Pengukuran Albedo dan Suhu Permukaan Beberapa Jenis Vegetasi di Hutan Kota Srengseng
PENGUKURAN ALBEDO DAN SUHU PERMUKAAN BEBERAPA
JENIS VEGETASI DI HUTAN KOTA SRENGSENG
FREISHILA KAWILARANG
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK
CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengukuran
Albedo dan Suhu Permukaan Beberapa Jenis Vegetasi di Hutan Kota
Srengseng adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana
pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, November 2013
Freishila Kawilarang
NIM E34090101
ABSTRAK
FREISHILA KAWILARANG. Pengukuran Albedo dan Suhu Permukaan
Beberapa Jenis Vegetasi di Hutan Kota Srengseng. Dibimbing oleh SITI
BADRIYAH RUSHAYATI dan BREGAS BUDIANTO.
Salah satu faktor penyebab terjadinya Urban Heat Island adalah
peningkatan luasan lahan terbangun dan penurunan luasan RTH. Ini
menentukan nilai albedo permukaan di wilayah tersebut. Albedo permukaan
merupakan perbandingan antara radiasi gelombang pendek yang
dipantulkan dengan radiasi gelombang pendek yang datang. Semakin tinggi
nilai albedo suatu objek maka akan semakin menurunkan suhu permukaan.
Selain itu, jenis bahan suatu objek juga menentukan suhu permukaannya.
Pengukuran albedo dilakukan dengan pemotretan objek menggunakan
kamera dengan perlakuan tingkat pencahayaan tetap. Data piksel yang
diperoleh selanjutnya dikonversi menjadi nilai albedo dengan menggunakan
pengolah spread sheet Microsoft Excel. Nilai albedo bauhinia bernilai antara
80-90% dengan nilai albedo rata-rata 83%, bintaro bernilai antara 70-80%
dengan nilai albedo rata-rata 75%, gmelina bernilai antara 80-90% dengan
nilai albedo rata-rata 85%, jati bernilai antara 90-100% dengan nilai albedo
rata-rata 95%. Suhu permukaan vegetasi bauhinia sebesar 33 ºC, bintaro
sebesar 36 ºC, gmelina sebesar 35 ºC, dan jati sebesar 35 ºC.
Kata kunci: albedo, hutan kota, iklim mikro
ABSTRACT
FREISHILA KAWILARANG. Albedo and Surface Temperature
Measurement of Some Vegetation in Srengseng Urban Forest. Supervised
by SITI BADRIYAH RUSHAYATI and BREGAS BUDIANTO.
Some of the causes of Urban Heat Island are the increasing of
developed area and decreasing of green open space. Both of them determine
the surface albedo in the region. Surface albedo is the ratio of reflected
short-wave radiation to the coming short-wave radiation. The higher albedo
of an object the more surface temperature lowers. In addition, the material
of an object also determines surface temperature. Albedo measurement was
done by photographing objects using a camera with a fixed illumination
level treatment. The pixel data have converted into albedo by used
Microsoft Excel spread sheet. The albedo values of bauhinia were about 8090% with average values of albedo were 83%, while albedo values of
bintaro ranged 70-80% with average values of albedo were 75%, gmelina
ranged 80-90% with average values of albedo were 85%, teak ranged 90100% with average values of albedo were 95%. The surface temperature of
bauhinia vegetation is 33 ºC, while bintaro is 36 ºC, gmelina is 35 ºC, and
teak is 35 ºC.
Keywords: albedo, microclimate, urban forest
PENGUKURAN ALBEDO DAN SUHU PERMUKAAN BEBERAPA
JENIS VEGETASI DI HUTAN KOTA SRENGSENG
FREISHILA KAWILARANG
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi : Pengukuran Albedo dan Suhu Permukaan Beberapa Jenis
Vegetasi di Hutan Kota Srengseng
Nama
: Freishila Kawilarang
NIM
: E34090101
Disetujui oleh
Dr Ir Siti Badriyah Rushayati. M Si
Pembimbing I
Ir Bregas Budianto. Ass Dipl
Pembimbing II
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Sambas Basuni. MS
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala kasih dan anugrah-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil
diselesaikan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana
Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata,
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Tema yang diambil dalam
penelitian ini adalah hutan kota dan iklim mikro dengan judul penelitian
Pengukuran Albedo dan Suhu Permukaan Beberapa Jenis Vegetasi di Hutan
Kota Srengseng.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Siti Badriyah
Rushayati. M Si dan Bapak Ir Bregas Budianto. Ass Dipl yang telah
senantiasa membimbing dan mengarahkan penulis dalam melaksanakan
penelitian dan dalam proses penulisan skripsi, juga penulis ucapkan terima
kasih kepada Adi Mulyadi. S Si dan Ayu Pradipta Diza yang telah
membantu penulis dalam pengolahan data, juga kepada para staf
Kementrian Lingkungan Hidup, Badan Lingkungan Hidup DKI Jakarta, dan
Kementrian Kehutanan yang telah membantu penulis dalam pengumpulan
data. Kepada keluarga dan Nehemia Agus Wijaya atas dukungan doa dan
kasih sayangnya, teman-teman Five Icon (Ratna, Tere, Grace, Vany), Cicely,
dan Helin yang telah memberikan banyak dukungan semangat dalam proses
penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun penulis harapkan demi
kesempurnaan penelitian selanjutnya.
Bogor, November 2013
Freishila Kawilarang
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan
3
Manfaat
3
METODE
3
Ruang Lingkup Penelitian
3
Waktu dan Lokasi Penelitian
4
Alat dan Bahan
4
Metode Pengumpulan Data
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
7
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
7
Albedo Permukaan
8
Iklim Mikro
SIMPULAN DAN SARAN
10
15
Simpulan
15
Saran
15
DAFTAR PUSTAKA
15
LAMPIRAN
19
DAFTAR TABEL
1 Jenis data dan metode pengumpulan data
2 Rata-rata albedo permukaan vegetasi hutan kota, rumput, permukaan
jalan, tanah, dan air pada siang hari
3 Rata-rata albedo permukaan tajuk vegetasi hutan kota
4 Rata-rata albedo permukaan vegetasi hutan kota dan objek lahan terbuka
serta suhu permukaannya pada siang hari
5
8
9
14
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
Kerangka pemikiran hubungan variabel albedo dengan suhu udara
Suhu permukaan rata-rata
Suhu udara Hutan Kota Srengseng
Kelembaban udara Hutan Kota Srengseng
Vegetasi di Hutan Kota Srengseng: (a) Bauhinia (Bauhinia purpurea),
(b) Bintaro (Cerbera manghas), (c) Gmelina (Gmelina arborea), (d) Jati
(Tectona grandis)
6 Hubungan suhu permukaan dengan albedo permukaan
4
10
11
12
13
14
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
Albedo dan suhu permukaan
Rata-rata albedo permukaan objek
Data suhu permukaan
Suhu permukaan tiap objek
Data suhu dan kelembaban udara
Data vegetasi hutan kota
Hasil potongan gambar 10x10 piksel tiap objek
Peta lokasi penelitian Hutan Kota Srengseng
19
20
22
24
25
26
27
28
21
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkotaan adalah suatu kawasan dimana pusat aktivitas berlangsung.
Kota merupakan tempat bermukim, tempat bekerja, tempat hidup, tempat
belajar, pusat pemerintahan, tempat berkunjung dan menginapnya tamu
negara dan berbagai kegiatan lainnya (Dahlan 1992). Padatnya aktivitas
yang dilakukan oleh penduduk perkotaan menyebabkan peningkatan
mobilitas yang berdampak pada peningkatan polutan perkotaan (Lauhatta
2007).
Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan kota yang memiliki
kepadatan penduduk yang tinggi. Jumlah penduduk Jakarta pada bulan
November 2011 mencapai 10 187 595 individu (Disdukcapil DKI Jakarta
2012) dengan luas 661.52 km2 (Pemda DKI Jakarta 2008). Berdasarkan data
tersebut diketahui kepadatan penduduk mencapai 15 individu/m2. Laju
pertumbuhan penduduk pada periode tahun 1990-2000 sebesar 0.16%,
semakin meningkat pada periode tahun 2000-2005 menjadi 1.06% per tahun
(Pemda DKI Jakarta 2008). Jumlah penduduk perkotaan yang terus
meningkat akan mengakibatkan tingginya tekanan terhadap pemanfaatan
ruang kota (Effendy 2007). Luasan ruang terbuka hijau (RTH) cenderung
mengalami penurunan dengan meningkatnya lahan terbangun.
Areal perkotaan dituntut untuk terus berkembang. Pembangunan
lingkungan perkotaan yang telah dan sedang terjadi memberikan dampak
penurunan kualitas lingkungan. Jakarta telah mengalami kenaikan suhu
yang disebabkan oleh wajah kota yang didominasi oleh struktur bangunan
dan menjadikannya semakin tidak nyaman untuk dihuni (Sulistyantara
2005). Menurut Mas’at (2009), suhu udara perkotaan DKI Jakarta dalam 28
tahun terakhir (1980-2007) mengalami laju kenaikan rata-rata pertahun
sebesar 0.17 ºC. Kenaikan suhu ini dapat di atasi dengan adanya ruang
terbuka hijau salah satunya hutan kota.
Hutan kota merupakan komunitas vegetasi berupa pohon dan
asosiasinya yang tumbuh di lahan atau sekitarnya, berbentuk jalur,
menyebar, atau bergerombol, struktur menyerupai hutan alam dan
membentuk suatu habitat yang memungkinkan kehidupan bagi satwa liar,
sehingga menimbulkan lingkungan sehat, suasana nyaman, sejuk, dan estetis
(Irwan 1996). Berdasarkan PP No. 63 tahun 2002, pengertian hutan kota
adalah suatu hamparan lahan yang ditumbuhi pepohonan yang kompak dan
rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak,
yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang, sedangkan
menurut Kementrian Kehutanan (1991), hutan kota merupakan suatu lahan
yang bertumbuhan pohon-pohon di dalam wilayah perkotaan di tanah
negara, ataupun tanah milik yang berfungsi sebagai penyangga lingkungan
dalam hal pengaturan air, udara, habitat flora dan fauna yang memiliki
estetika dengan luas yang solid yang merupakan ruang terbuka hijau pohonpohonan, serta areal tersebut ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
sebagai hutan kota. Hutan kota merupakan ruang terbuka yang ditumbuhi
2
vegetasi berkayu di wilayah perkotaan yang memberikan manfaat
lingkungan sebesar-besarnya kepada penduduk kota dalam kegunaan
proteksi, estetika, rekreasi dan lain-lainnya (Fakuara 1987). Menurut Dahlan
(1992) komponen hutan kota yang meliputi struktur vegetasi pohon, jalur
hijau dan taman kota akan mampu menurunkan suhu udara, meningkatkan
kelembaban udara, mengurangi polusi udara, dan meningkatkan estetika
lingkungan.
Kualitas hidup masyarakat perkotaan berkaitan langsung dengan
kualitas lingkungan perkotaan yang dipengaruhi oleh aktifitas kota itu
sendiri (Irwan 2005). Kota Jakarta yang merupakan pusat perekonomian
Indonesia dituntut untuk melakukan pembangunan fisik seperti jalur
transportasi maupun berbagai fasilitas pendukung kegiatan perekonomian
lainnya. Sehingga penurunan kualitas lingkungan pun tidak dapat dihindari.
Salah satu ciri penurunan kualitas lingkungan daerah perkotaan adalah
peningkatan suhu. Ini disebabkan oleh kepadatan penduduk, pembangunan
kota, pertumbuhan industri, kepadatan lalu lintas, deforestasi dll.
Peningkatan suhu bumi dipengaruhi oleh radiasi matahari yang
diterima atau sampai di bumi. Radiasi matahari yang sampai di permukaan
bumi akan mengalami pemantulan dan penyerapan radiasi (Akbari diacu
dalam Rushayati 2011), sehingga semua jenis tutupan lahan di bumi
memiliki nilai albedo. Menurut Effendy (2007) albedo adalah perbandingan
jumlah radiasi matahari gelombang pendek yang diterima oleh suatu
permukaan dengan radiasi matahari gelombang pendek yang dipantulkan
permukaan tersebut, dengan kata lain albedo merupakan perbandingan
antara radiasi matahari yang dipantulkan dengan radiasi yang datang
(Rushayati et al. 2011). Rumondang (2011) menyatakan bahwa albedo
merupakan perbandingan antara radiasi gelombang pendek yang
dipantulkan dengan yang datang dari semua spektrum panjang gelombang.
Pemantulan oleh suatu objek merupakan ukuran pemantulan sebuah objek
untuk memantulkan radiasi matahari pada panjang gelombang tertentu
(Prasasti 2004). Setiap jenis objek memiliki albedo yang berbeda-beda
sesuai dengan kondisi permukaannya (Nugroho 2001).
Kota Jakarta telah dipenuhi oleh para pemukim dan menjadi pusat
perekonomian, sehingga dipadati oleh bangunan-bangunan tinggi dan saling
berhimpitan. Hal ini menimbulkan resiko meningkatnya suhu udara,
dikarenakan semakin banyaknya elemen yang memancarkan panas matahari
serta adanya panas hasil dari aktivitas manusia yang diantaranya
menghasilkan gas-gas rumah kaca seperti karbondioksida, karbonmonoksida,
dan metana. Kondisi tersebut diperparah dengan berkurangnya jumlah
vegetasi yang berfungsi sebagai penahan radiasi matahari sekaligus
menyerap karbondioksida. Sehingga suhu udara di pusat kota berbeda jauh
dengan suhu udara di pinggir kota yang disebut dengan urban heat island
(Sangkertadi dan Syafriny 2008).
Menurut Irwan (2005), urban heat island merupakan suatu fenomena
dimana suhu udara di lokasi yang padat bangungan lebih tinggi
dibandingkan dengan suhu terbuka di sekitarnya. Alcoforado dan Andrade
(2008) menyatakan urban heat island adalah fenomena perbedaan suhu
yang signifikan antara daerah perkotaan dengan daerah pedesaan di
3
sekitarnya. Fenomena ini pertama kali ditemukan oleh seorang ahli
meteorologi bernama Luke Howard pada tahun 1818, disebut juga pulau
bahang kota karena berupa suatu kawasan yang apabila ditarik garis isoterm
akan membentuk seperti pulau dan semakin ke pusat intensitas suhu akan
meningkat. Rosenberg (2005) menyatakan bahwa perbedaan suhu udara
pada urban heat island dapat mencapai 11 ºC lebih tinggi daripada daerah di
sekitarnya, yang terjadi pada Central Business District (CBD), areal
komersil, dan pemukiman di suburban.
Hutan kota mampu mengurangi dampak negatif dari aktivitas kota,
sehingga sangat diperlukan untuk mendukung kehidupan yang sehat. Salah
satunya adalah mengatur iklim mikro. Penentuan jenis vegetasi sebagai
penyusun hutan kota turut berperan penting dalam memaksimalkan fungsi
hutan kota sebagai pengatur iklim mikro. Sehingga penggunaan lahan dalam
hutan kota lebih efektif, mengingat luasan RTH yang cenderung menurun.
Pengukuran albedo pada beberapa jenis vegetasi sebagai salah satu faktor
penentu iklim mikro perlu dilakukan agar dapat diketahui efektifitas
keberadaannya di hutan kota dalam mengurangi kenaikan suhu suatu areal
di Kota Jakarta.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mempelajari kaitan antara
keragaman nilai albedo dengan suhu permukaan beberapa jenis vegetasi di
Hutan Kota Srengseng, Jakarta Barat.
Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan
pertimbangan bagi pemerintah setempat dalam pengembangan hutan kota
selanjutnya terutama dalam upaya memperbaiki iklim mikro serta mengatasi
fenomena urban heat island.
METODE
Ruang Lingkup Penelitian
Pembangunan yang terjadi secara berkelanjutan di DKI Jakarta akan
meningkatkan luasan lahan terbangun dan menurunkan luasan RTH yang
mana akan mempengaruhi nilai albedo permukaan, suhu permukaan, dan
emisi termal di kota tersebut. Albedo permukaan, suhu permukaan, dan
emisi termal merupakan beberapa variabel yang menentukan keseimbangan
energi di permukaan yang selanjutnya akan mempengaruhi suhu udara.
Secara konseptual, disajikan pada Gambar 1.
4
Pembangunan di
DKI Jakarta
Penurunan
Luasan RTH
Lahan Terbangun Meningkat
Albedo
Suhu Permukaan
Emisi Termal
Keseimbangan
Energi di Permukaan
Suhu Udara
Gambar 1 Kerangka pemikiran hubungan variabel albedo dengan suhu
udara
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Hutan Kota Kelurahan Srengseng,
Kecamatan Kembangan, Kotamadya Jakarta Barat. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2013. Pemilihan lokasi penelitian
didasarkan atas lokasinya yang berada di antara jalan raya dan areal
pemukiman. Selain itu, hutan kota ini juga memiliki fungsi ganda, yaitu
sebagai salah satu ruang terbuka hijau di areal permukiman Jakarta Barat
dan sebagai tempat rekreasi.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: alat
tulis, meteran, kamera digital, termometer infra-merah Minolta, termometer
bola basah-bola kering, perangkat lunak pengolah citra GetPixels, dan
Microsoft Excel 2010. Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah: aquades, vegetasi di hutan kota dan objek di lahan terbuka.
5
Metode Pengumpulan Data
Jenis Data yang Dikumpulkan
Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini diuraikan pada Tabel
1.
Tabel 1 Jenis data dan metode pengumpulan data
No.
1.
Jenis Data
Nilai albedo
Aspek yang Dikaji
Albedo vegetasi hutan kota
Albedo objek pada lahan
terbuka
Metode
Pengamatan dan
Pengukuran
langsung
2.
Komponen iklim
mikro pada
hutan kota dan
lahan terbuka
Suhu udara
Suhu permukaan
Kelembaban udara
Pengamatan dan
Pengukuran
langsung
3.
Kondisi hutan
kota
Jenis vegetasi hutan kota
Pengamatan dan
Tinggi dan diameter batang Pengukuran
vegetasi
langsung
Morfologi tajuk dan daun
Pengamatan dan Pengukuran
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah pengamatan dan
pengukuran lapang. Pengukuran dilakukan terhadap gambar objek hasil
potret dengan menggunakan kamera digital yang diatur secara manual.
Gambar vegetasi hutan kota dan objek di lahan terbuka diolah dengan
menggunakan perangkat lunak GetPixels untuk mendapatkan data piksel
RGB. Data piksel ini yang selanjutnya dikonversi menjadi nilai albedo.
Pengambilan gambar objek dilakukan pada pukul 09.00-15.30 WIB dengan
tiga kali ulangan yaitu pada pagi hari pukul 09.00-09.30 WIB, siang pukul
12.00-12.30 WIB, dan sore pukul 15.00-15.30 WIB. Pada saat pengambilan
gambar, objek disandingkan dengan papan yang telah dilapisi kertas karton
berwarna hitam dan putih sebagai bahan pembanding.
Pengukuran suhu dan kelembaban udara dilakukan dengan
menggunakan termometer bola basah-bola kering. Sensor termometer bola
basah-bola kering diletakkan pada ketinggian 1.2 meter dari permukaan
tanah yang ternaungi tajuk dan permukaan tanah yang tidak ternaungi tajuk.
Kemudian suhu permukaan diukur dengan menggunakan termometer inframerah pada permukaan objek. Pengukuran suhu udara, kelembaban udara,
dan suhu permukaan dilakukan pada pukul 09.00-15.30 WIB.
Studi Pustaka
Studi pustaka dilakukan dengan tujuan untuk mengumpulkan berbagai
informasi mengenai hutan kota, iklim mikro, dan albedo. Studi pustaka yang
menjadi data awal diambil dari berbagai sumber antara lain, buku-buku,
skripsi, tesis, disertasi, jurnal dan dokumen lainnya. Berbagai data tersebut
6
diperoleh dari perpustakaan Institut Pertanian Bogor dan tempat lainnya
yang menunjang informasi bagi penelitian ini.
Analisis Data
Data dari setiap objek yang diperoleh berupa gambar foto. Setiap
gambar objek di ambil sampel sebanyak 10x10 data pixel. Pada satu gambar
objek vegetasi diambil sampel pada bagian yang terpapar sinar matahari,
bagian yang cenderung gelap, secara acak, bagian yang berwarna putih dan
yang berwarna gelap. Pada gambar non vegetasi pengambilan sampel
dilakukan pada bagian yang terpapar sinar matahari, bagian yang berwarna
putih dan hitam. Gambar sampel dapat dilihat pada Lampiran 7.
Gambar vegetasi hutan kota dan objek di lahan terbuka dianalisa
dengan menggunakan perangkat lunak pengolah citra untuk mendapatkan
data piksel RGB. Data piksel ini selanjutnya dikonversi menjadi nilai albedo
dengan menggunakan pengolah spread sheet Microsoft Excel. Warna hitam
pada data piksel berupa angka 0 yang setara dengan angka 0 pada nilai
albedo dan warna putih berupa angka 255 yang setara dengan angka 1 pada
nilai albedo. Namun angka pada piksel tersebut dipengaruhi oleh sudut
datang cahaya dan bahan yang digunakan sebagai pembanding warna hitam
dan putih terhadap objek sehingga diperlukan koreksi untuk data pixel
warna hitam dan putih. Nilai albedo permukaan vegetasi hutan kota dan
pada objek di lahan terbuka di sekitarnya diperoleh dengan menggunakan
rumus sebagai berikut:
Keterangan:
Albedo ~ sinar matahari yang dipantulkan/sinar matahari yang datang
= albedo
= nilai pixel objek-nilai pixel hitam
= nilai pixel putih-nilai pixel hitam
Selanjutnya nilai x dan y dianalisis hubungannya melalui pendekatan
regresi linier dengan persamaan sebagai berikut (Walpole 1982):
Keterangan:
= peubah tak bebas (peubah acak)
= konstanta
= koefisian regresi peubah bebas
= peubah bebas
Data nilai albedo yang diperoleh berdasarkan pengukuran terhadap
tiap-tiap objek diolah kemudian dibandingkan dan dianalisa. Analisis ini
digunakan untuk menjelaskan hubungan antara peubah tak bebas dengan
peubah bebasnya. Perhitungan yang dilakukan adalah perhitungan antara
nilai suhu permukaan ( ) dengan nilai albedo permukaan ( ).
7
Data suhu udara, suhu permukaan, dan kelembaban udara selanjutnya
akan dianalisa dan ditampilkan dalam bentuk grafik dan diagram batang.
Lalu dibandingkan antara nilai yang dihasilkan pada vegetasi hutan kota dan
objek pada lahan terbuka.
Berbagai data yang diperoleh dari studi pustaka selanjutnya akan
dianalisa secara kualitatif. Selanjutnya dilakukan penyederhanaan data yang
diperoleh dari lapangan, sehingga dapat mengorganisasi data sedemikian
rupa agar mendapat data utama yang menjadi pokok penelitian serta
mendapatkan kesimpulan akhir. Penyajian data dilakukan secara naratif
deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
DKI Jakarta mempunyai luas wilayah ± 650 km2 termasuk wilayah
daratan Kepulauan Seribu yang tersebar di teluk Jakarta. Secara geografis
wilayah DKI Jakarta terletak antara 106°22’ 42" BT sampai 106°58’ 18" BT
dan 5°19’ 12" LS sampai 6°23’ 54" LS. Sebelah Utara DKI Jakarta
berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten
Bekasi, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor, dan sebelah
Barat berbatasan dengan Kabupaten Tangerang.
Berdasarkan keadaan topografinya wilayah DKI Jakarta
dikatagorikan sebagai daerah datar dan landai. Ketinggian tanah dari pantai
sampai ke banjir kanal berkisar antara 0 m sampai 10 m di atas permukaan
laut yang diukur dari titik nol Tanjung Priok. Sedangkan dari banjir kanal
sampai batas paling Selatan dari wilayah DKI antara 5 m sampai 50 m di
atas permukaan laut. Daerah pantai merupakan daerah rawa atau daerah
yang selalu tergenang air pada musim hujan. Di daerah bagian Selatan banjir
kanal terdapat perbukitan rendah dengan ketinggian antara 50 m sampai 75
m.
Wilayah DKI Jakarta termasuk kedalam tipe iklim D menurut
klasifikasi iklim Schmit Ferguson dengan curah hujan rata-rata sepanjang
tahun 2000 mm. Wilayah DKI Jakarta termasuk daerah tropis beriklim
panas dengan suhu rata-rata per tahun 28 °C dengan kelembaban antara 80%
sampai 90% (Wardhana 2009). Temperatur tahunan maksimum 32 °C dan
minimum 22 °C. Kecepatan angin rata-rata 11.2 km/jam (Kementrian
Kehutanan 2012).
Hutan kota Srengseng memiliki luas 17,3 hektar, dibangun pada tahun
1993 pada era kepemimpinan Gubernur R. Suprapto (Dinas Pertanian dan
Kehutanan DKI Jakarta 1998). Pada awalnya kawasan ini merupakan TPA
sampah, namun karena peruntukan kawasan ini sudah tidak sesuai lagi
dengan kawasan di sekitarnya yang merupakan tempat bermukim, maka
dibangun hutan kota. Hutan kota ini memiliki ratusan tegakan yang terdiri
dari 65 jenis pohon. Hutan kota ini juga memiliki kebun bibit seluas 2.5
hektar. Terdapat danau yang dibentuk dekat aliran Kali Pesanggrahan.
8
Keberadaan fauna semakin mendukung keindahan hutan kota ini dan
menjadi daya tarik bagi pengunjung.
Albedo Permukaan
Pengukuran albedo dilakukan pada vegetasi hutan kota, rumput,
permukaan jalan, tanah, dan air danau. Albedo vegetasi yang diukur antara
lain jenis jati (Tectona grandis), bauhinia (Bauhinia purpurea), gmelina
(Gmelina arborea), bintaro (Cerbera manghas). Pengukuran albedo pada
rumput, permukaan jalan, tanah dan air dilakukan sebagai pembanding
terhadap albedo vegetasi hutan kota. Albedo berbagai jenis permukaan
tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Sudut datang sinar matahari
mempengaruhi radiasi yang diterima oleh suatu objek (Handoko 1993).
Pada siang hari posisi matahari berada pada ketinggian tertinggi dan
memberikan radiasi maksimum, sehingga energi yang masuk jauh lebih
banyak bila dibandingkan pada pagi atau sore hari, akibatnya energi
tersimpan pada permukaan objek jauh lebih banyak pada siang hari. Seperti
yang dinyatakan oleh Monteith (1975) bahwa radiasi matahari yang diterima
permukaan horizontal meningkat seiring dengan meningkatnya ketinggian
matahari tetapi menurun seiring dengan meningkatnya transparansi atmosfer.
Hasil yang diperoleh menunjukan adanya beberapa penyebab yang
mempengaruhi albedo objek yang terukur. Hal ini terjadi karena posisi
pengambilan gambar objek yang memiliki sudut elevasi, pengambilan
gambar dari udara yang tidak memungkinkan untuk dilakukan, dan
terhalang oleh awan pada saat pengambilan data, sehingga energi sinar
matahari yang masuk tidak maksimal. Tabel 2 memuat nilai rata-rata albedo
pada berbagai permukaan pada siang hari.
Tabel 2 Rata-rata albedo permukaan vegetasi hutan kota, rumput,
permukaan jalan, tanah, dan air pada siang hari
Jenis
Bauhinia
Bintaro
Gmelina
Jati
Jalan
Air
Rumput
Tanah liat lembab
Albedo
(%)
84
78
89
98
44
79
33
36
Albedo Permukaan Tajuk Vegetasi Hutan Kota
Pemilihan jenis vegetasi untuk pengukuran albedo didasarkan pada
letaknya yang tidak ternaungi dan jumlahnya cukup banyak juga letak antar
tiap individu yang tidak terlalu berjauhan, sehingga data yang didapatkan
lebih akurat. Berdasarkan Lampiran 1 diketahui bahwa nilai albedo jati
9
berkisar antara 96-100% dengan albedo rata-rata 98%, gmelina berkisar
antara 86-93% dengan albedo rata-rata 89%, bauhinia berkisar antara 8091% dengan albedo rata-rata 84%, dan bintaro berkisar antara 75-81%
dengan albedo rata-rata 78%. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa
jati memiliki nilai albedo tertinggi.
Albedo vegetasi dipengaruhi oleh kilap daun, warna daun, dan
struktur permukaan daun (Monteith 1975). Ini menyebabkan albedo tiap
jenis berbeda. Albedo permukaan tajuk vegetasi yang diperoleh jauh
melebihi nilai albedo permukaan vegetasi yang dinyatakan oleh Stull (2000)
bahwa nilai albedo vegetasi berkisar antara 10-23%. Ini dikarenakan
perbedaan letak geografis vegetasi yang ditelitinya. Indonesia yang beriklim
tropis menyebabkan jumlah radiasi matahari yang diterima dan dipantulkan
lebih besar dibandingkan dengan negara yang tidak beriklim tropis. Nilai
albedo permukaan tajuk lebih rendah dari nilai albedo permukaan daun
vegetasi. Perbedaan orientasi daun pada tajuk menyebabkan keberagaman
arah pantulan radiasi sehingga saling meredam dan membentuk area yang
lebih gelap. Rata-rata albedo permukaan tajuk pada beberapa jenis vegetasi
hutan kota dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3 Rata-rata albedo permukaan tajuk vegetasi hutan kota
Jenis
Bauhinia
Bintaro
Gmelina
Jati
Albedo
(%)
33
51
79
70
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hirai et al. (1999)
diketahui bahwa selama musim kemarau albedo rata-rata tegakan jati
bernilai antara 18-30%, sedangkan pada saat musim hujan, albedo tegakan
jati berkisar antara 21-31%. Perbedaan albedo jati tersebut dengan data
albedo jati pada tabel 3 disebabkan oleh perbedaan metode yang digunakan.
Albedo Permukaan Objek Terbuka
Objek terbuka yang diukur adalah jalan yang terbuat dari susunan
paving block, tanah liat lembab di sekitar vegetasi yang terpapar sinar
matahari, air danau buatan yang berada di dalam kawasan hutan kota, dan
rumput gajah mini (Axonopus compressus). Lampiran 1 menunjukan bahwa
nilai albedo air danau berkisar antara 69-96 % dengan nilai rata-rata albedo
79%. Jalan memiliki nilai albedo berkisar antara 43-47% dengan rata-rata
albedo sebesar 44%. Tanah liat lembab memiliki nilai albedo berkisar antara
15-52% dengan albedo rata-rata sebesar 36%. Sedangkan albedo pada
rumput berkisar antara 29-38% dengan albedo rata-rata sebesar 33%.
Menurut Stull (2000) albedo permukaan perairan dalam berkisar antara 520%, pada tanah abu-abu yang lembab berkisar antara 6-8%, dan bangunan
9%. Berdasarkan data pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa air memiliki albedo
10
yang paling tinggi diantara objek lahan terbuka lainnya, karena air lebih
banyak memantulkan radiasi matahari.
Iklim Mikro
Suhu Permukaan
Suhu permukaan pada siang hari lebih tinggi bila dibandingkan pada
pagi dan sore hari. Energi maksimal yang tersimpan saat siang hari pada
objek mempengaruhi suhu permukaannya. Nilai suhu permukaan rata-rata
tiap objek dapat dilihat pada Lampiran 3. Perbandingan suhu permukaan
vegetasi hutan kota, jalan, tanah lembab, air danau, dan rumput dapat dilihat
pada Gambar 2.
Suhu
Permukaan
(ºC)
45.0
40.0
35.0
30.0
25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
pagi
siang
sore
Jenis
Objek
Gambar 2 Suhu permukaan rata-rata
Berdasarkan Lampiran 3 diketahui suhu permukaan vegetasi bauhinia
sebesar 33 ºC, gmelina sebesar 35 ºC, jati sebesar 35 ºC, bintaro sebesar 36
ºC, sedangkan suhu permukaan air sebesar 33 ºC, tanah sebesar 34 ºC,
rumput sebesar 37 ºC, dan jalan sebesar 39 ºC. Bauhinia memiliki suhu
permukaan yang paling rendah diantara suhu permukaan vegetasi hutan kota
lainnya. Suhu permukaan pada vegetasi selain dipengaruhi oleh albedo
permukaan juga dipengaruhi oleh morfologi daun, warna daun dan
kandungan air pada daun (Madgosky 2004; Monteith 1975). Semakin tinggi
kandungan air pada daun akan semakin meningkatkan kapasitas endotermal.
Menurut Arisanti (2005) daun bauhinia memiliki lapisan lilin yang
mempengaruhi ketahanan terhadap hilangnya air dari lapisan daun sehingga
membuat suhu permukaannya rendah. Jalan memiliki suhu permukaan yang
paling tinggi diantara objek lainnya. Kadar air permukaan jalan sangat
rendah sehingga kapasitas endotermal pada permukaan jalan sedikit. Ini
menyebabkan energi termal yang diterima akan lebih cepat memanaskan
badan objek dan akan mudah meningkatkan suhu permukaan jalan.
11
Suhu dan Kelembaban Udara
Suhu udara yang diukur pada lokasi penelitian adalah lokasi yang
ternaungi dan lokasi yang tidak ternaungi. Suhu udara di lokasi yang
ternaungi pada pagi hari (09.00-10.00 WIB) berkisar antara 28-29 ºC, pada
siang hari (12.00-13.00 WIB) berkisar antara 30-31 ºC, dan pada sore hari
(14.30-15.30 WIB) berkisar antara 31-32 ºC. Suhu udara di lokasi yang
tidak ternaungi berkisar antara 30-31 ºC pada pagi hari (09.00-10.00 WIB),
33-35 ºC pada siang hari (12.00-13.00 WIB), dan pada sore hari (14.3015.30 WIB) suhu tetap sebesar 30 ºC. Nilai suhu udara dan kelembaban
udara dari jam 09.00-15.30 WIB dapat dilihat pada Lampiran 5. Nilai suhu
udara di lokasi tersebut dari waktu ke waktu dapat dilihat pada Gambar 3.
Ternaungi
15.00-15.15
14.30-14.45
14.00-14.15
13.30-13.45
13.00-13.15
12.30-12.45
12.00-12.15
11.30-11.45
11.00-11.15
10.30-10.45
Tidak Ternaungi
10.00-10.15
09.30-09.45
09.00-09.15
Suhu Udara
(°C)
40
35
30
25
20
15
10
5
0
Waktu
Gambar 3 Suhu udara Hutan Kota Srengseng
Suhu udara di lokasi yang tidak ternaungi lebih tinggi dibandingkan
dengan lokasi yang ternaungi oleh tajuk pada selang waktu 09.00-13.00
WIB, karena vegetasi hutan kota dapat menyerap panas melalui mekanisme
penyerapan cahaya matahari yang sebagian dimanfaatkan dalam proses
fotosintesis, sehingga radiasi panas matahari tidak memanaskan suhu udara
di sekitar vegetasi tersebut yang berdampak pada efek pendinginan. Namun
berbeda dengan suhu udara di lokasi yang tidak ternaungi, di lokasi tersebut
terdapat jalan yang terbuat dari paving block. Seperti yang dinyatakan oleh
Dahlan (2011) bahwa jalan, aspal, paving, tembok dan atap gedung,
merupakan sebagian contoh dari permukaan kota yang berpotensi menaikan
suhu udara melalui refleksi, transmisi, dan absorbsi radiasi matahari.
Pada selang waktu 13.00-15.30 suhu udara di lokasi yang ternaungi
lebih tinggi bila dibandingkan dengan lokasi yang tidak ternaungi. Ini
disebabkan radiasi balik (reradiasi) dari bumi yang tertahan oleh tajuk
(Miller 1988; Dahlan 1992). Pada saat radiasi matahari yang diterima
semakin sedikit, proses fotosintesis pada tumbuhan semakin berkurang
sedangkan proses respirasi terus berlangsung, sehingga akan meningkatkan
12
konsentrasi CO2 di udara. CO2 merupakan salah satu penyerap radiasi
gelombang panjang yang efektif (Handoko 1993).
Kelembaban udara di lokasi yang ternaungi berkisar antara 66-85%
dengan rata-rata sebesar 73%. Pada lokasi yang tidak ternaungi kelembaban
udara berkisar antara 66-79% dengan rata-rata sebesar 72%. Secara
keseluruhan, kelembaban udara di Hutan Kota Srengseng berkisar antara 7273%. Perbandingan kelembaban udara di lokasi yang ternaungi oleh tajuk
dan di lokasi yang tidak ternaungi dapat dilihat pada Gambar 4.
Kelembaban
Udara (%)
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Ternaungi
Tidak Ternaungi
Waktu
Gambar 4 Kelembaban udara Hutan Kota Srengseng
Kelembaban udara dengan suhu udara memiliki keterkaitan, semakin
tinggi suhu udara maka akan rendah kelembabannya. Ini sesuai dengan data
yang diperoleh. Kelembaban udara pada pepohonan berkisar antara 66-92%
dan pada areal aspal dan jalan berkisar antara 62-78% (Wenda 1991 diacu
dalam Dahlan 2004).
Kemampuan Vegetasi Hutan Kota dalam Mempengaruhi Iklim Mikro
Kemampuan vegetasi hutan kota dalam mempengaruhi suhu di
sekitarnya selain dipengaruhi dengan albedo, juga dipengaruhi oleh
morfologi tajuk dan daun. Absorbsi radiasi matahari akan meningkat seiring
dengan meningkatnya ketebalan daun (Schulgin 1963). Cahaya matahari
yang diabsorpsi sebagian digunakan untuk proses fotosintesis dan
selebihnya untuk memanaskan daun, sehingga suhu permukaan daun lebih
rendah apabila dibandingkan dengan suhu permukaan objek non vegetasi
yang memiliki kadar air sangat rendah atau bahkan mendekati nol.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dahlan (2011) diketahui bahwa
semakin luas dan rapat permukaan tajuk yang terpapar cahaya matahari
maka akan semakin efektif dalam menyerap radiasi matahari. Berdasarkan
klasifikasi bentuk tajuk yang dinyatakan oleh Carpenter et al. (1975); Wang
(1979); Steven et al. (1994) dan bentuk daun oleh Tjitrosoepomo (1985)
diketahui bahwa pohon bauhinia (Bauhinia purpurea) memiliki bentuk tajuk
irregular dengan daun yang berbentuk ovate, bintaro (Cerbera manghas)
13
memiliki bentuk tajuk irreguler dengan daun yang berbentuk obovate,
gmelina (Gmelina arborea) memiliki bentuk tajuk round dengan bentuk
daun ovate, dan jati (Tectona grandis) memiliki bentuk tajuk irregular
dengan bentuk daun berupa elips (Gambar 5).
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 5 Vegetasi di Hutan Kota Srengseng: (a) Bauhinia (Bauhinia
purpurea), (b) Bintaro (Cerbera manghas), (c) Gmelina
(Gmelina arborea), (d) Jati (Tectona grandis)
Keberadaan vegetasi dalam mempengaruhi iklim mikro di sekitarnya
antara lain dengan cara menghalangi radiasi matahari yang masuk dan
mengubah beberapa energi matahari menjadi ikatan kimia melalui proses
fotosintesis (Robinette diacu dalam Miller 1988). Pada vegetasi dengan
bentuk tajuk yang memiliki posisi daun cenderung vertikal seperti pada jenis
bintaro memiliki penetrasi radiasi matahari yang tinggi dan memberikan
efek naungan yang tidak maksimal, sedangkan jenis vegetasi dengan
susunan daun yang cenderung horizontal seperti jati, gmelina, dan bauhinia
memiliki efek naungan yang lebih baik, karena radiasi matahari yang
terhalang oleh kumpulan daun. Namun untuk penanaman di areal perkotaan
perlu mempertimbangkan karakteristik jenis vegetasi yang disesuaikan
dengan peruntukannya.
Proses evapotranspirasi pada vegetasi juga merupakan penyebab
terbentuknya iklim mikro. Irwan (2008) menyatakan bahwa evapotranspirasi
merupakan pertukaran antara panas laten dan panas yang terasa (sensibel).
Udara sekitar akan kehilangan panas karena terjadinya evapotranspirasi
yang menyebabkan suhu di sekitar tanaman menjadi lebih sejuk. Menurut
14
Koto (1991), hutan kota mampu memodifikasi iklim mikro sebagai akibat
dari naungan, mengurangi kecepatan angin, meningkatkan radiasi
gelombang panjang, menahan tetes air hujan, menurunkan suhu udara
melalui evapotranspirasi dan meningkatkan kelembaban udara.
Hubungan Albedo dengan Suhu Permukaan dan Suhu Udara
Besarnya albedo permukaan, suhu permukaan dan suhu udara
dianalisis melalui perhitungan regresi linier. Suhu permukaan yang
digunakan adalah suhu permukaan vegetasi hutan kota dan objek di lahan
terbuka, begitupun halnya dengan albedo permukaan, yang digunakan
adalah albedo permukaan vegetasi hutan kota dan objek di lahan terbuka.
Sedangkan untuk suhu udara yang digunakan adalah suhu udara yang tidak
ternaungi. Nilai rata-rata albedo dan suhu permukaan dapat dilihat pada
Tabel 4.
Tabel 4 Rata-rata albedo permukaan vegetasi hutan kota dan objek lahan
terbuka serta suhu permukaannya (ºC) pada siang hari
Jenis
Albedo Permukaan
Suhu Permukaan
(%)
(ºC)
Bauhinia
84
35
Bintaro
78
36
Gmelina
89
38
Jati
98
37
Jalan
44
43
Air
79
35
Rumput
33
42
Tanah
36
37
Persamaan regresi linier dari hubungan suhu permukaan dan albedo
permukaan adalah y=42,772-6,6772x. Berdasarkan penelitian Vukovich et
al. (1987) diperoleh korelasi negatif antar nilai albedo dengan suhu
permukaan. Gambar 5 menunjukan hubungan antara suhu permukaan
dengan albedo permukaan.
Suhu
Permukaan
50.0
45.0
40.0
35.0
30.0
25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
pagi
siang
sore
Linear
(siang)
y = 42.772-6.6772x
Albedo
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
Gambar 6 Hubungan suhu permukaan dengan albedo permukaan
15
Secara umum semakin tinggi albedo permukaan suatu objek maka
akan menurunkan suhu permukaan. Namun suhu permukaan pada vegetasi
selain dipengaruhi oleh albedo juga dipengaruhi oleh morfologi daun dan
tajuk.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Albedo permukaan suatu objek menentukan suhu permukaannya.
Secara umum semakin tinggi nilai albedo maka akan menurunkan suhu
permukaan. Suhu permukaan pada vegetasi selain dipengaruhi oleh albedo
permukaan juga dipengaruhi oleh morfologi daun dan tajuk. Semakin luas
permukaan tajuk dengan daun yang terpapar matahari akan semakin efektif
dalam mengabsorbsi radiasi matahari. Bauhinia dengan albedo permukaan
daun 84% memiliki suhu permukaan yang paling rendah (33 ºC) diantara
objek vegetasi lainnya yaitu gmelina (35 ºC), jati (35 ºC), dan bintaro (36
ºC). Secara umum suhu udara di tempat yang ternaungi oleh tajuk lebih
rendah dibandingkan dengan suhu udara di tempat yang tidak ternaungi
tajuk.
Saran
1. Pembangunan hutan kota perlu mempertimbangkan pemilihan jenis
vegetasi yang mempunyai albedo tinggi dan suhu permukaan rendah
agar fungsi hutan kota dalam perbaikan iklim mikro dapat maksimal.
2. Perlunya penelitian mengenai albedo pada jenis-jenis vegetasi lainnya
agar dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam membangun hutan kota.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi MI. 1994. Pengembangan hutan kota dalam kaitannya dengan
pembangunan wilayah di kotamadya Bandar Lampung [tesis]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Alcoforado MJ, Andrade H. 2008. Urban Ecology. Marzluff JM, editor.
Seattle (US): Springer.
Arisanti A. 2005. Adaptasi anatomis pohon roof garden [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Carpenter PL, Walker TD, Lanphear FO. 1975. Plants in the Landscape.
San Francisco (US): WH Freeman and Company.
Dahlan EN. 1992. Hutan Kota untuk Pengelolaan dan Peningkatan Kualitas
Lingkungan Hidup. Jakarta (ID): Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia.
16
Dahlan EN. 2004. Membangun Kota Kebun (Garden City) Bernuansa
Hutan Kota. Bogor (ID): IPB Press.
Dahlan. 2011. Potensi hutan kota sebagai alternatif substitusi fungsi alat
pendingin ruangan (Air Conditioner) [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Departemen Dalam Negeri. 1998. Instruksi menteri dalam negeri no. 14
tahun 1988 tentang: penataan RTH diwilayah perkotaan.
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi DKI Jakarta. 2012. Jumlah
penduduk Provinsi DKI Jakarta [Internet]. [diunduh 2013 Jan 2].
Tersedia pada:http://dki.kependudukancapil.go.id/?option=com_conte
nt&view=arti cle&id=4&Itemid=63.
Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta. 1998. Kondisi Umum Hutan
Kota Srengseng Jakarta Barat. Jakarta (ID): Dinas Pertanian dan
Kehutanan DKI Jakarta.
Effendy S. 2007. Keterkaitan ruang terbuka hijau dengan urban heat island
wilayah Jabotabek [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Fakuara Y. 1987. Konsepsi pengembangan hutan kota [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Fandeli C, Kaharuddin, Mukhlison. 2004. Perhutanan Kota, Cet. I.
Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.
Handoko. 1993. Klimatologi Dasar. Bogor (ID): PT Dunia Pustaka Jaya.
Hirai K, Sungkawang S, Tanaka H. 1999. Characteristics of albedo at two
types of tropical seasonal forests in Mae Klong Watershed Research
Station, Western Thailand. [Internet]. [diunduh 2013 Okt 22]. Tersedia
pada:http://agris.fao.org/agrissearch/search/display.do?f=2000%2FPH
%2FPH00013.xml%3BPH2000101055.
Irwan ZD. 1996. Membangun bentuk dan struktur hutan kota untuk
mengatasi kendala lahan perkotaan. Jurnal Arsitektur Lanskap
Indonesia 1/1/101996:6-11.
Irwan ZD. 2005. Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota. Jakarta
(ID): PT. Bumi Aksara.
Irwan ZD. 2008. Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota. Jakarta
(ID): PT. Bumi Aksara.
Kementrian Kehutanan. 1991. Rencana Umum Pengembangan Hutan Kota.
Direktorat jenderal reboisasi dan rehabilitasi lahan. Jakarta (ID):
Kementrian Kehutanan.
Kementrian Kehutanan. 2012. Gambaran umum Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta [Internet]. [diunduh 2013 Jan 2]. Tersedia pada:
http://www.dephut.go.id/INFORMASI/PROPINSI/DKI/umum_dki.ht
ml.
Koto E. 1991. Studi iklim mikro di Hutan Kota Manggala Wanabakti
Jakarta. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Lauhatta JH. 2007. Estimasi Kebutuhan Hutan Kota Menggunakan Citra
Ikonos dan Sistem Informasi Geografis (SIG) di Jakarta Selatan dan
Jakarta Timur [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
[LAPAN] Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. 2013. Data CO
(Karbon Monoksida) [Internet]. [diunduh 2013 Agu 30]. Tersedia
pada: http://www.dirgantara-lapan.or.id/jizonpolud/htm/co.htm.
17
Madigosky SR. 2004. Forest Canopies 2nd ed. Lowman MD, Rinker HB,
editor. Burlington (US): Elsevier Inc.
Mas’at A. 2009. Efek pengembangan perkotaan terhadap kenaikan suhu
udara di wilayah DKI Jakarta. Agromet. 23 (1):52-60,2009.
Miller RW. 1988. Urban Forestry: Planning and Managing Urban
Greenspaces. Englewood Cliffs (NJ): Prentice-Hall Inc.
Monteith. 1975. Vegetation and the Atmosphere. London (UK): Academic
Press Inc.
Nugroho Y. 2001. Dampak perubahan input albedo permukaan GCM
CSIRO-9 terhadap iklim regional Indonesia [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Pemerintah DKI Jakarta. 2008. Peraturan daerah provinsi DKI Jakarta
Nomor 1 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah Tahun 2007-2012.
Pemerintah Republik Indonesia. 2002. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota. Jakarta (ID):
Sekretariat Negara.
Prasasti I. 2004. Analisis hubungan penutup lahan dan parameter turunan
data pengideraan jauh dengan albedo permukaan [tesis]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Rosenberg. 2005. Urban heat island [Internet]. [diunduh 2013 Jan 2].
Tersedia pada: http://geography.about.com/od/urbaneconomicgeograp
hy/a/urbanheatisland.htm.
Rumondang D. 2011. Penurunan nilai albedo dan suhu permukaan dari data
terra MODIS LIB untuk klasifikasi awan [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Rushayati SB, Alikodra HA, Dahlan EN, Purnomo H. 2011. Pengembangan
ruang terbuka hijau berdasarkan distribusi suhu permukaan di
Kabupaten Bandung. Forum Geografi. 25(1):17-26.
Sangkertadi, Syafriny R. 2008. Upaya peredaman laju peningkatan suhu
udara perkotaan melalui optimasi penghijauan. EKOTON. 8(2):41-48.
Schulgin IA. 1963. Morphophysiological Adaptation of Plant to Light.
Moscow (RU): Moscow University Press.
Stull RB. 2000. Meteorology for Scientists and Engineers. 2d ed. Brooks
(CA): Thomson Learning.
Stevens D, Huntington L, Key R. 1994. Garden Design, Construction and,
Planting. London (UK): Ward Lock.
Sulistyantara B. 2005. Materi perkuliahan ruang terbuka hijau. IPB. Bogor.
Tidak Dipublikasikan.
Tjitrosoepomo G. 1985. Morfologi Tumbuhan.Yogyakarta (ID): Gadjah
Mada University Press.
Vukovich, Troll FM, Murphy DL, Robert E. 1987. Surface temperature dan
albedo relationships in senegal derived from NOAA-7 satellite data.
Remote Sensing of Environment. 22:413.
Walpole RE. 1982. Introduction to Statistics. Ed ke-3. Jakarta (ID): PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Wang TC. 1979. Plan and Section Drawing. New York (US): Van Nostrand
Reinhold.
18
Wardhana YMA. 2009. Estimasi kebutuhan hutan kota di Kotamadya
Jakarta Pusat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
19
Lampiran 1 Albedo dan suhu permukaan (14 Juni 2013)
Jenis
Bauhinia 1
Bauhinia 2
Bauhinia 3
Bintaro 1
Bintaro 2
Gmelina 1
Gmelina 2
Gmelina 3
Jati 1
Jati 2
Jati 3
Jalan 1
Jalan 2
Jalan 3
Air 1
Air 2
Air 3
Rumput 1
Rumput 2
Rumput 3
Tanah 1
Tanah 2
Tanah 3
Albedo
(%)
78
65
77
98
98
88
95
89
98
77
67
55
51
56
100
100
99
97
99
95
34
57
36
Pagi
Suhu Permukaan
(ºC)
33.6
32.9
33.1
33.9
33.1
33.3
33.1
33.5
33.6
35.6
34.8
37.4
35.8
34.0
30.3
30.6
30.8
35.9
35.2
35.2
32.6
32.8
32.4
Albedo
(%)
80
91
80
81
75
86
93
88
100
98
96
43
47
43
69
71
96
32
38
29
40
15
52
Siang
Suhu Permukaan
(ºC)
35.1
34.8
35.6
38.7
41.0
38.6
36.6
38.1
37.0
37.3
37.5
42.2
42.1
43.1
34.6
36.2
33.4
41.6
43.8
41.3
40.0
36.2
36.0
Albedo
(%)
10
74
47
94
49
52
70
57
13
49
58
59
54
71
99
56
98
39
44
29
17
15
14
Sore
Suhu Permukaan
(ºC)
32.0
31.7
32.2
34.6
35.2
33.7
33.9
34.1
33.1
33.2
33.5
36.9
36.7
38.3
32.5
32.7
32.3
34.3
33.8
33.2
33.7
32.5
31.5
19
20
Lampiran 2 Rata-rata albedo permukaan objek
Jenis
Bauhinia 1
Bauhinia 2
Bauhinia 3
Waktu
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
Rata-rata
Bintaro 1
Bintaro 2
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
Rata-rata
Gmelina 1
Pagi
Siang
Sore
Gmelina 2
Pagi
Siang
Sore
Gmelina 3
Pagi
Siang
Sore
Rata-rata
Jati 1
Pagi
Siang
Sore
Jati 2
Pagi
Siang
Sore
Jati 3
Pagi
Siang
Sore
Rata-rata
Jalan 1
Pagi
Siang
Sore
Jalan 2
Pagi
Siang
Sore
Jalan 3
Pagi
Siang
Albedo Permukaan (%)
78
80
10
65
91
74
77
80
47
67
98
81
94
98
75
49
83
88
86
52
95
93
70
89
88
57
80
98
100
13
77
98
49
67
96
58
73
55
43
59
51
47
54
56
43
21
Lampiran 2 Rata-rata albedo permukaan objek (lanjutan)
Jenis
Waktu
Sore
Rata-rata
Air 1
Air 2
Air 3
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
Rata-rata
Rumput 1
Pagi
Siang
Sore
Rumput 2
Pagi
Siang
Sore
Rumput 3
Pagi
Siang
Sore
Rata-rata
Tanah 1
Pagi
Siang
Sore
Tanah 2
Pagi
Siang
Sore
Tanah 3
Pagi
Siang
Sore
Rata-rata
Albedo Permukaan (%)
71
53
100
69
99
100
71
56
99
96
98
88
97
32
39
99
38
44
95
29
29
56
34
40
17
57
15
15
36
52
14
31
22
Lampiran 3 Data suhu permukaan (14 Juni 2013)
Jenis
Bauhinia 1
Waktu
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
Bauhinia 2
Bauhinia 3
Rata-rata
Bintaro 1
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
Bintaro 2
Rata-rata
Gmelina 1
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
Gmelina 2
Gmelina 3
Rata-rata
Jati 1
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
Jati 2
Jati 3
Rata-rata
Jalan 1
Jalan 2
Jalan 3
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Suhu Permukaan (ºC)
33.6
35.1
32.0
32.9
34.8
31.7
33.1
35.6
32.2
33.4
33.9
38.7
34.6
33.1
41.0
35.2
36.1
33.3
38.6
33.7
33.1
36.6
33.9
33.5
38.1
34.1
35.0
33.6
37.0
33.1
35.6
37.3
33.2
34.8
37.5
33.5
35.1
37.4
42.2
36.9
35.8
42.1
36.7
34.0
43.1
23
Lampiran 3 Data suhu permukaan (lanjutan)
Jenis
Waktu
Sore
Rata-rata
Air 1
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
Air 2
Air 3
Rata-rata
Rumput 1
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
Rumput 2
Rumput 3
Rata-rata
Tanah 1
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
Tanah 2
Tanah 3
Rata-rata
Suhu Permukaan (ºC)
38.3
38.5
30.3
34.6
32.5
30.6
36.2
32.7
30.8
33.4
32.3
32.6
35.9
41.6
34.3
35.2
43.8
33.8
35.2
41.3
33.2
37.1
32.6
40.0
33.7
32.8
36.2
32.5
32.4
36.0
31.5
34.2
21
24
Lampiran 4 Suhu permukaan tiap objek
Suhu Permukaan
50.0
45.0
40.0
35.0
30.0
Pagi
25.0
Siang
20.0
Sore
15.0
10.0
5.0
0.0
Lampiran 5 Data suhu dan kelembaban udara (14 Juni 2013)
Termometer A
(ternaungi)
Waktu
Dry (ºC)
28
28
29
29
29
30
30
30
30
30
30
30
30
31
31
31
34
32
32
31
31
32
Kelembaban
(%)
85
85
78
78
78
72
72
72
72
72
72
78
72
72
72
72
68
66
66
72
72
73
25
09.00-09.15
09.15-09.30
09.30-09.45
09.45-10.00
10.00-10.15
10.15-10.30
10.30-10.45
10.45-11.00
11.00-11.15
11.15-11.30
11.30-11.45
11.45-12.00
12.00-12.15
12.15-12.30
12.30-12.45
12.45-13.00
13.00-13.15
13.15-13.30
13.30-13.45
13.45-14.00
14.00-14.15
14.15-14.30
Wet
(ºC)
26
27
26
26
26
26
26
26
26
26
26
27
26
27
27
28
29
27
27
27
27
28
Termometer B
(tidak ternaungi)
Wet Kelembaban
Dry (ºC)
(ºC)
(%)
30
27
78
30
27
78
31
27
72
31
28
79
31
28
79
32
27
66
32
27
66
32
28
66
33
28
67
33
28
67
34
29
68
34
29
68
35
29
63
34
29
68
34
29
68
33
29
73
30
27
78
30
26
72
30
27
78
30
27
78
30
27
78
30
27
78
26
Lampiran 5 Data suhu udara dan kelembaban udara (lanjutan)
Termometer A
(ternaungi)
Waktu
Wet
(ºC)
28
27
26
26
Dry (ºC)
14.30-14.45
14.45-15.00
15.00-15.15
15.15-15.30
Rata-Rata
31
32
31
31
Kelembaban
(%)
79
66
66
66
73
Termometer B
(tidak ternaungi)
Wet Kelembaban
Dry (ºC)
(ºC)
(%)
30
27
78
30
26
72
30
26
72
30
26
72
72
Lampiran 6 Data vegetasi hutan kota
No.
Nama
Lokal
Nama Jenis
D1
D2
D3
(cm) (cm) (cm)
Tt
(m)
Tt2
(m)
Tt3
(m)
Bentuk
Daun
Bentuk
Tajuk
Jati
Tectona grandis
24.6
27.5
23.6
11.9 13.6 17.0 elips
irregular
Bauhinia
Bauhinia
purpurea
8.7
8.9
9.9
3.4
11.0 13.0 ovate
irregular
Gmelina
Gmelina arborea
27.9
29.0
29.2
17.0 17.1 13.6 ovate
Bintaro
Cerbera manghas
5.1
3.6
-
8.5
4.3
-
obovate
round
irreguler
Keterangan
Vegetasi
kota
Vegetasi
kota
Vegetasi
kota
Vegetasi
kota
hutan
hutan
hutan
hutan
Lampiran 7 Hasil potongan gambar 10x10 piksel tiap objek
Pagi
Siang
Sore
Bintaro
Gmelina
Jati
Jalan
Air
Rumput
Tanah
27
Bauhinia
28
Lampiran 8 Peta lokasi penelitian Hutan Kota Srengseng
29
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 23 Mei
JENIS VEGETASI DI HUTAN KOTA SRENGSENG
FREISHILA KAWILARANG
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK
CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengukuran
Albedo dan Suhu Permukaan Beberapa Jenis Vegetasi di Hutan Kota
Srengseng adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana
pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, November 2013
Freishila Kawilarang
NIM E34090101
ABSTRAK
FREISHILA KAWILARANG. Pengukuran Albedo dan Suhu Permukaan
Beberapa Jenis Vegetasi di Hutan Kota Srengseng. Dibimbing oleh SITI
BADRIYAH RUSHAYATI dan BREGAS BUDIANTO.
Salah satu faktor penyebab terjadinya Urban Heat Island adalah
peningkatan luasan lahan terbangun dan penurunan luasan RTH. Ini
menentukan nilai albedo permukaan di wilayah tersebut. Albedo permukaan
merupakan perbandingan antara radiasi gelombang pendek yang
dipantulkan dengan radiasi gelombang pendek yang datang. Semakin tinggi
nilai albedo suatu objek maka akan semakin menurunkan suhu permukaan.
Selain itu, jenis bahan suatu objek juga menentukan suhu permukaannya.
Pengukuran albedo dilakukan dengan pemotretan objek menggunakan
kamera dengan perlakuan tingkat pencahayaan tetap. Data piksel yang
diperoleh selanjutnya dikonversi menjadi nilai albedo dengan menggunakan
pengolah spread sheet Microsoft Excel. Nilai albedo bauhinia bernilai antara
80-90% dengan nilai albedo rata-rata 83%, bintaro bernilai antara 70-80%
dengan nilai albedo rata-rata 75%, gmelina bernilai antara 80-90% dengan
nilai albedo rata-rata 85%, jati bernilai antara 90-100% dengan nilai albedo
rata-rata 95%. Suhu permukaan vegetasi bauhinia sebesar 33 ºC, bintaro
sebesar 36 ºC, gmelina sebesar 35 ºC, dan jati sebesar 35 ºC.
Kata kunci: albedo, hutan kota, iklim mikro
ABSTRACT
FREISHILA KAWILARANG. Albedo and Surface Temperature
Measurement of Some Vegetation in Srengseng Urban Forest. Supervised
by SITI BADRIYAH RUSHAYATI and BREGAS BUDIANTO.
Some of the causes of Urban Heat Island are the increasing of
developed area and decreasing of green open space. Both of them determine
the surface albedo in the region. Surface albedo is the ratio of reflected
short-wave radiation to the coming short-wave radiation. The higher albedo
of an object the more surface temperature lowers. In addition, the material
of an object also determines surface temperature. Albedo measurement was
done by photographing objects using a camera with a fixed illumination
level treatment. The pixel data have converted into albedo by used
Microsoft Excel spread sheet. The albedo values of bauhinia were about 8090% with average values of albedo were 83%, while albedo values of
bintaro ranged 70-80% with average values of albedo were 75%, gmelina
ranged 80-90% with average values of albedo were 85%, teak ranged 90100% with average values of albedo were 95%. The surface temperature of
bauhinia vegetation is 33 ºC, while bintaro is 36 ºC, gmelina is 35 ºC, and
teak is 35 ºC.
Keywords: albedo, microclimate, urban forest
PENGUKURAN ALBEDO DAN SUHU PERMUKAAN BEBERAPA
JENIS VEGETASI DI HUTAN KOTA SRENGSENG
FREISHILA KAWILARANG
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi : Pengukuran Albedo dan Suhu Permukaan Beberapa Jenis
Vegetasi di Hutan Kota Srengseng
Nama
: Freishila Kawilarang
NIM
: E34090101
Disetujui oleh
Dr Ir Siti Badriyah Rushayati. M Si
Pembimbing I
Ir Bregas Budianto. Ass Dipl
Pembimbing II
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Sambas Basuni. MS
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala kasih dan anugrah-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil
diselesaikan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana
Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata,
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Tema yang diambil dalam
penelitian ini adalah hutan kota dan iklim mikro dengan judul penelitian
Pengukuran Albedo dan Suhu Permukaan Beberapa Jenis Vegetasi di Hutan
Kota Srengseng.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Siti Badriyah
Rushayati. M Si dan Bapak Ir Bregas Budianto. Ass Dipl yang telah
senantiasa membimbing dan mengarahkan penulis dalam melaksanakan
penelitian dan dalam proses penulisan skripsi, juga penulis ucapkan terima
kasih kepada Adi Mulyadi. S Si dan Ayu Pradipta Diza yang telah
membantu penulis dalam pengolahan data, juga kepada para staf
Kementrian Lingkungan Hidup, Badan Lingkungan Hidup DKI Jakarta, dan
Kementrian Kehutanan yang telah membantu penulis dalam pengumpulan
data. Kepada keluarga dan Nehemia Agus Wijaya atas dukungan doa dan
kasih sayangnya, teman-teman Five Icon (Ratna, Tere, Grace, Vany), Cicely,
dan Helin yang telah memberikan banyak dukungan semangat dalam proses
penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun penulis harapkan demi
kesempurnaan penelitian selanjutnya.
Bogor, November 2013
Freishila Kawilarang
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan
3
Manfaat
3
METODE
3
Ruang Lingkup Penelitian
3
Waktu dan Lokasi Penelitian
4
Alat dan Bahan
4
Metode Pengumpulan Data
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
7
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
7
Albedo Permukaan
8
Iklim Mikro
SIMPULAN DAN SARAN
10
15
Simpulan
15
Saran
15
DAFTAR PUSTAKA
15
LAMPIRAN
19
DAFTAR TABEL
1 Jenis data dan metode pengumpulan data
2 Rata-rata albedo permukaan vegetasi hutan kota, rumput, permukaan
jalan, tanah, dan air pada siang hari
3 Rata-rata albedo permukaan tajuk vegetasi hutan kota
4 Rata-rata albedo permukaan vegetasi hutan kota dan objek lahan terbuka
serta suhu permukaannya pada siang hari
5
8
9
14
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
Kerangka pemikiran hubungan variabel albedo dengan suhu udara
Suhu permukaan rata-rata
Suhu udara Hutan Kota Srengseng
Kelembaban udara Hutan Kota Srengseng
Vegetasi di Hutan Kota Srengseng: (a) Bauhinia (Bauhinia purpurea),
(b) Bintaro (Cerbera manghas), (c) Gmelina (Gmelina arborea), (d) Jati
(Tectona grandis)
6 Hubungan suhu permukaan dengan albedo permukaan
4
10
11
12
13
14
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
Albedo dan suhu permukaan
Rata-rata albedo permukaan objek
Data suhu permukaan
Suhu permukaan tiap objek
Data suhu dan kelembaban udara
Data vegetasi hutan kota
Hasil potongan gambar 10x10 piksel tiap objek
Peta lokasi penelitian Hutan Kota Srengseng
19
20
22
24
25
26
27
28
21
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkotaan adalah suatu kawasan dimana pusat aktivitas berlangsung.
Kota merupakan tempat bermukim, tempat bekerja, tempat hidup, tempat
belajar, pusat pemerintahan, tempat berkunjung dan menginapnya tamu
negara dan berbagai kegiatan lainnya (Dahlan 1992). Padatnya aktivitas
yang dilakukan oleh penduduk perkotaan menyebabkan peningkatan
mobilitas yang berdampak pada peningkatan polutan perkotaan (Lauhatta
2007).
Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan kota yang memiliki
kepadatan penduduk yang tinggi. Jumlah penduduk Jakarta pada bulan
November 2011 mencapai 10 187 595 individu (Disdukcapil DKI Jakarta
2012) dengan luas 661.52 km2 (Pemda DKI Jakarta 2008). Berdasarkan data
tersebut diketahui kepadatan penduduk mencapai 15 individu/m2. Laju
pertumbuhan penduduk pada periode tahun 1990-2000 sebesar 0.16%,
semakin meningkat pada periode tahun 2000-2005 menjadi 1.06% per tahun
(Pemda DKI Jakarta 2008). Jumlah penduduk perkotaan yang terus
meningkat akan mengakibatkan tingginya tekanan terhadap pemanfaatan
ruang kota (Effendy 2007). Luasan ruang terbuka hijau (RTH) cenderung
mengalami penurunan dengan meningkatnya lahan terbangun.
Areal perkotaan dituntut untuk terus berkembang. Pembangunan
lingkungan perkotaan yang telah dan sedang terjadi memberikan dampak
penurunan kualitas lingkungan. Jakarta telah mengalami kenaikan suhu
yang disebabkan oleh wajah kota yang didominasi oleh struktur bangunan
dan menjadikannya semakin tidak nyaman untuk dihuni (Sulistyantara
2005). Menurut Mas’at (2009), suhu udara perkotaan DKI Jakarta dalam 28
tahun terakhir (1980-2007) mengalami laju kenaikan rata-rata pertahun
sebesar 0.17 ºC. Kenaikan suhu ini dapat di atasi dengan adanya ruang
terbuka hijau salah satunya hutan kota.
Hutan kota merupakan komunitas vegetasi berupa pohon dan
asosiasinya yang tumbuh di lahan atau sekitarnya, berbentuk jalur,
menyebar, atau bergerombol, struktur menyerupai hutan alam dan
membentuk suatu habitat yang memungkinkan kehidupan bagi satwa liar,
sehingga menimbulkan lingkungan sehat, suasana nyaman, sejuk, dan estetis
(Irwan 1996). Berdasarkan PP No. 63 tahun 2002, pengertian hutan kota
adalah suatu hamparan lahan yang ditumbuhi pepohonan yang kompak dan
rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak,
yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang, sedangkan
menurut Kementrian Kehutanan (1991), hutan kota merupakan suatu lahan
yang bertumbuhan pohon-pohon di dalam wilayah perkotaan di tanah
negara, ataupun tanah milik yang berfungsi sebagai penyangga lingkungan
dalam hal pengaturan air, udara, habitat flora dan fauna yang memiliki
estetika dengan luas yang solid yang merupakan ruang terbuka hijau pohonpohonan, serta areal tersebut ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
sebagai hutan kota. Hutan kota merupakan ruang terbuka yang ditumbuhi
2
vegetasi berkayu di wilayah perkotaan yang memberikan manfaat
lingkungan sebesar-besarnya kepada penduduk kota dalam kegunaan
proteksi, estetika, rekreasi dan lain-lainnya (Fakuara 1987). Menurut Dahlan
(1992) komponen hutan kota yang meliputi struktur vegetasi pohon, jalur
hijau dan taman kota akan mampu menurunkan suhu udara, meningkatkan
kelembaban udara, mengurangi polusi udara, dan meningkatkan estetika
lingkungan.
Kualitas hidup masyarakat perkotaan berkaitan langsung dengan
kualitas lingkungan perkotaan yang dipengaruhi oleh aktifitas kota itu
sendiri (Irwan 2005). Kota Jakarta yang merupakan pusat perekonomian
Indonesia dituntut untuk melakukan pembangunan fisik seperti jalur
transportasi maupun berbagai fasilitas pendukung kegiatan perekonomian
lainnya. Sehingga penurunan kualitas lingkungan pun tidak dapat dihindari.
Salah satu ciri penurunan kualitas lingkungan daerah perkotaan adalah
peningkatan suhu. Ini disebabkan oleh kepadatan penduduk, pembangunan
kota, pertumbuhan industri, kepadatan lalu lintas, deforestasi dll.
Peningkatan suhu bumi dipengaruhi oleh radiasi matahari yang
diterima atau sampai di bumi. Radiasi matahari yang sampai di permukaan
bumi akan mengalami pemantulan dan penyerapan radiasi (Akbari diacu
dalam Rushayati 2011), sehingga semua jenis tutupan lahan di bumi
memiliki nilai albedo. Menurut Effendy (2007) albedo adalah perbandingan
jumlah radiasi matahari gelombang pendek yang diterima oleh suatu
permukaan dengan radiasi matahari gelombang pendek yang dipantulkan
permukaan tersebut, dengan kata lain albedo merupakan perbandingan
antara radiasi matahari yang dipantulkan dengan radiasi yang datang
(Rushayati et al. 2011). Rumondang (2011) menyatakan bahwa albedo
merupakan perbandingan antara radiasi gelombang pendek yang
dipantulkan dengan yang datang dari semua spektrum panjang gelombang.
Pemantulan oleh suatu objek merupakan ukuran pemantulan sebuah objek
untuk memantulkan radiasi matahari pada panjang gelombang tertentu
(Prasasti 2004). Setiap jenis objek memiliki albedo yang berbeda-beda
sesuai dengan kondisi permukaannya (Nugroho 2001).
Kota Jakarta telah dipenuhi oleh para pemukim dan menjadi pusat
perekonomian, sehingga dipadati oleh bangunan-bangunan tinggi dan saling
berhimpitan. Hal ini menimbulkan resiko meningkatnya suhu udara,
dikarenakan semakin banyaknya elemen yang memancarkan panas matahari
serta adanya panas hasil dari aktivitas manusia yang diantaranya
menghasilkan gas-gas rumah kaca seperti karbondioksida, karbonmonoksida,
dan metana. Kondisi tersebut diperparah dengan berkurangnya jumlah
vegetasi yang berfungsi sebagai penahan radiasi matahari sekaligus
menyerap karbondioksida. Sehingga suhu udara di pusat kota berbeda jauh
dengan suhu udara di pinggir kota yang disebut dengan urban heat island
(Sangkertadi dan Syafriny 2008).
Menurut Irwan (2005), urban heat island merupakan suatu fenomena
dimana suhu udara di lokasi yang padat bangungan lebih tinggi
dibandingkan dengan suhu terbuka di sekitarnya. Alcoforado dan Andrade
(2008) menyatakan urban heat island adalah fenomena perbedaan suhu
yang signifikan antara daerah perkotaan dengan daerah pedesaan di
3
sekitarnya. Fenomena ini pertama kali ditemukan oleh seorang ahli
meteorologi bernama Luke Howard pada tahun 1818, disebut juga pulau
bahang kota karena berupa suatu kawasan yang apabila ditarik garis isoterm
akan membentuk seperti pulau dan semakin ke pusat intensitas suhu akan
meningkat. Rosenberg (2005) menyatakan bahwa perbedaan suhu udara
pada urban heat island dapat mencapai 11 ºC lebih tinggi daripada daerah di
sekitarnya, yang terjadi pada Central Business District (CBD), areal
komersil, dan pemukiman di suburban.
Hutan kota mampu mengurangi dampak negatif dari aktivitas kota,
sehingga sangat diperlukan untuk mendukung kehidupan yang sehat. Salah
satunya adalah mengatur iklim mikro. Penentuan jenis vegetasi sebagai
penyusun hutan kota turut berperan penting dalam memaksimalkan fungsi
hutan kota sebagai pengatur iklim mikro. Sehingga penggunaan lahan dalam
hutan kota lebih efektif, mengingat luasan RTH yang cenderung menurun.
Pengukuran albedo pada beberapa jenis vegetasi sebagai salah satu faktor
penentu iklim mikro perlu dilakukan agar dapat diketahui efektifitas
keberadaannya di hutan kota dalam mengurangi kenaikan suhu suatu areal
di Kota Jakarta.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mempelajari kaitan antara
keragaman nilai albedo dengan suhu permukaan beberapa jenis vegetasi di
Hutan Kota Srengseng, Jakarta Barat.
Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan
pertimbangan bagi pemerintah setempat dalam pengembangan hutan kota
selanjutnya terutama dalam upaya memperbaiki iklim mikro serta mengatasi
fenomena urban heat island.
METODE
Ruang Lingkup Penelitian
Pembangunan yang terjadi secara berkelanjutan di DKI Jakarta akan
meningkatkan luasan lahan terbangun dan menurunkan luasan RTH yang
mana akan mempengaruhi nilai albedo permukaan, suhu permukaan, dan
emisi termal di kota tersebut. Albedo permukaan, suhu permukaan, dan
emisi termal merupakan beberapa variabel yang menentukan keseimbangan
energi di permukaan yang selanjutnya akan mempengaruhi suhu udara.
Secara konseptual, disajikan pada Gambar 1.
4
Pembangunan di
DKI Jakarta
Penurunan
Luasan RTH
Lahan Terbangun Meningkat
Albedo
Suhu Permukaan
Emisi Termal
Keseimbangan
Energi di Permukaan
Suhu Udara
Gambar 1 Kerangka pemikiran hubungan variabel albedo dengan suhu
udara
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Hutan Kota Kelurahan Srengseng,
Kecamatan Kembangan, Kotamadya Jakarta Barat. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2013. Pemilihan lokasi penelitian
didasarkan atas lokasinya yang berada di antara jalan raya dan areal
pemukiman. Selain itu, hutan kota ini juga memiliki fungsi ganda, yaitu
sebagai salah satu ruang terbuka hijau di areal permukiman Jakarta Barat
dan sebagai tempat rekreasi.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: alat
tulis, meteran, kamera digital, termometer infra-merah Minolta, termometer
bola basah-bola kering, perangkat lunak pengolah citra GetPixels, dan
Microsoft Excel 2010. Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah: aquades, vegetasi di hutan kota dan objek di lahan terbuka.
5
Metode Pengumpulan Data
Jenis Data yang Dikumpulkan
Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini diuraikan pada Tabel
1.
Tabel 1 Jenis data dan metode pengumpulan data
No.
1.
Jenis Data
Nilai albedo
Aspek yang Dikaji
Albedo vegetasi hutan kota
Albedo objek pada lahan
terbuka
Metode
Pengamatan dan
Pengukuran
langsung
2.
Komponen iklim
mikro pada
hutan kota dan
lahan terbuka
Suhu udara
Suhu permukaan
Kelembaban udara
Pengamatan dan
Pengukuran
langsung
3.
Kondisi hutan
kota
Jenis vegetasi hutan kota
Pengamatan dan
Tinggi dan diameter batang Pengukuran
vegetasi
langsung
Morfologi tajuk dan daun
Pengamatan dan Pengukuran
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah pengamatan dan
pengukuran lapang. Pengukuran dilakukan terhadap gambar objek hasil
potret dengan menggunakan kamera digital yang diatur secara manual.
Gambar vegetasi hutan kota dan objek di lahan terbuka diolah dengan
menggunakan perangkat lunak GetPixels untuk mendapatkan data piksel
RGB. Data piksel ini yang selanjutnya dikonversi menjadi nilai albedo.
Pengambilan gambar objek dilakukan pada pukul 09.00-15.30 WIB dengan
tiga kali ulangan yaitu pada pagi hari pukul 09.00-09.30 WIB, siang pukul
12.00-12.30 WIB, dan sore pukul 15.00-15.30 WIB. Pada saat pengambilan
gambar, objek disandingkan dengan papan yang telah dilapisi kertas karton
berwarna hitam dan putih sebagai bahan pembanding.
Pengukuran suhu dan kelembaban udara dilakukan dengan
menggunakan termometer bola basah-bola kering. Sensor termometer bola
basah-bola kering diletakkan pada ketinggian 1.2 meter dari permukaan
tanah yang ternaungi tajuk dan permukaan tanah yang tidak ternaungi tajuk.
Kemudian suhu permukaan diukur dengan menggunakan termometer inframerah pada permukaan objek. Pengukuran suhu udara, kelembaban udara,
dan suhu permukaan dilakukan pada pukul 09.00-15.30 WIB.
Studi Pustaka
Studi pustaka dilakukan dengan tujuan untuk mengumpulkan berbagai
informasi mengenai hutan kota, iklim mikro, dan albedo. Studi pustaka yang
menjadi data awal diambil dari berbagai sumber antara lain, buku-buku,
skripsi, tesis, disertasi, jurnal dan dokumen lainnya. Berbagai data tersebut
6
diperoleh dari perpustakaan Institut Pertanian Bogor dan tempat lainnya
yang menunjang informasi bagi penelitian ini.
Analisis Data
Data dari setiap objek yang diperoleh berupa gambar foto. Setiap
gambar objek di ambil sampel sebanyak 10x10 data pixel. Pada satu gambar
objek vegetasi diambil sampel pada bagian yang terpapar sinar matahari,
bagian yang cenderung gelap, secara acak, bagian yang berwarna putih dan
yang berwarna gelap. Pada gambar non vegetasi pengambilan sampel
dilakukan pada bagian yang terpapar sinar matahari, bagian yang berwarna
putih dan hitam. Gambar sampel dapat dilihat pada Lampiran 7.
Gambar vegetasi hutan kota dan objek di lahan terbuka dianalisa
dengan menggunakan perangkat lunak pengolah citra untuk mendapatkan
data piksel RGB. Data piksel ini selanjutnya dikonversi menjadi nilai albedo
dengan menggunakan pengolah spread sheet Microsoft Excel. Warna hitam
pada data piksel berupa angka 0 yang setara dengan angka 0 pada nilai
albedo dan warna putih berupa angka 255 yang setara dengan angka 1 pada
nilai albedo. Namun angka pada piksel tersebut dipengaruhi oleh sudut
datang cahaya dan bahan yang digunakan sebagai pembanding warna hitam
dan putih terhadap objek sehingga diperlukan koreksi untuk data pixel
warna hitam dan putih. Nilai albedo permukaan vegetasi hutan kota dan
pada objek di lahan terbuka di sekitarnya diperoleh dengan menggunakan
rumus sebagai berikut:
Keterangan:
Albedo ~ sinar matahari yang dipantulkan/sinar matahari yang datang
= albedo
= nilai pixel objek-nilai pixel hitam
= nilai pixel putih-nilai pixel hitam
Selanjutnya nilai x dan y dianalisis hubungannya melalui pendekatan
regresi linier dengan persamaan sebagai berikut (Walpole 1982):
Keterangan:
= peubah tak bebas (peubah acak)
= konstanta
= koefisian regresi peubah bebas
= peubah bebas
Data nilai albedo yang diperoleh berdasarkan pengukuran terhadap
tiap-tiap objek diolah kemudian dibandingkan dan dianalisa. Analisis ini
digunakan untuk menjelaskan hubungan antara peubah tak bebas dengan
peubah bebasnya. Perhitungan yang dilakukan adalah perhitungan antara
nilai suhu permukaan ( ) dengan nilai albedo permukaan ( ).
7
Data suhu udara, suhu permukaan, dan kelembaban udara selanjutnya
akan dianalisa dan ditampilkan dalam bentuk grafik dan diagram batang.
Lalu dibandingkan antara nilai yang dihasilkan pada vegetasi hutan kota dan
objek pada lahan terbuka.
Berbagai data yang diperoleh dari studi pustaka selanjutnya akan
dianalisa secara kualitatif. Selanjutnya dilakukan penyederhanaan data yang
diperoleh dari lapangan, sehingga dapat mengorganisasi data sedemikian
rupa agar mendapat data utama yang menjadi pokok penelitian serta
mendapatkan kesimpulan akhir. Penyajian data dilakukan secara naratif
deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
DKI Jakarta mempunyai luas wilayah ± 650 km2 termasuk wilayah
daratan Kepulauan Seribu yang tersebar di teluk Jakarta. Secara geografis
wilayah DKI Jakarta terletak antara 106°22’ 42" BT sampai 106°58’ 18" BT
dan 5°19’ 12" LS sampai 6°23’ 54" LS. Sebelah Utara DKI Jakarta
berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten
Bekasi, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor, dan sebelah
Barat berbatasan dengan Kabupaten Tangerang.
Berdasarkan keadaan topografinya wilayah DKI Jakarta
dikatagorikan sebagai daerah datar dan landai. Ketinggian tanah dari pantai
sampai ke banjir kanal berkisar antara 0 m sampai 10 m di atas permukaan
laut yang diukur dari titik nol Tanjung Priok. Sedangkan dari banjir kanal
sampai batas paling Selatan dari wilayah DKI antara 5 m sampai 50 m di
atas permukaan laut. Daerah pantai merupakan daerah rawa atau daerah
yang selalu tergenang air pada musim hujan. Di daerah bagian Selatan banjir
kanal terdapat perbukitan rendah dengan ketinggian antara 50 m sampai 75
m.
Wilayah DKI Jakarta termasuk kedalam tipe iklim D menurut
klasifikasi iklim Schmit Ferguson dengan curah hujan rata-rata sepanjang
tahun 2000 mm. Wilayah DKI Jakarta termasuk daerah tropis beriklim
panas dengan suhu rata-rata per tahun 28 °C dengan kelembaban antara 80%
sampai 90% (Wardhana 2009). Temperatur tahunan maksimum 32 °C dan
minimum 22 °C. Kecepatan angin rata-rata 11.2 km/jam (Kementrian
Kehutanan 2012).
Hutan kota Srengseng memiliki luas 17,3 hektar, dibangun pada tahun
1993 pada era kepemimpinan Gubernur R. Suprapto (Dinas Pertanian dan
Kehutanan DKI Jakarta 1998). Pada awalnya kawasan ini merupakan TPA
sampah, namun karena peruntukan kawasan ini sudah tidak sesuai lagi
dengan kawasan di sekitarnya yang merupakan tempat bermukim, maka
dibangun hutan kota. Hutan kota ini memiliki ratusan tegakan yang terdiri
dari 65 jenis pohon. Hutan kota ini juga memiliki kebun bibit seluas 2.5
hektar. Terdapat danau yang dibentuk dekat aliran Kali Pesanggrahan.
8
Keberadaan fauna semakin mendukung keindahan hutan kota ini dan
menjadi daya tarik bagi pengunjung.
Albedo Permukaan
Pengukuran albedo dilakukan pada vegetasi hutan kota, rumput,
permukaan jalan, tanah, dan air danau. Albedo vegetasi yang diukur antara
lain jenis jati (Tectona grandis), bauhinia (Bauhinia purpurea), gmelina
(Gmelina arborea), bintaro (Cerbera manghas). Pengukuran albedo pada
rumput, permukaan jalan, tanah dan air dilakukan sebagai pembanding
terhadap albedo vegetasi hutan kota. Albedo berbagai jenis permukaan
tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Sudut datang sinar matahari
mempengaruhi radiasi yang diterima oleh suatu objek (Handoko 1993).
Pada siang hari posisi matahari berada pada ketinggian tertinggi dan
memberikan radiasi maksimum, sehingga energi yang masuk jauh lebih
banyak bila dibandingkan pada pagi atau sore hari, akibatnya energi
tersimpan pada permukaan objek jauh lebih banyak pada siang hari. Seperti
yang dinyatakan oleh Monteith (1975) bahwa radiasi matahari yang diterima
permukaan horizontal meningkat seiring dengan meningkatnya ketinggian
matahari tetapi menurun seiring dengan meningkatnya transparansi atmosfer.
Hasil yang diperoleh menunjukan adanya beberapa penyebab yang
mempengaruhi albedo objek yang terukur. Hal ini terjadi karena posisi
pengambilan gambar objek yang memiliki sudut elevasi, pengambilan
gambar dari udara yang tidak memungkinkan untuk dilakukan, dan
terhalang oleh awan pada saat pengambilan data, sehingga energi sinar
matahari yang masuk tidak maksimal. Tabel 2 memuat nilai rata-rata albedo
pada berbagai permukaan pada siang hari.
Tabel 2 Rata-rata albedo permukaan vegetasi hutan kota, rumput,
permukaan jalan, tanah, dan air pada siang hari
Jenis
Bauhinia
Bintaro
Gmelina
Jati
Jalan
Air
Rumput
Tanah liat lembab
Albedo
(%)
84
78
89
98
44
79
33
36
Albedo Permukaan Tajuk Vegetasi Hutan Kota
Pemilihan jenis vegetasi untuk pengukuran albedo didasarkan pada
letaknya yang tidak ternaungi dan jumlahnya cukup banyak juga letak antar
tiap individu yang tidak terlalu berjauhan, sehingga data yang didapatkan
lebih akurat. Berdasarkan Lampiran 1 diketahui bahwa nilai albedo jati
9
berkisar antara 96-100% dengan albedo rata-rata 98%, gmelina berkisar
antara 86-93% dengan albedo rata-rata 89%, bauhinia berkisar antara 8091% dengan albedo rata-rata 84%, dan bintaro berkisar antara 75-81%
dengan albedo rata-rata 78%. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa
jati memiliki nilai albedo tertinggi.
Albedo vegetasi dipengaruhi oleh kilap daun, warna daun, dan
struktur permukaan daun (Monteith 1975). Ini menyebabkan albedo tiap
jenis berbeda. Albedo permukaan tajuk vegetasi yang diperoleh jauh
melebihi nilai albedo permukaan vegetasi yang dinyatakan oleh Stull (2000)
bahwa nilai albedo vegetasi berkisar antara 10-23%. Ini dikarenakan
perbedaan letak geografis vegetasi yang ditelitinya. Indonesia yang beriklim
tropis menyebabkan jumlah radiasi matahari yang diterima dan dipantulkan
lebih besar dibandingkan dengan negara yang tidak beriklim tropis. Nilai
albedo permukaan tajuk lebih rendah dari nilai albedo permukaan daun
vegetasi. Perbedaan orientasi daun pada tajuk menyebabkan keberagaman
arah pantulan radiasi sehingga saling meredam dan membentuk area yang
lebih gelap. Rata-rata albedo permukaan tajuk pada beberapa jenis vegetasi
hutan kota dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3 Rata-rata albedo permukaan tajuk vegetasi hutan kota
Jenis
Bauhinia
Bintaro
Gmelina
Jati
Albedo
(%)
33
51
79
70
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hirai et al. (1999)
diketahui bahwa selama musim kemarau albedo rata-rata tegakan jati
bernilai antara 18-30%, sedangkan pada saat musim hujan, albedo tegakan
jati berkisar antara 21-31%. Perbedaan albedo jati tersebut dengan data
albedo jati pada tabel 3 disebabkan oleh perbedaan metode yang digunakan.
Albedo Permukaan Objek Terbuka
Objek terbuka yang diukur adalah jalan yang terbuat dari susunan
paving block, tanah liat lembab di sekitar vegetasi yang terpapar sinar
matahari, air danau buatan yang berada di dalam kawasan hutan kota, dan
rumput gajah mini (Axonopus compressus). Lampiran 1 menunjukan bahwa
nilai albedo air danau berkisar antara 69-96 % dengan nilai rata-rata albedo
79%. Jalan memiliki nilai albedo berkisar antara 43-47% dengan rata-rata
albedo sebesar 44%. Tanah liat lembab memiliki nilai albedo berkisar antara
15-52% dengan albedo rata-rata sebesar 36%. Sedangkan albedo pada
rumput berkisar antara 29-38% dengan albedo rata-rata sebesar 33%.
Menurut Stull (2000) albedo permukaan perairan dalam berkisar antara 520%, pada tanah abu-abu yang lembab berkisar antara 6-8%, dan bangunan
9%. Berdasarkan data pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa air memiliki albedo
10
yang paling tinggi diantara objek lahan terbuka lainnya, karena air lebih
banyak memantulkan radiasi matahari.
Iklim Mikro
Suhu Permukaan
Suhu permukaan pada siang hari lebih tinggi bila dibandingkan pada
pagi dan sore hari. Energi maksimal yang tersimpan saat siang hari pada
objek mempengaruhi suhu permukaannya. Nilai suhu permukaan rata-rata
tiap objek dapat dilihat pada Lampiran 3. Perbandingan suhu permukaan
vegetasi hutan kota, jalan, tanah lembab, air danau, dan rumput dapat dilihat
pada Gambar 2.
Suhu
Permukaan
(ºC)
45.0
40.0
35.0
30.0
25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
pagi
siang
sore
Jenis
Objek
Gambar 2 Suhu permukaan rata-rata
Berdasarkan Lampiran 3 diketahui suhu permukaan vegetasi bauhinia
sebesar 33 ºC, gmelina sebesar 35 ºC, jati sebesar 35 ºC, bintaro sebesar 36
ºC, sedangkan suhu permukaan air sebesar 33 ºC, tanah sebesar 34 ºC,
rumput sebesar 37 ºC, dan jalan sebesar 39 ºC. Bauhinia memiliki suhu
permukaan yang paling rendah diantara suhu permukaan vegetasi hutan kota
lainnya. Suhu permukaan pada vegetasi selain dipengaruhi oleh albedo
permukaan juga dipengaruhi oleh morfologi daun, warna daun dan
kandungan air pada daun (Madgosky 2004; Monteith 1975). Semakin tinggi
kandungan air pada daun akan semakin meningkatkan kapasitas endotermal.
Menurut Arisanti (2005) daun bauhinia memiliki lapisan lilin yang
mempengaruhi ketahanan terhadap hilangnya air dari lapisan daun sehingga
membuat suhu permukaannya rendah. Jalan memiliki suhu permukaan yang
paling tinggi diantara objek lainnya. Kadar air permukaan jalan sangat
rendah sehingga kapasitas endotermal pada permukaan jalan sedikit. Ini
menyebabkan energi termal yang diterima akan lebih cepat memanaskan
badan objek dan akan mudah meningkatkan suhu permukaan jalan.
11
Suhu dan Kelembaban Udara
Suhu udara yang diukur pada lokasi penelitian adalah lokasi yang
ternaungi dan lokasi yang tidak ternaungi. Suhu udara di lokasi yang
ternaungi pada pagi hari (09.00-10.00 WIB) berkisar antara 28-29 ºC, pada
siang hari (12.00-13.00 WIB) berkisar antara 30-31 ºC, dan pada sore hari
(14.30-15.30 WIB) berkisar antara 31-32 ºC. Suhu udara di lokasi yang
tidak ternaungi berkisar antara 30-31 ºC pada pagi hari (09.00-10.00 WIB),
33-35 ºC pada siang hari (12.00-13.00 WIB), dan pada sore hari (14.3015.30 WIB) suhu tetap sebesar 30 ºC. Nilai suhu udara dan kelembaban
udara dari jam 09.00-15.30 WIB dapat dilihat pada Lampiran 5. Nilai suhu
udara di lokasi tersebut dari waktu ke waktu dapat dilihat pada Gambar 3.
Ternaungi
15.00-15.15
14.30-14.45
14.00-14.15
13.30-13.45
13.00-13.15
12.30-12.45
12.00-12.15
11.30-11.45
11.00-11.15
10.30-10.45
Tidak Ternaungi
10.00-10.15
09.30-09.45
09.00-09.15
Suhu Udara
(°C)
40
35
30
25
20
15
10
5
0
Waktu
Gambar 3 Suhu udara Hutan Kota Srengseng
Suhu udara di lokasi yang tidak ternaungi lebih tinggi dibandingkan
dengan lokasi yang ternaungi oleh tajuk pada selang waktu 09.00-13.00
WIB, karena vegetasi hutan kota dapat menyerap panas melalui mekanisme
penyerapan cahaya matahari yang sebagian dimanfaatkan dalam proses
fotosintesis, sehingga radiasi panas matahari tidak memanaskan suhu udara
di sekitar vegetasi tersebut yang berdampak pada efek pendinginan. Namun
berbeda dengan suhu udara di lokasi yang tidak ternaungi, di lokasi tersebut
terdapat jalan yang terbuat dari paving block. Seperti yang dinyatakan oleh
Dahlan (2011) bahwa jalan, aspal, paving, tembok dan atap gedung,
merupakan sebagian contoh dari permukaan kota yang berpotensi menaikan
suhu udara melalui refleksi, transmisi, dan absorbsi radiasi matahari.
Pada selang waktu 13.00-15.30 suhu udara di lokasi yang ternaungi
lebih tinggi bila dibandingkan dengan lokasi yang tidak ternaungi. Ini
disebabkan radiasi balik (reradiasi) dari bumi yang tertahan oleh tajuk
(Miller 1988; Dahlan 1992). Pada saat radiasi matahari yang diterima
semakin sedikit, proses fotosintesis pada tumbuhan semakin berkurang
sedangkan proses respirasi terus berlangsung, sehingga akan meningkatkan
12
konsentrasi CO2 di udara. CO2 merupakan salah satu penyerap radiasi
gelombang panjang yang efektif (Handoko 1993).
Kelembaban udara di lokasi yang ternaungi berkisar antara 66-85%
dengan rata-rata sebesar 73%. Pada lokasi yang tidak ternaungi kelembaban
udara berkisar antara 66-79% dengan rata-rata sebesar 72%. Secara
keseluruhan, kelembaban udara di Hutan Kota Srengseng berkisar antara 7273%. Perbandingan kelembaban udara di lokasi yang ternaungi oleh tajuk
dan di lokasi yang tidak ternaungi dapat dilihat pada Gambar 4.
Kelembaban
Udara (%)
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Ternaungi
Tidak Ternaungi
Waktu
Gambar 4 Kelembaban udara Hutan Kota Srengseng
Kelembaban udara dengan suhu udara memiliki keterkaitan, semakin
tinggi suhu udara maka akan rendah kelembabannya. Ini sesuai dengan data
yang diperoleh. Kelembaban udara pada pepohonan berkisar antara 66-92%
dan pada areal aspal dan jalan berkisar antara 62-78% (Wenda 1991 diacu
dalam Dahlan 2004).
Kemampuan Vegetasi Hutan Kota dalam Mempengaruhi Iklim Mikro
Kemampuan vegetasi hutan kota dalam mempengaruhi suhu di
sekitarnya selain dipengaruhi dengan albedo, juga dipengaruhi oleh
morfologi tajuk dan daun. Absorbsi radiasi matahari akan meningkat seiring
dengan meningkatnya ketebalan daun (Schulgin 1963). Cahaya matahari
yang diabsorpsi sebagian digunakan untuk proses fotosintesis dan
selebihnya untuk memanaskan daun, sehingga suhu permukaan daun lebih
rendah apabila dibandingkan dengan suhu permukaan objek non vegetasi
yang memiliki kadar air sangat rendah atau bahkan mendekati nol.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dahlan (2011) diketahui bahwa
semakin luas dan rapat permukaan tajuk yang terpapar cahaya matahari
maka akan semakin efektif dalam menyerap radiasi matahari. Berdasarkan
klasifikasi bentuk tajuk yang dinyatakan oleh Carpenter et al. (1975); Wang
(1979); Steven et al. (1994) dan bentuk daun oleh Tjitrosoepomo (1985)
diketahui bahwa pohon bauhinia (Bauhinia purpurea) memiliki bentuk tajuk
irregular dengan daun yang berbentuk ovate, bintaro (Cerbera manghas)
13
memiliki bentuk tajuk irreguler dengan daun yang berbentuk obovate,
gmelina (Gmelina arborea) memiliki bentuk tajuk round dengan bentuk
daun ovate, dan jati (Tectona grandis) memiliki bentuk tajuk irregular
dengan bentuk daun berupa elips (Gambar 5).
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 5 Vegetasi di Hutan Kota Srengseng: (a) Bauhinia (Bauhinia
purpurea), (b) Bintaro (Cerbera manghas), (c) Gmelina
(Gmelina arborea), (d) Jati (Tectona grandis)
Keberadaan vegetasi dalam mempengaruhi iklim mikro di sekitarnya
antara lain dengan cara menghalangi radiasi matahari yang masuk dan
mengubah beberapa energi matahari menjadi ikatan kimia melalui proses
fotosintesis (Robinette diacu dalam Miller 1988). Pada vegetasi dengan
bentuk tajuk yang memiliki posisi daun cenderung vertikal seperti pada jenis
bintaro memiliki penetrasi radiasi matahari yang tinggi dan memberikan
efek naungan yang tidak maksimal, sedangkan jenis vegetasi dengan
susunan daun yang cenderung horizontal seperti jati, gmelina, dan bauhinia
memiliki efek naungan yang lebih baik, karena radiasi matahari yang
terhalang oleh kumpulan daun. Namun untuk penanaman di areal perkotaan
perlu mempertimbangkan karakteristik jenis vegetasi yang disesuaikan
dengan peruntukannya.
Proses evapotranspirasi pada vegetasi juga merupakan penyebab
terbentuknya iklim mikro. Irwan (2008) menyatakan bahwa evapotranspirasi
merupakan pertukaran antara panas laten dan panas yang terasa (sensibel).
Udara sekitar akan kehilangan panas karena terjadinya evapotranspirasi
yang menyebabkan suhu di sekitar tanaman menjadi lebih sejuk. Menurut
14
Koto (1991), hutan kota mampu memodifikasi iklim mikro sebagai akibat
dari naungan, mengurangi kecepatan angin, meningkatkan radiasi
gelombang panjang, menahan tetes air hujan, menurunkan suhu udara
melalui evapotranspirasi dan meningkatkan kelembaban udara.
Hubungan Albedo dengan Suhu Permukaan dan Suhu Udara
Besarnya albedo permukaan, suhu permukaan dan suhu udara
dianalisis melalui perhitungan regresi linier. Suhu permukaan yang
digunakan adalah suhu permukaan vegetasi hutan kota dan objek di lahan
terbuka, begitupun halnya dengan albedo permukaan, yang digunakan
adalah albedo permukaan vegetasi hutan kota dan objek di lahan terbuka.
Sedangkan untuk suhu udara yang digunakan adalah suhu udara yang tidak
ternaungi. Nilai rata-rata albedo dan suhu permukaan dapat dilihat pada
Tabel 4.
Tabel 4 Rata-rata albedo permukaan vegetasi hutan kota dan objek lahan
terbuka serta suhu permukaannya (ºC) pada siang hari
Jenis
Albedo Permukaan
Suhu Permukaan
(%)
(ºC)
Bauhinia
84
35
Bintaro
78
36
Gmelina
89
38
Jati
98
37
Jalan
44
43
Air
79
35
Rumput
33
42
Tanah
36
37
Persamaan regresi linier dari hubungan suhu permukaan dan albedo
permukaan adalah y=42,772-6,6772x. Berdasarkan penelitian Vukovich et
al. (1987) diperoleh korelasi negatif antar nilai albedo dengan suhu
permukaan. Gambar 5 menunjukan hubungan antara suhu permukaan
dengan albedo permukaan.
Suhu
Permukaan
50.0
45.0
40.0
35.0
30.0
25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
pagi
siang
sore
Linear
(siang)
y = 42.772-6.6772x
Albedo
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
Gambar 6 Hubungan suhu permukaan dengan albedo permukaan
15
Secara umum semakin tinggi albedo permukaan suatu objek maka
akan menurunkan suhu permukaan. Namun suhu permukaan pada vegetasi
selain dipengaruhi oleh albedo juga dipengaruhi oleh morfologi daun dan
tajuk.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Albedo permukaan suatu objek menentukan suhu permukaannya.
Secara umum semakin tinggi nilai albedo maka akan menurunkan suhu
permukaan. Suhu permukaan pada vegetasi selain dipengaruhi oleh albedo
permukaan juga dipengaruhi oleh morfologi daun dan tajuk. Semakin luas
permukaan tajuk dengan daun yang terpapar matahari akan semakin efektif
dalam mengabsorbsi radiasi matahari. Bauhinia dengan albedo permukaan
daun 84% memiliki suhu permukaan yang paling rendah (33 ºC) diantara
objek vegetasi lainnya yaitu gmelina (35 ºC), jati (35 ºC), dan bintaro (36
ºC). Secara umum suhu udara di tempat yang ternaungi oleh tajuk lebih
rendah dibandingkan dengan suhu udara di tempat yang tidak ternaungi
tajuk.
Saran
1. Pembangunan hutan kota perlu mempertimbangkan pemilihan jenis
vegetasi yang mempunyai albedo tinggi dan suhu permukaan rendah
agar fungsi hutan kota dalam perbaikan iklim mikro dapat maksimal.
2. Perlunya penelitian mengenai albedo pada jenis-jenis vegetasi lainnya
agar dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam membangun hutan kota.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi MI. 1994. Pengembangan hutan kota dalam kaitannya dengan
pembangunan wilayah di kotamadya Bandar Lampung [tesis]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Alcoforado MJ, Andrade H. 2008. Urban Ecology. Marzluff JM, editor.
Seattle (US): Springer.
Arisanti A. 2005. Adaptasi anatomis pohon roof garden [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Carpenter PL, Walker TD, Lanphear FO. 1975. Plants in the Landscape.
San Francisco (US): WH Freeman and Company.
Dahlan EN. 1992. Hutan Kota untuk Pengelolaan dan Peningkatan Kualitas
Lingkungan Hidup. Jakarta (ID): Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia.
16
Dahlan EN. 2004. Membangun Kota Kebun (Garden City) Bernuansa
Hutan Kota. Bogor (ID): IPB Press.
Dahlan. 2011. Potensi hutan kota sebagai alternatif substitusi fungsi alat
pendingin ruangan (Air Conditioner) [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Departemen Dalam Negeri. 1998. Instruksi menteri dalam negeri no. 14
tahun 1988 tentang: penataan RTH diwilayah perkotaan.
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi DKI Jakarta. 2012. Jumlah
penduduk Provinsi DKI Jakarta [Internet]. [diunduh 2013 Jan 2].
Tersedia pada:http://dki.kependudukancapil.go.id/?option=com_conte
nt&view=arti cle&id=4&Itemid=63.
Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta. 1998. Kondisi Umum Hutan
Kota Srengseng Jakarta Barat. Jakarta (ID): Dinas Pertanian dan
Kehutanan DKI Jakarta.
Effendy S. 2007. Keterkaitan ruang terbuka hijau dengan urban heat island
wilayah Jabotabek [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Fakuara Y. 1987. Konsepsi pengembangan hutan kota [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Fandeli C, Kaharuddin, Mukhlison. 2004. Perhutanan Kota, Cet. I.
Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.
Handoko. 1993. Klimatologi Dasar. Bogor (ID): PT Dunia Pustaka Jaya.
Hirai K, Sungkawang S, Tanaka H. 1999. Characteristics of albedo at two
types of tropical seasonal forests in Mae Klong Watershed Research
Station, Western Thailand. [Internet]. [diunduh 2013 Okt 22]. Tersedia
pada:http://agris.fao.org/agrissearch/search/display.do?f=2000%2FPH
%2FPH00013.xml%3BPH2000101055.
Irwan ZD. 1996. Membangun bentuk dan struktur hutan kota untuk
mengatasi kendala lahan perkotaan. Jurnal Arsitektur Lanskap
Indonesia 1/1/101996:6-11.
Irwan ZD. 2005. Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota. Jakarta
(ID): PT. Bumi Aksara.
Irwan ZD. 2008. Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota. Jakarta
(ID): PT. Bumi Aksara.
Kementrian Kehutanan. 1991. Rencana Umum Pengembangan Hutan Kota.
Direktorat jenderal reboisasi dan rehabilitasi lahan. Jakarta (ID):
Kementrian Kehutanan.
Kementrian Kehutanan. 2012. Gambaran umum Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta [Internet]. [diunduh 2013 Jan 2]. Tersedia pada:
http://www.dephut.go.id/INFORMASI/PROPINSI/DKI/umum_dki.ht
ml.
Koto E. 1991. Studi iklim mikro di Hutan Kota Manggala Wanabakti
Jakarta. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Lauhatta JH. 2007. Estimasi Kebutuhan Hutan Kota Menggunakan Citra
Ikonos dan Sistem Informasi Geografis (SIG) di Jakarta Selatan dan
Jakarta Timur [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
[LAPAN] Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. 2013. Data CO
(Karbon Monoksida) [Internet]. [diunduh 2013 Agu 30]. Tersedia
pada: http://www.dirgantara-lapan.or.id/jizonpolud/htm/co.htm.
17
Madigosky SR. 2004. Forest Canopies 2nd ed. Lowman MD, Rinker HB,
editor. Burlington (US): Elsevier Inc.
Mas’at A. 2009. Efek pengembangan perkotaan terhadap kenaikan suhu
udara di wilayah DKI Jakarta. Agromet. 23 (1):52-60,2009.
Miller RW. 1988. Urban Forestry: Planning and Managing Urban
Greenspaces. Englewood Cliffs (NJ): Prentice-Hall Inc.
Monteith. 1975. Vegetation and the Atmosphere. London (UK): Academic
Press Inc.
Nugroho Y. 2001. Dampak perubahan input albedo permukaan GCM
CSIRO-9 terhadap iklim regional Indonesia [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Pemerintah DKI Jakarta. 2008. Peraturan daerah provinsi DKI Jakarta
Nomor 1 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah Tahun 2007-2012.
Pemerintah Republik Indonesia. 2002. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota. Jakarta (ID):
Sekretariat Negara.
Prasasti I. 2004. Analisis hubungan penutup lahan dan parameter turunan
data pengideraan jauh dengan albedo permukaan [tesis]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Rosenberg. 2005. Urban heat island [Internet]. [diunduh 2013 Jan 2].
Tersedia pada: http://geography.about.com/od/urbaneconomicgeograp
hy/a/urbanheatisland.htm.
Rumondang D. 2011. Penurunan nilai albedo dan suhu permukaan dari data
terra MODIS LIB untuk klasifikasi awan [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Rushayati SB, Alikodra HA, Dahlan EN, Purnomo H. 2011. Pengembangan
ruang terbuka hijau berdasarkan distribusi suhu permukaan di
Kabupaten Bandung. Forum Geografi. 25(1):17-26.
Sangkertadi, Syafriny R. 2008. Upaya peredaman laju peningkatan suhu
udara perkotaan melalui optimasi penghijauan. EKOTON. 8(2):41-48.
Schulgin IA. 1963. Morphophysiological Adaptation of Plant to Light.
Moscow (RU): Moscow University Press.
Stull RB. 2000. Meteorology for Scientists and Engineers. 2d ed. Brooks
(CA): Thomson Learning.
Stevens D, Huntington L, Key R. 1994. Garden Design, Construction and,
Planting. London (UK): Ward Lock.
Sulistyantara B. 2005. Materi perkuliahan ruang terbuka hijau. IPB. Bogor.
Tidak Dipublikasikan.
Tjitrosoepomo G. 1985. Morfologi Tumbuhan.Yogyakarta (ID): Gadjah
Mada University Press.
Vukovich, Troll FM, Murphy DL, Robert E. 1987. Surface temperature dan
albedo relationships in senegal derived from NOAA-7 satellite data.
Remote Sensing of Environment. 22:413.
Walpole RE. 1982. Introduction to Statistics. Ed ke-3. Jakarta (ID): PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Wang TC. 1979. Plan and Section Drawing. New York (US): Van Nostrand
Reinhold.
18
Wardhana YMA. 2009. Estimasi kebutuhan hutan kota di Kotamadya
Jakarta Pusat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
19
Lampiran 1 Albedo dan suhu permukaan (14 Juni 2013)
Jenis
Bauhinia 1
Bauhinia 2
Bauhinia 3
Bintaro 1
Bintaro 2
Gmelina 1
Gmelina 2
Gmelina 3
Jati 1
Jati 2
Jati 3
Jalan 1
Jalan 2
Jalan 3
Air 1
Air 2
Air 3
Rumput 1
Rumput 2
Rumput 3
Tanah 1
Tanah 2
Tanah 3
Albedo
(%)
78
65
77
98
98
88
95
89
98
77
67
55
51
56
100
100
99
97
99
95
34
57
36
Pagi
Suhu Permukaan
(ºC)
33.6
32.9
33.1
33.9
33.1
33.3
33.1
33.5
33.6
35.6
34.8
37.4
35.8
34.0
30.3
30.6
30.8
35.9
35.2
35.2
32.6
32.8
32.4
Albedo
(%)
80
91
80
81
75
86
93
88
100
98
96
43
47
43
69
71
96
32
38
29
40
15
52
Siang
Suhu Permukaan
(ºC)
35.1
34.8
35.6
38.7
41.0
38.6
36.6
38.1
37.0
37.3
37.5
42.2
42.1
43.1
34.6
36.2
33.4
41.6
43.8
41.3
40.0
36.2
36.0
Albedo
(%)
10
74
47
94
49
52
70
57
13
49
58
59
54
71
99
56
98
39
44
29
17
15
14
Sore
Suhu Permukaan
(ºC)
32.0
31.7
32.2
34.6
35.2
33.7
33.9
34.1
33.1
33.2
33.5
36.9
36.7
38.3
32.5
32.7
32.3
34.3
33.8
33.2
33.7
32.5
31.5
19
20
Lampiran 2 Rata-rata albedo permukaan objek
Jenis
Bauhinia 1
Bauhinia 2
Bauhinia 3
Waktu
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
Rata-rata
Bintaro 1
Bintaro 2
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
Rata-rata
Gmelina 1
Pagi
Siang
Sore
Gmelina 2
Pagi
Siang
Sore
Gmelina 3
Pagi
Siang
Sore
Rata-rata
Jati 1
Pagi
Siang
Sore
Jati 2
Pagi
Siang
Sore
Jati 3
Pagi
Siang
Sore
Rata-rata
Jalan 1
Pagi
Siang
Sore
Jalan 2
Pagi
Siang
Sore
Jalan 3
Pagi
Siang
Albedo Permukaan (%)
78
80
10
65
91
74
77
80
47
67
98
81
94
98
75
49
83
88
86
52
95
93
70
89
88
57
80
98
100
13
77
98
49
67
96
58
73
55
43
59
51
47
54
56
43
21
Lampiran 2 Rata-rata albedo permukaan objek (lanjutan)
Jenis
Waktu
Sore
Rata-rata
Air 1
Air 2
Air 3
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
Rata-rata
Rumput 1
Pagi
Siang
Sore
Rumput 2
Pagi
Siang
Sore
Rumput 3
Pagi
Siang
Sore
Rata-rata
Tanah 1
Pagi
Siang
Sore
Tanah 2
Pagi
Siang
Sore
Tanah 3
Pagi
Siang
Sore
Rata-rata
Albedo Permukaan (%)
71
53
100
69
99
100
71
56
99
96
98
88
97
32
39
99
38
44
95
29
29
56
34
40
17
57
15
15
36
52
14
31
22
Lampiran 3 Data suhu permukaan (14 Juni 2013)
Jenis
Bauhinia 1
Waktu
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
Bauhinia 2
Bauhinia 3
Rata-rata
Bintaro 1
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
Bintaro 2
Rata-rata
Gmelina 1
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
Gmelina 2
Gmelina 3
Rata-rata
Jati 1
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
Jati 2
Jati 3
Rata-rata
Jalan 1
Jalan 2
Jalan 3
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Suhu Permukaan (ºC)
33.6
35.1
32.0
32.9
34.8
31.7
33.1
35.6
32.2
33.4
33.9
38.7
34.6
33.1
41.0
35.2
36.1
33.3
38.6
33.7
33.1
36.6
33.9
33.5
38.1
34.1
35.0
33.6
37.0
33.1
35.6
37.3
33.2
34.8
37.5
33.5
35.1
37.4
42.2
36.9
35.8
42.1
36.7
34.0
43.1
23
Lampiran 3 Data suhu permukaan (lanjutan)
Jenis
Waktu
Sore
Rata-rata
Air 1
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
Air 2
Air 3
Rata-rata
Rumput 1
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
Rumput 2
Rumput 3
Rata-rata
Tanah 1
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
Tanah 2
Tanah 3
Rata-rata
Suhu Permukaan (ºC)
38.3
38.5
30.3
34.6
32.5
30.6
36.2
32.7
30.8
33.4
32.3
32.6
35.9
41.6
34.3
35.2
43.8
33.8
35.2
41.3
33.2
37.1
32.6
40.0
33.7
32.8
36.2
32.5
32.4
36.0
31.5
34.2
21
24
Lampiran 4 Suhu permukaan tiap objek
Suhu Permukaan
50.0
45.0
40.0
35.0
30.0
Pagi
25.0
Siang
20.0
Sore
15.0
10.0
5.0
0.0
Lampiran 5 Data suhu dan kelembaban udara (14 Juni 2013)
Termometer A
(ternaungi)
Waktu
Dry (ºC)
28
28
29
29
29
30
30
30
30
30
30
30
30
31
31
31
34
32
32
31
31
32
Kelembaban
(%)
85
85
78
78
78
72
72
72
72
72
72
78
72
72
72
72
68
66
66
72
72
73
25
09.00-09.15
09.15-09.30
09.30-09.45
09.45-10.00
10.00-10.15
10.15-10.30
10.30-10.45
10.45-11.00
11.00-11.15
11.15-11.30
11.30-11.45
11.45-12.00
12.00-12.15
12.15-12.30
12.30-12.45
12.45-13.00
13.00-13.15
13.15-13.30
13.30-13.45
13.45-14.00
14.00-14.15
14.15-14.30
Wet
(ºC)
26
27
26
26
26
26
26
26
26
26
26
27
26
27
27
28
29
27
27
27
27
28
Termometer B
(tidak ternaungi)
Wet Kelembaban
Dry (ºC)
(ºC)
(%)
30
27
78
30
27
78
31
27
72
31
28
79
31
28
79
32
27
66
32
27
66
32
28
66
33
28
67
33
28
67
34
29
68
34
29
68
35
29
63
34
29
68
34
29
68
33
29
73
30
27
78
30
26
72
30
27
78
30
27
78
30
27
78
30
27
78
26
Lampiran 5 Data suhu udara dan kelembaban udara (lanjutan)
Termometer A
(ternaungi)
Waktu
Wet
(ºC)
28
27
26
26
Dry (ºC)
14.30-14.45
14.45-15.00
15.00-15.15
15.15-15.30
Rata-Rata
31
32
31
31
Kelembaban
(%)
79
66
66
66
73
Termometer B
(tidak ternaungi)
Wet Kelembaban
Dry (ºC)
(ºC)
(%)
30
27
78
30
26
72
30
26
72
30
26
72
72
Lampiran 6 Data vegetasi hutan kota
No.
Nama
Lokal
Nama Jenis
D1
D2
D3
(cm) (cm) (cm)
Tt
(m)
Tt2
(m)
Tt3
(m)
Bentuk
Daun
Bentuk
Tajuk
Jati
Tectona grandis
24.6
27.5
23.6
11.9 13.6 17.0 elips
irregular
Bauhinia
Bauhinia
purpurea
8.7
8.9
9.9
3.4
11.0 13.0 ovate
irregular
Gmelina
Gmelina arborea
27.9
29.0
29.2
17.0 17.1 13.6 ovate
Bintaro
Cerbera manghas
5.1
3.6
-
8.5
4.3
-
obovate
round
irreguler
Keterangan
Vegetasi
kota
Vegetasi
kota
Vegetasi
kota
Vegetasi
kota
hutan
hutan
hutan
hutan
Lampiran 7 Hasil potongan gambar 10x10 piksel tiap objek
Pagi
Siang
Sore
Bintaro
Gmelina
Jati
Jalan
Air
Rumput
Tanah
27
Bauhinia
28
Lampiran 8 Peta lokasi penelitian Hutan Kota Srengseng
29
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 23 Mei