Joseph Goldstein, membedakan penegakan hukum pidana menjadi 3 bagian yaitu: 1
Total Inforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana sebagaimana di rumuskan oleh hukum pidana subtantif
substantive law of crime. Penegakan hukum pidana ini secara total tidak mungkin dilakukan
sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana yang antara lain mencakup aturan-aturan penangkapan, penahanan,
penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan pendahuluan. Disamping itu mungkin terjadi hukum pidana subtantif sendiri memberikan batasan-batasan.
Misalnya dibutuhkan aduan terlebih dahulu sebagai syarat penuntutan pada delik-delik aduan
klacht delicten. Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut sebagai
area of no enforcement. 2
Full Enforcement, setelah ruang lingkup penegakan hukum pidana yang bersifat total tersebut dikurangi
area of no enforcement. Dalam penegakan hukum ini para penegak hukum diharapkan penegakan hukum secara
maksimal. 3
Actual Enforcement, menurut Gosehp Goldein full enforcement ini dianggap not a realistic expectation, sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam
bentuk waktu, personil, alat investigasi, dana dan sebagainya. Yang kesemuanya mengakibatkan keharusan dilakukannya diskresi dan sisanya
inilah yang disebut dengan actual enforcement.
57
Penegakan hukum pidana berkaitan erat dengan kemampuan aparatur negara dan kepatuhan masyarakat terhadap aturan yang berlaku. Penegakan hukum pidana
tersebut merupakan bekerjanya proses peradilan pidana dengan sistem terpadu
57
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Undip, Semarang, 1995, hlm.45.
Integrated Criminal Justice System yang dilakukan oleh Polisi dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil PPNS, Jaksa, Hakim, Advokat dan Lembaga
Pemasyarakatan atas dasar hukum yang berlaku.
58
Sebagai suatu proses yang bersifat sistematik maka, penegakan hukum pidana menampakan diri sebagai penerapan hukum pidana
criminal law application. Pemahaman yang bersifat sistematik itu yaitu melihat unsur-unsur penegakan
hukum sebagai sub-sub sistem peradilan pidana yang mengarah pada konsep penegakan hukum pidana berupa aparat Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan
Lembaga Pemasyarakatan. Termasuk didalamnya tentu saja Lembaga Bantuan Hukum. Bekerja dalam suatu proses yang saling berhubungan satu sama lain.
E. Hubungan Penyidik Polri dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil PPNS
Keimigrasian.
KUHAP mengatur hubungan koordinasi fungsional dan instantsional didalam pelaksanaan penyidikan, yaitu hubungan antar penyidik Polri dengan penyidik
pegawai negeri sipil tertentu, antara lain tentang: a.
Koordinasi dan Pengawasan Pasal 7 ayat 2 KUHAP b.
Pemberian petunjuk dan bantuan, laporan dimulai penyidikan dan pemberhentian penyidikan serta penyerahan hasil penyidikan Pasal 107 dan
Pasal 109 ayat 3 KUHAP.
59
58
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum pidana Dalam
Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 32.
59
PEDOMAN PELAKSANAAN KUHAP, hlm. 25.
Ketentuan Pasal 6 ayat 1 huruf a, salah satu instansi yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan ialah pejabat polisi negara. Memang dari segi
differensiasi fungsional, KUHAP telah meletakan tanggung jawab fungsi penyidikan kepada instansi kepolisian. Namun demikian agar seorang pejabat
kepolisian dapat diberi jabatan sebagai penyidik, harus memenuhi syarat kepangkatan, seperti yang diatur dalam Pasal 6 ayat 2 KUHAP.
60
Kedudukan dan wewenang penyidik pegawai negeri sipil dalam melaksanakan tugas
penyidikan adalah penyidik pegawai negeri sipil kedudukannya berada dibawah koordinasi penyidik Polri dan dibawah pengawasan penyidik Polri.
Kepentingan penyidikan, penyidik Polri memberikan petunjuk kepada penyidik pegawai negeri sipil tertentu dan memberikan bantuan penyidik yang diperlukan
Pasal 107 ayat 1 KUHAP. Penyidik pegawai negeri sipil tertentu, harus melaporkan kepada penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang
sedang disidiknya, jika dari penyidikan itu oleh penyidik pegawai negeri sipil itu ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya kepada penuntut
umum Pasal 107 ayat 2 KUHAP. Apabila penyidik pegawai negeri sipil telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada
penuntut umum. Cara penyerahannya kepada penuntut umum dilakukan penyidik pegawai negeri sipil melalui penyidik Polri Pasal 107 ayat 3 KUHAP.
Penyidik Polri dapat mengembalikan hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil yang dianggap belum sempurna, untuk diperbaiki seperlunya.
61
60
M. Yahya Harahap, Op.Cit., hml. 111.
61
Binarto Agung Lucky, Tesis Magister Ilmu Hukum:, Pelaksanaan Penyidikan Oleh Penyidik
Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Imigrasi Dalam Rangka Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Undang-Undang Keimigrasian, Universitas Diponegoro, Semarang, 2006, hlm. 57.
Hubungan Polri dengan penyidik pegawai negeri sipil keimigrasian yang diatur dalam Pasal 107 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 menyatakan bahwa:
1 Dalam melakukan penyidikan, PPNS keimigrasian berkoordinasi dengan
penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia. 2
Setelah melakukan penyidikan, PPNS Keimigrasian menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.
Pasal 107 ayat 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 memberikan fungsi khusus kepada penyidik pegawai negeri sipil keimigrasian dalam penyerahan
berkas penyidikan yang dilakukan olehnya. Dengan arti lain bahwa dalam cara penyerah berkas penyidikan kepada penuntut umum, PPNS keimigrasian bisa
langsung memberikan berkas penyidikan tersebut tanpa melalui penyidik Polri. Hal ini berbeda dengan yang tercantum dalam Pasal 107 ayat 3 KUHAP.