FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGAMBILAN KEPUTUSAN PETANI DALAM PENERAPAN PERTANIAN SAYURAN ORGANIK DI DESA WUKIRSARI KECAMATAN CANGKRINGAN KABUPATEN SLEMAN

(1)

KABUPATEN SLEMAN

Skripsi

Disusun oleh: Ismail Saleh 20120220110 Program Studi Agribisnis

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA YOGYAKARTA


(2)

KABUPATEN SLEMAN

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

sebagai persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian

Disusun oleh: Ismail Saleh 2012 022 0110 Program Studi Agribisnis

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(3)

KEPUTUSAN PETANI DALAM PENERAPAN PERTANIAN SAYURAN ORGANIK DI DESA WUKIRSARI KECAMATAN CANGKRINGAN

KABUPATEN SLEMAN Yang dipersiapkan dan disusun oleh:

Ismail Saleh 20120220110

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 2 Agustus 2016

Skripsi tersebut telah diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan guna memperoleh

derajat Sarjana Pertanian

Yogyakarta, 31 Agustus 2016 Pembimbing Utama

Ir. Lestari Rahayu, MP

NIK : 19650612199008 133 008

Penguji

Dr. Ir. Widodo, MP

NIK : 19670322199202 133 011 Pembimbing Pendamping

Ir. Eni Istiyanti, MP

NIK :19650120198812 133 003

Fakultas Pertanian

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Dekan,

Ir. Sarjiyah, MS


(4)

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah menciptakan segala keajaiban di dunia tempat manusia berpijak, atas rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi berjudul “Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pengambilan Keputusan Petani dalam Penerapan Pertanian Sayuran Organik di Desa Wukirsari Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman” dapat diselesaikan dengan baik setelah melalui proses belajar, bimbingan, dan diskusi dalam waktu yang tidak sebentar. Harapan Penulis agar skripsi ini, dan setiap usaha yang telah dilakukan dalam proses penyusunannya, menjadi catatan amal kebaikan guna meraih ridho dari-Nya.

Penelitian dalam rangka penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan karena bantuan berbagai pihak, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada Ir. Lestari Rahayu, MP selaku pembimbing utama, dan Ir. Eni Istiyanti, MP selaku pembimbing pendamping yang telah meluangkan banyak waktu dan tenaga untuk membimbing penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan, kepada Dr. Ir. Widodo, MP selaku penguji, kepada ayahanda Nani Rohmani, ibunda Titin Suhartini, dan adik tercinta Fajar Abdurrahman Ishak atas doa dan dukungan yang selama ini diberikan kepada penulis. Semoga dengan adanya skripsi ini dapat memberikan manfaat terutama bagi pihak-pihak yang terlibat langsung dalam pembahasannya maupun bagi pembaca dan pihak-pihak lain yang ingin memperkaya khasanah keilmuannya, dan tak lupa ucapan terimakasih kepada pemilik karya yang dikutip dalam skripsi ini, semoga penyebutan referensi yang dikutip dalam skripsi ini diharapkan mampu menambah nilai keilmiahannya. Penulis menyadari skripsi ini jauh dari sempurna, untuk itu setiap saran dan kritik sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa yang akan datang.

Yogyakarta, Agustus 2016


(5)

ii

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

INTISARI ... vii

Abstract ... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan ... 6

C. Kegunaan Penelitian ... 6

II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI ... 7

A. Tinjauan Pustaka ... 7

1. Pertanian Organik ... 7

2. Sayuran Organik ... 11

3. Penerapan Inovasi Pertanian ... 13

4. Pengambilan Keputusan ... 15

5. Faktor - Faktor Mepengaruhi Pengambilan Keputusan ... 21

6. Analisis Regresi Logistik ... 26

7. Penelitian Sebelumnya ... 27

B. Kerangka Pemikiran ... 32

C. Hipotesis ... 34

III. METODE PENELITIAN ... 35

A. Teknik Pengambilan Sampel ... 36

B. Teknik Pengumpulan Data ... 39

C. Asumsi dan Pembatasan Masalah ... 39

D. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ... 40

E. Analisis Data ... 50

IV. KEADAAN UMUM WILAYAH ... 56

A. Keadaan Alam ... 56

1. Letak Geografis dan Batas-batas Administrasi ... 56

2. Topografi ... 57

3. Jenis Tanah ... 58

4. Penggunaan Lahan ... 58


(6)

iii

3. Keadaan Penduduk Menurut Mata Pencaharian ... 63

C. Keadaan Sarana Ekonomi ... 64

D. Keadaan Pertanian ... 66

V. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 69

A. Karakteristik Petani ... 69

1. Umur ... 69

2. Tingkat Pendidikan ... 71

3. Luas Lahan ... 72

4. Pendapatan ... 74

B. Lingkungan Sosial ... 77

1. Dukungan ... 77

2. Bantuan ... 78

C. Lingkungan Ekonomi ... 81

1. Ketersediaan Sarana Produksi ... 81

2. Jaminan Pasar ... 82

3. Jaminan Harga ... 84

4. Ketersediaan Kredit ... 85

D. Sifat Inovasi ... 87

1. Keuntungan Relatif ... 87

2. Kompabilitas ... 88

3. Kompleksitas ... 91

4. Triabilitas ... 92

5. Obsertiabilitas ... 94

E. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan Petani Dalam Penerapaan Pertanian Sayuran Organik... 95

1. Uji Kelayakan Model Regresi Logistik (Goodnes of Fit) ... 96

2. Uji Keseluruhan Model (Overall Model Fit Test) ... 98

3. Uji Kesesuaian Model (Hosmer and Lemeshow Test) ... 100

4. Uji Parsial (Wald Test) ... 100

5. Interpretasi Variabel dan Pembahasan Hipotesis ... 101

6. Peluang Petani dalam Mengambil Keputusan untuk Menerapkan Pertanian Sayuran Organik ... 107

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 110

DAFTAR PUSTAKA ... 112


(7)

iv

Tabel 2. Daftar Kelompok Tani Sayuran di Desa Wukirsari ... 37

Tabel 3. Jumlah Masing-Masing Responden Kelompok Tani Organik ... 37

Tabel 4. Jumlah Sampel Masing - Masing Kelompok Tani Non Organik ... 39

Tabel 5. Tabel Pengukuran Dukungan dari Lingkungan Sosial ... 41

Tabel 6. Pengukuran Bantuan dari Lingkungan Sosial ... 42

Tabel 7. Kategori Pengukuran variabel Lingkungan Sosial ... 42

Tabel 8. Pengukuran Ketersediaan Saprodi dalam Lingkungan Ekonomi ... 43

Tabel 9. Pengukuran Jaminan Pasar dalam Lingkungan Ekonomi ... 44

Tabel 10. Pengukuran Jaminan Harga dalam Lingkungan Ekonomi ... 44

Tabel 11. Pengukuran Ketersediaan Kredit dalam Lingkungan Ekonomi ... 45

Tabel 12. Kategori Pengukuran variabel Lingkungan Ekonomi ... 45

Tabel 13. Pengukuran Keuntungan Realtif dalam Sifat Inovasi ... 46

Tabel 14. Pengukuran Kompabilitas dalam Sifat Inovasi ... 47

Tabel 15. Pengukuran Kompabilitas dalam Sifat Inovasi ... 47

Tabel 16. Pengukuran Triabilitas dalam Sifat Inovasi ... 48

Tabel 17. Pengukuran Obsertiabilitas dalam Sifat Inovasi ... 49

Tabel 18. Kategori Pengukuran variabel Lingkungan Ekonomi ... 49

Tabel 19. Luas Penggunaan Lahan di Desa Wukirsari ... 58

Tabel 20. Distribusi Penduduk Menurut Umur di Desa Wukirsari ... 60

Tabel 21. Distribusi Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Desa Wukirsari ... 61

Tabel 22. Distribusi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Desa Wukirsari. 62 Tabel 23. Distribusi Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Desa Wukirsari ... 63

Tabel 24. Kelembaga Ekonomi di Desa Wukirsari ... 65

Tabel 25. Produksi Tanaman Pangan dan Sayuran Desa Wukirsari ... 67


(8)

v

Tabel 29. Distribusi Responden Menurut Pendapatan Usaha Tani di Desa

Wukirsari. ... 75

Tabel 30. Distribusi Responden Menurut Total Pendapatan di Desa Wukirsari. . 76

Tabel 31. Dukungan dari Lingkungan Sosial di Desa Wukirsari... 77

Tabel 32. Bantuan dari Lingkungan Sosial di Desa Wukirsari ... 79

Tabel 33. Ketersediaan Saprodi di Desa Wukirsari ... 81

Tabel 34. Jaminan Pasar di Desa Wukirsari ... 83

Tabel 35. Jaminan Harga di Desa Wukirsari ... 84

Tabel 36. Ketersediaan Kredit di Desa Wukirsari ... 86

Tabel 37. Keuntungan Relatif dari Sifat Inovasi di Desa Wukirsari... 87

Tabel 38. Kompabilitas dari Sifat Inovasi di Desa Wukirsari. ... 89

Tabel 39. Kompleksitas dari Sifat Inovasi di Desa Wukirsari ... 91

Tabel 40. Triabilitas dari Sifat Inovasi di Desa Wukirsari ... 92

Tabel 41. Obsertiabilitas dari Sifat Inovasi di Desa Wukirsari ... 94

Tabel 42. Nilai -2 Log likelihood (Estimasi Kemungkinan) Sebelum Mengikutsertakan Variabel Independen ... 96

Tabel 43. Nilai -2 Log likelihood (Estimasi Kemungkinan) dengan Penambahan Variabel Independen ... 97

Tabel 44. Nilai Prediksi (Classification Tablea) Model Regresi Logistik ... 98

Tabel 45. Hasil Uji Omnimbus Test of Model Coefficients ... 99

Tabel 46. Uji Parsial (Wald Test) ... 101

Tabel 47. Peluang Petani Organik dalam Mengambil Keputusan untuk Melanjutkan Budidaya Pertanian Sayuran Organik ... 108

Tabel 48. Peluang Petani non Organik dalam Mengambil Keputusan untuk Menerapkan Budidaya Pertanian Sayuran Organik... 108


(9)

vi

Gambar 1. Kerangka Pemikiran ... 33

Gambar 2. Peta Desa Wukirsari ... 56

DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Output Analisis Regresi Logistik ... 117

Lampiran 2. Chi-Square Tabel ... 123

Lampiran 3. Tabulasi Responden ... 125

Lampiran 4. Tabulasi Responden Menurut Lingkungan Sosial ... 126

Lampiran 5. Tabulasi Responden Menurut Lingkungan Ekonomi ... 127


(10)

KEPUTUSAN PETANI DALAM PENERAPAN PERTANIAN SAYURAN ORGANIK DI DESA WUKIRSARI KECAMATAN CANGKRINGAN

:

,.'

KABUPATEN SLEMAN

Yang dipersiapkan dan disusun oleh:

Ismail Saleh 24120220110

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 2 Agustus 2016

Skripsi tersebut telah diterima sebagai bagian

persyaratan yang diperlukan guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian

Yogyakarta, 3 I Agustus 2016

Pembimbing U ma

MK:

19650612199008 133 008 NIK : 196 22199202 133 011

Pembimbing Pendamping

@

Ir. Eni Istiyanti. MP

NIK : 19650120198812 133 003

Itas Pertanian

iyah Yogyakarta


(11)

viii

ORGANIK DI DESA WUKIRSARI KECAMATAN CANGKRINGAN KABUPATEN SLEMAN

The Factors that Influence Farmer’s Decision Making on Applying Organic Vegetables Farming in Wukirsari Village Cangkringan Subdistrict

Sleman Regency

Ismail Saleh

Lestari Rahayu / Eni Istiyanti

Agribusiness Departement Faculty of Agriculture Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Abstract

Farmers are the important part on the adoption process because they have decided to accept or reject the innovation. The benefit of organic farming technology has not attracted many non-organic farmers to adopt the organic farming technology. The aim of this research are to find information about characteristics from farners who make decisions and factors that influence

farmer’s decision making on applying organic farming in Wukirsari Village, Cangkringan Subdistrict, Sleman Regency. This research use descriptive analysis. The respondents on this research are 50 farmers that divided to 25 organic vegetables farmers and 25 non-organic vegetables farmers. The data analysis technic used in this research is binary logistic regression. Variables that used in this research are age, education, income, land area, social environment, economic environment, and innovation characteristics. The results of this reaserch show that younger farners have a wider area, and the farmers who have higher income will choose an organic vegetables farming automatically. The factors that significantly influenced the farmer’s decision making to apply organic farming are income, land area, social environment, and economic environment while age, education, and innovation characteristic are not significantly influence

farmer’s decision process on applying organic vegetables farming.


(12)

1 A. Latar Belakang

Sektor pertanian Indonesia terdiri dari tiga sub sektor yaitu sub sektor tanaman perkebunan, tanaman pangan dan tanaman hortikultura. Hortikultura sebagai salah satu sub sektor pertanian terdiri dari berbagai jenis tanaman hias, sayuran, buah-buahan dan tanaman obat-obatan. Produk hortikultura khususnya sayuran dan buah-buahan berperan dalam memenuhi gizi masyarakat terutama vitamin dan mineral yang terkandung di dalamnya. Hal ini juga penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pelaku pembangunan ekonomi. Dalam struktur pembentukan PDB sektor pertanian, sub sektor hortikultura menyumbang sebesar 11,31 persen dan menempati posisi ketiga terbesar setelah tanaman pangan dan perkebunan (Deptan, 2015). Permintaan sayuran yang dikonsumsi sebagai bahan pelengkap makanan pokok akan terus berfluktuasi seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk saat ini, dari tahun ke tahun, populasi penduduk Indonesia semakin meningkat. Pada tahun 2000, jumlah penduduk Indonesia yaitu 205 juta jiwa dan pada tahun 2015 jumlah penduduknya sudah mencapai 250 juta jiwa (BPS, 2015). Pertambahan jumlah penduduk di Indonesia memperlihatkan peningkatan yang cukup pesat. Hal ini terlihat terutama pada kenaikan setiap tahunnya, penduduk Indonesia bertambah kurang lebih sekitar 5 juta jiwa. Terus meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia, maka secara langsung dapat mempengaruhi konsumsi sayuran di Indonesia.


(13)

Sekian lama para petani berada dalam kondisi ketergantungan pada produk-produk industri pertanian, setelah petani sadar dan merasakan dampak negatif ketergantungan itu, para petani mulai berupaya untuk keluar dari keadaan itu. Selain itu pihak konsumen produk pertanian mulai mengerti akan pentingnya masalah pengaruh dari "pertanian kimia" pada kesehatan manusia. Produk pertanian non kimia di negara maju memiliki harga jual tinggi karena lebih sehat dan lebih bermutu. Dampak penerapan teknologi yang dilaksanakan melalui program intensifikasi sering mengancam keberhasilan pembangunan dalam meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani yang didapat saat ini (Said E. Gumbira, 2001). Pertanian organik adalah sistem pertanian yang holistik yang mendukung dan mempercepat biodiversiti, siklus biologi dan aktivitas biologi tanah. Sertifikasi produk organik yang dihasilkan, penyimpanan, pengolahan, pasca panen dan pemasaran harus sesuai standar yang ditetapkan oleh badan standardisasi (IFOAM, 2005).

Sejauh ini pertanian organik disambut baik oleh banyak kalangan masyarakat, meskipun dengan pemahaman yang berbeda. Kesadaran masyarakat terutama masyarakat yang bergerak di bidang pertanian akan pentingnya kesehatan dan melestarikan lingkungan membuat masyarakat tersebut terdorong untuk mengadopsi pertanian organik, selain karena produksi yang murah karena pupuk dan pestisida berasal dari alam, selain itu juga karena tingkat residu lebih rendah di banding pupuk sintetis dan pestisida kimia.

Budidaya pertanian organik terutama bidang hortikultura sebenarnya telah lama di terapkan namun pada masa berkembangnya teknologi seperti saat ini


(14)

budidaya sayuran organik mulai ditinggalkan. Petani lebih memilih untuk menggunakan cara pertanian konvensional yang menggunakan bahan bahan kimia atau anorganik, petani lebih memilih menggunakan pupuk sintetis untuk meningkatkan produktivitas dan rangsangan terhadap pertumbuhan tanaman sayuran, serta menggunakan pestisida dalam mengendalikan organisme pengganggu tanaman dalam budidaya sayuran. Penggunaan pupuk sintetis dan pestisida memang dapat memenuhi kebutuhan petani akan tanaman yang lebih produktif dan bebas dari hama secara lengkap dan cepat. Namun saat ini masyarakat mulai menyadari dampak negatif dari pupuk kimia dan pestisida bagi kesehatan manusia dan keseimbangan lingkungan. Masyarakat menyadari pentingnya produk sayuran hasil pertanian organik, kelebihan sayuran organik telah disadari baik oleh konsumen maupun oleh pelaku bisnis. Permintaan yang terus meningkat dari pasar tidak sebanding dengan ketersediaan sayuran organik yang dihasilkan pada tingkat petani. Terbatasnya petani yang terjun dibidang pertanian organik untuk memproduksi sayuran organik menjadi penyebab permintaan belum tercukupi sepenuhnya.

Adopsi petani terhadap teknologi pertanian sangat ditentukan dengan kebutuhan akan teknologi tersebut dan kesesuaian teknologi dengan kondisi biofisik dan sosial budaya. Oleh karena itu, introduksi suatu inovasi teknologi baru harus disesuaikan dengan kondisi spesifik lokasi. Adopsi adalah keputusan untuk menggunakan sepenuhnya ide baru sebagai cara bertindak yang paling baik. Keputusan inovasi merupakan proses mental, sejak seseorang mengetahui adanya inovasi sampai mengambil keputusan untuk menerima atau menolaknya kemudian


(15)

mengukuhkannya (Suprapto dan Fahrianoor 2004). Beberapa petani menerapkan pertanian organik dan menolak secara total pemakaian senyawa buatan. Petani-petani tersebut sebagian besar tergabung dengan sebuah kelompok tani yang mempunyai visi yang sama untuk membudidayakan sayuran organik. Dengan sistem pertanian organik, tanah dan air diperlakukan sebagai modal dasar dan sumber kehidupan.

Badan Pusat Statistik (2015) mencatat total hasil panen produksi hortikultura di Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 383,67 ton dengan luas lahan panen sebesar 7.576 hektar. Produksi terbesar tanaman sayuran pada tahun 2015 adalah cabe besar dan bawang merah dengan produksi masing-masing 177.590 kwintal dan 56.052 kwintal. Bawang merah mengalami penurunan cukup besar dengan persentase sebesar 19,52 persen.

Desa Wukirsari memiliki dua kelompok tani yang sudah mempunyai sertifikasi organik untuk budidayanya yaitu Kelompok Tani Gemilang dan Tani Organik Merapi (TOM). Petani anggota kelompok tani tersebut ikut berpartisipasi dalam membudidayakan pertanian organik. Desa Wukirsari sendiri berada di Kecamatan Cangkringan salah satu kecamatan di Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Badan Pusat Statistik (2015) mencatat Desa Wukirsari dihuni oleh 10.380 orang atau 34,28% dari total penduduk Kecamatan Cangkringan. Dari total tersebut 1.995 orang diantaranya bekerja di sektor pertanian, dan hanya sekitar 2,25% yang membudidayakan pertanian sayuran organik. Petani konvensional disana beranggapan bahwa dengan menerapkan pertanian organik membuat produktivitas lahannya menurun, selain itu


(16)

diperlukannya pengakuan sebagai pelaku pertainan organik oleh lembaga sertifikasi dengan syarat-syarat ketat membuat petani menjadi enggan karena menganggap persyaratan itu membuat mereka sulit dalam menjalankan usaha taninya. Petani konvensional juga telah lama terlena dengan cara pertanian cepat dan mudah yang selama ini bisa diberikan oleh cara pertanian konvensional sehingga menutup diri terhadap inovasi baru, dalam hal ini pertanian sayuran organik.

Keunggulan sayuran organik seperti harga yang tinggi, kepastian pasar, dan dukungan dari kelompok tani belum menjadi daya tarik yang kuat bagi sebagian besar petani konvensional untuk berpindah mengadopsi teknologi pertanian sayuran organik. Padahal petani menjadi bagian yang penting dalam proses adopsi dan difusi inovasi. Hal ini dikarenakan petani adalah pihak yang mengambil keputusan untuk menerima atau menolak inovasi yang ada, dalam hal ini adalah inovasi pertanian sayuran organik.

Berdasarkan uraian tersebut maka maka muncul beberapa pertanyaan berikut:

1. Bagaimana karakteristik petani yang mengambil keputusan dalam penerapan pertanian sayuran organik?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pengambilan keputusan petani dalam penerapan pertanian sayuran organik?


(17)

B. Tujuan

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dijabarkan diatas maka dapat dirangkum tujuan dari penelitian sebagai berikut:

1. Mengetahui karakteristik petani yang mengambil keputusan menerapkan pertanian sayuran organik dan petani yang tidak menerapkan sayuran organik.

2. Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan petani dalam penerapan pertanian sayuran organik.

C. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah :

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan menjawab beberapa kendala serta tantangan dalam menerapkan pertanian sayuran organik.

2. Bagi petani diharapkan dapat menjadi motivasi untuk lebih mengembangkan pertanian organik, dan memberikan masukan seputar pertanian sayuran organik.

3. Bagi pemerintah dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai referensi dalam mengambil keputusan atau kebijakan seputar pertanian sayuran organik, khususnya dalam memotivasi petani untuk lebih mengembangkan pertanian organik.

4. Bagi peneliti lain dapat memanfaatkan penelitian ini sebagai bahan referensi dalam melakukan pengembangan penelitian selanjutnya.


(18)

7 A. Tinjauan Pustaka

1. Pertanian Organik

Sistem pertanian organik merupakan ”hukum pengembalian (low of return)” yang berarti suatu sistem yang berusaha untuk mengembalikan semua jenis bahan organik ke dalam tanah, baik dalam bentuk residu dan limbah pertanian maupun ternak yang selanjutnya bertujuan memberi makanan pada tanaman.

Dalam pemahaman praktis, pertanian organik adalah sekedar cara bertani yang tidak menggunakan bahan - bahan kimia. Dalam konteks regulasi, pertanian organik adalah cara berproduksi dan memasarkan hasil produksi sesuai dengan standar yang diatur oleh undang-undang atau kebijakan formal dan akibatnya memiliki kekuatan hukum. Tata cara bertani dalam pertanian organik dapat digunakan untuk meminimalkan polusi udara, polusi tanah, dan polusi air. Tujuan utama dari pertanian organik adalah untuk mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas dari komunitas yang saling terkait satu sama lain di dalam tanah, tanaman, hewan, maupun manusia (Saragih 2010).

Menurut Badan Standarisasi Nasional (2002) "Organik" adalah istilah pelabelan yang menyatakan bahwa suatu produk telah diproduksi sesuai dengan standar produksi organik dan disertifikasi oleh otoritas atau lembaga sertifikasi resmi. Pertanian organik didasarkan pada penggunaan masukan eksternal yang minimum, serta menghindari penggunaan pupuk dan pestisida


(19)

kimia. Praktek pertanian organik tidak dapat menjamin bahwa produknya bebas sepenuhnya dari residu karena adanya polusi lingkungan secara umum. Namun beberapa cara digunakan untuk mengurangi polusi dari udara, tanah dan air. Pekerja, pengolah dan pedagang pangan organik harus patuh pada standar untuk menjaga integritas produk pertanian organik. Tujuan utama dari pertanian organik adalah untuk mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas komunitas interdependen dari kehidupan di tanah, tumbuhan, hewan dan manusia.

Filosofi yang melandasi pertanian organik adalah mengembangkan prinsip-prinsip memberi makanan pada tanah yang selanjutnya tanah menyediakan makanan untuk tanaman (feeding the soil that feeds the plants), dan bukan memberi makanan langsung pada tanaman. Strategi pertanian organik adalah memindahkan hara secepatnya dari sisa tanaman, kompos dan pupuk kandang menjadi biomassa tanah yang selanjutnya setelah mengalami proses mineralisasi akan menjadi hara dalam larutan tanah. Dengan kata lain, unsur hara di daur ulang melalui satu atau lebih tahapan bentuk senyawa organik sebelum diserap tanaman. Hal ini berbeda sama sekali dengan pertanian konvensional yang memberikan unsur hara secara cepat dan langsung dalam bentuk larutan sehingga diserap dengan takaran dan waktu pemberian yang sesuai dengan kebutuhan tanaman. Kegunaan budidaya organik pada dasarnya ialah meniadakan atau membatasi kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkan oleh budidaya kimiawi. (Sutanto, 2002)


(20)

Menurut International Federation of Organic Agriculture Movements (IFOAM, 2005). Prinsip-prinsip berikut merupakan dasar bagi pertumbuhan dan perkembangan pertanian organik. Prinsip-prinsip ini berisi tentang sumbangan yang dapat diberikan pertanian organik bagi dunia, dan merupakan sebuah visi untuk meningkatkan keseluruhan aspek pertanian secara global. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:

a. Prinsip kesehatan, pertanian organik harus melestarikan dan meningkatkan kesehatan tanah, tanaman, hewan, manusia dan bumi sebagai satu kesatuan dan tak terpisahkan.

b. Prinsip ekologi, pertanian organik harus didasarkan pada sisitem dan siklus ekologi kehidupan. Bekerja, meniru dan berusaha memelihara sistem dan siklus ekologi kehidupan.

c. Prinsip keadilan, pertanian organik harus membangun hubungan yang mampu menjamin keadilan terkait dengan lingkungan dan kesempatan hidup bersama.

d. Prinsip perlindungan, pertanian organik harus dikelola secara hati-hati dan bertanggung jawab untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan generasi sekarang dan mendatang serta lingkungan hidup.

Budidaya pertanian organik memungkinkan untuk membatasi dampak negatif yang ditimbulkan oleh budidaya kimiawi. Pupuk organik dan pupuk hayati mempunyai berbagai keunggulan nyata dibanding dengan pupuk kimia. Pupuk organik dengan sendirinya merupakan keluaran setiap budidaya


(21)

pertanian, sehingga merupakan sumber unsur hara makro dan mikro yang dapat dikatakan cuma-cuma. Pupuk organik dan pupuk hayati berdaya ameliorasi ganda dengan bermacam-macam proses yang saling mendukung, bekerja menyuburkan tanah dan sekaligus mengkonservasikan dan menyehatkan unsur tanah serta menghindari kemungkinan terjadinya pencemaran lingkungan (Sutanto, 2002). Menurut Sutanto (2002), Ada Beberapa hal yang mencakup kegunaan budidaya organik dalam meniadakan atau membatasi keburukan budidaya kimiawi dan kemungkinan resiko terhadap lingkungan adalah :

a. Menghemat penggunaan hara tanah, berarti memperpanjang umur produktif tanah.

b. Melindungi tanah terhadap kerusakan karena erosi dan mencegah degradasi tanah karena kerusakan struktur tanah.

c. Meningkatkan penyediaan air tanah sehingga menghindarkan kemungkinan resiko kekeringan dan memperbaiki ketersediaan hara tanah dan hara yang berasal dari pupuk mineral, berarti meningkatkan kemungkinan penggunaannya, dan sekaligus menghemat penggunaan pupuk buatan yang harganya semakin mahal. Menghindari terjadinya ketimpangan hara, bahkan dapat memperbaiki keseimbangan hara dalam tanah.

d. Melindungi pertanaman terhadap cekaman (stress) oleh unsur-unsur yang ada dalam tanah (Fe, Al, Mn) atau yang masuk ke dalam tanah dari bahan-bahan pencemar.


(22)

e. Tidak membahayakan kehidupan flora dan fauna tanah, bahkan dapat menyehatkannya, berarti mempunyai daya memelihara ekosistem tanah.

f. Tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, khususnya atas sumberdaya air, karena zat-zat kimia yang terkandung berkadar rendah dan berbentuk senyawa yang tidak mudah larut.

g. Berharga murah karena pupuk organik terutama dihasilkan dari bahan-bahan yang tersedia di dalam usahatani itu sendiri dan pupuk hayati hanya diperlukan dalam jumlah yang relatif sedikit, sehingga dapat menekan biaya produksi. Merupakan teknologi berkemampuan ganda (sumber hara dan pembenah tanah).

2. Sayuran Organik

Sayuran sebagai salah satu produk hultikultura dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, antara lain sayuran bunga (brokoli, kembang kol), sayuran buah (terong, cabe, paprika, labu, mentimun, tomat), sayuran daun (kangkung, sawi, bayam), sayuran biji muda (jagung muda, kacang panjang, buncis), sayuran batang muda (aspagarus, rebung, jamur) dan sayuran umbi (kentang, bawang bombay, bawang merah). Sayuran organik adalah berbagai macam sayuran yang dihasilkan dari teknik pertanian organik. Konsep penting dari pertanian organik adalah pengolahan dan pembudidayaan tanpa menggunakan bahan-bahan kimia. (Prestilia, 2012)


(23)

Menurut Prestilia (2012) sayuran organik dibudiayakan secara alami maka sayuran tersebut mengandung berbagai keunggulan dibandingan dengan sayuran non organik. Salah satu keunggulan dari sayuran organik adalah aman dari residu bahan kimia, sehingga dapat menunjang kesehatan. Hal ini membuat konsumen beralih dari sayuran konvensional ke sayuran organik. Keunggulan lain dari sayuran organik menurut Samsudin dan Satrio (2004), adalah:

a. Produk sayuran organik sehat untuk dikonsumsi karena tidak mengandung residu bahan kimia dan zat-zat beracun yang berbahaya bagi kesehatan.

b. Produk sayuran organik memiliki rasa yang lebih renyah, lebih manis, dan tidak cepat busuk.

c. Sarana produksi pertanian organik seperti pupuk kandang dan bio-pestisida tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, aman bagi konsumen, dan mudah terurai oleh tanah.

d. Meningkatkan dan melestarikan kesuburan tanah serta keanekaragaman hayati.

e. Menekan biaya produksi yang menguntungkan secara ekonomi dalam jangka panjang.

Selain menawarkan keunggulan, sayuran organik tidak lepas dari kelemahan, kelemahan-kelemahan itu antara lain:

a. Kebutuhan tenaga kerja lebih banyak, terutama untuk pengendalian hama dan penyakit. Hal ini dikarenakan dalam


(24)

praktiknya masih dilakukan secara manual. Apabila menggunakan pestisida alami, untuk mendapatkannya cukup sulit karena peredarannya masih sangat terbatas dipasaran.

b. Penampilan fisik tanaman organik kurang bagus dibandingkan dengan tanaman yang dipelihara secara non organik.

c. Kegiatan pemeliharaan yang lebih intensif dibanding budidaya sayuran konvensional.

Segala jenis sayuran dapat dikembangkan dengan pertanian organik. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah beberapa jenis tanaman sangat peka terhadap gangguan hama dan penyakit, oleh karena itu diperlukan teknik teknik khusus dalam pengembangannya. Selain itu perlu diperhatikan kepentingan bisnis dari teknik pertanian sayuran organik ini. (Pracaya, 2007). 3. Penerapan Inovasi Pertanian

Penerapan inovasi pertanian atau yang lebih dikenal dengan “Adopsi Inovasi” mengandung pengertian yang kompleks dan dinamis. Hal ini disebabkan karena proses adopsi inovasi sebenarnya adalah menyangkut proses pengambilan keputusan yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Rogers dan Shoemaker dalam Soekartawi (2005) memberikan definisi tentang proses pengambilan keputusan untuk melakukan adopsi inovasi, seperti berikut:

“…the mental process of an innovation to a decision to adopt or to reject and to confirmation of this decision…”

Mengikuti definisi yang diberikan oleh Rogers dan Shoemaker tersebut, maka ada beberapa elemen penting yang perlu diperhatikan dalam


(25)

proses adopsi inovasi, yaitu: (a) adanya sikap mental untuk melakukan adopsi inovasi, dan (b) adanya konfirmasi dari keputusan yang telah di ambil.

Inovasi merupakan istilah yang sering digunakan di berbagai bidang, seperti industri, jasa, pemasaran termasuk pertanian. Inovasi adalah sebuah ide, praktek, atau objek yang dianggap hal baru oleh individu atau unit kelompok yang lain. Selain itu, penerapan inovasi merupakan suatu mental atau perubahan perilaku baik berupa pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun keterampilan (psychomotor) pada diri seseorang sejak ia menerima inovasi sampai memutuskan untuk menerapkannya inovasi tersebut. Berdasarkan penjelasan tersebut dalam proses penerapan inovasi didahului oleh adanya pengenalan inovasi kepada masyarakat, yang selanjutnya terjadi proses mental untuk menerima atau menolak inovasi tersebut. Rogers (2003)

Musyafak dan Ibrahim (2005) menyebutkan bahwa inovasi teknologi dalam pertanian dapat berupa peralatan pertanian, teknik budidaya, input produksi, pengolahan hasil produksi, dan lainnya. Tujuan dari teknologi adalah mencapai output yang lebih tinggi dari sejumlah lahan, tenaga kerja, dan sumberdaya tertentu. Teknologi mempunyai peranan yang penting untuk mengekonomiskan suatu proses. Salah satu teknologi dalam bidang pertanian adalah teknik budidaya tanaman. Teknik budidaya tanaman terus dikembangkan oleh para ahli untuk meningkatkan hasil produksi. Inovasi teknik budidaya juga semakin dikembangkan dengan mempertimbangkan


(26)

keadaan lingkungan. Sehingga diharapkan teknik budidaya tanaman bisa menghasilkan hasil yang tinggi tanpa merusak lingkungan.

4. Pengambilan Keputusan

Menurut Morgan dan Cerullo dalam Salusu (2006). Keputusan adalah

“sebuah kesimpulan yang dicapai sesudah dilakukan pertimbangan, yang

terjadi setelah satu kemungkinan dipilih, sementara yang lain

dikesampingkan”. Yang dimaksud dengan pertimbangan ialah menganalisis

beberapa kemungkinan atau alternatif, sesudah itu dipilih satu diantaranya. Sementara menurut Mardikanto (2009), secara umum dapat dikatakan bahwa, pengambil keputusan dalam keluarga petani adalah ayah atau suami yang menjadi kepala keluarga itu. Tetapi, Galbraith dalam Mardikanto (2009). Menyatakan bahwa status seseorang di dalam keluarganya sangat ditentukan oleh besarnyaekonomi yang dapat diberikan dalam keluarganya.

Hanafi dalam Lisana (2008) menyatakan bahwa keputusan inovasi adalah penerimaan atau penolakan suatu inovasi oleh seseorang. Jika petani menerima (mengadopsi) inovasi, dia menggunakan ide baru, praktek baru atau barang baru itu dan menghentikan penggunaan ide-ide yang digantikan oleh inovasi itu. Keputusan inovasi ini merupakan proses mental, sejak seseorang mengetahui adanya inovasi sampai mengambil keputusan untuk menerima atau menolaknya dan kemudian mengukuhkannya.


(27)

Siagian (2004) menyatakan bahwa pada hakekatnya pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan yang sistematis terhadap hakekat suatu masalah, pengumpulan fakta-fakta dan data, penentuan yang matang dari alternatif yang dihadapi dan mengambil tindakan yang menurut perhitungannya merupakan tindakan yang paling tepat. Sedangkan Hasan (2002), mengatakan bahwa pengambilan keputusan merupakan suatu proses pemilihan alternatif terbaik dari beberapa alternatif secara sistematis untuk ditindaklanjuti (digunakan) sebagai suatu cara pemecahan masalah.

a. Tipe-Tipe Pengambilan Keputusan

Menurut Wayne Lambe dalam Ibrahim et al (2003), tipe pengambilan keputusan ada 3 macam, yaitu :

1) Keputusan opsional

Keputusan opsional adalah keputusan yang dibuat oleh seseorang, terlepas dari keputusan-keputusan yang dibuat oleh anggota sistem. Keputusan seseorang untuk menerima atau menolak inovasi bukanlah tindakan sekali jadi, melainkan lebih menyerupai suatu proses yang terdiri dari serangkaian tindakan dalam jangka waktu tertentu. Pandangan tradisional mengenai proses keputusan inovasi, yang disebut “proses adopsi” terdiri dari 5 tahap yaitu tahap kesadaran, tahap menaruh minat, tahap penilaian, tahap pencobaan dan tahap penerimaan. Paradigma proses keputusan inovasi terdiri dari 4 tahap yaitu, pengenalan, persuasi, keputusan dan konfirmasi.


(28)

2) Keputusan kolektif

Keputusan kolektif adalah keputusan untuk menerima atau menolak inovasi yang dibuat individu-individu yang ada dalam sistem sosial melalui konsensus. Proses keputusan kolektif ini melibatkan lebih banyak individu. Jika informasi mengenai ide baru itu harus dikomunikasikan kepada banyak orang, maka kemungkinan terjadi distorsi pesan lebih besar, lebih banyak terjadi perbedaan persepsi, dan besar kemungkinan lebih lambat tercapai konsensus.

Keputusan kolektif jelas lebih rumit daripada keputusan opsional. Alasannya adalah karena proses keputusan kolektif itu terdiri dari keputusan sejumlah besar individu. Untuk itu perlu memperkenalkan ide baru kedalam sistem sosial, mengadakan penyesuaian usul baru dengan kondisi setempat, , mencari dukungan inovasi baru itu dan sebagainya. Adapun paradigma proses pengambilan keputusan inovasi kolektif adalah sebagai berikut : a) Stimulasi minat ke arah kebutuhan akan ide-ide baru (oleh

stimulator).

b) Inisiasi ide-ide baru ke dalam sistem sosial (oleh inisiator). c) Legitimasi ide baru (oleh pemegang kekuasaan/legitimator). d) Keputusan untuk melaksanakan penggunaan ide baru (oleh

anggota sistem sosial).

e) Tindakan atau pelaksanaan penrapan ide baru di masyarakat (oleh anggota sistem sosial).


(29)

3) Keputusan Otoritas

Keputusan otoritas adalah tekanan terhadap seseorang oleh orang lain yang berada dalam posisi atasan. Seseorang (unit adopsi) diperintah oleh seseorang lebih tinggi kekuasannya untuk menerima atau menolak inovasi. Di sini seseorang tidak bebas lagi menentukan pilihannya dalam proses keputusan inovasi. Jadi, struktur sistem kekuasaan sistem sosial berpengaruh terhadap seseorang agar mengikuti keputusan yang telah diambil oleh atasan. Dalam proses keputusan otoritas ada dua macam unit yang terlibat dalam proses keputusan, yaitu :

a) Unit adopsi yakni seseorang, kelompok atau unit yang mengadopsi inovasi.

b) Unit pengambil keputusan yakni seseorang, kelompok atau unit yang posisi kekuasaannya lebih tinggi dari unit adopsi dan yanmg membuat keputusan akhir apakah unit adopsi harus menerima atau menolak inovasi.

b. Proses Pengambilan Keputusan

Pengambilan keputusan adalah mengenai penciptaan kejadian – kejadian dan pembentukan masa depan. Adalah penting membedakan keputusan dan proses pengambilan keputusan. Menurut Rogers (2003), proses pengambilan keputusan terdiri dari 4 tahap, yaitu :


(30)

1) Pengenalan

Tahap pengenalan bermula ketika seseorang mengetahui adanya inovasi dan memperolah beberapa pengertian mengenai bagaimana inovasi itu berfungsi. Dalam tahap pengenalan inovasi, ada tiga tipe pengetahuan yaitu pertama, kesadaran / pengetahuan mengenai adanya inovasi; kedua, pengetahuan “teknis” meliputi informasi yang diperlukan mengenai cara pemakaian atau penggunaan suatu inovasi; dan ketiga, pengetahuan “prinsip” yakni berkenan dengan prinsip-pinsip berfungsinya suatu inovasi.

2) Persuasi

Pada tahap persuasi, seseorang membentuk sikap berkenan atau tidak berkenan terhadap inovasi. Jika aktivitas mental pada tahap pengenalan adalah berlangsungnya fungsi kognitif, aktifitas mental pada tahap persuasi adalah afektif (perasaan). Sebelum seseorang mengenal suatu ide baru, petani tidak dapat membentuk sikap tertentu terhadapnya.

Pada tahap persuasi seseorang lebih terlibat secara psikologis dengan inovasi. Petani giat mencari keterangan mengenai ide baru. Pada tahap persuasi inilah prsepsi umum terhadap inovasi dibentuk. Ciri-ciri inovasi yang tampak misalnya keuntungan relatif, kompatibilitas dan kerumitan atau kesederhanaannya.


(31)

3) Keputusan

Pada tahap keputusan, seseorang terpilih dalam kegiatan yang mengarah pada pemilihan untuk menerima atau menolak inovasi. Keputusan ini meliputi pertimbangan lebih lanjut apakah akan mencoba inovasi itu atau tidak, jika inovasi itu dapat dicoba. Kebanyakan, orang tidak menerima suatu inovasi tanpa mencobanya terlebih dulu sebagai dasar untuk melihat kemungkinan kegunaan inovasi itu bagi situasi dirinya sendiri. Pencobaan dalam skala kecil ini seringkali menjadi bagian dari keputusan untuk menerima, dan ini penting sebagai jalan untuk mengurangi resiko inovasi.

4) Konfirmasi

Tahap konfirmasi berlangsung setelah ada keputusan untuk menerima atau menolak inovasi selama jangka waktu yang tak terbatas. Pada tahap ini seseorang berusaha mencari informasi untuk menguatkan keputusan inovasi yang telah dibuatnya, tetapi mungkin dia merubah keputusannya semula jika petani memperoleh pesan-pesan yang bertentangan. Petani dapat menghentikan penggunaan inovasi setelah sebelumnya mengadopsi. Petani menghentikan penggunaan inovasi karena menerima ide baru yang lebih baik menurut pandangannya ataupun karena ketidakpuasan terhadap hasil inovasi (mungkin timbul karena inovasi itu tidak cocok baginya atau relatif tak memberi keuntungan).


(32)

5. Faktor - Faktor yang Mepengaruhi Pengambilan Keputusan

Dalam pengambilan keputusan apakah seseorang menolak atau menerima suatu inovasi banyak tergantung pada sikap mental dan perbuatan yang dilandasi oleh situasi intern orang tersebut, misalnya pendidikan, status sosial, umur, luas penguasaan lahan, tingkat pendapatan, pengalaman dan sebagainya serta situasi lingkungannya, misalnya frekuensi kontak dengan sumber informasi, kesukaan mendengarkan radio atau menonton televisi, menghadiri temu karya dan sebagainya (Soekartawi, 2005). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan petani dalam penelitian ini antara lain:

a. Umur

Umur petani akan mempengaruhi kemampuan fisik dan respon terhadap hal-hal yang baru dalam menjalankan usahataninya. Makin muda petani biasanya mempunyai semangat untuk ingin tahu apa yang belum mereka ketahui, sehingga dengan demikian mereka berusaha untuk lebih cepat melakukan adopsi inovasi walaupun sebenarnya mereka masih belum berpengalaman dalam hal adopsi inovasi tersebut (Soekartawi, 2005). Semakin tua (di atas 50 tahun), biasanya semakin lamban mengadopsi inovasi, dan cenderung hanya melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sudah biasa diterapkan oleh warga masyarakat setempat (Mardikanto, 2009).


(33)

b. Pendidikan

Menurut Suhardiyono dalam Lisana (2008). Pendidikan adalah struktur dari suatu sistem pengajaran yang kronologis dan berjenjang lembaga pendidikan mulai dari pra sekolah sampai dengan perguruan tinggi. Mereka yang berpendidikan tinggi adalah relatif lebih cepat dalam melaksanakan adopsi inovasi. Begitu pula sebaliknya mereka yang berpendidikan rendah, mereka agak sulit untuk melaksanakan adopsi inovasi dengan cepat (Soekartawi, 2005).

c. Luas Penguasaan Lahan

Lionberger dalam Mardikanto (2009) menyatakan penguasaan lahan yaitu luas lahan yang diusahakan. Biasanya semakin luas lahan yang dimiliki maka semakin cepat seseorang dalam mengadopsi, karena memiliki kemampuan ekonomi lebih baik. Luas lahan yang diusahakan relatif sempit seringkali menjadi kendala untuk dapat diusahakan secara lebih efisien. Petani berlahan sempit, seringkali tidak dapat menerapkan usahatani yang sangat intensif, karena bagaimanapun petani harus melakukan kegiatan-kegiatan lain diluar usahatani untuk memperoleh tambahan pendapatan yang diperlukan bagi pemenuhan kebutuhan keluarganya. Dengan kata lain, setiap petani tidak selalu dengan bebas dapat melakukan perubahan-perubahan usahatani, karena petani harus mengalokasikan waktu dan tenaganya untuk kegiatan-kegiatan di usahataninya maupun di luar usahataninya (Mardikanto, 2009).


(34)

d. Pendapatan

Besar kecilnya pendapatan petani dari usahataninya terutama ditentukan oleh luas tanah garapannya. Petani dengan tingkat pendapatan semakin tinggi biasanya akan semakin cepat mengadopsi inovasi (Mardikanto, 2009). Sebaliknya, petani yang berpenghasilan rendah adalah lambat dalam melakukan difusi inovasi (Mardikanto, 2009). e. Lingkungan Sosial

Petani sebagai sebagai individu yang melakukan usaha tani pada setiap pengambilan keputusan untuk usahatani tidak selalu dapat dengan bebas dilakukannya sendiri, tetapi sangat ditentukan oleh kekuatan-kekuatan disekelilingnya. Dengan demikian, dia juga harus memperhatikan pertimbangan-pertimbangan yang diberikan oleh lingkungan sosialnya (Mardikanto, 2009).

Fosher dan Shanin dalam Mardikanto (2009) meyatakan bahwa kecepatan adopsi inovasi banyak tergantung pada persepsi sasaran terhadap lingkungan sekitarnya. Jelasnya, jika keadaan masyarakat relatif seragam, mereka akan kurang terdorong mengadopsi inovasi yang ditawarkan guna melakukan perubahan. Sebaliknya, jika ada seseorang atau beberapa anggota masyarakat sasaran yang memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimilikinya, mereka akan cenderung berupaya keras untuk melakukan perubahan-perubahan demi tercapainya peningkatan atau perbaikan mutu hidup mereka sendiri dan masyarakatnya.


(35)

f. Lingkungan Ekonomi

Mardikanto (2009) Menyatakan bahwa kekuatan-kekuatan ekonomi yang berada di lingkungan petani terdiri dari, tersedianya dana atau kredit usahatani, tersedianya sarana produksi dan peralatan usahatani, perkembangan teknologi pengolahan hasil pertanian, pemasaran hasil, dan adanya kepastian harga.

g. Sifat/Karakteristik Inovasi

Dikemukakan oleh Rogers (2003) ada lima macam sifat inovasi yang mempengaruhi kecepatan adopsi suatu inovasi. Atribut dalam Inovasi yaitu (1) relative advantage, (2) compatibility, (3) complexity, (4) trialability, dan (5) observability.

1) Keuntungan Relatif (Relative Advantage) merupakan derajat tingkat bagi suatu inovasi yang dirasa lebih baik daripada gagasan lain. Derajat tingkat dari keuntungan yang relatif mungkin terukur dalam terminologi ekonomi, tetapi faktor gengsi sosial, kenyamanan, dan kepuasan juga merupakan faktor yang penting. Semakin besar keuntungan untuk adopter yang dirasakan dari suatu inovasi, adopsi akan semakin cepat tingkatnya.

2) Kesesuaian (Compability) merupakan derajat tingkat bagi suatu inovasi yang dirasa sebagai hal yang konsisten dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman masa lalu, dan kebutuhan orang yang potensial. Suatu gagasan yang tidak cocok atau bertentangan dengan norma-norma dan nilai-nilai suatu sistem sosial tidak akan diadopsi


(36)

dengan cepat sebagai suatu inovasi. Adopsi dari suatu inovasi yang tidak cocok atau bertentangan sering memerlukan adopsi yang terdahulu dari suatu sistem nilai yang baru, dimana suatu proses yang secara relatif lebih lambat.

3) Kerumitan (Complexity) merupakan derajat tingkat bagi suatu inovasi yang dirasa sulit untuk dipahami dan digunakan. Inovasi ada beberapa yang siap dipahami oleh kebanyakan anggota dari suatu sistem sosial, sedangkan yang lain dapat lebih rumit dan diadopsi lebil lamban.

4) Kemungkinan dicoba (Trialability) merupakan derajat tingkat bagi suatu inovasi yang mungkin dicoba dengan dibatasi suatu basis. Gagasan yang baru dapat dicoba dengan memakai rencana angsuran akan secara umum diadopsi dengan lebih cepat dibanding inovasi yang tidak dapat dibagi.

5) Kemungkinan diamati (Observabiliy) merupakan derajat tingkat bagi suatu inovasi dimana hasil dari inovasi tersebut terlihat oleh orang lain. Semakin mudah untuk individu melihat hasil dari suatu inovasi, maka semakin mungkin bagi mereka untuk mengadopsi. Hal seperti itu merangsang diskusi panutan dari suatu gagasan yang baru, contohnya seperti tetangga atau para teman dari suatu orang yang sering meminta informasi evaluasi inovasi tentang itu.


(37)

6. Analisis Regresi Logistik

Metode regresi telah menjadi bagian menyeluruh dari analisis data yang fokus digunakan untuk menjelaskan hubungan antara suatu variabel dengan satu atau lebih variabel penjelas. Pada suatu kasus, sering didapatkan bahwa variabel hasil atau sering disebut dengan variabel terikat yang diinginkan berupa data diskret dengan dua nilai atau lebih. (Hosmer dan Lameshow 2000 dalam Suhandri 2009)

Regresi logistik telah menjadi standar metode analisis penyelesaian dalam situasi variabel hasil yang diinginkan berupa data diskret dengan dua atau lebih dari dua variabel. Tujuan analisis regresi logistik memiliki kesamaan dengan setiap pemodelan statistik yang dibangun dengan metode lain yaitu menemukan model yang paling tepat dan paling sederhana untuk menjelaskan hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. (Hosmer dan Lameshow 2000 dalam Suhandri 2009). Model analisis regresi logistik diformulasikan sebagai berikut;

Keterangan:

e = bilangan natural = 2.71828 = intercept

= koefisien model

= peluang terjadinya Yi sukses

= veriabel independen X observasi ke-i

Model tersebut dapat ditransformasikan ke dalam bantuk nilai odds dan model logit (pi), yang dimaksudkan untuk memudahkan proses dan interpretasi. Nilai odds secara manual dapat dihitung dengan formula;


(38)

Sedangkan untuk model logitnya dapat diformulasikan sebagai berikut;

7. Penelitian Sebelumnya

Penelitian Roswita (2003) mengungkapkan terdapat beberapa faktor karakteristik internal petani, karakteristik eksternal dan sifat inovasi agen hayati yang berhubungan nyata dengan tahapan proses keputusan adopsi inovasi pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan agen hayati, dengan rincian pertahapnya sebagai berikut:

a. Pada tahap pengenalan, faktor yang berhubungan nyata, diurut dari yang paling erat hubungannya adalah: keinovatifan usaha tani, sikap kewirausahaan, ketersediaan sarana, ketersediaan sumber informasi, kemudahan dicoba, kemudahan diamati, kerumitan (berhubungan negatif), intensitas penyuluhan, tingkat kesesuaian, keuntungan relatif, tingkat pendidikan formal, sikap kepemimpinan, kekosmopolitan, dan peluang pasar.

b. Pada tahap persuasi, faktor yang berhubungan nyata diurut dari yang paling erat adalah: kemudahan dicoba, keinovatifan usahatani, kerumitan (berhubungan negatif), ketersediaan sumber informasi, ketersediaan sarana, sikap kewirausahaan, sikap kepemimpinan, intensitas penyuluhan, keuntungan relatif, tingkat pendidikan formal, kemudahan


(39)

diamati, kesesuaian, kekosmopolitan, peluang pasar, dan intensitas promosi pestisida (berhubungan negatif).

c. Pada tahap keputusan, faktor-faktor yang berhubungan, diurut berdasarkan nilai 2 hitung adalah: keinovatifan usahatani, kerumitan, sikap kepemimpinan, sikap kewirausahaan, peluang pasar, kemudahan diamati, keuntungan relatif, ketersediaan sumber informasi, intensitas penyuluhan, kekosmopolitan, ketersedian sarana, tingkat pendidikan formal, kemudahan dicoba, keanggotaan dalam kelompok tani, dan kesesuaian.

d. Pada tahap implementasi, faktor yang berhubungan nyata, diurut dari yang paling erat hubungannya adalah kemudahan diamati, intensitas penyuluhan, keinovatifan usahatani, tingkat pendidikan formal, kesesuain, kekosmopolitan, ketersediaan sumber informasi, keuntungan relatif, kerumitan (berhubungan negatif), ketersediaan sarana, sikap kewirausahaan, dan peluang pasar.

e. Pada tahap konfirmasi, faktor-faktor yang berhubungan, diurut berdasarkan 2 hitung adalah: keuntungan relatif, kesesuaian, dan ketersediaan sumber informasi.

Tiga tahun setelah Roswita (2003) mengadakan penelitian, Nardono (2006) mengadakan penelitian dengan topik faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat adopsi inovasi pada pertanian lahan pasir pantai. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi inovasi dalam penelitian ini yaitu: faktor internal, faktor eksternal, dan karakteristik inovasi. Faktor-Faktor ini


(40)

sama dengan faktor-faktor yang berpengaruh dengan tingkat adopsi inovasi pada penelitian Roswita (2003) hanya berbeda redaksional saja, begitu pula dengan karakteristik dari setiap faktor, namun setelah penelitian karakteristik (variabel) yang berkorelasi berbeda.

Faktor internal yang berhubungan dengan tingkat adopsi inovasi dalam penelitian ini adalah keinovatifan dalam berusahatani, sementara variabel lain tidak menunjukkan adanya korelasi dengan tingkat adopsi inovasi. Variabel eksternal yang berhubungan dengan tingkat adopsi inovasi ini adalah variabel intensitas penyuluhan dan penggunaan sarana. Penyuluhan yang dilakukan oleh tim penyuluh memiliki peran utama dalam mengembangkan sistem pertanian lahan pasir pantai. Penyuluhan ini memiliki tujuan untuk mensosialisasikan hasil penelitian (terutama yang berkaitan dengan pertanian lahan pasir) kepada masyarakat dan sekaligus mengajak masyarakat untuk mengoptimalkan hasil pertanian lahan pasirnya, sementara penggunaan sarana lebih didasarkan pada kelengkapan sarana prasarana yang digunakan oleh petani dalam melaksanakan pertanian lahan pasir pantai. Variabel ketersediaan sumber informasi dan peluang pasar tidak menunjukkan adanya hubungan dengan tingkat adopsi inovasi.

Variabel pada karakteristik inovasi yang berhubungan dengan tingkat adopsi inovasi adalah tingkat keuntungan relatif, tingkat kesesuaian, tingkat kerumitan, dan tingkat kemudahan dicoba. Hasil pertanian lahan pasir memberikan keuntungan kepada petani yang menggarap pertanian lahan pasir. Hasil panen yang dijual dengan sistem lelang mampu memberikan


(41)

harga beli di atas harga pasar. Sistem pertanian lahan pasir juga sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat di Dusun Bugel II. Kerumitan yang dirasakan oleh petani adalah masalah penyiraman yang harus dilakukan setiap hari, namun secara keseluruhan tidak ada kerumitan yang berarti karena sistem pertanian ini hampir sama dengan sestem pertanian pada medium tanah. Sistem pertanian ini juga mudah dicoba pada lahan yang relatif sempit.

Lisana (2008) dalam penelitiannya yang berjudul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan Petani dalam Penerapan Pertanian Padi Organik di Desa Sukorejo Kecamatan Sambirejo Kabupaten Sragen” menunjukan pengambilan keputusan petani dalam penerapan pertanian padi organik di Desa Sukorejo Kecamatan Sambirejo Kabupaten Sragen pada tahap pengenalan masuk dalam kategori tinggi, tahap persuasi masuk dalam kategori sedang, tahap keputusan masuk dalam kategori tinggi dan tahap konfirmasi masuk dalam kategori sedang. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan petani yaitu : umur, pendidikan, luas usahatani, tingkat pendapatan, lingkungan ekonomi, lingkungan sosial dan sifat inovasi. Hubungan antara umur, luas usahatani, tingkat pendapatan, dan sifat inovasi dengan keputusan petani adalah tidak signifikan. Hubungan antara pendidikan dan lingkungan sosial dengan keputusan petani adalah sangat signifikan. Hubungan antara lingkungan ekonomi dengan keputusan petani adalah signifikan.

Fardiaz (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Karakteristik Petani terhadap Tingkat Pengambilan Keputusan Inovasi dalam


(42)

Usaha Sayuran Organik” menghasilkan kesimpulan petani memiliki respon yang baik terhadap kehadiran pertanian organik. Petani menyatakan bahwa pertanian organik sebagai upaya memenuhi kebutuhan pangan, dan mekanismenya dapat mengurangi pencemaran lingkungan sehingga kesuburan tanah dapat terjaga. Selain itu, pengurangan penggunaan pestisida dapat mengurangi pembunuhan terhadap predator-predator hama yang menguntungkan petani. Secara ekonomis, petani menyatakan dengan bertani organik ternyata lebih menguntungkan daripada bertani secara konvensional. Petani juga menyatakan bahwa untuk bertani organik tidaklah rumit. Selain itu, hasil pertanian organik pun sangat mudah untuk diamati. Setelah mengetahui banyaknya manfaat yang dapat diperoleh dari bertani organik, beberapa petani menyatakan menerima pertanian organik dan masih ada juga beberapa petani menyatakan ragu-ragu untuk beralih dari pertanian konvensional ke pertanian organik. Petani pun menyatakan akan mengembangkan pertanian organik dan akan mencari informasi lebih lanjut mengenai pertanian organik baik melalui media massa maupun PPL.

Penelitian Sulistiyaningsih (2012) menghasilkan kesimpulan Semakin tinggi pendidikan petani, maka bisa menerapkan pertanian padi organik. Apalagi ada pendidikan non formal seperti SLPTT (Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu). Jadi, ada hubungan antara pendidikan petani dengan pengambilan keputusan. Dalam hal umur, semakin berumur petani maka semakin banyak yang akan menerapkan uahatani padi organik. Sehingga antara umur dengan pengambilan keputusan untuk bertanam padi


(43)

organik mempunyai hubungan. Luas lahan mempengaruhi petani dalam hal pengambilan keputusan. Semakin luas lahannya maka petani memilih tidak berusahatani padi organik karena akan menambah jumlah tenaga kerja sehingga pengeluaran pun akan semakin bertambah. Kepemilikan lahan milik suami, milik istri, milik berdua, sewa, atau tanah Negara juga mempengaruhi petani dalam hal mengambil keputusan untuk berusahatani padi organik. Karena apabila lahan tersebut merupakan lahan yang di sewa, maka akan ada biaya pengeluaran tambahan.

B. Kerangka Pemikiran

Dalam keputusan petani dalam menerapkan atau tidak menerapkan di pengaruhi beberapa faktor. Baik faktor intren berupa karakteristik petani itu sendiri, seperti umur, tingkat pendidikan, luas lahan pertaniannya dan tingkat pendapatan. Semakin tua umur dan semakin rendah tingkat pendidikan biasanya akan lamban dalam mengadopsi inovasi. Luas lahan pertanian dan tingkat pendapatan biasanya berpengaruh, karena semakin luas lahan pertanian dan semakin tinggi tingkat pendapatan akan mampu secara ekonomi untuk mengadopsi sebuah inovasi.

Selain faktor dari petani sendiri ada juga faktor dari luar petani, faktor-faktor eksternal seperti lingkungan ekonomi, sosial, dan sifat inovasi. Lingkungan ekonomi yang mendukung seperti tersedianya sarana produksi (pupuk, bibt, dll), tersedianya kredit melati atau kredit usaha tani sebagai pinjaman modal dalam menjalankan usahanya, dan tersedianya peralatan produksi, tersedianya pasar yang bisa menampung hasil budidaya organik. Selain lingkungan ekonomi ada


(44)

lingkungan sosial, semakin mendukung lingkungan sosial petani dalam budidaya pertanian organik maka semakin cepat inovasi tersebut di adopsi petani. Selain itu sifat inovasi yang gampang di terapkan, tidak rumit, serta semakin tinggi keuntungan yang di dapat dari inovasi tersebut akan sangat diminati. Kerangka pemikiran secara sistematis dapat di gambarkan sebagai berikut:

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Keterangan :

: Mempengaruhi : Bagian

Lingkungan Sosial Lingkungan Ekonomi Sifat Inovasi

Karakteristik Petani 1. Umur

2. Tingkat Pendidikan 3. Luas Lahan

4. Pendapatan

Pengambilan Keputusan Petani terhadap Inovasi

Sayur Organik

Menerapkan Tidak Menerapkan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi


(45)

C. Hipotesis

Diduga karakteristik (umur, luas lahan, tingkat pendidikan, dan pendapatan), lingkungan sosial, lingkungan ekonomi, dan sifat inovasi berpengaruh nyata terhadap pengambilan keputusan petani dalam penerapan pertanian sayuran organik.


(46)

56 A. Keadaan Alam

1. Letak Geografis dan Batas-Batas Administrasi

Desa Wukirsari terletak di lereng gunung Merapi pada ketinggian dataran tinggi dan memiliki udara cukup sejuk. Suhu udara rata-rata di desa ini adalah 25 °C. Desa Wukirsari terletak pada koordinat 7°32’16”- 8°43’40” LS dan

110°14’00” - 110°33’00” BT. Musim kemarau berlangsung dari bulan Mei sampai dengan bulan September, sedangkan musim penghujan berlangsung dari bulan Oktober sampai dengan bulan April.

Gambar 2. Peta Desa Wukirsari

Secara administratif Desa Wukirsari merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Desa Wukirsari mempunyai orbitasi berupa jarak dari pusat


(47)

pemerintahan kecamatan 2 km, sedangkan dari ibukota kabupaten 17 km dan dari ibukota propinsi 22 km. Batas-batas wilayah Desa Wukirsari adalah sebagai berikut :

Sebelah Utara

Sebelah Timur

Sebelah Selatan

Sebelah Barat :

:

:

:

Desa Hargobinganun, Kecamatan Pakem Desa Glagaharjo,

Kecamatan Cangkringan

Desa Umbulmartani, Desa Widodomartani Kecamatan Ngemplak

Desa Umbulharjo, Desa Pakembinangun Kecamatan Pakem

Dekatnya jarak Desa Wukirsari dengan ibu kota provinsi dan ibu kota kabupaten membuat arus informasi dari pusat dengan mudah diterima oleh penduduknya. Arus informasi dalam hal ini mengenai pertanian sayuran organik dapat dengan mudah disampaikan oleh pemerintah pusat ke daerah sehingga memudahkan aparat dalam hal ini penyuluh berkordinasi dengan pemerintahan dan menyampaikannya kepada petani yang bersangkutan. 2. Topografi

Desa Wukirsari merupakan daerah dataran tinggi yang berada di kaki gunung Merapi dengan ketinggian 400-600 m diatas permukaan air laut. Desa Wukirsari sendiri sangat cocok untuk budidaya holtikultura karena sesuai dengan syarat tumbuh kebanyakan tanaman sayuran. Ketinggian Desa Wukirsari yang berada antara dataran tinggi dan dataran rendah membuat jenis tanaman sayuran dataran rendah (bayam, mentimun, tomat, kangkung,


(48)

dan sebagainya) serta jenis tanaman sayuran dataran tinggi (sawi, wortel, brokoli, dan sebagainya) tumbuh baik disana.

3. Jenis Tanah

Jenis tanah di Desa Wukirsari termasuk ke dalam tanah jenis tanah regosol. Jenis tanah regosol merupakan jenis tanah yang berasal dari material gunung api, letak Desa Wukirsari yang berada di lereng gunung Merapi memungkinkan desa ini mempunyai jenis tanah tersebut. Jenis tanah regosol merupakan jenis tanah yang subur sehingga jenis tanah ini sangat cocok ditanami sayuran.

4. Penggunaan Lahan

Lahan merupakan dataran di permukaan bumi yang memiliki suatu sifat-sifat tertentu dan didalamnya juga mencakup kegiatan manusia dalam mengolah suatu lahan itu sendiri. Luas daerah Desa Wukirsari adalah 1.456 Ha. Tata guna lahan di Desa Wukirsari dapat dilihat pada tabel 19.

Tabel 19. Luas Penggunaan Lahan di Desa Wukirsari Penggunaan Luas Penggunaan

(Ha) Porsentase (%) Empang Pekuburan Jalur Hijau Bangunan Umum Jalan Pemukiman Lain-Lain

Sawah dan Ladang

2,3 2,9 3,0 5,8 12,3 180,0 297,3 952,4 0,16 0,20 0,21 0,40 0,84 12,36 20,42 65,41 Sumber : Data Monografi Desa Wukirsari 2015


(49)

Lahan di daerah Desa Wukirsari sebagian besar dimanfaatkan untuk sektor pertanian, yaitu berupa sawah, ladang dan perkebunan. Lahan yang digunakan untuk pemukiman dan sektor lain jauh lebih kecil. Dengan demikian Desa Wukirsari mempunyai potensi di sektor pertanian yang cukup besar karena lebih dari setengah luas atau 65,51% luas wilayah desa tersebut digunakan untuk sektor pertanian, penggunaan yang sangat luas tersebut membuat desa ini sangat memungkinkan untuk menerapkan sebuah inovasi, dalam hal ini pertanian sayuran organik. Penerapan inovasi di wilayah penelitian tentunya tidak akan terkendala luas lahan jika melihat sebaran penggunaan lahan di Desa Wukirsari.

5. Hidriologis

Desa Wukirsari dilalui oleh anak Sungai Kuning. Anak Sungai Kuning mengalir di sebelah timur Desa Wukirsari. Sungai ini selalu dialiri air dari musim penghujan hingga musim kemarau. Volume air pada Sungai Kuning akan semakin banyak pada musim penghujan dan akan berkurang pada musim kemarau. Sungai Kuning dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Wukirsari, tetapi ketika musim hujan tiba, aliran sungai Kuning banyak mengandung material dari letusan gunung Merapi sehingga justru merusak lahan pertanian petani.

Penduduk dari desa tersebut mendapatkan air untuk kebutuhan sehari -hari dengan membuat sumur gali. Air di Desa Wukirsari sangat mudah ditemukan dengan membuat sumur gali sedalam 3 – 7 meter. Air yang didapat sangat jernih dan melimpah karena daerah ini merupakan daerah dataran tinggi.


(50)

B. Keadaan Penduduk

1. Keadaan Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin

Struktur penduduk menurut kelompok umur dapat digambarkan menurut jenjang umur yang berhubungan dengan kehidupan produktif manusia. Kelompok umur produktif berada pada umur 15-64 tahun. Keadaan penduduk menurut umur di Desa Wukirsari dapat dilihat dari tabel 20.

Tabel 20. Distribusi Penduduk Menurut Umur di Desa Wukirsari Kelompok Umur

(Tahun)

Jumlah Penduduk

Jiwa (%)

< 16 16-65

> 65

2.143 6.975 1.526

20,13 65,53 14,34

Jumlah 10.644 100

Sumber : Data Monografi Desa Wukirsari Tahun 2015

Berdasarkan distribusi penduduk dari tabel 20 diketahui keadaan penduduk di Desa Wukirsari bahwa penduduk Desa Wukirsari sebagian besar berada pada tingkat umur antara 16 - 65 tahun. Jenjang umur tersebut termasuk dalam kelompok umur produktif. Jumlah penduduk umur produktif yang tinggi merupakan salah satu modal pembangunan pertanian, yaitu berkaitan dengan ketersediaan tenaga kerja produktif akan terpenuhi. Sedangkan jumlah penduduk menurut jenis kelamin dapat digunakan untuk mengetahui sex ratio di suatu wilayah.

Sex Ratio erat kaitannya dengan keberadaan laki-laki sebagai pemimpin keluarga. Laki-laki merupakan tenaga untuk melaksanakan pengembangan pertanian sayuran organik, lelaki di daerah pedesaan umumnya akan menjadi tulang punggung keluarga sehingga hal tersebut


(51)

membuat laki-laki mempunyai andil yang besar dalam hal menentukan mata pencaharian, hal tersbut menjadi sangat penting karena keputusan dalam menerapkan pertanian sayuran organik sangat erat kaitanya dengan posisi mata pencaharian dalam keluarga. Keadaan penduduk menurut jenis kelamin di Desa Wukirsari dapat dilihat pada tabel 21.

Tabel 21. Distribusi Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Desa Wukirsari No. Jenis Kelamin Jumlah Penduduk

Orang %

1. 2.

Laki-Laki Perempuan

5.244 5.400

49,2 50,8

Jumlah 10.644 100,0

Sumber : Data Monografi Desa Wukirsari 2015

Berdasarkan tabel 21 dapat diketahui bahwa jumlah penduduk perempuan di Wukirsari lebih banyak daripada penduduk laki-laki. Penduduk perempuan sebanyak 5.400 Jiwa (50,80%) dan penduduk laki-laki sebanyak 5.244 Jiwa (49,20%). Dengan melihat keadaan penduduk menurut jenis kelamin, Desa Wukirsari mempunyai perbandingan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan cukup berimbang.

Data jumlah penduduk laki-laki dan perempuan dapat digunakan untuk menghitung angka sex ratio yaitu perbandingan antara jumlah penduduk laki-laki dan perempuan dengan rumus :


(52)

Berdasarkan perhitungan diketahui bahwa angka sex ratio di Desa Wukirsari adalah 97,11 yang berarti tiap 100 penduduk perempuan terdapat kurang lebih 97 orang penduduk laki-laki. Angka tersebut menunjukkan bahwa di Desa Wukirsari jumlah penduduk laki-laki dan perempuan relatif seimbang.

2. Keadaan Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi pola pikir dan dapat mengarahkan seseorang dalam pengambilan keputusan yang lebih baik dan lebih menguntungkan bagi diri sendiri, masyarakat dan lingkungan. Keadaan penduduk menurut pendidikan di Desa Wukirsari dapat dilihat dari tabel 22. Tabel 22. Distribusi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Desa

Wukirsari

Tingkat Pendidikan Jumlah Penduduk

Orang %

Tidak Skolah / Tidak Tamat SD Belum Sekolah

Taman Kanak-Kanak Sekolah Dasar SMP / SLTP / MTs SMA / SMK / MA Akademi (D1, D2, D3) Sarjana (S1, S2, S3)

512 619 1.742 1.215 1.845 3.919 295 497 4,81 5,82 16,37 11,41 17,33 36,82 2,77 4,67

Jumlah 10.644 100

Sumber : Data Monografi Desa Wukirsari Tahun 2015

Tabel 22 menunjukkan bahwa penduduk Desa Wukirsari sebagian besar berada pada tingkat pendidikan SMA / SMK / MA (36,82%). Jumlah penduduk Desa Wukirsari yang mengenyam pendidikan sampai tingkat atas (lebih dari program pemerintah wajib belajar sembilan tahun) berdasarkan data pada tabel sudah cukup tinggi. Penduduk yang menyelesaikan


(53)

pendidikan dari sekolah menengah pertama sampai tingkat yang lebih atas sebesar 6.556 orang atau 61,59% dari jumlah penduduk yang ada. Hal ini menunjukkan tingkat pendidikan formal masyarakat Desa Wukirsari tergolong tinggi. Tingkat pendidikan yang tinggi mempengaruhi kemampuan berpikir dalam menganalisis suatu masalah. Penduduk Desa Wukirsari mempunyai tingkat pendidikan terbanyak di tingkat atas, dengan tingkat pendidikan tersebut penduduk Desa Wukirsari merupakan sumberdaya yang potensial, dan akan lebih terbuka dalam menerima hal-hal baru.

3. Keadaan Penduduk Menurut Mata Pencaharian

Keadaan mata pencaharian penduduk di suatu daerah dipengaruhi oleh sumberdaya yang tersedia dan keadaan sosial ekonomi. Keadaan penduduk menurut mana pencaharian di Desa Wukirsari dapat dilihat pada tabel 23. Tabel 23. Distribusi Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Desa Wukirsari

Tingkat Pendidikan Jumlah Penduduk

Orang %

Karyawan 1). PNS 2). TNI 3). Polri 4). Swasta Wiraswasta/pedagang Petani Pertukangan Buruh Tani Pensiunan Jasa 269 28 57 1.304 369 2.315 282 438 222 62 5,03 0,52 1,07 24,39 6,90 43,30 5,27 8,19 4,15 1,16

Jumlah 5.346 100


(54)

Mayoritas penduduk Desa Wukirsari bekerja di sektor pertanian. Banyaknya penduduk Desa Wukirsari yang bekerja di sektor pertanian salah satunya dipengaruhi oleh luasnya lahan pertanian di Desa Wukirsari. Ditambah dengan kondisi alam yang berada di lereng gunung Merapi sangat mendukung untuk berkembangnya sektor pertanian, seperti kesuburan tanah dan ketersediaan air. Hal ini juga tidak terlepas dari luas wilayahnya yang sebagian besar didominasi oleh sawah dan ladang yang membuat penduduknya lebih banyak bekerja sebagai petani.

Penduduk yang mempunyai mata pencaharian petani merupakan aset potensial untuk pengambangan sebuah inovasi dibidang pertanian, Desa Wukirsari sendiri merupakan desa yang potensial untuk pengembangan pertanian sayuran organik, karena selain wilayahnya yang strategis desa ini sendiri hampir setengah penduduknya mempunyai mata pencaharian di sektor pertanian.

C. Keadaan Sarana Ekonomi

Keadaan sarana ekonomi menjadi salah satu unsur penting dalam perkembangan inovasi pertanian sayuran organik. Karena sarana ekonomi yang lengkap akan membuat petani sebagai orang yang mengadopsi mendapatkan akses mudah untuk menjangkau sarana perekonomian, keadaan sarana perekonomian di Desa Wukirsari dapat dilihat pada tabel 24.


(55)

Tabel 24. Kelembaga Ekonomi di Desa Wukirsari

Lembaga Ekonomi Jumlah

Industri Kios Pasar

Swalayan / Supermarket Koperasi Simpan Pinjam Lumbung Desa

Usaha Ekonomi Desa

37 17 1 1 39 2 1 Sumber : Data Monografi Desa Wukirsari 2015

Keadaan prasarana perekonomian di Desa Wukirsari cukup memadai untuk menunjang kegiatan ekonomi masyarakatnya, termasuk sektor pertanian. Hal ini dapat dilihat dari kekuatan ekonomi yang ada di desa tersebut. Ketersediaan koperasi simpan pinjam membuat petani dimudahkan dalam akses permodalah. Petani Desa Wukirsari lebih menyukai koperasi bersifat plasma dibanding dengan koperasi yang menyediakan kredit modal dengan agunan. Sistem kredit bersifat plasma lebih disukai karena petani tidak mempunyai barang berharga untuk di agunkan kepada pemodal, petani lebih memilih diberikan kredit berupa saprodi dengan persyaratan petani diharukskan menyetorkan hasil panennya ke badan usaha bersangkutan. Tani Organik Merapi sebagai salah satu badan usaha dibidang pertanian memberlakukan persyaratan tersebut, Tani Organik Merapi memberikan kredit berupa sarana prodiksi berupa bibit, pupuk dan sebagiannya kepada petani anggota, lalu petani anggota akan menyetorkan hasil panen nya dengan harga yang telah disepakati diawal, hal ini lebih disukai petani karena walaupun petani akan merasa rugi ketika harga dari komoditas yang di tanam naik, tapi petani tidak akan benar benar rugi dari segi harga ketika harga turun dipasar karena harga sebelumya telah disepakati.


(56)

Adanya pasar di Desa wukirsari juga membuat petani lebih mudah memasarkan hasil panen nya. Jarak yang dekat antara pasar dan tempat tinggal petani membuat petani tidak perlu keluar daerah untuk memasarkan hasil panen, selain itu tersedianya pedagang atau wirausaha di daerah ini membuat petani mudah menjual hasil panen, pedagang atau penadah akan datang ketika petani panen untuk membeli hasil panen petani. Selain pedagang yang membeli adapula pedagang atau wirausaha yang menjual sarana produksi bagi petani di Desa Wukirsari. Sama dengan kemudahaan menjual, di Desa Wukirsari petani dapat kemudahaan dalam membeli sarana produksi karena mereka tidak perlu keluar daerah untuk membeli sarana yang diperlukan dalam kegiatan usahataninya. D. Keadaan Pertanian

Keadaan pertanian merupakan salah satu indikator pembangunan pertanian di suatu daerah. Komoditi yang dibudidayakan berbeda antara daerah satu dengan daerah lain. Hal ini dipengaruhi antara lain oleh kesuburan dan jenis tanah, iklim dan ketinggian tempat.

Padi masih menjadi komoditas utama yang dibudidayakan masyarakat petani di Desa Wukirsari. Sedangkan untuk komoditas paling sedikit dibudidayakan oleh mayarakat Desa Wukirsari adalah sawi, terong, dan buncis. Untuk produktivitas dari masing-masing komoditas, kacang tanah adalah komoditas yang paling besar produktivitasnya diikuti dengan padi. Untuk komoditas yang mempunyai produktivitas paling rendah adalah ketimun diikuti dengan ketela rambut yang mempunyai produktivitas rendah. Untuk Komoditas


(57)

pertanian dan luas tanam dalam pembudidayaannya di Desa Wukirsari dapat dilihat pada tabel 25.

Tabel 25. Produksi Tanaman Pangan dan Sayuran Desa Wukirsari Jenis Tanaman Luas Lahan

(Ha)

Produksi (Ton)

Produktivitas Lahan (Ton / Ha) Tanaman Pangan Padi Jagung Ketela Pohon Kacang Tanah Ketela Rambat Tanaman Buah Pisang Pepaya Jeruk Semangka Rambutan Anggur Salak Melon Tanaman Sayur Sawi Tomat Kacang Panjang Terong Buncis Lombok Ketimun 681,0 46,0 4,1 4,0 3,1 4,0 0,6 0,1 5,5 0,5 1 6,2 1 2 6 9 2 2 5 4 2.725 146 16 22 4 5,5 0,5 - 7,5 2 - 14,6 1,3 3 9 29 3 3 9 3 4,00 3,17 3,90 5,12 1,29 1,4 0,8 0,0 1,4 3,7 0,0 2,4 1,3 1,50 1,50 3,22 1,50 1,50 1,80 0,75 Sumber : Data Monografi Desa Wukirsari 2015

Produktivitas sayuran di Desa Wukirsari rata-rata sebesar 1,5 ton per hektar. Petani di daerah penelitian tidak sepanjang tahun menanam sayuran, tanaman padi sebagai bahan makanan pokok masih menjadi pilihan utama sebagian besar petani. berdasarkan tabel 25 dapat dilihat bahwa luas lahan untuk menanam padi sangat besar, begitu juga dengan produksi padi di Desa Wukirsari. Berbanding terbalik dengan luas tanam sayuran dan produksinya.


(58)

Tanaman sayuran hanya akan ditanam petani ketika adanya kelangkaan air untuk menanam padi, atau ketika lingkungan sekitar sedang memulai trend menanam sayuran, seperti halnya untuk menanam sayuran tertentu, petani lebih cendrung akan mengikuti pengaruh dari lingkungannya. Kedepannya potensi pertanian sayuran organik di Desa Wukirsari masih sangat besar, dengan memunculkan trend menanam sayuran organik didaerah penelitian makan petani didaerah ini akan cendrung untuk mengikutinya.


(59)

56 A. Keadaan Alam

1. Letak Geografis dan Batas-Batas Administrasi

Desa Wukirsari terletak di lereng gunung Merapi pada ketinggian dataran tinggi dan memiliki udara cukup sejuk. Suhu udara rata-rata di desa ini adalah 25 °C. Desa Wukirsari terletak pada koordinat 7°32’16”- 8°43’40” LS dan

110°14’00” - 110°33’00” BT. Musim kemarau berlangsung dari bulan Mei sampai dengan bulan September, sedangkan musim penghujan berlangsung dari bulan Oktober sampai dengan bulan April.

Gambar 2. Peta Desa Wukirsari

Secara administratif Desa Wukirsari merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Desa Wukirsari mempunyai orbitasi berupa jarak dari pusat


(1)

10

sayuran organik, karena semakin tinggi pendapatan yang diterima oleh petani dari dalam atau luar kegiatan usahatani maka akan berpengaruh pada tersedianya modal yang lebih besar. Hal ini kemudian menyebabkan adanya peluang petani menerapkan teknologi baru yang dianggap membutuhkan modal baru. Distribusi petani menurut pendapatan usaha taninya dapat dilihat dalam tabel 8.

Tabel 7. Distribusi Responden Menurut Pendapatan Usaha Tani di Desa Wukirsari. Kriteria

Rp .000/bln

Menerapkan Tidak

Menerapkan Total

Jiwa (%) Jiwa (%) Jiwa (%)

< 1,500 11 44 15 60 26 52

1,500 - 1,999 7 28 3 12 10 20

2,000 - 2,499 3 12 3 12 6 12

2,500 - 3,999 7 28 4 16 11 22

≥ 3,000 3 12 0 0 3 6

Total 25 100 25 100 50 100

Berdasarkan tabel 8 sebagian besar petani di Desa Wukirsari mempunyai pendapatan dari usaha tani dibawah 2 juta per bulan, rata-rata pendapatan petani di Desa Wukirsari adalah Rp 1.685.913. Untuk petani yang menerapkan pertanian sayuran organik mempunyai rata-rata pendapatan dari usaha taninya sebesar Rp. 2.028.711 atau berada pada interval 2.000.000 – 2.499.999, dan untuk petani yang tidak menerapkan mempunyai pendapatan rata-rata sebesar Rp. 1.343.114 atau berada pada interval < 1.500.000. Terlihat bahwa petani sayuran organik mempunyai pendapatan usaha tani yang lebih tinggi daripada petani yang tidak menerapkan sayuran organik. Hal ini terjadi karena pasar akan memberikan harga yang lebih tinggi pada produk pertanian organik dari sayuran non organik.


(2)

11

B. Analisis Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan Petani Dalam Penerapaan Pertanian Sayuran Organik.

Tabel 8. Hasil Analisi Variabel Independen

*Signifikan pada α 5%, **Signifikan pada α 10% 7E-06 = 0.0000069207441302203

Umur memiliki nilai koefisien yang negatif. Nilai negatif tersebut memiliki pengertian bahwa semakin tua umur petani maka petani memiliki kecendrungan untuk tidak menerapkan pertanian sayuran organik, sebaliknya semakin muda umur petani maka kecendrungan memilih pertanian organik semakin meningkat. Variabel umur tidak signifikan mempengaruhi pengambilan keputusan petani karena variabel umur memiliki P-value (0,167) lebih besar daripada nilai α (0,1).

Pendidikan memiliki nilai Koefisien variabel bernilai negatif. Hal ini memiliki pengertian bahwa petani yang mengenyam pendidikan lebih rendah memiliki kecendrungan untuk menerapkan pertanian sayuran organik. Variabel pendidikan memiliki nilai P-value (0,067) lebih kecil daripada nilai α (0,1), sehingga variabel pendidikan mempengaruhi pengambilan keputusan petani dalam penerapan pertanian sayuran organik. Nilai odds ratio pada variabel pendidikan adalah 0,073, hal ini berarti setiap adanya penurunan satu jenjang pendidikan, maka

Variabel Wald Sig. Exp(B)

X1 Umur - 0.097 1.911 0.167 0.908

X2 Pendidikan - 2.613** 3.354 0.067 0.073

X3 Pendapatan 7E-06* 5.475 0.019 1.000

X4 Luas Lahan - 0.002* 4.574 0.032 0.998

X5 Lingkungan Sosial 4.429* 4.556 0.033 83.842

X6 Lingkungan Ekonomi 4.574* 4.511 0.034 96.941


(3)

12

peluang petani untuk tidak menerapkan pertanian sayuran organik cendrung naik sebanyak 0,073 kali.

Pendapatan memiliki nilai koefisien yang positif (0.0000069207441). Hal ini memiliki pengertian bahwa semakin besar pendapatan yang diterima petani maka petani akan lebih memilih untuk menerapkan pertanian sayuran organik. Sesuai dengan dugaan awal bahwa semakin besar pendapatan yang terima petani, maka petani cenderung memutuskan untuk menerapkan pertanian sayuran organik. Variabel pendapatan ini signifikan mempengaruhi pengambilan keputusan petani dalam menerapkan pertanian sayuran organik karena variabel pendapatan memiliki P-value (0,019) lebih besar dari (0,10). Nilai odds ratio pada variabel pendapatan adalah 1,00, hal ini berarti setiap adanya penambahan satu rupiah pendapatan, maka peluang petani menerapkan pertanian organik semakin besar atau naik sebanyak 1,00 kali.

Luas Lahan memiliki koefisien dari variabel bernilai negatif (-0,002), angka tersebut memiliki pengertian bahwa semakin luas lahan yang dimiliki petani, maka petani akan lebih memilih untuk tidak menerapkan pertanian sayuran organik. Nilai odds ratio variabel luas lahan adalah 0,998, Hal ini berarti setiap adanya penambahan 1 m² luas lahan, maka peluang petani untuk tidak memilih sistem pertanian organik akan naik sebanyak 0,998 kali. Variabel luas lahan ini signifikan mempengaruhi pengambilan keputusan petani dalam menerapkan pertanian sayuran organik karena variabel luas lahan memiliki nilai P-value (0,032) lebih besar dari (0,10).


(4)

13

Lingkungan Sosial memiliki nilai koefisien yang positif (4,429). Hal ini memiliki pengertian bahwa semakin tinggi kategori lingkungan sosial maka petani akan lebih memilih untuk memutuskan menerapkan pertanian sayuran organik. Nilai odds ratio pada variabel lingkungan sosial adalah 83,842. Hal ini berarti setiap adanya kenaikan satu kategori lingkungan sosial, maka peluang petani menerapkan pertanian organik semakin besar atau naik sebanyak 83,842 kali. Variabel lingkungan Sosial signifikan mempengaruhi pengambilan keputusan petani dalam keputusan untuk menerapkan pertanian sayuran organik karena variabel lingkungan sosial memiliki P-value (0,033) lebih kecil dari (0,10).

Lingkungan Ekonomi memiliki nilai koefisien yang positif (4,574) angka tersebut menunjukan bahwa semakin tinggi kategori lingkungan ekonomi maka petani akan lebih memilih untuk menerapkan pertanian sayuran organik. Pernyataan ini sesuai dengan dugaan awal bahwa semakin besar keuntungan ekonomi yang terima petani dari lingkungannya, maka petani cenderung memutuskan untuk menerapkan pertanian sayuran organik. Variabel lingkungan ekonomi ini signifikan mempengaruhi pengambilan keputusan petani dalam menerapkan pertanian sayuran organik karena variabel lingkungan ekonomi memiliki P-value (0,034) lebih kecil dari (0,10). Nilai odds ratio pada variabel lingkungan ekonomi adalah 96,941, hal ini berarti setiap adanya kenaikan satu kategori lingkungan ekonomi, maka peluang petani menerapkan pertanian organik semakin besar atau naik sebanyak 96,941 kali

Sifat Inovasi memiliki nilai koefisien yang positif. Angka tersebut memiliki pengertian bahwa semakin tinggi kategori sifat inovasi, maka petani akan cenderung tidak memilih untuk menerapkan pertanian sayuran organik. Variabel


(5)

14

sifat inovasi tidak signifikan mempengaruhi pengambilan keputusan petani dalam menerapkan pertanian sayuran organik karena variabel sifat inovasi memiliki P-value (0,526) lebih besar dari (0,10).

IV. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan

Petani sayuran organik di Desa Wukirsari banyak yang lebih muda dibanding petani sayurann non organik. Kebanyakan petani baik organik maupun non organik berpendidikan sekolah menengah atas. Petani sayuran organik mempunyai pendapatan yang lebih tinggi dibanding petani sayuran non organik dan petani sayuran organik secara rata-rata mempunyai luas lahan lebih luas dari petani sayuran non organik. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keputusan petani dalam penerapan pertanian sayuran organik adalah Pendapatan, Pendidikan, Luas Lahan, Lingkungan Sosial, dan Lingkungan Ekonomi. Sedangkan untuk faktor Umur, dan Sifat Inovasi tidak mempengaruhi petani terhadap pengambilan keputusan dalam menerapkan pertanian sayuran organik.

2. Saran

Dukungan dan bantuan dari berbagai elemen masyarakat juga diperlukan agar petani menjadi lebih tertarik untuk membudidayakan sayuran organik. Adanya pasar dan harga yang pasti untuk sayuran organik dapat mendorong lebih banyak petani untuk menerapkan pertanian sayuran organik. Sehingga diharapkan kelompok tani lebih berperan dalam menyediakan pasar yang bisa memberikan kepastian harga melalui bentuk kerjasama dengan pasar modern.


(6)

15

DAFTAR PUSTAKA

Badan Standardisasi Nasional (BSN). 2002. Sistem Pangan Organik . Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6729-2002. Jakarta.

Everett M, Rogers. 2003. Diffusion of Innovation. 5th Edition. Free Press, New York

IFOAM, 2005. Prinsip-Prinsip Pertanian Organik (terjemahan). International Federations of Organic Agriculture Movements. Bonn, Germany.

Mardikanto, Totok. 2009. Sistem Penyuluhan Pertanian. Sebelas Maret University Press, Surakarta

Mardikanto, Totok; E. Lestari; A. Sudrajat; E.S; Rahayu; R. Setyowati; Supanggyo. 1996. Penyuluhan Pembangunan Kehutanan. Pusat Penyuluhan Kehutanan Departemen Kehutanan RI bekerjasama dengan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret (UNS), Jakarta.

Nazir. 2011. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia, Bogor.

Soekartawi. 2005. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. UI Press. Jakarta.

Widi, Lisana. 2008.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan Petani dalam Penerapan Pertanian Padi Organik di Desa Sukorejo Kecamatan Sambirejo Kabupaten Sragen.Agritex (Online). 1 (4) 7 Halaman. http://fp.uns.ac.id/jurnal/Agritx-4.pdf. [diakses 20 Desember 2015].