepada saya dalam penyelesaian tesis ini maupun selama menjalani pendidikan sehari-hari.

4. Yang terhormat dr. Chairiyah Tanjung, SpKK (K), sebagai Ketua Program Studi Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang juga telah banyak membantu saya, senantiasa mengingatkan dan memberikan dorongan dalam penyelesaian tesis ini maupun selama menjalani pendidikan sehari-hari.

5. Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. DR. Syahril Pasaribu, SpA(K), DTM&H, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk dapat melaksanakan studi


(3)

6. Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Gontar A. Siregar, SpPD-KGEH, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

7. Yang terhormat Prof. dr. Diana Nasution, SpKK (K), yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti pendidikan spesialis di bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

8. Yang terhormat dr. Kristo Alberto Nababan, SpKK, yang telah banyak memberikan dorongan, bimbingan, semangat serta nasehat selama saya menjalani pendidikan.

9. Yang terhormat dr. Salia Lakswinar, SpKK, sebagai anggota tim penguji, yang telah memberikan bimbingan dan koreksi untuk penyempurnaan tesis ini.

10. Yang terhormat dr. Remenda Siregar, SpKK, sebagai anggota tim penguji, yang telah memberikan bimbingan dan koreksi untuk penyempurnaan tesis ini.

11. Yang terhormat dr. Imam Budi Putra, SpKK, yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan dan koreksi kepada saya dalam penyusunan tesis ini.

12. Yang terhormat para Guru Besar, Prof. Dr. dr. Marwali Harahap, SpKK (K), Prof. dr. Mansur A. Nasution, SpKK (K), serta seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK USU, RSUP. H. Adam Malik Medan, RSU Dr. Pirngadi Medan, dan RS PTPN II Medan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah membantu dan membimbing saya selama mengikuti pendidikan ini.

13. Yang terhormat Bapak Direktur RSUP. H. Adam Malik Medan, Direktur RSU Dr. Pirngadi Medan, dan Direktur RS PTPN II Medan, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada saya selama menjalani pendidikan keahlian ini.

14. Yang terhormat Drs. Abdul Jalil Amra, M.Kes, selaku staf pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat USU, dan dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes, selaku staf pengajar Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FK USU, yang telah banyak membantu saya dalam metodologi penelitian dan pengolahan statistik penelitian saya ini.

15. Yang terhormat seluruh staf/pegawai dan perawat di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, baik di RSUP. H. Adam Malik Medan, RSU Dr. Pirngadi Medan, dan RS PTPN II Medan, atas bantuan, dukungan, dan kerjasama yang baik selama ini.

16. Yang tercinta Ayahanda Dr. Parlindungan Panjaitan dan Ibunda Risma Siahaan, yang dengan penuh cinta kasih, keikhlasan, doa, kesabaran, dan pengorbanan yang luar biasa untuk mengasuh, mendidik, dan membesarkan saya. Tiada ungkapan yang mampu melukiskan betapa bersyukurnya saya mempunyai kedua orangtua seperti kalian. Kiranya hanya Tuhan Yang Maha Kuasa yang dapat membalas segala kebaikan kalian.


(4)

17. Yang tercinta, suami saya, dr. Budianto Sigalingging, SpPD yang telah dengan sabar dan ikhlas memberikan dorongan dan semangat hingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini.

18. Yang terkasih putriku Gracia Sigalingging, tahun ini. Terima kasih untuk senantiasa menjadi pendorong semangat serta pelipur lara bagiku selama mengikuti pendidikan.

19. Yang terkasih seluruh keluarga besar yang telah banyak memberikan dukungan dan nasehat selama masa pendidikan dan penelitian saya ini.

20. Kepada seluruh keluarga dan kerabat yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

21. Yang terhormat dr. Poppy Syafnita, SpKK, dr. Faridah Israwati, dr. Rudyn Panjaitan dan seluruh teman sejawat peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK USU atas segala bantuan, dukungan, dan kerjasama yang telah diberikan kepada saya selama menjalani masa pendidikan dan penyelesaian tesis ini.

22. Kepada seluruh staf Laboratorium Prodia Medan, yang telah memberikan kesempatan, fasilitas, dan kemudahan kepada saya untuk melaksanakan penelitian.

Saya menyadari bahwa tesis ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan tesis ini. Kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Pada kesempatan ini, dengan penuh kerendahan hati, perkenankanlah saya untuk menyampaikan permohonan maaf yang setulus-tulusnya atas segala kesalahan atau kekhilafan yang telah saya lakukan selama proses penyusunan tesis dan selama menjalani masa pendidikan ini.

Dan akhir kata, saya panjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, agar kiranya berkenan untuk memberkati dan melindungi kita sekalian. Amin.

Medan, Desember 2010 Penulis


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR SKEMA ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

ABSTRAK ... xi

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah ... 1

B. Rumusan masalah ... 5

C. Hipotesis ... 5

D. Tujuan penelitian ... 5

1. Tujuan umum ... 5

2. Tujuan khusus ... 5

E. Manfaat penelitian ... 6

F. Kerangka teori ... 7

G. Kerangka konsep ... 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Akne vulgaris ... 8

1. Epidemiologi ... 8

2. Etiologi dan patogenesis ... 10

3. Gambaran klinis ... 12

4. Pemeriksaan laboratorium ... 14


(6)

6. Diagnosis banding ... 16 B.

Diet dan akne ... 18

1. Klasifikasi karbohidrat ... 18

2. Indeks glikemik ... 19

3. Beban glikemik ... 21

4. Insulin-like growth factor-1 ... 21

5. Hubungan antara diet, IGF-1 dan akne vulgaris ... 25

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. Desain penelitian ... 30

B. Waktu dan tempat penelitian ... 30

C. Populasi penelitian ... 30

D. Besar sampel ... 31

E. Cara pengambilan sampel penelitian ... 31

F. Identifikasi variabel ... 32

G. Kriteria inklusi dan eksklusi ... 32

H. Alat, bahan, dan cara kerja ... 33

I. Definisi operasional ... 37

J. Kerangka operasional ... 42

K. Pengolahan dan analisis data ... 42

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik subjek penelitian ... 44

1. Jenis kelamin ... 45

2. Kelompok umur ... 46

3. Tingkat pendidikan ... 47


(7)

1. Perbandingan insulin-like growth factor-1 antara kelompok kasus dan kontrol ... 48 2. Insulin-like growth factor-1 berdasarkan jenis kelamin ... 49 3. Insulin-like growth factor-1 berdasarkan kelompok umur ... 50 4. Insulin-like growth factor-1 berdasarkan indeks massa tubuh 51 5 Hubungan antara indeks glikemik dan beban glikemik dengan

insulin-like growth factor-1...52

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ...56 B. Saran ...56


(8)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1 Karakteristik subjek penelitian ... 44 Tabel 4.2 Perbandingan insulin-like growth factor-1 antara kelompok kasus dan kontrol

... 48 Tabel 4.3. Insulin-like growth factor-1 berdasarkan jenis kelamin ... 49 Tabel 4.4. Insulin-like growth factor-1 berdasarkan kelompok umur ... 50 Tabel 4.5. Insulin-like growth factor-1 berdasarkan indeks massa tubuh 51

Tabel4.6. Perbandingan indeks glikemik dan beban glikemik antara kelompok kasus dan kontrol ... 52 Tabel 4.7. Hubungan antara indeks glikemik dan beban glikemik dengan insulin-like


(9)

DAFTAR SKEMA

Halaman Skema 1 : Kerangka teori hubungan antara indeks glikemik dan beban glikemik

dengan insulin-like growth factor-1 pada pasien akne vulgaris ... 7 Skema 2 : Kerangka konsep hubungan antara indeks glikemik dan beban

glikemik dengan insulin-like growth factor-1 pada pasien akne vulgaris ... 7 Skema 3 : Kerangka operasional penelitian ... 42


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Naskah penjelasan kepada pasien/orangtua/keluarga pasien Lampiran 2 : Persetujuan ikut serta dalam penelitian

Lampiran 3 : Status penelitian Lampiran 4 : Status “dietary recall

Lampiran 5 : Indeks glikemik dan beban glikemik beberapa jenis pangan Lampiran 6 : Persetujuan Komite Etik

Lampiran 7 : Master Tabel


(11)

HUBUNGAN ANTARA KADAR INSULIN-LIKE GROWTH FACTOR-1 (IGF-1) DALAM SERUM DAN

DERAJAT KEPARAHAN AKNE VULGARIS

Joice Sonya Panjaitan, Daratia Kadri, Nelva K. Jusuf

Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan

ABSTRAK Latar Belakang

Akne vulgaris merupakan suatu penyakit kulit yang sering dijumpai di masyarakat. Patogenesis akne vulgaris bersifat multifaktorial dan diantaranya diduga terdapat peranan dari IGF-1. IGF-1 dapat meningkatkan proliferasi sel keratinosit dan peningkatan produksi sebum oleh sel sebosit. Namun, peranan IGF-1 dalam berbagai derajat keparahan akne vulgaris masih belum jelas.

Tujuan

Untuk mengetahui hubungan antara kadar IGF-1 dalam serum dengan derajat keparahan akne vulgaris.

Metode

Penelitian dilakukan dengan metode potong lintang mulai bulan Januari sampai dengan Juni 2010. Dalam penelitian ini direkrut sebanyak 21 orang pasien akne vulgaris yang terdiri dari 7 orang pasien akne vulgaris derajat ringan, 7 orang pasien derajat sedang, 7 orang derajat berat serta 21 orang pasien sebagai kontrol. Dilakukan pengukuran kadar IGF-1 dalam serum dan dianalisis secara statistik hubungannya dengan derajat keparahan akne vulgaris.

Hasil

Kadar IGF-1 pada kelompok akne vulgaris derajat ringan 232,43±116,27 ng/ml, pada kelompok akne vulgaris derajat sedang 328±123,50 ng/ml, pada kelompok akne vulgaris derajat berat 249,29±83,2 ng/ml dan pada kelompok kontrol 246,38±95,29 ng/ml, dengan nilai p = 0,272. Pada uji korelasi Spearman antara kadar IGF-1 serum dengan derajat keparahan akne vulgaris didapati hasil uji r = 0,039 dengan nilai p = 0,868

Kesimpulan

Dalam penelitian ini didapati bahwa tidak terdapat korelasi antara kadar IGF-1 dalam serum dengan derajat keparahan akne vulgaris.

Kata kunci :


(12)

THE CORRELATION BETWEEN THE SERUM INSULIN-LIKE GROWTH FACTOR-1

(IGF-1) LEVEL AND THE SEVERITY DEGREE OF ACNE VULGARIS

Joice Sonya Panjaitan, Daratia Kadri, Nelva K. Jusuf

Department of Dermatolo-Venereology Faculty of Medicine Universitas Sumatera Utara

H. Adam Malik General Hospital Medan

ABSTRACT Background

Acne vulgaris is a skin disease that is commonly found in the community. Acne vulgaris has been known had a complex pathogenesis and IGF-1 was allegedly had a role in the pathogenesis of acne vulgaris. IGF-1 can enhance keratinocyte cell proliferation and increase sebum production. However, the role of IGF-1 in the various degree of acne vulgaris severity remains unclear.

Objective

To determine the correlation between the serum IGF-1 level and the severity degree of acne vulgaris

Method

The study was conducted with cross sectional method starting from January untill June 2010. In this study, we recruited 21 acne vulgaris patients consisting of 7 patients had a mild severity degree of acne vulgaris, 7 patients had a moderate severity degree of acne vulgaris, 7 patients had a severe severity degree of acne vulgaris and 21 patients as the control group. We measured the serum IGF-1 level of each patients and then analyzed statistically the measurement result correlation with the various degree of acne vulgaris severity.

Result

We found that the mean IGF-1 serum level in the mild acne vulgaris severity group was 232,43±116,27 ng/ml, in the moderate acne vulgaris severity group was 328±123,50 ng/ml, in the severe acne vulgaris severity group was 249,29±83,2 ng/ml, and in the control group was 246,38±95,19 ng/ml with p value= 0,272. Statistical analyzes with Spearman Correlation Test revealed that there is no correlation between the serum IGF-1 level and the severity degree of acne vulgaris. (r=0,039;p=0,868)

Conclusion

In this study we found no correlation between the serum IGF-1 level and the severity degree of acne vulgaris.

Key words

Acne vulgaris, IGF-1, acne vulgaris severity degree


(13)

HUBUNGAN ANTARA KADAR INSULIN-LIKE GROWTH FACTOR-1 (IGF-1) DALAM SERUM DAN

DERAJAT KEPARAHAN AKNE VULGARIS

Joice Sonya Panjaitan, Daratia Kadri, Nelva K. Jusuf

Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan

ABSTRAK Latar Belakang

Akne vulgaris merupakan suatu penyakit kulit yang sering dijumpai di masyarakat. Patogenesis akne vulgaris bersifat multifaktorial dan diantaranya diduga terdapat peranan dari IGF-1. IGF-1 dapat meningkatkan proliferasi sel keratinosit dan peningkatan produksi sebum oleh sel sebosit. Namun, peranan IGF-1 dalam berbagai derajat keparahan akne vulgaris masih belum jelas.

Tujuan

Untuk mengetahui hubungan antara kadar IGF-1 dalam serum dengan derajat keparahan akne vulgaris.

Metode

Penelitian dilakukan dengan metode potong lintang mulai bulan Januari sampai dengan Juni 2010. Dalam penelitian ini direkrut sebanyak 21 orang pasien akne vulgaris yang terdiri dari 7 orang pasien akne vulgaris derajat ringan, 7 orang pasien derajat sedang, 7 orang derajat berat serta 21 orang pasien sebagai kontrol. Dilakukan pengukuran kadar IGF-1 dalam serum dan dianalisis secara statistik hubungannya dengan derajat keparahan akne vulgaris.

Hasil

Kadar IGF-1 pada kelompok akne vulgaris derajat ringan 232,43±116,27 ng/ml, pada kelompok akne vulgaris derajat sedang 328±123,50 ng/ml, pada kelompok akne vulgaris derajat berat 249,29±83,2 ng/ml dan pada kelompok kontrol 246,38±95,29 ng/ml, dengan nilai p = 0,272. Pada uji korelasi Spearman antara kadar IGF-1 serum dengan derajat keparahan akne vulgaris didapati hasil uji r = 0,039 dengan nilai p = 0,868

Kesimpulan

Dalam penelitian ini didapati bahwa tidak terdapat korelasi antara kadar IGF-1 dalam serum dengan derajat keparahan akne vulgaris.

Kata kunci :


(14)

THE CORRELATION BETWEEN THE SERUM INSULIN-LIKE GROWTH FACTOR-1

(IGF-1) LEVEL AND THE SEVERITY DEGREE OF ACNE VULGARIS

Joice Sonya Panjaitan, Daratia Kadri, Nelva K. Jusuf

Department of Dermatolo-Venereology Faculty of Medicine Universitas Sumatera Utara

H. Adam Malik General Hospital Medan

ABSTRACT Background

Acne vulgaris is a skin disease that is commonly found in the community. Acne vulgaris has been known had a complex pathogenesis and IGF-1 was allegedly had a role in the pathogenesis of acne vulgaris. IGF-1 can enhance keratinocyte cell proliferation and increase sebum production. However, the role of IGF-1 in the various degree of acne vulgaris severity remains unclear.

Objective

To determine the correlation between the serum IGF-1 level and the severity degree of acne vulgaris

Method

The study was conducted with cross sectional method starting from January untill June 2010. In this study, we recruited 21 acne vulgaris patients consisting of 7 patients had a mild severity degree of acne vulgaris, 7 patients had a moderate severity degree of acne vulgaris, 7 patients had a severe severity degree of acne vulgaris and 21 patients as the control group. We measured the serum IGF-1 level of each patients and then analyzed statistically the measurement result correlation with the various degree of acne vulgaris severity.

Result

We found that the mean IGF-1 serum level in the mild acne vulgaris severity group was 232,43±116,27 ng/ml, in the moderate acne vulgaris severity group was 328±123,50 ng/ml, in the severe acne vulgaris severity group was 249,29±83,2 ng/ml, and in the control group was 246,38±95,19 ng/ml with p value= 0,272. Statistical analyzes with Spearman Correlation Test revealed that there is no correlation between the serum IGF-1 level and the severity degree of acne vulgaris. (r=0,039;p=0,868)

Conclusion

In this study we found no correlation between the serum IGF-1 level and the severity degree of acne vulgaris.

Key words

Acne vulgaris, IGF-1, acne vulgaris severity degree


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Akne vulgaris merupakan kelainan yang sering dijumpai pada struktur kelenjar sebasea yang dapat dialami oleh semua usia dengan gambaran klinis yang bervariasi antara lain komedo, papul, pustul, nodul. Pada beberapa kasus dikatakan dapat sembuh sendiri namun seringkali terjadi jaringan parut yang menetap. Lebih dari 45% remaja di dunia bermasalah dengan akne vulgaris dan kurang lebih 42,5% pria dan 50,9% wanita akan tetap mengalami masalah akne vulgaris sampai dengan dekade ketiga kehidupannya.1

Terdapat beberapa faktor yang terlibat dalam patogenesis akne vulgaris. Namun sampai saat ini ada empat macam proses utama yang terlibat di dalamnya yaitu (1) hiperproliferasi epidermal folikuler, (2) produksi sebum yang berlebihan, (3) proses inflamasi dan (4) dijumpainya peranan Propionibacterium acnes (P.acnes). Dalam proses keratinisasi, produksi sebum dan inflamasi terlibat berbagai macam zat, hormon dan mediator-mediator. Diantaranya yang sudah cukup dikenal adalah peranan dari stimulasi androgen, kadar asam linoleat, peningkatan aktivitas Interleukin-1 (IL-1), peranan vitamin A, Retinol Binding Protein (RBP), vitamin E, zinc dan Insulin-like Growth Factor-1(IGF-1).1

Produksi sebum yang berlebihan mempunyai peran tersendiri dalam hal patogenesis akne vulgaris. Proses sekresi sebum sendiri diatur oleh berbagai faktor yang saling berkaitan satu sama lain. Salah satu faktor yang diduga berhubungan dengan proses produksi sebum adalah IGF-1 dalam serum. Pemikiran ini didasarkan atas fakta bahwa IGF-1 dalam serum akan mencapai puncak pada masa remaja seiring dengan terjadinya puncak insidensi akne vulgaris dalam periode kehidupan. Selanjutnya seiring dengan pertambahan usia, kadar IGF-1 dalam serum akan menurun bersamaan dengan menurunnya insidensi akne vulgaris.1,2,3


(16)

Burton dkk (1972), pertama sekali memaparkan tentang adanya hubungan antara level Growth Hormone (GH) pada pasien akromegali dengan produksi sebum. Pada penelitiannya, mereka mendapatkan bahwa laju ekskresi sebum mempunyai korelasi positif dengan level dari GH di dalam darah. Sehingga laju ekskresi sebum dapat digunakan sebagai pemantau kondisi klinis dan endokrinologi pasien akromegali.4

Beberapa penelitian pada hewan juga menunjukkan pentingnya konsep hubungan antara IGF-1 dalam serum dengan pertumbuhan dan produksi dari sebosit. Ebling dkk (1975) menemukan bahwa pada tikus yang mengalami penurunan fungsi kelenjar hipofisis dijumpai adanya penurunan berat kelenjar prepusium, yang hampir sebagian besarnya tersusun oleh sel sebosit yang menyerupai kelenjar sebasea pada manusia.5

Lebih lanjut lagi, Deplewski dan Rosenfield (1999) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa IGF-1 dalam serum mempunyai korelasi positif terhadap pertumbuhan dan diferensiasi dari sel sebasea. Hal ini dikarenakan IGF-1 dalam serum mempunyai efek mitogenik yang kuat terhadap kelenjar sebasea. Namun korelasi yang positif disebutkan hanya dijumpai pada pasien wanita. Diduga hal tersebut terjadi karena wanita lebih sensitif terhadap variabilitas kadar IGF-1 dalam serum, sedangkan efek IGF-1 dalam serum pada pria mungkin dikaburkan oleh karena tumpang tindih dengan efek dari androgen serum yang lebih tinggi pada pria.6

Beberapa penelitian lanjutan menunjukkan bagaimana sebenarnya efek IGF-1 dalam serum secara biomolekuler terhadap produksi sebum dan proliferasi dari sel sebasea. Insulin-like Growth Factor-1 dalam serum dapat menstimulasi produksi sebum kelenjar sebasea melalui induksi proses lipogenesis. Insulin-like Growth Factor-1 dalam serum meningkatkan ekspresi dari Sterol Respon Element Binding Protein-1 (SREBP-1), yaitu suatu faktor transkripsi yang mengatur kerja beberapa gen yang terlibat dalam lipogenesis. Sebagai hasil dari proses ini adalah terbentuknya sebum oleh sel sebasea.7,8,9


(17)

Khusus pada pasien akne vulgaris, beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara kadar IGF-1 dalam serum dan kejadian akne vulgaris. Vora dkk (2008) menemukan dijumpai adanya korelasi antara kadar IGF-1 dalam serum dengan jumlah produksi sebum pada akne vulgaris dibandingkan dengan orang normal. Aizawa (1995) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa kadar IGF-1 dalam serum didapati lebih tinggi pada pasien akne vulgaris wanita dewasa dibandingkan kelompok kontrol. Suatu penelitian potong lintang oleh Cappel (2005) menemukan adanya korelasi antara kadar IGF-1 dalam serum dengan ataupun tanpa akne vulgaris secara klinis. Dalam penelitiannya, didapati bahwa pada kelompok pengamatan akne vulgaris klinis kadar IGF-1 dalam serum lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu kelompok tanpa akne vulgaris klinis. Adapun pengelompokkan akne vulgaris pada penelitian Cappel yaitu kelompok akne vulgaris klinis didasarkan pada riwayat menderita persisten akne vulgaris yaitu akne vulgaris yang terus menerus selama beberapa tahun dan dijumpainya pada pemeriksaan fisik wajah minimal 15 komedo dan 10 papul inflamasi, sedangkan akne vulgaris tanpa klinis adalah pasien yang menderita akne vulgaris diluar kriteria tersebut di atas. 10,11,12

Akan tetapi suatu penelitian yang dilakukan oleh Kaymak (2007) mendapatkan hasil yang berbeda dibandingkan penelitian-penelitian sebelumnya. Kaymak melaporkan bahwa tidak terdapat perbedaan kadar IGF-1 antara kelompok pasien akne vulgaris dengan kelompok kontrol.13

Dari data-data tersebut, dapat dilihat bahwa penelitian-penelitian yang ada mengenai IGF-1 masih belum memberikan hasil yang konsisten mengenai hubungan antara IGF-1 dan akne vulgaris. Lebih jauh lagi belum ada penelitian yang menilai tentang korelasi antara kadar IGF-1 dalam serum dan derajat keparahan akne vulgaris.


(18)

B. Rumusan masalah

Apakah ada hubungan antara kadar IGF-1 dalam serum dan derajat keparahan akne vulgaris ?

C. Hipotesis

Semakin tinggi kadar IGF-1 dalam serum maka semakin berat derajat keparahan akne vulgaris.

D. Tujuan penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan antara kadar IGF-1 dalam serum pada pasien akne vulgaris dan derajat keparahan akne vulgaris.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui kadar IGF-1 dalam serum pada pasien akne vulgaris dan individu normal.

b. Mengetahui derajat keparahan penyakit pada pasien akne vulgaris berdasarkan kriteria Lehmann.

c. Mengetahui hubungan antara kadar IGF-1 dalam serum dan derajat keparahan akne vulgaris.

d. Mengetahui kadar IGF-1 dalam serum pada pasien akne vulgaris derajat ringan, sedang, dan berat.

e. Mengetahui kadar IGF-1 dalam serum berdasarkan jenis kelamin. f. Mengetahui kadar IGF-1 dalam serum berdasarkan umur.


(19)

E. Manfaat penelitian

1. Membuka wawasan mengenai patogenesis akne vulgaris terutama dalam kaitannya dengan kadar IGF-1 dalam serum.

2. Sebagai dasar untuk mencari alternatif pengobatan terhadap akne vulgaris dikaitkan dengan IGF-1 dalam serum.

3. Sebagai data bagi penelitian selanjutnya dalam hal evaluasi peranan IGF-1 dalam serum dengan patogenesis akne vulgaris.

F. Kerangka teori

Akne vulgaris

Propionibacterium acnes

Hiperproliferasi keratinosit Produksi

sebum ↑ IGF-1 ↑

Hepar

Hipofisis anterior

Growth hormone

(GH)

Androgen ↑


(20)

G. Kerangka konsep

1. Derajat ringan 2. Derajat sedang 3. Derajat berat

IGF-1 vulgaris Akne


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Akne vulgaris

1. Pendahuluan

Akne vulgaris merupakan kelainan dari struktur pilosebasea yang biasanya dapat sembuh sendiri dan sering dialami pada masa remaja. Kebanyakan akne vulgaris muncul dalam bentuk lesi yang bervariasi meliputi komedo, papul, pustul dan nodul. Sering kali meskipun akne vulgaris dapat sembuh sendiri, namun perjalanan penyakitnya akan menimbulkan jaringan parut pada wajah.1

Hampir 30% pasien akne vulgaris harus berobat ke dokter untuk mendapatkan pengobatan sehubungan dengan keparahan akne vulgaris yang dialaminya dan 2-7% diantaranya akne vulgaris yang mengalami jaringan parut menetap.13

2. Epidemiologi

Prevalensi akne vulgaris lebih sering didapati pada usia pubertas. Akne vulgaris sendiri merupakan salah satu manifestasi/tanda-tanda memulai masa pubertas. Pada wanita remaja, munculnya akne vulgaris biasanya terjadi 1 tahun mendahului menarche dan prevalensinya akan cenderung meningkat seiring pertambahan usia menjadi remaja akhir. Selanjutnya saat memasuki dewasa, prevalensi akne vulgaris akan semakin menurun. Namun demikian pada wanita kejadian akne vulgaris dapat terus berlanjut hingga usia dekade ketiga atau lebih lama lagi. Pada usia 45 tahun ditemukan prevalensi akne vulgaris sekitar 5%. Akne vulgaris nodulokistik dilaporkan lebih sering terjadi pada pria kulit putih dibandingkan kulit hitam dan cenderung lebih berat pada pasien dengan genotipe XYY.14,15

Akne vulgaris merupakan penyakit yang mempunyai prevalensi tinggi. Pada wanita Kaukasia berumur 12-25 tahun, prevalensi akne vulgaris berkisar 75-85%. Suatu penelitian


(22)

di Singapura pada populasi penduduk Asia dilaporkan bahwa pada remaja usia 13-19 tahun bahwa hampir 88% diantaranya mengalami akne vulgaris. Dari jumlah tersebut, 51,4% diklasifikasikan sebagai akne vulgaris ringan, 40% akne vulgaris derajat sedang dan 8,6% akne vulgaris derajat berat.16

Akne vulgaris merupakan penyakit dermatologi dengan angka diagnosis tertinggi di Amerika Serikat (AS), dengan 10,2 juta kasus baru didiagnosis setiap tahunnya dan angka tersebut merupakan 25,4% dari keseluruhan diagnosis penyakit kulit di AS.17

Pada tahun 1996-1998, survei di AS menunjukkan bahwa didapati 6,5 juta penulisan resep baru untuk kasus akne vulgaris dengan nilai totalnya mencapai 1 miliar dolar US. Secara global, biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan akne vulgaris, baik sistemik atau topikal mencapai 12,6% dari keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk kasus dermatologi.13

Di RSUP. H. Adam Malik Medan, berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medis selama periode Januari 2008 – Desember 2008, dari total 5.573 pasien yang berobat ke Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, 107 pasien (1,91%) diantaranya merupakan pasien dengan diagnosis akne vulgaris. Dari jumlah tersebut, 8,41% berusia 0-12 tahun, 90,6% berusia 13-40 tahun dan hanya 0,93% yang berusia 41-65 tahun. Hal ini menggambarkan bahwa pasien akne vulgaris yang terbanyak adalah usia remaja dan dewasa muda.

3. Biologi kelenjar sebasea

Kelenjar sebasea merupakan kelenjar holokrin dan sekresinya terjadi akibat desintegrasi komplit dari kelenjar glandular. Fungsi utama dari kelenjar sebasea adalah memproduksi sebum dan peningkatan ekskresi sebum merupakan salah satu keadaan yang terjadi pada akne vulgaris.18


(23)

Telah diketahui luas bahwa kelenjar sebasea manusia mengekspresikan beberapa macam reseptor neuropeptida biologis. Neuropeptida merupakan suatu kelompok peptida aktif biologis yang muncul secara alami di sistem saraf baik sistem saraf pusat atau sistem saraf perifer. Reseptor neuropeptida yang diekspresikan sebasea antara lain adalah Corticotropin Releasing Hormone (CRH), melanocortin, β endorphine, vasoaktif intestinal polipeptida, Neuropeptide Y (NPY) dan calcitonin gene-related peptide. Reseptor-reseptor ini memodulasi produksi berbagai sitokin inflamasi, proliferasi, diferensiasi, lipogenesis dan metabolisme androgen pada sebosit.19

Kelenjar sebasea terdiri dari dua sel penting yaitu keratinosit dan sebosit. Kedua jenis sel ini mempunyai peranan dalam sistem imun. Propionibacterium acnes dapat merubah ekspresi keratinosit dan sebosit melalui Toll Like Receptor-3 (TLR3), Cluster of Differentiation-14 (CD14) dan molekul CD1, serta dapat mengenali produksi sebum/lipid yang berlebih oleh kelenjar sebasea dan diikuti dengan produksi sitokin-sitokin inflamasi ke daerah tersebut.9

4. Patogenesis akne vulgaris

Terdapat beberapa faktor yang terlibat dalam patogenesis akne vulgaris, namun secara umum ada 4 mekanisme utama yang mempunyai peran terbesar yaitu (1) hiperproliferasi folikuler epidermal, (2) produksi sebum yang berlebihan, (3) proses inflamasi dan (4) aktivitas dari P. acnes.1

Hiperproliferasi folikuler epidermal mengakibatkan terbentuknya lesi primer akne vulgaris yaitu mikrokomedo. Epitel folikel rambut bagian atas akan menjadi hiperkeratotik dan mengalami peningkatan kemampuan kohesi antar keratinosit. Jumlah sel yang berlebihan disertai dengan pembentukan sekret-sekret akan mengakibatkan penyumbatan di ostium folikuler. Sumbatan ini akan mengakibatkan penumpukan keratin, sebum dan bakteri


(24)

di dalam folikel. Stimulus terhadap hiperproliferasi keratinosit mencakup pengaruh hormon androgen, penurunan kadar asam linoleat, dan peningkatan aktivitas IL-1.20

Dihidrotestosterone (DHT) adalah androgen yang paling poten dalam merangsang hiperproliferasi keratinosit. Dihidrotestosterone merupakan hasil konversi dari dehydroepiandrosterone sulfate (DHEA-S) yang diperantarai oleh kerja enzim 17β -hydroxysteroid dehydrogenase dan 5α-reductase. Peranan regulator lain dalam proses proliferasi keratinosit adalah asam linoleat. Asam linoleat adalah suatu asam lemak esensial yang jumlahnya diketahui lebih sedikit di kulit pasien akne vulgaris. Jumlah dari asam linoleat akan dapat dinormalkan melalui terapi isotretinoin. Kadar asam linoleat yang rendah dapat merangsang hiperproliferasi keratinosit folikuler dan menghasilkan sitokin proinflamasi. Kadar asam linoleat di kulit dilaporkan akan semakin berkurang bila didapati peningkatan produksi sebum. Peran mediator lain yang telah cukup banyak diteliti adalah peranan mediator inflamasi IL-1 yang dapat merangsang hiperproliferasi keratinosit folikuler dan pembentukan mikrokomedo.19

Proses kedua yang memegang peranan kunci dalam patogenesis akne vulgaris adalah produksi sebum oleh kelenjar sebasea yang berlebihan. Pasien akne vulgaris terbukti mempunyai laju eksresi sebum yang lebih besar dibandingkan orang normal, walaupun kualitas dari sebumnya sendiri adalah sama. Salah satu materi penyusun sebum yaitu trigliserida yang akan mengalami konversi menjadi asam lemak bebas oleh P.acnes di dalam unit kelenjar sebasea. Asam lemak bebas ini akan mengakibatkan peningkatan kolonisasi P.acnes, memperberat inflamasi dan bersifat komedogenik.1,20

Hormon androgen selain berperan besar dalam memicu hiperproliferasi keratinosit folikuler, juga mempunyai pengaruh penting terhadap aktivitas sel sebosit dalam memproduksi sebum. Sedangkan peranan estrogen sendiri sampai saat ini masih belum begitu jelas. Setidaknya ada 3 peranan estrogen dalam proses pembentukan sebum yaitu


(25)

produksi androgen oleh jaringan gonad melalui efek ’negative feed back mechanism’ terhadap produksi Gonadotropin Releasing oleh hipofisis dan (3) mengatur kerja gen-gen yang menekan produksi dan pertumbuhan kelenjar sebasea.1

Androgen yang terpenting dalam stimulasi produksi sebum adalah testosteron dan akan dirubah menjadi bentuk aktif yaitu 5α-DHT oleh enzim type I-5α reductase. Adanya korelasi antara peningkatan produksi sebum dengan munculnya akne vulgaris sudah umum diketahui dan hal ini menjelaskan mengapa akne vulgaris biasanya muncul bersamaan dengan saat memasuki usia pubertas. Peningkatan produksi sebum dapat terjadi secara primer akibat peningkatan kadar androgen, atau akibat peningkatan respon sebosit terhadap rangsangan androgen atau akibat peningkatan aktivitas enzim type I-5α reductase.20

Akne vulgaris terjadi akibat hiperproliferasi dan diferensiasi sebosit, yang muncul di bawah pengaruh androgen. Hal ini terjadi dengan perantaraan reseptor Peroxisome Proliferator Activated Receptor (PPAR), suatu molekul yang berperan dalam hal lipogenesis. Reseptor PPAR akan memicu lipogenesis pada sel sebosit yang matur dalam rangka memproduksi sebum.20

Growth Hormone diketahui juga mempunyai peranan besar dalam produksi sebum oleh kelenjar sebasea. Growth Hormone diproduksi di kelenjar hipofisis dan bekerja sama memproduksi IGF atau somatomedin. Insulin-like Growth Factor sendiri mempunyai dua bentuk yaitu IGF-1 (lebih besar jumlah dan fungsinya) dan IGF-2. Diduga kuat, ada peranan IGF-1 dalam serum dengan patogenesis akne vulgaris.21

Apabila hiperproliferasi keratinosit dan produksi sebum yang berlebihan berlanjut, maka akan terjadi penumpukan mikrokomedo, yang berujung pada terjadinya ruptur dari dinding folikuler. Ruptur ini dalam waktu singkat akan memicu reaksi inflamasi yang diperantarai oleh limfosit CD4+ dan CD8+. Selanjutnya akibat pelepasan dari mediator-mediator inflamasi oleh limfosit CD4+ dan CD8+, akan terjadi penumpukan neutrofil di sekitar komedo yang mengalami sumbatan.1,21


(26)

Satu sampai dua hari setelah ruptur, maka akan terjadi pergerakan neutrofil menuju ke tempat inflamasi dan pada akhirnya semakin memperberat inflamasi yang telah terjadi. Dahulu diduga bahwa inflamasi terjadi sebagai akibat terjadinya pembentukan dan ruptur komedo. Tetapi fakta terbaru menunjukkan bahwa inflamasi pada unit pilosebasea telah ada sebelum terjadinya ruptur komedo. Hal ini dibuktikan dengan telah ditentukannya tanda-tanda inflamasi pada biopsi kulit normal pada wajah dan akan semakin menunjukkan pemberatan inflamasi pada saat biopsi dilakukan dengan kondisi komedo sudah terbentuk.1,21

Proses tersebut akan semakin diperberat dengan munculnya faktor keempat dalam patogenesis akne vulgaris, yaitu P.acnes. Propionibacterium acnes akan mengakibatkan semakin hebatnya reaksi inflamasi dalam kelenjar pilosebasea sehingga akne vulgaris akan dipenuhi oleh sel-sel lekosit polimorfonuklear (PMN) dan pelepasan sitokin-sitokin proinflamasi seperti IL-1, IL-8, IL-12 dan Tumor Necrotizing Factor-α (TNF-α).2

Propionibacterium acnes merupakan jenis bakteri gram positif, anaerob dan mikroaerobik yang dijumpai pada folikel kelenjar sebasea. Populasi pasien akne vulgaris dewasa mempunyai pertumbuhan P.acnes lebih besar pada kelenjar pilosebasea dibandingkan dengan populasi normal. Namun belum dijumpai adanya hubungan antara derajat keparahan akne vulgaris dengan progresifitas kolonisasi P.acnes pada kelenjar pilosebasea.22

Dinding sel P.acnes mengandung antigen karbohidrat yang menstimulasi pembentukan antibodi. Pasien-pasien akne vulgaris berat mempunyai kadar antibodi terhadap P. acnes yang lebih tinggi dibandingkan dengan derajat keparahan ringan ataupun sedang. Antibodi terhadap P.acnes akan memicu respon inflamasi dengan mengaktivasi sistem komplemen dan proses kaskade reaksi inflamasi. Propionibacterium acnes juga mengakibatkan terjadinya inflamasi melalui reaksi hipersensitivitas tipe lambat dan


(27)

Propionibacterium acnes mempunyai kemampuan tambahan untuk meningkatkan produksi sitokin proinflamasi dengan berikatan dengan TLR2 pada monosit dan pada PMN di sekitar folikel sebasea. Setelah berikatan dengan TLR2, maka akan dilepaskan sitokin-sitokin proinflamasi seperti IL-1, IL-8, IL-12 dan TNF-α.1,21,22

Keempat faktor yang menjadi mekanisme terjadi akne vulgaris tersebut berlangsung melalui tahapan-tahapan yang bisa terjadi secara simultan ataupun bertahap. Semua jenis pengobatan pada penyakit akne vulgaris mempunyai target pada keempat mekanisme tersebut di atas. Dengan mengetahui keempat dan elemen patogenesis pada akne vulgaris, maka upaya-upaya pengobatan terhadap akne vulgaris akan semakin terarah dan menyeluruh.

5. Diagnosis akne vulgaris a. Anamnesis penyakit

Kebanyakan pasien akne vulgaris mengalami penyakit dengan derajat keparahan terberat pada saat masa pubertas, walaupun pada beberapa kasus dapat dijumpai akne vulgaris yang terjadi mulai masa infantil atau neonatus. Akne neonatus terjadi pada saat usia bayi sekitar 2 minggu sedangkan akne infantil terjadi pada saat umur 3-6 bulan. Biasanya akne vulgaris mempunyai onset dan perjalanan klinis yang bertahap, sehingga bila dijumpai kasus akne vulgaris dengan onset dan perjalanan klinis yang tiba-tiba akut maka perlu diperhatikan akan adanya faktor pencetus lain.1,23

Hiperandrogenisme merupakan faktor pencetus lain yang perlu diperhatikan pada akne vulgaris pasien perempuan yang mempunyai onset cepat, mempunyai hubungan dengan hirsutisme atau mempunyai siklus menstruasi yang ireguler. Pasien harus ditanyakan tentang progresifitas akne vulgaris yang dialaminya dikaitkan dengan siklus menstruasinya. Pada pasien dengan hiperandrogenisme juga didapati adanya tanda suara yang memberat, peningkatan libido dan hirsutisme. Penting juga ditanyakan tentang


(28)

riwayat pemakaian obat-obatan seperti steroid, fenitoin, litium, isoniazid, vitamin B dan beberapa jenis kemoterapi tertentu.24

b. Gambaran klinis

Lokasi primer akne vulgaris adalah daerah wajah, dan juga dapat dijumpai pada leher, punggung dan bahu dengan frekuensi yang lebih sedikit. Jenis lesi akne vulgaris dapat beraneka macam meskipun pasti didapati adanya predominan dari satu macam lesi. Lesi dapat mengalami keadaan inflamasi atau non inflamasi.1

Lesi yang bersifat non inflamasi adalah komedo yang dapat berbentuk terbuka (blackhead) ataupun tertutup (whitehead). Cara tambahan untuk membedakannya adalah dengan menggores permukaan kulit untuk membedakan warnanya.25

Komedo merupakan gambaran lesi kulit akibat perubahan patologis dalam kandungan duktus pilosebasea. Komedo terbuka secara klinis diamati sebagai gambaran lesi yang jelas, berdiameter 0,1-3 mm dan biasanya membutuhkan waktu beberapa minggu atau lebih untuk berkembang. Warna hitam pada ujung komedo terbuka selama ini diduga terjadi akibat proses oksidasi permukaan. Namun teori terbaru juga menyebutkan proses tersebut terjadi sehubungan faktor melanin.25

Komedo tertutup menggambarkan duktus pilosebasea yang tertutup oleh materi duktal sehingga saluran keluarnya sulit dilihat dengan mata telanjang, lesi biasanya kecil, berukuran 0,1-3 mm. Pada lesi komedo tertutup yang klasik, 25% akan hilang dalam waktu 3-4 hari dan 75% akan berkembang menjadi lesi inflamasi.25

Lesi yang mengalami inflamasi dapat bervariasi mulai dari papul kecil dengan batas kemerahan sampai dengan nodul yang besar, fluktuatif dan nyeri. Beberapa penulis memakai istilah kista atau nodulokistik untuk menggambarkan lesi inflamasi pada akne vulgaris. Papul adalah lesi inflamasi yang bervariasi dalam hal ukuran dan kekenyalannya. Lima puluh persen papul muncul dari kulit yang kelihatan normal yang


(29)

sisanya dari komedo hitam. Ada 2 jenis papul yaitu papul aktif dan papul yang kurang aktif. Papul yang kurang aktif, kurang merah dan lebih kecil dibandingkan papul yang aktif. Pada papul aktif, ukurannya dapat mencapai 4 mm dan bertahan lebih lama.25

Bentuk lesi inflamasi lain adalah pustul. Pustul dapat superfisial ataupun dalam. Pustul biasanya dilihat lebih jarang dibandingkan papul. Hal ini mungkin dikarenakan pustul bertahan lebih singkat daripada papul yaitu hanya sekitar 5 hari. Mungkin hal ini terjadi oleh karena pustul lebih banyak mengandung PMN, sedangkan papul cenderung lebih banyak mengandung limfosit. Enzim lisosomal pada PMN dapat menghilangkan gejala inflamasi pada pustul lebih cepat dibandingkan pada papul.26

Bentuk nodul merupakan bentuk lesi inflamasi yang berstruktur “deep seated” dan cenderung bertahan selama 8 minggu sebelum akhirnya hilang. Sebagian diantaranya tidak mengadakan resolusi sempurna melainkan membentuk jaringan parut.23

Bentuk lesi lain yang didapati dapat berupa lesi jaringan parut yang merupakan komplikasi akibat akne vulgaris yang mengalami inflamasi atau non inflamasi. Secara umum ada 4 tipe jaringan parut akne vulgaris yaitu ice pick, rolling, box scar dan hipertropik.26

Akne vulgaris biasanya mempunyai tampilan sebagai lesi kulit yang terisolasi di daerah wajah, leher, bahu dan punggung. Akan tetapi pada kasus-kasus akne vulgaris dengan faktor penyebab hiperandrogenisme dapat dijumpai hirsutisme, precocious puberty dan tanda lain hiperandrogenisme.26

6. Derajat keparahan

Sampai saat ini belum ada suatu penilaian sistematik yang baku mengenai derajat keparahan akne vulgaris. Akne vulgaris merupakan suatu kelainan pleomorfik dengan perjalanan klinis dan distribusi anatomi yang bervariasi. Suatu sistem penilaian akne vulgaris yang ideal haruslah : (1) akurat dan dapat diulang (reproducible), (2) sederhana,


(30)

mudah digunakan oleh para klinisi pada setiap kunjungan, (3) menghilangkan sifat perhitungan lesi yang membosankan dan mahalnya biaya fotografi, (4) menggambarkan kriteria subjektif, misalnya faktor-faktor psikososial.26,27

Beberapa peneliti telah mengemukakan berbagai sistem klasifikasi untuk menilai derajat keparahan akne vulgaris, antara lain Pillsburry, Shelley dan Kligman pada tahun 1956, James dan Tisserand tahun 1958, Witkowski dan Simons tahun 1966, Plewig dan Kligman tahun 1975, Michaelson, Juhlin dan Vahlquist tahun 1977, Cook, Centner dan Michaels tahun 1979 (Cook’s photonumeric method), Allen dan Smith tahun 1982 (Allen and Smith’s photonumeric system), Burke, Cunliffe dan Gibson tahun 1984 (Cunliffe score/Leeds technique), American Academy of Dermatology classification tahun 1991, dan Lucky dkk. tahun 1996.26

Lehmann dkk (2002) memperkenalkan suatu sistem penilaian derajat keparahan akne vulgaris yang dikenal sebagai Combined Acne Severity Classification. Sistem ini mempunyai beberapa keunggulan yaitu akurat, sederhana, waktu pemeriksaan singkat, tidak membutuhkan alat khusus, tidak membutuhkan fotografi, dan dapat dipergunakan pada kulit gelap.28

Metode ini menghitung seberapa banyak lesi komedo, lesi inflamasi, kista dan total dari keseluruhan lesi yang terdapat pada daerah wajah. Penilaian derajat keparahan akne vulgaris adalah ringan bila dijumpai kurang dari 20 komedo atau 15 lesi inflamasi atau total keseluruhan lesi kurang dari 30, sedang bila dijumpai 20-100 komedo atau 15-50 lesi inflamasi atau total keseluruhan lesi 30-125, berat bila dijumpai lebih dari 5 kista atau lebih dari 100 komedo atau lebih dari 50 lesi inflamasi atau total keseluruhan lesi lebih dari 125.28


(31)

Tabel 2.1 Combined Acne Severity Classification menurut Lehmann

Ringan

Komedo < 20, atau lesi inflamasi 15, atau jumlah total lesi < 30

Sedang

Komedo 20-100, atau lesi inflamasi 15-50, atau jumlah total lesi 30-125

Berat

Kista > 5 , atau jumlah total komedo > 100, atau lesi inflamasi > 50, atau jumlah total lesi > 125

* dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan no. 28

7. Diagnosis banding

Meskipun pada pasien dengan akne vulgaris dapat ditemukan satu macam lesi yang dominan, namun seringkali dijumpai adanya kumpulan macam jenis lesi akne vulgaris pada satu pasien seperti komedo, pustul, papul atau nodul di wajah, leher, dada ataupun punggung. Diagnosis akne vulgaris biasanya cukup mudah, namun kadang sering salah didiagnosis dengan folikulitis, rosasea, atau dermatitis perioral. Penyakit-penyakit ini umumnya tidak memiliki komedo.1 Selain itu ada beberapa diagnosis banding akne vulgaris yang lain, seperti milia, akne varioliformis, adenoma sebasea, siringoma dan dermatitis kontak.29

B. Insulin-like Growth Factor -1 (IGF-1) 1. Definisi

Insulin-like Growth Factor-1 merupakan suatu polipeptida alamiah pada tubuh manusia yang mempunyai kemiripan dengan insulin. Insulin-like Growth Factor-1 terdiri dari suatu rantai polipeptida tunggal yang mempunyai 3 rantai disulfida sebagai jembatan antar molekul. Insulin-like Growth Factor-1 terdiri dari 70 residu asam amino dengan berat


(32)

molekul 7.649 Dalton. Insulin-like Growth Factor-1 sendiri merupakan bagian dari suatu kompleks sistem yang disebut sebagai IGF axis. 30

2. Fisiologi IGF-1

Pada manusia, kadar IGF-1 tidak terdeteksi saat neonatus. Kemudian akan mulai terdeteksi pada masa kanak-kanak dan meningkat mencapai puncaknya yaitu pada saat pubertas dan bertahan sampai usia dekade 3 dan 4, lalu menurun perlahan-lahan. Kadar normal IGF-1 dalam serum merupakan penanda bahwa kadar GH dalam darah adalah normal dan sebaliknya.31

Insulin-like Growth Factor-1 diproduksi di hepar dengan regulasi oleh GH. Growth Hormone menstimulasi sintesis IGF-1 di hepar dan juga sebaliknya kadar IGF-1 akan memerlukan respon balik terhadap produksi GH di hipofisis. Beberapa penelitian menunjukkan adanya korelasi antara kadar IGF-1 dengan kadar insulin darah. Pada pasien Diabetes Melitus (DM) tipe 1 dijumpai defisiensi absolut insulin juga didapati adanya penurunan kadar IGF-1 dalam serum. Demikian juga pada saat puasa, kadar IGF-1 dalam serum juga didapatkan lebih rendah dibandingkan tidak puasa.32

Insulin-like Growth Factor-1 mempunyai persamaan urutan yang homolog sebanyak 45% dengan rantai A dan B dari hormon insulin yang memunculkan timbulnya suatu dugaan bahwa IGF-1 dan insulin mungkin berasal dari gen prekursor yang sama.30

Kerja IGF-1 pada tingkat seluler diperantarai oleh reseptor IGF-1 yang homolog dengan reseptor insulin pada unit struktur α2β2 heterotetrametrik dan mengandung suatu tirosin kinase pada bagian intraseluler subunit β. Oleh karena kemiripannya dengan insulin, baik ligan maupun reseptornya, maka tidak heran bila insulin dan IGF-1 dapat saling bereaksi silang dengan reseptornya yang berbeda walaupun afinitas ikatan akan berkurang sebanyak 10-100 kali dibandingkan bila berikatan dengan reseptor aslinya. Pada keadaan


(33)

3. Axis IGF/GH

Axis IGF sering juga disebut sebagai axis IGF/GH. Diketahui bahwa IGF diproduksi di hepar oleh regulasi stimulasi GH. Insulin-like Growth Factor axis merupakan suatu kompleks sistem yang memungkinkan interaksi sinyal antara sel dengan lingkungan fisiologisnya. Kompleks sistem IGF axis terdiri dari 2 reseptor permukaan sel Insulin-like Growth Factor Receptor (IGF1R dan IGF2R), dua ligan yaitu IGF-1 dan IGF-2, suatu kelompok protein pengikat IGF yaitu Insulin-like Growth Factor Binding Protein ( IGFBP1 sampai dengan IGFBP6) serta enzim pendegradasi IGFBP yang tergolong sebagai protease.30

Insulin-like Growth Factor-1 berperan penting dalam hal merangsang proliferasi sel dan inhibisi apoptosis. Hal ini mempengaruhi regulasi dari pertumbuhan fisiologis tubuh maupun pertumbuhan patologis seperti kanker. Insulin-like Growth Factor-2 merupakan bagian dari axis IGF/GH. Insulin-like Growth Factor-2 mempunyai peranan sebagai faktor pertumbuhan pada masa fetal menunggu maksimalnya produksi IGF-1. Beberapa faktor lain yang terlibat dalam aksi ini adalah GH, faktor genetik, umur, level stres, kadar nutrisi, ras, status estrogen dan variasi waktu harian.30

4. Peran fisiologis IGF-1

Insulin-like Growth Factor-1 mempunyai peranan penting yang luas dalam mengatur fungsi-fungsi di dalam tubuh manusia. Penelitian terhadap hewan percobaan menunjukkan bahwa pada gen tikus penghasil IGF-1 yang di ”knock out” akan menunjukkan pertumbuhan mental retardasi dan angka harapan hidup yang rendah.31

Peranan IGF-1 secara garis besar adalah merangsang proliferasi pertumbuhan sel, anabolik protein, inhibisi apoptosis, menurunkan kadar GH dan hormon insulin. Peranan ini akan terhambat atau berkurang bila IGF-1 berada dalam ikatan dengan IGFBP-3 dan sebaliknya akan meningkat bila berada dalam ikatan dengan IGFBP-1 dan IGFBP-2.33


(34)

Insulin-like Growth Factor-1 mempunyai peranan dalam hal induksi progresi sintesis dan mitosis sel. Secara bersamaan, IGF dapat berfungsi sebagai faktor penolong dalam hal mengurangi apoptosis pada berbagai sel. Regulasi anti apoptosis IGF-1 ini dimediasi oleh jalur phospotidilinositol-3 kinase. Insulin-like Growth Factor-1 juga mempunyai peranan dalam hal menguatkan proses diferensiasi dan proliferasi.8

Hampir semua sel di tubuh manusia dipengaruhi oleh kerja IGF-1, khususnya di otot, tulang rawan, tulang, liver, ginjal, saraf, kulit dan paru-paru. Beberapa studi terbaru menunjukkan pula adanya kaitan IGF-1 dengan proses penuaan. Selain itu juga ditemukan adanya korelasi antara IGF-1 dengan proses kanker pada kolon, prostat dan payudara. Namun bagaimana hubungan itu terjadi masih belum diketahui secara pasti.7

C. Hubungan antara akne vulgaris dengan IGF-1

Growth Hormone diketahui mempunyai pengaruh dalam produksi sebum oleh sebosit. Growth Hormone dibentuk di kelenjar hipofisis dan akan mempengaruhi produksi IGF-1 dan IGF-2. Insulin-like Growth Factor-1 terutama disintesis di hepar dan mempengaruhi hampir semua sel di tubuh manusia. Insulin-like Growth Factor-2 di produksi di otak, ginjal, pankreas dan otot. Dalam kaitannya dengan akne vulgaris, IGF-1 mempunyai peranan besar dalam proses patogenesisnya.2,9

Akne vulgaris mempunyai prevalensi paling tinggi pada masa remaja, bersamaan dengan waktu produksi GH dan kadar IGF-1 dalam serum paling tinggi sepanjang usia hidup manusia. Dan kemudian, sesudah masa remaja prevalensi akne vulgaris akan semakin berkurang seiring juga dengan penurunan kadar IGF-1 dalam serum. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada pasien akromegali didapati peningkatan laju ekskresi sebum dibandingkan orang normal. Selain itu, penelitian di bidang endokrinologi menunjukkan bahwa laju ekskresi sebum dapat digunakan sebagai prediktor klinis terhadap pasien


(35)

Vora dkk (2008), menemukan adanya korelasi antara produksi sebum wajah dengan kadar IGF-1 dalam serum pada pasien akne vulgaris. Penelitian ini didasarkan atas beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Iozawa dkk (1995) dan Deplewski (2005) yang menunjukkan bahwa adanya perbedaan bermakna kadar IGF-1 dalam serum pada pasien akne vulgaris wanita remaja dibandingkan dengan orang normal.11,12

Banyak hipotesis telah dibuat untuk mencoba menerangkan bagaimana sesungguhnya efek IGF-1 dalam serum terhadap produksi sebum oleh sel sebosit di kelenjar sebasea. Penelitian paling awal untuk hal ini dilakukan dengan memakai bahan percobaan pada sel prepusium tikus yang diketahui mempunyai struktur dan fungsi yang sama dengan sel sebosit pada kelenjar sebasea dermis. Ebling dkk (1975) mendapatkan fakta dalam penelitiannya bahwa tikus yang mengalami penurunan fungsi kelenjar hipofisis akan mengalami penurunan secara bermakna pada berat kelenjar prepusium. Selanjutnya Deplewski (1998) melakukan percobaan lanjutan dengan memberikan IGF-1 dalam serum rekombinan pada kultur sel prepusium tikus secara in vitro. Didapati bahwa IGF-1 dalam serum mempunyai efek mitogenik yang kuat pada sel prepusium melalui kerja pada level DNA. IGF-1 dalam serum mengakibatkan peningkatan laju pertumbuhan dan diferensiasi dari kelenjar sebosit.6

Smith (2006) mencoba untuk mengetahui secara detail pada tingkat biomolekuler tentang bagaimana sebenarnya kerja IGF-1 dalam serum pada sebosit dalam menginduksi produksi sebum. Insulin-like Growth Factor-1 dalam serum ternyata bekerja dengan meningkatkan ekspresi dari Sterol Response Element Binding Protein –1 (SREBP-1) pada inti sel sebosit. Sterol Response Element Binding Protein-1 merupakan suatu nuclear transcription factors yang bekerja mengatur ekspresi dari berbagai gen yang terlibat dalam biosintesa lipid.7,8

Antara androgen dan IGF-1 sendiri ternyata mempunyai efek timbal balik yang saling mempengaruhi. Peningkatan kadar androgen serum kelihatannya mempunyai


(36)

hubungan dengan peningkatan kadar IGF-1 dalam serum. Sebagai contoh, pada wanita menopause yang kemudian diberikan suntikan DHEA-S, akan didapati peningkatan kadar IGF-1 dalam serum. Diduga bahwa androgen serum sendiri merupakan salah satu faktor yang dapat menstimulasi pembentukan IGF-1. Sebaliknya, IGF-1 dalam serum dapat menstimulasi pembentukan DHEA-S oleh kelenjar adrenal. Hal ini terjadi karena IGF-1 dalam serum dapat mempengaruhi ekspresi dari beberapa enzim yang berperan dalam sintesis DHEA-S dari bahan kolesterol. Insulin-like Growth Factor-1 juga dapat menginduksi kerja 5α-reductase pada kulit manusia yang mengakibatkan peningkatan konversi dari testosteron menjadi DHT.12


(37)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain penelitian

Penelitian dilakukan dengan metode potong lintang (cross sectional study) yang bersifat analitik.

B. Waktu dan tempat penelitian

1. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2010 – Juni 2010 bertempat di Poliklinik Sub bagian Kosmetik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan.

2. Pengambilan sampel darah dilakukan di Poliklinik Sub bagian Kosmetik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan, untuk selanjutnya akan dikirim ke Laboratorium Klinik Prodia Jl. Letjend. S. Parman No. 17/223 G Medan. Sampel darah kemudian akan dikirim lagi ke Laboratorium Klinik Prodia Pusat yang berlokasi di Jl. Kramat Raya No. 150 Jakarta, untuk pemeriksaan kadar IGF-1.

C. Populasi penelitian

1. Populasi

Pasien yang menderita akne vulgaris.

2. Populasi terjangkau

Pasien yang menderita akne vulgaris, yang berobat ke Poliklinik Sub bagian Kosmetik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan pada bulan Januari 2010 – Juni 2010.


(38)

3. Sampel

Pasien yang menderita akne vulgaris yang berobat ke Poliklinik Sub bagian Kosmetik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan pada bulan Januari 2010 – Juni 2010 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

D. Besar sampel

Rumus34 : n = Jumlah sampel = 2 (zα+zβ)xSD 2

d

n1 = n2 = n3

n1 = Jumlah sampel pasien akne vulgaris derajat ringan.

n2 = Jumlah sampel pasien akne vulgaris derajat sedang.

n3 = Jumlah sampel pasien akne vulgaris derajat berat.

zα = Tingkat kepercayaan 95 % = 1,64 zβ = Power penelitian = 0,842

SD = Standar deviasi = 14,5

d = Tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki =20

Maka :

n = 2 (1,64 + 0,842)x14,5 2 = 6,40 ∼ 7 orang 20

Sampel untuk kelompok derajat keparahan akne vulgaris dan kelompok kontrol masing-masing adalah 21 orang, sehingga total keseluruhan sampel adalah 42 orang.


(39)

E. Cara pengambilan sampel penelitian

Cara pemilihan sampel dilakukan dengan metode consecutive sampling.

F. Identifikasi variabel

Variabel bebas : Insulin-like Growth Factor-1 (IGF-1) dalam serum. Variabel terikat : Akne vulgaris.

Variabel kendali : Teknik pemeriksaan IGF-1 dalam serum.

G. Kriteria inklusi dan eksklusi 1. Kelompok pasien akne vulgaris

a. Kriteria inklusi :

1). Pasien yang menderita akne vulgaris. 2). Usia pasien 12-34 tahun.

3). Pasien yang tidak mendapat pengobatan antibiotika topikal (eritromisin, klindamisin), benzoil peroksida dan atau antibiotika oral (tetrasiklin, klindamisin, eritromisin, doksisiklin, minosiklin) dalam waktu 2 bulan sebelum datang berobat ke Poliklinik Sub bagian Kosmetik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan.12

4). Tidak mendapatkan pengobatan untuk akne vulgaris berupa asam retinoat oral atau topikal maupun obat hormonal dalam waktu 1 bulan, sebelum berobat ke Poliklinik Sub bagian Kosmetik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan.12

5). Tidak mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menyebabkan eksaserbasi akne vulgaris baik berupa obat kortikosteroid topikal atau oral, maupun obat oral lainnya seperti antiepilepsi (karbamazepin, fenitoin, gabapentin, topiramat), antidepresan (litium, sertralin), antipsikosis (pimozid, riperidon),


(40)

antituberkulosis (isoniazid, pirazinamid), antineoplastik (daktinomisin), antiviral (ritonavir, gansiklovir), antagonis kalsium (nimodipin), halogenik (natrium flourida, kalium iodida), vitamin (B12 dan kelompok vitamin B

lainnya), dan lain-lain (buserelin, kabergolin, klofazimin, dantrolen, famotidin, folitropin alfa, isosorbid mononitrat, medroksiprogesteron, mesalazin, ramipril) dalam waktu 1 bulan sebelum datang berobat.12

6). Bersedia ikut dalam penelitian dan menandatangani inform consent b. Kriteria eksklusi :

1). Pasien akne vulgaris wanita dengan siklus haid tidak teratur, perdarahan melalui vagina yang tidak diketahui penyebabnya.

2). Pasien hirsutisme.

3). Pasien alopesia androgenetika.

4) Pasien akne vulgaris wanita yang sedang menstruasi, hamil, menyusui atau sedang mengkonsumsi obat kontrasepsi oral, injeksi atau implan.

5). Perokok.

6). Pasien menderita penyakit hati. 7). Pasien menderita diabetes melitus. 2. Kelompok kontrol

Kelompok kontrol adalah pasien-pasien yang berobat ke Poliklinik Sub bagian Kosmetik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan atau keluarga pasien yang membawa pasien berobat, yang tidak menderita akne vulgaris, dengan karakteristik yang sama dengan kelompok penderita akne vulgaris serta bersedia untuk ikut serta dalam penelitian dengan menandatangani informed consent.


(41)

H. Alat, bahan dan cara kerja 1. Alat

a. Mesin Immulite 2000® untuk mengukur kadar IGF-1. b. Untuk pengambilan masing-masing sampel darah :

1). Satu pasang sarung tangan.

2). Satu buah alat ikat pembendungan (torniquet). 3). Satu buah spuit disposable 3 cc.

4). Satu buah vacutainer (tabung pengumpul darah steril) 5 cc yang mengandung heparin.

5). Satu buah plester luka.

c. Satu unit alat sentrifuge (alat pemusing untuk memisahkan serum). d. Microtube (tabung mikro) 1 ml untuk menampung serum.

e. Satu buah freezer untuk menyimpan serum. 2. Bahan

a. Kapas alkohol 70%.

b. Dua ratus dua puluh lima mikroliter larutan pretreatment IGF-1 (LGFA) untuk masing-masing sampel.

c. Dua puluh lima mikroliter serum darah kelompok pasien akne vulgaris dan kelompok kontrol.

3. Cara kerja

a. Pasien didiagnosis akne vulgaris dan selanjutnya dilakukan penghitungan lesi untuk menentukan derajat keparahan akne vulgaris menurut kriteria Lehmann oleh peneliti dengan pengawasan dari pembimbing penelitian.

b. Kemudian petugas laboratorium memakai sarung tangan steril lalu kulit dibersihkan di atas lokasi tusuk dengan alkohol 70% dan dibiarkan sampai kering. Lokasi penusukan harus bebas dari luka dan bekas luka/sikatrik. Darah diambil dari vena


(42)

mediana cubiti pada lipat siku. Ikatan pembendungan (torniquet) dipasang pada lengan atas, pasien diminta untuk mengepal dan membuka telapak tangan berulang kali agar vena terlihat jelas. Lokasi penusukan didesinfeksi dengan kapas alkohol 70% dengan cara berputar dari arah dalam keluar. Spuit disiapkan dengan memeriksa jarum dan penutupnya. Setelah itu vena mediana cubiti ditusuk dengan posisi sudut 45 derajat dengan jarum menghadap ke atas. Darah dibiarkan mengalir ke dalam jarum kemudian jarum diputar menghadap ke bawah. Agar aliran darah bebas, pasien diminta untuk membuka kepalan tangannya dan darah dihisap sebanyak 3 cc. Torniquet dilepas, lalu jarum ditarik dengan tetap menekan lubang penusukan dengan kapas alkohol 70%. Selanjutnya tempat bekas penusukan ditekan dengan kapas alkohol 70% sampai darah tidak keluar lagi. Kemudian bekas tusukan ditutup dengan plester. Darah kemudian dimasukkan ke dalam vacutainer 5 cc. Selanjutnya sampel darah segera dikirim ke Laboratorium Klinik Prodia Medan. c. Di Laboratorium Klinik Prodia Medan, sampel darah pasien akne vulgaris dan

kontrol disentrifugasi menggunakan sentrifuge dengan kecepatan 2000 rotation per minute (rpm) selama 10 menit untuk mendapatkan serum. Serum yang diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam microtube 1 cc untuk penyimpanan serum.

d. Setelah diperoleh serum, selanjutnya diambil 25 μl dari serum tersebut untuk kemudian dilarutkan secara manual dengan larutan pretreatment IGF-1 yaitu LGFA dengan perbandingan 1:10. Oleh karena itu, 25 μl sampel serum ditambahkan ke dalam 225 μl LGFA.

e. Sampel serum pasien akne vulgaris dan kontrol kemudian disimpan dalam freezer pada suhu -25oC yang akan stabil selama 12 bulan sebelum pemeriksaan. Hindari kontaminasi dan pajanan langsung terhadap sinar matahari.


(43)

dari Laboratorium Klinik Prodia Medan ke Laboratorium Klinik Prodia Pusat di Jakarta yang dilakukan satu kali per minggu yaitu setiap hari Senin.

g. Di Laboratorium Klinik Prodia Jakarta, proses pemeriksaan kadar IGF-1 dilakukan setiap hari Rabu dan hasil analisisnya dapat diperoleh dalam waktu lebih kurang 1 jam.

h. Hasil yang diperoleh kemudian dicatat sebagai nilai IGF-1 dan kemudian dibandingkan dengan kadar IGF-1 pada kelompok kontrol.

I. Definisi operasional

1. Usia adalah usia subjek saat pengambilan sampel dihitung dari tanggal lahir, bila lebih dari 6 bulan, usia dibulatkan ke atas; bila kurang dari 6 bulan, usia dibulatkan ke bawah.

2. Akne vulgaris adalah suatu gangguan pada unit pilosebasea yang ditandai dengan adanya komedo, papul, pustul dan nodul pada daerah populasi kelenjar sebasea yang paling padat yaitu pada daerah wajah, dada bagian atas dan punggung.

3. Derajat keparahan akne vulgaris adalah suatu pengukuran objektif terhadap beratnya akne vulgaris yang dialami oleh sampel berdasarkan pemeriksaan fisik dengan memakai skala pengukuran Lehmann yaitu derajat ringan bila komedo < 20, atau lesi inflamasi sebanyak 15, atau jumlah total lesi < 30 dan derajat sedang bila komedo 20-100, atau lesi inflamasi sebanyak 15-50, atau jumlah total lesi 30-125, sedangkan derajat berat bila kista > 5, atau jumlah total komedo > 100, atau lesi inflamasi > 50, atau jumlah total lesi > 125.

4. Insulin-like Growth Factor-1 adalah suatu polipeptida dengan urutan yang sangat mirip dengan insulin yang terdapat di dalam serum.

Kadarnya dalam serum diukur dengan menggunakan alat Immulite® 2000 dan hasilnya dinyatakan dalam satuan ng/ml.


(44)

5. Obat kontrasepsi adalah golongan obat-obatan yang merupakan turunan dari preparat estrogen dan progesteron untuk mencegah terjadinya kehamilan.

6. Siklus haid yang tidak teratur adalah keadaan wanita yang mendapatkan haid tidak reguler sekali sebulan atau haid lebih dari 1 kali atau tidak mendapat haid lebih dari 1 bulan (tidak hamil) tanpa obat-obatan.

7. Hirsutisme adalah gejala munculnya rambut pada bagian tubuh perempuan yang biasanya tidak ditumbuhi rambut seperti di bawah dagu atau di atas bibir, atau wanita yang memiliki pola penyebaran rambut seperti pria dewasa.

8. Alopesia androgenetika adalah rambut pada kulit kepala pria yang menjadi rontok (botak) yang ditandai dengan hilangnya rambut kepala secara simetrik, progresif, difus, berawal dengan resesi frontal yang khas dan akhirnya hanya tinggal selingkaran rambut di tepi kepala. Dapat menyebabkan kebotakan yang komplit. Pada wanita, rambut menipis di seluruh kulit kepala, dan garis batas rambut tidak mengalami resesi. Jarang menyebabkan kebotakan komplit.

9. Pasien yang menderita penyakit hati adalah pasien yang secara anamnesis dan pemeriksaan fisik dicurigai menderita penyakit hati akut atau kronis yang selanjutnya dikonfirmasi secara pasti oleh dokter spesialis anak atau dokter spesialis penyakit dalam.

10. Pasien yang menderita diabetes melitus adalah pasien yang secara anamnesis dan pemeriksaan fisik dicurigai menderita penyakit diabetes melitus yang selanjutnya dikonfirmasi secara pasti oleh dokter spesialis anak atau dokter spesialis penyakit dalam.

11. Merokok adalah pasien yang merupakan perokok aktif dan secara teratur mengisap minimal satu batang rokok perhari dengan waktu minimal 1 bulan.35


(45)

43 ini mempunyai sertifikasi : ISO 13485:2003. Diproduksi oleh Siemens Medical Solutions Diagnostics, Jerman. Hasil pengukurannya dinyatakan dalam satuan ng/ml.

J. Kerangka operasional

Ringan Sedang Berat

Pengukuran kadar IGF-1

serum

Pengukuran kadar IGF-1

serum

Pengukuran kadar IGF-1

serum

HUBUNGAN??

Diuji dan dianalisis secara statistik

Klasifikasi Lehmann

Kelompok kontrol

Pengukuran kadar IGF-1

serum Kelompok pasien

akne vulgaris


(46)

K. Pengolahan dan analisis data

Keseluruahan data dianalisis dengan memakai software SPSS versi 15. Data kategorikal ditampilkan dalam bentuk persentase sementara data numerikal dalam bentuk mean dengan Standard Deviasi (SD). Batas kemaknaan (p) yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah 0,05. Dikatakan bermakna jika nilai p ≥ 0,05.

Untuk mengetahui normalitas dari distribusi data dilakukan uji Shapiro Wilik. Karena data yang didapatkan pada penelitian ini mempunyai distribusi normal, maka untuk uji analisis statistik rerata dua variabel numerik (IGF-1 berdasarkan kelompok kasus dan kontrol, jenis kelamin dan kelompok umur) dipakai uji t independen. Sedangkan untuk uji analisis statistik rerata variabel numerik yang lebih dari dua kelompok (IGF-1 berdasarkan tingkat keparahan jerawat) dilakukan uji statistik one way anova.

Untuk menilai hubungan/korelasi antara kadar IGF-1 dalam serum dengan derajat keparahan akne vulgaris dilakukan suatu uji hipotesis korelatif. Karena data mempunyai distribusi normal maka dilakukan uji korelasi parametrik Pearson.


(47)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan di Poliklinik Dermatologi RSUP. H. Adam Malik Medan mulai bulan Januari sampai bulan Juni 2010. Dalam penelitian ini diikutsertakan 21 orang pasien penderita akne vulgaris dan 21 orang yang tidak menderita akne vulgaris sebagai kelompok kontrol.

A. Karakteristik dasar subjek penelitian Tabel 4.1 Karakteristik subjek penelitian

Kasus Kontrol Total

Variabel

n % n % n %

Jenis kelamin

Laki-laki 7 33,3 7 33,3 14 33,3

Perempuan 14 66,7 14 66,7 28 66,7

Total 21 100,0 21 100,0 42 100,0

Kelompok umur (tahun)

12-19 10 47,6 10 47,6 20 47,6

20-34 11 52,4 11 52,4 22 52,4

Total 21 100,0 21 100,0 42 100,0

Pendidikan

SMU/sederajat 5 23,8 2 9,5 7 16,7

Perguruan tinggi 16 76,2 19 90,5 35 83,3

Total 21 100,0 21 100,0 42 100,0

1. Jenis kelamin

Pada penelitian, ini dari 21 orang penderita akne vulgaris atau selanjutkan kami sebutkan sebagai kelompok kasus didapati 7 orang (33,3%) dengan jenis kelamin laki-laki dan 14 orang (66,7%) dengan jenis kelamin perempuan.

Hasil penelitian ini sama dengan berbagai penelitian epidemiologi sebelumnya tentang akne vulgaris. Goulden dkk (1996) melaporkan dalam penelitiannya di Inggris yang melibatkan 2000 subjek bahwa angka kejadian akne vulgaris pada pria sebesar 24% dan wanita sebesar 76%.14 Penelitian yang dilakukan pada populasi Asia di


(48)

Singapura menyebutkan bahwa angka kejadian akne vulgaris sebanyak 56,6% pada wanita dan 43,3% dialami oleh laki-laki.16 Studi lain oleh Cunliffe dan Gould (1979) menyebutkan bahwa sebelum usia 23 tahun, prevalensi akne vulgaris lebih tinggi pada laki-laki (35%) dibandingkan dengan perempuan (23%). Namun sesudah usia 23 tahun prevalensi pada wanita lebih tinggi dibandingkan laki-laki.37

Beberapa penelitian yang memakai teknik immunostaining menyebutkan adanya perbedaan komposisi reseptor estrogen yaitu estrogen receptor β (ERβ) dan estrogen receptor α (ERα) pada sel sebosit glandula sebasea antara perempuan dan laki-laki. Selain itu didapati pula adanya perbedaan ekspresi reseptor melanocortin-1 pada sel sebosit dan keratinosit laki-laki dan perempuan, yang diduga berperan dalam menentukan perbedaan prevalensi akne pada laki-laki dan perempuan. Faktor lain yang diduga terlibat dalam perbedaan prevalensi tersebut adalah perbedaan kadar hormon androgen dan estrogen antara laki-laki dan perempuan.38

2. Kelompok umur

Pada penelitian ini, kelompok umur subjek dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok umur 12-19 tahun dan 20-34 tahun. Kriteria pengelompokan umur ini didasarkan atas klasifikasi Erikson’s Stages of Physchosocial Development yang mengklasifikasikan usia 12-19 tahun sebagai subjek kelompok remaja dan usia 20-34 tahun sebagai dewasa muda. Sebanyak 10 orang (47,6%) subjek berada dalam kelompok umur remaja dan sebanyak 11 orang (52,4%) subjek berada umur dewasa muda.

Data yang diperoleh dari rekam medis penderita akne vulgaris yang datang berobat ke Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik


(49)

Medan pada periode Januari – Desember 2008 menunjukkan bahwa 90,6% diantaranya adalah usia remaja dan dewasa muda.

Cunliffe dan Gould (1979) melaporkan bahwa pada kelompok umur 10-12 tahun 28%-61% populasi telah menderita akne vulgaris, sementara 79%-95% populasi penduduk yang berusia 16-18 tahun mengalami akne vulgaris.37

Collier dkk (2008) dalam penelitian epidemiologi yang dilakukannya menyebutkan bahwa prevalensi akne vulgaris yang tertinggi sebenarnya berada kelompok usia remaja dan akan semakin berkurang dengan meningkatnya usia.38

Akan tetapi, Cordain (2002) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa faktor usia hanyalah satu dari sekian banyak faktor yang dapat terlibat dalam patogenesis akne vulgaris misalnya faktor diet, faktor higiene, rokok, faktor keturunan ataupun gangguan hormonal.13

3. Tingkat pendidikan

Pada penelitian ini didapati sebagian besar kelompok kasus berpendidikan perguruan tinggi yaitu sebanyak 16 orang (76,2%). Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Barira S (2006) yang menyatakan bahwa sebagian besar penderita akne vulgaris (54%) berpendidikan SMU.39

Tingkat pendidikan memiliki peranan yang penting karena akan mempengaruhi persepsi penderita akan penyakit akne vulgaris yang dideritanya. Perbedaan tingkat pendidikan akan mempengaruhi tingkat pengetahuan mengenai faktor-faktor penyebab, pemicu, tindakan pencegahan, cara ataupun lama pengobatan akne vulgaris, prognosis, serta sikap dan perilaku dalam menghadapi efek psikososial yang mungkin timbul. Penderita dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi


(50)

diharapkan memiliki tingkat pemahaman yang lebih baik mengenai penyakit akne vulgaris.

B. Insulin-like Growth Factor-1

1. Perbandingan IGF-1 antara kelompok kasus dan kelompok kontrol Tabel 4.2 Perbandingan insulin-like growth factor-1 antara kelompok kasus dan kontrol

IGF-1 (ng/ml) Variabel

Kasus Kontrol

Mean 269,90 246,38

SD 111,93 95,19

p-value 0,467

Pada tabel 4.2 dapat dilihat perbandingan kadar IGF-1 antar kelompok kasus dan kontrol. Rerata kadar IGF-1 lebih tinggi pada kelompok kasus yaitu sebesar 269,90 ng/ml dibandingkan kelompok kontrol 246,38 ng/ml, namun ternyata secara statistik tidak bermakna.(p = 0,467).

Pada penelitian sebelumnya oleh Cappel (2005) dan Aizawa (1995) dilaporkan bahwa pada kelompok kasus didapati adanya kadar IGF-1 yang lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Sementara penelitian lain yang dilaporkan oleh Kaymak dkk (2007) menyebutkan hasil yang sebaliknya yaitu bahwa tidak dijumpai perbedaan kadar IGF-1 antara kelompok kasus dan kelompok kontrol.11,12,39

Hasil penelitian ini yang menunjukkan tidak adanya perbedaan yang bermakna antara kelompok kasus dan kelompok kontrol dapat disebabkan karena dalam populasi penelitian kali ini mungkin terdapat faktor-faktor lain yang lebih berperan dibandingkan IGF-1 dalam hal terjadinya akne vulgaris pada subjek penelitian. Dalam proses patogenesis akne vulgaris terdapat beberapa macam faktor yang dapat saling terkait satu sama lain. Faktor tersebut misalnya perubahan hormonal, kerentanan


(51)

genetik, stres, diet dan faktor higiene dapat menjadi faktor yang menentukan akne vulgaris.1,2

2. Korelasi kadar IGF-1 dengan derajat keparahan akne vulgaris Tabel 4.3 Korelasi antara kadar IGF-1 dengan derajat keparahan akne vulgaris

Korelasi n r p-value

Kadar IGF-1 dengan derajat

keparahan akne vulgaris 21 0,039 0,868

Pada tabel 4.3 ditampilkan analisis korelasi antar kadar IGF-1 dengan derajat keparahan akne vulgaris. Dari hasil analisis statistik didapati bahwa tidak ada korelasi antara kadar IGF-1 dengan derajat keparahan akne vulgaris (p = 0,868; r = 0,039).

Pada penelitian Aizawa didapati bahwa kadar IGF-1 pada kelompok kasus lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol. Namun tidak dijumpai adanya korelasi antara kadar IGF-1 dengan derajat keparahan akne vulgaris.11

Dalam penelitian lain disebutkan bahwa IGF-1 diduga dapat meningkatkan produksi sebum oleh sel sebosit melalui induksi ekspresi SREBP-1 yang akan meningkatkan stimulasi lipogenesis di dalam sebosit. IGF-1 bekerja dengan cara mengaktivasi phospoinositide 3-kinase/Akt pathway sehingga terjadi proses peningkatan dalam pembentukan sebum dari sebosit.7,8

Akne vulgaris merupakan suatu kelainan pada struktur yang bersifat multifaktorial. Selain dari peningkatan produksi sebum terdapat faktor lain seperti hiperproliferasi folikel, inflamasi dan aktifitas dari P.acnes. Selain dari itu masih harus dipertimbangkan kondisi yang terkait dengan akne vulgaris misalnya faktor genetik, perubahan hormonal, faktor diet dan lain sebagainya.1,2


(52)

Kadar IGF-1 dalam darah sendiri dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kadar growth hormone, kadar insulin, faktor nutrisi, Body Mass Index, usia dan hormon androgen.30

Adanya beberapa faktor yang dapat mempengaruhi patogenesis akne vulgaris dan mempengaruhi kadar IGF-1 di dalam darah mengakibatkan timbulnya berbagai variasi dengan karakteristik tersendiri dalam berbagai penelitian-penelitian tentang akne vulgaris.

3. Perbandingan Insulin-like Growth Factor-1 antara kelompok akne vulgaris Tabel 4.4 Perbandingan IGF-1 antara kelompok akne vulgaris

Kasus Variabel

Ringan Sedang Berat Kontrol p-value* IGF-1(ng/ml) 232,43 ± 116,27 328 ± 123,50 249,29 ± 83,2 246,38 ± 95,19 0,272

*p-value antara kasus dan kontrol

Pada tabel 4.4 diperlihatkan perbandingan kadar IGF-1 antara kelompok pasien akne vulgaris derajat ringan, sedang dan berat dan kontrol.

Rerata kadar IGF-1 pada kelompok akne vulgaris derajat ringan adalah 232,43 ±116,27 ng/ml; kelompok akne vulgaris derajat sedang 328±123,50 ng/ml; akne vulgaris derajat berat sebesar 249,29±83,2 ng/ml dan kelompok kontrol sebesar 246,38±95,19 ng/ml. Dari analisis statistik tidak dijumpai perbedaan bermakna kadar IGF-1 antara kelompok akne vulgaris derajat ringan, akne vulgaris derajat sedang, akne vulgaris derajat berat dan kelompok kontrol.


(53)

Hasil penelitian ini, berbeda dengan hasil penelitian oleh Cappel dkk (2005) yang menyebutkan bahwa kadar IGF-1 pada kelompok penderita akne vulgaris klinis lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok penderita akne vulgaris tanpa klinis.12

4. Insulin-like Growth Factor-1 berdasarkan jenis kelamin Tabel 4.5 Perbandingan kadar IGF-1 berdasarkan jenis kelamin

IGF-1 (ng/ml)

Kasus Kontrol

Jenis kelamin

Mean SD p-value Mean SD p-value

p-value* Laki-laki Perempuan 311 249,38 126,59 102,55 0,244 266,29 236,43 93,47 97,93 0,512 0,467 0,736

*p-value antara kasus dan kontrol

Pada tabel ini diperlihatkan perbandingan kadar IGF-1 berdasarkan jenis kelamin baik pada kelompok kasus maupun kelompok kontrol. Tampak bahwa nilai kadar IGF-1 pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan, baik pada kelompok kasus maupun kelompok kontrol. Walaupun perbedaan tersebut tidak mencapai nilai yang signifikan.(p = 0,244, p = 0,512)

Nilai IGF-1 antara kelompok kasus dan kelompok kontrol juga tidak berbeda secara bermakna, meskipun perbandingan tersebut dilakukan berdasarkan jenis kelamin yang sama.

Pada penelitian ini, nilai IGF-1 laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Hasil ini sesuai dengan hasil yang didapat oleh penelitian-penelitian sebelumnya oleh Kahlamani dkk (1999) dan Parekh dkk (2010) yang juga mendapatkan bahwa kadar IGF-1 pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang terbalik antara kadar estrogen dengan kadar IGF-1. Kadar puncak IGF-1 akan tercapai pada umur 15 tahun baik pada laki-laki maupun pada perempuan. Meskipun nilainya akan semakin


(54)

berkurang seiring dengan pertambahan umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi kecepatan penurunan kadar IGF-1 tertinggi didapati pada wanita premenopause yaitu di saat kadar estrogen tubuh mencapai level tertinggi. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Seattle Colon Cancer Family Registry yang mendapatkan bahwa kadar IGF-1 akan menurun setelah pemberian estrogen eksogen. Teori lain menyebutkan bahwa leptin yang kadarnya berbeda antara laki-laki dan perempuan, dapat mempengaruhi konsentrasi IGF-1/IGFBP-3, yang mungkin akan dapat menjelaskan tentang perbedaan kadar IGF-1 pada laki-laki dan perempuan.40,41

Pada penelitian kami didapati bahwa tidak dijumpai perbedaan kadar IGF-1 antara kelompok kasus dan kelompok kontrol meski dilakukan perbandingan berdasarkan jenis kelamin. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian oleh Cappel (2005) yang melaporkan bahwa perbedaan kadar IGF-1 antara kelompok akne vulgaris klinis dengan akne vulgaris tanpa klinis didapati pada jenis kelamin perempuan saja.12

5. Insulin-like Growth Factor-1 berdasarkan kelompok umur Tabel 4.6 Perbandingan kadar IGF-1 berdasarkan kelompok umur

IGF-1 (ng/ml)

Kasus Kontrol

Kelompok umur (tahun)

Mean SD p-value Mean SD p-value

p-value* 12-19 20-34 329,30 215,91 82,65 110,35 0,016 276,40 219,09 111,52 72,19 0,174 0,244 0,937

*p-value antara kasus dan kontrol

Pada tabel ini, diperlihatkan perbandingan kadar IGF-1 berdasarkan kelompok umur, baik pada kelompok kasus maupun kelompok kontrol. Pada penelitian kami didapati bahwa kadar IGF-1 pada kelompok kasus dengan umur diantara 12-19 tahun lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan umur 20-34 tahun (p = 0,016). Sementara perbandingan kadar IGF-1 pada kelompok kontrol antara kelompok umur


(1)

LAMPIRAN 2.

PERSETUJUAN IKUT SERTA DALAM PENELITIAN

Setelah mendapat penjelasan, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : ………

Umur : ………

Alamat : ………..…………..

selaku saudara/orang tua* dari :

Nama : ...

Umur : ...

Jenis kelamin : ...

dengan ini menyatakan secara sukarela SETUJU untuk ikut serta dalam penelitian dan

mengikuti berbagai prosedur pemeriksaan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Demikianlah surat pernyataan persetujuan ini dibuat dengan sebenarnya dalam keadaan sadar

tanpa adanya paksaan dari siapapun.

Medan, 2010

Dokter pemeriksa Yang menyetujui

(dr. Joice Panjaitan) ( )


(2)

LAMPIRAN 3.

STATUS PENELITIAN

Tanggal pemeriksaan :

Nomor urut penelitian :

Nomor catatan medik :

IDENTITAS

Nama :

Alamat :

Telp. :

Tempat tanggal lahir (hari, bulan, tahun) :

Jenis kelamin : 1. Laki-laki 2. Perempuan

Bangsa/Suku : 1. Batak 2. Jawa 3. Melayu

4. Minangkabau 5. Tionghoa 6. Lainnya

Agama : 1. Islam 2. Kristen Protestan 3. Kristen Katolik

4. Hindu 5. Budha

Pendidikan : 1. Belum sekolah

2. SD / sederajat

3. SMP / sederajat

4. SMA / sederajat

5. Perguruan tinggi

Pekerjaan : 1. Pegawai Negeri Sipil / TNI / Polri 2. Pegawai swasta

3. Wiraswasta 4. Tidak bekerja


(3)

ANAMNESIS

Keluhan utama :

Riwayat perjalanan penyakit :

Riwayat penyakit keluarga :

Riwayat penyakit terdahulu :

PEMERIKSAAN FISIK

Status generalisata

Keadaan umum :

• Kesadaran :

• Gizi :

• Tekanan darah :

• Frekuensi nadi :

• Suhu :

• Frekuensi pernafasan :

Keadaan Spesifik :

• Kepala :

• Leher :


(4)

• Abdomen :

• Genitalia :

• Ekstremitas :

Status dermatologikus

Hasil Combined Acne Severity Classification

Ringan

Komedo < 20, atau lesi inflamasi 15, atau jumlah

total lesi < 30

Sedang

Komedo 20-100, atau lesi inflamasi 15-50, atau

jumlah total lesi 30-125

Berat

Kista > 5, atau jumlah total komedo > 100, atau lesi

inflamasi > 50, atau jumlah total lesi > 125

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

1. Pemeriksaan kadar IGF-1 dalam serum pasien akne vulgaris

Nilai :

2. Pemeriksaan kadar IGF-1 dalam serum pasien kontrol


(5)

MASTER TABEL 1

NILAI RUJUKAN, KEPARAHAN AKNE VULGARIS DAN KADAR INSULIN-LIKE GROWTH FACTOR-1

PADA KELOMPOK KASUS

NO NAMA UMUR (tahun) NILAI RUJUKAN

(ng/ml) JENIS KELAMIN BB (kg) TB (cm)

KEP A

1 FOR 17 376 1 45 163

2 RK 30 196 2 44 150

3 AS 20 232 2 42 152

4 RA 23 203 1 60 155

5 PM 24 203 2 47 158

6 MS 19 261 2 51 157

7 PS 21 203 2 54 155

8 GDG 19 261 2 54 153

9 NC 20 232 2 60 154

10 FD 21 203 2 47.5 146

11 PE 22 203 2 54 149,5

12 GS 17 376 1 72 169

13 LS 18 308 2 55 154

14 RSK 18 308 2 61,5 156

15 MS 24 203 1 42 164

16 SFS 19 261 2 45 152

17 ITH 18 308 1 62 162

18 AMH 19 261 1 67 176

19 DL 18 308 2 63 161

20 PD 20 232 2 62 161

21 R 30 196 1 65 168

Keterangan :

Jenis kelamin : 1. Laki-laki 2. Perempuan

Derajat keparahan akne vulgaris : 1. Derajat ringan 2. Derajat sedang 3. Derajat berat MASTER TABEL II

NILAI RUJUKAN, KEPARAHAN AKNE VULGARIS DAN KADAR INSULIN-LIKE GROWTH FACTOR-1

PADA KELOMPOK KONTROL

NO NAMA UMUR (tahun) NILAI RUJUKAN

(ng/ml) JENIS KELAMIN BB (kg) TB (cm)

KEPAR AK

1 MN 22 203 2 54 158 0

2 LH 21 203 1 56 166 0

3 DH 17 376 1 44 156 0

SE 18 308 1 54 163 0

4

5 ML 20 232 2 50 156 0

6 HK 18 308 2 52 151 0

7 JR 19 261 2 45 155 0

8 JH 20 232 2 50 154 0

9 LI 23 203 2 46 161 0

10 PN 19 261 2 48 149 0

11 NM 18 308 2 50 158 0


(6)

68

13 RK 19 261 1 57 172 0

14 IA 17 376 1 71 165 0

15 EK 20 232 2 53 155 0

16 VAG 18 308 2 47 152 0

17 RS 20 232 2 45 155 0

18 RRP 30 196 1 61 160 0

19 MA 24 203 1 70 161 0

20 IJH 21 203 2 52 158 0

21 HNP 30 196 2 55 165 0

Keterangan :