Pengering semprot Pengering drum

pada sifat fisik dan kimia bahan inti, sensitifitas bahan inti, ukuran mikrokapsul, mekanisme pelepasan, aplikasi dalam makanan dan faktor ekonomi Risch 1995.

a. Pengering semprot

Pengering semprot merupakan teknik pengeringan yang paling umum digunakan dalam proses mikroenkapsulasi. Proses yang terjadi pada pengeringan semprot meliputi penyemprotan bahan melalui atomizer, kontak antara bahan dan udara pengering, evaporasi dan pemisahan partikel kering Masters 1985. Atomisasi akan menghasilkan droplet yang berukuran kecil, sehingga luas permu- kaan menjadi besar yang mengakibatkan proses penguapan akan lebih cepat. Kontak bahan dengan udara pengering menyebabkan terjadinya evaporasi. Terjadi transfer panas dari udara pengering ke droplet, sehingga air yang terdapat di dalam droplet akan menguap. Partikel kering yang diperoleh selanjutnya dipi- sahkan dari udara dan dikumpulkan. Keuntungan menggunakan pengering semprot adalah menghasilkan produk yang kondisinya seragam, produk menjadi kering tanpa bersentuhan dengan permukaan logam panas, biaya pengeringan 30 sampai 50 kali lebih rendah daripada pengering beku dan dapat dimanfaatkan untuk mengkapsulkan minyak atau sumber asam lemak ω-3 Wanasundara dan Sahidi 1995. Sebagai bahan yang sensitif terhadap panas, asam lemak ω-3 sangat efektif dikapsulkan dengan metode ini. Hal ini disebabkan waktu kontak antara udara pengering dan droplet yang disemprotkan ke dalam ruang pengering terjadi dalam waktu yang singkat, sehingga kemungkinan terjadinya degradasi karena panas dapat diminimumkan.

b. Pengering drum

Salah satu metode pengeringan yang ekonomis adalah pengering drum. Dalam operasi pengeringan tersebut bahan berbentuk bubur atau cairan dituangkan di atas permukaan drum, dan drum berputar untuk membentuk suatu permukaan tipis pada permukaan Anonim 2003. Selanjutnya produk yang kering dilepaskan dari permukaan drum dengan menggunakan pisau pengeruk. Lapisan kering berupa lipatan-lipatan tersebut digiling menjadi suatu bubuk yang halus. Bahan-bahan yang sensitif terhadap panas dapat dikeringkan dengan baik karena kontak dengan permukaan drum bertemperatur tinggi berlangsung hanya beberapa detik Moore 1995. Pengering drum juga dapat digunakan untuk mengeringkan bahan yang sensitif terhadap oksidasi. Desobry et al. 1997 telah berhasil menggunakan pengering drum dalam enkapsulasi β-carotene. Sama halnya dengan minyak ikan, β- carotene merupakan zat yang sensitif terhadap oksidasi selama penyimpanan. Faktor yang mempengaruhi tingkat pengeringan adalah: 1. lamanya bahan berada dalam drum, 2 temperatur permukaan dan 3 ketebalan film. Pengeringan hanya dapat dilakukan pada bahan dalam bentuk bubur dan produk harus mampu bertahan pada suhu tinggi dalam waktu singkat tanpa mengalami perubahan kualitas Anonim 2003. Keuntungan penggunaan alat pengering drum adalah kecepatan pengeringan yang tinggi dan penggunaan panas yang ekonomis serta biaya pengeringan lebih murah. Kelemahannya hanya dapat digunakan pada bahan yang berbentuk pasta atau bubur yang tahan terhadap suhu tinggi dalam waktu singkat Brennan et al. 1990. Selanjutnya menurut Moore 1995 salah satu syarat untuk proses pengeringan dengan alat pengering semprot maupun pengering drum adalah bahan tersebut dalam bentuk cairan pekat. Aplikasi Mikroenkapsulasi dalam Bidang Pakan Aplikasi mikroenkapsulasi mempunyai cakupan yang luas di antaranya dalam bidang bioteknologi, biomedis, farmasi, teknologi pangan, pertanian, pakan ikan dan pakan ternak Bain 1998; Wong 1998. Penggunaan produk mikroenkapsulasi untuk ransum ternak belum banyak digunakan dan juga sangat sedikit data penelitian yang menyinggung hal tersebut. Beberapa data perkembangan penggunaan mikroenkapsulasi dalam industri peternakan dapat dilihat pada Tabel 6. Teknik mikroenkapsulasi yang digunakan dalam industri pakan sama dengan dalam industri pangan. Teknik-teknik tersebut digunakan untuk meng- hasilkan mikrokapsul zat makanan dengan mencegahnya dari degradasi selama pengolahan, penanganan dan pencampuran dalam ransum. Produk mikroenkap- sulasi dapat digunakan sebagai feed supplement dalam industri peternakan dan perikanan Langdon et al. 1985. Tabel 6 Perkembangan hasil penelitian mikroenkapsulasi dalam bidang pakan No Sumber Hasil 1 Bain 1998 Mikroenkapsulasi asam amino lisin dengan menggunakan bahan penyalut dari khitin dan diaplikasikan untuk pakan udang dewasa. 2 Wong 1998 Mikroenkapsulasi asam amino lisin dengan menggunakan bahan penyalut dari dekstrin, pati jagung, β-siklodekstrin untuk pakan udang dewasa. 3 Pedroza-Islas et al. 1999 Mikroenkapsulasi bahan pakan udang dengan bahan penyalut gum arab, maltodekstrin dan mesquite gum. 4 Van-Immerseel et al. 2004 Pemberian mikrokapsul asam lemak rantai pendek asam butirat sebagai feed aditif dalam ransum anak ayam untuk mengontrol bakteri patologi Salmonella enteritidis. 5 Putnam et al. 2003 Perkembangan teknologi mikroenkapsulasi memberikan petunjuk yang berharga bagi nutrisionis ruminansia untuk menghasilkan nutrien tertentu ke lokasi penyerapan dalam usus halus. 6 Xing et al. 2004 Pemberian lemak yang dienkapsulasi ke dalam ransum berbentuk tepung atau pelet untuk babi pertumbuhan . 7 Emanuelle 2005 Teknologi mikroenkapsulasi potensial untuk menghasilkan nutrien yang dapat meningkatkan kesehatan ternak, reproduksi dan produksi susu . Upaya Peningkatan Kandungan Asam Lemak ω-3 Kuning Telur dengan Penambahan Sumber Asam Lemak ω-3 dalam Ransum Ayam Petelur Kandungan as am lemak ω-3 pada telur dapat ditingkatkan dengan cara penambahan bahan pakan yang mengandung asam lemak ω-3 ke dalam ransum ayam petelur. Sumber asam lemak ω-3 yang biasa ditambahkan di antaranya flaxseed, canola, biji chia, ganggang laut dan minyak ikan. Sumber asam lemak ω-3 yang berasal dari tanaman, kandungan asam lemak ω-3 banyak mengandung asam linolenat, sedangkan sumber asam lemak ω-3 dari produk laut seperti minyak ikan dan ganggang, kandungan asam lemak ω-3 yang mengandung EPA dan DHA lebih tinggi. Pemberian sumber asam lemak ω-3 dalam ransum ayam petelur tidak dibatasi umur produksi dan lama pemberian. Pemberian dapat dilakukan sebelum dan setelah mencapai puncak produksi serta lama pemberian dapat dilakukan 4 minggu atau lebih 24 minggu. Perkembangan penelitian pemberian sumber asam lemak ω-3 dalam ransum ayam petelur berdasarkan umur ayam dan lama pemberian dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Perkembangan hasil penelitian pemberian sumber asam lemak ω-3 dalam ransum ayam petelur berdasarkan umur ayam dan lama pemberian Peneliti Sumber asam lemak ω-3 Umur ayam minggu Lama pemberian minggu Hargis et al. 1991 Minyak ikan 36 18 Van Elswyk et al. 1992 Minyak ikan 40 9 Van Elswyk et al. 1994 Minyak ikan 22 24 Van Elswyk et al. 1995 Minyak ikan 36 4 Herber dan Van Elswyk 1996 Minyak ikan dan ganggang laut 24 56 4 4 Scheideler dan Froning 1996 Minyak ikan dan flaxseed 43 7 Meluzzi et al. 2000 Minyak ikan 39 4 Baucells et al. 2000 Minyak ikan 20 14 Sudibya 1998 Minyak ikan 24 8 Rusmana 2000 Minyak ikan 16 10 Carrillo-Dominguez et al. 2005 Crustacea laut 65 3 Schreiner et al. 2004 Seal blubber oil 26 9 Ayerza dan Coates 2000 Biji chia Salvia hispanica 27 13 Gonzales dan Leeson 2000 Minyak ikan 19 36 Penambahan bahan makanan yang mengandung asam lemak ω-3 ke dalam ransum ayam petelur dapat meningkatkan asam lemak ω-3 dalam kuning telur. Penambahan 3 - 4 minyak ikan dalam ransum ayam petelur dapat mening- katkan asam lemak ω-3 kuning telur 4 - 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa pemberian minyak ikan Hargis et al. 1991; Van Elswyk et al. 1992, 1994, 1995; Baucells et al. 2000; Gonzalez dan Leeson 2000. Penambahan 4.8 ganggang laut menyebabkan total asam lemak ω-3 dalam kuning telur meningkat sebesar 5 kali Herber dan Van Elswyik 1996. Pemberian 8 flaxseed menyebabkan kandungan asam lemak ω-3 terutama asam linolenat meningkat 5 kali Cherian dan Sim 1991. Penambahan bahan makanan yang mengandung asam lemak ω-3 tersebut lebih banyak mempengaruhi asam lemak ω-3 dibandingkan dengan pengaruhnya terhadap asam lemak jenuh, asam lemak tidak jenuh rangkap tunggal serta asam lemak ω-6. Menurut Keshavarz 1999 komposisi asam lemak dalam kuning telur dipengaruhi oleh komposisi asam lemak dalam ransum, jika asam lemak dalam ransum banyak mengandung asam lemak jenuh atau asam lemak tidak jenuh rangkap tunggal maka dalam kuning telur ditemukan banyak asam lemak tersebut. Disamping itu penambahan sumber makanan yang banyak mengandung asam lemak ω-3 tersebut juga lebih banyak mempengaruhi kandungan asam lemak dalam kuning telur dibandingkan dengan pengaruhnya terhadap performa produksi konsumsi ransum, produksi telur, berat telur, produksi massa telur dan konversi ransum dan kualitas telur nilai Haugh unit, indeks warna kuning telur dan berat kerabang telur. Beberapa hasil penelitian penambahan sumber asam lemak ω-3 dalam ransum ayam petelur dan pengaruhnya terhadap komposisi asam lemak dalam kuning telur, performa produksi dan kualitas telur dapat dilihat pada Tabel 8. Kandungan asam lemak ω-3 pada kuning telur dengan penambahan produk laut seperti minyak ikan dan ganggang dalam ransum ayam petelur nyata lebih tinggi kandungan EPA dan DHA. Penambahan sumber asam lemak ω-3 yang berasal dari tanaman seperti flaxseed dan minyak linseed, kandungan asam lemak ω-3 dalam kuning telur nyata lebih tinggi asam linolenat, sedangkan EPA dan DHA ditemukan dalam jumlah kecil Caston dan Leeson 1990; Scheider dan Froning 1996; Baucells et al. 2000. Kandungan EPA pada minyak ikan lebih tinggi daripada DHA. Pemberian minyak ikan dalam ransum menyebabkan kandungan EPA lebih tinggi daripada DHA akan tetapi pada kuning telur didapatkan sebaliknya, kandungan DHA lebih tinggi daripada EPA. Tingginya kandungan DHA dibandingkan dengan EPA disebabkan antara lain oleh: terjadinya desaturasi dan elongasi dari alpha linolenat menjadi DHA dalam organ hati, adanya perbedaan biokimia antara EPA dan DHA sehingga mempengaruhi inkorporasi mereka ke dalam kuning telur, lebih baiknya DHA daripada EPA untuk diinkorporasikan ke dalam membran, serta lebih kuatnya penyimpanan DHA daripada EPA dalam plasma ayam Huang et al. 1990; British Nutrition Foundations 1994; Herber dan Van Elswyk 1996; Ayerza dan Coates 1999. Tingginya DHA dalam kuning telur juga ditemukan pada penelitian pemberian ω-3 dalam ransum ayam petelur Marshall et al. 1994; Baucells et al. 2000; Meluzzi et al. 2000; Gonzalez dan Leeson 2000. Tabel 8 Perkembangan hasil penelitian pemberian sumber asam lemak ω-3 dalam ransum ayam petelur terhadap kandungan asam lemak ω-3 kuning telur dan performa ayam petelur Peneliti Sumber asam lemak ω-3 Hasil penelitian Hargis et al. 1991 Minyak ikan menhaden 0 dan 3 Tidak mempengaruhi SAFA dan MUFA, asam lemak ω-3 meningkat 4 kali, imbangan ω-6 : ω-3 turun menjadi 3 : 1. Tidak mempengaruhi performa produksi. Van Elswyk et al. 1992 Minyak ikan menhaden 0 dan 3 Tidak mempengaruhi SAFA dan MUFA, asam lemak ω-3 meningkat 4.5 kali, imbangan ω-6 : ω-3 turun dari 18 menjadi 3. Tidak nyata mempengaruhi berat telur. Van Elswyk et al. 1994 Minyak ikan menhaden 0 dan 3 M eningkatkan asam lemak ω-3 sebesar 4 kali dan men urunkan imbangan ω-6 : ω-3 dari 18 menjadi 3. Tidak mempengaruhi produksi telur. Van Elswyk et al. 1995 Minyak ikan men- haden 0, 0.5, 1.5, dan 3 K andungan asam lemak ω-3 pada pemberian 1.5 dan 3 tidak berbeda nyata dan meningkat 6 kali dibanding ransum kontrol. Herber dan Van Elswyk 1996 Minyak ikan 1.5 dan ganggang laut 2.4 dan 4.8 Tidak mempengaruhi SAFA dan MUFA, asam lemak ω-3 meningkat 3- 4 kali, imbangan ω-6 : ω-3 turun dari 18 menjadi 3. Tidak mempengaruhi performa produksi. Sudibya 1998 Minyak ikan lemuru Tidak mempengaruhi SAFA dan MUFA. Konsumsi ransum, berat telur dan kualitas telur tidak beda nyata. Produksi dan konversi ransum berbeda nyata. Gonzalez dan Leeson 2000 Minyak ikan men- haden 2, 4 dan 6 Kandungan asam lemak ω-3 meningkat dengan meningkatnya pemberian minyak ikan. Cherian dan Sim 1991 Flaxseed 8 Asam linolenat meningkat 5 kali. Tidak mempengaruhi performa produksi. Carilla- Dominguez et al. 2005 Crustacea laut 6 Asam lemak ω-3 meningkat 4 kali. Imbangan asam lemak ω-6 : ω-3 turun dari 15 menjadi 5. Tidak mempengaruhi performa produksi. Schreiner et al. 2004 Seal blubber oil 5 Tidak mempengaruhi SAFA dan MUFA, asam lemak ω-3 meningkat 1.5 kali. Tidak mempengaruhi performa produksi. Keterangan: SAFA : Saturated fatty acid asam lemak jenuh, MUFA : Monounsaturated fatty acid asam lemak tidak jenuh rangkap tunggal M eningkatnya asam lemak ω-3 dalam kuning telur akibat pemberian sumber asam lemak ω-3 dalam ransum dapat mempengaruhi asam lemak ω-6 dan imbangan antara asam lemak ω-6 dan ω-3. Penambahan sumber asam lemak ω-3 dalam ransum dapat menurunkan imbangan ω-6 : ω-3 dalam kuning telur sampai 5 : 1. Imbangan asam lemak ω-6 : ω-3 sebesar 5 : 1 dalam kuning telur menghasilkan telur yang baik bagi kesehatan dan layak untuk dikonsumsi. Beberapa lembaga luar negeri yang menangani bidang pangan merekomendasikan imbangan ω-6 : ω-3 yang menyehatkan dan layak untuk dikonsumsi adalah 5 : 1 Simopoulos 1989; Anonim 1990; British Nutrition Foundation 1992; Food and Agricultural Organization 1994. Penambahan minyak ikan dalam ransum ayam petelur perlu diperhatikan karena dapat menimbulkan masalah. Masalah yang timbul dalam penggunaan minyak ikan untuk ayam petelur adalah tidak homogennya ransum serta bau amis baik pada ransum maupun pada telur setelah dimasak. Menurut Marshall et al. 1994 pemberian minyak ikan lebih dari 3 dalam ransum menjadikan telur yang dihasilkan berbau amis. Bau amis tersebut disebabkan oleh adanya senyawa volatil di dalam minyak ikan yang terserap dalam saluran pencernaan unggas Van Elswyk et al. 1995; Karahadian dan Lindsay 1998. Proses perlakuan terhadap minyak dengan cara mikroenkapsulasi dapat mengurangi bau amis tersebut, karena salah satu tujuan dari proses mikroenkapsulasi tersebut adalah dapat mengurangi atau menutupi bau amis pada minyak ikan Reddy 1998; Subramanian dan Stagnitti 2004. Permasalahan lain dalam penggunaan minyak ikan adalah dalam transportasi, penyimpanan dan penanganannya sebelum dicampurkan ke dalam ransum ternak. Pengangkutan minyak ikan dalam bentuk cair membutuhkan wadah khusus drum, sehingga membutuhkan biaya tambahan. Minyak ikan banyak mengandung asam lemak tidak jenuh yang menyebabkan mudah teroksidasi sehingga menyulitkan dalam penyimpanan. Pencampuran minyak ikan lebih sulit karena terjadinya penggumpalan, sehingga ransum tidak homogen. Semua permasalahan tersebut dapat diatasi dengan penambahan mikrokapsul minyak ikan ke dalam ransum ayam petelur. Keunggulan mikrokapsul minyak ikan di antaranya aroma amis kurang, daya simpan lebih tinggi serta produk tersebut dalam bentuk tepung, sehingga lebih mudah penanganan dan pencampurannya ke dalam ransum. Menurut Walter 1990 enkapsulasi dari minyak memudahkan dalam penanganan dan pencampuran ke dalam ransum, sebaliknya jika minyak dalam bentuk cair digunakan dalam ransum maka diperlukan sistem khusus untuk menanganinya. Penambahan mikrokapsul minyak ikan sebag ai sumber asam lemak ω-3 dalam ransum ayam petelur sebagai alternatif dari penambahan minyak ikan merupakan suatu hal yang baru dan belum banyak dilaporkan oleh peneliti sebelumnya. Selama ini sumber asam lemak ω-3 yang biasa ditambahkan ke dalam ransum a yam petelur guna menghasilkan telur yang kaya asam lemak ω-3 adalah minyak ikan, flaxseed, canola, biji chia dan ganggang laut. Pemberian sumber asam lemak ω-3 tersebut diharapkan dapat meningkatkan kandungan asam lemak ω-3 kuning telur. Inkorporasi sumb er asam lemak ω-3 dalam ransum sampai dalam kuning telur sehingga dapat meningkatkan EPA dan DHA pada kuning telur dapat dilihat pada gambar mekanisme absorbsi lemak Gambar 1. Lemak dalam ransum mengandung trigliserida, kolesterol dan pospolipid. Trigliserida ada yang rantai pendek, menengah dan panjang. Minyak ikan banyak mengandung trigliserida rantai panjang jumlah atom karbon lebih dari 14, setelah dicampurkan ke dalam ransum menyebabkan ransum juga banyak mengandung trigliserida rantai panjang. Ransum yang mengandung trigliserida rantai panjang dengan adanya enzim lipase pankreas di dalam usus halus dicerna menjadi monogliserida dan asam- asam lemak rantai panjang Gambar 1. Selanjutnya bersama dengan asam lemak yang berasal dari pencernaan posfolipid dan kolesterol bergabung membentuk misel dan selanjutnya diabsorbsi ke dalam mukosa usus halus. Dalam mukosa usus halus asam lemak rantai panjang diesterifikasi kembali dengan gliserol membentuk trigliserida rantai panjang dan komponen-komponen lain. Selanjutnya bergabung dengan protein untuk membentuk kilomikron guna diangkut masuk ke dalam sistem limfa dan kemudian ke dalam sirkulasi darah dan akhirnya diteruskan ke hati. Di dalam hati asam lemak rantai panjang dibuat menjadi lebih panjang dan menjadi jenuh yaitu dengan cara mengubahnya menjadi asam lemak yang berbeda-beda, misalnya stearat 18:0 diubah menjadi oleat 18:1 dan asam linoleat 18:2 diubah menjadi arakidonat 20:4. Gambar 1 Mekanisme absorbsi lemak Piliang dan Djojosoebagio 2006. Kolesterol kuning telur dibuat di hati, dibawa melalui darah dalam bentuk lipoprotein dan dideposisikan ke folikel kuning telur. Kandungan kolesterol tersebut ada hubungannya dengan kandungan asam lemak ransum. Jika asam lemak banyak mengandung SAFA maka dapat meningkatkan kolesterol, jika banyak mengandung MUFA maka tidak berpengaruh pada kolesterol, sedangkan jika banyak mengandung PUFA maka dapat menurunkan kolesterol Piliang dan Djojosoebagio 2006. Di dalam hati asam lemak disintesa melalui proses lipogenesis membentuk trigliserida baru. Bahan-bahan tersebut kemudian keluar dari hati dengan bantuan lipoprotein terutama dengan VLDL yang membawanya ke jaringan adiposa untuk Bergabung dengan misel TG rantai panjang Kolesterol Posfolipid Proses emulsifikasi oleh empedu Kilomikron hati Asam lemak + kolesterol lysolesitin Resintesis TG TG rantai pendek dan sedang Gliserol + asam lemak Lipase pankreas Kolesterol esterase phospolipase Bebas ester MG + asam lemak Koleste rol Kolesterol pospolipid Serum lipoprotein ovari disimpan dan selanjutnya di bawa ke dalam ovari pada ayam petelur. Ovarium bertanggung jawab membentuk sel telur ova. Terdapat sekitar 12.000 butir ova berukuran mikro tetapi hanya sekitar 200-300 butir yang mencapai matang dan diovulasikan. Ovarium menghasilkan hormon estrogen, progesteron dan testoteron yang berguna selama proses pembentukan ova. Ketersediaan nutrisi sangat mempengaruhi perkembangan ova dalam ovarium. Ova yang matang dikeluarkan dari ovari Gambar 2 masuk ke saluran sel telur oviduct dengan suatu proses yang dikenal sebagai ovulasi. Ketika telur matang, hormon progesteron yang diproduksi oleh indung telur, merangsang hipotalamus dan menyebabkan anterior pituitary mengeluarkan luteinizing hormone LH. Pembentukan putih telur terjadi di magnum dan dibantu oleh hormon estrogen dan progesteron. Selaput kerabang dibentuk di isthmus dan kerabang telur di bentuk di uterus Whittow 2000. Gambar 2 Proses pembentukan telur USDA 2000. Kandungan telur ayam terdiri atas kuning telur sebesar 30, albumin 60 dan kerabang 10. Albumin mengandung 88 air, 11 protein dan 1 karbohidrat sedangkan kuning telur mengandung 48 air, 17 protein, 33 lemak dan 1 karbohidrat. Lemak dalam kuning telur tersusun atas 63 trigliserida, 30 pospolipid dan 5 kolesterol. Kandungan Asam lemak utama dalam trigliserida pada telur tanpa penambahan sumber asam lemak ω-3 dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Kandungan dan komposisi asam lemak pada telur ayam Asam lemak Proporsi Palmitat 16:0 23.7 Stearat 18:0 7.8 Arakhidat 20:0 0.2 Total SAFA 32.4 Palmitoleat 16:1 3.0 Oleat 18:1 45.6 Eikosanoat 20:1 0.3 Total MUFA 49.8 Linoleat 18:2 13.3 Arakidonat 20:4 2.6 Total -6 16.1 Linolenat 18:3 0.5 EPA 20:5 - DPA 22 : 5 0.1 DHA 22:6 0.9 Total -3 1.5 Sumber: Gibson et al. 1998 dan disitasi dari Davis dan Reeves 2002. Kandungan asam lemak ω-3 dalam kuning telur tanpa penambahan asam lemak ω-3 dalam ransum rendah yaitu sebesar 1.5 Tabel 9. Pemberian sumber asam lemak ω-3 dalam ransum dapat mempengaruhi komposisi asam lemak dalam kuning telur. Kandungan asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh rangkap tunggal tidak dipengaruhi dengan pemberian sumber asam lemak ω-3 tersebut akan tetapi lebih banyak meningkatkan asam lemak ω-3 serta menurunkan imbangan asam lemak ω-6 dan ω-3 dalam kuning telur Hargis et al. 1991; Van Elswyk et al. 1992,1994,1995; Baucelss et al. 2000. BAHAN DAN METODE Penelitian terdiri atas dua tahap yaitu: Tahap I : pembuatan mikrokapsul minyak ikan menggunakan berbagai bahan pakan sebagai bahan penyalut alternatif dengan pengering semprot maupun pengering drum. Tahap II : pemanfaatan mikrokapsul minyak ikan dalam ransum ayam petelur guna menghasilkan telur yang kaya asam lemak ω-3 dan rendah kolesterol. Penelitian Tahap I Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan memilih bahan pakan yang dapat digunakan sebagai bahan penyalut alternatif, mengoptimasikan penggunaan bahan penyalut tersebut berdasarkan imbangan minyak dan bahan penyalut dan kandungan padatan dalam emulsi serta menyusun formulasi imbangan kandungan karbohidrat dan protein dalam bahan penyalut alternatif yang terpilih dalam proses mikroenkapsulasi minyak ikan. Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia Pangan, Departemen Ilmu Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian dan Laboratorium Pilot Plant SEAFAST Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan adalah minyak ikan lemuru yang diperoleh dari hasil samping pengolahan tepung ikan dari Muncar, Banyuwangi. Bahan pakan sebagai bahan penyalut alternatif dalam mikroenkapsulasi digunakan dedak gandum, dedak padi, jagung giling, corn gluten meal, bungkil kedele dan tepung daging dan tulang. Lesitin kedele digunakan sebagai emulsifier. Berbagai bahan kimia lain digunakan dalam pemurnian minyak ikan, analisis kadar minyak, analisis asam lemak, analisis proksimat, analisis bilangan peroksida dan analisis bilangan TBA thiobarbituric acid. Peralatan yang digunakan antara lain gelas piala, tabung reaksi, kertas saring, gelas ukur, stirrer, timbangan analitik, homogenizer, drum dryer, spray dryer, refrigerator, vortex, soxhlet, hot plate, spektrofotometer, gas kromatografi dan Scanning Electron Microscope. Metode Penelitian Pada penelitian tahap pertama dilakukan 3 percobaan yakni: 1 seleksi bahan pakan sebagai bahan penyalut, 2 penentuan kandungan padatan dalam emulsi dan imbangan minyak dan bahan penyalut serta 3 formulasi imbangan kandungan karbohidrat dan protein dalam bahan penyalut. Persiapan sampel minyak ikan dan bahan penyalut Minyak ikan yang diperoleh dari hasil samping pengolahan tepung ikan dimurnikan terlebih dahulu melalui tahapan pemisahan bagian bukan minyak, netralisasi dan pemucatan. Bahan-bahan pakan yang digunakan sebagai bahan penyalut alternatif adalah dedak gandum, dedak padi, jagung giling, corn gluten meal, bungkil kedele dan tepung daging dan tulang. Bahan diayak dengan saringan ukuran 80 mesh. Hasil saringan tersebut digunakan sebagai bahan penyalut. Seleksi Bahan Pakan sebagai Bahan Penyalut Seleksi bahan pakan sebagai bahan penyalut bertujuan memilih bahan pakan yang dapat digunakan sebagai bahan penyalut alternatif dalam proses mikroenkapsulasi minyak ikan. Bahan pakan tersebut di antaranya: dedak gandum, dedak padi, jagung giling, bungkil kedele, tepung daging dan tulang meat and bone meal dan corn gluten meal. Seleksi bahan pakan tersebut dilakukan berdasarkan tingkat stabilitas emulsi. Bila tingkat stabilitas emulsi tinggi berarti bahan pakan dapat berikatan dengan minyak ikan sehingga tidak terjadi pemisahan yang cepat setelah bahan-bahan tersebut dihomogenisasi, sebaliknya bila tingkat stabilitas emulsi rendah berarti bahan pakan tidak dapat berikatan dengan minyak ikan dan cepat memisah setelah dihomogenisasi. Prosedur seleksi bahan pakan sebagai bahan penyalut berdasarkan penetapan tingkat stabilitas emulsi dilakukan menurut metode Lamar et al. 1976 dan telah dimodifikasi Permadi 1999 dapat dilihat pada Gambar 3. Prosedurnya diawali dengan menimbang masing-masing bahan pakan sebesar 10 gram dan melarutkannya dalam 100 ml pelarut air, kemudian diaduk sampai tercampur merata selama ±15 menit pada kondisi suhu 40 – 50 C. Minyak ikan sebanyak 25 dari berat bahan pakan yang digunakan ditambahkan ke dalam larutan tersebut. Larutan bahan penyalut dan minyak ikan dicampur dan dihomogenisasi selama 10 menit pada kondisi 10.000 rpm, setelah itu masing-masing perlakuan didiamkan dan diuji stabilitas emulsinya. Penetapan stabilitas emulsi ditentukan berdasarkan persentase pemisahan selama waktu penyimpanan, dengan asumsi bahwa sistem emulsi yang sempurna bernilai 100 Lamar et al. 1976 seperti yang disajikan dengan rumus di bawah: stabilitas = volume keseluruhan – volume pemisahan x 100 volume keseluruhan Gambar 3 Prosedur kerja seleksi bahan pakan sebagai bahan penyalut. Diaduk selama 15 menit pada kondisi suhu 40 – 50 C Larutkan Emulsi Ditambahkan minyak ikan 2.5 g Homogenisasi selama 10 menit dengan homogenizer pada 10.000 rpm Bahan penyalut 10 g Aquades 100 ml Didiamkan selama 1, 2,3, 4 dan 5 jam Uji stabilitas emulsi Penentuan Kandungan Padatan dalam Emulsi serta Imbangan Minyak dan Bahan Penyalut Percobaan ini bertujuan menentukan jumlah kandungan padatan bahan penyalut, minyak dan pengemulsi dalam pelarut air serta imbangan jumlah minyak ikan dan bahan penyalut yang dapat menghasilkan kadar minyak terkapsul dan efisiensi enkapsulasi yang lebih baik. Penentuan kandungan padatan dalam emulsi dan imbangan minyak dan penyalut disusun dengan menggunakan rancangan acak lengkap pola faktorial 3 x 3 dengan 2 kali ulangan. Faktor A adalah persentase kandungan padatan dalam emulsi yakni 15, 30 dan 45, sedangkan Faktor B merupakan imbangan minyak dengan bahan penyalut yakni 1 : 2, 1 : 4 dan 1 : 6. Bahan penyalut alternatif digunakan bahan pakan yang banyak mengandung karbohidrat yaitu dedak gandum yang menghasilkan stabilitas emulsi dengan baik pada percobaan sebelumnya serta sebagai emulsifier digunakan lesitin kedele. Emulsifier ditam- bahkan untuk membantu agar emulsi antara minyak dan bahan penyalut dapat bercampur dengan sempurna. Jumlah minyak ikan, bahan penyalut, emulsifier dan pelarut air yang digunakan untuk menentukan kandungan padatan dalam emulsi dan imbangan minyak dan penyalut dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Jumlah minyak ikan dan bahan penyalut yang digunakan untuk menentukan kandungan padatan dalam emulsi dan imbangan antara minyak M dan penyalut P Perlaku an Minyak ikan g Lemak penyalut g a Bahan penyalut g Total padatan g b Imbangan M : P emulsi A1B1 5.00 0.35 10.00 15.13 1 : 2 15 A1B2 3.00 0.42 12.00 15.09 1 : 4 15 A1B3 2.14 0.44 12.84 15.06 1 : 6 15 A2B1 10.00 0.69 20.00 30.27 1 : 2 30 A2B2 6.00 0.83 24.00 30.17 1 : 4 30 A2B3 4.28 0.89 25.68 30.13 1 : 6 30 A3B1 15.00 1.04 30.00 45.40 1 : 2 45 A3B2 9.00 1.25 36.00 45.26 1 : 4 45 A3B3 6.43 1.33 38.58 45.19 1 : 6 45 Keterangan : Jumlah pelarut ± 100 ml; emulsifier 2.5 dari berat minyak ikan a Jumlah lemak dalam bahan penyalut b total padatan = jumlah minyak ikan + bahan penyalut + emulsifier M : minyak ikan, P : penyalut. Prosedur pembuatan mikrokapsul berdasarkan penentuan kandungan padatan dalam emulsi dan imbangan minyak dan penyalut dapat dilihat pada Gambar 4. Prosedurnya diawali dengan menimbang bahan penyalut dan melarutkannya dalam pelarut sesuai dengan perlakuan Tabel 10, kemudian diaduk sampai tercampur merata selama ± 15 menit pada kondisi suhu 40 – 50 C. Minyak ikan ditimbang sesuai dengan perlakuan Tabel 10 dan ditambahkan lesitin kedele sebagai emulsifier sebesar 2.5 dari berat minyak ikan, selanjutnya diaduk selama ± 15 menit pada kondisi suhu 40 – 50 C. Larutan bahan penyalut dan minyak ikan dicampur, kemudian dihomogenisasi selama 10 menit, selanjutnya dikeringkan dengan pengering drum. Proses pengeringan dengan pengering drum dilakukan pada tekanan uap 3 bar dan kecepatan putaran 8.6 rpm. Gambar 4 Prosedur kerja penentuan kandungan padatan dalam emulsi dan im- bangan minyak dan bahan penyalut. Data hasil percobaan dianalisis dengan analisis ragam, jika ada perbedaan nyata antar perlakuan dilakukan uji Duncan. Peubah yang diamati meliputi: kadar analisis produk kadar minyak terkapsul, efisiensi enkapsulasi diaduk selama 15 menit suhu 40 –50 C dicampur homogenisasi selama 10 menit, 10.000 rpm bahan penyalut x g emulsifier 2.5 dari berat minyak minyak ikan y g diaduk selama 15 menit suhu 40 –50 C aquades z ml dikeringkan dengan pengering drum minyak terkapsul dengan metode soxhlet Apriyantono et al. 1989 dan nilai efisiensi enkapsulasi Lin et al. 1995. Formulasi Imbangan Kandungan Karbohidrat dan Protein dalam Bahan Penyalut Percobaan ini bertujuan menyusun formulasi imbangan kandungan karbohidrat dan protein dalam bahan penyalut berdasarkan kandungan karbohidrat dan protein dari bahan pakan yang digunakan sebagai bahan penyalut alternatif. Bahan penyalut alternatif yang digunakan adalah: dedak gandum, bungkil kedele dan tepung daging dan tulang. Kandungan karbohidrat dan protein serta zat makanan lain yang ada dalam masing-masing bahan pakan tersebut dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Kandungan zat makanan bahan pakan sebagai bahan penyalut 100 BK Bahan pakan Kandungan zat makanan Dedak gandum Bungkil kedele Tepung daging dan tulang Bahan kering 90.35 90.13 91.29 Protein kasar 15.90

46.50 52.40