PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP KOMPONEN FISIK DAN KOMPONEN MENTAL KUALITAS HIDUP PASIEN UROLITHIASIS

(1)

i

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP KOMPONEN FISIK DAN KOMPONEN MENTAL KUALITAS HIDUP

PASIEN UROLITHIASIS TESIS

Untuk memenuhi syarat memperoleh derajat Magister Keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN

Oleh

WINDY ASTUTI CAHYA NINGRUM 20141050016

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(2)

i TESIS

Untuk memenuhi syarat memperoleh derajat Magister Keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN

Oleh

WINDY ASTUTI CAHYA NINGRUM 20141050016

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(3)

ii

LEMBAR PENGESAHAN

TESIS

EFEKTIFITAS PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP KOMPONEN FISIK DAN KOMPONEN MENTAL KUALITAS HIDUP

PASIEN UROLITHIASIS Telah diujikan pada tanggal:

9 Sepetember 2016

Oleh:

WINDY ASTUTI CAHYA NINGRUM NIM. 20141050016

Penguji:

Dr. dr. Titiek Hidayati., M.Kes. (...)

Rahmah, S.Kep., Ns., M.Kep., Sp.Kep.An. (...)

Novita Kurnia Sari, Ns., M.Kep. (...)

Mengetahui,

Ketua Program Magister Keperawatan Program Pascasarjana

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta


(4)

iii Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Windy Astuti Cahya Ningrum

NIM : 20141050016

Program Studi : Magister Keperawatan

Menyatakan bahwa saya tidak melakukan kegiatan plagiat dalam penulisan tesis saya yang berjudul “Pengaruh Pendidikan Kesehatan terhadap Komponen Fisik dan Komponen Mental Kualitas Hidup Pasien Urolithiasis”

Saya bersedia menerima sanksi yang telah ditetapkan jika terbukti melakukan tindakan plagiat.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Yogyakarta, September 2016


(5)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Dengan rasa syukur, saya persembahkan tesis ini kepada:

1. Kedua orang tua yang senantiasa menyertai dengan doa dan memberikan motivasi serta semangat yang luar biasa.

2. Suamiku yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan kuliah ini dan selalu memberikan doa, motivasi dan semangat yang tiada henti

3. Kakak dan adik yang selalu memberikan doa dan motivasi.

4. Teman-teman angkatan V Magister Keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang selalu senantiasa memberikan bantuan, motivasi dan doa.


(6)

v

Segala Puji Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia dan rahmadNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul Pengaruh Pendidikan Kesehatan terhadap Komponen Fisik dan Komponen Mental Kualitas Hidup Pasien Urolithiasis. Ketertarikan penulis akan penelitian ini didasari oleh keinginan penulis dalam mengetahui pendidikan kesehatan terhadap peningkatan kualitas hidup pasien. Dengan terselesaikannya tesis ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Fitri Arofiati, S.Kep., Ns., MAN., Ph.D selaku Ketua Program Studi Magister Keperawatan Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

2. Ibu Dr. dr. Titiek Hidayati, M.Kes selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan waktu, semangat dan motivasi serta petunjuk dalam pembuatan tesis ini.

3. Ibu Rahmah, S.Kep., Ns., M.Kep., Sp. An. selaku pembimbing II yang telah memberikan waktu, motivasi, dan petunjuk dengan sabar dan telaten dalam pembuatan tesis ini.

4. Ibu Novita Kurnia Sari, Ns., M.Kep. selaku penguji yang telah memberikan masukan dan saran.

5. Direktur Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta dan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul yang telah memberikan ijin untuk penelitian hingga terselesaikannya tesis ini.

6. Responden yang bekerjasama dalam terselesaikannya tesis ini.

7. Bapak/ ibu dosen Program Studi Magister Keperawatan Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang telah membekali ilmu.

8. Bapak/ ibu staff dan karyawan Program Studi Magister Keperawatan Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang telah membantu proses terselesaikannya tesis ini.

9. Seluruh anggota keluargaku yang selalu memberikan doa, semangat dan motivasi yang terus menerus.


(7)

vi

10.Seluruh sahabat yang memberikan dukungan, semangat, motivasi serta doa. 11.Teman-teman angkatan V Program Studi Magister Keperawatan yang selalu

memberikan motivasi

Penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif bagi kesempurnaan tesis ini sehingga tesis ini dapat bermanfaat khususnya bagi ilmu keperawatan.

Yogyakarta Penulis,


(8)

vii

Halaman HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

HALAMAN ORIGINALITAS ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR SKEMA ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

ABSTRAK ... xii

ABSTRACT ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Penelitian Terkait ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori ... 12

1. Urolithiasis ... 12

2. Kualitas hidup ... 31

3. Pendidikan Kesehatan ... 41

B. Kerangka Teori ... 47

C. Kerangka Konsep ... 48

D. Hipotesis ... 48

BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 49

B. Populasi dan Sampel Penelitian ... 50

C. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 52

D. Variabel Penelitian ... 52

E. Definisi Operasional ... 53

F. Instrumen Penelitian ... 54

G. Uji Validitas dan Reabilitas ... 55

H. Cara Pengumpulan Data ... 55

I. Analisa Data ... 60

J. Etika Penelitian ... 62

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 64


(9)

viii

2. Analisis Bivariat ... 68

B. Pembahasan ... 70

1. Latar belakang penelitian ... 70

2. Karakteristik responden ... 71

3. Gambaran Domain Kualitas Hidup ... 76

4. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Komponen Fisik Kualitas Hidup Pasien Urolithiasis ... 81

5. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Komponen Mental Kualitas Hidup Pasien Urolithiasis ... 85

6. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Komponen Fisik Dan Komponen Mental Kualitas Hidup Pada Kelompok Kontrol Dan Kelompok Intervensi ... 88

C. Keterbatasan Penelitian ... 92

D. Implikasi dalam keperawatan ... 93

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 94

B. Saran ... 95

DAFTAR PUSTAKA ... 96 LAMPIRAN


(10)

ix

Tabel 2.1 Urutan Radio-opasitas Beberapa Jenis Batu Saluran Kemih ... 24 Tabel 2.2 Penanganan Medis Untuk Renal atau Ureteral Calculi ... 27 Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 53 Tabel 3.2 Analisa Bivariat Efektivitas Pemberian Pendidikan Kesehatan

Terhadap Kualitas Hidup Pasien Urolithiasis ... 61 Tabel 4.1 Distribusi Karakteristik Responden dan Homogenitas

Responden Kelompok Kontrol dan Kelompok Intervensi Pada Pasien Urolithiasis (n1=12, n2=12) ... 65 Tabel 4.2 Distribusi Skor Rata-Rata Komponen Fisik dan Komponen

Mental Kualitas Hidup dan Homogenitas Responden Pasien Urolithiasis Sebelum Dilakukan Pendidikan Kesehatan (n1=12, n2=12) ... 66 Tabel 4.3 Distribusi Skor Rata-Rata Komponen Fisik dan Komponen

Mental Kualitas Hidup dan Homogenitas Responden Pasien Urolithiasis Sesudah Dilakukan Pendidikan Kesehatan (n1=12, n2=12) ... 67 Tabel 4.4 Hasil Uji Beda Skor Rata-Rata Komponen Fisik Kualitas Hidup

Pasien Urolithiasis Sebelum dan Sesudah Dilakukan Pendidikan Kesehatan Pada Kelompok Kontrol dan Kelompok Intervensi (n1=12, n2=12) ... 68 Tabel 4.5 Hasil Uji Beda Skor Rata-Rata Komponen Mental Kualitas

Hidup Pasien Urolithiasis Sebelum dan Sesudah Dilakukan Pendidikan Kesehatan Pada Kelompok Kontrol dan Kelompok Intervensi (n1=12, n2=12) ... 69 Tabel 4.6 Hasil Uji Beda Skor Rata-Rata Komponen Fisik dan Komponen

Mental Kualitas Hidup Pasien Urolithiasis pada Kelompok Kontrol Dan Kelompok Intervensi ... 70


(11)

x

DAFTAR SKEMA

Halaman

Skema 2.1 Skala Pengukuran Kualitas Hidup Menurut SF-36 ... 40

Skema 2.2 Kerangka Teori ... 47

Skema 2.3 Kerangka Konsep ... 48

Skema 3.1 Rancangan Penelitian ... 49


(12)

xi

Lampiran 2. Lembar penjelasan kepada calon responden Lampiran 3. Formulir persetujuan mengikuti penelitian Lampiran 4. Kuesioner karakteristik responden

Lampiran 5. Kuesioner kualitas hidup Lampiran 6. Penilaian Kualitas Hidup Lampiran 7. Leaflet urolithiasis

Lampiran 8. Satuan Acara Pembelajaran Lampiran 9. Surat keterangan kode etik Lampiran 10. Surat izin penelitian Lampiran 11. Output data


(13)

xii

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP KOMPONEN FISIK DAN KOMPONEN MENTAL KUALITAS HIDUP

PASIEN UROLITHIASIS

Windy Astuti Cahya Ningrum1, Titiek Hidayati2, Rahmah3

ABSTRAK

Latar Belakang: Urolithiasis merupakan obstruksi benda padat pada saluran kemih karena faktor presipitasi endapan. Pasien yang mengalami urolithiasis kemungkinan mengalami kekambuhan hingga komplikasi berupa hidronefrosis, gagal ginjal, dan urosepsis yang dapat menjadi masalah serius terhadap kesehatan yang secara signifikan berdampak pada kualitas hidup. Pendidikan kesehatan merupakan salah satu intervensi yang diberikan untuk merubah gaya hidup sehat dan meningkatkan kualitas hidup pasien baik pada komponen fisik dan komponen mental.

Tujuan Penelitian: Mengidentifikasi pengaruh pendidikan kesehatan terhadap komponen fisik dan komponen mental kualitas hidup pasien urolithiasis.

Metode penelitian: Desain penelitian quasy experiment, pretest-posttest design. Intervensi diberikan dengan memberikan pendidikan kesehatan pada kelompok intervensi dan rutinitas pada kelompok kontrol. Sampel berjumlah 24 orang terdiri dari 12 intervensi dan 12 kontrol dengan teknik consecutive sampling. Instrumen penelitian adalah Short Form-36. Analisis menggunakan uji mann whitney test. Hasil: Rata-rata usia < 46 tahun, sebagian besar laki-laki, berpendidikan rendah, bekerja, tidak memiliki riwayat keluarga dan IMT normal. Pengaruh pendidikan kesehatan terhadap komponen fisik kualitas hidup p value 0,037. Pengaruh pendidikan kesehatan terhadap komponen mental kualitas hidup p value 0,037. Kesimpulan: Ada pengaruh pendidikan kesehatan terhadap komponen fisik maupun komponen mental kualitas hidup pasien urolithiasis. Disarankan peneliti selanjutnya untuk melakukan screening awal pengetahuan responden sehingga hasil yang diperoleh lebih akurat.

Kata Kunci: Kualitas hidup, Komponen Fisik, Komponen Mental, Urolithiasis, Short Form-36

1

Mahasiswa Program Magister Keperawatan, Program Pascasarjana, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

2

Departemen Epidemiologi, Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Keluarga, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

3

Program Magister Keperawatan, Program Pascasarjana, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta


(14)

xiii

Windy Astuti Cahya Ningrum1, Titiek Hidayati2, Rahmah3 ABSTRACT

Background: Urolithiasis is a solid obstruction on urinary tract because of the precipitation sludge. The patients with urolithiasis probably experience a relapse to complication such as hydronephrosis, kindney failure, and urosepsis may become a serious problem for health which significantly affects to quality of life. The health education is an intervention given to change healthy lifestyle and to improve patients’ physical component and mental component of quality of life. Research Objective: To identify the effect of health education toward physical component and mental component quality of life of patients with urolithiasis. Research Method: The research design was quasy experiment and pretest-posttest design. The intervention is given by giving health education to the intervention groups and the routines to the control group. The samples are 24 people consisting of 12 from the intervention group and 12 from the control group using consecutive sampling technique. The research instrument is Short Form-36. Analysis used mann whitney test.

Results: The average age is < 46 years which are mostly men, low education, employee, do not have family history, and have normal IMT (Body Mass Index). The effect of health education toward the physical component quality of life had ρ-value 0.037. The effect of health education toward the mental component quality of life had ρ-value 0.037. Suggested for further research to conduct initial screening of knowledge respondents so the results more accurate.

Conclusion: There was an effect of health education towards the physical component and mental component quality of life of patients with urolithiasis. Keywords: Mental Component, Physical Component, Short Form-36,

Urolithiasis, Quality of Life.

1

Master of Nursing Student, Graduate Program, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

2

Department of Epidemiology, Public Health and Family Medicine, Faculty of Medicine and Health Science, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

3

Master of Nursing Program, Graduate Program, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.


(15)

(16)

xii

Windy Astuti Cahya Ningrum1, Titiek Hidayati2, Rahmah3

ABSTRAK

Latar Belakang: Urolithiasis merupakan obstruksi benda padat pada saluran kemih karena faktor presipitasi endapan. Pasien yang mengalami urolithiasis kemungkinan mengalami kekambuhan hingga komplikasi berupa hidronefrosis, gagal ginjal, dan urosepsis yang dapat menjadi masalah serius terhadap kesehatan yang secara signifikan berdampak pada kualitas hidup. Pendidikan kesehatan merupakan salah satu intervensi yang diberikan untuk merubah gaya hidup sehat dan meningkatkan kualitas hidup pasien baik pada komponen fisik dan komponen mental.

Tujuan Penelitian: Mengidentifikasi pengaruh pendidikan kesehatan terhadap komponen fisik dan komponen mental kualitas hidup pasien urolithiasis.

Metode penelitian: Desain penelitian quasy experiment, pretest-posttest design. Intervensi diberikan dengan memberikan pendidikan kesehatan pada kelompok intervensi dan rutinitas pada kelompok kontrol. Sampel berjumlah 24 orang terdiri dari 12 intervensi dan 12 kontrol dengan teknik consecutive sampling. Instrumen penelitian adalah Short Form-36. Analisis menggunakan uji mann whitney test. Hasil: Rata-rata usia < 46 tahun, sebagian besar laki-laki, berpendidikan rendah, bekerja, tidak memiliki riwayat keluarga dan IMT normal. Pengaruh pendidikan kesehatan terhadap komponen fisik kualitas hidup p value 0,037. Pengaruh pendidikan kesehatan terhadap komponen mental kualitas hidup p value 0,037. Kesimpulan: Ada pengaruh pendidikan kesehatan terhadap komponen fisik maupun komponen mental kualitas hidup pasien urolithiasis. Disarankan peneliti selanjutnya untuk melakukan screening awal pengetahuan responden sehingga hasil yang diperoleh lebih akurat.

Kata Kunci: Kualitas hidup, Komponen Fisik, Komponen Mental, Urolithiasis, Short Form-36

1

Mahasiswa Program Magister Keperawatan, Program Pascasarjana, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

2

Departemen Epidemiologi, Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Keluarga, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

3

Program Magister Keperawatan, Program Pascasarjana, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta


(17)

xiii

THE EFFECT OF HEALTH EDUCATION TOWARD THE PHYSICAL COMPONENT AND MENTAL COMPONENT QUALITY OF LIFE OF

PATIENTS WITH UROLITHIASIS

Windy Astuti Cahya Ningrum1, Titiek Hidayati2, Rahmah3 ABSTRACT

Background: Urolithiasis is a solid obstruction on urinary tract because of the precipitation sludge. The patients with urolithiasis probably experience a relapse to complication such as hydronephrosis, kindney failure, and urosepsis may become a serious problem for health which significantly affects to quality of life. The health education is an intervention given to change healthy lifestyle and to improve patients’ physical component and mental component of quality of life. Research Objective: To identify the effect of health education toward physical component and mental component quality of life of patients with urolithiasis. Research Method: The research design was quasy experiment and pretest-posttest design. The intervention is given by giving health education to the intervention groups and the routines to the control group. The samples are 24 people consisting of 12 from the intervention group and 12 from the control group using consecutive sampling technique. The research instrument is Short Form-36. Analysis used mann whitney test.

Results: The average age is < 46 years which are mostly men, low education, employee, do not have family history, and have normal IMT (Body Mass Index). The effect of health education toward the physical component quality of life had ρ-value 0.037. The effect of health education toward the mental component quality of life had ρ-value 0.037. Suggested for further research to conduct initial screening of knowledge respondents so the results more accurate.

Conclusion: There was an effect of health education towards the physical component and mental component quality of life of patients with urolithiasis. Keywords: Mental Component, Physical Component, Short Form-36,

Urolithiasis, Quality of Life.

1

Master of Nursing Student, Graduate Program, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

2

Department of Epidemiology, Public Health and Family Medicine, Faculty of Medicine and Health Science, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

3

Master of Nursing Program, Graduate Program, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.


(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembentukan batu pada sistem urinaria seperti pada ginjal, ureter, dan kandung kemih atau pada uretra disebut sebagai urolithiasis yang terbentuk dari kata ouron (urin) dan lithos (batu). Urolithiasis adalah salah satu penyakit yang sering terjadi pada saluran kemih dan merupakan salah satu sumber penyakit (Vijaya, et al., 2013). Urolithiasis merupakan obstruksi benda padat pada saluran kemih yang terbentuk karena faktor presipitasi endapan dan senyawa tertentu atau merupakan proses terbentuknya batu yang disebabkan oleh pengendapan substansi yang terdapat dalam air kemih yang jumlahnya berlebihan atau karena faktor lain yang mempengaruhi daya larut substansi (Smeltzer & Bare, 2008).

Prevalensi kejadian urolithiasis di Amerika Serikat terjadi berkisar 5-10% dari penduduk, di Eropa Utara 3-6%, dan di Eropa bagian Selatan di sekitar laut tengah 6-9% (AUA, 2007). Pembentukan batu ginjal pada bagian atas yaitu ginjal dan ureter merupakan penyakit yang umum terjadi pada sebagian pasien dengan batu ginjal dan insiden ini terjadi karena banyak mengkonsumsi kalsium dan protein hewani (Billica, 2004). Sedangkan di Indonesia, angka kejadian urolithiasis semakin meningkat setiap tahunnya pada tahun 2005 sebesar 35,4% menjadi 39,1 % pada tahun 2006 dan ada kemungkinan akan meningkat sekitar 30-40% dalam jangka waktu 5 tahun


(19)

2

(Ratu, et al., 2006). Selain itu, pada tahun 2009 telah dilakukan penelitian oleh Krisna di desa Magasari, Tegal didapatkan bahwa terdapat 43 orang penduduk yang menderita urolithiasis dari 25.000 orang penduduk.

Peningkatan jumlah pasien dengan batu saluran kemih berhubungan langsung dengan faktor-faktor pembentuk batu itu sendiri. Faktor instrinsik seperti genetik, penyakit, jenis kelamin, ras, dan usia memegang peranan sekitar 25%, sedangkan sebesar 75% lebih dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik seperti iklim tempat tinggal, geografis, dan kurang aktivitas, kebiasaan menahan buang air kecil, konsumsi air yang kurang, diet tinggi oksalat, dan sumber air minum (Eric, 2005; Rully, 2010). Menurut Vijaya, et al. (2013) pasien urolithiasis 3-4 kali lebih banyak diderita oleh laki-laki dibanding wanita atau berkisar antara 70%-81% dengan usia sebagian besar terjadi pada usia 20-50 tahun dan di Indonesia usia terbanyak adalah 30-60 tahun (Krisna, 2011)

Faktor lain yang mendukung pembentukan batu antara lain infeksi, statis urin dan periode imobilitas (Brunner & Suddart, 2015). Pembentukan batu terdiri atas kristal yang tersusun dari bahan organik maupun anorganik yang terlarut dalam urin dimana kristal-kristal tersebut dapat matastable (tetap berada di dalam urin) dan membentuk inti batu (nukleasi) yang akan menarik bahan-bahan lain sehingga akan membentuk kristal yang lebih besar (Purnomo, 2012).

Kristal yang terbentuk dapat menimbulkan obstruksi pada saluran perkemihan dan akan memperlambat drainase ginjal serta mengubah


(20)

metabolime (Brunner & Suddart, 2015). Obstruksi menyebabkan adanya peregangan dan sensasi nyeri hebat dengan diikuti adanya peningkatan prostaglandin tergantung pada letak dan besar batu sehingga dengan adanya batu saluran kemih dapat menghentikan aliran urin secara tiba-tiba dan mengalami nyeri hebat pada penis atau perineum yang dapat berkurang dengan berbaring (O’Callaghan, 2009).

Pasien yang telah mengalami urolithiasis, ada kemungkinan akan terjadi pembentukan batu berulang kurang dari 2 tahun (Siener & Hesse, 2003) dengan persentase dalam kurun waktu 1 tahun (15-17%), terjadi dalam 5-10 tahun (50%), 20-25 tahun (75%) (Moe, 2006; Okhunov, 2010). Tingginya prevalensi kekambuhan urolithiasis berulang berhubungan dengan peningkatan angka morbiditi seperti ketidaknyamanan dan kelemahan dan hospitalisasi pasien (Tiselius, 2008). Selain itu, kekambuhan penyakit ini juga dapat meningkatkan angka mortalitas dan peningkatan biaya pengobatan serta sosio-ekonomi (Lotan, et al., 2013), hal ini dapat menjadi masalah yang serius terhadap masalah kesehatan yang secara signifikan berdampak pada kualitas hidup (Lotan, et al., 2013; Tiselius, 2008).

Konsep kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan sangat multidimensi dan termasuk psikososial, fisik dan emosional status, serta otonomi pasien, dan berlaku untuk berbagai kondisi medis (Alonso, 2004). Kualitas hidup dapat juga diartikan sebagai perasaan seseorang untuk sejahtera dalam hidup, kemampuan untuk mengambil peran yang bermanfaat dan kemampuan untuk berpartisiasi. Banyak faktor yang mempengaruhi


(21)

4

kualitas hidup seseorang, seperti faktor kesehatan, ekonomi, lingkungan, keamanan dan lainnya, dalam bidang kesehatan yang dibicarakan adalah kualitas hidup yang terkait kesehatan (Guyatt, et al., 1993).

Penilaian kualitas hidup pada pasien urolithiasis bertujuan untuk meningkatkan gaya hidup sehat pasien dalam mencegah terjadinya urolithiasis berulang (Prabowo & Pranata, 2014). Gaya hidup seseorang dapat dimodifikasi dengan memperhatikan pemasukan cairan, jenis makanan atau diet yang dikonsumsi, dan aktivitas yang dilakukan sehari-hari (Colella, 2005; Lotan, et al., 2013; Siener & Hesse, 2003)

Kualitas hidup pasien urolithiasis umumnya sangat rendah (Arafa & Rabah, 2010). Modersitzki, et al., (2014) menguatkan hal ini bahwa pasien urolithiasis umumnya memiliki kualitas hidup yang rendah hampir di semua domain, seperti peranan fisik, rasa nyeri, kesehatan umum, vitalitas, fungsi sosial, peranan emosi, dan kesehatan mental kecuali domain fungsi fisik. Pengelompokkan komponen fisik terdiri dari domain fungsi fisik, peran fisik, rasa nyeri dan kesehatan umum, sedangkan komponen mental terdiri dari peranan emosi, vitalitas, fungsi sosial dan kesehatan mental (Ware, 2000).

Pasien yang memiliki perhatian yang baik terhadap kesehatannya pada komponen fisik dan komponen mental setelah proses penyembuhan dari penyakit urolithiasis dapat menunjukkan kemampuannya dalam melakukan aktivitas fisik dan mengontrol emosi yang merupakan salah satu indikator kualitas hidup yang baik (Arafa & Rabah, 2010; Modersitzki, et al., 2014). Kualitas hidup yang baik setelah pasien mengalami urolithiasis sangat


(22)

tergantung pada kualitas pelaksanaan dan asuhan keperawatan yang diberikan sehingga dibutuhkan peran perawat dan tim kesehatan lain. Pelaksanaan pelayanan kesehatan melibatkan pasien dan keluarga agar memiliki pemahaman tentang proses penyakitnya, mengetahui cara pencegahan dan proses adaptasi terhadap suatu penyakit. Peningkatan pemahaman pasien dan keluarga tentang penyakitnya dapat diberikan dengan pendidikan kesehatan yang tersusun dan komprehensif sebagai salah satu penatalaksanaan dari pelayanan kesehatan (Colella, et al., 2005; Shyu, et al., 2008). Pendidikan kesehatan merupakan proses perubahan perilaku secara terencana yang diberikan kepada individu, kelompok atau masyarakat untuk dapat lebih mandiri dalam mencapai derajat kesehatan yang optimal. Pemberian pendidikan kesehatan bertujuan untuk merubah perilaku pasien dan keluarga (Shyu, et al., 2008).

Optimalnya pendidikan kesehatan dipengaruhi oleh beberapa hal salah satunya metode pembelajaran yang digunakan. Metode pembelajaran yang digunakan dalam pendidikan kesehatan akan mempunyai efek/ output yang baik apabila prosesnya menggunakan metode maupun media yang baik, dimana salah satu metode pendidikan kesehatan adalah metode ceramah dan tanya jawab. Penelitian yang dilakukan oleh Sukardjo, (2007) yang membandingkan intervensi diskusi dan problem solving dengan ceramah dalam pemberian pendidikan kesehatan didapatkan bahwa metode diskusi dan problem solving dimana didalamnya menggunakan metode kombinasi


(23)

6

ceramah, curah pendapat dan tanya jawab memiliki perbedaan secara signifikan dibanding kelompok yang hanya mendapat metode ceramah.

Peran seorang perawat salah satunya adalah memberikan pendidikan kesehatan kepada pasiennya, dimana pendidikan kesehatan merupakan salah satu tindakan preventif mandiri yang dilakukan untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan pasien (Potter & Perry, 2009). Perawat sebagai penyedia layanan kesehatan, sangat penting mengetahui penyebab terbentuknya batu ginjal sehingga hal ini perlu dilakukan pengkajian dan memberikan intervensi kepada pasien serta mengevaluasi kondisi kesehatan pasien guna mencegah kejadian urolithiasis berulang yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal permanen (Colella, et al., 2005). Kutjleb & Reiner (2006) dalam Potter & Perry (2009) juga mengemukakan bahwa pendidikan kesehatan dapat meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi angka rawat inap pada pasien dengan gangguan ginjal dibandingkan dengan yang tidak diberikan pendidikan kesehatan.

Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta dan RSUD Panembahan Senopati Bantul merupakan rumah sakit yang memberikan pelayanan umum kepada masayarakat termasuk memberikan pelayanan kepada pasien dengan gangguan urologi seperti urolithiasis. Angka kunjungan pasien urolithiasis di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta dan RSUD Panembahan Senopati Bantul dengan rata-rata 11 orang pasien dan menurut data laporan dari pihak rumah sakit jumlah penderita urolithiasis di rumah sakit ini fluktuatif setiap bulannya.


(24)

Berdasarkan hasil studi pendahuluan dengan melakukan wawancara kepada kepala ruangan, didapatkan bahwa pelaksanaan pendidikan kesehatan dilakukan pada saat pasien kontrol dan diberikan oleh dokter, pemberiannya berupa informasi dasar tentang penyakit. Informasi ini diberikan dengan sangat terbatas dan belum dikemas dalam format pendidikan kesehatan yang memadai dan berdampak pada tingkat pemahanan pasien terhadap penyakit yang masih rendah. Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “pengaruh pendidikan kesehatan terhadap komponen fisik dan komponen mental kualitas hidup pasien urolithiasis”

B. Perumusan Masalah

Pemberian pendidikan kesehatan yang dirancang secara terstruktur untuk pasien urolithiasis sangat penting mengingat masa perawatan dan pemulihan serta kemungkinan adanya urolithiasis berulang. Pemberian pendidikan kesehatan ini bertujuan agar dapat mempengaruhi perilaku pasien sebagai upaya meningkatkan komponen fisik dan komponen mental kualitas hidup. Oleh karena itu peneliti merumuskan masalah penelitian: bagaimana pengaruh pendidikan kesehatan terhadap komponen fisik dan komponen mental kualitas hidup pasien urolithiasis?


(25)

8

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan terhadap komponen fisik dan komponen mental kualitas hidup pasien urolithiasis.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui gambaran skor rata-rata komponen fisik dan komponen mental kualitas hidup pasien urolithiasis pada setiap domain.

b. Mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan terhadap komponen fisik kualitas hidup pasien urolithiasis sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi.

c. Mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan terhadap komponen mental kualitas hidup pasien urolithiasis sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi.

d. Mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan terhadap komponen fisik dan komponen mental kualitas hidup pasien urolithiasis pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi.

D. Manfaat Penelitian

1. Teoritis

Berperan serta dalam pengembangan ilmu keperawatan medikal bedah khususnya pendidikan kesehatan sebagai salah satu tindakan keperawatan mandiri


(26)

2. Praktis

a. Memberikan perubahan pada praktik keperawatan tentang penatalaksanaan pendidikan kesehatan di pelayanan pada pasien urolithiasis dan memberikan manfaat bagi perawat agar dapat dijadikan sebagai pedoman dalam pemberian pendidikan kesehatan pada pasien sehingga kualitas hidup pasien dapat meningkat

b. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pasien melalui keterlibatan mereka dalam mengikuti panduan yang diberikan sehingga terjadi perubahan perilaku (dengan peningkatan kognitif, afektif serta psikomotor) sehingga motivasi pasien untuk sembuh lebih baik dan kualitas hidup meningkat

E. Penelitian terkait

1. Arafa & Rabah (2010) “Study of Quality of life and it’s determinants in patients after urinary stone fragmentation”

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas hidup pasien dengan menggunakan kuesioner SF-36 dan mengetahui faktor-faktor yang berdampak secara signifikan terhadap kualitas hidup pasien dengan batu saluran kemih. Persamaan: bersama-sama menggunakan instrumen SF-36 untuk mengukur kualitas hidup pasien dengan urolithiasis, namun perbedaannya adalah pada penelitian meneliti 2 variabel yaitu evaluasi kualitas hidup pasien dan faktor yang mempengaruhi kualitas hidup


(27)

10

pasien, sedangkan penelitian yang akan dilakukan adalah untuk mengetahui kualitas hidup pasien setelah dilakukan pendidikan kesehatan. 2. Modersitzki, et al., (2014) “Health-related quality of life (HRQoL) in

cystine compared with non-cystine stone formers”

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur dampak dengan melakukan survey tentang kualitas hidup pada pasien dengan batu sistin dan bukan sistin. Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah penilaian kualitas hidup pasien urolithiasis dengan menggunakan instrumen SF-36 sedangkan perbedaannya adalah desain yang digunakan adalah pre eksperimental dengan satu kelompok pre dan post test, tempat penelitian, jumlah responden dan penentuan responden yang dilakukan sesuai dengan kriteria inklusi yang dikehendaki peneliti.

3. Penniston, et al., (2007).“Health related quality of life differs between male and female stone formers”

Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif dengan rancangan cross-sectional dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik hubungan antara demografi dan variabel klinik dan kesehatan yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien dengan urolithiasis. Persamaan penelitian adalah variabel kualitas hidup pasien urolithiasis dan instrumen yang digunakan adalah SF-36 sedangkan perbedaannya adalah pada desain penelitian pre eksperimental satu kelompok pre dan post test, teknik sampling menggunakan purposive sampling, jumlah sampel dan tujuan penelitian.


(28)

4. Ernawati, (2008). “Efektivitas edukasi dengan menggunakan panduan pencegahan Osteoporosis terhadap pengetahuan wanita yang beresiko di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta

Persamaan pada penelitian ini adalah sama-sama menggunakan variabel efektivitas edukasi. Perbedaan pada penelitian ini adalah metode penelitian yang digunakan dan variabel dependent.

5. Mohammed, et al., (2015). “Impact of health education program for elderly patients undergoing extracorporeal shock waves lithotripsy on clearance of urolithiasis.”

Penelitian ini menggunakan desain penelitian quasy experimental dengan tujuan untuk menginvestigasi efektivitas program pendidikan kesehatan pada pasien lanjut usia yang menjalani ESWL pada pasien urolithiasis. Persamaan penelitian adalah desain penelitian dan intervensi yang diberikan. Perbedaan penelitian adalah variabel penelitian, tempat, dan jumlah sampel.


(29)

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Urolithiasis a. Definisi

Urolithiasis adalah suatu kondisi dimana dalam saluran kemih individu terbentuk batu berupa kristal yang mengendap dari urin (Mehmed & Ender, 2015). Pembentukan batu dapat terjadi ketika tingginya konsentrasi kristal urin yang membentuk batu seperti zat kalsium, oksalat, asam urat dan/atau zat yang menghambat pembentukan batu (sitrat) yang rendah (Moe, 2006; Pearle, 2005). Urolithiasis merupakan obstruksi benda padat pada saluran kencing yang terbentuk karena faktor presipitasi endapan dan senyawa tertentu (Grace & Borley, 2006).

Urolithiasis merupakan kumpulan batu saluran kemih, namun secara rinci ada beberapa penyebutannya. Berikut ini adalah istilah penyakit batu bedasarkan letak batu antara lain: (Prabawa & Pranata, 2014):

1) Nefrolithiasis disebut sebagai batu pada ginjal 2) Ureterolithiasis disebut batu pada ureter

3) Vesikolithiasis disebut sebagai batu pada vesika urinaria/ batu buli 4) Uretrolithisai disebut sebagai batu pada ureter


(30)

b. Etiologi

Penyebab terjadinya urolithiasis secara teoritis dapat terjadi atau terbentuk diseluruh salurah kemih terutama pada tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urin (statis urin) antara lain yaitu sistem kalises ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan pada pelvikalis (stenosis uretro-pelvis), divertikel, obstruksi intravesiko kronik, seperti Benign Prostate Hyperplasia (BPH), striktur dan buli-buli neurogenik merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan batu (Prabowo & Pranata, 2014).

Menurut Grace & Barley (2006) Teori dalam pembentukan batu saluran kemih adalah sebagai berikut:

1) Teori Nukleasi

Teori ini menjelaskan bahwa pembentukan batu berasal dari inti batu yang membentuk kristal atau benda asing. Inti batu yang terdiri dari senyawa jenuh yang lama kelamaan akan mengalami proses kristalisasi sehingga pada urin dengan kepekatan tinggi lebih beresiko untuk terbentuknya batu karena mudah sekali untuk terjadi kristalisasi. 2) Teori Matriks Batu

Matriks akan merangsang pembentukan batu karena memacu penempelan partikel pada matriks tersebut. Pada pembentukan urin seringkali terbentuk matriks yang merupakan sekresi dari tubulus ginjal dan berupa protein (albumin, globulin dan mukoprotein) dengan


(31)

14

sedikit hexose dan hexosamine yang merupakan kerangka tempat diendapkannya kristal-kristal batu.

3) Teori Inhibisi yang Berkurang

Batu saluran kemih terjadi akibat tidak adanya atau berkurangnya faktor inhibitor (penghambat) yang secara alamiah terdapat dalam sistem urinaria dan berfungsi untuk menjaga keseimbangan serta salah satunya adalah mencegah terbentuknya endapan batu. Inhibitor yang dapat menjaga dan menghambat kristalisasi mineral yaitu magnesium, sitrat, pirofosfat dan peptida. Penurunan senyawa penghambat tersebut mengakibatkan proses kristalisasi akan semakin cepat dan mempercepat terbentuknya batu (reduce of crystalize inhibitor). Batu terbentuk dari traktus urinarius ketika konsentrasi subtansi tertentu seperti kalsium oksalat, kalsium fosfat, dan asam urat meningkat. Batu juga dapat terbentuk ketika terdapat defisiensi subtansi tertentu, seperti sitrat yang secara normal mencegah kristalisasi dalam urin. Kondisi lain yang mempengaruhi laju pembentukan batu mencakup pH urin dan status cairan pasien (batu cenderung terjadi pada pasien dehidrasi) (Boyce, 2010; Moe, 2006)

Penyebab terbentuknya batu dapat digolongkan dalam 2 faktor antara lain faktor endogen seperti hiperkalsemia, hiperkasiuria, pH urin yang bersifat asam maupun basa dan kelebihan pemasukan cairan dalam tubuh yang bertolak belakang dengan keseimbangan cairan yang masuk dalam tubuh dapat merangsang pembentukan batu, sedangkan faktor eksogen


(32)

seperti kurang minum atau kurang mengkonsumsi air mengakibatkan terjadinya pengendapan kalsium dalam pelvis renal akibat ketidakseimbangan cairan yang masuk, tempat yang bersuhu panas menyebabkan banyaknya pengeluaran keringat, yang akan mempermudah pengurangan produksi urin dan mempermudah terbentuknya batu, dan makanan yang mengandung purin yang tinggi, kolesterol dan kalsium yang berpengaruh pada terbentuknya batu (Boyce, 2010; Corwin, 2009; Moe, 2006)

c. Manifestasi Klinis

Urolithiasis dapat menimbulkan berbagi gejala tergantung pada letak batu, tingkat infeksi dan ada tidaknya obstruksi saluran kemih (Brooker, 2009). Beberapa gambaran klinis yang dapat muncul pada pasien urolithiasis: 1) Nyeri

Nyeri pada ginjal dapat menimbulkan dua jenis nyeri yaitu nyeri kolik dan non kolik. Nyeri kolik terjadi karena adanya stagnansi batu pada saluran kemih sehingga terjadi resistensi dan iritabilitas pada jaringan sekitar (Brooker, 2009). Nyeri kolik juga karena adanya aktivitas peristaltik otot polos sistem kalises ataupun ureter meningkat dalam usaha untuk mengeluarkan batu pada saluran kemih. Peningkatan peristaltik itu menyebabkan tekanan intraluminalnya meningkat sehingga terjadi peregangan pada terminal saraf yang memberikan sensasi nyeri (Purnomo, 2012).


(33)

16

Nyeri non kolik terjadi akibat peregangan kapsul ginjal karena terjadi hidronefrosis atau infeksi pada ginjal (Purnomo, 2012) sehingga menyebabkan nyeri hebat dengan peningkatan produksi prostglandin E2 ginjal (O’Callaghan, 2009). Rasa nyeri akan bertambah berat apabila batu bergerak turun dan menyebabkan obstruksi. Pada ureter bagian distal (bawah) akan menyebabkan rasa nyeri di sekitar testis pada pria dan labia mayora pada wanita. Nyeri kostovertebral menjadi ciri khas dari urolithiasis, khsusnya nefrolithiasis (Brunner & Suddart, 2015).

2) Gangguan miksi

Adanya obstruksi pada saluran kemih, maka aliran urin (urine flow) mengalami penurunan sehingga sulit sekali untuk miksi secara spontan. Pada pasien nefrolithiasis, obstruksi saluran kemih terjadi di ginjal sehingga urin yang masuk ke vesika urinaria mengalami penurunan. Sedangkan pada pasien uretrolithiasis, obstruksi urin terjadi di saluran paling akhir sehingga kekuatan untuk mengeluarkan urin ada namun hambatan pada saluran menyebabkan urin stagnansi (Brooker, 2009). Batu dengan ukuran kecil mungkin dapat keluar secara spontan setelah melalui hambatan pada perbatasan uretero-pelvik, saat ureter menyilang vasa iliaka dan saat ureter masuk ke dalam buli-buli (Purnomo, 2012).


(34)

3) Hematuria

Batu yang terperangkap di dalam ureter (kolik ureter) sering mengalami desakan berkemih, tetapi hanya sedikit urin yang keluar. Keadaan ini akan menimbulkan gesekan yang disebabkan oleh batu sehingga urin yang dikeluarkan bercampur dengan darah (hematuria) (Brunner & Suddart, 2015). Hematuria tidak selalu terjadi pada pasien urolithiasis, namun jika terjadi lesi pada saluran kemih utamanya ginjal maka seringkali menimbulkan hematuria yang masive, hal ini dikarenakan vaskuler pada ginjal sangat kaya dan memiliki sensitivitas yang tinggi dan didukung jika karakteristik batu yang tajam pada sisinya (Brooker, 2009)

4) Mual dan muntah

Kondisi ini merupakan efek samping dari kondisi ketidaknyamanan pada pasien karena nyeri yang sangat hebat sehingga pasien mengalami stress yang tinggi dan memacu sekresi HCl pada lambung (Brooker, 2009). Selain itu, hal ini juga dapat disebabkan karena adanya stimulasi dari celiac plexus, namun gejala gastrointestinal biasanya tidak ada (Portis & Sundaram, 2001)

5) Demam

Demam terjadi karena adanya kuman yang menyebar ke tempat lain. Tanda demam yang disertai dengan hipotensi, palpitasi, vasodilatasi pembuluh darah di kulit merupakan tanda terjadinya urosepsis. Urosepsis merupakan kedaruratan dibidang urologi, dalam hal ini


(35)

18

harus secepatnya ditentukan letak kelainan anatomik pada saluran kemih yang mendasari timbulnya urosepsis dan segera dilakukan terapi berupa drainase dan pemberian antibiotik (Purnomo, 2012) 6) Distensi vesika urinaria

Akumulasi urin yang tinggi melebihi kemampuan vesika urinaria akan menyebabkan vasodilatasi maksimal pada vesika. Oleh karena itu, akan teraba bendungan (distensi) pada waktu dilakukan palpasi pada regio vesika (Brooker, 2009)

d. Patofisiologi

Banyak faktor yang menyebabkan berkurangnya aliran urin dan menyebabkan obstruksi, salah satunya adalah statis urin dan menurunnya volume urin akibat dehidrasi serta ketidakadekuatan intake cairan, hal ini dapat meningkatkan resiko terjadinya urolithiasis. Rendahnya aliran urin adalah gejala abnormal yang umum terjadi (Colella, et al., 2005), selain itu, berbagai kondisi pemicu terjadinya urolithiasis seperti komposisi batu yang beragam menjadi faktor utama bekal identifikasi penyebab urolithiasis.

Batu yang terbentuk dari ginjal dan berjalan menuju ureter paling mungkin tersangkut pada satu dari tiga lokasi berikut a) sambungan ureteropelvik; b) titik ureter menyilang pembuluh darah iliaka dan c) sambungan ureterovesika. Perjalanan batu dari ginjal ke saluran kemih sampai dalam kondisi statis menjadikan modal awal dari pengambilan


(36)

keputusan untuk tindakan pengangkatan batu. Batu yang masuk pada pelvis akan membentuk pola koligentes yang disebut batu staghorn.

e. Faktor Resiko

Pada umumnya urolithiasis terjadi akibat berbagai sebab yang disebut faktor resiko. Terapi dan perubahan gaya hidup merupakan intervensi yang dapat mengubah faktor resiko, namun ada juga faktor resiko yang tidak dapat diubah. Faktor yang tidak dapat diubah antara lain: umur atau penuaan, jenis kelamin, riwayat keluarga, penyakit-penyakit seperti hipertensi, diabetes mellitus dan lain-lain.

1) Jenis Kelamin

Pasien dengan urolithiasis umumnya terjadi pada laki-laki 70-81% dibandingkan dengan perempuan 47-60%, salah satu penyebabnya adalah adanya peningkatan kadar hormon testosteron dan penurunan kadar hormon estrogen pada laki-laki dalam pembentukan batu (Vijaya, et al., 2013). Selain itu, perempuan memiliki faktor inhibitor seperti sitrat secara alami dan pengeluaran kalsium dibandingkan laki-laki (NIH 1998-2005 dalam Colella, et al., 2005; Heller, et al., 2002). 2) Umur

Urolithiasis banyak terjadi pada usia dewasa dibanding usia tua, namun bila dibandingkan dengan usia anak-anak, maka usia tua lebih sering terjadi (Portis & Sundaram, 2001). Rata-rata pasien urolithiasis berumur 19-45 tahun (Colella, et al., 2005; Fwu, et al., 2013; Wumaner, et al., 2014).


(37)

20

3) Riwayat Keluarga

Pasien yang memiliki riwayat keluarga dengan urolithiasis ada kemungkinan membantu dalam proses pembentukan batu saluran kemih pada pasien (25%) hal ini mungkin disebabkan karena adanya peningkatan produksi jumlah mucoprotein pada ginjal atau kandung kemih yang dapat membentuk kristal dan membentuk menjadi batu atau calculi (Colella, et al., 2005).

4) Kebiasaan diet dan obesitas

Intake makanan yang tinggi sodium, oksalat yang dapat ditemukan pada teh, kopi instan, minuman soft drink, kokoa, arbei, jeruk sitrun, dan sayuran berwarna hijau terutama bayam dapat menjadi penyebab terjadinya batu (Brunner & Suddart, 2015). Selain itu, lemak, protein, gula, karbohidrat yang tidak bersih, ascorbic acid (vitamin C) juga dapat memacu pembentukan batu (Colella, et al., 2005; Purnomo, 2012).

Peningkatan ukuran atau bentuk tubuh berhubungan dengan resiko urolithiasis, hal ini berhubungan dengan metabolisme tubuh yang tidak sempurna (Li, et al., 2009) dan tingginya Body Mass Index (BMI) dan resisten terhadap insulin yang dapat dilihat dengan adanya peningkatan berat badan dimana ini berhubungan dengan penurunan pH urin (Obligado & Goldfarb, 2008). Penelitian lain juga dilakukan oleh Pigna, et al., (2014) tentang konten lemak tubuh dan distribusi serta faktor resiko nefrolithiasis menyatakan bahwa rata-rata reponden


(38)

memiliki berat badan 91,1 kg dengan rata-rata lemak total 24,3 kg. Berdasarkan pemeriksaan pH urin dan SI asam urat dalam 24 jam serta pengukuran adiposa di berbagai bagian tubuh didapatkan bahwa lemak tubuh sangat erat hubungannnya dengan pembentukan batu asam urat dibanding berat badan total dan BMI yang rendah, hal ini dapat dikarenakan adanya kebiasaan yang buruk dalam mengontrol diet. Colella, et al., (2005) menyatakan kebiasaan makan memiliki kemungkinan berhubungan dengan status sosial diatas rata-rata terhadap kejadian urolithiasis.

5) Faktor lingkungan

Faktor yang berhubungan dengan lingkungan seperti letak geografis dan iklim. Beberapa daerah menunjukkan angka kejadian urolithiasis lebih tinggi daripada daerah lain (Purnomo, 2012). Urolithiasis juga lebih banyak terjadi pada daerah yang bersuhu tinggi dan area yang gersang/ kering dibandingkan dengan tempat/ daerah yang beriklim sedang (Portis & Sundaram, 2001). Iklim tropis, tempat tinggal yang berdekatan dengan pantai, pegunungan, dapat menjadi faktor resiko tejadinya urolithiasis (Colella, et al., 2005).

6) Pekerjaan

Pekerjaan yang menuntut untuk bekerja di lingkungan yang bersuhu tinggi serta intake cairan yang dibatasi atau terbatas dapat memacu kehilangan banyak cairan dan merupakan resiko terbesar


(39)

22

dalam proses pembentukan batu karena adanya penurunan jumlah volume urin (Colella, et al., 2005).

Aktivitas fisik dapat mempengaruhi terjadinya urolithiasis, hal ini ditunjukkan dengan aktivitas fisik yang teratur bisa mengurangi resiko terjadinya batu asam urat, sedangkan aktivitas fisik kurang dari 150 menit per minggu menunjukkan tingginya kejadian renal calculi seperti kalsium oksalat dan asam urat (Shamsuddeen, et al., 2013). 7) Cairan

Asupan cairan dikatakan kurang apabila < 1 liter/ hari, kurangnya intake cairan inilah yang menjadi penyebab utama terjadinya urolithiasis khususnya nefrolithiasis karena hal ini dapat menyebabkan berkurangnya aliran urin/ volume urin (Domingos & Serra, 2011). Kemungkinan lain yang menjadi penyebab kurangnya volume urin adalah diare kronik yang mengakibatkan kehilangan banyak cairan dari saluran gastrointestinal dan kehilangan cairan yang berasal dari keringat berlebih atau evaporasi dari paru-paru atau jaringan terbuka. (Colella, et al., 2005). Asupan cairan yang kurang dan tingginya kadar mineral kalsium pada air yang dikonsumsi dapat meningkatkan insiden urolithiasis (Purnomo, 2012).

Beberapa penelitian menemukan bahwa mengkonsumsi kopi dan teh secara berlebihan dapat meningkatkan resiko terjadinya urolithiasis. Begitu hal nya dengan alkohol, dari beberapa kasus didapatkan bahwa sebanyak 240 orang menderita batu ginjal karena


(40)

mengkonsumsi alkohol hal ini disebabkan karena seseorang yang mengkonsumsi alkohol secara berlebih akan banyak kehilangan cairan dalam tubuh dan dapat memicu terjadinya peningkatan sitrat dalam urin, asam urat dalam urin dan renahnya pH urin. Selain itu, mengkonsumsi minuman ringan (minuman bersoda) dapat meningkatkan terjadinya batu ginjal karena efek dari glukosa dan fruktosa (hasil metabolisme dari gula) yang terkandung dalam minuman bersoda menyebabkan peningkatan oksalat dalam urin. 8) Co-Morbiditi

Hipertensi berhubungan dengan adanya hipositraturia dan hiperoksalauria (Kim, et al., 2011). Hal ini dikuatkan oleh Shamsuddeen, et al., (2013) yang menyatakan bahwa kalsium oksalat (34,8%), asam urat (25%) dan magnesium (42,9%) pada pasien hipertensi dapat menjadi penyebab terjadinya urolithiasis dan pada umumnya diderita pada perempuan (69%).

Prevalensi pasien diabetes mellitus yang mengalami urolithiasis meningkat dari tahun 1995 sebesar 4,5% menjadi 8,2% pada tahun 2010 (Antonelli, et al, 2014). Urolithiasis yang dikarenakan diabetes mellitus terjadi karena adanya resiko peningkatan asam urat dan kalsium oksalat yang membentuk batu melalui berbagai mekanisme patofisiologi (Wong, 2015). Selain itu, diabetes mellitus juga dapat meningkatkan kadar fosfat (25%) dan magnesium (28,6%) yang


(41)

24

menjadi alasan utama terjadinya renal calculi atau urolithiasis pada pasien diabetes mellitus (Shamsuddeen, et al., 2013).

f. Pemeriksaan diagnostik

Menurut Brunner & Suddart, (2015) dan Purnomo, (2012) diagnosis urolithiasis dapat ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan seperti:

1) Kimiawi darah dan pemeriksaan urin 24 jam untuk mengukur kadar kalsium, asam urat, kreatinin, natrium, pH dan volume total (Portis & Sundaram, 2001).

2) Analisis kimia dilakukan untuk menentukan komposisi batu.

3) Kultur urin dilakukan untuk mengidentifikasi adanya bakteri dalam urin (bacteriuria) (Portis & Sundaram, 2001).

4) Foto polos abdomen

Pembuatan foto polos abdomen bertujuan untuk melihat kemungkinan adanya batu radio-opak di saluran kemih. Batu-batu jenis kalsium oksalat dan kalsium fosfat bersifat radio-opak dan paling sering dijumpai diantara batu jenis lain, sedangkan batu asam urat bersifat non opak (radio-lusen) (Purnomo, 2012). Urutan radiopasitas beberapa batu saluran kemih seperti pada tabel:

Tabel 2.1 Urutan Radio-opasitas beberapa jenis batu saluran kemih

Jenis Batu Radio-Opasitas

Kalsium MAP Urat/ Sistin

Opak Semiopak Non-opak Sumber: Purnomo, 2012


(42)

5) Intra Vena Pielografi (IVP)

IVP merupakan prosedur standar dalam menggambarkan adanya batu pada saluran kemih. Pyelogram intravena yang disuntikkan dapat memberikan informasi tentang baru (ukuran, lokasi dan kepadatan batu), dan lingkungannya (anatomi dan derajat obstruksi) serta dapat melihat fungsi dan anomali (Portis & Sundaram, 2001). Selain itu IVP dapat mendeteksi adanya batu semi-opak ataupun non-opak yang tidak dapat dilihat oleh foto polos perut. Jika IVP belum dapat menjelaskan keadaan saluran kemih akibat adanya penurunan fungsi ginjal, sebagai penggantinya adalah pemeriksaan pielografi retrograd (Brunner & Suddart, 2015; Purnomo, 2012).

6) Ultrasonografi (USG)

USG sangat terbatas dalam mendiagnosa adanya batu dan merupakan manajemen pada kasus urolithiasis. Meskipun demikian USG merupakan jenis pemeriksaan yang siap sedia, pengerjaannya cepat dan sensitif terhadap renal calculi atau batu pada ginjal, namun tidak dapat melihat batu di ureteral (Portis & Sundaram, 2001). USG dikerjakan bila pasien tidak memungkinkan menjalani pemeriksaan IVP, yaitu pada keadaan-keadaan seperti alergi terhadap bahan kontras, faal ginjal yang menurun, pada pada wanita yang sedang hamil (Brunner & Suddart, 2015; Purnomo, 2012). Pemeriksaan USG dapat menilai adanya batu di ginjal atau buli-buli, hidronefrosis, pionefrosis, atau pengerutan ginjal (Portis & Sundaram, 2001).


(43)

26

g. Penatalaksanaan medis

Tujuan dalam panatalaksanaan medis pada urolithiasis adalah untuk menyingkirkan batu, menentukan jenis batu, mencegah penghancuran nefron, mengontrol infeksi, dan mengatasi obstruksi yang mungkin terjadi (Brunner & Suddart, 2015; Rahardjo & Hamid, 2004).

Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih secepatnya harus dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyulit yang lebih berat. Indikasi untuk melakukan tindakan/ terapi pada batu saluran kemih adalah jika batu telah menimbulkan obstruksi dan infeksi. Beberapa tindakan untuk mengatasi penyakit urolithiasis adalah dengan melakukan observasi konservatif (batu ureter yang kecil dapat melewati saluran kemih tanpa intervensi), agen disolusi (larutan atau bahan untuk memecahkan batu), mengurangi obstruksi (DJ stent dan nefrostomi), terapi non invasif Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL), terapi invasif minimal: ureterorenoscopy (URS), Percutaneous Nephrolithotomy, Cystolithotripsi/ ystolothopalaxy, terapi bedah seperti nefrolithotomi, nefrektomi, pyelolithotomi, uretrolithotomi, sistolithotomi (Brunner & Suddart, 2015; Gamal, et al., 2010; Purnomo, 2012; Rahardjo & Hamid, 2004).


(44)

Tabel 2.2. Penanganan medis untuk renal atau ureteral calculi

Treatment Indikasi Keterbatasan Komplikasi

ESWL 1. Radiolucent

calculi

2. Batu renal < 2 cm 3. Batu ureter < 1

cm

Kurang efektif untuk pasien dengan obesitas dan batu yang keras

1. Obstruksi ureter oleh karena pecahan batu

2. Perinephric

hematoma

Ureteros-copy

Batu ureter 1. Invasive

2. Biasanya membutuhkan stent postoperasi ureteral Striktur uretera dan luka

URS Batu renal < 2cm 1. Mungkin akan

kesulitan dalam membersihkan frgamen 2. Biasanya membutuhkan stent postoperasi uerteral Striktur uretera dan luka

PNCL Batu renal > 2 cm

Batu renal proksimal > 1 cm

Invasive Perdarahan

Luka pada sistem pengumpulan Luka pada Sumber: Portis&Sundaram, 2001

h. Pencegahan

Tindakan selanjutnya yang tidak kala penting setelah batu dikeluarkan dari saluran kemih adalah pencegahan atau menghindari terjadinya kekambuhan. Angka kekambuhan batu saluran kemih rata-rata 7% per tahun atau kurang lebih 50% tahun dalam 10 tahun (Purnomo, 2012).

Pencegahan dilakukan berdasarkan kandungan dan unsur yang menyusun batu saluran kemih dimana hasil ini didapat dari analisis batu (Lotan, et al., 2013). Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan dengan


(45)

28

pengaturan diet makanan, cairan dan aktivitas serta perawatan pasca operasi untuk mencegah terjadinya komplikasi pasca operasi.

Beberapa tindakan gaya hidup yang dapat dimodifikasi dalam upaya pencegahan kekambuhan urolithiasis adalah:

1) Cairan

Strategi pengobatan yang umum digunakan pada urolithiasis yang bukan disebabkan karena infeksi bakteri adalah dengan meningkatkan konsumsi air. Peningkatan konsumsi air setiap hari dapat mengencerkan urin dan membuat konsentrasi pembentuk urolithiasis berkurang. Selain itu, saat mengkonsumsi makanan yang cenderung kering hendaknya mengkonsumsi air yang banyak. Konsumsi air sebanyak-banyaknya dalam satu hari minimal 8 gelas atau setara dengan 2-3 liter per hari (Lotan, et al., 2013)

Anggraini (2015) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pencegahan lain dapat dilakukan dengan mengkonsumsi air jeruk nipis atau jeruk lemon yang berfungsi sebagai penghambat pembentukan batu ginjal jenis kalsium dengan mekanisme utamanya yaitu menghambat pembentukan batu kalsium melalui reaksi pemutusan ikatan antara kalsium oksalat maupun kalsium posfat oleh sitrat, sehingga pada akhir reaksi akan terbentuk senyawa garam yang larut air, endapan kalsium tidak terbentuk dan tidak tidak terbentuk batu saluran kemih jenis batu kalsium. Penelitian ini didukung oleh Colella, et al., (2005) dan Purnomo, (2012) yang menyatakan bahwa asupan


(46)

jeruk nipis yang rendah dapat menyebabkan hipositraturia dimana kemungkinan dapat meningkatkan resiko terbentuknya batu.

2) Makanan

a. Konsumsi makanan seperti ikan dan kurangi konsumsi oksalat (seperti daging) untuk menurunkan oksalat dalam urin dan resiko pembentukan batu oksalat (Maalouf, et al., 2010).

b. Mengurangi diet protein hewani dan purin lainnya untuk menurunkan kadar asam urat dalam urin dan resiko pembentukan batu asam urat (Maalouf, et al., 2010).

c. Mengurangi makanan yang mengandung tinggi kadar garam karena dapat meningkatkan rasa haus, selain itu garam akan mengambil banyak air dari dalam tubuh sehingga tubuh akan mengalami dehidrasi tanpa disadari. Disarankan jika terlalu banyak mengkonsumsi garam hendaknya anda imbangi dengan mengkonsumsi banyak air yang berfungsi untuk melarutkan garam yang ada di dalam tubuh (Maalouf, et al., 2010).

d. Meningkatkan diet kalsium untuk mengikat oksalat di usus dan dengan demikian akan menurunkan kadar oksalat dalam urin 3) Aktivitas

Aktivitas fisik sangat dianjurkan untuk mencegah terjadinya urolithiasis. Tingginya aktivitas yang dilakukan dengan diimbangi asupan cairan yang seimbang maka ada kemungkinan akan memperkecil resiko terjadinya pembentukan batu, latihan fisik seperti


(47)

30

treadmill atau aerobic ini dapat dilakukan selama 1 jam/ hari selama 5 hari atau anda dapat melakukan olahraga lari selama 20 meter/ menit selama 5 hari (Shamsuddeen, et al., 2013).

Aktivitas fisik dapat menyebabkan kehilangan banyak cairan sehingga memungkinkan untuk berada dalam kondisi dehidrasi tanpa disadari maka dari itu disarankan untuk mempertahankan hidrasi (cairan) dalam tubuh sebanyak-banyaknya selama melakukan aktivitas, khususnya aktivitas berat seperti latihan fisik (treadmill) untuk mengganti ciaran tubuh yang hilang saat melakukan aktivitas (Colella, et al., 2005; Purnomo, 2012).

4) Dukungan sosial

Rahman, et al., (2013) dalam penelitiannya tentang hubungan antara adekuasi hemodialisa terhadap kualitas hidup pasien menyatakan bahwa dukungan sosial merupakan salah satu indikator yang dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Dukungan sosial dapat diberikan dari keluarga dan lingkungan sekitar dapat meningkatkan keoptimisan pada diri sendiri untuk sembuh dari penyakit dan memiliki kehidupan yang lebih baik. Dukungan yang dapat diberikan berupa memberikan dukungan kepada orang lain untuk beradaptasi dengan kondisinya saat ini (Guundgard, 2006).


(48)

i. Komplikasi

Batu mungkin dapat memenuhi seluruh pelvis renalis sehingga dapat menyebabkan obstruksi total pada ginjal, pasien yang berada pada tahap ini dapat mengalami retensi urin sehingga pada fase lanjut ini dapat menyebabkan hidronefrosis dan akhirnya jika terus berlanjut maka dapat menyebabkan gagal ginjal yang akan menunjukkan gejala-gejala gagal ginjal seperti sesak, hipertensi, dan anemia (Colella, et al., 2005; Purnomo, 2012). Selain itu stagnansi batu pada saluran kemih juga dapat menyebabkan infeksi ginjal yang akan berlanjut menjadi urosepsis dan merupakan kedaruratan urologi, keseimbangan asam basa, bahkan mempengaruhi beban kerja jantung dalam memompa darah ke seluruh tubuh (Colella, et al., 2005; Portis & Sundaram, 2001; Prabowo & Pranata, 2014).

2. Kualitas Hidup

a. Definisi

Definisi kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan dapat diartikan sebagai respon emosi pasien terhadap aktivitas sosial, emosional, pekerjaan, dan hubungan antar keluarga, rasa senang atau bahagia, adanya kesesuaian antara harapan dan kenyataan yang ada, adanya kepuasan dalam melakukan fungsi fisik, sosial dan emosional serta kemampuan mengadakan sosialisasi dengan orang lain (Nursalam, 2014). Kualitas hidup sebagai suatu kesejahteraan yang dirasakan oleh seseorang dan


(49)

32

berasal dari kepuasan/ ketidakpuasan dengan bidang kehidupan yang penting bagi seseorang tersebut dimana kepuasan yang dimaksudkan sebagai penentu utama dalam penilaian kualitas hidup yang dinilai dari berbagai aspek kehidupan. Selain kepuasan, Hellen (2007) mendefinisikan kualitas hidup merupakan persepsi individu tentang kehidupannya dalam konteks budaya dan nilai hidup untuk mencapai tujuan hidup. Kualitas hidup juga merupakan perasaan seseorang untuk sejahtera dalam hidup, mampu untuk mengambil peran yang bermanfaat dan mampu untuk berpartisipasi.

Kualitas hidup dalam kesehatan dapat juga didefinisikan sebagai nilai yang diberikan selama hidup dan dapat berubah karena adanya penurunan nilai fungsional, persepsi, sosial yang dipengaruhi oleh cedera, penyakit, dan pengobatan (Carod, et al., 2009), serta adanya status sehat fisik, mental dan sosial dan terlepas dari penyakit yang mengacu pada beragam persepsi pasien dan pengalaman penyakit yang merupakan tujuan utama dalam pemulihan (Fayers & Machim, 2015).

b. Faktor yang mempengaruhi kualitas hidup

Kualitas hidup ditetapkan sebagai suatu persepsi individual terhadap posisi seseorang dalam kehidupan pada konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka hidup atau tinggal, berkaitan dengan tujuan, harapan standar dan perhatian (World Health Organization (WHO), 1998 dalam Marchinko, 2008). Persepsi tersebut meliputi kesehatan fisik seseorang, psikologis, tingkat kebebasan, hubungan sosial, dan hubungan mereka


(50)

dengan lingkungan (Testa & Simonson, 1996). Pada dasarnya terdapat tiga hal yang berperan menentukan kualitas hidup yaitu mobilitas, rasa nyeri dan kejiwaan, serta depresi/cemas. Ketiga faktor tersebut dapat diukur secara objektif dan dinyatakan sebagai status kesehatan. Faktor lainnya yang berperan, yaitu persepsi seseorang terhadap kualitas hidupnya. Kesulitannya adalah mengukur persepsi tersebut, karena merupakan perasaan subjektif seseorang, sehingga untuk dapat diukur secara objektif, maka perasaan subjektif harus dikonversi menjadi suatu nilai.

Faktor-faktor yang dapat diidentifikasi mempengaruhi kualitas hidup pasien antara lain:

1) Usia

Usia mempengaruhi kualitas hidup pasien. Pasien dengan usia sangat tua atau lansia pada umumnya memiliki kualitas hidup yang makin menurun dibanding dengan pasien usia muda atau produktif, hal ini berdampak pada menurunnya fungsi fisik dan peran fisik serta meningkatnya emosi pasien (Bosworth, 2001). Selain itu, Walter, et al., (2001) menyatakan bahwa seseorang dengan usia tua mempunyai rasa nyeri, masalah mobilitas, perawatan diri sendiri dan aktivitas yang lebih buruk.

2) Jenis kelamin

Wanita memiliki tingkat kualitas hidup yang lebih rendah dibanding pria (Penniston, 2007) terhadap penyakit dengan urolithiasis. Wanita cenderung lebih mudah mengalami stress dan depresi serta kesulitan


(51)

34

untuk beradaptasi dengan permasalahan yang dihadapi dibandingkan dengan laki-laki (Afifi, 2007; Nazro & Memun, 2004; Zalihic, et al., 2010)

3) Tingkat pendidikan

Individu dengan tingkat pendidikan yang tinggi memiliki kualitas hidup yang lebih tinggi dibanding dengan yang berpendidikan rendah (Klepac, 2009), dimana nilai yang rendah umumnya terletak pada komponen peran fisik dan peran mental (Abdurachim, 2007).

4) Pekerjaan

Pekerjaan juga ternyata mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Seorang pensiun, tidak bekerja, dan tidak dapat bekerja lagi cenderung mempunyai kualitas hidup yang buruk (CDC, 2002). Kualitas hidup seseorang yang masih aktif bekerja tampak lebih lebih baik pada domain fisik, rasa nyeri, kesehatan umum dan Komponen fisik (Abdurachim, 2007).

5) Dukungan sosial

Dukungan sosial yang kurang berpengaruh terhadap menurunnya kesehatan mental, sementara pasien dengan dukungan sosial yang tinggi memiliki kesehatan mental yang lebih baik dan berdampak pada meningkatnya kualitas hidup pasien, dimana kesehatan mental dapat berhubungan dengan emosi seseorang (Basworth, 2001). Dukungan dari pasangan hidup, orang tua, anak-anak dan keluarga dekat dapat memberi semangat dan kekuatan bagi pasien dalam mengambil setiap


(52)

keputusan yang baik pada masalah kesehatannya serta dapat meningkatkan nilai kualitas hidup pasien pada komponen mental (Rahman, et al., 2013)

6) Beratnya penyakit.

Pasien dengan kondisi sakit yang berat memiliki kualitas hidup yang lebih rendah dibanding pasien dengan kondisi sakit yang ringan. Pasien dengan keluhan nyeri lebih sering memiliki kualitas hidup kurang baik dibanding pasien tanpa nyeri. Demikian juga pasien dengan komplikasi atau penyakit penyerta seperti diabetes mellitus, hipertensi, dan obesitas umumnya memiliki kulitas hidup yang rendah dibandingkan dengan pasien tanpa komplikasi (Penniston, 2007). c. Penilaian kualitas hidup

Pengukuran kualitas hidup memberikan peran yang cukup besar dalam menilai tingkat kesembuhan dan kekambuhan pasien dimana hal tersebut digunakan sebagai indikator untuk mengetahui apakah terapi yang diberikan menguntungkan atau tidak (Spilker, 2002). Peningkatan kualitas hidup pasien menjadi penting sebagai tujuan pengobatan, sehingga setiap pasien perlu diketahui derajat kualitas hidupnya (Rachmawati, et al., 2014). Selain itu, menurut Modersitzki, et al., (2014) pengukuran kualitas hidup bertujuan untuk mengevaluasi tindakan keperawatan yang telah diberikan kepada pasien secara terapeutik.

Kualitas hidup merupakan konsep multidimensi meliputi dimensi fisik, psikologis, sosial dan lingkungan yang berhubungan dengan


(53)

36

penyakit dan terapi (Testa & Simondson, 1996). Penilaian kualitas hidup pasien dapat diukur dengan banyak alat ukur yang telah dikembangkan oleh para ilmuwan dalam mengukur kualitas hidup pasien yang menderita suatu penyakit baik akut ataupun kronis baik pada orang dewasa maupun pada anak-anak. Pasien dengan urolithiasis belum mempunyai instrumen khusus yang dapat digunakan menilai kualitas hidup, walaupun urolithiasis merupakan masalah sering terjadi dan dapat menimbulkan dampak yang besar terhadap kualitas hidup pasien terhadap kesehatan (Modersitzki, et al., 2014).

Mengukur kualitas hidup membutuhkan data dari beberapa aspek atau domain yang dapat menggambarkan kualitas hidup seseorang. Ada beberapa instrumen yang sudah baku dan telah dilakukan uji validitas dan reabilitas nya, antara lain: European Quality of Llife-5 Dimensions (EQ-5D)dan Short Form-36 (SF-36).

1) European Quality of Llife-5 Dimensions (EQ-5D)

Instrumen atau kuesioner untuk menilai kualitas hidup salah satu nya adalah formulir European Quality of Life-5 Dimensions (EQ-5D) yang dikeluarkan oleh EuroQol dari Inggris. Kuesioner ini telah digunakan di banyak negara termasuk Indonesia dan dapat digunakan di berbagai populasi termasuk pada usia lanjut (Anissa, 2013).

EQ-5D telah banyak diterjemahkan dan divalidasi di beberapa negara untuk mengukur kualitas hidup pada pasien dengan berbagai penyakit misal di Inggris pada pasien dengan penyakit kanker paru (Pickard, et


(54)

al., 2007), pasien dengan stroke, dan nyeri tulang belakang (Whynes, 2013) dan di Indonesia pada pasien usia lanjut (Anissa, 2013; Setiati, et al., 2010; Whynes, 2013).

2) Short-Form (SF 36)

Kuesioner The Medical Outcome Study (MOS) 36-item Short-Form Health Survey (SF 36) merupakan salah satu instrumen penilaian yang dapat digunakan untuk menilai kualitas hidup yang dikembangkan oleh Ware, (2000). Kuesioner SF-36 merupakan salah satu bentuk kuesioner umum yang banyak dipakai pada penelitian-penelitian mengenai kualitas hidup dan telah dialihbahasakan ke dalam berbagai bahasa termasuk Bahasa Indonesia (Hermaini, 2006).

Instrumen SF-36 merupakan suatu isian berisi 36 pertanyaan yang disusun untuk melakukan survey terhadap status kesehatan yang terbagi dalam beberapa aspek antara lain: pembatasan aktifitas fisik karena masalah kesehatan yang ada, pembatasan aktifitas sosial karena masalah fisik dan emosi, pembatasan aktifitas sehari-hari karena masalah fisik, nyeri seluruh badan, kesehatan mental secara umum, pembatasan aktifitas sehari-hari karena masalah emosi, vitalitas hidup, dan pandangan kesehatan secara umum. Instrumen SF-36 mengenai kualitas hidup terbagi dalam 8 dimensi. Terdiri dari dimensi fungsi fisik (10 butir pertanyaan), peranan fisik (4 butir), rasa nyeri (2 butir), kesehatan umum (5 butir), fungsi sosial (2 butir), vitalitas/energy (4 butir), peranan emosi (3 butir) dan kesehatan mental (5 butir) yang


(55)

38

kemudian dikelompokkan menjadi 2 komponen yaitu komponen fisik dan komponen mental. Pertanyaan yang terdapat pada SF-36 adalah tentang persepsi pasien secara umum tentang kesehatannya, kemudian dilakukan langkah-langkah penilaian. Penilaian standar instrumen SF-36 digunakan dalam waktu 4 minggu, namun dalam kondisi akut penilaian ulang dapat dilakukan dalam waktu 1 minggu dan dapat dilakukan pengukuran berulang setiap minggu (Ware, 2000).

Penilaian untuk Skoring pada SF-36 berkisar antara 0-100, dimana semakin tinggi skor menunjukkan semakin baiknya kualitas hidup terkait kesehatan pasien (Ware, 2000). Skor rata-rata diatas 50 persen dapat dinyatakan bahwa kualitas hidup pasien tinggi dan skor rata-rata dibawah 50 persen dapat dinyatakan bahwa kualitas hidupnya rendah (De Haan & Faranson, 2002; Modersitzki, et al., 2014).

d. Komponen Kualitas hidup

Short Form-36 mengelompokkan kualitas hidup menjadi komponen fisik dan komponen mental. Pengelompokkan komponen fisik terdiri dari fungsi fisik, peranan fisik, rasa nyeri dan kesehatan umum, sedangkan komponen mental terdiri dari peranan emosi, vitalitas, fungsi sosial dan kesehatan mental.

1) Komponen fisik merupakan komponen yang dominan dalam pembentukan kualitas hidup pasien urolithiasis dan berpengaruh terhadap kesehatan fisik. Kesehatan fisik, yaitu keadaan baik, artinya bebas dari sakit pada seluruh badan dan bagian-bagian lainnya.


(56)

Kesehatan fisik dapat mempengaruhi kemampuan individu untuk melakukan aktivitas. Aktivitas yang dilakukan individu akan memberikan pengalaman-pengalaman baru yang merupakan modal perkembangan ke tahap selanjutnya. Aspek ini meliputi aktifitas sehari-hari, energi dan kelelahan, mobilitas, nyeri dan ketidaknyamanan, tidur dan istirahat, kapasitas kerja bahkan ketergantungan pada bahan obat dan alat bantu medis (Nursalam, 2014).

2) Komponen mental juga memiliki peranan dalam menentukan apakah kualitas hidup seseorang berkualitas atau tidak. Kesehatan mental erat hubungannya dengan kesehatan psikologis. Perubahan psikologis berasal dari kesadaran tentang merosotnya atau perasaan rendah diri apabila dibandingkan dengan orang yang lebih muda atau lebih tua, kekuatan melakukan keterampilan, kecepatan dalam berfikir, dan keterampilan. Pada tahap perkembangan seseorang dapat mengerti dan menerima perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang dialaminya, serta menggunakan pengalaman hidupnya untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan fisik dan psikologis sehingga tahap perkembangan merupakan pola perilaku yang disetujui pada berbagai usia sepanjang rentang kehidupan (Nursalam, 2014).


(57)

40

Skema 2.1 Skala Pengukuran kualitas hidup menurut SF-36

Sumber: Ware, (2000).

Vigorous activities Moderate activities Lift

Climb several flights Climb one flight Bend, knee Walk mile

Walk several blocks Walk one block Bathe, dress

Cut down time Accomplished less Limited in kind Hard difficulty

Pain-megnitude Pain-intervere

EVGFP rating Sick easier As healthy Health to get worse Health excellent Pep/ life Energy Worn out Tired Social extent Social time

Cut down time Accomplished less Not careful

Nervous Down in dumps Peaceful Blue/ sad Happy Phisical Health Mental Health Q O L Physical functioning Physical Role Bodily Pain General Health Vitality Social Functioning Role Emotional Mental Health


(58)

3. Pendidikan Kesehatan

a. Definisi

Pendidikan kesehatan merupakan serangkaian upaya yang ditujukan untuk mempengaruhi orang lain, baik individu, kelompok maupun masyarakat agar terlaksananya perilaku hidup sehat (Setiawati & Dermawan, 2008). Pendidikan kesehatan dalam keperawatan merupakan satu bentuk intervensi keperawatan yang mandiri untuk membantu pasien/klien baik individu, kelompok maupun masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatan melalui kegiatan pembelajaran, yang didalamnya perawat berperan sebagai perawat pendidik (Sharifirad, et al., 2013; Suliha, et al., 2002).

Pendidikan kesehatan juga merupakan beberapa kombinasi desain dari pengalaman belajar untuk membantu individu dan komunitas dalam mengembangkan kesehatan mereka melalui peningkatan pengetahuan atau perubahan sikap mereka (World Health Organization (WHO), 2016). b. Tujuan pendidikan kesehatan

Suliha, et al., (2002) menjelaskan bahwa pendidikan kesehatan bertujuan untuk mengubah pemahaman individu, kelompok dan masyarakat di bidang kesehatan, agar menjadikan kesehatan sebagai sesuatu yang bernilai, mandiri dalam mencapai tujuan hidup sehat, serta dapat menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada dengan tepat dan sesuai.


(59)

42

Menurut Green, (1980) dalam Setiawati & Dermawan (2008), pendidikan kesehatan bertujuan untuk merubah perilaku yang dapat meningkatkan status kesehatan. Perubahan perilaku sehat dipengaruhi oleh tiga faktor, antara lain :

1) Pendidikan kesehatan dalam faktor-faktor predisposisi.

Pendidikan kesehatan ditujukan untuk menggugah kesadaran, meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pemeliharaan dan peningkatan kesadaran, bentuknya berupa penyuluhan kesehatan. 2) Pendidikan kesehatan dalam faktor-faktor enabling/ kemungkinan.

Bentuk pendidikan kesehatan yang ditujukan untuk memberdayakan masyarakat agar mampu menyediakan dan memanfaatkan fasilitas atau sarana dan prasarana kesehatan.

3) Pendidikan kesehatan dalam faktor-faktor reinforcing.

Pemberian pendidikan kesehatan ditujukan kepada tokoh agama, tokoh masyarakat dan petugas kesehatan. Individu, keluarga dan masyarakat akan menjadikan mereka teladan dalam bidang kesehatan. Edelman & Mendel, (2006) dalam Potter & Perry, (2009) menjelaskan tujuan pendidikan kesehatan adalah membantu individu, keluarga dan masyarakat untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal.


(60)

Sedangkan menurut Potter & Perry (2009), Tujuan pendidikan kesehatan secara komprehensif meliputi tiga hal yaitu:

1) Pemeliharaan dan promosi kesehatan serta pencegahan penyakit

Perawat menjadi sumber informasi yang kompeten bagi pasien yang ingin meningkatkan kondisi fisik dan psikologisnya. Perawat bertanggung jawab memberikan informasi dan ketrampilan yang dapat mengubah perilaku pasien menjadi sehat.

2) Pemulihan kesehatan

pasien yang sakit atau cidera membutuhkan informasi dan ketrampilan yang dapat membantu mereka mencapai atau memelihara kembali tingkat kesehatannya. Pasien yang sedang menjalani pemulihan atau beradaptasi dengan perubahan akibat penyakit, biasanya mencari informasi tentang kondisinya.

3) Beradaptasi dengan gangguan fungsi kesehatan

Pasien yang mengalami perubahan fungsi tubuh secara permanen, membutuhkan pengetahuan dan keterampilan baru untuk dapat meneruskan aktivitas hariannya atau memenuhi kebutuhannya. Perawat berperan dalam memberikan informasi yang dibutuhkan pasien dan keluarga dalam mendukung dan membantu perubahan fungsi tubuh yang dialami oleh pasien.

Tujuan pendidikan kesehatan agar individu memiliki tanggung jawab yang lebih besar terhadap kesehatan dirinya, keselamatan lingkungan dan masyarakatnya, agar individu memiliki langkah positif dalam upaya


(61)

44

pencegahan penyakit, mencegah berkembangnya penyakit menjadi lebih parah dan mencegah keadaan ketergantungan melalui rehabilitasi cacat yang disebabkan oleh penyakit, agar individu dapat merubah perilaku kesehatan serta berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan yang optimal, sehingga terbentuknya perilaku sehat sesuai dengan konsep hidup sehat baik secara fisik, mental dan sosial sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian (Suliha, et al., 2002).

c. Proses pendidikan kesehatan

Proses belajar dalam pendidikan kesehatan dapat dilihat sebagai sistem, yang dalam kegiatannya menyangkut aspek masukan, proses, dan keluaran (Notoatmodjo, 2010). Masukan dalam pendidikan kesehatan adalah individu, keluarga, kelompok dan masyarakat yang akan menjadi sasaran didik.

Faktor- faktor yang mempengaruhi subyek belajar dalam proses pendidikan kesehatan adalah kesiapan fisik, psikologis (motivasi dan minat), latar belakang pendidikan dan sosial budaya. Proses dalam pendidikan kesehatan merupakan mekanisme atau proses terjadinya perubahan kemampuan pada subyek belajar. Dalam proses ini terjadi pengaruh timbal balik antara berbagai faktor (Notoatmodjo, 2010).

Menurut Suliha, et al., (2002) proses pendidikan kesehatan dipengaruhi oleh faktor materi/bahan pendidikan kesehatan, lingkungan belajar, perangkat pendidikan baik perangkat lunak maupun perangkat keras, dan subyek belajar, yaitu individu, kelompok, keluarga, dan


(62)

masyarakat serta tenaga kesehatan/perawat. Keluaran dalam pendidikan kesehatan adalah kemampuan sebagai hasil perubahan prilaku yaitu prilaku sehat dari sasaran didik.

d. Metoda pembelajaran dalam pendidikan kesehatan

Pendidikan kesehatan merupakan proses pemindahan pesan terkait masalah kesehatan terhadap berbagai tingkatan sasaran yang di dalamnya terlibat komponen-komponen pembelajaran seperti metoda, materi, media selain faktor sasaran itu sendiri. Metoda pembelajaran adalah cara atau strategi yang digunakan supaya pesan dengan mudah dapat dipahami sasaran (Setiawati & Dermawan, 2008). Penyampaian pesan dalam pendidikan kesehatan dapat dilakukan dengan menggunakan metode:ceramah, diskusi kelompok, metode panel, metode forum panel, permainan peran, simposium, demonstrasi (Suliha, et al., 2002).

e. Media pembelajaran dalam pendidikan Kesehatan

Media pembelajaran merupakan alat yang secara fisik digunakan untuk menyampaikan isi materi pengajaran (Briggs, 1982 dalam Setiawati & Dermawan, 2008). Pesan, ide, gagasan atau informasi yang disampaikan pengajar atau pembicara akan mudah diterima apabila diberikan dengan metoda dan media atau alat bantu yang tepat. Alat bantu pembelajaran adalah alat-alat yang digunakan oleh pendidik dalam menyampaikan bahan pendidikan dan pengajaran. Alat bantu ini sering disebut sebagai alat peraga karena berfungsi untuk membantu dan memperagakan sesuatu di dalam proses pendidikan/pengajaran. Alat peraga pada dasarnya dapat


(63)

46

membantu sasaran didik untuk menerima pelajaran dengan menggunakan panca indera. Semakin banyak indera yang digunakan dalam menerima pelajaran semakin baik penerimaan pelajaran (Suliha, et al., 2002). Alat bantu dalam pendidikan kesehatan dikelompokkan menjadi tiga yaitu alat bantu lihat (visual aids), alat bantu dengar (audio aids), dan alat bantu lihat-dengar (audio visual aids). Alat bantu lihat berguna dalam membantu menstimulasi indera penglihatan pada waktu terjadinya proses pengajaran. Alat bantu dengar adalah alat yang dapat membantu menstimulasi indera pendengar pada waktu proses penyampaian bahan pengajaran. Alat bantu lihat-dengar merupakan gabungan dari kedua alat di atas (Notoatmodjo, 2010).

Manfaat media pembelajaran menurut Hamalik, (1986) dalam Setiawati & Dermawan, (2008) adalah memberikan motivasi dan pengaruh psikologis untuk peserta didik. Media yang menarik akan memberikan keyakinan pada peserta didik sehingga perubahan kognitif, afektif dan psikomotor dapat tercapai optimal.


(64)

B. Kerangka Teori

Skema 2.2. Kerangka Teori

Sumber: Notoatmodjo, (2010), Colella, et al. (2005), Purnomo (2012), Prabowo & Pranata (2014), Brunner & Suddart (2015), Suliha, et al., (2002), Ware, (2000). Penatalaksanaan umum Tindakan medis Pencegahan Medikamentosa Edukasi Komplikasi Gagal ginjal Infeksi ginjal Hidronefrosis Urosepsis Kekambuhan Urolithiasis Komponen Fisik Kualitas Hidup Pasien Urolithiasis Pendidikan Kesehatan

Faktor yang mempengaruhi kualitas hidup: 1. Usia

2. Jenis Kelamin 3. Tingkat pendidikan 4. Pekerjaan 5. Dukungan sosial 6. Beratnya penyakit

Faktor yang mempengaruhi Pendidikan Kesehatan: 1. Materi/ bahan 2. Lingkungan 3. Perangkat 4. Subjek Komponen Mental

1. Fungsi Fisik 2. Peranan Fisik 3. Rasa Nyeri 4. Kesehatan

Umum

1. Peranan Emosi 2. Vitalitas 3. Fungsi Sosial 4. Kesehatan


(65)

48

C. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Skema 2.3 Kerangka Konsep

D. Hipotesis

1. Ada pengaruh pendidikan kesehatan terhadap peningkatan skor rata-rata komponen fisik kualitas hidup pasien urolithiasis sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi. 2. Ada pengaruh pendidikan kesehatan terhadap peningkatan komponen

mental kualitas hidup pasien urolithiasis sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi

3. Ada pengaruh pendidikan kesehatan terhadap peningkatan komponen fisik dan komponen mental pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi.

Pendidikan Kesehatan

Komponen Fisik Kualitas Hidup Pasien Urolithiasis

Faktor Perancu Karakteristik Pasien (Usia, Jenis Kelamin, Tingkat Pendidikan, Pekerjaan, Riwayat

Keluarga dan Indeks Massa Tubuh)

Komponen Mental Kualitas Hidup Pasien Urolithiasis


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)