Studi Patologi Organ Limpa dan Hati Mencit (Mus musculus) yang Diinfeksi Coxiella burnetii Pasase Dua Kali pada Hamster (Mesocricetus auratus)

STUDI PATOLOGI ORGAN LIMPA DAN HATI MENCIT
(Mus musculus) YANG DIINFEKSI Coxiella burnetii PASASE
DUA KALI PADA HAMSTER (Mesocricetus auratus)

WILIAM MAREA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Patologi Organ
Limpa dan Hati Mencit (Mus musculus) yang Diinfeksi Coxiella burnetii Pasase
Dua Kali pada Hamster (Mesocricetus auratus) adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, September 2013
Wiliam Marea
NIM B04090073

ABSTRAK
WILIAM MAREA. Studi Patologi Organ Limpa dan Hati Mencit (Mus musculus)
yang Diinfeksi Coxiella burnetii Pasase Dua Kali pada Hamster (Mesocricetus
auratus). Dibimbing oleh MAWAR SUBANGKIT dan AGUS SETIYONO.
Query fever (Q fever) merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh
agen Coxiella burnetii. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran
patologi anatomi (PA) dan histopatologi limpa dan hati mencit (Mus musculus)
yang diinfeksi oleh Coxiella burnetii pasase dua kali pada hamster (Mesocricetus
auratus) dengan menggunakan metode imunohistokimia. Patologi anatomi organ
hati dan limpa menunjukkan perubahan berupa hepatomegaly, dan splenomegaly.
Gambaran histopatologi organ hati berupa degenerasi sel hepatosit, nekrosa sel
hepatosit, dan adanya infiltrasi sel radang, sedangkan pada limpa ditemukan
adanya peradangan yang ditandai dengan deplesi pulpa putih, hemoragi, dan
infiltrasi sel radang pada pulpa merah. Hasil pemeriksaan menunjukkan positif
Coxiella burnetii pada organ limpa dan hati.

Kata kunci: Coxiella burnetii, imunohistokimia, Q fever, mencit

ABSTRACT
WILIAM MAREA. Pathological Study of Spleen and Liver of Mice (Mus
musculus) which were Infected by Coxiella burnetii After Twice Passage in
Hamster (Mesocricetus auratus). Supervised by MAWAR SUBANGKIT and
AGUS SETIYONO.
Query fever (Q fever) is a disease caused by Coxiella burnetii agent. The
aim of this research was to determine the gross pathology and histopathology of
Coxiella burnetii infection in the spleen and liver of mice (Mus musculus) which
were infected by Coxiella burnetii after twice passage in hamster (Mesocricetus
auratus) using immunohistochemistry methods. In this research the gross
pathology of liver and spleen showed hepatomegaly, and splenomegaly. The
histopathological change of liver showed hepatocyte degeneration, necrose, and
infiltration of inflammatory cells. The histopathological change of spleen showed
inflammation which characterized by the white pulp depletion, red pulp
hemorrhage, and infiltration of inflammatory cell. The results showed positive
Coxiella burnetii in the spleen and liver.
Keywords: Coxiella burnetii, immunohistochemistry, Q fever, mice


STUDI PATOLOGI ORGAN LIMPA DAN HATI MENCIT
(Mus musculus) YANG DIINFEKSI Coxiella burnetii PASASE
DUA KALI PADA HAMSTER (Mesocricetus auratus)

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Studi Patologi Organ Limpa dan Hati Mencit (Mus musculus) yang
Diinfeksi Coxiella burnetii Pasase Dua Kali pada Hamster
(Mesocricetus auratus)
Nama
: Wiliam Marea

NIM
: B04090073

Disetujui oleh

drh Mawar Subangkit, MSi
Pembimbing I

drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet
Pembimbing II

Diketahui oleh

drh Agus Setiyono, MS, PhD APVet
Wakil Dekan FKH IPB

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2012 ini ialah Q fever,
dengan judul Studi Patologi Organ Limpa dan Hati Mencit (Mus musculus) yang
Diinfeksi Coxiella burnetii Pasase Dua Kali pada Hamster (Mesocricetus auratus).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak drh. Agus Setiyono, MS, PhD.
APVet dan Bapak drh. Mawar Subangkit M.Si selaku pembimbing. Di samping
itu, penghargaan penulis sampaikan kepada staf laboratorium patologi FKH IPB,
serta teman sepenelitian Lia, Uwi, Mutya, dan Vivi, yang telah membantu dalam
pelaksanaan penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada
ayahanda Martion (alm), ibunda Refni Amir S.pd, M.Si, abang Seplika Marea ST,
Maikel Marea AMd, dan adek Zade Marea atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2013
Wiliam Marea

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

viii


DAFTAR GAMBAR

viii

PENDAHULUAN

1

Latar belakang

1

Tujuan

2

Manfaat

2


METODOLOGI

3

Waktu dan Tempat Penelitian

3

Bahan dan Peralatan

3

Metode Penelitian

3

Persiapan Hewan Coba

3


Persiapan Antigen

3

Penginjeksian Antigen

4

Pembuatan Sediaan Histopatologi

4

Pewarnaan Hematoksilin Eosin

4

Pewarnaan Imunohistokimia Terhadap Antigen Coxiella burnetii

4


HASIL DAN PEMBAHASAN

5

Hasil Pemeriksaan Makroskopis

5

Hasil Pemeriksaan Histopatologi Hati

7

Hasil Pemeriksaan Histopatologi Limpa

8

Hasil Pemeriksaan Imunohistokimia
SIMPULAN DAN SARAN


10
11

Simpulan

11

Saran

11

DAFTAR PUSTAKA

12

RIWAYAT HIDUP

14

DAFTAR TABEL

1
2
3

Tabel 1 Komposisi pakan hamster yang tersedia secara ad libitum
Tabel 2 Hasil pengamatan histopatologi hati mencit yang diinfeksi
Coxiella burnetii
Tabel 3 Hasil pengamatan histopatologi limpa mencit yang diinfeksi
Coxiella burnetii

3
7
8

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7

Gambar 1 Gejala klinis mencit yang diinfeksi Coxiella burnetii
Gambar 2 Gambaran Patologi Anatomi (PA) limpa mencit yang
diinfeksi Coxiella burnetii
Gambar 3 Gambaran Patologi Anatomi (PA) hati mencit yang
diinfeksi Coxiella burnetii
Gambar 3 Perubahan histopatologi hati mencit yang diinfeksi
Coxiella burnetii
Gambar 4 Perubahan histopatologi limpa mencit yang diinfeksi
Coxiella burnetii
Gambar 5 Pengamatan menggunakan pewarnaan imunohistokimia
pada organ hati mencit yang diinfeksi Coxiella burnetii
Gambar 6 Pengamatan menggunakan pewarnaan imunohistokimia
pada organ limpa mencit yang diinfeksi Coxiella burnetii

5
6
6
7
9
10
11

PENDAHULUAN
Latar belakang
Penyakit Query fever (Q fever) merupakan suatu penyakit yang disebabkan
oleh agen Coxiella burnetii (C. burnetii), yaitu mikroorganisme pleomorfik
dengan ukuran lebar 0.2-0.4 μm dan panjang 0.4-1.0 μm, bersifat obligat
intraseluler termasuk ke dalam bacterial like organism dan memiliki membran sel
seperti bakteri gram negatif tetapi sulit diamati dengan pewarnaan gram (Maurin
dan Raoult 1999; Fournier et al. 1998). C. burnetii memiliki 2 fase antigen yaitu
fase I bersifat virulen (patogenik) yang dapat diisolasi dari hewan maupun
manusia yang terinfeksi di alam maupun di laboratorium. Sedangkan fase II
bersifat kurang virulen yang diperoleh selama dikembangbiakan secara berseri di
biakan sel atau telur tertunas. Penyakit ini ditandai dengan gejala subklinis yang
kemudian berkembang sebagai infeksi akut, namun beberapa diantaranya akan
berkembang dalam bentuk kronis (Lepidi et al 2008). Pada fase akut C. burnetii
dapat ditemukan di dalam darah sedangkan pada fase kronis terakumulasi dalam
sel fagosit yang terdapat dalam organ seperti jantung, hati, limpa dan plasenta.
Penyakit Q fever pertama kali ditemukan di Australia pada tahun 1935
hingga akhirnya sampai saat ini penyakit Q fever telah menyebar hampir ke
seluruh dunia. Q fever merupakan suatu masalah kesehatan masyarakat di seluruh
dunia (Angelakis dan Raoult 2010). Penyakit ini telah dikelompokkan sebagai
emerging atau re-emerging zoonosis yaitu penyakit yang dapat ditularkan dari
hewan ke manusia maupun sebaliknya (ECDC 2010). Menurut CDC (2012), sejak
tahun 1999 Q fever digolongkan sebagai penyakit yang harus dilaporkan
(notifiable disease). Agen penyebab penyakit ini telah dikelompokkan ke dalam
bakteri yang berbahaya karena dapat memberikan dampak jangka panjang yang
buruk pada penderitanya. C. burnetii dapat dikembangkan sebagai senjata biologis
(bioterrorism) (CDC 2005).
Sejak penyakit ini dilaporkan, jumlah kasus Q fever yang dilaporkan ke
Central Disease Control (CDC) selalu mengalami peningkatan. Q fever
merupakan penyakit yang dapat menyerang berbagai jenis hewan, baik satwa liar,
unggas, hewan ruminansia seperti sapi, kambing, domba, serta hewan piara seperti
anjing, kucing, dan kuda, bahkan C. burnetii juga dapat menginfeksi berbagai
macam hewan laboratorium, termasuk mencit, tikus, kelinci, marmut, dan monyet
(Soejoedono 2004). Pada ruminansia, manifestasi Q fever menyebabkan aborsi,
lahir mati, prematur, dan pengiriman lemah keturunan. Namun, manifestasi klinis
umumnya hanya diekspresikan pada domba dan kambing. Pada sapi, Q fever
umumnya bersifat asimtomatik yaitu tidak menunjukkan gejala klinis, tetapi dapat
mengakibatkan infertilitas, metritis, dan mastitis, bahkan dapat mengakibatkan
kegagalan fungsi hati, radang tulang, radang otak, gangguan pada pembuluh darah
dan peradangan jantung (endokarditis) yang dapat berakibat fatal (Porter et al.
2011).
Kesadaran masyarakat pada penyakit Q fever semakin meningkat ketika Q
fever telah dinyatakan sebagai suatu penyakit yang bersifat zoonosis. Pada
manusia, infeksi Q fever dapat bermanifestasi dalam bentuk akut, atau kronis
(ECDC 2010). Infeksi Q fever pada manusia dapat disebabkan oleh adanya kontak

2
langsung antara manusia dengan hewan ternak yang terinfeksi. Manusia juga
dapat terinfeksi Q fever melalui udara, atau melalui makanan seperti daging dan
susu yang berasal dari hewan yang terinfeksi atau bahan terkontaminasi lainnya.
Pada bahan pangan asal hewan dan olahannya C. burnetii dapat bertahan hidup 1
bulan pada daging yang disimpan dalam cold storage pada suhu -20ºC, 42 bulan
pada susu segar yang disimpan pada suhu 4-6ºC dan lebih dari 40 bulan pada susu
skim (CFSPH 2007). Di Indonesia, penelitian yang lebih mendalam mengenai
penyakit Q fever jarang dilakukan karena tidak semua hewan yang terinfeksi Q
fever menunjukkan perubahan gejala klinis (asimptomatik).
Mencit merupakan hewan coba yang dapat dikembangkan untuk
mempelajari patogenesis penyakit Q fever. Mencit memiliki kerentanan terhadap
infeksi Q fever, selain itu mencit juga mempunyai siklus hidup yang relatif
pendek, jumlah anak per kelahiran banyak dan mudah ditangani (Moriwaki et al.
1994), sehingga hal tersebut dapat dijadikan alasan dalam pemilihan mencit
sebagai hewan percobaan pada penelitian ini.
Pada saat ini diagnosa penyakit Q fever masih banyak menggunakan
diagnosa secara serologis. Setiyono et al. (2005) menyatakan bahwa diagnosa
serologis Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) yang didukung dengan
immunofluorescense assay (IFA) dapat memberikan akurasi ketepatan yang baik.
Teknik ini juga dianggap paling aman karena isolasi agen penyebab C. burnetii
dilakukan pada laboratorium yang memiliki fasilitas biosafety level 3 (BSL 3).
Namun hingga saat ini belum ada informasi yang tersedia berkenaan dengan
diagnosis Q fever menggunakan metode imunohistokimia. Teknik
immunohistokimia dapat dikembangkan guna mengantisipasi adanya keterbatasan
fasilitas laboratorium biosafety level 3 (BSL 3). Teknik ini merupakan teknik yang
cepat dan tidak memerlukan bakteri hidup atau jaringan segar untuk diagnosis.
Selain itu, teknik ini juga mampu dan memungkinkan dalam membuat studi
retrospektif pada sampel yang telah lama disimpan (Porter et al. 2011). Hasil
diagnosa menggunakan teknik imunohistokimia memiliki akurasi yang sangat
baik, karena pembacaan hasil akhirnya berdasarkan adanya immunoreactivity
antara antigen penyebab penyakit dengan antibodi yang homolog.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gejala klinis, gambaran patologi
anatomi (PA) dan histopatologi limpa dan hati mencit (Mus musculus) yang
diinfeksi C. burnetii pasase dua kali pada hamster (Mesocricetus auratus).

Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar gejala
klinis, gambaran patologi anatomi (PA) dan histopatologi organ limpa dan hati
mencit (Mus musculus) yang diinfeksi oleh C. burnetii setelah pasase dua kali
pada hamster (Mesocricetus auratus).

3

METODOLOGI
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2012 sampai Juni 2013. Kegiatan
pemeliharaan dan perlakuan hewan coba bertempat di fasilitas kandang hewan
percobaan Bagian Patologi, FKH-IPB. Pembuatan sediaan histopatologi dilakukan
di Laboratorium Histopatologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi,
FKH-IPB.

Bahan dan Peralatan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah hamster jantan berumur 2
bulan sebanyak 6 ekor, mencit jantan berumur 2 bulan sebanyak 7 ekor, antigen C.
burnetii strain Nine Mile, Phosphate Buffered Saline (PBS), Buffer Neutral
Formalin 10%, etanol (70%, 80% 90%, absolut), etanol bertingkat (30%, 50%,
70%, 80%, 96%, absolute), xylene, paraffin, lithium carbonat, pewarna jaringan
Mayer Hematoxyline, pewarna Eosin, antibodi primer Rabbit anti-C. burnetii
antibody, Streptavidin-horseradish peroxidase (SA-HRP), methanol, H2O2, serum
1% FBS, antibodi sekunder biotin, PBS tween, diaminobenzidine (DAB), aquades,
pakan mencit, dan sekam sebagai alas kandang.
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah alat pemeliharaan dan
perlakuan hamster (kandang dan syringe untuk injeksi antigen), alat nekropsi
(jarum pentul, styrofoam, scalpel, gunting, pinset, dan pot plastik), alat pembuatan
ekstrak (mortar dan centrifuge), dan alat untuk pembuatan sediaan histopatologi
(gelas ukur, tissue cassete, tissue basket, tissue tang, Paraffin Embedding Console,
object glass, cover glass, automatic tissue processor, microtome, staining system),
serta alat photomicrograph, dan mikroskop cahaya.

Metode Penelitian
Persiapan Hewan Coba
Mencit harus berasal dari induk yang sama dan dipastikan bebas dari
penyakit. Kandang mencit dibuat dari basket plastik ukuran sedang yang atasnya
ditutup dengan kawat. Kandang diletakkan pada meja atau rak yang telah
disediakan dan dijaga agar tidak basah. Suhu optimum ruangan untuk mencit
adalah 22-24°C dan kelembaban udara 50-60% dengan ventilasi yang cukup
(namun tidak ada jendela yang terbuka). Lantai kandang diberi sekam yang
berfungsi untuk memberikan kenyamanan.
Persiapan Antigen
Antigen berasal dari C. burnetii strain Nine Mile yang didapat dari
Laboratorium Rickettsia dan Chlamydia, National Institute of Infectious Disease,
Tokyo. Pada pasase pertama 4 ekor hamster diinjeksi dengan antigen C. burnetii
strain dengan jumlah 106. Limpa hamster pasase pertama kemudian digerus untuk

4
diambil ekstraknya. Pembuatan ekstrak dengan cara menambahkan PBS pada
gerusan limpa. Kemudian campuran tersebut disentrifuse untuk diambil
ekstraknya. Ekstak limpa tersebut kemudian diinjeksikan kembali pada 2 ekor
hamster lainnya (pasase kedua) dengan dosis 0,4 ml/BB dan diinkubasi selama 7
hari. Limpa hamster pasase kedua ini kemudian digerus untuk diambil ekstraknya.
Penginjeksian Antigen
Penelitian ini menggunakan 7 ekor mencit yang diinjeksikan secara
intraperitonial dengan ekstrak limpa hamster pasase kedua dengan dosis 0,4
ml/BB. Lalu mencit tersebut diinkubasi selama 7 hari, dilihat perubahan fisik,
dinekropsi untuk dipanen organ limpa dan hati. Masing-masing organ dipisahkan
dan dimasukkan ke dalam pot plastik yang berisi Buffered Neutral Formalin 10%
selama kurang lebih 48 jam yang kemudian diproses untuk pembuatan sediaan
histopatologi.
Pembuatan Sediaan Histopatologi
Limpa dan hati yang telah dikoleksi kemudian dipotong dengan ketebalan
kurang lebih 3 mm. Potongan organ tersebut dicuci dengan PBS, kemudian
difiksasi dengan menggunakan Buffered Neutral Formalin 10% kemudian
dimasukkan ke dalam tissue cassete. Selanjutnya dilakukan proses dehidrasi
dengan etanol bertingkat (30%, 50%, 70%, 80%, 96% dan absolute). Jaringan
yang telah didehidrasi kemudian diclearing menggunakan xylene 2 kali, masingmasing 60 menit. Proses dilanjutkan dengan infiltrasi menggunakan parafin lunak
selama 60 menit pada suhu 48oC, kemudian dilakukan pemblokan dalam parafin
keras pada cetakan dan didiamkan selama sehari. Parafin yang sudah mengeras
ditempelkan pada holder untuk dilakukan pemotongan setebal 4-6 µm dengan
rotary microtome. Kemudian dilakukan proses deparafinasi dengan cara slide
direndam didalam xylene sebanyak 2 kali dengan durasi masing-masing selama 3
menit. Selanjutnya dilakukan proses rehidrasi menggunakan etanol bertingkat
(30%, 50%, 70%, 80%, 96% dan absolute) masing-masing 3 menit dan dibilas
dengan menggunakan dH2O selama 3 menit.
Pewarnaan Hematoksilin Eosin
Pewarnaan dilakukan pertama-tama dengan perwarna Mayer’s
Hematoksilin selama 8 menit, kemudian dibilas dengan air mengalir dan dicuci
dengan Lithium Carbonat selama 3 detik, setelah itu dibilas dengan air mengalir
lagi. Selanjutnya jaringan dicelupkan ke dalam pewarna Eosin selama 15 detik.
Sediaan dicuci dengan celupan etanol 90% sebanyak 10 kali, etanol absolut I 10
kali, etanol absolut II selama 2 menit, xylene I selama 1 menit, xylene II selama 1
menit. Langkah berikutnya dilanjutkan dengan menetesi sediaan dengan perekat
PermountTM kemudian ditutup dengan cover glass. Sediaan kemudian diperiksa
menggunakan mikroskop cahaya.
Pewarnaan Imunohistokimia Terhadap Antigen Coxiella burnetii
Sebelum diwarnai dengan pewarnaan imunohistokimia slide preparat harus
diunmasking terlebih dahulu dengan menggunakan citrate buffer selama 15 menit
dengan suhu 95oC. Slide preparat dicuci dengan PBS tween, kemudian dilakukan
blocking endogenous peroxidase menggunakan 0,3% H2O2 dalam methanol

5
selama 30 menit. Slide selanjutnya dicuci dengan PBS tween sebanyak 3 kali
selama 5 menit kemudian dilakukan proses Blocking normal serum menggunakan
serum 1% FBS selama 30 menit pada suhu ruang. Slide preparat yang telah
dibloking selanjutnya dicuci dengan PBS tween sebanyak 3 kali selama 5 menit
sebelum diinkubasi dengan antibodi primer Rabbit anti-C. burnetii antibody
selama 24 jam pada suhu 4oC. Slide yang telah diinkubasi tersebut dicuci
sebanyak 3 kali selama 5 menit dengan menggunakan PBS tween kemudian
ditetesi dengan antibodi sekunder biotin dan diinkubasi lagi selama 30 menit pada
suhu ruang. Selanjutnya dilakukan pencucian sebanyak 3 kali selama 5 menit
dengan menggunakan PBS tween kemudian ditetesi dengan Streptavidinhorseradish peroxidase (SA-HRP) selama 30 menit. Slide dicuci lagi dengan
menggunakan PBS tween sebelum dilakukan proses aplikasi kromogen
diaminobenzidine (DAB) dan dibilas dengan H2O. Slide yang telah dibilas
selanjutnya dicuci lagi sebanyak 3 kali selama 5 menit dengan menggunakan PBS
tween. Proses selanjutnya dilakukan counter staining selama ± 7 detik dengan
menggunakan Mayer Hematoxyline, kemudian dilakukan pencucian dengan air.
Selanjutnya dilakukan proses dehidrasi, clearing dan diakhiri dengan proses
mounting menggunakan cover glass. Preparat selanjutnya diperiksa menggunakan
mikroskop cahaya.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Pemeriksaan Makroskopis
Mencit yang diinfeksi C. burnetii yang berasal dari ekstrak limpa hamster
menyebabkan infeksi akut. Semua mencit perlakuan yang terinfeksi menunjukkan
gejala klinis berupa rambut yang tidak beraturan, penurunan aktivitas, susah
bergerak karena disebabkan oleh penampilan yang bungkuk, dan pembesaran
abdomen (Gambar 1). Hal ini sejalan dengan penelitian Andoh et al. (2003) yang
menyatakan bahwa pada mencit yang terinfeksi C. burnetii setelah 7 hari
inokulasi akan menunjukkan gejala klinis berupa rambut yang tidak beraturan,
susah bergerak, penampilan yang bungkuk, dan pembesaran abdomen.
Hasil pemeriksaan patologi anatomi (PA) mencit yang diinfeksi C. burnetii
menunjukkan pembesaran limpa (splenomegaly) (Gambar 2), dan pembesaran hati
(hepatomegaly) (Gambar 3). Hal ini juga sejalan dengan penelitian Andoh et al.
(2003) yang menyatakan bahwa hepatosplenomegaly merupakan gejala yang
paling menonjol pada mencit yang terinfeksi C. burnetii.

6

Gambar 1 Gejala klinis mencit yang diinfeksi C. burnetii berupa rambut yang
tidak beraturan, penurunan aktivitas, susah bergerak karena
disebabkan oleh penampilan yang bungkuk, dan pembesaran
abdomen

Gambar 2 Gambaran patologi anatomi (PA) mencit yang diinfeksi C. burnetii
organ limpa menunjukkan pembesaran limpa (splenomegaly)

Gambar 3 Gambaran patologi anatomi (PA) mencit yang diinfeksi C. burnetii
organ hati menunjukkan pembesaran hati (hepatomegaly) (tanda
panah)

7
Hasil Pemeriksaan Histopatologi Hati
Hasil pengamatan histopatologi menggunakan pewarnaan Hematoksilin
Eosin (HE) pada jaringan hati mencit yang telah disuntik agen C. burnetii setelah
pasase kedua pada hamster yang diinkubasi selama 7 hari secara umum terlihat
adanya peradangan pada perifer, radang granulomatosa parenkim hati, dan
aktivasi folikel limfoid. Hasil selengkapnya dirangkum dalam Tabel 1.
Hati merupakan organ terbesar dan memiliki fungsi yang penting bagi
kehidupan sebagai pusat metabolisme tubuh dan memiliki fungsi yang banyak dan
komplek (Guyton 2000). Menurut McGavin (2007) kerusakan yang terjadi pada
sel hati dapat bersifat sementara dan tetap. Sel-sel pada hati akan mengalami
perubahan untuk beradaptasi dalam mempertahankan hidup pada kerusakan yang
bersifat sementara. Gangguan kecil pada fungsi hati dapat dengan cepat
menyebabkan perubahan umum baik secara patologi anatomi maupun
histologinya. Kelainan hati yang bersifat multi fokus, sering ditemukan sebagai
hasil reaksi organ hati terhadap masuknya mikroorganisme dan parasit. Adanya
infeksi C. burnetii menyebabkan kerusakan hepatosit.
Pada hati terjadi peradangan di bagian tertentu. Interstisium hati
mengalami perluasan sinusoid yang disertai dengan hemoragi. Pembuluh darah
mengalami dilatasi, kongesti, akumulasi protein plasma, dan aktivasi dari folikel
limfoid pada dinding pembuluh darah. Sedangkan pada parenkhim hati dapat
dilihat adanya radang granuloma, degenerasi hidropis pada sel hepatosit, dan
nekrosa sel hati (Gambar 4). Hepatosit yang mengalami degenerasi secara
berkelanjutan akan mengalami kerusakan yang permanen dan akan mengalami
kematian sel (nekrosa). Kejadian nekrosa ini dapat menyebabkan kromatin inti
berbentuk menggumpal, pecah (karyorexis) dan menghilang (karyolisis) (Cheville
1999).
Tabel 1 Hasil pengamatan histopatologi hati mencit yang diinfeksi C. burnetii
Mencit
Perifer
A

B

C

D

E

F

G

peradangan tetapi
tidak terjadi
penebalan
peradangan tetapi
tidak terjadi
penebalan
peradangan tetapi
tidak terjadi
penebalan
peradangan tetapi
tidak terjadi
penebalan
peradangan tetapi
tidak terjadi
penebalan
peradangan tetapi
tidak terjadi
penebalan
peradangan tetapi
tidak terjadi
penebalan

Hemaktosilin Eosin (HE)
Sel hepatosit
Folikel
limfoid
Degenerasi, nekrosa &
Terjadi
terdapat granulomatosa aktivasi
hepatitis
Degenerasi, nekrosa &
Terjadi
terdapat granulomatosa aktivasi
hepatitis
Degenerasi, nekrosa &
Terjadi
terdapat granulomatosa aktivasi
hepatitis
Degenerasi, nekrosa &
Terjadi
terdapat granulomatosa aktivasi
hepatitis
Degenerasi, nekrosa &
Terjadi
terdapat granulomatosa aktivasi
hepatitis
Degenerasi, nekrosa &
Terjadi
terdapat granulomatosa aktivasi
hepatitis
Degenerasi, nekrosa &
Terjadi
terdapat granulomatosa aktivasi
hepatitis

Pembuluh darah
& kapiler
Kongesti &
akumulasi
protein plasma
Kongesti &
akumulasi
protein plasma
Kongesti &
akumulasi
protein plasma
Kongesti &
akumulasi
protein plasma
Kongesti &
akumulasi
protein plasma
Kongesti &
akumulasi
protein plasma
Kongesti &
akumulasi
protein plasma

Imunohisto
kimia
(IHK)
+

+

+

+

+

+

+

8

Gambar 4 Gambaran histopatologi hati mencit yang diinfeksi C. burnetii. a.
Granulomatosa parenkhim hati (GH) hingga terbentuk nekrosa dan
degenerasi (D) sel hepatosit. b. Aktivasi folikel limfoid (FL), kongesti
pembuluh darah (K) dan akumulasi plasma protein (PL). Pewarnaan
HE. Perbesaran objektif 20x.
Peradangan yang terjadi ditandai dengan adanya lesi granulomatosa berisi
sel-sel radang seperti limfosit, makrofag, dan netrofil. Menurut Ganong (2002)
invasi bakteri ke dalam tubuh akan mencetuskan suatu respon peradangan.
Terdapatnya infiltrasi sel radang merupakan suatu respon tanggap kebal terhadap
benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Hal tersebut juga merupakan reaksi
patofisiologis untuk melawan segala bentuk agen yang merugikan. Kehadiran sel
radang ini menunjukan bahwa C. burnetii mampu menyebabkan terjadinya suatu
peradangan pada hati yang merangsang sumsum tulang untuk melepaskan sel radang
(netrofil, limfosit dan makrofag). Hal ini sesuai dengan pernyataan Maurin dan
Raoult (1999) bahwa pada pemeriksaan histopatologi jaringan hati hewan yang
terinfeksi C. burnetii akan menunjukkan adanya nekrosa dari sel hepatosit pada
daerah tertentu, dan adanya infiltrasi sel radang yang terdiri dari makrofag dengan
bentuk epitheloid, limfosit, polimorfonuklear leukosit, dan fibrin.

Hasil Pemeriksaan Histopatologi Limpa
Gambaran histopatologi limpa secara umum akibat infeksi C. burnetii
setelah pasase kedua pada hamster yang diinkubasi selama 7 hari menunjukkan
peradangan (splenitis). Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2. Limpa
merupakan organ limfoid di dalam tubuh yang memiliki fungsi utama membentuk
limfosit, menghancurkan eritrosit serta mempertahankan organisme terhadap
partikel asing yang masuk dalam aliran darah (Aughey dan Frye 2001). Dalam
menjalankan fungsi tersebut, limpa akan menghasilkan antibodi terhadap antigen
yang diangkut melalui darah (Tizard 2004). Perubahan histopatologi limpa mencit
berupa deplesi pulpa putih, hemoragi pada pulpa merah dan terjadinya infiltrasi
sel radang pada pulpa merah (Gambar 5). Leone et al. (2007) menyatakan bahwa
mencit dewasa yang terinfeksi C. burnetii akan terbentuk granuloma yang terdiri
dari beberapa sel radang seperti makrofag, limfosit dan sel polimorfonuklear yang
terdeteksi dalam pulpa merah limpa.

9
Tabel 3 Hasil pengamatan histopatologi limpa mencit yang diinfeksi C. burnetii
Mencit
A
B
C
D
E
F
G

Hemaktosilin Eosin (HE)
Kapsula
Pulpa merah
Tidak ada kelainan
Peradangan dan
hemoragi
Tidak ada kelainan
Peradangan dan
hemoragi
Tidak ada kelainan
Peradangan dan
hemoragi
Tidak ada kelainan
Peradangan dan
hemoragi
Tidak ada kelainan
Peradangan dan
hemoragi
Tidak ada kelainan
Peradangan dan
hemoragi
Tidak ada kelainan
Peradangan dan
hemoragi

Pulpa putih
Deplesi pulpa
putih
Deplesi pulpa
putih
Deplesi pulpa
putih
Deplesi pulpa
putih
Deplesi pulpa
putih
Deplesi pulpa
putih
Deplesi pulpa
putih

Imunohistokimia
(IHK)
+
+
+
+
+
+
+

Gambar 5 Gambaran histopatologi limpa mencit yang diinfeksi C. burnetii.
Deplesi pulpa putih (DL), Hemoragi pada pulpa merah (H).
Pewarnaan HE. Perbesaran objektif 10x
Antigen C. burnetii yang menyerang sel limfoid pulpa putih menyebabkan
sitolisis sehingga inti dari sel limfoid akan pecah. Mekanisme ini disebut dengan
deplesi pulpa putih. Deplesi pulpa putih yang terjadi akan memicu hadirnya sel
radang sebagai respon inflamasi akut. Hemoragi yang terjadi pada limpa
merupakan suatu akibat dari kerusakan endotel yang ditimbulkan oleh infeksi akut
antigen C. burnetii. Apabila terjadi perdarahan atau infeksi akut maka akan terjadi
peningkatan jumlah platelet dalam peredaran darah perifer. Pada saat itu akan
terjadi peningkatan jumlah megakaryosit. Menurut Guyton (2000) peningkatan
jumlah megakaryosit dimaksudkan untuk menghasilkan lebih banyak lagi
trombosit yang berguna untuk menutupi dinding pembuluh darah yang rusak
akibat adanya serangan dari antigen. Hal tersebut merupakan suatu respon tanggap
kebal terhadap adanya antigen yang masuk ke limpa melalui darah sehingga

10
menunjukan adanya peningkatan aktivitas hematopoeitic sebagai akibat dari suatu
perdarahan pada limpa.

Hasil Pemeriksaan Imunohistokimia
Hasil pengamatan histopatologi menggunakan pewarnaan imunohistokimia dapat dilihat bahwa organ hati dan limpa pada semua mencit positif
terinfeksi C. burnetii. Keberadaan C. burnetii di organ hati dapat dilihat dengan
jelas pada sitoplasma makrofag atau monosit dari semua mencit (Gambar 6). Pada
limpa mencit juga menunjukkan perubahan yang jelas dan nyata seperti halnya
pada hati. Adanya infeksi dan keberadaan C. burnetii pada limpa mencit terlihat
pada bagian pulpa merah dan pulpa putih limpa (Gambar 7). Hal tersebut dapat
membuktikan bahwa pada mencit yang diinfeksikan antigen C. burnetii yang
berasal dari ekstrak limpa hamster pada pasase kedua melalui rute intraperitonial
memiliki tingkat virulensi dan patogenitas yang sangat tinggi. Rute intraperitonial
akan menyebabkan antigen yang masuk ke tubuh mencit lebih mudah diabsorbsi,
kemudian masuk ke dalam pembuluh darah dan saluran limfatik, sehingga terjadi
respon tanggap kebal terhadap adanya antigen. Hal tersebut menyebabkan infeksi
sistemik yang terlihat pada hati dan limpa. Deteksi keberadaan C. burnetii
menggunakan metode imunohistokimia menunjukkan hasil yang positif pada
mencit. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Andoh et al. (2003) dan Lepidi et
al. (2008) yang menyatakan bahwa imunodeteksi dari C. burnetii dapat terlihat
pada organ yang telah terinfeksi menggunakan metode imunohistokimia. Selain
itu teknik imunohistokimia juga merupakan teknik yang cepat dan tidak
memerlukan bakteri hidup atau jaringan segar untuk diagnosis.

Gambar 6 Gambaran hati mencit yang diinfeksi C. burnetii. Hasil positif
imunoreaktif dapat dilihat pada sitoplasma makrofag pada proliferasi
sel radang (tanda panah). Pewarnaan imunohistokimia. Perbesaran
objektif 100x.

11

Gambar 7 Gambaran limpa mencit yang diinfeksi C. burnetii, menunjukkan
imunoreaktif yang jelas adanya infeksi dan keberadaan C. burnetii
(tanda panah). a. Pulpa merah, b. Pulpa putih. Pewarnaan
imunohistokimia. Perbesaran objektif 100x.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Mencit yang diinfeksi C. burnetii pasase dua kali pada hamster selama 7
hari post infeksi menunjukkan gejala klinis berupa rambut yang tidak beraturan,
penurunan aktivitas, susah bergerak, dan pembesaran abdomen. Patologi anatomi
(PA) organ hati dan limpa mengalami perubahan berupa pembesaran hati
(hepatomegaly), dan pembesaran limpa (splenomegaly). Gambaran histopatologi
hati berupa degenerasi sel hepatosit, nekrosa sel hepatosit, dan adanya radang
granulomatosa. Gambaran histopatologi limpa berupa peradangan yang ditandai
dengan deplesi pulpa putih dan infiltrasi sel radang pada pulpa merah. Pewarnaan
imunohistokimia menunjukkan hasil positif C. burnetii pada limpa dan hati
mencit.

Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut infeksi C. burnetii pada mencit dan
pengamatan pada organ lainnya menggunakan metode imunohistokimia guna
mendapatkan gambaran lebih lengkap dan komprehensif patogenesis Q fever pada
hewan laboratorium.

12

DAFTAR PUSTAKA
Andoh M, Naganawa T, Hotta A, Yamaguchi T, Fukushi H, Masegi T, Hirai K.
2003. SCID Mouse Model For Lethal Q Fever. Infect Immun. 71(8):4717–4723.
doi: 10.1128/IAI.71.8.4717–4723.2003.
Aughey E, Frye FL. 2001. Comparative Veterinary Histology with Clinical
Correlates. Iowa(US): Iowa State University Press. 258.
Angelakis E, Raoult D. 2010. Q fever. Vet Microbiol. 140(3): 297–309.
Boenisch MST. 2001.Immunochemical Stainning Methods Ed 3. California(US).
DAKO Corporation. 12-14.
[CDC] Centers for Disease Control and Prevention. 2005. Q Fever. Georgia USA:
National Center for Infectious Diseases, Division of Viral and Rickettsial
Diseases, Viral and Rickettsial Zoonoses Branch, Atlanta. 1-5.
[CDC] Centers for Disease Control and Prevention. 2012. Statistic-Q fever.
Georgia USA: Centers for Disease Control and Prevention 1600 Clifton Rd.
Atlanta.
Cheville NF. 1999. Introduction to Veterinary Pathology. Iowa(US): Iowa State
University Press. (2):101-154.
[CFSPH] Center for Food Security and Public Health. 2007. Q Fever. Ames Iowa
USA : Iowa State University College of Veterinary Medicine. 1-6.
Coulombier D. 2010. Query Fever: An Opportunity To Understand The Disease
Better. European Centre for Disease Prevention and Control, Stockholm,
Sweden [Internet]. J Euro Surveill. 15(12);[diunduh 2013 Feb 2].Tersedia
pada: http://www.eurosurveillance.org/ViewArticle.aspx?ArticleId=19526
[ECDC] European Centre For Disease Prevention and Control. 2010. Panel with
Representatives from the Netherlands, France, Germany, United Kingdom,
United States of America. Risk assessment on Q fever. ECDC Technical
[Terhubung Berkala]. [diunduh 2013 Jan 27]. Tersedia pada:
http://ecdc.europa.eu/
Fournier PE, Thomas JM, Raoult D. 1998. Diagnosis of Q fever. J Clin Microbiol.
36(7):1823-1834.
Guyton A, Hall J. 2000. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta(ID): EGC.
Harada T, Akiko E, Gary AB, Robert RM. 1999. Liver and Gallblader. Maronpot
RR, Gary AB, Beth WG, editor. America(US): Cache River Press. Terjemahan
dari: Pathology of The Mouse.
Leone M, Bechah Y, Meghari S, Lepidi H, Capo C, Raoult D, Mege JL. 2007. C.
burnetiiInfection Inc57bl/6 Mice Aged 1 or 14 Months. FEMS Immunol Med
Microbiol. 50(2007):396–400. doi:10.1111/J.1574-695X.2007.00272.X
Lepidi H, Gouriet F, Raoult D. 2008. Immunohistochemical Detection of C.
burnetiiin Chronic Q fever Hepatitis. European Society of Clinical
Microbiology and Infectious Diseases. CMI. Suppl. 2(15):169–170.
doi:10.1111/j.1469-0691.2008.02212.x
Maurin M, Raoult D. 1999. Q fever. J Clin Microbiol. Rev. 12:518–553.
McGavin M, Donald, Zachary, James F. 2007. Pathologic Basic of Veterinary
Disease. China(CN): Mosby, Inc. P:12-17.

13
Moriwaki K, Shiroishi T, Yonekawa H. 1994. Genetic in Wild Mice. Its
Aplication to Biomedical Research. Tokyo(JP): Japan Scientific Sosieties Press.
Karger.
Playfair JHL, Chain BM. 2005. Immunology At A Glance Eight Edition.
London(GB): Blackwell Publishing
Porter SR, Czaplicki G, Mainil J, Guatt´eo R, Saegerman C. 2011. Q Fever:
Current State of Knowledge and Perspectives of Research of a Neglected
Zoonosis. Intern J Microbiol. 2011:22 doi: 10.1155/ 2011/248418. ID 248418.
Setiyono A, Ogawa M, Cai Y,Shiga S, Kishimoto T,Kurane I.2005. New Criteria
for Immunofluorescent Assay for Q fever Diagnosis in Japan. J Clin Microbiol
43:5555-5559.
Soejoedono RR. 2004. Zoonosis. Bogor(ID): Laboratorium Kesmavet FKH-IPB.
Swearengen JR.2012. Biodefense: Research Methodology and Animal Models.
America(US):Taylor &Francis Group LLC.
Tizard I. 2004. Veterinary Imunology Third Edition. Surabaya(ID): Airlangga
University.

14

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Payakumbuh Sumatera Barat pada tanggal 28
Juni 1992 dari ayah Martion (alm) dan Ibu Refni Amir.SPd, Msi. Penulis adalah
putri ketiga dari empat bersaudara.
Pendidikan formal yang pernah ditempuh sebelumnya, yaitu pada tahun
1997 penulis bersekolah di SDN 06 Kota Payakumbuh dan lulus pada tahun 2004.
Pada tahun yang sama juga penulis melanjutkan Sekolah Menengah Pertama di
SMPN 9 Kota Payakumbuh dan selesai pada tahun 2006. Tahun 2009 penulis
lulus dari SMA Negeri 1 Kota Payakumbuh dan pada tahun yang sama penulis
lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB dan diterima di Fakultas Kedokteran Hewan.
Selama perkuliahan penulis juga aktif didalam kegiatan organisasi
kemahasiswaan. Salah satunya penulis pernah menjadi bagian dari anggota
organisasi HIMPRO RUMINANSIA FKH IPB dan anggota Paduan Suara Gita
Klinika FKH IPB.