Karakterisasi Biokimia Dan Mekanisme Selular Plantarisin Dari Lactobacillus Plantarum U10 Sebagai Inhibitor Pertumbuhan Salmonella Typhi.

KARAKTERISASI BIOKIMIA DAN MEKANISME SELULAR
PLANTARISIN DARI Lactobacillus plantarum U10 SEBAGAI
INHIBITOR PERTUMBUHAN Salmonella typhi

SOGANDI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakterisasi Biokimia
dan Mekanisme Selular Plantarisin dari Lactobacillus plantarum U10 sebagai
Inhibitor Pertumbuhan Salmonella typhi adalah benar karya saya dengan arahan
dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
.

Bogor, Juni 2015
Sogandi
NRP G851130241

RINGKASAN
SOGANDI. Karakterisasi Biokimia dan Mekanisme Selular Plantarisin dari
Lactobacillus plantarum U10 sebagai Inhibitor Pertumbuhan Salmonella typhi.
Dibimbing oleh I MADE ARTIKA dan APON ZAENAL MUSTOPA.
Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella
enterica serotipe typhi (S. typhi). Demam tifoid merupakan masalah yang serius
untuk negara berkembang. Indonesia menempati urutan ketiga sebagai negara
dengan kasus demam tifoid terbanyak setelah India dan Pakistan dengan banyak
kasus 180 untuk setiap 100.000 penduduk pertahun. Selama ini pengobatan yang
umum dilakukan adalah dengan menggunakan antibiotik. Namun, telah
dilaporkan adanya resistensi S. typhi terhadap antibiotik dan berbagai obat
(multidrug resistance), sehingga diperlukan alternatif pengobatan lain yang tidak
menginduksi resistensi pada S. typhi. Salah satu alternatif yang dapat digunakan

adalah peptida antimikroba. Plantarisin memiliki potensi sebagai alternatif
pengobatan demam tifoid. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk
mengoptimasi produksi plantarisin, pemurnian, mengkarakterisasi serta
mengetahui mekanisme aksi plantarisin yang dihasilkan oleh L. plantarum U10
sebagai inhibitor pertumbuhan bakteri S. typhi.
Pemurnian plantarisin U10 menggunakan presipitasi amonium sulfat 80%
dilanjutkan dengan filtrasi gel kromatografi dan penentuan bobot molekul
menggunakan SDS-PAGE 16% serta pengukuran aktivitas antibakteri terhadap S.
typhi menggunakan metode difusi agar. Karakterisasi plantarisin terhadap suhu
dilakukan dengan pemanasan hingga 121 ºC. Karakterisasi plantarisin terhadap
kondisi asam dan basa dilakukan dengan mengkondisikan pada pH 2-12 yang
diinkubasi selama 2 jam. Karakterisasi terhadap enzim proteolitik dengan
menambahkan 1 mg/ml enzim proteinase-K, katalase, pepsin dan lisozim.
Karakterisasi surfktan dengan menambahkan 1% (v/v) SDS, urea, triton X-100,
PMSF, dan EDTA lalu diinkubasi 37 ºC selama 2 jam. Mekanisme aksi
penghambatan plantarisin terhadap S. typhi ditentukan dengan menghitung jumlah
koloni yang tumbuh setelah diberikan plantarisin. Perubahan morfologi sel bakteri
S. typhi setelah diberi perlakuan plantarisin diamati melalui mikroskop elektron
dengan pembesaran 10.000 kali. Deteksi gen penyandi plantarisin dilakukan
dengan teknik PCR menggunakan primer spesifik.

Plantarisin U10 yang dihasilkan bersifat stabil pada rentang pH yang lebar
(2.0-12.0), tahan terhadap pemanasan sampai 121 ºC selama 15 menit, stabil
terhadap surfaktan dan dapat didegradasi oleh enzim proteolitik. Produksi
maksimum plantarisin U10 didapatkan setelah inkubasi selama 20 jam dengan
yield 33.25% dan aktivitas maksimum 800 AU/mL. Pemurnian plantarisin
menghasilkan dua pita dengan bobot molekul berkisar 4.5 dan 9.8 kDa. Analisis
morfologi sel menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy)menunjukkan
adanya perbedaan morfologi permukaan sel antara yang diberi perlakuan
plantarisin dengan tanpa perlakuan. Plantarisin U10 diketahui memiliki empat gen
penyandi plantarisin yaitu plnA, plnJK, plnF, dan plnW.
Kata kunci : karakterisasi, pemurnian, plantarisin, mekanisme aksi

SUMMARY
SOGANDI. Biochemical Characterization and Cellular Mechanism of Plantaricin
from Lactobacillus plantarum U10 as Growth Inhibitor for Salmonella typhi
Supervised by I MADE ARTIKA and APON ZAENAL MUSTOPA.
Typhoid fever is a systemic infection caused by Salmonella enterica
serotype Typhi (S. typhi). Typhoid fever is a serious problem for developing
countries. Indonesia ranks as the third country with highest number of typhoid
fever cases after India and Pakistan. There were 180 case out of every 100,000

people per year. The treatment of typoid fever case usually using antibiotics.
However, the existence of multidrug resistance of S. typhi has been reported. Thus,
we need other treatment alternatives that do not induce resistance in S. typhi. One
of the alternative for typhoid treatment is the antimicrobial peptides such as
plantaricin. Plantaricin has potential as an alternative treatment of typhoid fever.
Therefore, this study aimed to optimize plantaricin production, purification,
characterization and mechanism of action determination as inhibitors of bacterial
growth of S. typhi.
Plantaricin U10 were purified using 80% ammonium sulfate precipitation
followed by gel filtration chromatography and molecular weight determination
was conducted using SDS-PAGE 16%. The measurement of antibacterial activity
against S. typhi was perform using agar well diffusion assay. The effect of
temperature on plantaricin activity was tested by incubating cell-free supernatants
at 121 ºC. The effect of pH on the activity of plantaricin was tested by adjusting
cell-free supernatants from pH 2.0 to 12.0 followed by incubation for 2 h at 37 °C.
The proteolitic enzyme characerization was done by adding 1 mg/ml proteinase-K,
catalase, pepsin and lysozyme. Surfactan characterization was done by adding 1%
(v/v) SDS, urea, triton X-100, PMSF, EDTA followed by incubation for 2 h at
37 °C. Plantaricin mechanism of inhibitory action against S. typhi is determined
by counting the colonies that grow after plantaricin treatment. Changes in cell

morphology of S. typhi bacteria after plantaricin treatment were observed through
an electron microscope with a magnification of 10,000 times. The detection of
plantaricinn encoding gene was performed by PCR method using specific primers.
Plantaricin U10 was stable in a wide range of pH (2.0-12.0), and stable at
high temperature (121 ºC); stable against surfactants and can be degraded by
proteolytic enzymes. Maximum production of plantaricin U10 is obtained after
incubation for 20 hours with 33.25% of yield and maximum activity at 800
AU/mL. The purification of plantaricin produced two bands with molecular
weights ranging from 4.5 and 9.8 kDa. Cell morphology analysis using SEM
(Scanning Electron Microscopy) showed morphological differences between the
cell surface treated by plantaricin and the one without the treatment. Plantaricin
U10 gene was known to have four plantaricin gene namely plnA, plnJK, plnF, and
plnW.

Keywords: characterization, purification, plantaricin, mechanism of action

© Hak Cipta Milik IPB dan LIPI, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB dan LIPI
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB dan LIPI

KARAKTERISASI BIOKIMIA DAN MEKANISME SELULAR
PLANTARISIN DARI Lactobacillus plantarum U10 SEBAGAI
INHIBITOR PERTUMBUHAN Salmonella typhi

SOGANDI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biokimia

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr drh Maria Bintang, MS

Judul Tesis : Karakterisasi Biokimia dan Mekanisme Selular Plantarisin dari
Lactobacillus plantarum U10 sebagai Inhibitor Pertumbuhan
Salmonella typhi
Nama
: Sogandi
NRP
: G851130241

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr I Made Artika, M.App, Sc
Ketua

Dr Apon Zaenal Mustopa, MSi

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Biokimia

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr drh Maria Bintang, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 30 Juni 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul

Karakterisasi Biokimia dan Mekanisme Selular Plantarisin dari Lactobacillus
plantarum U10 sebagai Inhibitor Pertumbuhan Salmonella typhi yang telah
dilaksanakan sejak bulan September 2014 sampai April 2015 di Laboratorium
Rekayasa Genetika Terapan dan Desain Protein, Pusat Penelitian BioteknologiLembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Terima kasih, penghargaan, dan apresiasi penulis ucapkan kepada Dr I
Made Artika, M.App, Sc sebagai pembimbing utama dan Dr A. Zaenal Mustopa,
M.Si sebagai pembimbing kedua atas arahan, bimbingan, perhatian, nasihat,
motivasi dan masukkannya selama penelitian serta dalam penyusunan tesis ini.
Terimakasih kepada Prof Dr drh Maria Bintang, MS selaku ketua program studi S2
Biokimia. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Bambang Sunarko
sebagai Kepala Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI yang sudah mengijinkan penulis
untuk melakukan penelitian di Laboratorium Aplikasi Rekayasa Genetika dan Desain
Protein, Pusat Penelitian Bioteknologi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI).
Penelitian ini didanai oleh LIPI melalui mekanisme hibah bersaing
kompetitif LIPI 2014. Tidak lupa juga terima kasih penulis ucapkan kepada
keluarga, teman-teman Laboratorium Aplikasi Rekayasa Genetika dan Desain
Protein, Bioteknologi-LIPI, teman-teman SPs IPB program studi Biokimia
2013/2014 yang selalu mendukung penulis.
Penyusunan tesis ini tentunya tidak terlepas dari kekurangan. Oleh karena

itu, penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun
untuk menyempurnakan penyusunan tesis ini. Semoga hasil penelitian ini dapat
bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan.

Bogor, Juni 2015
Sogandi

DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vii


1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Hipotesis

1
1
2
2
2

2 METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Bahan
Alat
Prosedur Penelitian

3
3
3
3
3

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengukuran Biomassa dan Produksi Bakteriosin
Karakterisasi Plantarisin U10
Purifikasi Plantarisin U10
Aktivitas Inhibisi
Mekanisme Aksi Plantarisin
Deteksi Gen Penyandi Plantarisin

8
8
10
13
15
16
17

4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

18
18
18

5 DAFTAR PUSTAKA

19

LAMPIRAN

25

RIWAYAT HIDUP

42

vi

DAFTAR GAMBAR
1 Produksi bakteriosin selama pertumbuhan L. plantarum U10
2 Persentase inhibisi dan konsentrasi protein plantarisin U10
terhadap S. typhi ATCC25241
3 Aktivitas plantarisin U10 setelah diperlakukan dengan
berbagai suhu dan variasi waktu pemanasan
4 Aktivitas plantarisin U10 setelah diperlakukan dengan
berbagai kondisi pH
5 Aktivitas plantarisin U10 setelah diperlakukan dengan
berbagai enzim dan surfaktan
6 Profil fraksinasi pemurnian plantarisin U10 dengan Sephadex-G50
7 Profil pemisahan plantarisin U10 dengan SDS-PAGE
8 Mekanisme aksi plantarisin U10 terhadap S. typhi ATCC25241
9 Perubahan morfologi sel yang disebabkan oleh plantarisin U10

9
10
11
12
12
14
15
16
17

DAFTAR TABEL
1
2
3
4

Primer spesifik dan kondisi PCR untuk deteksi gen plantarisin
Kondisi reaksi PCR
Ringkasan pemurnian plantarisin U10
Hasil deteksi gen plantarisin L. plantarum U10

8
8
15
17

vii

DAFTAR LAMPIRAN

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28

Tabel Penggunaan Padatan Ammonium Sulfat (% penjenuhan)
Komposisi Media Nutrien Broth
Komposisi Median Nutrient Agar
Kandungan Media MRS
Komposisi Gel SDS-PAGE (akrilamid 16%)
Komposisi Larutan Elektroforesis SDS-PAGE
Komposisi Reagen BCA Assay
Komposisi bufer fosfat (pH 7.2)
Komposisi Larutan Silver Staining
Contoh Perhitungan AU
Komposisi Buffer TBE 500 mL 10x
Komposisi Mix Dream Taq PCR (10 µ L)
Hasil deteksi gen penyandi plantarisin
Pengukuran OD 600 nm saat mekanisme aksi plantarisin U10
Jumlah koloni bakteri (CFU) saat mekanisme aksi
Log CFU saat mekanisme aksi
Karakterisasi suhu plantarisin U10
Karakterisasi pH plantarisin U10
Karakterisasi terhadap Enzim dan Surfaktan
Kadar protein selama pertumbuhan U10
Kurva standar BSA saat pertumbuhan U10
Persentase inhibisi plantarisin terhadap S. typhi ATCC25241
Absorbansi 280 nm hasil pemurnian Sephadex-G50
Kurva standar Rf SDS-PAGE
Perhitungan Bobot Molekul Protein
Uji t OD 600 nm perlakuan dan kontrol
Uji t Log CFU bakteri S. typhi perlakuan dan kontrol
ANOVA dan uji Duncan karakterisasi suhu, pH, enzim
dan surfaktan terhadap aktivitas bakteriosin
29 ANOVA dan uji Duncan konsentrasi protein selama pertumbuhan
L. plantarum U10

26
27
27
27
27
28
28
28
29
29
29
30
30
31
31
32
32
33
33
33
34
34
35
35
36
37
38
39
40

viii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit demam tifoid merupakan suatu penyakit sistemik akut yang
disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella typhi. Penyakit ini menjadi masalah
kesehatan dunia terutama negara berkembang. Perkiraan jumlah kasus demam
tifoid di dunia lebih dari 21.6 juta kasus dengan angka kematian sebesar 216.000
jiwa, serta lebih dari 90% terjadi di Asia. Diperkirakan kasus demam tifoid di
Indonesia adalah 180 kasus dari setiap 100.000 penduduk pertahun, dan umumnya
terjadi pada anak usia 5-15 tahun (Ochiai et al. 2008). Jumlah kasus demam tifoid
dan paratifoid pada tahun 2009 di rumah sakit adalah 80.850 penderita rawat inap
dengan 1.013 jiwa diantaranya meninggal dunia. Sedangkan pada tahun 2010
penderita demam tifoid dan paratifoid adalah 41.081 kasus pada penderita rawat
inap dengan 276 jiwa diantaranya meninggal dunia (Depkes RI 2010).
Pengobatan demam tifoid umumnya dengan menggunakan berbagai macam
antibiotik misalnya ampisilin, kloramfenikol, dan tetrasiklin. Selain itu dapat juga
dengan menggunakan fluoroquinolones (ciprofloxacin), dan generasi ketiga
sefalosporin (ceftriaxone, cefotaxime) (WHO 2003). Namun, telah dilaporkan
adanya resistensi bakteri S. typhi terhadap berbagai obat antibiotik (multi drug
resistance). Di Indonesia telah dilaporkan terdapat 37.5 % strain S. typhi yang
mengalami multidrug resistance (Yanagi et al. 2009). Dari tahun 1999-2011
resistensi bakteri S. typhi terhadap antibiotik ciprofloxacin mengalami
peningkatan dengan jumlah 3.800 kasus di tahun 2011 (US. Health Department,
2013). Oleh karena itu, diperlukan alternatif lain untuk mengatasi demam tifoid
yang tidak menginduksi terjadinya resistensi pada S. typhi.
Salah satu cara menanggulangi demam tifoid adalah dengan senyawa
peptida yang memiliki sifat antimikroba. Peptida antimikroba ini dianggap
sebagai antibiotik endogen yang berasal dari tumbuhan dan hewan. Secara umum,
peptida antimikroba berfungsi untuk menghalau mikroorganisme lain dan
mencegah terjadinya infeksi (Cederlund et al. 2011). Efektivitas penghambatan
pertumbuhan bakteri S. typhi telah diketahui dari beberapa penelitian diantaranya
adalah penggunaan daun beluntas (Ardiansyah, 2005) dan cacing tanah (Nurwati,
2006).
Pemanfaatan sumber daya alam berbasis lokal (Indegenous Indonesia) untuk
menangani demam tifoid sudah mulai dikembangkan. Diantaranya adalah
pemanfaatan bakteri asam laktat (BAL) yang sudah berhasil diisolasi dari
makanan fermentasi buah durian yaitu tempoyak, merupakan makanan khas
Indonesia yang terdapat di Sumatera dan Kalimantan yang mengandung bakteri L.
plantarum (Tiwari et al. 2008; Hata et al. 2010; Sankar et al. 2012).
Peptida antimikroba yang berasal dari bakteri disebut bakteriosin, berperan
sebagai penekan spesies kompetitor. Bakteriosin membunuh bakteri dengan
merusak integritas membran sehingga tidak menginduksi terjadinya resistensi
(Drider et al. 2006). Salah satu bakteriosin yang memiliki aktivitas antimikroba
adalah plantarisin, merupakan bakteriosin yang dihasilkan oleh bakteri L.
plantarum. Plantarisin mampu menghambat berbagai spesies bakteri Gram positif
maupun Gram negatif misalnya bakteri E. coli, B. cereus, S. typhimurium, dan S.
aureus (Arief et al. 2013).

2

L. plantarum U10 hasil isolasi dari makanan fermentasi tempoyak memiliki
potensi untuk menghambat bakteri patogen E. coli (NBRC 14237), S. aureus
(NBRC 13276), S.typhi (P2KIM colection), Bacillus subtilis (BTCC 612), dan
Listeria monocytogenesis (BTCC B693) (Urnemi et al. 2010). Plantarisin juga
mampu menghambat pertumbuhan fungi (Smaoi et al. 2010). Patricia et al. (2011),
melaporkan adanya peptida antimikroba Snakin hasil isolasi tanaman kentang
(Solanum tuberosum) yang juga memiliki aktivitas penghambatan terhadap
bakteri Gram positif dan negatif. Selain itu Fujimura et al. (2010) juga
melaporkan adanya peptida antimikroba AMP1 hasil isolasi dari tanaman bambu
(Phyllostachys pubescens) yang memiliki aktivitas penghambatan terhadap
bakteri S. typhi, E. coli, dan S. aureus.
Plantarisin yang dihasilkan oleh L. plantarum U10 telah berhasil diisolasi.
Namun, karakteristik dan mekanisme penghambatan terhadap bakteri S. typhi
serta gen penyandi peptida antibakteri dari plantarisin belum diketahui. Oleh
karena itu, optimasi produksi, purifikasi dan karakterisasi dari plantarisin U10
perlu dilakukan guna mengetahui mekanisme aksi dari penghambatan plantarisin
U10 terhadap S. typhi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi ilmiah tentang karakteristik dari plantarisin L. plantarum U10 dan dapat
memberikan sumbangan ilmu pengetahuan khususnya untuk mengatasi penyakit
demam tifoid yang disebabkan oleh bakteri S. typhi.
Perumusan Masalah
Kejadian resistensi S. typhi terhadap antibiotik membutuhkan strategi lain
untuk mengatasi demam tifoid tanpa menyebabkan resistensi. Plantarisin dari L.
plantarum U10 diharapkan dapat menjadi antibakteri alternatif, namun metode
purifikasi, karakterisasi dan mekanisme aksi dari plantarisin U10 belum diketahui.
Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai purifikasi, karakterisasi, dan
mekanisme aksi plantarisin U10 agar dapat digunakan sebagai antibakteri
terhadap S. typhi.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan memurnikan plantarisin, mengkarakterisasi terhadap
suhu, pH, enzim dan surfaktan terhadap kestabilan aktivitas dan mengetahui
mekanisme aksi penghambatan plantarisin dari L. plantarum U10 sebagai peptida
antibakteri terhadap S. typhi.
Hipotesis
Plantarisin U10 dari L. plantarum U10 dapat dimurnikan dengan teknik
kromatografi filtrasi gel, stabil terhadap pemanasan, pH, surfaktan, dapat
didegradasi oleh enzim proteolitik, serta memiliki aktivitas penghambatan
terhadap bakteri S. typhi.

3

2 METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan pada September 2014 - April 2015 di Laboratorium
Rekayasa Genetika Terapan dan Desain Protein, Pusat Penelitian BioteknologiLIPI, Cibinong.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Lactobacillus plantarum
U10 (koleksi Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Cibinong), MRS (media de Man,
Rogosa, Sharpe) (Oxoid), pepton bakteriologis (Oxoid), bakteri S. typhi
ATCC25241, sodium klorida (NaCl) (Merck), NaOH (Merck), natrium azida
(Merck), amonium sulfat (Merck), buffer potassium fosfat, silver stain kit
(Fermentas), imidazole (Bio Basic Inc.), tris-aminometana (Merck), kloramfenikol
(Gold Bio), sephadex-G50 (GE Healtcare), urea (MP Biomedicals), HCl (Merck),
NaOH (Merck), tris-HCl (Bio Basic Inc.), merkaptoetanol (MP Biomedicals),
EDTA (Ethylenediaminetetraacetic acid) (Bio-Rad), Triton-X (MP Biomedicals),
gliserol (Sigma), proteinase-K (Invitrogen), katalase (Invitrogen), pepsin (Sigma),
lisozim (Sigma), BCA protein assay kit (PierceTM 23225), TBC (tetrazolium blue
chloride) (Sigma), sukrosa (Caisson Labs), Sodium Dodesil Sulfat (SDS) (Sigma),
metanol (Merck), etanol (Merck), asam asetat glasial (Merck), TEMED (Sigma),
akrilamid (Bio Basic Inc), amonium persulfat (APS) (MP Biomedicals), alkohol
teknis, DNA Leader Gene Ruler 1 kb (Thermo Scientific), SpectraTM Multicolor
Low Range Protein Ladder (Thermo Scientific), dan akuades steril.
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sentrifus (Hermle), set
elektroforator SDS PAGE (ATTO), shaker inkubator (N-Biotek Inc.), inkubator
(Firlabo), rocker (N-Biotek Inc.) Laminar Air Flow (ESCO), pH meter (Eutech
Instruments), neraca analitik (ACIS), microplate 96-well (Apogent), ELISA
reader (Thermo multiscan ex), stirer (Cimarec), magnetic stirer (Scienceware),
vorteks (Barnstead), capsulefuge (Tomy), mikropipet (Gilson), tip (Axygen),
tabung sentrifus (Corning), dan alat-alat gelas lainnya (Pyrex).
Prosedur Penelitian
Optimasi Pertumbuhan L. plantarum U10
Optimasi pertumbuhan plantarisin dilakukan dengan menambahkan
sebanyak 1% bakteri L. plantarum U10 dari total media pertumbuhan MRS broth
250 mL dan dievaluasi setiap 2 jam dengan pengulangan sebanyak 3 kali selama
32 jam. Kultur bakteri tersebut dibaca absorbansinya pada panjang gelombang
600 nm untuk mengetahui Optical Density (OD), perubahan pH, dan aktifitas unit
(Xie et al. 2011). Aktivitas unit bakteriosin didefinisikan sebagai AU (activity
unit), aktivitas unit bakteriosin dapat dihitung menggunakan persamaan berikut:

4

AU =

Keterangan :
n = faktor pengenceran

Sampel mL



⁄n

sampel berupa supernatant hasil pertumbuhan dari L. plantarum U10 yang telah
mengalami pengenceran berseri dari 2 kali pengenceran sampai tidak terbentuk
lagi zona bening yang dihasilkan. Hasil pengenceran yang masih menghasilkan
zona bening adalah nilai dari faktor pengenceran (n).
Uji Aktivitas Plantarisin terhadap Bakteri Uji
Aktivitas penghambatan antibakteri dievaluasi secara kualitatif dan
kuantitatif. Pengukuran aktivitas antibakteri secara kualitatif dilakukan
berdasarkan metode difusi agar (Arief et al. 2013). Strain bakteri uji yang
digunakan adalah S. typhi ATCC25241. Sebanyak 25 µL sampel diteteskan
kedalam sumuran (diameter 6 mm) pada media nutrient agar yang telah
mengandung 108 CFU/mL bakteri uji. Bakteri uji yang digunakan merupakan
kultur segar yang telah ditumbuhkan pada media nutrient broth (NB) selama satu
malam. Kemudian petri diinkubasi pada suhu 37 ºC selama 6 jam. Aktivitas
inhibisi diamati dengan adanya zona bening setiap dua jam, dan diameter dari
zona bening diukur. Zona bening yang terbentuk di sekitar area sumur
menandakan bahwa plantarisin mampu menghambat bakteri S. typhi ATCC25241.
Aktivitas inhibisi terhadap bakteri indikator dilakukan secara kuantitatif
menggunakan metode uji micro dilution (EUCAST 2003). Sehari sebelum
digunakan, isolat bakteri indikator ditumbuhkan dalam media NB 5 mL pada suhu
37 ºC selama ±16 jam. Sebanyak 50 µL sampel ditambahkan pada microplate 96
well yang telah mengandung 100 µL suspensi bakteri dengan konsentrasi 5 x 105
CFU/mL kemudian diinkubasi pada suhu 37 ºC, 150 rpm selama 24 jam. Setelah
24 jam ditambahkan 50 µL TBC (tetrazolium blue chloride) (2.5 mg/mL)
kemudian diinkubasi pada suhu 37 ºC selama 30 menit. Absorbansi dibaca pada
panjang gelombang 540 nm (Kregiel et al. 2008). Rumus perhitungan persentase
inhibisi adalah sebagai berikut:
% ��ℎ����� =

��

��

�� ��

��

��

− ��

��

�� ��

�� ��



%

Isolasi dan Purifikasi Plantarisin (Xie et al. 2011 modifikasi)
Sebanyak 1% (v/v) kultur L. plantarum U10 diinokulasikan ke dalam 300
mL media MRS broth dan diinkubasi pada suhu 37 ºC selama 20 jam. Hasil
kultivasi biakan L. plantarum U10 disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 g
selama 15 menit pada suhu 4 °C kemudian pH supernatan dinetralkan
menggunakan 1N NaOH. Selanjutnya dipanaskan selama 15 menit pada suhu
121°C dengan tujuan untuk mengeliminasi protein-protein yang tidak tahan panas.
Setelah pemanasan supernatan diendapkan dengan menambahkan ammonium
sulfat sebanyak 80% secara bertahap ke dalam supernatan kemudian
dihomogenkan secara perlahan pada suhu 4 oC dan didiamkan selama satu malam
(Todorov et al. 2004; Xie et al. 2011). Perhitungan padatan ammonium sulfat
didasarkan pada Lampiran 1.

5

Supernatan hasil pengendapan disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 g
selama 15 menit pada suhu 4 °C sehingga didapatkan presipitat bakteriosin. Pelet
diresuspensi menggunakan buffer Tris HCl 10 mM pH 7.4 (Xie et al. 2011).
Aktivitas inhibisi pelet diuji menggunakan metode difusi agar. Permunian protein
lebih lanjut dilakukan menggunakan kolom filtrasi gel dengan Sephadex G-50
(GE Healtcare, Sweden). Pelet dimasukkan dalam kolom filtrasi gel, kemudian
dielusi menggunakan eluen buffer fosfat pH 7.2 dengan kecepatan laju alir 1
mL/menit. Seluruh tahap ini dilakukan pada suhu 4 °C. Hasil fraksi ditampung
dalam tabung penampung, kemudian dilakukan uji aktivitas dengan metode difusi
agar dan micro dilution. Beberapa fraksi yang memiliki aktivitas inhibisi yang
tinggi ditentukan bobot molekulnya dengan Sodium Dedosyl Sulfate
Polyacrilamide Gel Electrophoresis (SDS PAGE).
Karakterisasi Plantarisin
Uji Kestabilan pH (Xie et al. 2011)
Supernatan bebas sel diuji dengan pH gradien 2-12 (dengan rentang 2)
menggunakan NaOH 1N atau HCl 1N, kemudian diinkubasi pada suhu 37 °C
selama 2 jam. Setelah diinkubasi semua sampel dinetralkan menjadi pH 6.5.
Aktivitas penghambatannya terhadap bakteri S. typhi ATCC25241 diuji
menggunakan metode difusi agar (Arief et al. 2013).
Uji Kestabilan Suhu (Xie et al. 2011)
Supernatan bebas sel pH 6.5 dan diberi perlakuan dengan katalase diuji
dalam beberapa suhu pemanasan, yaitu 40, 60, 80, 100°C masing-masing selama
10, 30, dan 60 menit sedangkan suhu 121 °C selama 15 menit. Setelah diinkubasi
selama 2 jam semua sampel diuji aktivitas penghambatannya terhadap bakteri S.
typhi ATCC25241 menggunakan metode difusi agar.
Uji Kestabilan Enzim (Xie et al. 2011)
Supernatan bebas sel ditambahkan dengan masing-masing (1 mg/mL) enzim
proteinase-K, katalase, pepsin, dan lisozim. Kemudian diinkubasi selama 60 menit
pada suhu 37 oC (Savadogo et al., 2004). Aktivitas enzim pada plantarisin
dihentikan dengan pemanasan pada 80 °C selama 5 menit. Aktivitas
penghambatan plantarisin terhadap S. typhi ATCC25241 diuji menggunakan
metode difusi agar.
Uji Kestabilan Surfaktan (Xie et al. 2011)
Supernatan bebas sel diuji aktivitasnya terhadap penambahan masingmasing (1% v/v) SDS, urea, Triton X-100, PMSF dan EDTA yang diinkubasi
pada suhu 37 °C selama 2 jam. Selanjutnya, aktivitas penghambatan plantarisin
U10 terhadap S. typhi ATCC25241 diuji menggunakan metode difusi agar.
Karakterisasi Bobot Molekul (Laemmli 1970)
Analisis bobot molekul (BM) plantarisin U10 dilakukan dengan
menggunakan SDS PAGE. Gel yang digunakan engandung 3.9% (v/v) stacking
gel dan 16% (v/v) separating gel akrilamid. Gel poliakrilamid dibuat dari reaksi
polimerasi akrilamid dan bis-akrilamid yang dikatalisis oleh ammonium persulfat
dan tetrametilendiamin (TEMED). Sebanyak 12 µL sampel dicampurkan dengan
3 µL loading dye lalu didenaturasi dengan pemanasan 95 °C selama 10 menit.
Sampel yang sudah didenaturasi dan penanda bobot molekul (marker, sebagai
pembanding) dimasukkan ke sumuran elektroforesis. Setelah proses elektroforesis

6

selesai, dilakukan pewarnaan gel menggunakan silver staining kit (Fermentas
Silver Stain Kit). Gel hasil elektroforesis lalu dicuci dengan akuades steril selama
5 menit sebanyak 2 kali, kemudian dilakukan fiksasi menggunakan fixing solution
1 selama 60 menit dilanjutkan dengan gel fixing 2 dan dicuci menggunakan
aquades steril selama 20 detik sebanyak 2 kali. Gel disensitifkan dengan larutan
sensitizer selama 1 menit dan dicuci dengan akuades steril selama 20 detik
sebanyak 2 kali. Kemudian direndam dalam larutan yang mengandung Etanol :
asam asetat : air (3:1:6) selama 15 menit sebanyak 2 kali. Pewarnaan dilakukan
dengan merendam gel pada larutan stain selama 20 menit, kemudiaan dicuci
selama 20 detik dengan akuades steril sebanyak 2 kali. Pita pada gel terbentuk
setelah merendam gel pada larutan developer selama 5-10 menit atau hingga pita
muncul. Setelah pita protein muncul, reaksi dihentikan dengan menambahkan
larutan stop selama 10 menit.
Pita-pita protein yang muncul dan hasil SDS-PAGE dihitung retardation
faktor (Rf) dengan menggunakan rumus (Cavalli et al. 2006):
Rf =

jarak pergerakan pita protein dari tempat awal
jarak pergerakan marker dari tempat awal

Berdasarkan nilai Rf, berat molekul dihitung dengan persamaan regrasi
logaritma dengan rumus: y = ( a x Ln(X)) + b. Persamaan ini diperoleh dari grafik
antar Log BM sebagai ordinat dan Rf sebagai absis. Berdasarkan kurva kalibrasi
maka dapat dihitung BM masing-masing pita protein.
Keterangan :
y : berat molekul
X : nilai Rf sampel
a : nilai koefisien
b : nilai konstanta
Penentuan Konsentrasi Protein (Pierce Biotechnology 2013)
Penetuan konsentrasi protein menggunakan bicinchoninic acid (BCA) kit
dengan BSA (bovine serum albumin) sebagai standar protein. Konsentrasi BSA
yang digunakan sebagai standar yaitu 2000 g/ml, 1500 g/ml, 1000 g/ml, 750
g/ml, 500 g/ml, 250 g/ml, 125 g/ml, dan 25 g/ml. Working reaction dibuat
dengan mencampurkan reagen A dan B dengan perbandingan 50 : 1. Selanjutnya
sampel dan working reaction dimasukkan dalam microplate 96-well dengan
perbandingan sampel : reagen (1 : 20). Microplate 96-well kemudian diinkubasi
pada suhu 37 °C selama 30 menit, kemudian hasil reaksi dibaca pada panjang
gelombang 540 nm dengan menggunakan ELISA reader.
Mekanisme Aksi (Xie et al. 2011)
Mekanisme aksi dari plantarisin U10 diketahui dengan menentukan
pengaruh plantarisin terhadap S. typhi ATCC25241. Sebanyak 10 milliliter
supernatan bebas sel L. plantarum U10 dikondisikan pada pH 6.5 dan diberi
perlakuan dengan menambahkan katalase (1 mg/mL). Plantarisin U10
ditambahkan kedalam 50 mL kultur S. typhi ATCC25241 pada awal fase
eksponensial dan kemudian diinkubasi pada 37 ºC. Pengambilan sampel

7

dilakukan setiap 2 jam untuk melihat OD, dan jumlah koloni yang tumbuh
(CFU/mL) setelah diberikan plantarisin.
SEM (Scanning Electron Microscopy) (Hyo et al. 2012)
Analisis perubahan morfologi sel dilakukan untuk mengetahui perubahan
struktur sel setelah diberi perlakuan plantarisin U10 yang meliputi kerusakan
morfologi sel dan struktur bakteri, seperti kerusakan dinding sel. Mekanisme aksi
dari plantarisin U10 terhadap S. typhi ATCC25241 dilakukan dengan
mensuspensikan plantarisin U10 ke dalam kultur sel S. typhi ATCC25241
kemudian diinkubasi pada suhu 37 ºC. Larutan disentrifugasi 10 000 g, supernatan
dibuang, kemudian pelet ditambahkan dengan glutaraldehid 2% dan direndam
beberapa jam selanjutnya disentrifugasi dan supernatan dibuang. Pelet direndam
kembali dengan larutan tannin acid 2% beberapa jam, selanjutnya disentrifugasi
kembali dan pelet direndam dengan larutan cocodylate buffer selama 20 menit.
Larutan disentrifugasi kembali, pelet ditambahkan osmium tetra oksida 1% dan
direndam selama 1 jam. Larutan disentrifugasi, supernatan dibuang, dan pellet
ditambahkan alkohol 70%, 80%, dan 95% masing-masing 20 menit. Larutan
disentrifugasi kembali, alkohol dibuang, ditambahkan butanol dan direndam 20
menit, kemudian disentrifugasi, butanol dibuang. Kemudian oleskan apusan sel
diatas potongan bujur sangkar cover slip (slip glas) dan dikeringkan dengan
butanol. Slip glas yang telah diolesi dengan sel tersebut diletakkan pada stub
alumunium untk dilapisi dengan emas menggunakan ion coater selama 1 jam
pada kondisi vakum. Kemudian diamati dengan alat Scanning Electron
Microscope tipe JEOL seri JSM-5310 LV dengan pembesaran 10.000 kali.
Isolasi Genom (Zhu et al. 1993)
DNA genom dari L. plantarum U10 diisolasi dalam skala kecil. Sebanyak
5 mL kultur ditumbuhkan di media MRS broth (Oxoid) pada suhu 37 ºC. Lalu
disentrifugasi pada 10.000 g selama 10 menit. Pelet yang terbentuk diresuspensi
dengan 500 µ L buffer TE (10 mM Tris-HCl pH 8.0, 1 mM EDTA) yang
mengandung 60 mg/mL lisozim dan kemudian diinkubasi pada 37 oC selama 60
menit. Larutan ditambahkan 200 µL SDS 10%, 100 µ L 5M natrium klorida dan
80 µL CTAB 10%. Campuran kemudian diinkubasi pada 68 ºC selama 30 menit,
ditambahkan kloroform 1 : 1 (v/v). Lalu disentrifugasi 13.000 rpm selama 10
menit. Supernatan dikumpulkan dan ditambahkan etanol 1 : 1 (v/v) kemudian
disentrifugasi pada 13.000 rpm selama 10 menit. Pelet DNA akan terendap di dasar
tabung, supernatan dibuang secara perlahan agar pelet tidak ikut terbuang. Pelet yang
mengandung DNA dilarutkan dalam 30 µL buffer yang mengandung 27 µL ddH2O
dan 3 µL RNAse dan disimpan dalam -20 ºC. DNA yang diperoleh
dielektroforesis menggunakan gel agarosa 0.8% pada tegangan 100 V selama 45
menit serta diukur absorbansinya pada panjang gelombang 260 dan 280 nm. DNA
yang diperoleh digunakan sebagai cetakan untuk mendeteksi gen plantarisin
dengan primer spesifik.
Deteksi Gen Penyandi Plantarisin
Deteksi gen plantarisin dilakukan dengan amplifikasi fragmen gen penyandi
plantarisin dengan primer spesifik dan optimasi kondisi PCR yang ditampilkan
pada tabel berikut ini:

8

Tabel 1 Primer spesifik dan suhu annealing PCR untuk deteksi gen plantarisin
Gen
plnA

Urutan DNA (5’-3’)

Primer
Forward
Reverse
Forward

plnABC
Reverse
Forward
Reverse
Forward
plnW
Reverse
Forward
plnEF
Reverse
plnJk

Forward
plnF
Reverse

Annealing
(ºC)

Ukuran
(pb)

Referensi

54

300

Penelitian
ini

55

2000

Penelitian
ini

53

267

58.5

750

53

285

58.5

159

ATTTCATGGTGATTCACGTTTAA
ATT
CTTACGCCATCTATACG
ATTTCATGGTGATTCACGTTTAA
ATT
AAATTGAACATATGGGTGCTTTA
AATT
ACGGGGTTGTTGGGGGAGGC
TTATAATCCCTTGAACCACC
GATCAGCCACGATACCAAC
CTAAAGAAAAAGCCCCTGAAAC
GGTGGTTTTAATCGGGGCGG
ACGGGGTTGTTGGGGGAGGC
GACTGGATCCATGAAAAAATTTC
CTAGTTTT
GATCAAGCTTCTATCCGGATGAA
TCCTC

Cho et al
(2010)
Saenz et al
(2009)
Cho et al
(2010)
Penelitian
ini

Tabel 2 Kondisi reaksi PCR
Kondisi
Predenaturasi
Denaturasi
Annealing
Ekstensi
Final Ekstensi
Siklus

Pln A
94○C; 3’
94○C; 1’
54○C; 1’
72○C;30”
72 ○C; 6’
35

Pln EF
94○C; 3’
94○C; 1’
53○C; 1’
72○C;30”
72 ○C; 6’
35

Pln JK
94○C; 3’
94○C; 1’
53○C; 1’
72○C;30”
72 ○C; 6’
35

Pln F
94○C; 3’
94○C; 1’
58.5○C; 1’
72○C;30”
72 ○C; 6’
35

Pln W
94○C; 3’
94○C; 1’
58.5○C; 1’
72○C;1’30”
72 ○C; 6’
35

Pln ABC
94○C; 3’
94○C; 1’
55○C; 1’
72○C;1’30”
72 ○C; 6’
35

Hasil PCR kemudian dianalisis menggunakan elektroforesis menggunakan 2%
(b/v) gel agarosa, yang diwarnai dengan etidium bromida dan divisualisasikan
menggunakan sinar UV.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengukuran Kerapatan Sel dan Produksi Bakteriosin
L. plantarum U10 dapat tumbuh dengan baik dalam media MRS broth
dengan suhu 37 ○C (Mahrous et al. 2013). Komposisi media MRS broth terdiri
atas pepton (10 g/L), meat extract (8 g/L), dan yeast extract (4 g/L) sebagai
sumber vitamin serta asam amino esensial yang mendukung pertumbuhan bakteri,
glukosa (20 g/L) sebagai sumber karbon, mangan sulfat (0.05 g/L) dan
magnesium sulfat (0.2 g/L) sebagai sumber kation, triamonium sitrat (2 g/L),
dipotasium hidrogen fosfat (2 g/L), dan sorbitan mono oleat (1 mL) (Sharpe et al.
1966).
Pengukuran kerapatan sel dan hasil produksi bakteriosin ditunjukkan pada
Gambar 1. Peningkatan biomassa L. plantarum U10 ditunjukkan dengan nilai OD
600 nm yang meningkat dari 0.1 hingga 3.6 selama 20 jam dan setelah itu secara
bertahap menurun sampai 2.7 saat inkubasi diteruskan hingga 32 jam. Nilai pH
media menurun dengan cepat dari pH 6.5 di awal kultivasi dan menjadi pH 4.0 di

9

akhir kultivasi pada periode yang sama. Kondisi asam yang terjadi disebabkan
oleh adanya asam-asam organik diantaranya asam laktat yang merupakan
metabolit primer bakteri asam laktat. L. plantarum U10 merupakan bakteri asam
laktat homofermentatif yang hanya menghasilkan asam laktat dari proses
fermentasi karbohidrat (Kuipers et al. 2000).
Produksi plantarisin U10 dimulai pada fase eksponensial awal dan mencapai
nilai maksimum (800 AU/mL) setelah inkubasi 20 jam (fase stasioner) yaitu saat
OD optimal (3.6). Hasil penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian
sebelumnya yang telah dilakukan pada plantarisin LB-B1 (Xie et al. 2011),
plantarisin MG (Gong et al. 2010), bakteriosin La-14 (Todorov et al. 2011),
plantarisin ST194BZ (Todorov et al. 2005), dan plantarisin ST71KS (Martinez et
al. 2013).

Gambar 1 Produksi bakteriosin selama pertumbuhan L. plantarum U10. ─●─
kerapatan sel (OD 600 nm); ─▲─ perubahan pH media; █ aktivitas
unit plantarisin U10 (AU/mL).
Menurut Boe (1996), meningkatnya jumlah sel menyebabkan jumlah
bakteriosin yang diproduksi akan meningkat, kemudian menurun setelah
mencapai akhir fase stasioner. Sedangkan penurunan aktivitas terjadi setelah fase
stasioner ini dikarenakan terdegradasinya plantarisin U10 oleh enzim proteolitik
yang dikeluarkan selama proses pertumbuhan (Gong et al. 2010). Peningkatan
kerapatan sel yang terbentuk mengakibatkan peningkatan asam laktat yang
dihasilkan. Hal ini menyebabkan penurunan pH supernatan yang dihasilkan
(Vuyst dan Leroy, 2007). Hal ini juga terjadi pada bakteriosin ST13BR yang
dihasilkan oleh L. plantarum ST13BR (Todorov et al. 2004).
Konsentrasi protein ditentukan dengan uji asam bicinchoninat (BCAbicinchoninic acid assay). BCA merupakan metode yang banyak digunakan untuk
menentukan konsentrasi protein. BCA mudah digunakan, sensitifitasnya tinggi,
dan toleran terhadap senyawa pengganggu. Uji ini didasarkan pada dua reaksi
kimia. Reaksi pertama adalah reduksi ion Cu 2+ menjadi ion Cu+ oleh ikatan
peptida dalam kondisi alkali (reaksi biuret). BCA dikenal sebgai reaksi biuret
karena bentuk kompleksnya serupa dengan senyawa biuret organik (NH2-CO-NHCONH2) dan ion tembaga (Smith, 1985).

10

Reaksi kedua adalah satu ion Cu+ yang terbentuk pada langkah awal dikelat
dengan dua molekul BCA sehingga menghasilkan kompleks warna yang berwarna
ungu (Huang, 2010). Warna yang terbentuk menunjukkan absorbansi linier yang
kuat pada 562 nm dengan meningkatnya konsentrasi protein. Warna ungu
memungkinkan dapat diukur pada setiap gelombang antara 540 - 570 nm. Reagen
BCA 100 kali lebih sensitif dibanding reagen biuret (Olsen BJ dan Markwell J,
2007).

Gambar 2 Persentase inhibisi plantarisin U10 terhadap S. typhi ATCC25241 dan
konsentrasi protein (mg/mL) yang dihasilkan selama pertumbuhan L.
plantarum U10. ─■─ persen inhibisi; ▓ konsentrasi protein.
Konsentrasi protein mengalami peningkatan selama masa pertumbuhan L.
plantarum U10. Dimulai pada fase eksponensial dengan konsentrasi awal 1.36
mg/mL dan mencapai konsentrasi tertinggi pada lama inkubasi 20 jam (12.06
mg/mL) dengan persentase inhibisi terhadap S. typhi ATCC25241 sebesar 57.80%.
Persentase inhibisi semakin meningkat seiring dengan bertambahnya konsentrasi
protein yang terbentuk, dan menurun setelah inkubasi 20 jam (Gambar 2).
Karakterisasi Plantarisin U10
Plantarisin yang dihasilkan dari L. plantarum U10 mempunyai sifat stabil
terhadap pemanasan, hal ini ditunjukkan oleh kemampuannya mempertahankan
aktivitas penghambatan terhadap bakteri S. typhi ATCC25241 setelah dipanaskan
hingga suhu 121 ºC selama 15 menit. Sejalan dengan pernyataan Hata et al.
(2010) yang menyatakan bahwa plantarisin ASM1 stabil pada pemanasan 90 °C
selama 15 menit yang menunjukkan zona hambat hampir sama jika dibandingkan
dengan bakteriosin yang tidak dipanaskan (Gambar 3). Hasil serupa juga telah
dilaporkan pada bakteriosin yang dihasilkan oleh L. plantarum F1 dan L. brevis
OG1 dengan pemanasan 100 °C selama 30 menit dan 121 °C selama 15 menit
(Ogunbanwo et al. 2003; Todorov dan Dicks, 2005; Todorov et al. 2007).
Aktivitas inhibisi plantarisin yang menurun saat perlakuan pH 2 dan 12
terhadap S. typhi ATCC25241 (Gambar 4) dikarenakan plantarisin yang
merupakan protein telah mengalami denaturasi sehingga berakibat pada kestabilan
struktur protein. Hata et al (2010) menyatakan bahwa panas, asam, dan alkohol,
dapat membuat ikatan rantai protein menjadi tidak stabil sehingga menyebabkan
molekul protein menjadi tidak berfungsi. Hal ini mendukung penelitian

11

sebelumnya bahwa plantarisin dari L. plantarum ZJ008 memiliki aktivitas yang
stabil pada rentang pH 2-10 (Zhu et al. 2014).

Gambar 3 Aktivitas plantarisin U10 terhadap S. typhi ATCC25241 setelah
diperlakukan dengan berbagai suhu dan variasi waktu pemanasan.
Diameter kertas cakram 6 mm.

Zona hambat (mm)

12

11.67
± 1.15
8.67
± 0.58

10

10.33
± 0.58

10.67
± 1.15

9.67
± 0.58

8

7.33
± 0.58

7.00
± 0.58

10

12

6
4
2
0
kontrol

2

4

6

8

Gambar 4 Aktivitas plantarisin U10 terhadap S. typhi ATCC25241 setelah
diperlakukan dengan berbagai kondisi pH. Diameter kertas cakram 6
mm.
Penambahan enzim dan surfaktan dapat mempengaruhi aktivitas bakteriosin.
Supernatan bebas sel dari L. plantarum U10 saat diuji karakteristiknya dengan
penambahan berbagai enzim dan surfaktan (Gambar 5) menunjukkan aktivitas
yang stabil terhadap perlakuan dengan enzim katalase dan lisozim, namun
menurun saat diperlakukan dengan pepsin dan aktivitas menghilang saat
diperlakukan dengan enzim proteinase-K pada konsentrasi 0.1 mg/mL.
Menghilangnya aktivitas inhibisi plantarisin U10 menunjukkan bahwa aktivitas
plantarisin U10 dapat direduksi dengan enzim proteolitik. Perlakuan terhadap
katalase yang tidak mempengaruhi aktivitas inhibisi menunjukkan bahwa adanya
hidrogen peroksida tidak mempengaruhi aktivitas plantarisin U10 dalam
menghambat S. typhi ATCC25241.
Penambahan plantarisin U10 dengan SDS, urea, triton x-100, EDTA dan
PMSF masih mempunyai aktivitas penghambatan yang berarti surfaktan tidak
mempengaruhi aktivitas plantarisin U10 untuk menghambat S. typhi ATCC25241.

12

Penambahan EDTA dan PMSF dapat meningkatkan aktivitas bakteriosin karena
EDTA memiliki aktivitas antimikroba terutama terhadap bakteri Gram negatif
dengan cara mengganggu struktur membran luar dan memberi akses kepada
molekul hidrofobik untuk masuk ke dalam membran sitoplasma (Hamouda dan
Beker, 2000). Aktivitas yang sama juga ditunjukkan oleh bakteriosin L171
(Kumari et al. 2012), bakteriosin AMA-K (Todorov et al. 2007), dan bakteriosin
yang dihasilkan dari susu sapi (Sankar et al. 2012) yang aktivitasnya stabil
terhadap surfaktan dan enzim proteolitik.
Triton x-100 dan SDS sama-sama termasuk jenis detergen. Namun, sifat
kedua detergen tersebut berbeda. SDS tergolong ke dalam detergen yang bersifat
ionik sedangkan triton x-100 tergolong ke dalam detergen non-ionik (Chae et al.
2010). SDS merupakan detergen yang mampu mengganggu ikatan kovalen
protein sehingga protein terdenaturasi dan kehilangan konformasi asli serta fungsi
dari protein tersebut. Uji sensitivitas bakteriosin terhadap enzim proteolitik
menunjukkan tingkat kesensitifan yang cukup berarti terhadap bakteri uji. Hasil
uji lanjut menggunakan uji Duncan, diameter zona hambat bakteriosin dengan
perlakuan enzim proteolitik terhadap S. typhi ATCC25241 menunjukkan hasil
yang berbeda nyata dengan kontrol.

Zona hambat (mm)

12

11.33
± 1.15

11.33
± 1.15

10
8

6.00
± 0.58

11.33
± 0.58

9.67
± 0.58
7.33
± 0.58

10.67
±0.58
8.67
± 0.58

10.33
±0.58

9.67
±0.58

6
4
2

0

Gambar 5 Aktivitas plantarisin U10 terhadap S. typhi ATCC25241 setelah
diperlakukan dengan berbagai enzim dan surfaktan. Diameter kertas
cakram 6 mm.
Karakterisasi bakteriosin terhadap enzim katalase bertujuan untuk
memastikan bahwa komponen aktif yang menghambat bakteri uji adalah
komponen bakteriosin yang terkandung di dalam supernatan dan bukan oleh
komponen antimikroba lainnya, terutama hidrogen peroksida (H2O2). Bakteri
asam laktat memproduksi hidrogen peroksida dalam kondisi pertumbuhan yang
aerob dan karena berkurangnya produksi katalase selular, pseudokatalase atau
peroksidase. Bakteri asam laktat mengekskresikan H2O2 tersebut sebagai alat
pelindung diri yang mampu bersifat bakteriostatik maupun bakterisidal. Hidrogen
peroksida merupakan salah satu agen pengoksidasi yang kuat dan dijadikan
sebagai zat antimikroba melawan bakteri, fungi dan bahkan virus (Ray dan
Nhunia 2007). Masih terbentuknya zona bening setelah diperlakukan dengan
enzim katalase menunjukkan bahwa enzim katalase tidak mempunyai aktivitas

13

penghambatan terhadap bakteri uji. Hal tersebut berarti bahwa komponen aktif
yang menunjukkan aktivitas pada uji antagonistik dari bakteriosin U10 dengan
perlakuan enzim katalase kemungkinan memang berasal dari bakteriosin.
Pepsin (EC 3.4.23) adalah suatu enzim yang berguna untuk memecah
molekul protein menjadi molekul yang lebih kecil yaitu pepton dan proteosa.
Enzim ini dihasilkan oleh sel-sel utama lambung dalam bentuk pepsinogen, yaitu
calon enzim yang belum aktif. Pepsinogen ini kemudian diubah menjadi pepsin
yang aktif dengan adanya HCl. Enzim pepsin menghidrolisis ikatan peptida
protein pada sisi karboksil tirosin, fenilalanin, triptofan, dan leusin (Keil, 1992).
Enzim pepsin hanya dapat menginaktifkan sebagian aktivitas bakteriosin U10 diduga
karena pengaruh pH 6.5 dari bakteriosin itu sendiri yang dapat menurunkan kerja
enzim pepsin. Enzim pepsin menjadi kurang aktif karena berada pada pH 6.5. Oleh
karena itu, seharusnya bakteriosin tidak dikondisikan pada pH 6.5 terlebih dahulu
atau masih berada pada kondisi pH asam ketika perlakuan dengan enzim pepsin. Hal
tersebut dimaksudkan agar tidak mengganggu aktivitas enzim pepsin untuk
menghidrolisis komponen protein di dalam bakteriosin U10. Setelah itu, perlu
dilakukan pengkondisian bakteriosin U10 dengan perlakuan enzim pepsin pada pH
netral sebelum dilakukan uji antagonistik terhadap bakteri uji untuk menghindari
pengaruh komponen asam dari campuran keduanya.
Penurunan diameter zona bening yang dihasilkan oleh plantarisin setelah
diberi perlakuan enzim proteinase-K terhadap S. typhi menunjukkan bahwa
aktivitas bakteriosin U10 dapat didegradasi oleh enzim proteinase-K, karena
enzim proteinase-K memotong pada residu asam amino aromatik dan alanin (Keil,
1992). Dapat didegradasinya aktivitas plantarisin oleh enzim proteolitik
mengindikasikan bahwa komponen tersebut adalah protein alami seperti yang
telah dilaporkan pada bakteriosin dari L. plantarum ST194BZ (Todorov dan
Dicks, 2005) dan bakteriosin PPK34 (Abrams et al, 2011).
Purifikasi Plantarisin
Supernatan yang diperoleh dari hasil kultivasi L. plantarum U10 sebanyak
300 mL dengan inkubasi selama 20 jam masih mengandung banyak protein lain
selain plantarisin, sehingga harus dilakukan purifikasi lebih lanjut salah satunya
menggunakan teknik presipitasi protein dengan ammonium sulfat. Tahap ini
merupakan salah satu cara pengendapan protein dengan memanfaatkan perbedaan
kelarutan. Efek pengendapan protein disebabkan oleh perubahan kecenderungan
berdisosiasi gugus-gugus dalam protein. Bila konsentrasi garam netral yang
ditambahkan ke dalam suatu protein dinaikan terus, maka kelarutan protein
menjadi berkurang, dan sampai pada konsentrasi garam yang sangat tinggi maka
protein akan mengalami pengendapan (Bintang, 2010). Sebelum dilakukan
presipitasi dengan ammonium sulfat, supernatan dikondisikan pada pH 6.5. Hal
ini dimaksudkan agar dapat memaksimumkan aktivitas antimikroba dari
bakteriosin yang terbentuk dan juga diharapkan dapat mengurangi bahkan
menghilangkan aktivitas antimikroba dari asam organik. Supernatan juga
dipanaskan terlebih dahulu pada suhu 121 ○C selama 15 menit sebelum
diendapkan dengan tujuan sebagai seleksi terhadap peptida yang tahan panas.
Pemurnian plantarisin menggunakan presipitasi ammonium sulfat 80%
dengan cara penambahan serbuk ammonium sulfat yang telah dihaluskan
sebelumnya kedalam supernatan sedikit demi sedikit agar ammonium sulfat dapat
melarut dengan sempurna di dalam supernatan. Selama proses pelarutan

14

ammonium sulfat sebaiknya magnetic stirrer tidak boleh terlalu cepat agar tidak
menimbulkan gelembung dan panas. Menurut Tokuyasu et al. (1996)
pengendapan protein dengan ammonium sulfat merupakan cara terbaik untuk
menjaga protein pada saat penyimpanan, selain itu amoium sufat juga memiliki
kelarutan yang tinggi di air, tidak toksik, tidak mengganggu enzim, dan harganya
murah.
Ekstrak bakteriosin menunjukkan jenis protein yang hidrofobik karena
posisi endapan protein yang terpresipitasi berada melayang di bagian atas
supernatan. Hal ini juga didukung oleh Abo-Amer (2007) yang menyatakan
bahwa plantarisin AA135 mempunyai karakteristik protein yang hidrofobik.
Selain itu, kebanyakan bakteriosin yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat adalah
berukuran kecil, tahan panas, termasuk peptida kationik dan mempunyai sifat
hidrofobik (Jack et al. 1995; Savadogo et al. 2006). Bagian hidrofobik di dalam
molekul bakteriosin merupakan hal yang diperlukan untuk aktivitasnya dalam
menghambat bakteri sensitif karena inaktivasi mikroorganisme oleh bakteriosin
tergantung pada interaksi hidrofobik antara sel-sel bakteri dengan molekulmolekul bakteriosin (Parada et al. 2007).

FII

Gambar 6 Profil fraksinasi pemurnian plantarisin U10 dengan Sephadex-G50
eluen buffer fosfat 0.2 M pH 7.2 pada panjang gelombang 280 nm.
Hasil pengendapan dilanjutkan dengan filtrasi gel menggunakan SephadexG50 (Gambar 6) yang didapatkan 6 sampel fraksi dengan fraksi II (f10 & f11)
yang memiliki aktivitas penghambatan tertinggi yang kemudian dilanjutkan
dengan analisis SDS-PAGE 16%. SDS bersama merkaptoetanol digunakan untuk
merusak struktur tiga dimensi protein. Hal ini terjadi akibat reduksi ikatan
disulfida membentuk gugus sulfidril yang dapat mengikat SDS sehingga protein
bermuatan negatif dan bergerak kearah kutub positif. Migrasi protein di dalam gel
poliakrilamid ditentukan oleh muatan molekul dan juga dipengaruhi oleh ukuran
molekul, sehingga dihasilkan pita-pita yang terbentuk menunjukkan keberadaan
protein dan ukuran bobot molekulnya. Gambar 7 menunjukkan pita dari
plantarisin U10 dengan ukuran berkisar 9.8 dan 4.5 kDa. Menurut Todorov (2009)
bakteriosin kelas IIb memili