Optimasi Ekspresi Plantarisin W Rekombinan Sebagai Inhibitor Salmonella Typhi.

OPTIMASI EKSPRESI PLANTARISIN W REKOMBINAN
SEBAGAI INHIBITOR Salmonella typhi

ANDINI SETYANTI PUTRI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Optimasi Ekspresi
Plantarisin W Rekombinan sebagai Inhibitor Salmonella typhi adalah benar karya
saya dan pembimbing serta belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.


Bogor, Februari 2015
Andini Setyanti Putri
NIM G851130456

RINGKASAN
ANDINI SETYANTI PUTRI. Optimasi Ekspresi Plantarisin W Rekombinan
sebagai Inhibitor Salmonella typhi. Dibimbing oleh HASIM DANURI dan APON
ZAENAL MUSTOPA.
Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella typhi. Diperkirakan terdapat 21.6 juta kasus demam tifoid di dunia dan
216 500 orang di antaranya meninggal pada tahun 2000. Indonesia menempati
urutan ketiga terbanyak kejadian tifoid, dengan 180.3 kasus/100 000/tahun.
Pengobatan yang banyak dilakukan adalah dengan antibiotik. Namun, dilaporkan
37.5% strain S. typhi di Indonesia mengalami multidrug resistance, sehingga
diperlukan alternatif pengobatan lain. Salah satu alternatifnya adalah peptida
antimikroba kelas I (lantibiotik) yang dihasilkan oleh Lactobacillus plantarum,
yaitu plantarisin W. Plantarisin W berpotensi sebagai alternatif pengobatan
demam tifoid. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mengoptimasi ekspresi
plantarisin W rekombinan di Escherichia coli, memurnikan, dan mengevaluasi
aktivitas inhibisi plantarisin W rekombinan terhadap S. typhi.

Plantarisin W rekombinan diekspresikan sebagai protein fusi menggunakan
vektor pET-32a dalam inang Escherichia coli BL21 (DE3) (pLysS). Metode
ekspresi diawali dengan optimasi induksi ekspresi, suhu induksi, lisis sel, dan
solubilisasi. Setelah didapatkan kondisi optimum ekspresi plantarisin W
rekombinan, dilakukan pemurnian plantarisin W rekombinan menggunakan
kromatografi afinitas logam untuk fraksi terlarut dan elektroelusi untuk fraksi
tidak larut. Setiap tahapan optimasi ekspresi plantarisin W rekombinan dievaluasi
menggunakan SDS-PAGE, dilanjutkan dengan konfirmasi ekspresi menggunakan
western blot. Metode difusi agar dan uji mikrodilusi digunakan untuk uji aktivitas
antibakteri. Selain itu, konsentrasi protein murni ditentukan dengan metode BCA.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa metode ekspresi plantarisin W
rekombinan optimum dengan penambahan 0.5 mM IPTG, suhu induksi pada 22
o
C, menggunakan metode lisis beku–cair dan sonikasi serta solubilisasi dengan
bufer Tris pH 12.5 dan 2 M urea. Plantarisin W rekombinan diketahui terdapat
dalam sitoplasma dan membentuk badan inklusi (fraksi tidak larut). Berdasarkan
hasil SDS-PAGE dan western blot, plantarisin W berhasil diekspresikan di E. coli
dengan ukuran ± 33 kDa. Hasil uji aktivitas antibakteri dengan metode difusi agar
menunjukkan bahwa plantarisin W rekombinan yang dimurnikan dari fraksi
terlarut memiliki aktivitas terhadap S. typhi dan S. aureus yang ditunjukkan

dengan adanya zona bening. Sedangkan plantarisin W rekombinan yang
dimurnikan dari fraksi tidak larut menghasilkan 8 mg/L kultur dengan rendemen
16.96%, dengan nilai aktivitas spesifik terhadap penghambatan S. typhi dan S.
aureus masing-masing sebesar 0.34 %/µg protein dan 0.66 %/µg protein
berdasarkan metode uji mikrodilusi. Plantarisin W rekombinan dapat
diekspresikan di Escherichia coli dan berpotensi sebagai antibakteri terhadap S.
typhi. Akan tetapi, untuk diaplikasikan dalam bidang medis, diperlukan inang
ekpresi yang lebih aman, seperti bakteri asam laktat.
Kata kunci : badan inklusi, plantarisin W, ekspresi protein, Salmonella typhi,
solubilisasi

SUMMARY
ANDINI SETYANTI PUTRI. Expression Optimization of Recombinant
Plantaricin W as Inhibitor Towards Salmonella typhi. Supervised by HASIM
DANURI dan APON ZAENAL MUSTOPA.
Typhoid fever is a systemic infection caused by Salmonella typhi. There are
estimated 21.6 million cases of typhoid fever in the world and 216 500 of whom
died in 2000. Indonesia place third ranks the highest incidence of typhoid, with
180.3 events/100 000/year. The most common treatment is by using antibiotic
agents. However, it has been reported that 37.5% S. typhi strain in Indonesia are

multidrug resistance. Therefore, it is important to looking for the other treatments.
One of which is by application of antimicrobial peptide class I (lantibiotic)
produced by Lactobacillus plantarum, namely plantaricin W. Plantaricin W has
potential as antimicrobial agent. Therefore, this study was aimed to optimize the
expression of recombinant plantaricin W in Escherichia coli, to purify
recombinant plantaricin W, and also to evaluate the inhibition activity of
recombinant plantaricin W towards S. typhi.
Recombinant plantaricin W was expressed as fusion protein using pET-32a
in E. coli BL21 (DE3) (pLysS) as host. The expression method started with
optimizing induction of expression, induction temperature, lysis cell, and
solubilization. After the optimum condition to express recombinant plantarisin W
has been obtained, then proceed with purification of recombinant plantaricin W by
using affinity chromatography for soluble fraction and by using electroelution for
insoluble fraction. Each stage of optimization of expression was evaluated using
SDS-PAGE and followed by western blot to confirm the expression of
recombinant plantaricin W. Moreover, diffusion agar and microdillution method
were both used to evaluated antimicrobial activity of recombinant plantaricin W.
In addition, the concentration of purified protein was calculated by BCA assay.
The result showed that the expression method for recombinant plantaricin
W was optimum with addition of 0.5 mM IPTG, induction temperature at 22 oC,

using freeze thaw and sonication as lysis method, and solubilization with Tris
buffer pH 12.5 and 2 M urea. Recombinant plantaricin W was accumulated in the
cell cytoplasm and based on western blot result, recombinant plantaricin W was
succesfully expressed in E. coli with ± 33 kDa in size and was forming inclusion
bodies (insoluble fraction). Based on antimicrobial assay using diffusion agar
method showed that recombinant plantaricin W purified from soluble fraction had
activity against S. typhi and S. aureus as shown by clear zone formation. While
plantaricin W recombinant purified from the insoluble fraction (8 mg/L culture
with 16.96% yield) showed antibacterial activity against S. typhi and S. aureus by
0.34 % inhibition/mg protein and 0.66 % inhibition/mg protein based on
microdillution assay respectively. Recombinant plantaricin W has been expressed
in E . coli and has potential as antibacterial agent againts S. typhi. However, to be
applied in medical application, required non-pathogenic host expression, such as
lactic acid bacteria.
Key words : inclusion body, plantaricin W, protein expression, Salmonella typhi,
solubilization.

Hak Cipta Milik IPB dan LIPI, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB dan LIPI
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB dan LIPI

OPTIMASI EKSPRESI PLANTARISIN W REKOMBINAN
SEBAGAI INHIBITOR Salmonella typhi

ANDINI SETYANTI PUTRI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biokimia

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Suryani, MSc

Judul Tesis : Optimasi Ekspresi Plantarisin W Rekombinan sebagai Inhibitor
Salmonella typhi
Nama
: Andini Setyanti Putri
NIM
: G851130456

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr drh Hasim Danuri, DEA
Ketua

Dr Apon Zaenal Mustopa, MSi
Anggota


Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Biokimia

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr drh Maria Bintang, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat,
karunia, dan hidayah-Nyalah penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul
Optimasi Ekspresi Plantarisin W Rekombinan sebagai Inhibitor Salmonella typhi.

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari 2014 hingga November 2014 di
Laboratorium Aplikasi Rekayasa Genetika dan Desain Protein, Pusat Penelitian
Bioteknologi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Terima kasih, penghargaan, dan apresiasi penulis ucapkan kepada Dr drh
Hasim, DEA sebagai pembimbing utama dan Dr A. Zaenal Mustopa, MSi sebagai
pembimbing kedua atas arahan, bimbingan, motivasi dan masukkannya selama
penelitian serta dalam penyusunan tesis ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada
Rifqiyah Nur Umami, MS yang telah membantu penulis selama penelitian dan
penulisan tesis.Terima kasih kepada Dr Suryani, SP, MSc dan Dr Mega Safitri
yang telah menguji, membimbing, dan memberikan saran dalam penulisan tesis
ini. Serta terima kasih kepada Dr. Bambang Sunarko selaku Kepala Pusat
Penelitian Bioteknologi LIPI yang telah mengizinkan penulis untuk melakukan
penelitian di Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI. Penelitian ini didanai oleh LIPI
melalui mekanisme hibah bersaing kompetitif LIPI 2014. Tidak lupa juga terima
kasih penulis ucapkan kepada keluarga, teman-teman Laboratorium Aplikasi
Rekayasa Genetika dan Desain Protein, Bioteknologi-LIPI, teman-teman program
sinergi S1-S2, Rega, teman-teman Biokimia 46 dan kakak SPs Biokimia 20122013 yang selalu mendukung penulis. Semoga tesis ini memberikan manfaat
dalam khazanah ilmu pengetahuan.

Bogor, Februari 2015

Andini Setyanti Putri

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vii

1 PENDAHULUAN

1


Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

2

Hipotesis

3

2 METODE PENELITIAN

3

Waktu dan Tempat

3

Bahan

3

Alat

4

Prosedur Penelitian

4

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Optimasi Ekspresi Plantarisin W Rekombinan

8
8

Plantarisin W Rekombinan Tersolubilisasi

11

Plantarisin W Rekombinan Murni

13

Aktivitas Inhibisi

17

4 SIMPULAN DAN SARAN

21

Simpulan

21

Saran

21

5 DAFTAR PUSTAKA

21

LAMPIRAN

28

RIWAYAT HIDUP

38

vi

DAFTAR GAMBAR
1 Pertumbuhan transforman E. coli BL21 (DE3) pLySs pada suhu inkubasi
37 oC tanpa induksi.
2 Hasil SDS-PAGE optimasi ekspresi plantarisin W rekombinan di E. coli.
3 Hasil SDS-PAGE solubilisasi plantarisin W rekombinan.
4 Hasil SDS-PAGE purifikasi plantarisin W rekombinan.
5 Hasil SDS-PAGE pemotongan plantarisin W rekombinan dengan
enterokinase (pewarnaan silver staining).
6 Hasil western blot plantarisin W rekombinan ( membran nitroselulosa
dan gel SDS-PAGE).
7 Aktivitas antibakteri plantarisin W rekombinan tersolubilisasi dengan
bufer solubilisasi I

9
9
12
14
14
16
19

DAFTAR TABEL
1 Konsentrasi protein setiap tahapan pemurnian plantarisin W dari fraksi
tidak larut
2 Aktivitas inhibisi plantarisin W rekombinan hasil pemurnian fraksi
terlarut terhadap S. typhi dan S. aureus
3 Aktivitas antibakteri plantarisin W rekombinan tersolubilisasi
4 Aktivitas spesifik plantarisin W rekombinan disetiap tahap pemurnian

16
18
18
19

vii

DAFTAR LAMPIRAN
1 Diagram Alir Penelitian
2 Komposisi Media Luria Bertani
3 Komposisi Media Nutrien Broth
4 Komposisi Media Nutrient Agar
5 Komposisi Bufer Purifikasi Kromatografi Afinitas
6 Komposisi Bufer Solubilisasi dan Renaturasi
7 Komposisi Bufer Elusi Gel
8 Komposisi Larutan Elektroforesis SDS-PAGE
9 Komposisi Gel SDS-PAGE (akrilamid 12%)
10 Komposisi Larutan Silver Staining
11 Komposisi Larutan Western Blot
12 Komposisi Bufer Pemotongan dengan Enterokinase (10x EK Max)
13 Komposisi bufer fosfat (pH 7.2)
14 Komposisi Reagen BCA Assay
15 Kurva Standar BSA
16 Kadar Protein Setiap Tahap Pemurnian
17 Aktivitas Spesifik Setiap Tahap Pemurnian
18 Peta Plasmid pET-32a
19 Sekuens Plantarisin W dalam Vektor pET-32a

29
30
30
30
30
31
31
32
32
33
33
34
34
34
34
35
35
36
37

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella
enterica serotipe Typhi (S. typhi) (Bhan et al. 2005). Kasus demam tifoid
mencapai 21.6 juta kasus di dunia pada tahun 2000. Penyakit ini ditularkan
melalui rute fekal-oral, yaitu melalui makanan dan air yang terkontaminasi.
Demam tifoid umumnya terjadi pada negara berkembang dan padat penduduk
dengan sanitasi yang kurang baik. Asia merupakan wilayah dengan kejadian tifoid
terbesar di dunia, yaitu 90% dari kasus tifoid di dunia (Crump et al. 2004).
Menurut Ochiai et al. (2008), Indonesia menempati urutan ketiga kejadian tifoid
terbanyak di Asia, dengan 180.3 kejadian/100 000/tahun.
Pengobatan yang banyak digunakan adalah dengan antibiotik, di antaranya
yaitu ampisilin, kloramfenikol, streptomisin, tetrasiklin, florokuinolon, dan
monobaktum beta-laktam (WHO 2003). Penggunaan antibiotik memicu resistansi
pada S. typhi (multidrug resistance). Menurut Yanagi et al. (2009), terdapat
37.5% strain S. typhi yang mengalami multidrug resistance di Surabaya,
Indonesia. S. typhi resistant terhadap 200 g/ml kloramfenikol. Resistansi ini
terjadi karena S. typhi tidak memiliki gen OmpF (Toro et al. 1990), oleh karena
itu diperlukan alternatif pengobatan yang tidak menginduksi resistansi pada S.
typhi.
Salah satu alternatif pengobatan demam tifoid adalah antimicrobial peptide
(AMP). AMP merupakan molekul biologis yang disintesis oleh ribosom, memiliki
aktivitas antimikroba, dan berfungsi sebagai pertahanan terhadap mikroba (Sang
dan Blecha 2008). Menurut Gong et al. (2010), plantarisin yang diisolasi dari
Jiaoke (makanan tradisional Cina) memiliki aktivitas antibakteri terhadap S.
typhimurium. Plantarisin merupakan peptida antimikroba yang berperan sebagai
penekan spesies kompetitor, membunuh bakteri dengan cara merusak integritas
membran sehingga tidak menginduksi terjadinya resistansi (Sang dan Blecha
2008; Gong et al. 2010).
Peptida antimikroba yang dihasilkan oleh bakteri (bakteriosin) terbagi
menjadi beberapa kelas. Menurut Cotter et al. (2005), bakteriosin dibagi menjadi
tiga kelas yaitu, kelas I (lantibiotik) peptida kecil, mengandung residu asam amino
termodifikasi (lantionin, β-metil-lantionin), kelas II bakteriosin kecil dan tidak
memiliki asam amino termodifikasi, serta kelas III (bakteriolisin) berukuran besar,
tidak tahan panas, mengkatalisis hidrolisis dinding sel bakteri sehingga
menyebabkan autolisis. Salah satu bakteriosin kelas I adalah plantarisin W (Holo
et al. 2001). Plantarisin W merupakan lantibiotik yang dihasilkan dari
Lactobacillus plantarum dan mampu menghambat berbagai spesies bakteri Gram
positif (Holo et al. 2001).
Mustopa et al. (2010) telah melakukan isolasi dan skrining L. plantarum
dari bekasam daging sapi, makanan tradisional asal Waykanan, Lampung serta
didapat isolat lokal potensial yang memiliki aktivitas antibakteri terhadap E. coli,
S. typhi, dan B. subtilis, yaitu Lactobacillus plantarum S34. Menurut Mustopa et
al. (2012), L. plantarum S34 menghasilkan bakteriosin yang stabil terhadap panas,
berukuran 1.7 kDa dan 4.6 kDa, serta dapat menghambat patogen bawaan pangan

2
dan virus. Plantarisin W berpotensi dikembangkan sebagai alternatif pengobatan
demam tifoid, namun produksi plantarisin W yang diisolasi dari sumber alami (L.
plantarum) sulit dilakukan karena rendemen yang dihasilkan rendah dan aktivitas
antimikroba nya tidak stabil. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah
dengan membuat plantarisin W rekombinan. Menurut Ma et al. (2003), protein
rekombinan dapat digunakan untuk produksi dalam skala besar karena dapat
diproduksi dengan lebih mudah dan lebih stabil. Volzing et al. (2013),
melaporkan bahwa terdapat peptida antimikroba A3-APO dan Alyteserin
rekombinan yang memiliki aktivitas terhadap S. typhi dan E. coli. Protein A3APO merupakan analog pyrrhocoricin, peptida antimikroba yang diisolasi dari
kutu daun Pyrrhocoris apterus (Ostorházi 2011). Sedangkan, Alyteserin
merupakan peptida antimikroba yang disekresikan pada kulit kodok Alytes
obstetricans (Conlon et al. 2009).
Studi ekspresi heterolog bakteriosin telah banyak dilakukan, terutama
ekspresi bakteriosin rekombinan di E. coli, di antaranya yaitu plantarisin -E, -F, -J,
-K rekombinan (Pal dan Srivastava 2013), glisinesin rekombinan (Heu et al.
2001), diversin rekombinan (Richard et al. 2004), piskikolin rekombinan (Gibbs
et al. 2004), sakasin P, pediosin PA-1, dan piskikolin 61 (Axelsson et al. 1998).
Mustopa et al. (2013) telah mengisolasi gen penyandi plantarisin W dari L.
plantarum S34, melakukan kloning plantarisin W ke vektor pGEM-T dan
subkloning ke vektor ekspresi pET-32a serta diintroduksikan ke E. coli
BL21(DE3) pLysS. Metode ekspresi optimum plantarisin W rekombinan belum
diketahui terutama ekspresi plantarisin W rekombinan yang diisolasi dari isolat
lokal potensial asal Indonesia. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian
mengenai optimasi ekspresi plantarisin W rekombinan serta mengevaluasi
aktivitas inhibisinya terhadap Salmonella typhi.

Perumusan Masalah
Adanya kejadian resistansi Salmonella typhi terhadap antibiotik
membutuhkan strategi lain untuk mengatasi demam tifoid tanpa menyebabkan
resistansi pada Salmonella typhi. Plantarisin W rekombinan diharapkan dapat
menjadi alternatif untuk mengatasi Salmonella typhi. Namun, studi ekspresi
plantarisin W rekombinan belum diketahui. Oleh karena itu, penelitian mengenai
optimasi ekspresi plantarisin W rekombinan serta aktivitas inhibisinya terhadap
Salmonella typhi perlu dilakukan.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengoptimasi ekspresi plantarisin W rekombinan
dengan vektor ekspresi pET-32a dalam inang Escherichia coli BL21 (DE3) pLysS
dan memurnikan plantarisin W rekombinan serta mengetahui aktivitas plantarisin
W rekombinan sebagai peptida antimikroba terhadap Salmonella typhi.

3
Hipotesis
Plantarisin W rekombinan memiliki bobot molekul ± 33 kDa dapat
diekspresikan di Escherichia coli. Ekspresi plantarisin W rekombinan dapat
ditingkatkan dengan berbagai perlakuan optimasi. Selain itu, plantarisin W
rekombinan dapat dimurnikan dengan teknik kromatografi afinitas dan memiliki
aktivitas inhibisi terhadap Salmonella typhi.

2 METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan pada Januari - November 2014 di Laboratorium
Aplikasi Rekayasa Genetika dan Desain Protein, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Cibinong.

Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah transforman Escherichia
coli BL21 (DE3) pLysS (Novagen) dengan plasmid rekombinan pET-32a-plnW,
Salmonella typhi ATCC 25241, Staphylococcus aureus ATCC 6538, Escherichia
coli NBRC 14237, EPEC K.1.1, isopropil β-D-tio galaktopiranosida (IPTG)
(Thermo Scientific), media Luria Bertani (LB) (tripton (Oxoid), ekstrak ragi
(Oxoid), NaCl (Merck)), media nurient broth (NB) (ekstrak daging (Himedia),
pepton bakteriologis (Oxoid), NaCl (Merck)), agar bakteriologis (Oxoid), resin
Co2+-CMA (TALONTM), commasie brilliant blue G-250 (Sigma), silver stain kit
(Thermo Scientific), imidazole (Bio Basic Inc.), ampisilin (Bio Basic Inc.),
kloramfenikol (Gold Bio), sodium klorida (NaCl) (Merck), Tween-20 (MP
Biomedicals), Tris-aminometana (Merck), Tris-HCl (Bio Basic Inc.), urea (MP
Biomedicals), HCl (Merck), NaOH (Merck), KCl, KH2PO4, CaCl2 (Duksan),
sodium fosfat (Duksan), merkaptoetanol (MP Biomedicals), EDTA
(Ethylenediaminetetraacetic acid) (Bio-Rad), DTT (Ditiotreitol) (Research
Product Institute), Triton-X (MP Biomedicals), gliserol (Sigma), lisozim (Sigma),
BCA protein assay kit (PierceTM 23225), TBC (tetrazolium blue chloride) (Sigma),
TMB (3,3',5,5'-Tetrametilbenzidin) (Invitrogen), anti-his-HRP-Cterm (Novex),
skim milk (Oxoid), membran nitroselulosa (Invitrogen), sukrosa (Caisson Labs),
Sodium Dodesil Sulfat (SDS) (Sigma), aseton (Merck), metanol (Merck), etanol
absolut (Merck), asam asetat glasial (Merck), TEMED (Sigma), akrilamid (Bio
Basic Inc), amonium per sulfat (APS) (MP Biomedicals), penanda bobot molekul
(Precision Plus Protein TM Dual Xtra Standard (Bio Rad), Pierce Prestained
Protein Molecular Weight Marker (Thermo Scientific)), enterokinase (Sigma),
CaCl2 (Merck), dan akuades steril.

4
Alat
Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut
sentrifus (Hermle), sonikator (Lab Sonic), elektroforator SDS PAGE (ATTO),
shaker inkubator (N-Biotek Inc.), rotator (N-Biotek Inc.), set blotting (Bio Rad),
inkubator (Firlabo), laminar air flow (ESCO), pH meter (Eutech Instruments),
spektrofotometer UV-VIS (Gene Quant), microplate 96-well (Nunc), ELISA
reader (Thermo multiscan ex), membran dialisis (MWCO 11 463, Sigma),
mikropipet (Gilson), tip (Axygen), dan alat-alat gelas lainnya (Pyrex).

Prosedur Penelitian
Optimasi Ekspresi Plantarisin W (Birdsell dan Cota-Robles 1967, Utama et
al. 2000)
Metode ekspresi plantarisin W dilakukan berdasarkan Utama et al. (2000).
Kultivasi dilakukan dengan menambahkan 10% kultur (starter) transforman E.
coli BL21 (DE3) pLysS ke dalam 200 mL media luria bertani (LB) yang telah
ditambahkan ampisilin 100 μg/mL. Kultur diinkubasi pada suhu 37 °C dengan
goyangan 150 rpm, hingga OD600 mencapai fase mid log. Selanjutnya,
ditambahkan 0.5 mM isopropil β-D-tio galaktopiranosida (IPTG) ke dalam kultur.
Dilakukan optimasi suhu induksi yaitu pada suhu 20, 25, dan 37 °C. Inkubasi
dilakukan selama 5 jam, dengan goyangan 150 rpm. Setelah OD600 mencapai 0.8-1,
kultur disentrifugasi pada 8 000 g, suhu 4 °C, selama 10 menit. Supernatan
dibuang, pelet disimpan pada suhu -20 °C. Optimasi pemecahan sel transforman E.
coli BL21 (DE3) pLysS yang mengandung gen pln W dilakukan dengan beberapa
metode yaitu, sonikasi, lisozim, dan kombinasi metode sonikasi-beku cair (freeze
thaw). Pemecahan sel menggunakan lisozim dilakukan berdasarkan metode
Birdsell dan Cota-Robles (1967). Pelet ditambahkan 10 mL bufer lisis lisozim (20
g/mL lisozim, 0.5 M sukrosa, 1 mM EDTA) dan diinkubasi selama 1 jam pada
suhu 37 oC. Pemecahan sel dengan metode sonikasi dilakukan dengan
meresuspensi pelet dalam 10 mL bufer B (Tris HCl 10 mM pH 8.5, NaCl 100 mM,
dan Tween-20 0.25%), kemudian disonikasi dalam es dengan amplitudo 30 A, 0.5
siklus, detakan 15 detik dan interval satu menit. Siklus sonikasi diulang hingga
visibilitas yang diinginkan tercapai. Pada pemecahan sel dengan kombinasi beku
cair dan sonikasi, dilakukan tahapan beku-cair sebanyak tiga ulangan dengan
masing-masing pengulangan 1 jam (30 menit pembekuan dan 30 menit pencairan).
Selanjutya dilakukan tahapan lisis dengan metode sonikasi (Utama et al. 2000).
Suspensi setelah perlakuan lisis sel disentrifugasi pada 17 000 g, 4 °C, selama 30
menit. Pelet (fraksi tidak larut) disolubilisasi, dan supernatan (fraksi terlarut)
dimurnikan dengan kromatografi afinitas logam.
Solubilisasi Plantarisin W (Patra et al. 2000, Kohyama et al. 2010, Liu et al.
2011, Ningrum et al. 2011, Yamaguchi dan Miyazaki 2014)
Hasil lisis sel didapatkan fraksi terlarut dan tidak larut. Solubilisasi
dilakukan pada fraksi tidak larut berdasarkan metode Ningrum et al. (2011) dan

5
Patra et al. (2000). Fraksi tidak larut dipisahkan dari fraksi terlarut dengan
sentrifugasi 30 menit, 17 000 g, 4 oC. Pelet dicuci dengan bufer pencuci (50 mM
Tris HCl pH 8, 100 mM NaCl, 2 M urea, dan 1% Triton X-100) kemudian
disentrifus pada 17 000 g, 5 menit, 4 oC. Pencucian dilakukan sebanyak tiga kali
(Liu et al. 2011). Pelet yang telah dicuci diresuspensi menggunakan bufer
solubilisasi sebanyak 750 l untuk setiap 0.1 g pelet basah. Optimasi solubilisasi
dilakukan dengan membandingkan aktivitas antibakteri hasil solubilisasi dari
kedua bufer solubilisasi. Bufer solubilisasi I mengandung 2 M urea dan 100 mM
Tris pH 12.5 (Patra et al. 2000), buffer solubilisasi II mengandung 8 M urea, 50
mM Tris HCl pH 8, dan 800 mM merkaptoetanol (Ningrum et al. 2011). Pelet
diinkubasi ± 16 jam di rotator 4 oC. Kemudian disentrifus pada 17 000 g selama
15 menit 4 oC. Selanjutnya dilakukan dialisis secara bertahap (step wise dialysis)
(Yamaguchi dan Miyazaki 2014; Kohyama et al. 2010). Dialisis pertama
(removing denaturing agent) menggunakan bufer dialisis 1a (50 mM Tris HCl pH
8, 0.2 mM EDTA, 1 M urea), dilanjutkan dengan bufer dialisis 1b (50 mM Tris
HCl pH 8, 0.2 mM EDTA, 0.5 M urea). Dialisis kedua (refolding) dengan bufer
2a (0.4 M urea, 0.2 mM EDTA, 50 mM Tris HCl pH 8, 0.25 mM merkaptoetanol)
dan dilanjutkan dengan dialisis menggunakan bufer 2b (0.2 M urea, 0.2 mM
EDTA, 50 mM Tris HCl pH 8, 0.25 mM merkaptoetanol, 1% gliserol) (Kohyama
et al. 2010). Masing-masing tahapan dialisis dilakukan menggunakan kantung
dialisis (MWCO ± 12 000 kDa) dalam 500 mL bufer dengan agitasi, suhu 4 oC
selama 24 jam. Sebelum dilakukan dialisis, membran dialisis diberi perlakuan
untuk menghilangkan logam yang terdapat pada membran dialisis. Membran
dialisis didihkan dalam 1 mM EDTA selama 10 menit, kemudian membran
dialisis dipanaskan kembali dalam akuades steril mendidih selama 10 menit.

Purifikasi Plantarisin W
Kromatografi Afinitas (Utama et al. 2000)
Purifikasi supernatan plantarisin W rekombinan yang mengandung fusi
protein his-tag dilakukan dengan resin afinitas menggunakan resin Co2+-CMA
(TALONTM). Sebelum tahapan pengikatan (binding), dilakukan ekuilibrasi resin
menggunakan bufer B (10 mM Tris pH 8.5, 100 mM NaCl, dan 0.25% Tween-20).
Selanjutnya, supernatan hasil pemecahan sel ditambahkan 300 μL resin yang telah
diekuilibrasi. Campuran supernatan dan resin diinkubasi pada rotator suhu 4 °C
selama 3 jam (tahap pengikatan). Setelah inkubasi, campuran supernatan dan resin
disentrifugasi 7 000 g, pada suhu 4 °C, 7 menit. Inner volume atau supernatan
dibuang. Pelet (resin) ditambahkan bufer pencuci (10 mM Tris HCl pH 8.5, NaCl
0.1 M, 0.25% Tween-20, 10 mM imidazol) dan disentrifus 7 000 g, selama 5
menit, 4 °C. Tahap pencucian dilakukan sebanyak dua kali. Pelet (resin)
ditambahkan 200 L bufer elusi (10 mM Tris HCl pH 8.5, NaCl 0.1 M, 0.25%
Tween-20, 400 mM imidazol) dan disimpan di rotator selama 16 jam pada suhu
4 °C (elusi). Selanjutnya, resin dielusi dengan sentrifus pada 7 000 g, suhu 4 °C
selama 2 menit. Eluat yang diperoleh disimpan pada suhu -20 °C.

6
Elektroelusi Protein (Holifah 2012, Burgess 2009)
Plantarisin W rekombinan hasil solubilisasi diseparasi menggunakan
elektroforesis SDS-PAGE preparatif dengan sampel tanpa perlakuan denaturasi
(bufer loading non reducing non denaturing). Gel SDS-PAGE preparatif diwarnai
dengan Commasie Brilliant Blue G-250 0.5%. Protein target yang terdapat pada
gel SDS-PAGE preparatif dipotong menjadi bagian yang lebih kecil dan
dimasukkan ke dalam membran dialisis yang telah mengandung bufer elektroelusi
(25 mM Tris, 0.192 M glisin, 0.1% SDS). Gel yang mengandung protein dielusi
dengan tegangan listrik 60 V hingga gel SDS-PAGE menjadi bening dan bufer
dalam membran dialisis berwarna biru (Holifah 2012). Hasil elusi dipresipitasi
dengan empat kali volume aseton dingin selama 30 menit dalam es. Aseton dan
SDS yang tersisa dipisahkan dengan sentrifus 17 000 g selama 5 menit pada suhu
4 oC. Protein hasil presipitasi direnaturasi dengan 20 l 8 M urea dalam bufer
dilusi (50 mM Tris pH 7.9, 20% gliserol, 0.1 mM EDTA, 1 mM DTT, 0.15 M
NaCl, 0.1% SDS) selama 20 menit dalam suhu ruang, kemudian protein
tersolubilisasi diencerkan 10 kali dengan menambahkan bufer dilusi dan
diinkubasi selama 1 jam di suhu ruang (Burgess 2009).
Pemotongan Fusi Protein (Gasparian et al. 2011)
Plantarisin W rekombinan yang telah dimurnikan dipotong fusi proteinnya
dengan menggunakan enzim enterokinase. Sebanyak 20 g protein ditambahkan
dengan 3 l 10x bufer EKMaxTM, 1 unit enterokinase, dan ditambahkan ddH2O
hingga 30 l. Inkubasi pemotongan enterokinase dilakukan selama ± 16 jam pada
suhu 22 oC. Hasil pemotongan enterokinase dievaluasi dengan elektroforesis SDSPAGE dan diwarnai dengan silver stain.

Karakterisasi Bobot Molekul dan Penentuan Konsentrasi Protein
Elektroforesis SDS-PAGE (Laemmli 1970)
Elektroforesis Sodium Dedosyl Sulfate Polyacrilamide Gel Electrophoresis
(SDS PAGE) dilakukan untuk menganalisis bobot molekul plantarisin W. Gel
SDS-PAGE yang digunakan mengandung 12% akrilamid. Gel SDS-PAGE dibuat
dengan mencampurkan sukrosa, poliakrilamid, akuades, TEMED, dan amonium
persulfat. Sebelum running sampel didenaturasi dengan pemanasan dan
penambahan merkaptoetanol. Sampel dicampurkan dengan loading dye dan
didenaturasi pada suhu 95 °C selama 10 menit. Setelah perangkat elektroforesis
disiapkan, sampel dan penanda bobot molekul dimasukkan ke sumur gel
elektroforesis. Setelah elektroforesis selesai, gel diwarnai dengan Commassie
Brilliant Blue G-250 atau silver staining. Pewarnaan menggunakan Commassie
Brilliant Blue G-250 dilakukan selama 2 jam atau semalaman dan destaining
selama 30 menit sebanyak tiga kali. Pewarnaan menggunakan silver staining
(Pierce Silver Stain Kit) dilakukan dengan mencuci gel hasil elektroforesis dengan
akuades steril selama 5 menit (2x), kemudian dilakukan fiksasi menggunakan
etanol : asam asetat glasial : air (3:1:6) selama 15 menit (2x). Selanjutnya, gel

7
yang telah difiksasi dicuci dengan etanol 10% selama 5 menit (2x) dan akuades
steril 5 menit (2x). Gel ditingkatkan sensitifitasnya dengan larutan sensitizer
selama 1 menit, kemudian gel dicuci 1 menit dengan akuades steril (2x).
Pewarnaan dilakukan dengan merendam gel pada larutan stain selama 30 menit,
kemudiaan dicuci selama 20 detik dengan akuades steril (2x). Gel direndam pada
larutan developer hingga muncul pita. Setelah pita protein muncul, reaksi
dihentikan dengan menambahkan asam asetat 5% selama 10 menit.
Penentuan Konsentrasi Protein (Pierce Biotechnology 2013)
Penentuan konsentrasi protein dilakukan secara kuantitatif menggunakan
bicinchoninic acid (BCA) kit dengan BSA (bovine serum albumin) sebagai
standar protein. Konsentrasi BSA yang digunakan sebagai standar yaitu 2000
g/ml, 1500 g/ml, 1000 g/ml, 750 g/ml, 500 g/ml, 250 g/ml, 125 g/ml,
dan 25 g/ml. Working reaction dibuat dengan mencampurkan reagen A dan B
(perbandingan 50:1). Selanjutnya sampel dan working reaction ditambahkan
dalam microplate 96-well dengan perbandingan sampel:reagen (1:20). Microplate
diinkubasi pada suhu 37 °C selama 30 menit, kemudian hasil reaksi dibaca pada
panjang gelombang 540 nm dengan menggunakan ELISA reader.
Analisis Western Blot (Richard et al. 2004)
Western blot dilakukan untuk mendeteksi adanya protein target. Proses
western blot dilakukan beberapa tahap, yaitu separasi sampel dengan
elektroforesis SDS-PAGE tanpa pewarnaan gel, transfer protein pada gel SDSPAGE ke membran nitroselulosa (blotting) selama semalaman. Blocking dengan
merendam membran nitroselulosa dalam 5% susu skim. Probing dilakukan
dengan menggunakan antibodi anti his yang telah dikonjugasi dengan horseradish
peroxidase (HRP) (anti-his-HRP-Cterm) sehingga antibodi akan berikatan dengan
protein yang mengandung his-tag. Sebanyak 3L antibodi ditambahkan pada 10
mL larutan blocking, kemudian ditambahkan pada membran nitroselulosa dan
disimpan di rotator 4 oC semalaman. Deteksi dilakukan dengan menambahkan
TMB (3,3’,5,5’-Tetramethylbenzidine) yang akan bereaksi dengan HRP dan
memberikan perubahan warna pada pita yang mengandung his-tag.

Aktivitas Inhibisi (Arief et al. 2013, Davis dan Stout 1971, EUCAST 2003)
Aktivitas antibakteri dievaluasi secara kualitatif dan kuantitatif. Evaluasi
aktivitas antibakteri secara kualitatif dilakukan berdasarkan metode difusi agar
(Arief et al. 2013). Strain indikator utama yang digunakan adalah Salmonella
typhi ATCC 25241 dan Staphylococcus aureus ATCC 6538. Selain itu, digunakan
E. coli NBRC 14237 dan E. coli EPEC K.1.1 sebagai strain indikator pembanding.
Sebanyak 50 L sampel diteteskan pada sumur (diameter sumur 5 mm) dalam
media nutrient agar yang telah mengandung 108 CFU/mL mikroorganisme
indikator. Mikroorganisme indikator yang digunakan merupakan kultur segar
yang telah ditumbuhkan dalam media nutrient broth (NB) selama semalaman.
Petri disimpan pada suhu 4 oC selama 1-2 jam. Kemudian petri diinkubasi pada

8
suhu 37 oC selama 18 jam. Aktivitas inhibisi ditunjukkan dengan adanya zona
bening disekitar sumur. Penentuan daya aktivitas antibakteri dilakukan
berdasarkan Davis dan Stout (1971). Aktivitas inhibisi secara kuantitatif
dilakukan dengan metode uji mikrodilusi (EUCAST 2013). Isolat bakteri
indikator ditumbuhkan dalam media NB (nutrient broth) suhu 37 oC selama ± 16
jam. Sebanyak 50 L sampel ditambahkan pada microplate yang telah
mengandung 100 L suspensi bakteri (5 x 105 CFU mL-1), kemudian diinkubasi
pada suhu 37 oC dengan kecepatan goyangan 150 rpm selama 24 jam. Setelah 24
jam, ditambahkan 50 l TBC (tetrazolium blue chloride) (0.025% (w/v) dalam
bufer fosfat pH 7.2), kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC selama 30 menit.
Absorbansi dibaca pada panjang gelombang 540 nm. Rumus perhitungan
persentase inhibisi adalah sebagai berikut,
inhibisi

total patogen

sampel

total patogen

Prosedur Analisis Data
Analisis statistik dilakukan terhadap hasil uji mikrodilusi inhibisi S. typhi
dan S. aureus. Uji statistik dilakukan menggunakan rancangan acak lengkap
(RAL), yaitu dengan uji Duncan pada tingkat kepercayaan 95 dan taraf α = 0.05.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Optimasi Ekspresi Plantarisin W Rekombinan
Plantarisin W (PlnW) tersusun atas 135 asam amino dan protein mitra
tersusun atas 165 asam amino sehingga protein fusi PlnW rekombinan
diekspresikan dengan bobot molekul ± 33 kDa. Inang yang digunakan untuk
mengekspresikan gen plantarisin W adalah E. coli BL21 (DE3) pLySs. E. coli
sering digunakan sebagai inang untuk memproduksi protein rekombinan karena
dapat ditumbuhkan dengan mudah, cepat dan ekonomis (Yuan dan Hua 2002). E.
coli BL21 (DE3) pLySs merupakan strain E. coli mutan yang dapat
mengekspresikan protein heterolog (Dumon-Seignovert et al. 2004). Menurut Pan
dan Malcolm (2000), strain E. coli ini dapat mengekspresikan gen toksik dengan
ekspresi yang konsisten, menurunkan ekspresi basal (tanpa induksi) dan
meningkatkan stabilitas vektor dalam inang.
Optimasi ekspresi PlnW rekombinan dilakukan dengan menginduksi kultur
pada fase mid log. Sebelum optimasi ekspresi, kurva pertumbuhan transforman E.
coli BL21 (DE3) pLySs dibuat menggunakan suhu optimum pertumbuhan E. coli
(suhu 37 oC). Kurva pertumbuhan transforman E. coli BL21 (DE3) pLySs
disajikan pada Gambar 1. Berdasarkan Gambar 1, diketahui fase mid log berada
pada OD600  0.6 dengan waktu inkubasi ± 3 jam. Fase mid log merupakan fase
yang umum digunakan untuk induksi ekspresi protein rekombinan di E. coli, pada
fase ini bakteri tidak berkompetisi untuk menghasilkan metabolit lain, dan mampu
menghasilkan protein rekombinan dibawah kondisi stres (Kelley et al. 2010).

OD600

9
1.4
1.2
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0

Fase mid log

0

Gambar 1

kDa

M

10
20
Waktu Inkubasi (jam)

30

Pertumbuhan transforman E. coli BL21 (DE3) pLySs pada suhu
inkubasi 37 oC tanpa induksi.
1

100
75
50
37

2

3

kDa

kDa

M 1

2

3

1

2

3

M

250
150
100
75

250
150
100
75

50

50

37

37

25

25
25

20

20

20
15
10
5
2

(a)

15

15

10
5
2

10
5
2

(b)

(c)

Gambar 2 Hasil SDS-PAGE optimasi ekspresi plantarisin W rekombinan di E.
coli. (a) optimasi induksi IPTG. Lajur M: marker, 1: plnW terinduksi,
2: plnW tanpa induksi, 3: pET-32a (kontrol). (b) optimasi suhu
induksi. Lajur 1: suhu induksi 22 oC, 2: suhu induksi 25 oC, 3: suhu
induksi 37 oC (c) optimasi metode lisis sel, 1: lisis lisozim, 2: lisis
sonikasi, 3: lisis sonikasi-beku cair.
Optimasi ekspresi PlnW rekombinan dilakukan dengan mengoptimalkan
induksi ekspresi, suhu induksi, dan metode lisis sel. Induksi ekpresi dilakukan
dengan penambahan induser IPTG. Penelitian ini menggunakan pET-32a sebagai
vektor ekspresi yang memiliki promotor T7 polimerase. Vektor pET merupakan
salah satu vektor yang banyak digunakan untuk ekspresi di prokariot (Pan dan
Malcolm 2009). T7 polimerase dikontrol oleh promotor lacUV5 yang menurunkan
ketergantungan inisiasi transkripsi pada cAMP atau kompleks gen aktivator
protein. Hal ini menyebabkan ekspresi protein rekombinan dapat diinduksi
walaupun terdapat represi katabolit yang menurunkan level cAMP (Pan dan
Malcolm 2009).

10
Ekspresi PlnW rekombinan meningkat dengan induksi 0.5 mM IPTG
dibandingkan dengan kultur yang tidak diinduksi (Gambar 2a). IPTG merupakan
induser yang umum digunakan untuk sistem promoter tipe lac (Hansen et al.
1998). IPTG dapat meningkatkan ekspresi dengan berikatan secara langsung pada
protein lac repressor sehingga transkripsi gen dapat berjalan (Weng et al. 2006).
Penelitian ini menggunakan induksi IPTG dengan konsentrasi 0.5 mM. Hal ini
sesuai dengan penelitian Yildrim et al. (2007) yang mengoptimalkan ekspresi
diversin V41 rekombinan dengan induksi 0.5 mM IPTG. Selain itu, menurut
Weng et al. (2012), konsentrasi IPTG harus sesuai (optimum) karena konsentrasi
IPTG yang tinggi dapat menurunkan jumlah sel atau mengganggu pertumbuhan
sel. Berdasarkan Gambar 2a diketahui plantarisin W rekombinan telah
diekspresikan di E. coli dengan ukuran ± 33 kDa.
Optimasi suhu inkubasi setelah induksi dilakukan karena suhu merupakan
salah satu faktor yang menentukan jumlah protein rekombinan yang dihasilkan.
E. coli termasuk organisme mesofil yang dapat tumbuh pada suhu 20 oC – 45 oC
(Goldstein 2007), sehingga optimasi suhu induksi dilakukan pada suhu 22, 25, dan
37 oC. Berdasarkan Gambar 2b, diketahui inkubasi pada suhu 22 oC meningkatkan
ekspresi PlnW rekombinan. Menurut Weng et al. (2006), penurunan suhu induksi
pada ekspresi komponen glutamat mutase-S rekombinan hingga 20 oC
menghasilkan protein rekombinan tiga kali lipat lebih banyak dibandingkan
dengan menggunakan suhu induksi 37 oC. Selain itu, menurut Peti dan Page
(2007) serta Berrow et al. (2006), menyatakan bahwa ekspresi protein rekombinan
lebih efektif dilakukan pada suhu rendah (hingga 17 oC) untuk meningkatkan
solubilitas protein rekombinan yang dihasilkan.
Suhu 22 oC merupakan suhu inkubasi yang rendah untuk pertumbuhan E.
coli. Suhu inkubasi rendah akan menurunkan laju sintesis protein, namun
meningkatkan pelipatan protein dan menurunkan laju proteolisis, baik ATPdependent maupun ATP-independent (Weng et al. 2006). Ekspresi PlnW
rekombinan dengan inkubasi pada suhu 25 oC dan 37 oC menghasilkan PlnW
rekombinan yang lebih rendah dibandingkan dengan inkubasi pada suhu 22 oC.
Hal ini dapat terjadi karena laju proteolisis lebih tinggi dibandingkan dengan laju
pelipatan protein sehingga menghasilkan rendemen yang rendah. Menurut
Georgiou dan Valax (1996) pada suhu inkubasi 37 oC tidak ditemukan adanya Gro
ES/EL, yaitu suatu caperon yang meningkatkan ekspresi protein dengan
membantu pelipatan protein dan mencegah protein beragregasi selama refolding.
Optimasi ekspresi PlnW rekombinan dilakukan juga dengan mengoptimasi
metode lisis sel. Lisis sel dapat dilakukan secara mekanik dan kimiawi. Secara
mekanik, lisis sel dapat dilakukan dengan sonikasi, ultra sonikasi, beku-cair, dan
homogenisasi. Sementara metode lisis secara kimiawi dilakukan dengan
menggunakan lisozim. Menurut Peti dan Page (2007), metode lisis sel yang umum
digunakan yaitu, sonikasi, lisozim, beku-cair, dan homogenisasi. Berdasarkan
Gambar 2c, PlnW rekombinan yang diekspresikan tidak memiliki perbedaan yang
nyata antar metode lisis, akan tetapi metode lisis dengan kombinasi teknik bekucair dan sonikasi merupakan metode yang paling optimum untuk melisis sel
karena sel dapat terlisis dengan lebih baik (Gambar 2c). Sehingga, metode lisis
yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan beku-cair dan sonikasi.
Sonikasi merupakan metode lisis sel yang paling popular. Suspensi akan diberikan
kejutan gelombang mikroskopik, sehingga sel akan pecah melalui gesekan cairan

11
dan kavitasi. Selain itu, pengulangan siklus beku-cair dapat meningkatkan jumlah
sel yang terlisis (Peti dan Page 2007).
Bufer yang digunakan untuk melisis sel merupakan bufer Tris yang
mengandung Tween-20 dan garam. Umumnya bufer lisis mengandung garam
berfungsi untuk menjaga osmolaritas lisat. Tween-20 merupakan deterjen nonionik yang umum dipakai untuk solubilisasi protein membran. Deterjen non-ionik
memiliki kemampuan untuk memutuskan interaksi antara lipid-lipid dan lipidprotein (Hansson 2012). Bufer lisis lisozim menggunakan sukrosa berkonsentrasi
tinggi dan EDTA. Penambahan sukrosa dilakukan agar sel mengalami plasmolisis
karena kejut osmosis (osmotic shock). Selain itu, EDTA berfungsi melemahkan
membran luar sehingga menghasilkan rusaknya membran karena perbedaan
tekanan di dalam dan di luar membran (Birdsell dan Cota-Robles 1967).
Plantarisin W Rekombinan Tersolubilisasi
Plantarisin W diekspresikan sebagai protein fusi dengan protein mitra
tioredoksin-tag, S-tag, dan his-tag. Tioredoksin-tag (Trx-tag) merupakan oksidoreduktase yang dapat mereduksi ikatan disulfida melalui perubahan tio-disulfida.
Trx-tag bersifat hidrofilik, sehingga memiliki solubilitas yang tinggi dalam
sitoplasma E. coli dan stabil terhadap suhu (Young et al. 2012). S-tag merupakan
fusi peptida yang tersusun atas empat residu kationik, tiga residu anionik, tiga
residu polar tidak bermuatan, dan lima residu non polar. Komposisi residu asam
amino tersebut membuat S-tag menjadi soluble (Terpe 2003). Sementara his-tag
memiliki efek negatif terhadap solubilitas protein (Woestenenk et al. 2004).
PlnW rekombinan memiliki fusi yang berfungsi meningkatkan solubilitas
protein, akan tetapi berdasarkan hasil penelitian, PlnW rekombinan membentuk
badan inklusi (Gambar 3a). Berdasarkan Gambar 3a, diketahui bahwa PlnW
rekombinan lebih banyak terdapat pada fraksi tidak larut (pelet) dibandingkan
dengan fraksi terlarut (lisat sel). Hal ini menunjukkan bahwa PlnW rekombinan
diekspresikan dalam bentuk badan inklusi. Selain itu, terjadi overexpression pada
fraksi tidak larut (pelet) yang ditunjukkan dengan adanya perbedaan pita PlnW
rekombinan yang dihasilkan setelah induksi dengan 0.5 mM IPTG dan tanpa
induksi (Gambar 3b). Terbentuknya badan inklusi juga dilaporkan pada ekspresi
pediosin PA-1 (Liu et al. 2011), propionisin F (Balvir et al. 2012), dan pediosin
CP2 (Brede et al. 2004) dalam vektor pET-32a.
Fraksi tidak larut merupakan badan inklusi yang terakumulasi dalam sel.
Menurut Singh dan Panda (2005), ekspresi berlebih (overexpression) protein
rekombinan di E.coli dapat menghasilkan pembentukan protein inaktif yang
diakumulasikan dalam sel yang disebut badan inklusi (inclusion bodies). Protein
dapat membentuk badan inklusi karena protein rekombinan tersebut bersifat
toksik atau letal untuk sel inang, sehingga pembentukan badan inklusi merupakan
metode ekspresi yang dapat dilakukan oleh inang (Clark 2001).
Protein rekombinan yang membentuk badan inklusi tersebut harus
disolubilisasi dan dilipat kembali (refolding) sesuai konformasi aktifnya (Tsumoto
et al. 2003). Optimasi solubilisasi dilakukan dengan membandingkan hasil
solubilisasi PlnW rekombinan dengan dua buffer solubilisasi yaitu, bufer I yang
mengandung agen denaturan berkonsentrasi rendah dengan bufer II yang
mengandung agen denaturan berkonsentrasi tinggi. Hasil penelitian menunjukkan

12
solubilisasi dengan bufer I memiliki kemurnian yang lebih baik dibandingkan
dengan solubilisasi menggunakan bufer II (Gambar 3c).
Pemurnian protein merupakan tahap esensial pertama yang harus dilakukan
untuk mempelajari fungsi protein (Berg et al. 2002), oleh karena itu bufer
solubilisasi I digunakan untuk solubilisasi pada tahapan selanjutnya. Kemurnian
solubilisasi dengan bufer II lebih rendah dibandingkan dengan solubilisasi
menggunakan bufer solubilisasi I. Hal ini terjadi karena PlnW rekombinan
membentuk agregat (polimer). Patra et al. (2000) melakukan optimasi solubilisasi
menggunakan merkaptoetanol. Menurut Patra et al. (2000), solubilisasi pada pH
alkali akan menghasilkan pembentukan dimer dan penambahan merkaptoetanol
hanya memberikan efek yang kecil untuk disosiasi dimer menjadi monomer.
Protein tersolubilisasi akan menghasilkan monomolekular dispersi dan
interaksi intra atau antar molekul yang minimum (Tsumoto et al. 2003). Protein
tersolubilisasi tersebut memerlukan tahapan refolding untuk mengembalikan
protein inaktif (unfolded) menjadi protein aktif (folded) dengan menghilangkan
agen denaturan (Yamaguchi dan Miyazaki 2014). Agen denaturan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah urea. Urea merupakan protein destabilizer yang
mereduksi interaksi molekul protein (Tsumoto et al. 2003).
Metode penghilangan agen denaturan dari protein terdenaturasi merupakan
langkah penting untuk mengembalikan protein aktif (Yamaguchi dan Miyazaki
2014). Penelitian ini menggunakan metode step-wise dialysis untuk
menghilangkan agen denaturan protein. Metode ini dilakukan dengan menurunkan
konsentrasi urea secara bertahap. Hal ini dilakukan untuk menurunkan laju
misfolding atau agregasi protein sehingga protein dapat melipat dengan benar
(Tsumoto et al. 2003).
kDa

M

1

2

kDa

M

1

2

1

2

M

kDa

210
78
55

210
78
55

210
78
55

45

45

45
34

34

23

34
23
23

16
16

16

7

7

7

4

4

(a)
Gambar 3

4

(b)

(c)

Hasil SDS-PAGE solubilisasi plantarisin W rekombinan. (a)
Penentuan lokasi ekspresi, 1: lisat sel, 2: pelet (setelah washing).
(b) Overexpression dari fraksi tidak larut, 1: induksi 0.5 mM IPTG,
2: non induksi. (c) Optimasi bufer solubilisasi, 1: PlnW
rekombinan tersolubilisasi dengan bufer I, 2: PlnW rekombinan
tersolubilisasi dengan bufer II.

13
Bufer dialisis yang digunakan dalam penelitian ini mengandung EDTA
untuk menangkap ion logam yang dapat menyebabkan reaksi oksidasi yang tidak
diinginkan (Clark 1998). Selain itu, dalam bufer refolding terdapat
merkaptoetanol yang berfungsi mengurangi interaksi ikatan disulfida intra- dan
intermolekuler (Yamaguchi dan Miyazaki 2014). Gliserol yang digunakan pada
tahap akhir dialisis berfungsi sebagai penstabil protein dengan meningkatkan
interaksi hidrofobik pada pelarut dan protein (Yamaguchi dan Miyazaki 2014).
Plantarisin W Rekombinan Murni
Purifikasi PlnW rekombinan dilakukan pada fraksi terlarut (soluble) dan
fraksi tidak larut (insoluble). Purifikasi fraksi terlarut dilakukan menggunakan
kromatografi afinitas logam karena PlnW rekombinan mengandung fusi his-tag
yang memiliki afinitas terhadap Ni2+-NTA atau Co2+-CMA. Penelitian ini
menggunakan Co2+ sebagai ligan his-tag, karena bersifat lebih spesifik
dibandingkan dengan Ni2+-NTA sehingga menghasilkan eluat yang lebih murni
(Terpe 2003). Protein yang memiliki fusi his-tag akan berikatan dengan ligan pada
tahapan binding dan protein non-spesifik akan terlepas dari ligan pada tahap
pencucian. PlnW rekombinan dapat berikatan dengan resin Co2+, karena PlnW
rekombinan bermuatan negatif pada saat binding. Hal ini disebabkan oleh kondisi
binding yang dilakukan dalam keadaan alkali (pH 8.5). PlnW rekombinan
memiliki titik isoelektrik teoritis 6.65, sehingga akan bermuatan negatif saat pH
bufer > 6.65. Menurut Salgin et al. (2012), protein akan bermuatan negatif jika
berada pada pH diatas titik isoelektriknya. Selain itu, untuk meningkatkan
kemurnian hasil purifikasi ditambahkan Tween-20 dan garam pada bufer binding.
Adanya Tween-20 dan garam berfungsi menghambat protein non spesifik
berikatan pada resin dengan menurunkan interaksi hidrofobik pada matriks
(Bornhorst dan Falke 2000).
Elusi dan pencucian protein dilakukan dengan imidazol. Imidazol
berkonsentrasi rendah akan menghilangkan protein non spesifik yang berikatan
lemah dengan resin, sehingga imidazol dalam konsentrasi rendah digunakan pada
tahap pencucian. Sedangkan pada tahap elusi digunakan imidazol berkonsentrasi
tinggi. Imidazol berkonsentrasi tinggi akan mengelusi protein yang memiliki
polihistidin (Bornhorst dan Falke 2000). Imidazol merupakan analog histidin,
sehingga dapat berkompetisi dengan his-tag untuk berikatan dengan resin (Litchy
et al. 2005).
Purifikasi dari lisat sel dengan kromatografi afinitas logam dapat dilihat
pada Gambar 4a. Eluat yang didapat dari hasil purifikasi mengandung PlnW
rekombinan dengan ukuran ± 33 kDa, akan tetapi masih terdapat protein nonspesifik yang berukuran besar (> 33 kDa) pada eluat. Hal ini disebabkan oleh
protein selular (lisat sel) yang mengandung dua atau lebih residu histidin
berdekatan. Protein non-spesifik tersebut memiliki afinitas terhadap matrix IMAC
(immobilized metal-affinity chromatography) dan dapat ikut terelusi bersamaan
dengan protein target, sehingga menghasilkan adanya protein non-spesifik pada
eluat (Bornhorst dan Falke 2000). Pal dan Srivastava (2013) memurnikan
plantarisin E, -F, -J, dan -K rekombinan yang mengandung fusi his-tag dengan
ligan Ni2+-NTA. Selain itu, Richard et al. (2004) memurnikan diversin V41
rekombinan dengan kolom nikel. Kedua penelitian tersebut menghasilkan protein

14
rekombinan dengan kemurnian yang lebih baik dibandingkan dengan hasil
purifikasi PlnW rekombinan. Menurut Arnau et al. (2006), Ni2+-NTA merupakan
matriks yang paling banyak digunakan untuk memurnikan protein fusi his-tag dan
memiliki afinitas yang tinggi terhadap his-tag.
kDa

M

1

2

kDa

150
100
75

210
78
55

50

45

37

34

25

23

M

1

2

3

20
16
15
7
10
5
2

4

(a)

(b)

Gambar 4 Hasil SDS-PAGE purifikasi plantarisin W rekombinan. (a) purifikasi
fraksi terlarut dengan kromatografi afinitas. Lajur M: marker, 1: lisat
sel, 2: eluat (b) purifikasi fraksi tidak larut dengan elektroelusi. Lajur
M: marker, 1: PlnW rekombinan tersolubilisasi, 2: hasil dialisis, 3:
eluat.
kDa

M

1 2 3

100
75
50
37

± 33 kDa (fusi PlnW rekombinan)

25
20
15

± 18 kDa (protein mitra)
±