cm cm detik detik detik detik

a b Gambar 38 Kurva kapilarisasi model matematika dan percobaan minyak tanah a dan minyak jarak pagar b. Seperti disebutkan di atas, kecepatan naiknya minyak sepanjang sumbu dipengaruhi oleh beberapa parameter seperti kekentalan, tegangan permukaan, porositas, dan tortousity. Untuk melihat pengaruh faktor tersebut pada kecepatan naiknya minyak sepanjang sumbu, dengan menggunakan persamaan model matematika kapilarisasi minyak tanah, suhu 30 o C, pada setiap perubahan parameter tersebut adalah Pengaruh Kekentalan Dari Gambar 39 tampak kekentalan memberikan pengaruh yang cukup signifikan. Gambar 39 Pengaruh kekentalan terhadap kapilarisasi minyak. 2 4 6 8 10 12 2 4 6 tingg i p e rg e rakan kap il e

r, c

m waktu, menit percobaan model 2 4 6 8 10 12 20 40 60 tingg i p e rg e rakan kap il e

r, cm

waktu, menit percobaan model 2 4 6 8 10 12 15 30 45 ke tingg ian p e rg e rakan kap il e r, c m waktu,menit t perc0,0148 kekentalan 0,02 mm2dtk kekentalan 0,2 mm2dtk kekentalan 0,005 mm2dtk Pada angka kekentalan yang sangat tinggi kurva mempunyai bentuk dengan kecenderungan yang melebar dan menjauh dari kurva hasil percobaan atau dengan kata lain fluida yang memiliki kekentalan tinggi, kapilarisasinya sangat lambat. Dengan bertambah besarnya kekentalan kemampuan minyak untuk naik ke atas menjadi sangat kecil. Hal ini menunjukkan dengan jelas bahwa kekentalan sangat berpengaruh terhadap sifat kapilaritas minyak pada sumbu. Pengaruh Porositas Porositas merupakan parameter yang dapat menggambarkan jumlah pori pada suatu media berpori yang secara langsung dapat menunjukkan ukuran pori dan sekaligus dapat menjelaskan kemudahan untuk fluida mengalir. Dari Gambar 40, tampak pada perbedaan angka porositas, kurva tidak menunjukkan penyimpangan yang besar. Kecenderungan bentuk kurva sangat mirip dan saling mendekat. Hal ini menunjukkan bahwa porositas tidak memberikan pengaruh yang besar pada sifat kapilaritas minyak pada sumbu. Gambar 40 Pengaruh porositas terhadap kapilarisasi minyak. Pengaruh Tegangan Permukaan Tegangan permukaan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap sifat kapilaritas minyak pada sumbu. Pada nilai tegangan permukaan yang sangat besar, kurva sangat landai dan menjauh dari kurva percobaan seperti diperlihatkan pada Gambar 41. 2 4 6 8 10 12 1 2 3 4 5 ke tingg ian p e rg e rakan kap il e

r, c

m waktu, menit t perc 0,6 por. 0,7 por. 0,2 por. 0,5 Gambar 41 Pengaruh tegangan permukaan terhadap kapilarisasi minyak. Pengaruh Tortuosity Angka tortuosity merupakan perbandingan jarak atau panjang lintasan yang ditempuh sebenarnya oleh fluida sepanjang sumbu dibandingkan panjang sumbu itu sendiri. Dari Gambar 42 terlihat bahwa parameter tortuosity memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap kapilarisasi minyak pada sumbu Gambar 42 Pengaruh tortuosity terhadap kapilarisasi minyak. Kesimpulan Dari rangkaian pengujian sifat kapilaritas minyak nabati pada sumbu kompor dapat disimpulkan bahwa 1. Suhu berpengaruh terhadap kecepatan naiknya minyak nabati sepanjang sumbu kompor. Semakin tinggi suhu minyak nabati maka akan semakin cepat 2 4 6 8 10 12 2 4 6 8 10 ke tingg ian p e rg e rakan kap il e r, c m waktu, menit t perc28,45 teg.perm. 28 gdtk2 2 4 6 8 10 12 5 10 15 20 25 30 ke tingg ian p e rg e rakan kap il e r, c m waktu, menit t perc1. tort. 1 tort. 2 tort. 5 minyak naik sepanjang sumbu. Minyak yang mempunyai kecepatan kapilarisasi tercepat pada ketinggian yang sama, 5 cm adalah minyak kelapa disusul minyak jarak pagar, minyak kacang tanah, minyak bintaro dan minyak jelantah berturut-turut 27,30; 27,47; 36,54; 37,30; dan 54,83 cmmenit, 2. Komposisi penyusun sumbu memberikan pengaruh besar terhadap kecepatan kapilarisasi. Sumbu 1 yang berbahan campuran poliester dan katun dengan angka porositas lebih besar dari sumbu 2 memberikan kecepatan naiknya minyak sepanjang sumbu lebih cepat. 3. Bentuk model matematika yang diuji memberikan bentuk kurva secara umum hampir sama dengan kurva dari data percobaan, yaitu 4 PENGUJIAN KEMAMPUAN NYALA Pendahuluan Program-program konservasi dan diversifikasi energi, seperti gasohol, minyak nabati, dan lain-lain telah dilakukan secara intensif. Kehadiran teknologi fast pyrolysis yang mampu menghasilkan bio oil sebesar 70 dari berat biomassa merupakan terobosan baru yang mampu mengatasi kendala di atas dan prospek yang cerah dalam pemanfaatan biomassa Chamidy 2003. Bio oil memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan bahan bakar fosil, diantaranya adalah lebih murah untuk ditransportasikan dan kerapatan energi volume bio oil sebesar 20 GJm³ sedangkan biomassa hanya 4 GJm³, sehingga sangat memungkinkan sekali untuk memanfaatkan bio oil sebagai pengganti bahan bakar fosil terutama minyak tanah Chamidy 2003. Kelemahan utama dari minyak ini sebagai pengganti bahan bakar fosil adalah sifat fisik yang masih rendah dan lebih sulit untuk dinyalakan dibakar dibandingkan dengan bahan bakar minyak tanah dan lambatnya kecepatan naik minyak sepanjang sumbu untuk siap terbakar. Reksowardojo 2008 pernah mencoba memodifikasi kompor tekan yang awalnya untuk minyak tanah. Hasilnya menunjukkan bahwa untuk penyalaan awal memang lebih lama dibandingkan jika menggunakan minyak tanah. Hal ini diakibatkan karena titik bakar minyak jarak lebih tinggi dibandingkan minyak tanah. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dalam penelitian ini dilakukan pengujian kemampuan nyala untuk melihat minyak nabati dapat terbakar atau tidak dalam kaitannya sebagai bahan bakar dalam kompor sumbu. Bahan Bakar Bahan bakar adalah zat atau materi yang apabila dibakar dapat menyebabkan dan melangsungkan proses pembakaran http:ms.wikipedia.org Pembakaran. Pada umumnya bahan bakar yang dipergunakan secara komersial sampai saat ini adalah baik dalam fasa padat, cair maupun gas memanfaatkan senyawa organik hidrokarbon yang berasal dari minyak bumi, batubara, biomassa ataupun minyak dari biji-bijian. Sifat fisika dan kimia bahan bakar sangat bervariasi dan hal ini memberikan pengaruh yang penting terhadap karakteristik nyala. Dalam menentukan suatu senyawa atau minyak dapat dipergunakan sebagai bahan bakar adalah memiliki titik nyala yang cukup rendah dengan nilai kalor yang sangat tinggi Kuo K.K 1986. Bentuk bahan bakar yang umum dikenal adalah bahan bakar padat, termasuk batu bara dan kayu, bahan bakar cair tersusun dari senyawa-senyawa hidrokarbon cair, sedikit mengandung S dan N, misalnya minyak tanah yang dipergunakan untuk kompor dan lampu penerangan. Sedangkan bahan bakar gas merupakan bahan bakar yang sekarang memiliki potensi besar, misalnya gas hidrogen Strehlow 1985. Bahan bakar cair dapat digolongkan berdasarkan suhu titik nyala dan tekanan uapnya, seperti golongan pertama adalah bahan bakar cair yang mudah menyala dengan titik nyala dibawah 37,8 o C dan dan titik didih tidak lebih dari 37,8 o C, golongan kedua bahan bakar cair mudah terbakar dengan titik nyala sama atau diatas 37,8 o C. Titik nyala adalah suatu angka yang menyatakan suhu terendah dari bahan bakar minyak dimana akan timbul penyalaan api sesaat, apabila pada permukaan minyak tersebut didekatkan pada nyala api Reksowardojo 2008. Teori Pembakaran Pembakaran didefinisikan sebagai suatu proses pembentukan cahaya api dan panas akibat kombinasi kimia walaupun secara umum pembakaran dikenal sebagai suatu proses reaksi kimia antar bahan bakar dan oksidator dalam hal ini oksigen yang melibatkan pelepasan energi panas Strehlow 1985. Terdapat dua aspek penting dalam termodinamika kimia pembakaran, yaitu : pertama, stoikiometri pembakaran, dalam stoikiometri kimia pembakaran, hal yang diinginkan adalah untuk mengetahui secara tepat atau secara stoikiometri jumlah udara yang harus dipergunakan untuk mengoksidasi bahan bakar. Jika udara yang masuk lebih besar dari jumlah stoikiometrinya, campuran ini disebut dengan fuel-lean, apabila lebih sedikit dari stoikiometri, campuran ini disebut fuel-rich. Perbandingan stoikiometri udara-bahan bakar ditetapkan dengan menulis neraca massa atom dengan asusmi bahwa bahan bakar bereaksi secara sempurna. Oksigen yang dipergunakan dalam kebanyakan proses pembakaran berasal dari udara yang umumnya tersusun atas 21 oksigen dan 79 nitrogen volume, sehingga untuk setiap mol oksigen dalam udara terdapat 0,790,21 mol N 2 atau 3,76 mol nitrogen. Untuk bahan bakar hidrokarbon C x H y Kuo K.K 1986. CxHy + aO2 + 3,76N2  x CO2 + y2 H2O + 3,76 aN2 dimana a = x + y4. Sering ditemui permasalahan untuk mendapatkan pencampuran bahan bakar dengan udara yang diberikan. Dengan demikian udara diberikan dalam jumlah berlebih untuk memastikan terjadinya pembakaran secara sempurna, dikenal dengan istilah udara berlebih excess air, dimana reaksinya dapat ditulis sebagai C x H y + a O 2 + 3,76N 2  x CO 2 + y2 H 2 O +a 5 O 2 + 3,76 aN 2 dimana a = x + y4 dan a 5 = a1-  Kedua, hukum termodinamika 1, besarnya energi yang dilepaskan pada saat reaksi pembakaran terjadi disebut dengan panas pembakaran. Besarnya panas pembakaran ini sangat tergantung dari jenis bahan bakar yang dipergunakan dan kondisi proses, isobar, isothermal atau isovol. Secara umum panas pembakaran suatu reaksi pembakaran dinyatakan dalam panas entalpi, H, dengan satuan kJkg atau kJmol. Dalam termofluida, panas pembakaran didefinisikan sebagai panas yang dilepaskan per satuan massa bahan bakar jika stoikiometrik reaktan bahan bakar + udara terbakar dimana reaktan dan produk atau hasil reaksi berada pada pada suhu 298,15K dan tekanan 1 atm Kuo K.K 1986. Menurut Turn.R.S 1996, kekentalan minyak bakar akan mempengaruhi panjang lidah api flame length, L f , sudut api angle of flame, , dan panas api yang dilepas heat realese serta kecepatan api flame speed. Semakin tinggi angka kekentalan minyak tersebut maka panjang lidah api akan semakin panjang, sudut semakin terendah, kecepatan api rendah, dan pelepasan panasnya kecil sehingga penurunan kekentalan minyak diperlukan. Berdasarkan teori pembakaran, bahan bakar yang mengalir sepanjang sumbu nyala api menyebar secara radial keluar, sementara itu udara sebagai oksidator terhisap ke dalam. Ketika bahan bakar dan oksidator bertemu dalam keseimbangan stoikiometrik stoichiometric equilibrium akan terbentuk permukaan api flame surface, dengan demikian permukaan api dapat didefiniskan sebagai titik dimana nilai equivalence ratio sama dengan satu. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa api berada dalam bentuk laminer yang secara sederhana struktur penyebaran api laminer ditampilkan pada Gambar 43 Turn.R.S 1996. Dengan demikian penurunan kekentalan minyak nabati yang dipergunakan sebagai bahan bakar diperlukan tidak hanya karena masalah aliran fluida kental, tetapi akan membutuhkan tekanan yang lebih besar dibandingkan dengan fluida dengan kekentalan rendah. Gambar 43 Struktur penyebaran api laminer Turns R.S 1996. Tujuan Penelitian Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mendapatkan data lama api menyala dan tinggi nyala. Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Pengujian kemampuan nyala minyak nabati dilakukan di Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Departemen Teknik Pertanian IPB dan Laboratorium Kimia Dasar Program Studi Teknik Kimia. Waktu penelitian dimulai bulan Maret 2009 sampai Juli 2009. Bahan Bahan yang dipergunakan dalam percobaan ini adalah sumbu kompor, minyak kelapa, minyak kacang tanah, minyak bintaro, minyak jelantah dan minyak jarak pagar serta campuran minyak tersebut dengan minyak tanah dan korek api. Alat Peralatan yang dipergunakan untuk melakukan pengujian kemampuan nyala adalah gelas kimia, kolom kaca atau selongsong aluminium untuk tempat sumbu, statif dan penjepit sebagai alat pemegang sumbu kompor, dan alat penghitung waktu digital. Prosedur Percobaan Percobaan diawali dengan memasang sumbu pada kolom gelas atau selongsong aluminium sepanjang 10-15 cm. Selongsong selanjutnya dimasukkan ke dalam gelas ukur yang telah diisi dengan minyak uji pada posisi sumbu terendaam sekitar 5 cm dan selongsong dipasang pada statif. Setelah sekitar lima menit, sumbu dinyalakan, diamati warna dan tinggi nyala serta penghitungan lama nyala dimulai seperti ditampilkan pada Gambar 44. Panjang sumbu yang terbakar diukur dan konsumsi minyak diketahui dengan penimbangan minyak awal dan akhir. Gambar 44 Skema uji kemampuan nyala. Hasil dan Pembahasan Pengaruh Jenis Minyak Terhadap Kemampuan Nyala Hasil pengujian kemampuan menyala sebagai fungsi jenis minyak uji pada jenis sumbu 1 ditampilkan pada Tabel 4. Lama nyala merupakan lamanya api bertahan tetap hidup, sedangkan tinggi nyala diukur dengan mempergunakan penggaris dengan melihat tinggi rata-rata yang dicapai oleh lidah api. Dari Tabel 4 untuk sumbu yang dipergunakan jenis 1, tampak bahwa jenis yang dipergunakan memberikan karakteristik nyala yang cukup berbeda. Minyak nabati khususnya untuk minyak bintaro, minyak jelantah, minyak kacang tanah, dan minyak jarak pagar hanya mampu bertahan selama 5-8 menit, selanjutnya api mengecil dan mati, sedangkan untuk minyak kelapa 12 menit dan minyak tanah mampu mencapai hampir 62 menit sampai minyak habis dan mati. Hal ini diakibatkan oleh besarnya kekentalan minyak nabati dibandingkan dengan minyak tanah, sehingga kemampuan minyak nabati untuk naik ke bagian atas sumbu dimana penyalaan terjadi sangat lambat, akibatnya api mati sebelum minyak nabati sampai di bagian atas sumbu. Selain itu, titik bakar minyak nabati memang hampir lima puluh kali lebih tinggi dari titik bakar minyak tanah. Tabel 4. Pengujian kemampuan menyala minyak pada sumbu 1. Jenis Minyak Lama Nyala menit Tinggi Nyala cm Jelaga MT 62 20 ya MK 12 10 tidak MJP 8 7 tidak MKT 5 8 tidak MB 5 6 tidak MJ 5 6 tidak MT+MK 60 15 tidak MT+MKT 39 14 tidak MT +MB 34 14 tidak MT+MJ 34 14 tidak MT +MJP 34 13 tidak Keterangan : MT : Minyak Tanah, MK : Minyak Kelapa, MKT : Minyak Kacang Tanah, MB : Minyak Bintaro, MJ : Minyak jelantah, MJP : Minyak Jarak Pagar Sedangkan kemampuan menyala untuk campuran minyak nabati dengan minyak tanah tampak lebih baik. Waktu yang dicapai seluruh campuran hampir mencapai 30 sampai 60 menit. Pada pengujian kemapuan menyala, warna dan ketinggian nyala untuk minyak tanah dan minyak nabati jenis minyak diperlihatkan pada Gambar 45. Tampak bahwa warna api untuk minyak nabati hampir tidak berjelaga, sedangkan untuk minyak tanah menghasilkan jelaga yang berwarna hitam. a b Gambar 45 Warna lidah api minyak tanah a dan minyak nabati b. Pengaruh Jenis Sumbu Terhadap Kemampuan Nyala Jenis sumbu yang dipergunakan adalah dua sumbu kompor yang berbeda yang umum dijual di pasar dan dipergunakan oleh masyarakat pemakai kompor. Untuk jenis sumbu 1, komposisi jenis serat penyusunnya adalah terdiri dari kapas atau katun 33 dan poliester 67, sedangkan sumbu jenis 2 hampir seluruhnya tersusun atas serat kapas atau katun seperti tampak pada Gambar 46. a b Gambar 46 Sumbu kompor jenis 1 a dan jenis 2 b. Lama minyak tanah tetap menyala berlangsung sampai minyak tanah dalam bejana habis, sedangkan untuk minyak nabati kemampuan nyala bertahan hanya mencapai 5 sampai 40 menit seperti ditampilkan pada Gambar 47. Gambar 47 Pengaruh sumbu terhadap kemampuan nyala minyak. Secara keseluruhan fenomena kemampuan minyak nabati pada sumbu jenis 1 maupun jenis 2 mempunyai kecenderungan yang hampir sama. Minyak nabati tidak mampu bertahan lama dengan panjang lidah api yang pendek, hanya mencapai 6 - 10 cm. Tetapi untuk campurannya, panjang lidah api mencapai 11- 15 cm. Sifat katun adalah mudah terbakar dan habis sedangkan poliester mampu menahan nyala lebih lama Kampmann BGoldman R.F 2007. Pengaruh jenis sumbu pada ketinggian nyala memberikan perbedaan yang cukup besar seperti tampak pada Gambar 48, tetapi tidak memberikan warna nyala yang berbeda. a b Gambar 48 Tinggi lidah api pada sumbu 1 a dan sumbu 2 b. 10 20 30 40 50 60 70 Sumbu 1 Sumbu 2 Sumbu 1 Sumbu 2 Lama Nyala menit Tinggi Nyala cm MT MK MJP MB MJ MKT MT+MK MT+MJP Kesimpulan Dari hasil pengamatan, pengumpulan dan pengolah data dapat disimpulkan bahwa sumbu jenis 2 mempunyai kemampuan menyala lebih mudah tetapi sumbu jenis 1 lebih mampu mempertahankan nyala lebih lama. Lama api menyala untuk minyak kelapa berlangsung sampai 13 menit, disusul minyak jarak pagar mencapai 9 menit sedangkan untuk minyak bintaro, minyak jelantah dan minyak kacang tanah hanya bertahan selama 5 menit. Tinggi nyala api minyak kelapa mencapai 8 cm, minyak jarak pagar 8 cm sedangkan minyak bintaro, minyak kacang tanah dan minyak jelantah mencapai 6-7 cm. 5 MODIFIKASI DISAIN KOMPOR SUMBU Pendahuluan Pada beberapa tahun belakang antrian penduduk untuk membeli dan memperoleh beberapa liter minyak tanah, makin sering mengisi berita media massa. Hal ini dipicu oleh program pemerintah melakukan konversi minyak tanah ke gas dalam rangka mengurangi biaya subsidi terhadap minyak tanah. Nuryanti Herdine 2007 . Disisi lain, pemerintah mulai melakukan kajian untuk mengkonversi minyak tanah menjadi bahan bakar avtur untuk pesawat terbang Wahyuni D.N 2009. Menyikapi hal tersebut, pemerintah melalui departemen dalam negeri melakukan program desa mandiri energi berbasis nabati dan non nabati, yang berarti 60 persen dari kebutuhan energinya dipenuhi oleh sumber bahan bakar setempat terutama dari energi terbarukan. Pemerintah mentargetkan ada 2 000 desa mandiri energi hingga tahun 2010 Dirjen PMD 2008. Pada saat ini baru jenis kompor bertekanan yang sudah dapat dioperasikan dengan minyak nabati dengan beberapa modifikasi terutama pada bagian pengabutan bahan bakar sebelum masuk ke ruang bakar Rahmat 2007 . Penelitian untuk kompor sumbu masih terus dikembangkan. Dengan sifat fisikokimia minyak yang jauh berbeda, kompor sumbu terus diupayakan dimodifikasi agar dapat dipergunakan untuk memasak dengan bahan bakar minyak nabati. Perkembangan Kompor Minyak Nabati Dalam rangka menunjang program Pemerintah tentang desa mandiri, khususnya pada penyediaan bahan bakar sebagai sumber energi dari energi terbarukan diperlukan teknologi yang tepat guna yang mudah dioperasikan oleh semua lapisan pengguna. Sehubungan dengan itu pada saat ini telah ada dan sedang dalam penelitian untuk membuat kompor berbahan bakar minyak nabati. Kompor yang dikembangkan pada saat ini umumnya adalah kompor bertekanan atau yang lebih dikenal dimasyarakat adalah kompor mawar atau semawar, sedangkan pengguna kompor sumbu jumlahnya di Indonesia cukup besar terutama dibeberapa daerah yang jauh dari kota. Pada pemakainnya dalam rumah tangga dan industri sekala kecil, minyak tanah dipakai sebagai bahan bakar untuk kompor baik kompor sumbu maupun kompor bertekanan. Pada kompor sumbu, minyak tanah bekerja akibat gaya kapilaritas terhadap sumbu. Penyalaan terjadi pada bagian ujung sumbu. Sedangkan pada kompor bertekanan penyalaan disebabkan oleh perubahan fisik minyak tanah akibat besarnya tekanan yang diberikan. Minyak tanah dirubah menjadi bentuk butiran halus uap dengan alat nosel dan terbakar pada bagian penyalaan Rahmat 2007. Beberapa kompor yang sudah ada adalah kompor yang dikenal dengan nama kompor protos seperti tampak pada Gambar 49. Kompor ini dirancang oleh Universitas Hohenheim dan sudah diadopsi oleh BSH Jerman dengan nama Protos. Kompor ini memakai sistem tekanan udara pompa untuk mengalirkan CJO. Kompor ini sedang diuji penggunaannya oleh Puslitbang Perkebunan yang dapat memakai minyak jarak kasar CJO, crude jatropha oil sebagai bahan bakar. Percobaan di Laboratorium Bioenergi Puslitbang Perkebunan menunjukkan bahwa kompor ini mengkonsumsi bahan bakar sebanyak 0,275 liter per jam atau 0,6 liter minyak CJO setara dengan pemakaian satu liter minyak tanah dengan kompor minyak tanah biasa. Dengan demikian konsumsi rumah tangga yang rata- rata memakai 6-7 liter minyak tanah per minggu dapat ditekan menjadi 3,6 – 4,2 liter CJO per minggu Prastowo 2007. Gambar 49 Kompor protos. Kompor rancangan Institut Teknologi Bandung pada dasarnya memiliki prinsip yang sama dengan kompor Semawar. Seperti tampak pada Gambar 50, bedanya, terdapat kumparan pipa untuk menambah waktu pemanasan bahan bakar sebelum keluar melalui nosel. Bahan bakar harus melalui kumparan pipa penyalur sebelum sampai ke nosel. Reksowardojo et al. 2006 pernah mencoba memodifikasi kompor tekan yang awalnya untuk minyak tanah. Hasilnya menunjukkan bahwa untuk penyalaan awal memang lebih lama dibandingkan jika menggunakan minyak tanah Prastowo 2007. Gambar 50 Kompor rancangan ITB . Jenis kompor lain yang dikembangkan oleh Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang adalah jenis kompor yang langsung menggunakan bahan biji jarak pagar, sudah banyak ditemui di Bandung dan Nusa Tenggara Barat, yang selanjutnya dilakukan modifikasi dengan ukuran yang lebih pendek, dan sarangan api dibentuk kerucut, hasil nyala yang didapat lebih biru dan lebih panas. Kompor yang tampak pada Gambar 51 ini mampu mendidihkan 1 liter air dalam waktu 11 menit. Penggunakan biji jaraknya juga terbilang efisien, 1 ons biji jarak, dapat menyalakan api selama 30 menit. Dalam pengoperasiannya, pasta yang ada di tangki ditekan ke atas dengan komponen penekan, sehingga pasta keluar melalui lubang-lubang saluran sumbu kompor. Pasta akan keluar sedikit demi sedikit menyerupai sumbu kompor minyak tanah. Ujung pasta yang keluar kemudian dibakar. Dalam periode tertentu ujung pasta yang terbakar akan habis, sehingga pasta yang ada di tangki perlu ditekan kembali untuk melanjutkan proses pembakaran Prastowo 2007. Gambar 51 Kompor berbahan bakar pasta biji jarak. Kompor Hanjuang seperti tampak pada Gambar 52 dibuat oleh pengrajin kompor di Cihanjuang, Jawa Barat, senggunakan bahan bakar dari biji jarak pagar. Pada awal pembakaran diperlukan minyak tanah atau bahan bakar lainnya untuk memicu pembakaran biji jarak pagar Prastowo 2007. Gambar 52 Kompor hanjuang. Sedangkan untuk kompor sumbu, pada saat ini belum ada data publikasi yang secara jelas menggambarkan sampai sejauh mana perkembangannya. Kompor sumbu Gambar 53 berbahan minyak jarak sedang dikembangkan di Balitas Malang, sampai sejauh ini belum terpublikasi kelemahan dan kelebihan dari kompor dengan konsumsi bahan bakar 0,225 liter per jam tersebut Hastomo 2008. Gambar 53 Kompor sumbu minyak jarak. Sehubungan dengan itu maka dalam penelitian ini akan dilakukan modifikasi sederhana berdasarkan hasil pengujian sifat termofisik minyak, pengujian kemampuan nyala dan sifat kapilaritas. Tujuan Penelitian Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mendapatkan kompor sumbu yang memberikan kenaikkan suhu minyak yang paling tinggi. Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Proses modifikasi dilakukan di Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Departemen Teknik Pertanian IPB. Waktu penelitian dimulai bulan Mei 2008 sampai Agustus 2009. Bahan Bahan yang dipergunakan dalam percobaan ini adalah kompor konvensional, minyak uji, dan batang logam. Alat Peralatan yang dipergunakan termokopel tipe T jenis CC, pencatat suhu jenis hybrid recorder Yokogawa, pemotong logam, mesin las, dan perkakas bengkel lainnya. Prosedur Percobaan Modifikasi kompor dilakukan berdasarkan hasil analisis pengujian kapilarisasi dan kemampuan nyala. Dua jenis modifikasi yang dilakukan, yaitu pemasangan alat pemindah panas dari logam penghantar panas dan dibentuk menyerupai huruf U yang dipasang secara terbalik. Pemasangan dimulai dari permukaan ruang bakar dan bagian ujungnya dimasukkan ke dalam tangki minyak sehingga sekitar 2-4 cm logam tercelup dalam minyak. Modifikasi kedua adalah pemotongan tinggi kolom sumbu. Bagian kolom sumbu dipotong sehingga tinggi kolom menjadi 2-3 cm, termasuk ring distribusi udara dan ring penyangga menyesuaikan dengan ketinggian kolom sumbu. Pengujian dilanjutkan untuk melihat kenaikkan suhu minyak. Termokopel setelah dikalibrasi metode oil bath dipasang pada dinding luar panci, tercelup dalam minyak, dan di dinding luar tangki minyak. Pencatatan suhu dengan hybrid recorder dilakukan setiap dua menit. Hasil dan Pembahasan Modifikasi dilakukan terhadap disain kompor yang ada dipasar. Modifikasi berdasarkan pada : 1. Hasil uji nyala. Pada ketinggian kolom sumbu 7 cm kondisi yang dapat merepresentasikan kompor konvensional, minyak nabati tidak memberikan kemampuan nyala dalam waktu yang cukup lama, hanya berlangsung selama 5-12 menit. 2. Hasil uji sifat kapilaritas. Kecepatan naiknya minyak nabati sangat lambat sekali mencapai 150 menit sehingga pembakaran tidak berlangsung secara kontinyu karena suplay bahan bakar lambat. Tetapi pada ketinggian dibawah 4 cm, kecepatan naiknya minyak nabati masih cepat, di bawah 20 menit, dan sifat kapilaritas minyak dapat diperbaiki dengan menaikkan suhu minyak. Dalam modifikasi diarahkan pada usaha untuk menaikkan suhu minyak. Dengan memanfaatkan panas pembakaran yang ada dipermukaan ruang bakar, panas akan dirambatkan ke tangki minyak. Perambatan panas ini dilakukan dengan dengan pemasangan pemindah panas yang terbuat dari logam yang bersifat penghantar panas.Selain itu, dilakukan pemotongan tinggi kolom sumbu agar kecepatan naiknya minyak menjadi lebih cepat. Modifikasi Penambahan Pemindah Panas Modifikasi kompor dengan pemasangan alat pemindah panas ditujukan untuk menaikkan suhu minyak yang didasarkan pada hasil analasis spesifikasi pengaruh suhu terhadap kekentalan minyak dan data kapilarisasi minyak pada berbagai suhu. Jenis pemindah dipilih dengan melakukan proses optimasi terhadap besarnya angka konduktivitas panas yang paling kecil yang memungkinkan suhu minyak naik. Pada suhu yang lebih tinggi daya kapilarisasinya semakin kecil, sehingga minyak lebih mudah naik dan pembakaran dapat berlangsung. Untuk mencapai kondisi tersebut dilakukan dengan sebuah alat pemindah panas sederhana yang dipasang melintang pada permukaan ruang dan tercelup pada minyak. Bentuk pemindah panas berbentuk U, diupayakan bagian tengahnya berada pada permukaan ruang bakar dibagian atas kompor dan ditekuk sehingga kurang lebih 5 cm ujung kedua kakinya tercelup pada minyak seperti tampak pada Gambar 54. Bahan alat pemindah panas yang mampu menaikkan suhu minyak dari 28 o C menjadi 70 o C diperoleh melalui penentuan nilai konduktivitas termal bahan tersebut dengan persamaan : q m = m m C m T api -T ref = q besi = 0,25 d 2 K besi T besi -T m [30] Diperoleh konduktivitas sebesar 105,79 W m -1 K -1 , sehingga dipergunakan baja tembaga dengan nilai konduktivitas yang terdekat yaitu 110 W m -1 K -1 . Kenaikkan suhu air dan minyak dengan adanya pemindah panas disimulasi terlebih dahulu dengan menggunakan persamaan atur untuk melihat profil kenaikkan suhu kedua tersebut Hasil simulasi terlampir. Perubahan kenaikkan suhu minyak bintaro dengan pemasangan alat pemindah panas ditampilkan pada Gambar 55. Pemasangan alat pemindah panas memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap kenaikkan suhu minyak jelantah. Kenaikkan yang cukup tajam dimulai setelah 10 menit dari pemanasan awal dan terus meningkat cukup tajam hampir mencapai suhu 50 o C. Suhu ini sudah memberikan pengaruh yang besar terhadap kecepatan naiknya minyak sepanjang sumbu. Gambar 54 Alat pemindah panas. Pemasangan alat pemindah panas sekalipun memberikan pengaruh yang cukup besar dalam rangka meningkatkan kapilarisasi, tetapi terdapat penambahan alat yang secara langsung akan berpengaruh terhadap kemudahan pabrikasi dan pemeliharaan serta menambah biaya produksi. Gambar 55 Profil suhu minyak jelantah dengan pemindah panas Modifikasi Tinggi Kolom Modifikasi dengan pemendekkan kolom sumbu didasarkan pada hasil analisis kapilarisasi minyak. Dari hasil analisis tersebut, untuk semua minyak uji memberikan kapilarisasi yang masih cukup cepat pada ketinggian sumbu dibawah 3 cm baik untuk minyak nabati murni maupun campurannya dengan minyak tanah seperti ditampilkan pada Gambar 56. 20 30 40 50 10 20 30 40 50 suh u , o C waktu, menit kompor konvensional kompor modifikasi : pemindah panas Gambar 56 Kapilarisasi minyak pada suhu 30 o C Untuk mendapatkan tinggi kolom sumbu minimum persamaan yang dipergunakan diperoleh dari pembentukan model matematika kapilarisasi suatu cairan pada media berpori persamaan 27. Tinggi kolom sumbu minimum hasil simulasi berbeda untuk setiap jenis minyak nabati seperti ditampilkan pada Tabel 5. Pada suhu minyak 30 o C, ketinggian kolom sumbu untuk minyak kacang tanah, minyak jelantah, dan minyak bintaro dibawah dua cm, sehingga apabila minyak tersebut dipergunakan untuk bahan bakar ketinggian kolom sumbu harus dibawah angka tersebut, sedangkan pada suhu minyak 50 o C, ketinggian minyak bintaro mencapai 1,5 cm. Ini menunjukkan pada ketinggian tersebut minyak tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan bakar. Tabel 5 Ketinggian hasil simulasi minyak nabati suhu, o C jenis minyak mjp mk mkt mj mb 30 2,02 1,95 1,59 1,18 1,35 50 3,98 2,90 2,14 2,45 1,51 55 4,24 3,15 2,40 3,33 2,22 70 7,28 3,26 2,55 4,00 2,34 2 4 6 8 10 5000 10000 15000 20000 tin g g i cm waktu detik MT MK MKT MB MJ MJP MT+MK MT+MKT MT+MB MT+MJ MT+MJP Dalam pengujian selanjutnya dilakukan terhadap nilai rata-rata tinggi kolom sumbu semua jenis minyak nabati pada suhu 55 o C , yaitu adalah 3,0 cm, pemilihan ketinggian ini didasarkan dari hasil pengujian sifat kapilaritas pada suhu minyak mencapai 55 o C waktu yang diperlukan untuk minyak naik sekitar 10 menit, waktu tersebut cukup untuk memberi kesempatan minyak untuk naik sepanjang sumbu sebelum pembakaran dimulai dan kemudahan pabrikasi Gambar 57. Gambar 57 Skema pemotongan tinggi kolom sumbu. Hasil pengujian dengan modifikasi tinggi kolom seperti tampak pada Gambar 58 terjadi kenaikkan suhu minyak bintaro. Gambar 58 Profil suhu minyak bintaro pada kolom pendek. Dengan semakin pendek kolom sumbu, suhu minyak juga ikut mengalami kenaikkan yang cukup besar yang dimulai setelah 10 menit pertama dengan tinggi suhu mencapai 50 o C. Dengan pemendekkan kolom sumbu, diharapkan terjadi pengurangan pemakaian bahan konstruksi kompor.

20.0 25.0

30.0 35.0

40.0 45.0

50.0 10 20 30 40 50 su h u , o C waktu, menit kompor konvensional kompor modifikasi : pemendekan kolom sumbu Kesimpulan Dari hasil modifikasi terhadap kompor dengan pemasangan pemindah panas dan pemendekkan kolom terjadi peningkatan suhu minyak yang dapat menurunkan kekentalan minyak sehingga kapilarisasi dapat dipercepat. Modifikasi yang dipilih adalah modifikasi pemendekkan kolom sumbu dengan ketinggian sekitar 2 –4 cm . 6 PENGUJIAN EFISIENSI KOMPOR SUMBU Pendahuluan Pemakaian BBN sebagai energi untuk memasak pada saat ini masih terus dikembangkan. Penelitian untuk memperbaiki kekurangan dari sifat termofisik BBN agar dapat dipergunakan secara langsung sebagai bahan bakar kompor sudah mulai mendapatkan kemajuan. Metode asetilasi minyak nabati berhasil menaikkan nilai kalor dari 18,74 MJkg menajdi 20,80 MJkg, sementara proses pencampuran dengan air untuk menghilangkan senyawa pospolipid berhasil menurunkan angka kekentalannya menjadi 7,05 cp Chamidy 2003. Perkembangan lain sudah mulai menunjukkan tingkat keberhasilan adalah melakukan modifikasi pada kompor. Pada kompor tekan, pemakaian BBN sudah tidak mengalami kesulitan. Beberapa jenis kompor tekan yang dikembangkan dengan berbagai modifikasi seperti memperbaiki sistim pemanasan awalnya sudah mengalami uji coba dan menunjukkan bahwa BBN dapat dipergunakan langsung sebagai bahan bakar, tetapi tidak begitu dengan pemakaian BBN pada kompor sumbu Reksowardojo 2008. Beberapa perkembangan yang sudah ada masih belum memberikan angka efisiensi pembakaran yang lengkap. Data yang terpublikasi masih dalam angka banyaknya bahan bakar yang dikonsumsi selama proses pengujian. Dalam penelitian ini dilakukan pengujian untuk melihat besarnya efisiensi kompor yang sudah dimodifikasi pada tahap penelitian sebelumnya. Efisiensi Pembakaran Efisiensi pembakaran adalah suatu penentuan seberapa baik suatu peralatan mampu membakar suatu bahan bakar tertentu, yang ditunjukkan dalam persen . Efisiensi pembakaran sempurna akan mempergunakan semua energi yang tersedia di dalam bahan bakar. Efisiensi pembakaran 100 secara realistis tidak akan tercapai Kakati 2006. Proses pembakaran secara umum menghasilkan efisiensi dari 10 sampai 95. Penentuan efisiensi pembakaran mengasumsikan bahan bakar secara lengkap terbakar dan didasarkan pada tiga hal Turns 1996: 1. Sifat kimia dan fisika bahan bakar 2. Suhu stack gas secara keseluruhan 3. Prosentase oksigen atau CO2 volume setelah pembakaran. Efisiensi pembakaran berhubungan dengan bagian dari komponen reaktan yang berkombinasi secara kimiawi. Efisiensi pembakaran meningkat dengan naiknya suhu komponen reaktan, bertambahnya waktu komponen reaktan mengalami kontak, naiknya tekanan uap, bertambah besarnya luas permukaan, dan naiknya energi kimia dengan katalis yang paling baik. Salah satu cara untuk menaikkan suhu komponen reaktan dan tekanan uapnya adalah dengan melakukan pemanasan awal melalui proses sirkulasi disekitar ruang bakar dan leher kolom sebelum disuntik ke dalam ruang pembakaran Kuo K.K 1986. Efisiensi pembakaran langsung dipengaruhi oleh proses pencampuran antara udara dan bahan bakar Strehlow 1985. Efisiensi pembakaran dapat ditunjukkan dengan kinerja kompor dinyatakan dengan nilai PHU, Percent Heat Utilized atau SC, Specifik Consumption yang nilainya dapat ditentukan dengan pengujian Water Boiling Test WBT yang secara sederhana skema pengujiannya ditampilkan pada Gambar 59. Gambar 59 Skema water boiling test. Pengujian ini meliputi pemasakan sejumlah air biasanya dinyatakan satu liter air dalam panci pada kondisi panas dan mendidih, dengan pengukuran suhu awal air, kenaikkan suhu selama pengujian suhu akhir air suhu simering, 90 o C ± tutup probe untuk termokopel termokopel panci 1 o C, jumlah air awal, jumlah air sisa, dan konsumsi bahan bakar. Effisiensi dapat didefinisikan sebagai perbandingan energi yang dipergunakan untuk memasak satu liter air sehingga tercapai suhu didihnya terhadap energi yang terkandung dalam bahan bakar, yang dinyatakan sebagai [31] Tujuan Penelitian Tujuan khusus penelitian ini adalah 1. Mendapatkan data distribusi kenaikkan suhu minyak 2. Mendapatkan data distribusi kenaikkan suhu air 3. Mendapatkan data efisiensi pembakaran dan konsumsi bahan bakar pada kompor sumbu dengan bahan bakar minyak nabati dan minyak campuran Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Pengujian kapilarisasi minyak nabati dan campurannya dengan minyak tanah serta pengujian efisiensi termal pada kompor gas dan kompor bertekanan dilakukan di Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Departemen Teknik Pertanian IPB. Waktu penelitian dimulai bulan Mei 2008 sampai Juni 2009. Bahan Bahan yang dipergunakan dalam percobaan ini adalah minyak kelapa, minyak kacang tanah, minyak bintaro, minyak jelantah dan minyak jarak pagar serta campuran minyak tersebut dengan minyak tanah, zat warna merah dan dua jenis sumbu serta air untuk pengujian efisiensi termal. Alat Peralatan yang dipergunakan untuk melakukan pengujian kapilarisasi dan pengujian kemampuan nyala adalah kolom kaca setinggi 15 cm yang dijepit pada tiang statif, pengukur waktu digital, penangas air yang dilengkapi dengan pengatur suhu, gelas kimia dan penggaris, sedangkan untuk pengujian efisiensi termal peralatan yang dipergunakan adalah kompor sumbu lengkap dengan sumbu, termokopel tipe T jenis CC, pencatat suhu jenis hybrid recorder Yokogawa, neraca digital tipe AQT 200, dan timbangan jenis SOEHNLE. Prosedur Percobaan Pada percobaan untuk menguji efisiensi termal seperti pada Gambar 60, satu liter air dimasukkan ke dalam panci berukuran 3 liter yang dilengkapi dengan tutup. Sumbu kompor yang dipergunakan adalah sumbu terbaik dari hasil percobaan kapilarisasi. Gambar 60 Skema pengujian efisiensi pembakaran. Untuk melihat perubahan suhu selama proses pembakaran pada pengujian efisiensi termal kompor sumbu, termokopel yang sudah dikalibrasi dipasang pada bagian luar dinding panci 1, di dalam air setinggi setengah bagiannya terendam 2, di udara luar 3, di dalam tangki minyak sehingga setengahnya terendam 4, di luar tangki minyak 5, dan pada pemindah panas dan di bagian tengah 6. Parameter yang diukur adalah kenaikkan suhu air sampai mencapai suhu simering 1 2 3 4 5 6 air 90 ±1 o C, kenaikkan suhu minyak di dalam tangki, dan konsumsi bahan bakar. Persamaan yang dipergunakan untuk menghitung efisiensi pembakaran adalah persamaan [31]. Hasil Dan Pembahasan Distribusi Suhu Minyak Dari hasil pengujian terhadap kapilarisasi pada beberapa suhu, yang menyatakan bahwa kapilarisasi akan meningkat dengan naiknya suhu minyak, dengan demikian diperoleh suatu informasi untuk melakukan sedikit modifikasi pada kompor untuk menaikkan suhu minyak. Modifikasi yang dilakukan adalah menambah alat pemindah panas atau heat transporter yang dipasang dalam kompor. Pemindah panas yang dirancang berupa batang besi berukuran diameter 1 cm dengan panjang 70 cm. Alat ini dibentuk menjadi huruf U dan selanjutnya alat ini dipasang melintang tepat diatas ruang bakar, kakinya melalui pinggir saringan udara dan ujungnya masuk ke dalam tangki minyak sehingga tercelup sekitar 5 cm dalam minyak, seperti tampak pada Gambar 61. Gambar 61 Seting alat pemindah panas pada kompor Dari hasil pengujian terhadap suhu minyak seperti ditampilkan pada Gambar 62a dan 62b, tampak bahwa adanya modifikasi dalam kompor dengan pemindah panas, suhu minyak dalam tangki naik. Untuk kompor yang tidak dilengkapi dengan pemindah panas atau disebut kompor konvensional, sampai pada menit ke 40, suhu minyak dalam tangki hanya mencapai suhu sekitar ± 30 o C untuk minyak nabati dan untuk minyak campuran mencapai suhu ± 40 o C. a b Gambar 62 Kenaikkan suhu minyak a tanpa pemindah panas dan b dengan pemindah panas Pada kompor yang dilengkapi dengan pemindah panas atau disebut dengan istilah kompor termodifikasi, suhu minyak nabati mengalami kenaikkan antara 10-20 o C, sehingga suhu minyak mencapai 50 – 60 o C, sedangkan untuk minyak campuran minyak nabati dan minyak tanah dapat mencapai suhu 60-70 o C. Naiknya suhu minyak nabati dalam tangki adalah akibat pengaruh panas yang dipindahkan dari permukaan ruang bakar melalui besi secara konduksi ke dalam minyak. Akan tetapi banyaknya panas yang dipindahkan sedikit berkurang akibat adanya panas yang hilang secara konveksi ke udara yang berada di antara silinder dimana sumbu berada dengan dinding kompor paling luar. Kenaikkan suhu ini mengubah kekentalan minyak menjadi lebih rendah dan menaikkan kapilarisasi sehingga akan memberikan pengaruh secara langsung pada cepatnya minyak naik ke ujung sumbu dan memudahkan api menyala serta umur lamanya nyala api pada sumbu relatif bertahan lebih lama. Pada kompor modifikasi tinggi kolom sumbu, kenaikkan suhu minyak yang dicapai lebih tinggi Gambar 63. Suhu minyak naik mencapai hampir 60 o C.Hal ini disebabkan dengan pendeknya jarak antara ujung sumbu yang terbakar dengan minyak dalam tangki terjadi perambatan panas melalui sumbu. 20 30 40 50 10 20 30 40 su h u , o C waktu,menit MT MK MKT MB MJ MJP 20 30 40 50 60 70 80 10 20 30 40 su h u , o C waktu, menit Gambar 63 Kenaikkan suhu minyak dengan kolom pendek Distribusi Suhu Air Hasil yang sama ditunjukkan pula oleh kenaikkan suhu air seperti tampak pada Gambar 64a dan 64b. Pada kompor konvensional, suhu simering air 90±1 o C dengan bahan bakar minyak tanah tercapai pada menit antara ke 20 dan 22, sedangkan pada kompor termodifikasi waktu yang diperlukan untuk mencapai suhu simering air adalah pada menit antara ke 16 dan 18, atau 3 sampai 4 menit lebih cepat. a b Gambar 64 Kenaikkan suhu air a tanpa pemindah panas dan b dengan pemindah panas 20 30 40 50 60 70 10 20 30 40 su h u , o C waktu,menit MT MK MKT MB MJ MJP

20.0 40.0

60.0 80.0

100.0 120.0 10 20 30 40 su h u , o C waktu,menit MT MK MKT MB MJ MJP 20.0

40.0 60.0

80.0 100.0

120.0 10 20 30 40 su h u , o C waktu,menit Pada kompor konvensional, semua jenis bahan bakar dari minyak nabati tidak mampu menaikkan suhu air mencapai suhu simering air, hanya minyak kelapa dan minyak jarak pagar yang mampu menaikkan suhu air mencapai suhu 50 o C, sedangkan untuk minyak jelantah, minyak kacang tanah, dan minyak bintaro tidak mencapi suhu 50 o C, selanjutnya suhu mengalami penurunan, api hanya bertahan sampai menit ke 30 dan kemudian api mati. Ini disebabkan karena kecepatan minyak untuk naik ke permukaan sumbu masih sangat lambat, sehingga suplay bahan bakar untuk terbakar menjadi rendah akibatnya nyala api tidak dapat bertahan lebih lama. Sedangkan untuk kenaikkan air dengan kolom pendek, suhu air yang dicapai dengan bahan bakar minyak nabati mencapai suhu simeringnya walaupun waktu yang relatif masih lama mencapai 30 menit Gambar 65 kecuali minyak tanah 10 menit lebih cepat dibandingkan kompor konvensional. Gambar 65 Kenaikkan suhu air dengan kolom pendek. Efisiensi Pembakaran Kompor Sumbu Pengujian efisiensi pembakaran dilakukan dengan metode WBT atau water boiling test terhadap kompor konvensional dan kompor termodifikasi dan besarnya efisiensi dengan persamaan [30]. Dari Tabel 6 besarnya efisiensi pembakaran untuk minyak nabati baik pada kompor konvensional maupun kompor termodifikasi pemindah panas tidak dinyatakan, ini menunjukkan bahwa efisiensi pembakarannya tidak dapat dihitung, karena pada saat pengujian suhu air tidak mencapai suhu simering. Pembakaran hanya berlangsung sampai suhu air mencapai sekitar 50-70 o C akibat matinya api pada waktu sekitar 20-40 menit. 20 40 60 80 100 120 10 20 30 40 su h u , o C waktu, menit MT MK MKT MB MJ MJP Tabel 6. Efisiensi pembakaran minyak nabati Sedangkan untuk kompor berkolom pendek, pembakaran minyak nabati memberikan nilai efisiensi yang cukup besar. Hal ini menunjukkan bahwa modifikasi dengan pemendekkan kolom memberikan pengaruh yang cukup besar. Efisiensi pembakaran minyak tanah dengan kompor asli atau konvensional mengalami kenaikkan dari 37,9 menjadi 41,2 pada kompor yang dilengkapi dengan alat pemindah panas dan mencapai 44,5 pada kompor dengan pemendekkan kolom sumbu. Dengan pendeknya kolom sumbu, selain suhu minyak mengalami kenaikkan sehingga kekentalannya menjadi lebih kecil, kecepatan berpindahnya minyak dari tangki ke bagian atas sumbu juga menjadi lebih cepat. Untuk minyak nabati, dengan kompor berkolom sumbu pendek baru menunjukkan nilai efisiensi. Efisiensi yang dicapai oleh minyak kelapa, disusul minyak jarak pagar,minyak bintaro, minyak jelantah, dan minyak kacang tanah yaitu, 25,6; 24,5; 19,7; 18,4;dan 17,3 berturut-turut. Tabel 7. Efisiensi pembakaran minyak campuran Jenis Kompor Efisiensi Pembakaran MT MK MKT MB MJ MJP Kompor konvensional 37,9 - - - - - Kompor termodifikasi pemindah panas 41,2 - - - - - Kompor termodifikasi kolom pendek 44,5 25,6 17,3 19,7 18,4 24,5 Jenis Kompor Efisiensi Pembakaran MT+MK MT +MKT MT + MB MT+MJ MT+MJP Kompor konvensional 19,7 9,6 15,8 11,5 20,1 Kompor termodifikasi pemindah panas 27,5 12,9 27,2 15.4 28,3 Kompor termodifikasi kolom pendek 37,8 19,5 34,3 22.7 35,7 Pada kompor berkolom pendek efisiensinya mencapai 37,8 dan 35,7 masing-masing untuk campuran minyak kelapa dan jarak pagar dengan minyak tanah. Konsumsi Bahan Bakar Seperti disebutkan diatas, maka perhitungan banyaknya konsumsi bahan bakar hanya diberlakukan pada jenis minyak yang mencapai suhu simering air. Sehingga tidak semua data konsumsi bahan bakar minyak nabati murni dapat ditampilkan seperti terlihat pada Tabel 8. Tabel 8. Konsumsi bahan bakar minyak nabati Jenis Kompor Konsumsi Bahan bakar kcalmenit MT MK MKT MB MJ MJP Kompor konvensional 10,63 Kompor modifikasi 1 11,03 Kompor modifikasi 2 11,84 2,13 2,61 1,90 1,89 0,59 Konsumsi bahan bakar minyak nabati murni bervariasi dengan rentang antara 0,66 grmenit sampai 0,70 grmenit atau 0,59 kcalmenit sampai 11,84 kcalmenit. Pada kasus minyak tanah, kenaikkan konsumsi bahan bakar mengalami kenaikkan pada setiap jenis kompor termodifikasi. Ini diakibatkan kecepatan naiknya minyak tanah ke bagian atas sumbu untuk kedua jenis kompor tersebut menjadi lebih besar yang secara langsung akan menaikkan jumlah bahan bakar yang terbakar. Tampak bahwa baik pemasangan alat pemindah panas maupun pemendekkan kolom terjadi kenaikkan konsumsi bahan bakar. Hal ini disebabkan dengan adanya panas yang dipindahkan dari permukaan ruang bakar ke minyak. maka viskositas minyak mengalami penurunan sehingga kecepatan minyak naik ke ujung sumbu untuk terbakar menjadi lebih cepat. Tabel 10 memperlihatkan hubungan ketinggian kolom sumbu terhadap konsumsi bahan bakar. Dengan bertambah tingginya kolom sumbu, konsumsi bahan bakar menjadi semakin kecil. Secara langsung angka tersebut menunjukkan kecepatan naik minyak sepanjang sumbu menjadi lebih lambat akibatnya pembakaran menjadi lebih terhambat. Tabel 9 Hasil simulasi hubungan FCR terhadap ketinggian kolom sumbu FCR, mlmenit h,cm minyak tanah minyak jarak pagar minyak kelapa 30 o C 50 o C 70 o C 30 o C 50 o C 70 o C 30 o C 50 o C 70 o C 7 0,0577 0,0691 0,2180 0,0020 0,0039 0,0020 0,0021 0,0032 0,0036 6 0,0673 0,0808 0,2552 0,0023 0,0046 0,0023 0,0025 0,0037 0,0042 5 0,0808 0,0973 0,3073 0,0028 0,0055 0,0028 0,0030 0,0045 0,0051 4 0,1010 0,1221 0,3854 0,0035 0,0069 0,0035 0,0038 0,0056 0,0064 3 0,1346 0,1633 0,5156 0,0046 0,0092 0,0046 0,0050 0,0075 0,0085 2 0,2020 0,2459 0,7761 0,0070 0,0138 0,0070 0,0075 0,0113 0,0128 h,cm minyak kacang tanah minyak jelantah minyak bintaro 30 o C 50 o C 70 o C 30 o C 50 o C 70 o C 30 o C 50 o C 70 o C 7 0,0015 0,0021 0,0025 0,0011 0,0023 0,0037 0,0015 0,0017 0,0027 6 0,0018 0,0024 0,0030 0,0013 0,0026 0,0044 0,0018 0,0020 0,0032 5 0,0022 0,0029 0,0036 0,0015 0,0032 0,0053 0,0022 0,0024 0,0038 4 0,0027 0,0037 0,0045 0,0019 0,0040 0,0066 0,0027 0,0030 0,0048 3 0,0037 0,0049 0,0060 0,0026 0,0053 0,0088 0,0036 0,0041 0,0064 2 0,0055 0,0075 0,0090 0,0038 0,0080 0,0133 0,0054 0,0061 0,0096 Kesimpulan Hasil analisis dan pengujian memperlihatkan modifikasi kompor memberikan perubahan terhadap kenaikkan suhu air dan suhu minyak yang mempercepat waktu air untuk mendidih. Distribusi kenaikkan suhu air mengalami kenaikkan setiap waktunya dan mencapai suhu 100 o C pada waktu yang lebih cepat. sedangkan untuk distribusi suhu minyak. kenaikkan suhunya mencapai 50 o C. Nilai efisiensi pembakaran meningkat pada kompor yang dilengkapi pemindah panas dan peningkatan efisiensi terbesar dicapai pada kompor berkolom pendek. Efisiensi pembakaran untuk minyak tanah 37,9 untuk kompor konvensional, 41,2 untuk kompor modifikasi pemasangan alat pemindah panas dan 44,5 untuk kompor modifikasi kolom sumbu pendek. Pada kompor modifikasi kolom sumbu pendek, minyak kelapa 25,6, minyak jarak pagar 24,7, minyak bintaro 19,7, minyak jelantah 18,4, dan minyak kacang tanah 17,3. Untuk minyak campuran nilai efisiensi berkisar antara 23-53 dengan rata-rata 39. Untuk konsumsi bahan bakar baik untuk minyak nabati murni maupun minyak campuran pada kedua jenis modifikasi mengalamai kenaikkan sekitar 0,1 gram per menit. 7 PEMBAHASAN UMUM Bahan bakar yang selama ini dipergunakan oleh masyarakat untuk memasak dan penerangan dibeberapa wilayah di Indonesia termasuk bahan bakar yang disubsidi oleh pemerintah. Sejalan dengan perkembangan perekonomian. pertambahan jumlah penduduk dan perubahan gaya hidup yang berakibat pada kenaikkan konsumi atau pemakaian bahan bakar membuat subsidi yang dikeluarkan oleh pemerintah semakin berat disamping ketersediaannya semakin menipis dan harganya yang cenderung terus naik, maka pemerintah sejak tahun 2010 akan menghentikan distribusi minyak tanah dan mengkonversikannya dengan gas. Program Desa Mandiri Energi yang sekarang ini sedang digiatkan di beberapa desa percontohan seperti desa Gunungsari di Provinsi Banten. desa mekarjaya di provinsi Jawa Barat, desa Rantau Jaya Udik II di provinsi Lampung. desa Limpasu di Provinsi Kalimantan Selatan, dan desa Baula di Provinsi Sulawesi Tenggara sebagai desa percontohan tahun 2007 dan desa Natumingka di Provinsi Sumatera Utara. desa Nagara Air Haji di Provinsi Sumatera Selatan. desa Trosono di provinsi Jawa Timur serta desa Lembang Marinding di Provinsi Sulawesi Selatan sebagai percontohan tahun 2008 telah melakukan program desa mandiri energi berbasis tanaman jarak pagar. Program tersebut nantinya memberikan konstribusi yang besar terhadap penyediaan energi untuk bahan bakar dan produksi turunan-turunan minyak jaraka lain seperti sabun, pupuk, dan lain sebagainya. Tanaman jarak pagar pada saat ini sedang dikembangkan oleh pemerintah sebagai bahan bakar nabati yang dianggap cukup potensial secara ekologi dan ekonomi. Kemudahannya tumbuh pada kondisi yang rekatif cukup kering dan sudah cukup dikenal masyarakat membuat tanaman ini menjadi pilihan. Minyak jarak baik dalam kondisi murni maupun campurannya dengan minyak tanah dapat dipergunakan untuk semua jenis kompor. Walaupun pada saat ini ketersediaan secara masal masih mengalami hambatan, karena sampai saat ini informasi secara aktual tentang tingkat produktivitas. Ketersediaan dalam jumlah besar dan keberlangsungan ketersediaanya masih belum stabil. karena di beberapa daerah uji coba sampai saat ini masih tanaman jarak pagar belum siap panen bahkan masih ada yang baru berumur setahun. Sehubungan dengan hal tersebut,dalam penelitian ini tanaman lain seperti kacang tanah dan kelapa yang sudah dikenal luas masyarakat dijadikan sebagai sumber bahan baku minyak nabati disamping memanfaatkan kembali minyak bekas masak atau minyak jelantah. Jenis minyak nabati yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah minyak kelapa,minyak jarak pagar, minyak jelantah, minyak bintaro, dan minyak jelantah serta campurannya dengan minyak tanah. Berdasarkan hasil pengujian terhadap karateristik minyak nabati. tampak bahwa minyak nabati memiliki sifat yang jauh berbeda dengan minyak tanah, terutama pada sifat kekentalannya. Angka kekentalan minyak nabati secara umum hampir 40 kali lebih besar dan hal ini sangat berpengaruh terhadap kemampuan minyak nabati tersebut untuk merambat pada sumbu melalui gaya kapilarisasi. Untuk campurannya dengan minyak tanah. angka kekentalan sedikit berkurang dan pada perbandingan volume 1 : 1, campuran larut dengan baik menjadi satu lapisan, sehingga secara tidak langsung hal ini akan memperbaiki sifat minyak nabati dengan menurunnya angka kekentalan. Angka kekentalan yang besar ini dapat dikurangi dengan menaikkan suhu minyak. Kenaikkan suhu sebesar dua puluh derajat dapat menurunkan angka kekentalan lima sampai sepuluh angka, misalnya untuk minyak kelapa. dari angka 28 pada suhu 30 o C menjadi 23 pada suhu 50 o C dan 10 pada suhu 70 o C. Pada uji kemampuan menyala dengan dua jenis sumbu yang ada dipasaran dan termasuk jenis yang paling banyak dipergunakan sebagai sumbu kompor, minyak nabati menunjukkan masih memiliki kemampuan untuk menyala walaupun titik bakarnya hampir tujuh kali jauh lebih tinggi dari titik bakar minyak tanah. Tetapi kemampuan menyala tersebut belum dapat bertahan lama dibandingkan dengan minyak tanah. Kemampuan menyala yang lama sangat dibutuhkan untuk proses pembakaran agar menghasilkan panas yang cukup besar dan lama untuk dipergunakan sebagai energi panas dalam memasak. Hal ini dikarenakan tingginya angka kekentalan minyak nabati sehingga proses perpindahan minyak sepanjang sumbu sangat lambat, akibatnya proses pembakaran menjadi sangat pendek. Berbeda dengan minyak tanah yang terus menyala sampai minyak tanah tersebut habis dengan sendirinya. Pada sumbu berbahan katun, proses pembakaran berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan sumbu berbahan campuran katun dan poliester. Pada pengujian kapilarisasi sebagai salah satu faktor yang paling penting dalam proses pembakaran minyak dalam kompor sumbu, terlihat minyak nabati dengan angka kekentalan yang sangat besar memiliki daya kaplarisasi yang sangat kecil, waktu yang dibutuhkan untuk naik ke bagian ujung sumbu sangat lambat sekali dibandingkan dengan waktu yang ditempuh oleh minyak tanah untuk ketinggian yang sama. Berdasarkan hasil pengujian pengaruh suhu terhadap kekentalan, proses kapilarisasi dapat diperbaiki dengan menaikkan suhu minyak sedikit lebih tinggi dari suhu kamar. Pada suhu minyak yang lebih tinggi, sifat kapilaritas untuk semua minyak nabati menunjukkan perbaikkan, terjadi pengurangan waktu yang cukup signifikan untuk ketinggian yang sama, sehingga timbul ada suatu usaha untuk memanaskan minyak dalam tangki minyak selama proses pembakaran. Dalam peneleitian ini dibangun sebuah model matematika yang dapat menggambarkan proses kapilarisasi minyak pada sumbu. Persamaan yang dibangun adalah persamaan yang menghubungkan waktu yang dibutuhkan oleh minyak untuk naik melalui sumbu setiap kenaikkan satu sentimeter. Pada persamaan tersebut, parameter ukuran diameter pori atau porositas dan perbedaan jarak laluan minyak sepanjang sumbu terhadap panjang sumbu ikut dimasukkan, sehingga dihasilkan persamaan yang menggambarkan secara utuh proses kapilarisasi minyak pada sumbu atau kecepatan naiknya minyak sepanjang sumbu. Dari hasil simulasi model kecepatan naiknya minyak sepanjang sumbu, persamaan model yang dibangun memberikan bentuk kurva yang sama dengan kurva yang dibentuk dari data percobaan. Dengan demikian, selanjutnya persamaan tersebut dipergunakan untuk menentukan ketinggian kolom sumbu minimum untuk setiap jenis minyak pada beberapa suhu. Pada tahapan modifikasi kompor sebagai salah satu tahapan yang dilakukan berdasarkan hasil pengujian terhadap kapilarisasi, dilakukan dua modifikasi yaitu memasang kompor dengan alat pemindah panas yang berbentuk U dan dipasang terbalik, sehingga sebagian dari alat tersebut terletak pada permukaan ruang bakar kompor dan bagian kakinya tercelup ke dalam tangki minyak. Suhu minyak dalam tangki mengalami kenaikkan dari 30 o C sampai 45 o C. Dengan penambahan pelat logam yang sama berbentuk lingkaran di dalam tangki yang dihubungkan dengan kaki pemindah panas, suhu minyak mengalami kenaikkan mencapai 60oC, tetapi pemasangan ini menyulitkan pada waktu pembersihan sebagai langkah pembersihan yang harus rutin dilakukan agar kompor tetap terjaga kondisinya. Pemasangan logam dibagian atas ruang bakar pada kedua jenis sistim tersebut mempunyai sedikit kelemahan, akibat pemanasan yang terus menerus secara langsung terhadap batang pemindah panas di bagian permukaan ruang bakar, dapat mempercepat logam menjadi aus. Disarankan untuk merubah sistim pemanas panas dengan cara melilitkan pemindah panas di luar ruang bakar sepanjang tinggi pengatur udara luar. Tetapi kenaikkan suhu minyak tidak signifikan karena banyaknya panas yang hilang akibat konveksi ke ruang sekitar kompor. Modifikasi yang kedua adalah melakukan pemendekkan tinggi kolom sumbu. Dari hasil analisis kapilarisasi, tampak pada ketinggian dibawah empat sentimeter kecepatan naiknya minyak melalui sumbu relatif cukup cepat. Diharapkan dengan kecepatan tersebut minyak mudah sampai pada bagian ujung sumbu dan memberikan waktu pembakaran yang relatif lebih lama dibandingkan pada ketinggian di atas empat sentimeter. Tinggi kolom sumbu hasil simulasi berbeda untuk setiap jenis minyak nabati. Sehingga pemendekkan kolom nantinya menyesuakan dengan petinggian minimum hasil simbulasi. Dalam penelitian ini ketinggian kolom sumbu untuk minyak nabati berkisar antara 2 sampai 4 cm, diambil 3 cm yang merupakan nilai rata-rata ketinggian kolom sumbu pada 55 o C. Pengujian distribusi suhu minyak dalam tangki, menunjukkan kenaikkan yang sedikit lebih tinggi yaitu mencapai hampir 60 o C. Dari sini tampak bahwa pemendekkan kolom sumbu mengakibatkan jarak permukaan minyak dengan sumbu menjadi lebih pendek sehingga selain mempercepat naiknya minyak melalui sumbu juga terjadi perpindahan panas yang mengakibatkan suhu minyak mengalami kenaikkan. Efisiensi pemakaian bahan bakar nabati pada kompor yang telah dimodifikasi diuji dengan metode WBT untuk melihat efisiensi pembakarannya dan dibandingkan dengan kompor asli tanpa modifikasi. Efisiensi pembakaran pada kompor modifikasi menunjukkan kenaikkan yang cukup signifikan. Untuk bahan bakar minyak tanah, pada kompor konvensional efisiensinya mencapai 37, sedang pada kompor modofikasi yang dilengkapi dengan pemindah panas efisiensinya mencapai hampir 42 dan mencapai 45 untuk modifikasi dengan kolom sumbu yang lebih pendek. Pada kasus minyak nabati murni, kompor konvensional dan modifikasi pemindah panas tidak memberikan angka efisiensi karena suhu air tidak mencapai suhu simering 90± 1 o C. Akan tetapi pada kompor berkolom sumbu pendek, minyak nabati murni dapat dipergunakan sebagai bahan bakar langsung untuk menggantikan minyak tanah,dengan memberikan efisiensi berkisar antara 17 sampai 26 dengan efisiensi tertinggi diperoleh untuk minyak kelapa. Sedangkan untuk minyak campuran dengan minyak tanah, ketiga jenis kompor memberikan nilai efisiensi berkisar antara 10 – 38 dengan efisiensi tertinggi untuk campuran minyak kelapa dan minyak tanah disusul kemudian oleh campuran minyak jarak pagar dan minyak tanah dengan nilai efisiensi hampir 36. Minyak kelapa dan minyak jarak menunjukkan keunggulan dibandingkan dengan minyak nabati lainnya. Penggunaannya sejak jaman dulu sebagai bahan bakar untuk penerangan memungkinkan minyak jarak dan minyak kelapa menjadi salah satu dari sekian banyak minyak nabati yang ada di alam sebagai minyak yang dapat dijadikan sebagai bahan bakar untuk memasak dan penerangan di rumah tangga serta sebagai minyak bakar untuk pembuatan uap air panas steam pada usaha kecil seperti usaha pembuatan tahu dan untuk menghasilkan udara panas pada pengeringan tembakau, dan sebagainya. Minyak jarak sampai pada perbandingan volume yang sama masih bercampur menjadi satu larutan jernih dengan minyak tanah, hal ini memberikan keuntungan pada sistim pembakaran selanjutnya. Hal yang cukup menarik adalah minyak bintaro walupun efisiensinya hanya mencapai 20, lebih kecil dibandingkan dengan minyak jarak pagar dan minyak kelapa, angka ini memberikan peluang yang cukup besar untuk menjadikan minyak bintaro sebagai salah satu alternatif sumber bahan bakar lainnya selain minyak jarak yang memang sudah dikembangkan terlebih dahulu. Pada saat ini tanaman bintaro masih tumbuh secara liar dibeberapa daerah di Banten. Sumatera dan beberapa daerah berawa lainnya di Indonesai. Pemakainnya dibeberapa daerah masih terbatas sebagai tanaman hias dan pelindung di sepanjang jalan atau perumahan. Tanaman ini mudah sekali tumbuh terutama didaerah lembab dan basah berawa, dapat dijadikan sebagai tanaman lapis kedua setelah hutan bakau untuk penahan abrasi air laut. Bintaro tidak termasuk pohon buah musiman. Dalam satu pohon. terdapat tidak kurang dari 150 buah dengan jarak tanam 5 x 5 meter, diperkirakan dalam satu hektar terdapat 1.600 pohon akan dihasilkan 240.000 buah bintaro berdiameter 7-9 cm dengan berat rata-rata 180 gram per buah atau 42.000 kg buah atau 12.000 kg biji. Jika kandungan minyak dalam biji berkisar antara 30-65. maka jumlah minyak yang dapat dihasilkan setara dengan 6.000 kg minyak Sehubungan dengan hal tersebut di atas, tanaman bintaro layak untuk dipertimbangkan sebagai salah satu sumber BBN untuk bio energi dalam program desa mandiri energi terutama untuk desa berawa dengan masyarakat berpenghasilan rendah dan desa yang secara infrastruktur sukar dicapai untuk penerapan konversi minyak tanah ke gas. Selain itu. hal ini sejalan dengan pogram desa energi mandiri dan pengembangan usaha kecil pembuatan minyak nabati dan industri kompor yang sekarang mulai hilang kembali bangkit dan berjaya. Hal ini hampir dapat mencerminkan dari pernyataannya Rudolph Diesel tahun 1912. The use of vegetable oils for engine fuels may seem insignificant today. but such oils may become in the course of time as important as the petroleum and coal tar products of the present time. 8 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Minyak nabati mempunyai densitas, kekentalan, dan tegangan permukaan yang lebih besar dibandingkan dengan minyak tanah. Kekentalan dan densitas minyak dipengaruhi oleh suhu. Minyak bintaro memiliki densitas dan kekentalan yang paling besar, pada suhu 30 o C, densitasnya 0,9648 gml dan kekentalannya 44 mm 2 detik. Densitas dan kekentalan ini berkurang dengan naiknya suhu minyak. Pada suhu 70 o C, kekentalan minyak bintaro menjadi 23 mm 2 s. 2. Model kapilarisasi yang dibentuk yang dapat dpergunakan sebagai suatu persamaan yang menggambarkan besarnya kapilarisasi minyak melalui sumbu adalah 3. Kompor dengan modifikasi pemendekkan tinggi kolom sumbu dapat dipergunakan dengan bahan bakar minyak nabati murni maupun minyak campuran. 4. Efisiensi pembakaran kompor berkolom sumbu pendek lebih besar dari kompor dengan pemindah panas. a. minyak tanah : 44,5 b. minyak kelapa : 25,6 c. minyak jarak pagar : 24,5 d. minyak bintaro : 19,7 e. minyak jelantah : 18,4 f. minyak kacang tanah : 17,3 Saran Perlu dikembangkan kompor berkolom sumbu pendek agar dapat dipergunakan dengan bahan bakar minyak nabati untuk memanfaatkan sumber daya alam setempat sebagai bahan bakar menggantikan minyak tanah. DAFTAR PUSTAKA Benltoufa S, Fayala F. 2008. Capillary Rise in Macro and Micro Pores of Jeresy Knitting Structure. Journal of Engineering Fibers and Fabrics.33:47-54. Bird RB, Stewart EE. Lightfoot.N.E.1965.Transport Phenomena.New York. Jhon Wiley and Son.Inc. Brady N.C, Weil R.R. 2004. The nature and Prpoerties of Soils. 13 th Ed. New Jersey. Prentice Hall. Cavaccini G, Pianess V. 2006. Mathematical and Numerical Modeling of Dynamics in a Horizontal Capillary. Lecture Series on Computing and Computational Science.7:66-70. Chamidy H.N. 2003. Uji pembakaran bio oil yang dimodifikasi pada kompor sumbu tekan dan kompor sumbu [tesis]. Bandung: program pascasarjana. Institut Teknologi Bandung. [Dept. ESDM]. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Kebijakaan Energi Nasional 2003-2020. 2004 [Dirjen PMD]. Direktorat jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Departemen Dalam Negeri. Petunjuk Pelaksanaan Pilot Project Desa Mandiri Energi. 2008 [Dishutbun]. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Banten. Komoditas Kelapa. 2007 http:www.dishutbun.banten.go.idindex.php [8 Februari 2009] Fayala F, Hamdaoui M, Ghith A, Nasrallah B.S. 2004.Capillary Flow in Fabrics. Textile Research Journal. 70:4. Gennes DPG, Wyart FB, Quéré D. 2002. Capillary and Wetting Phenomena — Drops. Bubbles. Pearls. Waves. Springer. http:en.wikipedia.orgwikiSurface_tension [10 Juli 2009]. Hamid A. 2007. Sintesis Dan Analisis Mutu Biodiesel Dari Minyak Jelantah [Tesis]. Bandung : Program Pascasrjana, Institut Teknologi Bandung. http:en.wikipedia.orgwindex.php?title=Densityam [18 Juni 2009]. http:www.newton.dep.anl.govaskascichem00chem00382.htm Hallstenssson K, Tiberg F, Zhmud BV. 2000. Dynamics Capillary Rise. Journal of Coloid and Interface Science. 228:263-269. Hastomo A.D. 2008. Kompor Sumbu Minyak Jarak 100.Info Tech Jarak Pagar. Vol. 3. No. 4. Hamdaoui M, Nasrallah BS.2007. Dynamics of Capillary Rise in Yarns: Influence of Fiber and Liquid Characteristics. Journal of Applied Polymer Science. 104:3050-3056. Heyne K. 1987.Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid II. Jakarta. Badan Litbang Kehutanan. Hupka J, Trong D.V.2005. Characterization of Porous Materials by Capillary Rise Method. Physicochemical Problems of Mineral Processing.39.47-46. Kakati S.2006.Effect of Heat Losses on Overall Performance kerosene Fuelled capillary-Fed Wick Stove. Advances in Energy Research.448 -454. Kampmann B, Goldman R.R. 2007. Handbook of Clothing. Research Study Group 7 on Bio-Medical Research Aspect of Military Protective Clothing. New York. Kasno A. 2005. Profil Perkembangan Teknik Produksi Kacang Tanah di Indonesia. Seminar Rutin Puslitbang Tanaman Pangan Bogor. http:warintek.bantul.go.ifindex.php [9 April 2007] Keis K, Kornev G.K, Kamath K.Y, Neimark V.A. 2004. Towards Fiber-based Micro and Nanofluidics. Http:triprincenton.organeimark [2 Mei 2009]. Kern DQ.1965.24 th ed. Process Heat Transfer. Singapore. McGraw Hill Book Company. KENTim Usaha Anda. 2003. http:berita.liputan6.comlainlain20030351679Kompor.Sumbu.Anti.Mel eduk.dari.Cawang [3 September 2009]. Knothe G, Gerpen V.J, Krahl J. 2004.The Biodiesel Handbook. Illinois. AOCS Press. Knovka A.E. 2001. The Effect of Anisotropy on In-Plane Liquid Distribution in Nonwoven Fabrics. [thesis]. North Carolina: Graduate Faculty, North Carolina State University. Kuo K.K. 1986. Principles of Combustion. John Wiley Son. New York. Kwiatkoswka I, Hupka J, Holownia D. 2008. An Investigation on Wetting of Porous Materials. Physicochemical Problems of Mineral Processing.42:251-262. Lu N, Likos J. 2004. Rate of Capillary Rise in Soil. Journal of Geotechnical and Geoenvironmental Engineering. 6:646-650. Manay N, Shadaksharaswamy M. 1987. Fats and Principles. Willey Eastern.Ltd.New delhi. Miller G.C, Lin F.T. 2005. Passive Reactor Cooling using Capillary Porous Wick.Proc. of the Space Nuclar Conference. San Diego, USA. Mohtar.2008. http:mohtar.staff.uns.ac.idfiles200808tegangan-permukaan.doc. [15Agustus 2009] Nuraini I. 2001. Analisis Produksi Dan Pendapatan Home Industri Kompor Di Desa Merjosari Kecamatan Lowok Waru Kodya Malang. Lembaga PenelitianUniversitasMuhammadiyahMalang. http:digilib.itb.ac.idgdl.xml [9 September 2009] Nuryanti, Herdine S.2007. Analisis Karaktersitik Konsumsi Energi Pada Sektor Rumah Tangga di Indonesia. Disampaikan pada Seminar Nasional SDM Teknologi Nuklir di Yogyakarta. 21-22 November 2007. Rahmat B. 2007. Konversi Minyak Jelantah menjadi Biodiesel. Majalah Ilmiah Wawasan Tridharma Kopertis Wilayah IV. Edisi 7 tahun XIX. Rajvanshi AK, Kumar S. Development of Improved Lanterns for Rural Areas. Publication No. NARI-LAN-1. Pant A, Jain A, Das A. 2008.Study on The Liquid Flow behavior of Cotton Wick. Fibers and Polymers. 92:176-186. [Pertamina]. Pertamina Unit Pembekalan dan Pemasaran Dalam Negeri VI. Spesifikasi Minyak Tanah. 1979. http: www. balikpapan.indo.net.idcorporateuppdn6.htm [ 21 Mei 2007] Prastowo B. 2007. Kompor Berbahan Bakar Minyak Nabati. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol. 29. No. 6 [Puslitbun]. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Bahan Nabati Asal Tanaman Perkebunan Sebagai Alternatif Pengganti Minyak Tanah Untuk Rumah Tangga. 2007. http:www.puslitbun.orgBahan Bakar Nabati Asal Tanaman Perkebunan Sebagai Alternatif Pengganti Minyak Tanah Untuk Rumah Tanggahtml [28 Maret 2009] Ramachandran T,Kesavaraja N. 2004. A study on Influencing Factors for Wetting and Wicking behavior. Textile Research Journal. 842:37-41. Reksowardojo I. 2008. Stove for Plant Oils. Workshop on Renewable Energy Technology Application To support Eenergu. Economics. and Environment Vilage. 22-24 Juli 2008.Jakarta. Sadikin S, Maesen L.J.G. 1993.Sumber Daya Nabati Asia Tenggara. Prosea. Gramedia. Jakarta. San. 2009. Kapilaritas. http:www.gurumuda.comcategoryfisika-smafluida- statis [11 Februari 2009] Scheidegger A.E.1974. The Physics of Flow Through Porous Media. University of Toronto Press. Satriya E. 2007. Menyoal Koversi Minyak Tanah ke Bahan Bakar Gas. http:kolom.pacific.net.idmenyoal_konversi_minyak_tanah_ke_bahan_ba kar_gas_files. [21 Mei 2007] Suirta I.W. 2009. Preparasi Biodiesel dari Minyak Jelantah Kelapa Sawit. Jurnal Kimia 31. Tuller M, Or D. 2005.Capillarity. Water Resources Research 357:155-164. Turns RS. 1996. An Introduction to Combustion : Concept and Application. Singapore.Mc Graw-Hill.Inc. [US Patent] United State Patent 20060161030. http:www.freepatentsonline20060161030.html [21 Mei 2007]. Wallas M.S. 1991. Modelling with Differential Equations in Chemical Engineering. Toronto.Butterworth-Heinemann. Wahyuni D.N. 2009. Pertamina Berhenti Impor Avtur Akhir April 2009. www.detikfinance.com [29 September 2009]. Welty J.R,Wilson R.E, Wick C.E. 1976. Fundamentals of Momentum heat and Mass Transfer.New York. Jhon Wiley and Son. Co. WIPO 2007. http:www.wipo.int A Combustion Device [ 5 Februari 2009]. Lampiran 1. Penyelesaian Analitis Persamaan Model Langkah-langkah analisis model matematika 1. Ploting data percobaan pengukuran waktu yang diperlukan untuk mencapai ketinggian tertentu 2. Penentuan persamaan kurva hasil ploting data percobaan 3. Optimasi parameter jari-jari kapilarisasi . sudut kontak dan tortuosity Persamaan yang dipergunakan

4. Penyelesaian persamaan diferensial secara analitik

d Mv F F P dt     h r g P hv F r F 2 , 8 , cos 2                  h h r g r dt dh 8 cos 2 2   8 cos 2 2    h r g dt dh h r        d Mv F F P dt      dt mv d dt dh h r g r h   cos 2 8 2            dt dh h a a h a 3 2 1    cos 2 r A  dt dh h B   8   8 1  a h r g C 2    5. Ploting data hasil analitik 2 4 6 8 10 12 50 100 150 200 250 300

h, cm

t, detik

t model t perc    cos 2 2 r a  2 3 r g a    Lampiran 2. Contoh Hasil Optimasi Model Matematika Kapilarisasi MINYAK TANAH DATA PERCOBAAN t, detik h, cm 4 1 13 2 25 3 38 4 59 5 81 6 123 7 152 8 201 9 252 10 PERSAMAAN KURVA Y = 2.23 LN x - 3.41 atau h = 2.23 LN t - 3.41 dhdt = 2.23 t OPTIMASI PARAMETER t, detik h, mm dhdt A B C total 4 1 0.558 0.0407 0.1181 0.0001 0.0775 13 2 0.172 0.0407 0.0727 0.0003 0.0323 25 3 0.089 0.0407 0.0567 0.0004 0.0164 38 4 0.059 0.0407 0.0497 0.0005 0.0096 59 5 0.038 0.0407 0.0400 0.0007 0.0000 81 6 0.028 0.0407 0.0350 0.0008 0.0049 123 7 0.018 0.0407 0.0269 0.0009 0.0129 152 8 0.015 0.0407 0.0249 0.0010 0.0148 201 9 0.011 0.0407 0.0212 0.0012 0.0184 252 10 0.009 0.0407 0.0187 0.0013 0.0206 total 2.07E-01 y = 2,230lnx - 3,410 -1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 100 200 300 h , cm

t,detik

   cos 2 R A  dt dh h B   8  8 cos 2 2    h R g dt dh h R        h R g C 2    DATA PARAMETER suhu 30 o C phi 3.1429 teg.permukaan , grs 2  28.4500 a1 0.21185202 porositas,  0.6896 a2 0.0406922 densitas ,  grcm 3 0.8228 a3 0.00013122 viskositas, cm 2 s  0.01485 gravitasi , g cms 2 980.0000 a1a3 1614.5036 jari-jari, R cm 0.0002 a1.a2a32 500675.827 sudut kontak,  0.0000 C1 7566711.71 tortuosity,  1.0000 KURVA MODEL h t perc t model 1 4 2.597520804 2 13 10.3678604 3 25 23.27792446 4 38 41.29493521 5 59 64.38642747 6 81 92.52024462 7 123 125.6645347 8 152 163.7877468 9 201 206.8586268 10 252 254.8462142 2 4 6 8 10 12 100 200 300 h , cm

t, detik

t model t perc C t h a a a a a h a     | 3 2 | ln 3 2 3 1 2  8 1  a    cos 2 2 R a  2 3 R g a    MINYAK JARAK PAGAR DATA PERCOBAAN t, detik h, cm 16 1 57 2 159 3 272 4 454 5 765 6 1078 7 1661 8 2000 9 2538 10 PERSAMAAN KURVA Y = 1.765 LN x - 5.109 ATAU h = 1.765 LN t - 5.109 dhdt = 1.765 t OPTIMASI PARAMETER t, detik h, mm dhdt A B C total 16 1 0.110 0.0301 0.1679 0.0001 0.1378 57 2 0.031 0.0301 0.0942 0.0002 0.0643 159 3 0.011 0.0301 0.0507 0.0003 0.0209 272 4 0.006 0.0301 0.0395 0.0005 0.0098 454 5 0.004 0.0301 0.0296 0.0006 0.0000 765 6 0.002 0.0301 0.0211 0.0007 0.0084 1078 7 0.002 0.0301 0.0174 0.0008 0.0119 1661 8 0.001 0.0301 0.0129 0.0009 0.0163 2000 9 0.001 0.0301 0.0121 0.0010 0.0170 2538 10 0.001 0.0301 0.0106 0.0011 0.0184 total 3.05E-01 y = 1.765lnx - 5.109 -1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 500 1000 1500 2000 2500 3000 h , cm

t,detik

   cos 2 R A  dt dh h B   8  8 cos 2 2    h R g dt dh h R        h R g C 2    DATA PARAMETER suhu 70 o C phi 3.1429 teg.permukaan , grs 2  24.3700 a1 1.52180095 porositas,  0.6896 a2 0.03014286 densitas ,  grcm 3 0.9502 a3 0.00011332 viskositas, cm 2 s  0.09237 gravitasi , g cms 2 980.0000 a1a3 13428.9991 jari-jari, R cm 0.0002 a1.a2a32 3572019.61 sudut kontak,  0.0000 C1 8219553.6 tortuosity,  1.0000 KURVA MODEL h t perc t model 1 16 25.18005486 2 57 100.4692745 3 159 225.4943951 4 272 399.8863083 5 454 623.2799994 6 765 895.3144871 7 1078 1215.632764 8 1661 1583.88174 9 2000 1999.712182 10 2538 2462.778662 2 4 6 8 10 12 500 1000 1500 2000 2500 3000 h , cm

t, detik