REPRESENTASI KEPAHLAWANAN AFRO-AMERIKA DALAM FILM THE KARATE KID

(1)

REPRESENTASI

KEPAHLAWANAN AFRO-AMERIKA DALAM FILM

THE KARATE KID

SKRIPSI

Disusun Oleh: LESMI FITRIOWATI

20060530046

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(2)

REPRESENTASI

KEPAHLAWANAN AFRO-AMERIKA DALAM FILM

THE KARATE KID

(Studi Analisis Semiotik Representasi Kepahlawanan Afro-Amerika dalam Film The Karate Kid Remake 2010)

Representation Heroism Afro-American In Film The

Karate Kid

(Representation Semiotics Analysis Studies African-American Heroism In Film The Karate Kid Remake 2010)

SKRIPSI

Disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata-1 Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh: LESMI FITRIOWATI

20060530046

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(3)

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

“Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan orang lain untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam referensi. Apabila kemudian hari terbukti bhawa pernyataan ini tidak benar, saya sanggup menerima hukuman atau sanksi apapun sesuai peraturan yang berlaku.”

Yogyakarta, 07 April 2017


(4)

MOTTO

Infuse your life in action.

Don’t wait for it to happen.

Make it happen.

Make your own future.

Make your own hope.

Make your own love.

Make your beliefs, honor your creator, not by passively waiting

for grace to come down from upon high, but by doing what you

can to make grace happen...

Yourself, right now, right down here on Earth.

(Bradley Whitford)


(5)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan,

sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.

Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras

(untuk urusan yang lain),

dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap.

(Al-Insyirah : 5-8)

Karya ini kupersembahkan untuk:

Allah SWT yang Maha Pemberi Manfaat dan Pemurah Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan umat muslim


(6)

Ayahanda Sukaryono dan Ibunda Darwati Tercinta yang dalam setiap helaan nafas dan untaian indah doa’nya, namaku disebut... Sebagai ungkapan hormat dan baktiku atas segala kesabaran, pengertian, cinta, dan kasihnya. Kakakku tersayang Kartika Medha Ekawati, S.Far., Apt., berserta suami dan keponakanku Muhammad Yusuf Al’atthas Adikku tersayang Puspo Tri Nugroho, S.T., beserta istri dan keponakanku Muhammad Faiqoh Meindra Nugroho Rio Rilando Simanjuntak, S.T., untuk semangat, motivasi, dukungan, dan

arahannya Teman-teman penghuni Kost Putri Puri Christy 1 (Seturan – UPN Yogyakarta), yang telah membuat saya merasa nyaman untuk tinggal selama 7 tahun, ‘sehingga membuat saya lupa lulus dan lupa jalan ke kampus’ Sahabat dan kerabat yang telah memberi kontribusi penting, semangat dan motivasi yang membuatku menjadi pribadi yang semakin dewasa Keluarga Pelajar Mahasiswa Balikpapan (KPMB –Yogyakarta) dan Asrama Kalimantan Timur yang telah banyak memberikan pengalaman dalam berorganisasi Almamaterku


(7)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat, hidayah, petunjuk, serta kemurahan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Representasi Kepahlawanan Afro-Amerika Dalam Film The Karate Kid.

Penyusunan tugas akhir skripsi ini bertujuan untuk memenuhi syarat ujian skripsi guna memperoleh gelar Sarjana Strata-1 pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Dalam kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Gunawan Budiyanto, M.P., selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

2. Ali Muhammad, S.IP., MA., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

3. Haryadi Arief Nuur Rasyid, S.IP., M.Sc., selaku Kepala Jurusan Program Studi Jurusan Ilmu Komunikasi.

4. Firly Annisa, S.IP., MA., selaku Dosen Pembimbing Utama.

5. Ayu Amalia, S.Sos., M.Si., selaku Dosen Pembimbing Pendamping. 6. Budi Dwi Arifianto, S.Sn., M.Sn., selaku Dosen Penguji.


(8)

7. Bapak Muryadi Setyono, Bapak Murjono, Mba Siti Wijayanti, Pak Yuli, Pak Yuni, serta seluruh Dosen dan Staf Bagian Pengajaran Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang telah membantu ketika saya menempuh pendidikan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

8. Ibu, Ibu, Ibu (Darwati) dan Ayah (Sukaryono) Tercinta atas dukungan moril, do’a, kesabaran, pengertian, nasehat, kasih sayang, materi yang tak terkira nilainya, serta semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Seluruh Warga Fakultas Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2006.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari tahap sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga karya skripsi sederhana ini mampu menjadi setitik sinar yang berguna, bermanfaat dan menambah wawasan bagi penulis khususnya dan bagi siapa saja yang membacanya.

Terima kasih sebanyak-banyaknya dan hanya do’a yang dapat penulis panjatkan semoga Allah SWT selalu memberikan yang terbaik dan mohon maaf apabila terdapat kesalahan yang disengaja maupun yang tidak disengaja.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Yogyakarta, 07 April 2017


(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

ABSTRAK ... xv

ABSTRACT ... xvi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1


(10)

1.3 Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Manfaat Penelitian ... 10

1) Manfaat Akademis ... 10

2) Manfaat Teoritis ... 10

1.5 Kerangka Teori ... 10

1.5.1 Film Sebagai Media Representasi ... 10

1.5.2 Postkolonialisme ... 15

1.5.3 Ideologi dalam Media ... 19

1.5.4 Representasi Heroisme ... 24

1.5.4.1Representasi Heroisme Dalam Aspek Maskulinitas .... 25

1.5.4.2Representasi Perilaku Seorang Hero ... 28

1.6 Metode Penelitian ... 30

1.6.1 Metode Penelitian ... 30

1.6.2 Objek Penelitian ... 32

1.6.3 Teknik Pengumpulan Data ... 32

a. Dokumentasi ... 32

b. Studi Pustaka ... 33

1.6.4 Teknik Analisis Data ... 33

II GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN 2.1 Film Hollywood sebagai Representasi Kebudayaan Amerika ... 39

2.2 Perkembangan Afro-Amerika ... 40

2.2.1 Sejarah Afro-Amerika ... 40


(11)

2.3 Deskripsi Film The Karate Kid ... 45 2.3.1 Profil Film ... 45 2.3.2 Karakteristik Penokohan The Karate Kid ... 48

III ANALISIS DAN PEMBAHASAN

3.1 Timur Vs Barat ... 50 3.2 Kepahlawanan Afro-Amerika ... 62 3.3 Stereotipe China ... 73

IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan ... 87 4.2 Saran ... 90


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

BAB I

1.1 Fungsi penandaan berdasarkan shot kamera (Berger, 1933:33)... 36 1.2 Teknik editing dan gerak kamera (Ibid. Hal.34) ... 36 BAB II


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

BAB I

1.1 Cuplikan adegan Mr. Han mengucapkan kata-kata bijak kepada Dre .... 8

1.2 Dua Tatanan Pertandaan Roland Barthes ... 35

BAB II 2.1 Poster Film The Karate Kid ... 46

BAB III 3.1 Dre sedang berada di taman bersama Mei Ying ... 54

3.2 Dre sedang berbicara dengan Mei Ying di taman ... 55

3.3 Mrs. Po yang sedang berdiri di depan gerbang sekolah... 57

3.4 Lokasi eksotis The Karate Kid ... 60

3.5 Cuplikan scene kehidupan dan keramaian Beijing The Karate Kid ... 60

3.6 Cuplikan scene lokasi kehidupan tradisional dan modern The Karate Kid 61 3.7 Lokasi kehidupan tradisional dan modern di China ... 61

3.8 Dre terjatuh di arena turnamen ... 62

3.9 Cuplikan film The Dark Knight dan Spiderman... 64

3.10 Cuplikan adegan tubuh Dre yang berotot ... 64

3.11 Dre menolong orang tua di taman ... 66

3.12 Dre membantu Mei Ying ... 67

3.13 Adegan saat Dre mengajak Mr. Han berlatih ... 69


(14)

3.15 Dre menggunakan jurus Kung Fu ... 71

3.16 Cuplikan Mr. Han sedang mengkonsumsi minuman beralkohol ... 74

3.17 Poster film Dragon Blade ... 76

3.18 Cuplikan adegan film Dragon Blade ... 76

3.19 Cheng dan gengnya berbuat rusuh di jalan ... 79

3.20 Cheng sedang mengintimidasi Dre di sekolah ... 79

3.21 Poster film Kung-Fu Hustle ... 83

3.22 Poster film Lucy ... 85


(15)

(16)

ABSTRAK

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi

Konsentrasi Broadcasting Lesmi Fitriowati

20060530046

Representasi Kepahlawanan Afro-Amerika Dalam Film The Karate Kid Tahun Skripsi : 2017 Xii+94 Halaman

Daftar Pustaka : 34 buku + 7 jurnal + 3 tabel + 26 gambar + 8 sumber online The Karate Kid merupakan salah satu film yang merepresentasikan kepahlawanan Amerika. Film The Karate Kid menghadirkan kembali penggambaran kepahlawanan dalam tokoh Afro-Amerika yang di mana biasanya tokoh Afro-Amerika hanya mendapatkan peran negatif dan peran antagonis atau hanya menjadi pelengkap saja, namun tidak dalam film The Karate Kid. Namun Hollywood tak luput menyisipkan ideologi dalam pembuatan filmnya. Ideologi ini bertujuan untuk membedakan kelas dominan dan sub-ordinat. Di dalam film ini stereotipe China di representasikan sebagai pihak yang jahat dan pembuat onar. Hollywood sebagai negara adidaya juga membentuk eksistensinya melalui postlkolonial yang ditunjukkan dalam film ini sebagai salah satu bentuk penjajahannya.

Metode yang digunakan dalam penelitin ini adalah analisis semiologi model Roland Barthes. Semiologi model Roland Barthes bekerja dengan menggunakan dua tahap signifikasi, yaitu makna denotasi dan makna konotasi. Data dalam film ini diperoleh secara langsung dengan mengamati film serta mencari referensi dari berbagai tulisan artikel, buku, internet, dan lainnya. Sedangkan hasil data penelitian ini diperoleh berdasarkan pemilihan scene pada film yang berkaitan dengan nilai-nilai heroisme. Nilai heroisme dalam film ini dikaji dengan merujuk pada unsur-unsur maskulinitas, perilaku, dan latar belakang yang direpresentasikan oleh seorang hero.


(17)

ABSTRACT

University of Muhammadiyah Yogyakarta Faculty of Social and Politic

Departemen of Communication Broadcasting Consentration Lesmi Fitriowati

20060530046

Representation Heroism Afro-Amerikan In The Karate Kid Film Year of Thesis: 2017 Xii+94 Pages

References: 34 books + 7 journals + 3 tabels + 26 pictures + 8 online sources The Karate Kid is one of those film that represent American heroism. The Karate Kid movie brings back the heroic portrayal of the African-American figures in which African-American characters usually only get a negative role and the role of antagonist or simply to a complement, but not in The Karate Kid

movie. But Hollywood didn’t escape insert ideology in film maker. This ideology

aims to distinguish the dominant classes and sub-ordinate. In this film stereotypes of China are represented as the bad guys and troublemakers. Hollywood as a superpower also establish it’s presence through postcolonial shown in this film as one form of colonization.

This experiment used method is in a model of Roland Barthes semiology analysis. Roland Barthes semiology models work by using two stages of significance, the meaning of denotations and connotations. The data in this film obtained directly by watching movies and looking for references from a variety of writing articles, books, internet, and more. While the results of this research data obtained based on the election scene in a movie that deals with the values of heroism. Value heroism in the film is assessed by reference to the elements of masculinity, behavior and background which is represented by a hero.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Amerika merupakan sebuah negara besar yang sangat memiliki pengaruh hampir diseluruh sektor di dunia. Hal tersebut juga tidak terlepas dari dunia seni khususnya dunia perfilman atau seni peran. Dunia film Amerika menjadi sorotan dunia. Tidak ada orang yang tidak mengenal kata Hollywood sebagai pusat produksi film terbesar di Amerika. Dunia film tidak terpisah dari rumah produksi yang menciptakannya. Ada banyak rumah produksi film besar yang menghiasi wajah Hollywood antara lain Dream Works, Touch Stone, Walt Disney, Universal, Paramount, Columbia, dan lain-lain. Rumah-rumah produksi tersebut sudah diakui dan sudah tidak diragukan lagi mengenai kualitas film yang dihasilkan. Di sisi lain, sudah banyak memproduksi film dengan berbagai macam genre yang sudah tersebar di seluruh dunia.

Film Hollywood adalah kolaborasi nyata antara sisi artistik dan hiburan. Film-film tersebut tidak hanya menghibur, namun juga dapat dinikmati sebagai karya seni. Hebatnya para pembuat film di Hollywood mengetahui apa yang ingin dilihat oleh penonton dalam karyanya itu, dengan tetap menjaga sisi artistik dan kualitas penggarapan. Hal ini mungkin dapat menjawab pertanyaan tentang mengapa film-film Amerika begitu disukai oleh penonton di seluruh dunia, termasuk Indonesia (Adi, 2008: XV).


(19)

Persepsi orang terhadap apa yang diciptakan dan ditampilkan melalui film-film Hollywood juga lebih sering merupakan persepsi ‘versi Amerika’, seperti penciptaan tokoh hero dan penjahat dalam film laga Amerika. Film-film Hollywood lebih sering menampilkan sosok hero adalah berkulit putih Amerika dan penjahat berkulit hitam seperti Asia, Arab, dan Latin, maka penggambaran sosok hero dan penjahat tersebut merupakan persepsi ‘versi Amerika’. Jadi film Hollywood mempunyai kekuatan untuk membentuk realitas bahwa hero adalah seorang kulit putih dan penjahat adalah kulit hitam, Asia, Arab dan Latin, sehingga ras kulit putih memiliki superioritas dalam melawan para penjahatnya.

Sebagian besar film-film Hollywood menggambarkan sosok hero identik dengan maskulinitas. Sosok hero laki-laki yang ditampilkan adalah laki-laki muda, kulit putih, ganteng, dan atletis. Ia juga membangun hubungan dengan wanita (heteroseksual) sebagai satu hal yang membangun maskulinitas, bahkan film superhero tidak pernah menampilkan tokoh utama (hero) selain ras kulit putih, contohnya dalam film Spiderman. Peter Parker sebagai tokoh utamanya (hero) sangat jelas menapilkan karakter maskulinitasnya. Ia juga menjalin hubungan dengan wanita cantik yang bernama Marry Jane Watson (MJ). Simbol hero dalam film-film Hollywood yang direpresentasikan melalui tokoh protagonis lebih sering ditampilkan sebagai sosok yang kuat dengan tubuh berotot karena seorang hero harus melakukan tindakan-tindakan berani dan berbahaya untuk melindungi yang lemah (Adi, 2008:204). Hal ini bisa terlihat dalam film kartun Popeye, He-Man, dan Hercules. Secara fisik sudah menunjukkan bahwa mereka menggambarkan seorang hero yang ditujukan melalui bentuk tubuh. Bentuk tubuh


(20)

mereka yang kuat, berotot, perut six pack, badan ideal atau paling tidak bentuk tubuh yang normal memungkinkan mereka untuk melakukan tindakan heroik.

Seringkali kita temui dalam film-film Hollywood praktik paham rasisme, dimana ras kulit putih selalu dominan dan menjadi tokoh central dalam sebuah film. Walau pada kenyataannnya paham rasisme sudah dihapuskan di berbagai negara, namun diskriminasi ras masih sering tampak dalam kehidupan sehari-hari. Kulit hitam atau Afro-Amerika selalu di cap sebagai pelaku kriminal, pemabuk, penjahat, pekerja kasar dan statusnya yang selalu berada di bawah dominasi ras kulit putih. Penggambaran ini pula yang selalu menjadi stereotype Afro-Amerika dalam film-film Hollywood.

Film Hollywood berkembang menjadi alat penanaman suatu makna ras kulit hitam yang selalu diingatkan terhadap kejadian masa lalu, sehingga kita sebagai generasi baru tidak akan lupa dengan kejadian masa lalu yang mana bahwa ras kulit hitam tersebut jelas berada di bawah kelas ras kulit putih. Stereotipe paling sering difungsikan untuk membentuk memori populer tentang perbudakan, perang saudara, dan Anglo-Amerika akuisisi dari kedua tanah asli dan Meksiko (Hill and Church G., 2000 : 159).

Umumnya film yang mengangkat isu–isu tentang rasisme hampir selalu menampakkan hubungan antara kulit hitam dan kulit putih. Adapun bentuk rasisme yang selalu diangkat dalam sebuah perfilman adalah secara jelas menunjukkan dimana letak rasisme yang terdapat dalam film dan ada juga yang secara kasat mata, sehingga hal ini tabu untuk dianggap rasis oleh para penikmat film. Seperti film seperti dalam film The Blind Side (2009) yang disutradarai oleh


(21)

John Lee Hancook berdasarkan kisah nyata yang bercerita tentang Michael Oher, anak tunawisma dengan trauma masa lalu yang akhirnya berhasil menjadi pemain hebat American Football NFL berkat bantuan Mrs. Tuohy dan keluarganya yang sangat peduli. Film Hancock (2008) disutradarai Peter Berg yang menceritakan tentang superhero yang berkulit hitam, namun dirinya dianggap sebagai superhero urakan dan masyarakat sangat merasa tidak terbantu dengan kehadiran superhero tersebut, pada akhirnya superhero ini menjadi panutan masyarakat namun sebelum itu terjadi, ada campur tangan kulit putih yang berhasil menggurui superhero tersebut hingga menjadi panutan masyarakat. The Help (2011) yang disutradarai Tate Tylor ini menceritakan bahwa kulit hitam pada jaman itu hampir keseluruhan menjadi budak kulit putih yang digambarkan sebagai pembantu rumah tangga, namun di dalam film ini menceritakan bagaimana rasisnya kulit putih secara jelas terang-terangan terhadap kulit hitam.

Diskriminasi ras atau rasisme di Amerika berawal dari perbudakan sejak orang Eropa datang ke benua Amerika khususnya yang datang ke selatan dan membuka lahan pertanian, mereka membutuhkan tenaga pekerja kasar dalam jumlah besar pada tahun 1620 (Kasali, 2005:123). Dari perbudakan inilah memunculkan diskriminasi ras terhadap ras kulit hitam yang hanya dianggap sebagai budak, pekerja kasar, tidak berpendidikan, orang yang terpinggirkan, dan orang-orang yang tidak pantas untuk disejajarkan dengan orang kulit putih.

Representasi yang dibentuk oleh media merupakan penggambaran tentang realitas yang ada pada masyarakat pada saat itu. Sebuah representasi akan digambarkan melalui beberapa tanda yang ada pada penggunaan bahasa, kalimat,


(22)

dan juga visualisasi seperti gambar dan video. Stuart Hall (1997:15) menjelaskan bahwa representasi menggunakan bahasa untuk menyampaikan sebuah makna dan pesan untuk orang lain. “Representation means using language to say something meaningful about, or represent the world meaningfully, to other people”. Atau secara lebih jelas Stuart Hall menjelaskan representasi sebagai berikut. Representasi merupakan bagian penting dari proses dimana terjadi produksi dan pertukaran antara individu dalam suatu budaya. Proses ini melibatkan penggunaan bahasa, atau tanda-tanda dan gambar yang mewakili sesuatu (1997:15).

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Cones (2012:33) bahwa kulit hitam ditampilkan dalam gambaran yang pada dasarnya berbeda dari non-kulit hitam. Dan tidak ambil bagian dalam kehidupan berbangsa, seperti tidak memberikan sumbangan apa-apa, tidak memberikan kontribusi, dan tidak diharapkan. Pernyataan Cones mempertajam stigma negatif terhadap masyarakat Afro-Amerika. Walau Afro-Amerika sudah terbebas dari perbudakan dan memiliki kesempatan yang lebar untuk mengembangkan diri di bidang apapun termasuk industri film agar dapat mensejajarkan diri dengan ras kulit putih. Namun stereotipe ras kulit hitam di industri film Amerika melestarikan diskriminasi ras di Amerika.

Film selalu mengkonstruksi realitas untuk dijadikan sebuah cerita dalam film, hal ini mengartikan bahwa apa yang film sampaikan adalah realitas yang telah dikonstruksi. Semakin banyak film yang akan diproduksi semakin banyak pula muatan atau isu yang akan dibahas dalam film, tidak hanya demikian, setiap film yang diproduksi tidak akan pernah terlepas dari ideologi tertentu untuk


(23)

kemudian ditampilkan ke dalam film. Film di sini akan mempengaruhi dan membentuk masyarakat atas muatan cerita dan pesan di dalamnya. Zoest menjelaskan bahwa setiap teks (tulisan, simbol, gambar dan film) tidak akan pernah lepas dari ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi khalayak massa ke arah suatu ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi khalayak massa ke arah suatu ideologi tertentu (dalam Sobur, 2009:60).

Sebagai media komunikasi massa, film selalu memiliki realitas sendiri yang dibuat oleh para pembuat film. Naning mengatakan bahwa : “Film memang realitas buatan, realitas yang dibangun oleh kreativitas para pembuatannya. Tetapi para pembuat film dengan seluruh krunya membuat film untuk satu tujuan, yaitu meyakinkan para penonton bahwa mereka sedang berada dalam realitas tertentu yang nyata dan tidak dibuat-buat” (2009: 70). Dalam pemaparan tersebut, dapat dilihat bahwa film memang memiliki realitas sendiri yang sengaja dibuat, realitas tersebut belum tentu merupakan realitas nyata dalam kehidupan sosial masyarakat, namun sering kali realitas film tersebut membuat kita untuk beranggapan bahwa realitas film tersebut adalah realitas yang sebenarnya.

Salah satu film yang menarik dengan aktor Afro-Amerika adalah The Karate Kid produksi Columbia Pictures yang dirilis pada 11 Juni 2010 dan disutradarai oleh Harald Zwart mengusung tema drama action. Film ini merupakan remake dari film The Karate Kid 1984 yang dibintangi oleh tokoh utamanya diperankan oleh Ralph Macchio dan pengajar karate diperankan oleh aktor berdarah Jepang, yaitu Pat Morita. Film The Karate Kid pada tahun 1984 itu


(24)

sukses besar baik secara kritikal maupun komersial dan menjadi box office di eranya.

Hero dalam film The Karate Kid ini digambarkan melalui tokoh utama yang bernama Dre Parker. Dre adalah seorang anak berusia 12 tahun, berkulit gelap, berambut keriting, dan tidak bisa berbicara Bahasa Mandarin. Ia mempunyai keinginan yang kuat untuk menjadi pendekar karate. Sampai pada suatu hari ia menjadi pemenang dalam laga turnamen karate. Dre adalah seorang anak yang populer di kota asalnya Detroit, Amerika.

Mengingat film The Karate Kid ini hasil remake-an dari film terdahulunya yang booming di era 80’an dengan judul sama The Karate Kid, namun semua tokoh dan setting lokasi yang digambarkan dalam film The Karate Kid tersebut berbeda 180o. Jika pada film The Karate Kid 1984 itu tokoh utamanya adalah Rarlph Maccio aktor berkulit putih keturunan Italia-Amerika, berbeda dengan tokoh utama dalam film The Karate Kid yang diperankan oleh aktor berdarah Afro-Amerika, Jaden Smith, yang berperan sebagai Dre Parker.

Film The Karate Kid yang merupakan salah satu dari sekian banyak film Hollywood yang merepresentasikan hero. Film The Karate Kid menggambarkan hero berbeda dari penggambaran-penggambaran film lain, khususnya film Hollywood. Sehingga justru itulah yang membuat film ini menjadi unik dan menarik dengan adanya bintang terkenal multitalenta master Kung Fu Jackie Chan sebagai guru karate Dre, dan Dre sendiri—yaitu Jaden Smith adalah anak dari aktor Hollywood terkenal, Will Smith yang menjadi produser film The Karate Kid. Mungkin hal itu juga yang menyebabkan adanya pergantian peran dalam film


(25)

ini. Jika pada film terdahulu tidak ada artis berdarah Afro-Amerika dan di dalam kebanyakan film Hollywood lainnya artis Afro-Amerika hanya menjadi tokoh antagonis, Dre pada film The Karate Kid justru dijadikan pahlawan.

Sensasi karate yang biasa dihadirkan aktor legendaris Jackie Chan asal Hong Kong, kini bisa dinikmati dengan pemandangan berbeda. Setingan adegan-adegan latihan karate Dre di China juga tersaji dalam film tersebut seperti mempertontonkan beberapa tempat eksotis. Salah satu tempat paling eksotis dan memperkuat film ini adalah The Great Wall of China (Tembok Raksasa China/ Tembok Besar China) tempat yang merupakan salah satu dari tujuh keajaiban dunia warisan budaya China sangat menarik khususnya melalui tokoh Dre dan gurunya Mr. Han, yang menceritakan bagaimana Dre berlatih keras dan susah payah menguasai Kung Fu, sehingga membuat suasana jadi lebih segar. Selain itu pesan yang tersirat maupun tersurat terlihat dalam film ini, terutama pesan-pesan moral dari kata-kata bijak yang di keluarkan Mr. Han, Jackie Chan.

Gambar 1.1 Cuplikan adegan Mr. Han mengucapkan kata-kata bijak kepada Dre


(26)

Life would knock us down, but we can choose whether or not to get back up – Mr. Han, Karate Kid

“Hidup akan membuat kita terjatuh, tapi kita dapat memilih apakah ingin bangkit atau tidak”

Dari latar belakang ini, penulis ingin melihat bagaimana representasi Afro-Amerika yang digambarkan dalam film The Karate Kid. Hal ini menjadi menarik karena film The Karate Kid ini menggambarkan tentang posisi Afro-Amerika di negara Beijing, China. Dari pernyataan tersebut, penulis mengangkat tema ini menjadi sebuah penelitian untuk menjawab pertanyaan dari latar belakang yang telah dijabarkan.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode semiotika Roland Barthes. Teknik analisis signifikasi dua tahap Roland Barthes akan digunakan untuk mengetahui makna apa saja yang terlihat pada signifikasi tahap pertama yang memuat tanda denotasi dan signifikasi, tahap kedua yang memuat tanda konotasi dan mitos (Sobur, 2003: 127-128). Adapun representasi hero dalam film The Karate Kid terlihat pada bentuk fisik, kelas sosial, dan personalitas.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Bagaimana Representasi Kepahlawanan Afro-Amerika dalam Film The Karate Kid?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Untuk Mengetahui Representasi Kepahlawanan Afro-Amerika dalam Film The Karate Kid.


(27)

1.4 MANFAAT PENELITIAN 1) Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis dan menjadi referensi bagi penelitian ilmiah selanjutnya. Sehingga dapat menambah perspektif komunikasi, khususnya dalam kajian semiotika.

2) Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan diskusi dalam menambah keberagaman tentang hero yang direpresentasikan dalam film.

1.5 KERANGKA TEORI

1.5.1 Film sebagai Media Representasi

Sebagai media massa film tidak pernah lepas dari praktek representasi. Film selalu mengkonstruksi realitas dan kemudian memproyeksikannya ke dalam layar lebar. Representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial, yaitu pemaknaan melalui sistem penandaan yang ada, seperti: tulisan, dialog, foto, film, iklan, dan sebagainya. Menurut Chris Baker, unsur utama cultural studies dipahami sebagai studi kebudayaan yaitu praktek pemaknaan representasi, bagaimana dunia ini dikonstruksikan dan direpresentasikan secara sosial kepada dan oleh kita. Menurutnya bagian terbesar dalam cultural studies terpusat pada pernyataan tentang representasi. Representasi dan makna kultural memiliki materialitas tertentu yang melekat pada bunyi, prasasti, objek, citra, buku, majalah, dan program televisi (2011:9).


(28)

Konsep representasi penting digunakan untuk menggambarkan hubungan antara teks media dan realitas. Menilik dari arti representasi itu sendiri, representasi adalah suatu konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penanda yang berkaitan dengan subjek tertentu (Burton, 2008:135). Representasi dapat berbentuk dari berbagai macam sarana komunikasi, seperti bahasa baik lisan maupun tulisan, gambar-gambar, poster, foto, musik, lagu, film dan sebagainya. Melalui sarana media komunikasi representasi biasanya menghadirkan sesuatu dalam bentuk simbol dan tanda, representasi bukan merupakan penjiplakan atas kenyataan yang sesungguhnya, melainkan sebuah rekonstruksi dari situasi sesungguhnya. Representasi sendiri menunjuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu dikemukakan dan ditampilkan dalam pemberitaan atau media.

Dalam pandangan Burton ada beberapa hal yang perlu dimengerti berkaitan dengan representasi media, yaitu :

a) Stereotype: merupakan pemberian label pada sesuatu yang sering kali digambarkan negatif. Sebagai contoh adalah ketika media merepresentasikan orang kulit gelap dalam film, orang kulit gelap cenderung ditampilkan sebagai orang yang anarkis, emosional, dan lemah secara pemikiran.

b) Identity: yang merupakan suatu pemahaman seseorang tentang diri mereka, unsur ini melihat nilai-nilai apa saja yang di anutnya dan bagaimana orang lain melihat mereka baik dari sudut pandang positif maupun negatif pada kelompok yang direpresentasikan.

c) Difference: merupakan pembedaan antar kelompok sosial, bagaimana suatu kelompok diposisikan dengan kelompok lain.

d) Naturalization: merupakan strategi representasi yang dirancang untuk membentuk difference dan menjaga selamanya agar selalu ada dan terlihat alami seolah-olah pembedaan kelompok sosial tersebut merupakan hal yang wajar.

e) Ideology: merupakan sesuatu yang di transfer dalam representasi untuk membangun dam memperluas kekuatan relasi sosial (2000 : 170-175).


(29)

Ideologi merupakan hal penting dalam proses representasi. Ideologi adalah tentang ‘ide’ yang dipegang oleh sebuah kelompok sosial untuk kemudian merepresentasikan sebuah relasi sosial dan selalu ada upaya untuk melanggengkan relasi tersebut. Ideologi di dalam hal ini dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk konsistensi tentang cara sebuah kelompok sosial memandang dan memahami dunia melalui tanda dan teks. Ideologi bekerja dalam kehidupan sosial masyarakat dan dapat berfungsi mencakup ataupun menyingkirkan. Pada intinya ideologi di sini memiliki kekuatan untuk membentuk relasi kekuasaan atas sebuah kelompok terhadap kelompok lain (Thwaites dkk, 2011 : 233-236).

Representasi dapat dikatakan sebagai proses produksi makna melalui bahasa. Dalam hal ini maksud dari bahasa tidak hanya sebatas kata-kata saja. Representasi dapat berwujud kata, gambar, sekuen, cerita, yang ‘mewakili’ ide, struktur, serta ideologi yang terdapat dalam representasi. Representasi bergantung pada tanda dan citra yang sudah ada dan dipahami secara kultural, bahasa sanggup menghubungkan konsep atau ide yang ada dalam pikiran melalui kata-kata, tulisan, suara dan gambar yang mengandung makna dan kemudian disebut simbol. Simbol-simbol yang mempunyai makna ini digunakan untuk merepresentasikan konsep, hubungan-hubungan konseptual antara masing-masing simbol, kemudian secara bersamaan kita membuat pemaknaan dalam kultur kita (Hartley, 2010:265). Representasi berarti menggunakan bahasa untuk mengatakan sesuatu atau untuk menggambarkan makna dunia kepada orang lain/ budaya lain. Hal ini mengandung dua prinsip, pertama yaitu untuk mengartikan sesuatu, menjelaskan atau menggambarkan dalam pikiran dengan sebuah gambaran imajinasi.


(30)

Kemudian yang kedua yaitu representasi digunakan untuk menjelaskan konstruksi makna sebuah simbol, jadi kita dapat mengkomunikasikan makna melalui bahasa kepada orang lain yang dapat mengerti dan memahami bahasa yang sama (Hall, 1997:15).

“Representation is an essential part of the process by which meaning is produced and exchanged between members of culture. It does involve the use of language, of sign, and images which stand for or represnt things” (Hall, 2002:15).

Dari penjelasan representasi Stuart Hall dapat dipahami bahwa representasi merupakan bagian penting dari proses di mana makna-makna diproduksi dan dipertukarkan menggunakan bahasa, tanda, gambar (teks) yang berdiri untuk atau mewakili sesuatu dalam masyarakat dunia yang berbudaya. Jadi hal pokok di sini adalah makna. Makna adalah arti, ide, maksud atau tujuan baik yang tampak maupun tidak tampak dalam proses representasi. Makna juga merupakan hasil dari interaksi tanda-tanda (simbol) tersebut.

Lebih lanjut mengenai representasi, ada tiga pandangan kritis yang diuraikan oleh Stuart Hall dilihat dari posisi viewer maupun creator untuk menjelaskan bagaimana representasi makna melalui bahasa bekerja, yaitu:

a) Reflective, yaitu pandangan tentang makna, di mana representasi berfungsi sebagai cara untuk memandang budaya dan realitas sosial. Bahasa berfungsi menjadi cermin yang merefleksikan makna yang sebenarnya dari segala sesuatu yang ada di dunia.

b) Intentional, merupakan sudut pandang dari creator yakni makna yang diharapkan dan dikandung dalam representasi. Kita menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan sesuatu sesuai dengan cara pandang kita terhadap sesuatu.

c) Constructionist, merupakan pandangan pembaca melalui teks yang dibuat, dengan penggunaan bahasa atau kode-kode lisan dan visual, kode teknis, kode pakaian dan sebagainya, yang oleh film dihadirkan kepada khalayak secara audio visual (Hall dalam Burton, 2007:177). Dengan kata lain yaitu bagaimana kita memaknai teks melalui representasi yang terwujud dari


(31)

kode-kode dan simbol-simbol tersebut. Kemudian konstruksi makna tersebut dikomunikasikan melalui bahasa yang dapat dipahami bersama Dari ketiga pandangan Stuart Hall yang telah dipaparkan di atas, penelitian ini cenderung ke arah pandangan yang ketiga, yaitu constructionist, yakni pandangan pembaca melalui teks yang dibuat. Hal ini dilihat dari penggunaan bahasa atau kode lisan dan visual, kode teknis, kode pakaian dan sebagainya. Dengan kata lain yaitu bagaimana kita memaknai teks melalui representasi yang terwujud dari kode-kode dan simbol-simbol tersebut. Kemudian konstruksi makna tersebut dikomunikasikan melalui bahasa yang dapat dipahami bersama.

Sebuah film mungkin saja merupakan reproduksi kenyataan seperti apa adanya secara sinematografis dalam batas-batas tertentu, namun ini tidak pernah sahih sebagai kenyataan apa adanya itu sendiri (Cheah, 2002:45). Media massa terutama film akan berupaya menyusun dan mengkonstruksikan suatu realitas berdasarkan kode-kode ideologi dari kebudayaan sebagai refleksi dari realitas. Proses konstruksi ini akan selalu berkaitan dengan bagaimana media melakukan politik pemaknaan, sehingga representasi yang ditampilkan dalam film tersebut mampu mencerminkan realitas yang seolah-olah nyata.

Film selalu mengangkat berbagai realitas yang terjadi di sekitar kita untuk dijadikan cerita. Sebuah film dibangun atas berbagai macam makna, tanda, kode dan simbol-simbol yang dibentuk untuk menjadi sebuah cerita. Jadi, representasi adalah penggambaran suatu realitas yang kemudian dikomunikasikan atau ditampilkan dalam berbagai macam tanda dan simbol, baik dalam bentuk gambar maupun suara. Namun ada penghadiran kembali dan seleksi, serta improvisasi dalam penggambaran realitas tersebut, ini menunjukkan bahwa sebuah film tidak


(32)

pernah murni mengangkat realitas nyata ke dalam penggambaran audio visual dalam sebuah film. Atas hal tersebut representasi di sini berfungsi sebagai cara peneliti melihat apa yang ditampilkan dalam objek. Dalam hal ini representasi akan membantu peneliti untuk melihat bagaimana sebuah masalah yang menjadi fokus penelitian ini ditampilkan dalam film The Karate Kid untuk kemudian peneliti lihat sebagai sebuah proses representasi yang diyakini atas hal yang bukan realitas, melainkan sebagai sebuah konstruksi belaka.

1.5.2 Postkolonialisme

Poskolonialisme dari akar kata “post” + kolonial + “isme”, post memiliki arti sesudah, kolonial memiliki arti era/zaman penjajahan, sedangkan “isme” bermakna sebuah paham/teori. Jadi secara harfiah Poskolonialisme berarti paham mengenai teori yang lahir sesudah zaman kolonial. Poskolonial didefinisikan sebagai teori yang lahir sesudah kebanyakan negara-negara terjajah memperoleh kemerdekaannya. Bidang kajian poskolonialisme mencakup seluruh khazanah tekstual nasional, khususnya karya sastra yang mengalami kekuasaan imperial sejak awal kolonialisasi hingga sekarang. Teori poskolonial dengan demikian sangat relevan dalam kaitannya dengan kritik lintas budaya sekaligus wacana yang ditimbulkannya. Tema-tema yang bisa dikaji sangat luas dan beragam, meliputi hampir meliputi seluruh aspek kebudayaan, diantaranya politik, ideologi, agama, pendidikan, sejarah, film, kesenian, etnisitas, bahasa, dan sastra (Ratna, 2008:95).


(33)

Bill Ashcroft mengatakan, “Post-colonial studies are based in the ‘historical fact’ of European colonialism, and the diverse material effects to which this phenomenon gave rise” (1995:2). Studi poskolonial menurut Ashcroft adalah kajian yang muncul berdasarkan fakta sejarah dari kolonialisme Eropa dan efek-efek apa yang muncul dari fenomena tersebut. Poskolonial di sini mengkaji tentang pola sebab akibat, di mana kolonialisme Eropa sebagai sebab telah mengakibatkan atau membuat efek-efek terhadap bangsa jajahannya sebagai akibat.

Terdapat relasi penting antara teks dengan poskolonial, Aschroft menjelaskan bahwa teks merupakan hal yang sangat berperan dalam kajian poskolonial, teks diyakini memiliki kekuatan dan kedudukan yang sangat penting. Teks menjadi senjata ampuh untuk melanggengkan kolonial babak kedua setelah kemerdekaan didapatkan sebuah bangsa terjajah. Bagi pihak penjajah, teks menjadi salah satu alat kontrol kolonial yang paling ampuh. Sebagai sarana komunikasi, teks menjadi kekuatan pendukung dan penyebar paling efektif hegemoni kekuasaan kolonial. Kekuasaan imperial mungkin hadir secara nyata melalui sarana-sarana koersif militer dan kekerasan, akan tetapi melalui tekslah kekuasaan ini dikonstruksikan secara lebih jelas. (Aschroft, 2003:x).

Teori poskolonialisme memiliki arti penting, dianggap mampu untuk mengungkap masalah-masalah tersembunyi yang terkandung di balik kenyataan yang pernah terjadi, dengan pertimbangan sebagai berikut:

a. Secara definitif, postkolonialisme menaruh perhatian untuk menganalisis era kolonial.

b. Poskolonialisme memiliki kaitan erat dengan nasionalisme. Teori poskolonialisme dianggap dapat memberikan pemahaman terhadap


(34)

masing-masing pribadi agar selalu mengutamakan kepentingan bangsa di atas golongan, kepentingan golongan diatas kepentingan pribadi.

c. Sebagai teori baru, sebagai varian postrukturalisme, poskolonialisme memperjuangkan narasi kecil, menggalang kekuatan dari bawah sekaligus belajar dari masa lampau untuk menuju masa depan.

d. Poskolonialisme membangkitkan kesadaran bahwa penjajahan bukan semata-mata dalam bentuk fisik melainkan juga psike. Model penjajahan terakhir masih berlanjut.

e. Poskolonialisme bukan semata-mata teori melainkan kesadaran itu sendiri, bahwa masih banyak pekerjaan besar yang harus dilakukan, seperti memerangi imperialisme, orientalisme, rasialisme, dan berbagai bentuk hegemoni lainnya, baik material maupun spiritual, baik yang berasal dari bangsa asing maupun bangsa sendiri. (Ratna 2008:81-82).

Salah satu tokoh terkemuka poskolonial adalah Gayatri C. Spivak, yang terkenal melalui tulisannya Can The Subaltern Speak? (Subaltern: Sinonim, dari subordinat) (dapatkah Subaltern berbicara?) Yang memandang bahwa kemerdekaan sebuah negara masih memposisikan kelas Subaltern sebagai bayang-bayang saja. Para petani, kaum buruh, dan perempuan masih tetap menikmati dirinya sebagai kaum yang tidak dapat bersuara. Pada akhirnya atas tulisannya Spivak menyimpulkan bahwa Subaltern tidak dapat berbicara. Dalam hal ini Spivak melihat kemerdekaan yang telah di raih sebuah bangsa tidak benar-benar dapat dikatakan merdeka. Spivak melihat masih sangat banyak keterbatasan-keterbatasan yang pada akhirnya harus dikatakan oleh spivak bahwa negara belum benar-benar merdeka. Spivak meyakini bahwa teks sastra dan filsafat Eropa memberikan dukungan ideologis pada kolonialisme Eropa. (Morthon, 2008:171).

Istilah poskolonial tidak jarang digunakan untuk membedakan masa sebelum kemerdekaan dan masa setelah kemerdekaan, namun pada dasarnya poskolonial lebih memfokuskan kajian pada masa setelah kemerdekaan. Poskolonial meyakini bahwa terdapat kontinuitas ‘penjajahan’ yang terus


(35)

berlangsung semenjak dimulainya agresi imperial bangsa Eropa hingga saat sekarang ini. Fokus kajian dalam poskolonial adalah kontinuitas penjajahan yang terjadi hingga saat ini, dalam hal ini poskolonial melihat bagaimana penjajahan yang terjadi pada negara-negara jajahan Eropa menjadi sebuah momen historis yang memberi akibat pada keseragaman budaya muncul dalam suatu negara yang kemudian dilanggengkan oleh media massa. Kajian poskolonial mencakup seluruh aspek kebudayaan bangsa atau negara yang pernah mengalami kekuasaan imperial dari awal sejarah kolonialisasi hingga kurun waktu sekarang. Poskolonial mengkaji tentang relasi dominasi yang terjadi atas sejarah kolonial yang terjadi pada suatu bangsa. Hadirnya poskolonial di sini adalah sebagai kritik-kritik lintas budaya yang muncul saat ini serta wacana-wacana yang dibentuk atas sejarah kolonial Eropa tersebut (Ashcroft dkk, 2003:xxii).

Tujuan pengembangan teori poskolonial adalah melawan sisa-sisa dampak dari terjadinya kolonialisme dalam pengetahuan termasuk pada sisi kultur. Poskolonialisme di sini mencoba membongkar struktur-struktur yang mendominasi negara terjajah atas kolonialisme yang terjadi. Poskolonial berorientasi pada terwujudnya tata hubungan dunia yang baru di masa depan. Poskolonial merupakan teori yang berasumsikan dan sekaligus mengeksplor perbedaan fundamental antara negara penjajah dan negara terjajah dalam menyikapi arah perkembangan kebudayaannya.

Teori post-kolonial di sini dapat berfungsi sebagai sebuah cara untuk menghapus berbagai kenangan menyakitkan tentang subordinasi kolonial. Dalam hal ini poskolonial menganalisis kecenderungan budaya yang muncul pasca


(36)

kolonial yang terjadi di negara-negara bekas koloni Eropa modern. Di sini poskolonial melihat aspek budaya secara luas dan lengkap berdasarkan historis kolonial yang terjadi di negara bekas jajahan. Istilah poskolonial tidak lagi merujuk kepada penyebutan negara bekas jajahannya tetapi kepada kondisi yang telah ditinggalkan terhadap negara tersebut atas kolonialisme yang telah terjadi, sehingga kajian ini tidak hanya membahas di permukaannya saja tetapi hingga ke dalam, yakni sisi psikisnya (Gandhi, 2006:5).

1.5.3 Ideologi dalam Media

Sangat banyak definisi dari ideologi layaknya komunikasi yang dikaji oleh banyak akademisi. Raymond Williams (1977) secara garis besar menemukan tiga penggunaan utama dari ideologi (Fiske, 1990: 228). Pertama, suatu sistem yang menandai kelompok atau kelas tertentu. Kedua, suatu sistem keyakinan ilusioner--gagasan palsu atau kesadaran palsu—yang bisa dikontraskan dengan pengetahuan sejati atau pengetahuan ilmiah. Ketiga, proses umum produksi makna dan gagasan.

Penggunaan pertama ideologi adalah sebagai suatu sistem yang menandai kelompok atau kelas tertentu. Dalam kajian Marx yang tertuang dalam “The German Ideology” mencantumkan, kelas dominan akan menyebarkan ideologinya sehingga kelas sub-ordinat mengikuti dan tunduk. Bukan hanya tunduk akan tetap juga menjalankan ideologi itu demi kepentingan kelas dominan. Kelas dominan dapat berupa pemodal atau penguasa dalam bentuk negara. Althusser sebagai tokoh Frankfurt School mengenalkan dua istilah kunci, yaitu Ideological State


(37)

Apparature (ISA) dan Repressive State Apparature (RSA). RSA menjalankan fungsinya melalui kekerasan, sedangkan ISA menjalankan fungsinya secara ideologi. Althusser menambahkan bilamana hampir musykil ada kelas yang berkuasa tanpa melakukan hegemoni dalam menjalankan ISA. Sebagaimana media khususnya televisi sebagai sebuah agen atau pembawa ideologi ISA yang merupakan cara di mana pelbagai kepentingan dan nilai pemegang kekuasaan dicekokkan terhadap mereka yang menjadi sasaran kekuasaan, meskipun penerapan kekuasaan itu sebagian besar bersifat tak tampak (Burton, Graeme. 2007: 38). Televisi dengan berbagai programnya, pada prakteknya merepresentasikan ideologi (Ibid, 36-37). Atau bahkan mempropagandakan audiensnya sebagaimana Adorno yang menyebut media massa sebagai kekuatan propaganda yang sangat kuat. Pemikiran ini dilandasi dari tindakan represif pemerintahan Nazi Jerman yang selalu menghembuskan paham-pahamnya melalui radio dan film yang ada di tengah masyarakat Jerman. Media digunakan sedemikian rupa untuk kepentingan pemerintah dalam mempromosikan Nazi sebagai simbol kejayaan bangsa Arya sehingga harus didukung oleh seluruh rakyat Jerman. Ini juga menjadi contoh manifestasi dari ISA, Nazi “memaksakan” ideologinya kepada kelas di bawahnya dengan berbagai cara seperti pembentukan opini publik melalui media. Kemudian, penguasa akan menjalankan RSA untuk menjaga tetap berlangsungnya ISA dengan perangkat militernya. Dengan kalimat lain, ISA menyebar melalui media dan di dukung RSA dengan militer untuk menjaga keberlangsungan dan eksistensi ideologi.


(38)

Di masa kini, praktek ISA tidak sekedar berkutat antara pemerintah dengan masyarakatnya. Tetapi juga antara pemilik media dengan audiensnya. Kajian ISA bekerja semakin luas dengan adanya ideologi yang dibawa oleh media. Seperti dalam sinetron Indonesia yang banyak menghadirkan tokoh-tokoh kelas borju. Sangat naif anak Sekolah Menengah Pertama (SMP) mengendarai mobil mewah ketika berangkat sekolah, membawa seluler mahal, perhiasan, promnite, dan sebagainya.

Arus pengetahuan, informasi, dan perumpamaan sosial dipusatkan pada tangan mereka yang memiliki kekuatan, kekayaan, dan hak istimewa kelas dominan. Lebih lanjut lagi, Gramsci meneruskan ide dari Marx dengan menambahkan konsep hegemoni. Hegemoni merupakan sarana kultural maupun ideologi tempat kelompok-kelompok yang dominan dalam masyarakat, termasuk pada dasarnya tapi bukan secara eksklusif kelas penguasa melestarikan dominasinya dengan menggunakan persetujuan spontan kelas sub-ordinat melalui konsensus politik maupun ideologi (Strinati, Op. cit., Hal. 254-255). Hegemoni dipraktekkan oleh para kapitalis untuk mendominasi masyarakat agar membentuk sebuah konsensus. Kesepakatan bersama ini dipaksakan demi kepentingan para kapitalis sebagaimana media mengajak kepada masyarakat agar mengikuti suatu tren fashion. Bilamana fashion sudah diikuti tentu para kapitalis akan dengan mudah menjual produk mereka yang sudah digandrungi oleh masyarakat. Dan keuntungannya kembali kepada kaum kapitalis karena pada prinsipnya yang selalu menjadi konteks produksi adalah konteks pasar (Murdock dan Golding, Op. Cit. Hal. 221).


(39)

Penggunaan kedua dari ideologi menurut Raymond adalah sebagai suatu sistem keyakinan ilusioner gagasan palsu atau kesadaran palsu yang bisa dikontraskan dengan pengetahuan sejati atau pengetahuan ilmiah. Penggunaan kedua ini bisa saja berdiri sendiri atau saling melengkapi berbaur dengan yang pertama. Yaitu selain sebagai penanda kelas, ideologi juga terkait dengan kesadaran ilusi.

Bagi Marx, ideologi merupakan sarana yang digunakan untuk ide-ide kelas yang berkuasa sehingga bisa diterima oleh keseluruhan masyarakat sebagai alami dan wajar (Fiske, Op. cit. Hal. 239). Dalam banyak kritiknya terhadap kapitalis, Marx banyak mengangkat konsep “false consciousness” yang merujuk pada kesadaran palsu dari masyarakat akibat pembohongan media mengenai suatu kenyataan yang sebenarnya tidak ada. Dalam contoh terkini adalah konstruksi media mengenai wanita cantik yang dicitrakan dengan wanita kulit putih. Media menggambarkan bagaimana seharusnya menjadi wanita cantik dengan menjadi wanita kulit putih. Ideologi ini berkelanjutan pada penjualan produk kosmetik untuk kulit putih. Implikasinya, wanita yang tidak berkulit putih pun akan berusaha menjadi kulit putih atau setidaknya menyerupainya dengan produk pemutih kulit, peninggi tubuh, rebonding, dan sebagainya. Terdapat kesadaran palsu yang coba dibentuk demi kepentingan kelas dominan kepentingan ekonomi.

Ideologi budaya massa benar-benar mempengaruhi penilaian yang dibuat oleh khalayak budaya populer yang memberikan kesenangan nyata. Masyarakat memiliki selera dan gaya yang ditentukan secara sosial dan kultural. Ada suatu kekuatan yang sengaja atau tidak telah menciptakan suatu selera sosial. Budaya


(40)

masa yang komersial dan universal merupakan sarana utama yang menunjang tercapainya keberhasilan monopoli modal tersebut. Seluruh sistem produksi barang, jasa, dan ide yang diselenggarakan secara massal membuka kemungkinan diterimanya sebagian atau seluruh sistem kapitalisme dengan ketergantungannya pada rasionalitas teknologi, konsumerisme, kesenangan jangka pendek, dan mitos tanpa kelas (McQuail, hal. 65).

Selanjutnya, penggunaan ideologi ketiga menurut Williams adalah sebagai proses umum produksi makna dan gagasan. Penggunaan ketiga ini juga bersifat bebas untuk kemudian digunakan secara bersama-sama dengan yang pertama dan kedua. Ideologi merupakan suatu bentuk produksi makna yang berlaku secara individu dan secara sosial. Setiap penggunaan teks, setiap penanganan bahasa, setiap semiosis (penggunaan tanda) pada umumnya hanya timbul berkat suatu ideologi yang secara sadar atau tidak dikenal oleh pemakai tanda. Sebuah teks tidak pernah lepas dari ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah suatu ideologi (Sobur, 2006: 208).

Dalam perspektif lain, terdapat pula pendekatan ideologi menurut Thompson yang mengajukan pendekatan tiga pihak (tripartite approach) yang mana menafikan efek hipodermik media. Thompson banyak menaruh perhatian bagaimana pesan media akan diinterpretasi secara berbeda-beda antara satu kelompok dengan kelompok lain. Atau secara mikro berbedanya pemaknaan individu satu dengan individu yang lain. Tripartite Approach Thompson tersebut, yaitu (Thompson, 1990: 304):


(41)

Pertama, memahami aspek produksi dan transmisi atau difusi bentuk simbol. Pemahamannya adalah bagaimana media memproduksi dan mentransmisikan pesan, cara mereka memahami dan menjalankan media, cara mengasumsi apa yang dibutuhkan dan disukai audiens. Kedua, memahami aspek konstruksi dari pesan media. Terdiri dari pendekatan proses produksi pesan dengan posisi kata-kata dialog, gambar, sudut pandang, warna, babak cerita, sintax dan nada bicara, struktur bercerita atau berpendapat. Ketiga, Memahami aspek penerimaan pesan media. Yaitu bagaimana pesan diinterpretasi oleh audiens yang berbeda-beda latar belakangnya. Apakah pesan dimaknai sama antara produser dengan audiens.

1.5.4 Representasi Heroisme

Cerita mengenai para hero sudah sejak lama diceritakan secara tradisional, baik berupa mitos yang disampaikan dari mulut ke mulut hingga melalui catatan sejarah. Namun seiring majunya peradaban manusia, cara maupun media untuk menceritakan seorang hero semakin berkembang. Di era modern para hero hadir melalui berbagai produk budaya populer dalam bentuk cerita komik, sinetron, film, hingga video game.

Melalui tangan sineas Hollywood, sosok hero hadir melalui berbagai macam genre film. Salah satu genre yang sangat identik dengan kata hero adalah film laga (action). Suatu film digolongkan sebagai film laga apabila mayoritas adegan yang ditampilkan adalah pertarungan atau perkelahian antara tokoh protagonis yang mewakili kebenaran dengan antagonis yang mewakili kejahatan.


(42)

Karena protagonis seringkali melakukan tindakan-tindakan heroik dalam membela kebenaran membuat mereka dianggap sebagai simbol pahlawan. Formula inilah yang kemudian membentuk paham heroisme, dan paham tersebut yang berpengaruh besar ketika merepesentasikan seorang hero dalam film Hollywood.

1.5.4.1Representasi Heroisme Dalam Aspek Maskulinitas

Berbicara mengenai representasi maskulin, kita bisa menyimak pernyataan Adi (2008: 104) yang menyebutkan bahwa simbol hero dalam film Hollywood direpresentasikan melalui tokoh protagonis sebagai sosok yang kuat dengan tubuh berotot karena seorang hero harus melakukan tindakan-tindakan berani dan berbahaya untuk melindungi yang lemah. Pernyataan ini seakan-akan menegaskan bahwa kekuatan dan bentuk tubuh ideal merupakan persyaratan yang harus ditampilkan oleh setiap hero.

Sedangkan kekuatan yang dimiliki seorang hero seringkali digunakan untuk melindungi yang lemah. Dalam konteks ini “orang-orang yang lemah‟ di dalam film cenderung mengarah pada golongan tertentu, salah satunya adalah kaum perempuan. Dalam film-film laga Hollywood, kebanyakan kaum perempuan diposisikan sebagai golongan yang lemah dan harus diselamatkan oleh pasangan prianya. Peran pria sebagai pahlawan dan perempuan sebagai korban adalah salah satu contoh stereotipe dalam citra laki-laki (maskulin) dan perempuan (feminis).

Pada perkembangan saat ini sudut pandang mengenai maskulinitas semakin berkembang. Menurut Barker (2007:1), secara umum maskulinitas tradisional menilai tinggi nilai-nilai, antara lain kekuatan, kekuasaan, ketabahan, aksi,


(43)

kendali, kemandirian, kepuasan diri, kesetiakawanan, dan kerja. Sedangkan yang dipandang rendah adalah hubungan interpersonal, kemampuan verbal, kehidupan domestik, kelembutan, komunikasi, perempuan, dan anak-anak. Namun saat ini nilai-nilai yang dijunjung oleh laki-laki semakin berkembang sehingga tidak harus sama dengan nilai-nilai dalam maskulinitas tradisional.

Salah satu sudut pandang maskulinitas modern adalah gagasan yang disampaikan oleh Media Azaareness NetWork. Dikutip oleh Novi Kurnia (2004:27-28), Media Azaareness NetWork membagi lima karakteristik maskulinitas modern sebagai berikut:

a. Pertama, sikap yang berperilaku baik atau sportif. Elemen ini dimasukkan dalam pesan media yang berkaitan dengan sikap laki-Iaki yang menggunakan wewenang dalam melakukan dominasi yang ia punya. Kalaupun muncul kekerasan dalam penggunaan wewenang tersebut, kekerasan itu dianggap sebagai strategi yang digunakan lakilaki untuk mengatasi masalah.

b. Kedua, mentalitas cave man. Hal ini terlihat dari penggunaan ikon hero dari sejarah populer yang mendemonstrasikan maskulinitas, seperti: pejuang, bajak laut, bahkan cowboy. Keagresifan dan kekerasan dikesankan wajar karena dianggap sesuai dengan sifat alami laki-laki. Ilustrasi yang sempurna didapatkan pada karakter jantan dan mandiri serta aktivitas yang menantang bahaya. Figur laki-laki dikonstruksikan sebagai lonely hero, dimana ia dibayangkan menyelesaikan semua permasalahan sendirian dan selalu menjadi pemain tunggal.

c. Ketiga, pejuang baru. Dilambangkan dengan kemiliteran maupun olahraga yang dianggap menjadi nilai maskulinitas karena memberikan imajinasi petualangan dan kekuatan laki-laki.

d. Keempat, otot dan 'laki-laki ideal'. Tubuh berotot mencitrakan tubuh ideal laki-laki, hal ini merupakan imbas dari budaya modern dimana mesin telah menggantikan kekuatan dan peran tradisional pria sebagai pencari nafkah dan pelindung. Oleh karenanya mengejar pembentukan otot menjadi salah satu cara untuk menunjukkan sisi maskulin pria.

e. Kelima, maskulinitas pahlawan dan teknologi. Maskulinitas laki-laki dikaitkan dengan kekuatan teknologi sebagai alat bantu laki-laki perkasa dalam membela diri.


(44)

Salah satu hal yang menarik dari kelima poin diatas yaitu anggapan bahwa maskulinitas dapat dilihat dari aspek teknologi. Masuknya teknologi sebagai kriteria maskulin tidak lepas dari peradaban manusia yang semakin berkembang, sehingga teknologi menjelma sebagai simbol gaya hidup yang maju. Hal ini kemudian memunculkan anggapan bahwa lelaki akan semakin maju dan maskulin jika mampu menggunakan teknologi.

Untuk menjelaskan fenomena diatas, Judi Wajcman (2001:161-162) menyebutkan bahwa bisa juga dalam konsep maskulinitas masyarakat barat kontemporer, bentuk maskulinitas berhubungan erat dengan ‘kekuatan’ akan penguasaan teknologi yang merupakan realisasi laki-laki yang secara sosial gagal mengkompensasikan kurangnya kekuatan ‘fisik’ mereka. Contoh kasus disini adalah kaum hackers yang secara fisik tidak menarik dan patologis namun secara teknik mereka adalah potret ‘perkasa’ dalam hubungannya dengan kelaki-lakian.

Pada film Hollywood, implementasi maskulintas terhadap teknologi dapat dilihat dari pernyataan Dipaolo berikut “secara tradisonal cerita hero dipahami dengan cara melibatkan ikon manusia heroik, berpakaian warna-warni dan memiliki kemampuan luar biasa, cerdas, dan berkekuatan supranatural. Tetapi sebaliknya saat ini ada beberapa hero seperti Iron Man dan Green Latern yang merupakan “manusia normal‟, tapi dapat menjadi sangat kuat dengan bantuan teknologi canggih (Dipaolo, 2011:2)”. Pernyataan Di Paolo diatas menandakan bahwa terdapat pergeseran sudut pandang bahwa ‘kekuatan’ tidak lagi hanya mengenai persoalan fisik dan supranatural tetapi dapat berwujud teknologi. Jadi, saat ini maskulinitas melihat ‘kekuatan’ laki-laki tidak harus selalu berarti fisik


(45)

yang kuat dan badan yang kekar. Namun perlu diperhatikan bahwa meskipun laki-laki secara fisik tidak menonjol, tetapi ia diharuskan memiliki kemampuan yang lebih, sehingga membuat dirinya menonjol.

1.5.4.2Representasi Perilaku Seorang Hero

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani. Sedangkan bagi masyarakat barat, hero atau pahlawan didefinisikan sebagai: a) a mythological or legendary figure often of descent endowed with great strength or ability; b) an ilustrios warrior; c) a man admired for his achievements and noble qualities (www.websterdictionary.com).

Jika dilihat dari sejarahnya, definisi hero dalam masyarakat barat berakar dari istilah Yunani Kuno. Istilah ini menjadi populer melalui karya-karya sastra seperti wiracarita atau epos, yaitu sejenis karya sastra tradisional yang menceritakan kisah kepahlawanan (wira berarti pahlawan dan carita adalah kisah). Dalam era Yunani Kuno, wiracarita yang sangat berpengaruh diantaranya adalah Theogonia ciptaan Hesiodos, serta Illiad dan Odisseia karya Homeros. Baik Homeros dan Hesiodos dalam karyanya menceritakan para hero sebagai manusia setengah dewa atau demigod yang dikaruniakan kekuatan super, contohnya seperti Herakles (Hercules), Achilles, dan Perseus.

Selain memiliki kekuatan super, tokoh hero dalam cerita Yunani Kuno juga digambarkan sebagai sosok petualang pemberani dan pembela kebenaran yang berperilaku lurus. Hal tersebut membuat mereka menjadi panutan bagi orang disekitarnya. Konsep hero seperti inilah yang kemudian mempengaruhi identitas


(46)

pahlawan di Barat, khususnya dalam cerita komik, televisi, dan film. Alhasil ketika mendengar kata hero, tentunya kita akan hanyut dalam anggapan bahwa ia adalah seorang tokoh utama yang gagah, baik hati, pembela keadilan dan kebenaran, idola, dan lain sebagainya. Anggapan ini menuntun kita bahwa semua perilaku hero mencerminkan sisi positif dari manusia ideal.

Namun adakalanya orang bosan dengan hero berperilaku lurus dan ingin melihat sosok hero dengan sifat yang berbeda. Ketika masyarakat mulai bosan, maka insan perfilman Hollywood dengan cermat memanfaatkan situasi tersebut dengan menghadirkan ‘pahlawan-pahlawan barunya’ agar penonton tidak menjauh darinya. Sineas-sineas Hollywod lantas menampilkan hero baru yang berperilaku kasar, egois, bahkan tidak sedikit dari mereka yang masuk kategori penjahat. Fenomena ini nampak dalam beberapa karakter hero seperti Robin Longstride (Robin Hood), Captain Jack Sparrow (Pirates Of The Caribbean), Dominic Toretto (Fast and Furious), dan lain-lain.

Secara garis besar gambaran hero yang berperilaku negatif sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu, bahkan sebelum industri Hollywood terlahir. Salah satu tokoh yang terkenal dalam menampilkan hero berkarakter negatif adalah George Gordon Byron (Lord Byron). Byron merupakan sastrawan Inggris yang karyanya pada abad ke-19 seperti Fragment of a Novel dianggap sangat berbeda, menarik, dan dilihat sebagai suatu nafas baru dalam kesusastraan Inggris.

Karya-karya Byron kemudian diteruskan oleh kedua temannya, Mary Shelley dan John William Polidori. Mary Shelley menerapkan hero berkarakter negatif dalam novel Frankenstein, sementara Polidori menulisnya dalam cerita


(47)

berjudul The Vampire. Kedua cerita dari Shelley dan Polidori kemudian sukses, dan untuk menghormati kontribusi Lord Byron sebagai inspirasi dalam karyakarya tersebut maka muncul aliran Byronic Hero untuk mendeskripsikan sosok hero dengan karakter negatif.

Menurut Gross yang dikutip oleh Bima Pranachitra (2010:3), Byron kerap menggambarkan Byronic Hero dengan sosok gotik, melankolis, moody, misterius, sinis, sedikit arogan, pemberontak, serta dibayangi oleh masa lalu yang kelam. Namun di lain sisi ia terpelajar, baik hati, dan bersahaja. Ciri perwatakan Byronic Hero yang kompleks, yakni banyak mengalami perubahan suasana hati (mood) dan cenderung kontroversial menjadikannya sulit untuk ditentukan sebagai kategori tokoh protagonis atau antagonis.

1.6 METODE PENELITIAN 1.6.1 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, yaitu jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik maupun bentuk hitungan lainnya, jenis penelitian ini menggambarkan apa adanya suatu variable, gejala, atau keadaan (Rakhmat, 2001:24). Data kualitatif merupakan data yang dihimpun dan disajikan dalam bentuk verbal yang menekankan bentuk kontekstual. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode analisis semiotik.


(48)

Pokok perhatian di sini adalah tanda, studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja dinamakan semiotik atau semiologi. Semiotik mempunyai tiga bidang utama :

a. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya.

b. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.

c. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri (Fiske, 2011:60).

Secara tradisi semiotik memutuskan pada tanda-tanda dan simbol-simbol, dapat diartikan bahwa semiotik merupakan ilmu yang mempelajari tentang tanda. Menurut Littlejhon (2005:35) semiotik adalah sebuah stimulus yang menandakan sesuatu di luar tanda itu sendiri. Dapat disimpulkan bahwa analisis semiotik merupakan cara untuk menganalisa dan memberikan makna terhadap lambang-lambang yang terdapat dalam sebuah teks atau pesan (Pawinto, 2008:155).

Dalam kajian semiotik terdapat dua jenis kajian, yaitu semiotik komunikasi dan semiotik signifikasi. Yang pertama menekankan pada teori tentang produksi tanda, yang salah satu di antaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi yaitu pengirim, penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran komunikasi, dan acuan (hal yang dibicarakan). Yang kedua memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamannya dari pada proses komunikasinya. Pada jenis yang kedua menitik beratkan kepada segi pemahaman suatu tanda sehingga proses


(49)

kognisinya pada penerima tanda lebih diperhatikan dari pada proses komunikasinya.

Dalam hal ini peneliti berusaha untuk mencari makna tersembunyi yang terdapat di dalam film The Karate Kid.

1.6.2 Objek Penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah film The Karate Kid produksi Columbia Pictures pada 11 Juni 2010, yang di sutradarai oleh Harald Zwart.

1.6.3 Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data guna mendukung penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa cara untuk memperoleh data untuk penelitian ini. Adapun teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah :

a. Dokumentasi

Teknik pengumpulan data yang pertama adalah dokumentasi. Dokumentasi adalah setiap tanda yang ada dalam gambar dan suara serta percakapan yang ada dalam setiap adegan di film The Karate Kid. Pemilihan adegan yang akan dianalisis akan tergantung dengan permasalahan apa yang diangkat dan ingin dikaji dengan cara mengidentifikasi simbol-simbol yang mewakili bentuk yang muncul berupa audio maupun visual.


(50)

b. Studi Pustaka

Data yang didapat dari berbagai sumber-sumber ilmiah dan data pendukung lainnya yaitu berupa buku, jurnal, artikel, situs online, dan sumber yaitu berupa buku, jurnal, artikel, situs online dan sumber lainnya yang berkaitan.

1.6.4 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis semiotika. Semiotika adalah suatu bentuk strukturalisme yang berpandangan bahwa kita tak bisa mengetahui dunia melalui istilah-istilahnya sendiri, melainkan hanya melalui struktur-struktur konseptual dan linguistik dalam kebudayaan kita (Fiske. Op. cit. , hal 159) Tanda-tanda adalah basis dari seluruh komunikasi (John, 1996: 64). Secara umum, analisis semiotik merupakan metode yang membahas mengenai tanda atau simbol. Sebagai seorang ahli bahasa (linguistic) Ferdinand de Sausser, lebih memperhatikan cara tanda-tanda (dalam hal ini, kata-kata) terkait dengan tanda-tanda terkait dengan objek, dan Sausser lebih memfokuskan perhatiannya langsung pada tanda itu sendiri. Bagi Sausser, tanda merupakan objek fisik dengan sebuah makna : atau, untuk menggunakan istilahnya, tanda terdiri atas penanda dan petanda. Penanda adalah citra tanda seperti yang kita persepsikan (tulisan di atas kertas atau suara di udara), sedangkan petanda adalah konsep mental yang diacukan petanda. Konsep mental ini secara luas sama pada semua anggota kebudayaan yang sama dan menggunakan bahasa yang sama (Fiske, 2011:65).


(51)

Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan metode analisis semiotik yang dikembangkan oleh Roland Barthes. Hal ini karena metode yang digunakan Roland Barthes merupakan penyempurnaan dari metode Sausser hanya berhenti pada tatanan makna denotasi Roland Barthes menyusun model semiotika yang lebih luas dalam pemaknaan atas tanda dengan menggunakan dua tatanan penanda (order of signification) yaitu, denotasi dan konotasi.

Gambar di bawah menjelaskan, tahap pertama merupakan hubungan antara penanda dan petanda di dalam petanda terdapat sebuah realitas eksternal. Penanda mewakili elemen bentuk atau isi, sementara petanda mewakili elemen konsep atau makna. Kesatuan antar penanda dan petanda itulah disebut sebagai tanda. Pada tahap pertama inilah Barthes menyebutnya sebagai konotasi, konotasi terbentuk dari tanda-tanda (kesatuan penanda dan petanda) dari sistem yang bersangkutan. Konotasi menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaan dari mitos (Fiske, 2011:118). Dengan kata lain denotasi adalah makna sebenarnya sedangkan konotasi adalah makna ganda.


(52)

Gambar 1.2 Dua Tatanan Pertandaan Roland Barthes Sumber : John Fiske, 2011 : 122

Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos, dan mitos ini mempunyai konotasi terhadap ideolgi tertentu. Bagi Barthes, mitos merupakan cara berpikir dari satu kebudayaan tentang sesuatu, cara untuk mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu (Fiske, 2011:121). Mitos yang diungkapkan oleh Barthes adalah mistifikasi kenyataan dengan bentuk lainnya, seperti kebohongan, pembelokan makna, dan sejenisnya layaknya mitos wanita cantik adalah wanita yang memiliki kulit putih. Mitos berfungsi untuk mengungkap dan memberikan pembenaran terhadap nilai-nilai dominan suatu budaya masyarakat dalam periode tertentu.

Film dibangun dengan tanda dan kode yang kemudian dimaknai, seperti adanya makna konotasi dan denotasi. Makna denotasi dalam sebuah film yaitu sesuatu yang merupakan reproduksi mekanisme pada film tentang objek yang ditangkap kamera seperti manusia (aktor) dan properti yang digunakan.


(53)

Sedangkan makna konotasi merupakan seleksi atas yang mencakup frame, fokus, sudut, pengambilan gambar, dan sebagainya (Sudibyo, 2001:245).

Teknik pengambilan gambar, editing, audio dan gerakan kamera dapat berfungsi sebagai penanda, dari penanda tersebut membantu kita dalam menganalisis semiotika di dalam sebuah film.

Tabel 1.1 : Fungsi penandaan berdasarkan Shot kamera (Berger, 1933: 33)

Penanda (shot) Definisi Petanda (makna)

Close-ip Hanya wajah Keintiman

Medium Shot Setengah badan Hubungan personal

Long Shot Setting dan karakter Konteks, skope dan jarak

publik

Full Shot Seluruh tubuh Hubungan sosial

Sumber: Berger, 2000: 33

Tabel 1.2 : Teknik editing dan gerak kamera (Ibid. Hal. 34)

Penanda Definisi Petanda

Pan Down (High Angle)

Kamera mengarah ke bawah

Kelemahan atau pengecilan Pan up

(Low Angle) Kamera mengarah ke atas Kekuasaan, kewenangan

Dolly in Kamera bergerak ke

dalam Observasi, focus

Fade in Gambar nampak dari

layar yang kosong Permulaan

Fade out Gambar berangsur

menghilang dari layar Penutup Sumber: Berger, 2000: 34

Setelah pembedahan makna selesai, tahapan selanjutnya adalah penyimpulan mitos. Mitos merupakan cerita karangan yang memistifikasi (mengaburkan) asal-usulnya sehingga memiliki dimensi sosial atau politik (Fiske. Op. cit. , Hal. 122). Mitos terbagi menjadi dua jenis, yaitu mitos kuno dan mitos modern. Mitos kuno lebih banyak terkait dengan cerita karangan yang terkait dengan peristiwa-peristiwa magis yang dikaitkan dengan realitas. Seperti mitos


(54)

pohon keramat. Berbeda dengan mitos modern yang merupakan mistifikasi kenyataan dengan bentuk lainnya seperti kebohongan, pembelokan makna, dan sejenisnya layaknya mitos wanita cantik.

Dalam contoh foto gelandangan itu akan dapat disimpulkan makna apa yang hendak fotografer sampaikan. Apakah hendak menunjukkan adanya jarak sosial antara gelandangan dan masyarakat dengan long shot dari foto itu atau foto close-up yang menunjukkan hubungan kedekatan atau keintiman kita pembaca dengan gelandangan. Semua tergantung bagaimana pesan dibuat dengan berbagai tekniknya.

Dalam pada itu, salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca. Konotasi dalam tanda akan berfungsi seiring keaktifan dari pembaca (Sobur, Op. cit. , Hal. 68). Tanda akan dimaknai berbeda antara satu individu dengan individu lainnya. Barthes mencontohkan film bisu dengan karakter Charlie Chaplin yang sangat rakus di saat mendapat jamuan makan (Barthes, 1957: 38). Dalam merepresentasikan Chaplin, sebagian penonton memiliki peran pembacaan pesan tersebut. Untuk sebagian penonton akan melihat Chaplin yang benar-benar rakus, tapi bagi pemirsa lain melihat Chaplin merupakan sebagai seorang proletar yang selalu kelaparan. Kelaparan di sini secara langsung atau tidak menggambarkan bagaimana pemerintahan berkuasa tidak bisa mengakomodir kepentingan rakyat biasa yang terancam bencana kelaparan baik pra atau pasca perang.

Setelah mengamati pemaknaan tataran kedua dan mitos maka selanjutnya adalah mengamati simbol yang ada. Di antaranya dengan mengumpulkan kode


(55)

kultural. Kode dapat berupa atribut, simbol, lencana, dan sebagainya yang terdapat dalam teks. Dalam contoh gelandangan adalah pengaitan interteks dengan foto-foto lain. Seperti apa kemiripan interteks yang dipakai oleh gelandangan, berwarna apa, dan atau bagaimana cara memakainya.


(56)

1 BAB II

GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

2.1 Film Hollywood sebagai Representasi Kebudayaan Amerika

Film merupakan salah satu alat komunikasi massa, tidak dapat kita pungkiri antara film dan masyarakat memiliki sejarah yang panjang dalam kajian para ahli komunikasi. Film pada dasarnya memang mudah dipengaruhi oleh tujuan manipulatif, karena film memerlukan penanganan yang lebih sungguh-sungguh dan konstruksi yang lebih artificial pula (melalui manipulasi) daripada media lain. The film is intrinsically susceptible to manipulative purpose because it requires a much more conscious and artificial construction (i.e. manipulation) than other media.

(http://www.intcul.tohoku.ac.jp/~holden/MediatedSociety/Readings/2004_05/McQ uail_10_15_04.html)

Amerika adalah salah satu negara yang berusaha membentuk eksistensinya melalui pencitraan di dalam film Hollywood. Dalam film Hollywood terdapat kebudayaan Amerika yang memiliki makna dan nilai identitas yang ingin dipromosikan. Apa yang dilakukan Amerika tersebut tentu merupakan hal positif untuk membuat sebuah oposisi Amerika di mata internasional.

Budaya populer Amerika dipandang membungkus semua kesalahan dalam produksi massal dengan budaya massa. Karena adanya budaya massa dianggap muncul dari produksi massal dan konsumsi komoditas kultural, maka relatif mudah untuk mengidentifikasi Amerika sebagai pusat budaya massa karena masyarakat kapitalis yang sangat erat kaitannya dengan proses-proses tersebut.


(57)

2

Sebagai salah satu faktor pembentuk budaya dan pelanggeng supremasi kelompok dominan, film Hollywood mempunyai andil besar dalam menyusupkan ideologi-ideologi kelompok dominan mengingat film merupakan salah satu institusi media yang berfungsi sebagai penyaring dan penjaga gawang (gate keeper) informasi.

Salah satu dampak dari film Hollywood adalah menjadi makin populernya bahasa Inggris menjadi bahasa dunia. Dan kepopuleran ini tentu saja ada dampaknya. Dalam teori-teori komunikasi, film bisa dikatakan sebagai sebuah pesan yang disampaikan melalui karya audio visual kepada komunikan dengan konsep komunikasi satu arah, pesan itu sendiri dibuat oleh kreator film yang kemudian dipersepsikan atau dimaknai oleh audiens melalui tanda, sehingga pesan dalam film itu bisa dipersepsikan secara seragam dan menjadi efektif, sedangkan efektivitas yang muncul akan berbeda-beda sesuai pemaknaan dari audiens tentang pesan dalam sebuah film, hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan Van Zoest dalam Irawanto yakni sebuah film dibangun berdasarkan tanda semata-mata, tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan (Van Zoest dalam Irawanto, 1993: 35).

2.2 Perkembangan Afro-Amerika 2.2.1 Sejarah Afro-Amerika

Kata Afro dan Amerika merupakan dua kata yang menunjukkan dua kelompok budaya yang berbeda. Afro merujuk pada suku bangsa Afrika,


(58)

3

sedangkan Amerika mengarahkan pikiran kepada suku pendatang Eropa yang datang setelah penemuan benua Amerika oleh Amerigo Vas De Pucci. Sehingga, Afro-Amerika merupakan semua suku bangsa Afrika keturunan dan pendatang dari Afrika yang menjadi warga negara Amerika. Merujuk pada definisi Artis Afro-Amerika sebagai orang-orang keturunan Afrika tapi lahir di Amerika dan beberapa di Afrika yang menjadi artis di Negara ini—Amerika. Tetapi disayangkan, bagian warisan Afrika asli kurang dominan dalam sisi kehidupan Afro-Amerika. mereka menganut agama, budaya, dan nilai-nilai Amerika.

Afro-Amerika memiliki sejarah panjang dengan dimulainya suku Afrika yang didatangkan kolonial Inggris pada tahun 1619 di Virginia, AS. Kulit hitam didatangkan untuk kebutuhan tenaga kerja di Amerika demi mengurus perkebunan dan pertanian. Mereka sengaja dipekerjakan sebagai budak tanpa bayaran.

Seiring mundurnya tentara Inggris dari negara Amerika sebagai negara jajahan. Banyak warga Kulit Hitam Amerika di pertengahan abad 19 yang tetap menjadi budak di Amerika Serikat bagian Selatan dengan mengurus perkebunan dan pertanian. Berbeda dengan Afro-Amerika yang berada di bagian utara yang merdeka dari para majikannya. Inilah sebab umum peperangan negara bagian utara dan selatan yang dilatarbelakangi perbedaan pendapat mengenai penghapusan perbudakan di Amerika Bagian Selatan. Namun setelah peperangan dimenangkan Pasukan Utara menjadikan Abraham Lincoln memprakarsai melepas belenggu perbudakan pada tanggal 1 Januari 1863. Dan pada tahun 1865, kulit hitam memasuki babak kehidupan baru yang lebih merdeka dengan Amerika


(1)

bermata sipit itu menjawab dengan Bahasa Inggris. Kedua, Mei Ying, gadis yang Dre temui di taman juga dapat berinteraksi dengan Dre menggunakan Bahasa Inggris. Ketiga, sosok kepala sekolah Dre yang menyapa Dre dan Ibunya dengan menggunakan Bahasa Inggris, bukan dengan Bahasa China.

Dalam film tersebut hal yang paling menonjol adalah terdapat bentuk konstruksi budaya “Barat” dan “Timur”. Peneliti menilai bahwa adanya kontruksi budaya “Barat” yang lebih baik dalam film ini merupakan sebuah imbas dari bentuk kolonialisme. Kolonialisme berisi tentang kekuasaan yang membungkus struktur yang didominasi dan dihegemoni oleh kolonalisme. Identitas budaya yang diyakini dalam kehidupan sosial masyarakat berfungsi sebagai peraturan (rule) dimana budaya akan menjadi pola acuan bagi masyarakat. Oposisi biner adalah sebuah sistem yang membagi dunia dalam kategori yang berhubungan. Dalam struktur oposisi biner yang sempurna, segala sesuatu dimasukkan dalam kategori A maupun kategori B, dan dengan memakai pengkategorian itulah, kita mengatur pemahaman dunia di luar kita. Sehingga terdapat ideologi didalamnya yaitu Timur yang berbeda dengan Barat.

4.2 SARAN

Para pembuat film menyajikan konstruksi realitas kedalam film kepada khalayak dengan pesan-pesan tertentu. Media dalam hal ini menghadirkan realitas ke dalam film tentunya dengan ideologi-ideologinya yang tidak natural. Film merupakan salah satu media massa yang dapat digunakan sebagai alat konstruksi,


(2)

pada sistem sosial film dapat mempengaruhi dan membentuk pola pikir masyarakat sesuai dengan pesan yang disampaikan dalam film.

Bagi akademis diharapkan dapat membaca pesan-pesan tersirat yang disajikan oleh penulis agar dapat memetik pelajaran dari pesan-pesan yang tergambar secara implisit (variabel tak bebas) dalam film, sehingga wawasan serta pikiran pembaca bisa lebih terbuka dibanding sebelum melihat film tersebut.

Permasalahan stereotipe merupakan sebuah permasalahan yang kompleks, tidak hanya terhenti pada perbedaan budaya, bahasa, agama, maupun suku dalam masyarakat sosial saja. Strereotipe digambarkan melalui media salah satunya melalui film. Media mengkonstruksi permasalahan sosial dengan tidak natural, ada kepentingan-kepentingan yang melatarbelakanginya.

Peneliti berharap untuk penelitian selanjutnya dapat lebih mengeksplor dunia perfilman melalui penelitian analisis resepsi. Hal ini untuk melengkapi penelitian ini agar tidak hanya sebatas penelitian semiotika, sehingga diharapkan dapat mengetahui penerimaan yang tercipta di masyarakat tentang bagaimana negara dengan budaya yang berbeda direpresentasikan di dalam film dengan kajian analisa lain di dalamnya.


(3)

1

Daftar Pustaka

Cones, John W. Patterns of bias in Hollywood movie. United States. Algora Publishing.

De Tora, Lisa. 2009, Heroes of film, comics and American culture : essays on real and fictional defenders of home. North Carolina. McFarland & Company, Inc.

Burton, Graeme, 2008, media dan budaya popular. Yogyakarta, Jalasuta.

---. 2007, membincangkan televise: pengantar kepada studi televise. Yogyakarta, Jalasuta.

Eriyanto. 2000, analisis wacana, pengantar analisis teks media. yogyakarta, LKis.

Olson, Steve. 2002, Mapping human history: gen, ras, dan asal usul manusia. Jakarta, PT. Serambi Ilmu Semesta.

Sowell, Thomas. 1989, Mosaik Amerika;sejarah etnis sebuah bangsa, diterjemahkan oleh Nin Bakdisoemanto, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan; 1989, Judul asli, Ethnic America, United States, Bakd.

Shelton, S. Martin. 2004, Communicating ideas with film, video, and multimedia : a practical guide to information motion-media. Library of Congress Cataloging, United States of America.


(4)

Kasali, Rhenald. 2005, Change. Jakarta, Gramedia.

Wilson, Clin C. 2003, Third edition, racism, sexism, and the media, the rise of class communication in multicultural America, London, Sage publications, inc.

Finkelman, Paul. 2009, Encyclopedia of African-American History, New York, Oxfort University press.inc.

Hernan, Vera & Gordon, Andrew. 2003, Screen Saviors Hollywood fictions of whiteness, New York, Rowman & Littlefield publisher, inc.

Junaedi, Fajar. 2012, Menyulap Kekalahan Operasi Militer AS dalam Film Hollywood & Layar TV, Layar TV, Yogyakarta, Mata Padi pressindo.

Berger, Artur Asa. 2000, Teknik-teknik Analisa Media, Yogyakarta, Universiatas Atma Jaya.

Sudibyo, Agus. 2001, Politik Media dan Pengaturan Wacana, Yogyakarta, LKiS

Pawinto. 2008, Penelitian Komunikasi Kualitatif, Yogyakarta, LKiS

Littlejohn, Stephen W & Foss Karen A. 2005, Theories of Human Communication 8th Edition, Canada, Wadsworth.

Rakhmat, Jalaludin. 2001, Metode Penelitian Komunikasi, Bandung, PT.Remaja Rosdakarya.


(5)

3

Honey, Michael K. 1999, Black Worker Remember: an oral history of segregration, unionism, and the freedom struggle. America, University of Carolina prees.

Snead, James. 1994, White Sreens Black Image:Hollywoodfrom the dark side. London, Routledge.

Larson, Greco. 2006, Media & minorities: The Politics of Race in News and Entertainment. USA, Rowman & Littlefield Publishers, Inc.

Barden, Virginia, 2000, The Great Race Divide. USA, iUniverse.com, inc.

Dunning, Eric, 2003, Sport Critical Consepts in Sociology, London, Routledge.

Lawrence, Novoty, 2008, Blaxploitation on Films of The 1970’ Blackness and Genre, New York, Routledge.

Unnever, James D & Gabbidon, Shaun L, 2011, A Theory of African American Offending: Race, Racism, and Crime, New York, Springer.

Belgrave, Faye Z & Brevad, Joshua K, 2014, African American Boys: Identity, Culture, and Development, New York, Springer.

Ross, Susan Dante & Lester, Paul M, 2011, Image That Infure: Pictorial Stereotype In Media, USA, Greenwood Publishing Group.


(6)

Covington, Jeanette, 2010, Crime And Racial Construction: Cultural Misinformation About African-American In Media And Academia,USA, Lexington Books.

Broke, Deborah, & Glasbeek, Amanda, & Murdocca, Carmela, 2014, Criminalization, Representation, Regulation: Thinking Differently About Crime, Canada, University of Toronto Press Incorporated.