Pengaruh Jenis Inokulum dan Waktu Inkubasi Terhadap Sifat Fisiko-Kimia Tempe Kacang Merah (Phaseolus vulgaris L.)

PENGARUH JENIS INOKULUM DAN WAKTU INKUBASI
TERHADAP SIFAT FISIKO-KIMIA TEMPE KACANG
MERAH (Phaseolus vulgaris L.)

LULU MAKNUN

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PETANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Jenis
Inokulum dan Waktu Inkubasi Terhadap Sifat Fisiko-Kimia Tempe Kacang
Merah (Phaseolus vulgaris L.) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Lulu Maknun
NIM F24100014

ABSTRAK
LULU MAKNUN. Pengaruh Jenis Inokulum dan Waktu Inkubasi Terhadap Sifat
Fisiko-Kimia Tempe Kacang Merah (Phaseolus vulgaris L.). Dibimbing oleh
SULIANTARI.
Tempe merupakan salah satu pangan yang digemari masyarakat Indonesia dan
dikenal sebagai sumber protein. Kacang merah mengandung protein dalam jumlah
yang cukup tinggi sehingga memiliki potensi untuk digunakan sebagai bahan baku
tempe. Miselium kapang yang tumbuh menyelimuti kacang merah akan
membentuk tekstur tempe yang kompak sekaligus bertindak sebagai sumber
protein. Penelitian ini menggunakan rancangan percobaan Rancangan Acak
Lengkap Faktorial dengan dua faktor yaitu jenis laru dan waktu inkubasi.
Pembuatan tempe kacang merah dalam penelitian ini menggunakan empat jenis
inokulum yaitu Laru A (R.oligosporus), Laru B (R.oryzae), Laru C
(R.oligosporus+R.oryzae 1:1), dan Laru D (Laru A+Laru B 1:1) sedangkan tiga

waktu inkubasi yang digunakan sebagai perlakuan adalah 24, 36, dan 48 jam.
Parameter yang diuji dalam menentukan laru dan waktu inkubasi optimal untuk
produk tempe kacang merah adalah kadar protein terutama protein terlarut serta
parameter lainnya yaitu rendemen, daya iris, dan warna. Tahap produksi tempe
kacang merah yang dilakukan tidak jauh berbada dengan produksi tempe kedelai.
Setiap jenis laru dan waktu inkubasi menghasilkan tempe kacang merah dengan
karakteristik fisikokimia berbeda. Sampel-sampel yang memiliki kadar protein
sama tingginya pada taraf signifikansi 5% adalah A48 (40.12%bk), C48
(41.15%bk), A36 (43.81%bk), dan B36 (46.05%bk). Sampel dengan kadar protein
terlarut yang setara tingginya pada taraf 5% antara lain C36 (2.63%bk), A36
(2.67%bk), A48 (2.94%bk), dan C48 (3.00%bk). Rendemen sampel tertinggi di
antaranya A36 (95.10%), D36 (95.15%), dan C36 (97.21%) yang setara tingginya
dengan sampel yang diinkubasi selama 24 jam. Daya iris tertinggi dimiliki sampel
A48 yaitu 198.1 N.mm sedangkan daya iris tempe kedelai sebagai kontrol 140.1
N.mm. Sampel yang memiliki nilai kecerahan yang sama dengan tempe kontrol
(78.833%) antara lain A24 (80.575%), A36 (76.740%), B48 (74.110%), dan C36
(79.425%). Seluruh sampel tempe kacang merah memperlihatkan warna kromatik
dominan kuning (nilai a = +0.230 hingga +6.150 dan nilai b = +5.840 hingga
+19.025).


Kata kunci: protein, R.oligosporus, R.oryzae, tempe kacang merah, waktu
inkubasi

ABSTRACT
LULU MAKNUN. The Influence of Inoculum Type and Incubation Time on the
Physicochemical Characteristics of Red Bean Tempeh (Phaseolus vulgaris L.) .
Supervised by SULIANTARI.
Tempeh is one of Indonesian’s favourite food and it is known as source of protein.
Red bean or red kidney bean contains protein in high amount so that it has big
potency to be utilized as raw material of tempeh. Mold mycellium that growth
covering the beans will form the compact texture and also being the source of
protein. This research uses factorial experiment design with two factors:
inoculum type and incubation time. The production of red bean tempeh in this
reasearch is using four types of inoculum which are Laru A (R.oligosporus), Laru
B (R.oryzae), Laru C (R.oligosporus+R.oryzae 1:1), and Laru D (Laru A+Laru B
1:1) On the other hand, the incubation times used for this research are 24, 36,
and 48 hours. Parameter which are measured to determine the optimum inoculum
type and incubation time for red bean tempeh is protein content, especially
soluble protein content. The other parameters are yield, the slicing force, and
color. The red bean tempeh production steps are similar with soybean tempeh.

Every type of inoculum and incubation time produced red bean tempeh with
different physicochemical characteristics. Samples which have similar high
protein content with 5% significancy are A48 (40.12%db), C48 (41.15%db), A36
(43.81%db), and B36 (46.05%db). Samples whose similar high soluble protein
content are C36 (2.63%db), A36 (2.67%db), A48 (2.94%db), dan C48 (3.00%db)
with 5% significancy. Samples with the highest yield are A36 (95.10%), D36
(95.15%), and C36 (97.21%), similiar with yield of 24 hours tempeh. The highest
slicing force 198.1 N.mm (A48) while slicing force of soybean temoeh as control
is 140.1 N.mm. Samples with similar brightness value with control (78.833%) are
A24 (80.575%), A36 (76.740%), B48 (74.110%), and C36 (79.425%). The whole
red bean tempeh samples show yellow as their dominant chromatic colour (a
value = +0.230 to +6.150 and b value = +5.840 to +19.025).

Keywords: incubation time, protein, red bean tempeh , R.oligosporus, R.oryzae

PENGARUH JENIS INOKULUM DAN WAKTU INKUBASI
TERHADAP SIFAT FISIKO-KIMIA TEMPE KACANG
MERAH (Phaseolus vulgaris L.)

LULU MAKNUN


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Judul Skripsi : Pengaruh Jenis Inokulum dan Waktu Inkubasi Terhadap Sifat
Fisiko-Kimia Tempe Kacang Merah (Phaseolus vulgaris L.)
Nama
NIM

: Lulu Maknun
: F24100014


Disetujui oleh

Dr. Dra. Suliantari, MS.
Dosen Pembimbing I

Diketahui oleh

Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus: 2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala nikmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul
yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2013 ini ialah
Pengaruh Jenis Inokulum dan Waktu Inkubasi Terhadap Sifat Fisiko-Kimia
Tempe Kacang Merah (Phaseolus vulgaris L.).
Sejak awal perkuliahan di tingkat persiapan bersama maupun departemen

Ilmu dan Teknologi Pangan, masa penelitian ini, hingga tahap pembuatan skripsi,
penulis banyak sekali memperoleh berbagai bentuk bantuan dan dukungan dari
banyak pihak. Maka dari itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Ibu
Antung Sima Firlieyanti STP sebagai pembimbing selama lebih dari 2 tahun yang
telah memberikan banyak bimbingan bukan hanya untuk penelitian ini namun
juga dukungan dalam perkuliahan dan semangat untuk mengikuti kegiatan
pertukaran pelajar dan mahasiswa berprestasi sehingga penulis memperoleh
banyak manfaat khususnya dari kedua kegiatan tersebut. Ibu Dr. Dra. Suliantari,
MS. selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan banyak bimbingan, saran,
nasihat, evaluasi, arahan sejak tahap penelitian hingga penyusunan skripsi. Bapak
Dr. Eko Hari Purnama, STP, MSc serta Bapak Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc yang
senantiasa memberikan bimbingan dan saran dalam penelitian tempe kacang
merah ini. Ibunda Sumiati yang selalu menyertakan doa untuk kelancaran skripsi
ini di setiap sujudnya dan seluruh kasih sayangnya selama ini. Ayahanda Saiful
Bahri yang juga tak henti memberikan dukungan dan doa serta kakakku
Dzulfaqor dan Riska yang selalu memotivasi. Gandang Maulana Andira yang
selalu setia menemani dan memberikan dukungan selama ini. Seluruh laboran
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Mbak Nurul, Mbak Ari, Mas Edi, Pak
Gatot, Bu Antin, Mba Irin, Mba Ririn, Pak Yahya, Pak Rojak, Pak Sobirin, Bu Ika
yang senantiasa membantu selama penelitian Rekan-rekan penelitian yaitu Dewi,

Isna, Vega, Tommy, Andini, dan Barli yang telah sangat banyak membantu serta
menemani selama penelitian. Segenap dosen serta staff Departemen Ilmu dan
Teknologi Pangan atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis. Teman-teman
ITP 47 yang telah menemani dan berbagi segala cerita suka maupun duka.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan.

Bogor, Februari 2015
Lulu Maknun

DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN


1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

METODE

2

Bahan


2

Alat

2

Metode Analisis

7

HASIL DAN PEMBAHASAN

9

SIMPULAN DAN SARAN

18

DAFTAR PUSTAKA


19

RIWAYAT HIDUP

26

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Diagram alir tahapan penelitian
Diagram alir pembuatan laru
Diagram alir pembuatan tempe kcang merah
Penampakan seluruh sampel tempe kacang merah yang dihasilkan
Pengaruh jenis laru dan waktu inkubasi terhadap total protein tempe
kacang merah
Pengaruh jenis laru dan waktu inkubasi terhadap kadar protein terlarut
tempe kacang merah
Pengaruh jenis laru dan waktu inkubasi terhadap rendemen tempe
kacang merah
Pengaruh jenis laru dan waktu inkubasi terhadap perbandingan daya iris
tempe kacang merah dengan kontrol
Pengaruh jenis laru dan waktu inkubasi terhadap perbandingan
kecerahan tempe kacang merah dengan kontrol
Pengaruh jenis laru dan waktu inkubasi terhadap perbandingan nilai a
tempe kacang merah dengan kontrol
Pengaruh jenis laru dan waktu inkubasi terhadap nilai b tempe kacang
merah

3
5
6
9
10
13
14
15
16
17
17

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Uji lanjut Duncan protein total sampel
Uji lanjut Duncan waktu inkubasi atas protein tempe kacang merah
Kurva standar BSA untuk pengukuran protein terlarut sampel
Uji lanjut Duncan jenis laru terhadap protein terlarut sampel
Uji lanjut Duncan protein terlarut seluruh sampel
Uji lanjut Duncan waktu inkubasi terhadap protein terlarut sampel
Uji lanjut Duncan rendemen sampel
Uji lanjut Dunnett kecerahan sampel terhadap tempe kedelai
Uji lanjut Dunnett nilai a sampel terhadap tempe kedelai (kontrol)
Uji lanjut Dunnett nilai b sampel terhadap tempe kedelai (kontrol)

22
22
22
23
23
23
24
24
25
25

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tempe diperoleh dari fermentasi biji kedelai dengan menggunakan kapang
Rhizopus sp., berbentuk padatan kompak, berwarna putih sedikit keabu-abuan,
dan berbau khas tempe (SNI 3144:2009). Tempe kedelai merupakan produk
pangan yang digemari masyarakat Indonesia hingga jumlah konsumsinya
mencapai 8.5 kg per orang per tahunnya (BPS 2012). Demi memenuhi kebutuhan
tempe masyarakat Indonesia, pemerintah harus mengimpor kedelai sebanyak 1.6
juta ton kedelai setiap tahunnya karena produksi kedelai dalam negeri hanya
mencapai 600 ribu ton (BPS 2012). Maka dari itu, pembuatan tempe berbasis
kacang lain selain kedelai dapat membantu mengurangi angka impor kedelai.
Salah satu kacang yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan tempe
adalah kacang merah yang mengandung protein sebesar 23.10% (Dinkes 1992)
dan diproduksi di Indonesia sebanyak 103376 ton pada 2013. Kacang merah juga
memiliki kadar karbohidrat tertinggi dibandingkan kacang-kacangan lainnya,
kadar protein setara kacang hijau, kadar lemak yang jauh lebih rendah
dibandingkan kacang kedelai dan kacang tanah, kadar serat yang setara dengan
kadar serat kacang hijau, kacang kedelai, dan kacang tanah (Astawan 2009).
Kacang merah umumnya dikonsumsi sebagai campuran sayur dan sup serta
dijadikan pasta isian produk bakeri. tidak baik dikonsumsi mentah karena masih
mengandung beberapa senyawa antinutrisi seperti asam fitat, hemaglutinin,
antitripsin, dan tanin (Wang et al. 2010). Pengolahan kacang merah menjadi
produk olahan kacang merah termasuk tempe dapat mengurangi senyawa
antinutrisi pada kacang merah seperti asam fitat, hemaglutinin, antitripsin, dan
tanin (Wang et al. 2010). Selain itu, fermentasi kacang merah menjadi tempe
diharapkan mampu meningkatkan kandungan dan kualitas gizi terutama protein
(Hiran et al. 2011) .
Strain Rhizopus yang digunakan untuk pembuatan tempe menurut Shurtleff
dan Aoyagi (1979) setidaknya harus memiliki karakteristik di antaranya tumbuh
cepat pada 37oC, memiliki aktivitas protease yang tinggi sehingga menghasilkan
ammonia bebas setelah 48 hingga 72 jam fermentasi, memiliki kemampuan
memproduksi flavor, aroma, dan tekstur tempe yang disukai, tidak dapat
fermentasi sukrosa, memiliki aktivitas lipolitik yang tinggi, mampu memproduksi
antioksidan yang kuat. Spesies Rhizopus yang digunakan dalam produksi tempe
antara lain Rhizopus oligosporus, Rhizopus oryzae, dan Rhizopus stolonifer
(Sapuan dan Sutrisno 2001).
Kapang yang digunakan dalam penelitian ini adalah R.oligosporus dan
R.oryzae. R.oligosporus memiliki aktivitas protease dan lipase tertinggi namun
amilase terendah dibandingkan kapang tempe lainnya (Sapuan dan Sutrisno 2001)
dan memiliki laju pertumbuhan paling cepat (Han dan Nout 2000). Penelitian
Srapinkornburee et al. (2009) juga menyebutkan dalam pengembangan tempe
kacang merah secara komersial digunakan Rhizopus oligosporus. Spesies
R.oryzae memiliki aktivitas protease tertinggi kedua setelah R.oligosporus

2
sehingga menjadi kapang utama juga dalam pembuatan tempe yang baik
(Shurtleff dan Aoyagi 1979).
Penggunaan berbagai jenis laru dan waktu inkubasi dianalisis dalam
penelitian ini untuk menghasilkan tempe kacang merah dengan kadar protein total,
protein terlarut serta rendemen, daya iris dan warna yang diharapkan.

Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah sebagai program diversifikasi bahan
baku tempe. Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk menentukan karakteristik
fisikokimia tempe kacang merah di antaranya kadar protein total, protein terlarut,
rendemen, daya iris, dan warna akibat penggunaan berbagai jenis laru serta waktu
inkubasi.

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah diversifikasi tempe yang ada di Indonesia.
Selain itu, diperoleh karakteristik fisikokimia tempe kacang merah dari berbagai
perlakuan jenis laru dan waktu inkubasi.

METODE
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan tempe kacang merah antara
lain kacang merah kering yang dibeli dari Pasar Bogor, air, dan cuka makan.
Bahan dalam pembuatan laru antara lain beras pera, air, kultur Rhizopus
oligosporus Saito dan Rhizopus oryzae Went & Prins. Geerl. dari Pusat koleksi
dan Kultur Mikroba LIPI MC, dan air steril sedangkan bahan-bahan untuk analisis
di antaranya HCl, akuades, H2SO4 pekat, HgO, K2SO4, larutan 60% NaOH-5%
Na2S2O3.5H2O, H3BO3 jenuh, akuades, indikator metilen red-metilen blue,
indikator phenoftalein, NaOH, larutan protein standar Bovine Serum Albumin
(BSA) dan larutan buffer Bradford.

Alat
Alat-alat untuk produksi tempe kacang merah dan inokulum sama
seperti yang digunakan pada pembuatan tempe kedelai dan laru tempe seperti
cawan petri, autoklaf, sealer, dsb. Adapun alat-alat yang digunakan untuk
analisis antara lain neraca analitik, oven pengering, Chromameter, perangkat
analisis Kjeldahl lengkap, spektrofotometer UV-Vis, alat sentrifus, texture
analyzer, dan cawan alumunium.

3

Metode Penelitian
Penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu tahap pembuatan laru
tempe dan tahap pembuatan tempe kacang merah, serta analisis tempe kacang
merah yang dihasilkan untuk memperoleh kadar protein total, protein terlarut,
rendemen, daya iris, serta warna seperti dipaparkan pada diagram alir penelitian
(Gambar 1).
Persiapan kultur R.oligosporus dan R.oryzae

Pembuatan laru (Gambar 2)

Laru A/B/C/D
Tahap produksi tempe kacang merah
24, 36, 48 jam (Gambar 3)
Pengolahan data

Tempe kacang merah dengan berbagai
karakteristik fisikokimia dari perlakuan
laru dan waktu inkubasi yang berbeda

a. Protein
total
b. Protein
terlarut
c. Rendemen
d. Daya iris
e. Warna

Gambar 1 Diagram alir tahapan penelitian
Empat laru yang digunakan dalam penelitian ini adalah Laru A yang hanya
mengandung kapang R.oligosporus, Laru B yang hanya mengandung kapang
R.oryzae, Laru C mengandung campuran R.oligosporus dan R.oryzae dengan
rasio 1:1 yang ditumbuhkan pada media nasi steril yang sama, serta Laru D
merupakan campuran Laru A dan Laru B dengan rasio 1:1. Seluruh sampel
dianalisis kandungan protein total, protein terlarut, rendemen, daya iris, dan warna
sebagai karakteristik fisikokimia yang diamati pada penelitian ini.

4
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
Faktorial, dengan dua faktor perlakuan dan dua kali ulangan. Faktor perlakuan
yang digunakan adalah jenis laru dengan 4 taraf faktor yaitu Laru A, Laru B, Laru
C, dan Laru D serta waktu inkubasi dengan 3 taraf faktor yaitu 24 jam, 36 jam,
dan 48 jam. Model matematik rancangan percobaan ini adalah sebagai berikut:
Yijkl = μ + Ai + Bj + (AB)ij + Ɛijkl
Di mana:

Yijk
μ
Ai
Bj
(AB)ij
Ɛijk

= Nilai pengamatan respon
= Nilai rataan umum
= pengaruh jenis laru tempe ke-i
= pengaruh waktu inkubasi tempe ke-j
= pengaruh interaksi jenis laru dan waktu inkubasi tempe
= galat percobaan

Analisis statistika dilakukan dengan menggunakan ANOVA (Analysis of
Variance) pada taraf kepercayaan 95% atau taraf nyata 5% dan uji lanjut
menggunakan uji Duncan dan Dunnett. Perangkat lunak yang digunakan untuk
analisis statistika sesuai dengan rancangan percobaan yang telah dibuat adalah
SPSS 20.

Pembuatan Laru Tempe
Media pertumbuhan kapang dalam pembuatan laru ini adalah nasi karena
berdasarkan penelitian Yusuf (1985), spora kapang Rhizopus oligosporus NRRL
2710 yang digunakan sebagai inokulum tempe memiliki viabilitas tertinggi jika
ditumbuhkan pada nasi dibandingkan pada gandum atau kedelai. Penelitian
Sudiarso (1993) juga menunjukkan bahwa viabilitas spora kapang tertinggi
ditemukan pada substrat beras atau nasi.
Cara pembuatan laru dapat dilihat pada Gambar 2. Sebanyak 10 gram beras
pera dimasukkan ke dalam cawan petri dan ditambahkan 16 mL air. Cawan petri
tersebut lalu disterilisasi di dalam autoklaf dengan suhu 121oC selama 15 menit
hingga menghasilkan nasi steril. Suspensi kapang yang telah disiapkan lalu
dipipet 1 mL secara steril ke dalam nasi steril. Cawan petri berisi nasi steril dan
suspensi kapang kemudian diinkubasi pada suhu kamar selama 4 hari hingga
miselium kapang tumbuh di seluruh cawan dan kapang tersebut dikeringkan
dalam oven bersuhu 40-42oC selama 6 hari sampai kering dan dihaluskan dengan
blender yang sebelumnya telah disemprot etanol 70% hingga diperoleh laru
dalam bentuk seperti tepung halus dan kemas serta simpan dalam refrigerator.

5

Beras pera
Dicampur

Air

Sterilisasi autoklaf 121oC, 15 menit
menit
Nasi steril
Dicampur

Suspensi
kapang

Inkubasi suhu ruang , 3-4 hari
Dikeringkan dalam oven 40oC
Dihaluskan

Laru

Gambar 2 Diagram alir pembuatan laru

Pembuatan Tempe Kacang Merah
Pembuatan tempe kacang merah secara lengkap ditunjukkan pada Gambar 3
yaitu dimulai dengan melakukan sortasi dan mencuci kacang merah kering lalu
direbus selama 10 menit dalam 2 liter air, dilanjutkan perendaman dalam larutan
asam asetat dengan pH sekitar 4 selama 7 jam. Nilai pH air perendam tersebut
sesuai dengan nilai pH yang dibutuhkan untuk pertumbuhan kapang tempe yaitu
3.5 hingga 5.2 (Sapuan dan Noer 2001). Setelah itu, kacang merah ditiriskan dan
dicuci dari larutan asam sekaligus dipisahkan kulit arinya. Kacang merah tanpa
kulit ari kemudian dikukus selama 10 menit dan ditiriskan hingga suhu 40oC.
Sebanyak 5 gram laru setiap kg kacang merah kering, dicampur ke dalam kacang
merah yang sudah ditiriskan lalu dikemas pada plastik yang telah diberi lubang
dengan jarak 2 cm. Plastik yang digunakan sebagai pengemas adalah plastik jenis
polietilen (PE) yang foodgrade atau aman untuk pangan karena memiliki
keunggulan di antaranya bersifat inert terhadap bahan pangan, permeable
terhadap oksigen sehingga dapat mendukung pertumbuhan kapang (Dirim et al.
2004) serta daya tahan terhadap air yang baik. Menurut Syarief et al. (1999)
plastik PE juga bening dan transparan sehingga penampakan tempe dapat dilihat
dengan baik dan bersifat fleksibel. Oleh karena itu, tempe yang akan dibuat
mudah diatur ketebalannya. Tempe kacang merah pada penelitian ini dibuat
dengan ketebalan 1 cm.

6
Metode pembuatan tempe kacang merah yang digunakan dalam penelitian
ini berasal dari metode pembuatan tempe kacang merah yang digunakan oleh
Jaisan (2013). Tahapan-tahapan pembuatan tempe kacang merah dapat dilihat
pada Gambar 3.

Kacang merah
kering
Disortir
Dicuci

Direbus 10 menit

Air + asam
asetat
hingga pH
±4

Direndam 7 jam
Kulit ari

Dikupas
Kacang merah tanpa kulit ari
Dikukus 10 menit

Ditiriskan dan didinginkan hingga 35oC/40oC
Dicampur

Laru 5g/kg
kacang kering

Dikemas pada plastik PE yang telah diberi lubang dengan jarak 2 cm
Diinkubasi pada suhu ruang (24, 36, dan 48 jam)
Tempe kacang merah
Gambar 3 Diagram alir pembuatan tempe kacang merah

7
Metode Analisis
Kadar Protein Total Metode Kjeldahl (AOAC 960.52 yang dimodifikasi)
Sebanyak 0.1-0.25 gram sampel ditimbang di dalam labu Kjeldahl, lalu
ditambahkan 1.0 + 0.1 gram K2SO4, 40 + 10 mL HgO, dan 2.0 + 0.1 mL H2SO4,
selanjutnya sampel didihkan sampai cairan jernih kemudian didinginkan. Larutan
jernih ini dipindahkan ke dalam alat destilasi secara kuantitatif. Labu Kjeldahl
dibilas dengan 1-2 mL air destilata, kemudian air cuciannya dimasukan ke dalam
alat destilasi, pembilasan dilakukan sebanyak 5-6 kali. Tambahkan 8-10 mL
larutan 60% NaOH – 5% Na2S2O3.5H2O ke dalam alat destilasi. Erlenmeyer yang
berisi 5 mL larutan H3BO3 jenuh dan 2-4 tetes indikator (campuran 2 bagian 0.2%
metilen red dan 1 bagian 0.2% metilen blue dalam etanol 95%) diletakkan di
bawah kondensor. Ujung tabung kondensor harus terendam dalam larutan H3BO3,
kemudian dilakukan destilasi sehingga diperoleh sekitar 15 mL destilat. Destilat
yang diperoleh kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N sampai terjadi perubahan
warna dari hijau menjadi abu-abu.
Kadar protein kasar dihitung dengan rumus berikut:
Kadar Nitrogen (%) = (V HCl sampel – V HCl blanko) N HCl x 14.007x100
mg sampel
Kadar Protein (%bb) = %N x FK
Kadar Protein (%bk) = Kadar protein (%bb) x 100
(100 - kadar air (%bb)*)
*Kadar air sampel ditentukan dengan Metode Oven (SNI 01-2891-1992)
Di mana : V = Volume
N = Normalitas
FK = Faktor Konversi (6.25)

Rendemen Tempe
Rendemen tempe kacang merah dapat diketahui dengan mengukur rasio
bobot tempe kacang merah dan bobot kacang merah sebelum ditumbuhi miselium
kapang (bobot kacang merah yang telah dikukus dan dicampur laru).
Rendemen tempe (%) = bobot tempe kacang merah
x 100
bobot kacang merah kukus + laru

Kadar Protein Terlarut (Bradford 1976)
Analisis protein terlarut menggunakan metode Bradford dengan standar
BSA (Bovine Serum Albumin). Sebelumnya, dibuat kurva standar BSA. Sebanyak
50 µl larutan BSA ditambahkan 1,25 mL akuades dan 1,25 mL pereaksi Bradford
dan didiamkan selama 30 menit lalu diukur absorbansinya pada panjang
gelombang 595 nm. Pengukuran protein terlarut pada sampel dilakukan dengan
melakukan persiapan sampel terlebih dahulu yaitu menimbang 1 gram sampel
kemudian ditepatkan hingga 5 mL dengan akuades. Larutan diambil sebanyak 1
mL kemudian ditambah 1 mL aquades dan 1 mL larutan TCA 10%. Selanjutnya

8
dilakukan sentrifuse 3000 rpm 25oC selama 10 menit. Sebanyak 50 µl supernatan
ditambahkan 1,25 mL akuades dan 1,25 mL pereaksi Bradford. Sampel divortex
dan diamkan selama 30 menit agar reaksi pembentukan warna biru antara protein
terlarut dengan pereaksi Bradford lebih sempurna, setelah itu ukur absorbansi
sampel pada panjang gelombang 595 nm. Kadar protein terlarut ditentukan
dengan menggunakan persamaan linear yang diperoleh dari kurva standar BSA.

Daya Iris (Lestari 2014)
Pengukuran daya iris tempe dilakukan dengan menggunakan alat Texture
Analyzer. Probe yang digunakan adalah Warner-Bratzler Blader yang berbentuk
pisau dengan pengaturan kecepatan probe dalam mengiris tempe yang
ketebalannya 1 cm sebesar 1.5 mm/detik dan distance atau kedalaman pengirisan
10 mm. Data yang diperoleh dari pengukuran ini adalah kerja (N.mm),
menyatakan besar gaya keseluruhan yang diperlukan probe untuk mengiris tempe
yang ditunjukkan dengan data luas area (N.mm).

Analisis Warna (Hunterlab 2008)
Analisis warna dilakukan dengan menggunakan Chromameter dengan
prinsip mengukur warna yang dipantulkan dari permukaan sampel. Hasil
pengukuran chromameter dikonversikan ke dalam sistem Hunter dengan
lambang L, a, dan b. Nilai L menyatakan parameter kecerahan yang memiliki
nilai 0 (hitam) sampai 100 (putih). Nilai a menyatakan warna kromatik
campuran merah dan hijau, dengan nilai +a (positif) dari 0 sampai +100 untuk
warna merah dan nilai –a (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Nilai b
menunjukkan warna kromatik biru sampai kuning dengan kisaran 0 sampai +70
untuk warna kuning dan nilai 0 sampai -70 untuk warna biru. Plastik kemasan
tempe dibuka kemudian Chromameter yang telah dikalibrasi sebelumnya
ditempelkan pada tiga titik berbeda untuk memperoleh hasil pengukuran yang
representatif untuk sampel tersebut.

9

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tempe Kacang Merah
Penampakan dari sampel tempe kacang merah yang dihasilkan dengan 4
perlakuan laru serta 3 perlakuan waktu inkubasi berbeda dapat dilihat pada
Gambar 4.

A24

A36

A48

B48

B24

B36

C24

C36

C48

D36

D48

D24

Gambar 4 Penampakan seluruh sampel tempe kacang merah yang dihasilkan
Keterangan:
A24 = Tempe kacang merah yang diinkubasi selama 24 jam menggunakan Laru A
B36 = Tempe kacang merah yang diinkubasi selama 36 jam menggunakan Laru B
C48 = Tempe kacang merah yang diinkubasi selama 48 jam menggunakan Laru C
D24 = Tempe kacang merah yang diinkubasi selama 24 jam menggunakan Laru D

Secara umum, penampakan tempe kacang merah dengan berbagai
perlakuan laru dan waktu inkubasi (Gambar 4) tidak jauh berbeda dengan tempe
kedelai. Tempe kacang merah memiliki tekstur yang kompak dengan miselium
berwarna putih kecuali sampel B24 atau tempe yang diinkubasi selama 24 jam
dengan Laru B (R.oryzae tunggal) karena miselium kapang belum tumbuh. Maka

10
dari itu, sampel B24 belum dapat dikatakan sebagai tempe kacang merah seperti
SNI 3144:2009 (BSN 2009). Hal tersebut diduga karena R.oryzae membutuhkan
waktu yang lebih lama untuk pembuatan tempe dibandingkan R.oligosporus
(Sapuan dan Sutrisno 2001) akibat aktivitas protease R.oryzae yang lebih rendah
dibandingkan R.oligosporus. Selanjutnya pada analisis, sampel B24 tidak
diikutsertakan karena belum dianggap sebagai tempe kacang merah.

Karakteristik Kimia
Total Protein

Protein Total (g/100g sampel kering)

Protein merupakan parameter utama pada tempe karena tempe dikenal
sebagai sumber protein nabati (Nout dan Kiers 2005). Total protein basis kering
merupakan jumlah protein total dalam fraksi padatan sampel. Total protein tempe
kacang merah yang dianalisis dapat dilihat pada Gambar 5.
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0

46.05

43.81
40.12

41.15
34.28

31.96

32.34

31.57

38.20

33.63

28.10

NA*

A24 A36 A48 B24 B36 B48 C24 C36 C48 D24 D36 D48
Sampel

Gambar 5 Pengaruh jenis laru dan waktu inkubasi terhadap total protein
tempe kacang merah
Keterangan: NA*= Not available

Secara umum, kacang merah mengalami peningkatan total protein dari
23.10 g/100g (Depkes 1992) menjadi 28.10 g/100g – 46.05 g/100g pada tempe
kacang merah (Gambar 5). Peningkatan protein tersebut disebabkan karena
pertumbuhan kapang. Kapang mengandung asam nukleat yang memberikan
kontribusi penambahan nitrogen (Pasaribu 2007). Bahan pangan yang berasal dari
kapang misalnya miselium kapang tempe mengandung asam nukleat sebesar 810% (Firmansyah 2007). Maka dari itu, tempe kacang merah yang mengandung
miselium kapang memiliki protein yang lebih tinggi dibandingkan kacang merah.
Berdasarkan data protein total pada Gambar 5, terlihat seluruh sampel yang
diinkubasi selama 24 jam memiliki protein total yang paling rendah dibandingkan
sampel yang diinkubasi dengan laru yang sama selama 36 jam atau 48 jam
sehingga waktu inkubasi 24 jam belum cukup menghasilkan tempe kacang merah

11
dengan total protein optimum. Sampel yang paling tinggi total proteinnya adalah
sampel B36 yaitu sebesar 46.05 g/100g sampel kering sedangkan sampel paling
rendah kandungan proteinnya adalah C24 yaitu 28.10 g/100g sampel kering.
Kandungan sampel B36 tersebut setara dengan beberapa sampel lainnya yaitu
C48, A48, dan A36 (Lampiran 1).
Sampel yang diinokulasi dengan Laru A (R.oligosporus tunggal) dan Laru B
(R.oryzae tunggal) memiliki kadar protein optimum pada waktu fermentasi 36 jam
akan tetapi mengalami penurunan protein pada waktu inkubasi 48 jam. Rhizopus
oligosporus dan R.oryzae merupakan kapang tempe utama (Babu et al. 2009)
karena memiliki aktivitas proteolitik tertinggi (Sapuan dan Noer 2001). Maka dari
itu, waktu fermentasi lebih dari 36 jam menggunakan Rhizopus oligosporus
maupun Rhizopus oryzae dapat menghasilkan senyawa ammonia (Sapuan dan
Noer 2001) yang bersifat volatil. Ammonia terbentuk akibat penguraian protein
berlebihan oleh protease kapang dan menyebabkan penurunan kandungan protein
total dalam sampel. Selain itu pada tempe kedelai yang difermentasi selama 48
jam atau lebih, hampir seluruh asam amino turun sebesar 3.62% hingga 27.9%
(Astuti et al. 2000). Hal tersebut menjelaskan mengapa sampel yang difermentasi
menggunakan Laru A dan B mengalami penurunan protein total setelah mencapai
waktu fermentasi 48 jam.
Sampel dengan Laru C dan Laru D yang merupakan campuran Rhizopus
oligosporus dan R.oryzae memiliki kadar protein total yang lebih rendah
dibandingkan kadar protein sampel A maupun B (Gambar 5). Hal tersebut
disebabkan karena viabilitas Laru C dan Laru D lebih rendah yaitu 9 x 105
CFU/gram laru dibandingkan Laru A dan Laru B yang mencapai 106 CFU/gram
laru. Adanya kompetisi penggunaan substrat antara R.oligosporus dan R.oryzae
menghasilkan laru dengan viabilitas lebih rendah serta penurunan kemampuan
fermentasi kapang (Wiesel et al. 1997). Hal tersebut menyebabkan kadar protein
tempe dengan Laru C atau D lebih rendah sekaligus laju pertumbuhan kapang
lebih lambat. Maka, pada waktu inkubasi 48 jam pertumbuhan kapang campuran
tersebut masih tinggi akibat aktivasi kapang yang sedikit lebih lambat dan
menghasilkan protein berjumlah lebih besar dibandingkan sampel dengan waktu
inkubasi 36 jam. Demi meningkatkan viabilitas dan aktivitas fermentasi kapang,
campuran R.oligosporus dan R.oryzae harus dianalisis perbandingan campuran
yang terbaik.
Peningkatan aktivitas fermentasi kapang dipengaruhi oleh sumber karbon
dan nitrogen pada media tumbuh. Tingginya kadar karbohidrat pada kacang merah
yaitu mencapai 59.5 g/100g (Depkes 1992) juga memberi ketersediaan karbon
untuk Rhizopus oryzae yang memiliki aktivitas amilase tertinggi (Sapuan dan
Noer 2001). Maka, tidak hanya Rhizopus oligosporus yang dapat tumbuh dengan
baik pada kacang merah, namun juga Rhizopus oryzae. Penelitian Thanh (2004)
juga menunjukkan asam amino L-alanin dapat mempercepat aktivasi
R.oligosporus dengan berperan sebagai sumber nitrogen maupun karbon. Kacang
merah sebagai media pertumbuhan kapang untuk dijadikan tempe mengandung
asam amino yang cukup lengkap termasuk alanin (0.78%), leusin (1.50%), dan
isoleusin (0.95%) pada penelitian Karisma (2014). Kombinasi asam amino alaninleusin-isoleusin tersebut dapat meningkatkan pertumbuhan kapang tempe
meskipun awalnya dalam kondisi dorman. Kacang merah tidak mengandung L-

12
prolin (Karisma 2014) yang dapat mengganggu penggunaan alanin oleh
R.oligosporus (Thanh 2004).
Tempe kacang merah dengan Laru C (R.oligoporus dan R.oryzae 1:1,
ditumbuhkan bersama pada nasi steril) menghasilkan protein dengan jumlah lebih
tinggi dari Laru D yang maksimal hanya 38.20 g/100g sampel kering. Hal tersebut
dikarenakan kompetisi penggunaan nutrisi pada kacang merah antara Rhizopus
oligosporus dan R.oryzae pada Laru D. Rhizopus oligosporus dan R.oryzae pada
Laru C juga mengalami kompetisi namun sudah terjadi lebih awal, yaitu sejak
ditumbuhkan bersama pada nasi steril. Kompetisi yang berlangsung awal tersebut
menyebabkan kedua kapang sudah lebih dulu beradaptasi untuk dapat tumbuh
bersama pada substrat kacang merah selanjutnya. R.oryzae mampu menghasilkan
glukosa dari pemecahan karbohidrat akibat aktivitas amilolitiknya yang tinggi.
Glukosa merupakan sumber karbon untuk mendukung pertumbuhan kapang
(Thanh 2004). Maka, pertumbuhan kapang pada sampel dengan Laru C lebih
tinggi dibandingkan sampel dengan Laru D dan menghasilkan kadar protein yang
juga lebih tinggi.
Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan waktu inkubasi 48 jam dan waktu
inkubasi 36 jam pada taraf signifikansi 5% menghasilkan protein total yang setara
tingginya (Lampiran 2). Pemilihan waktu inkubasi disesuaikan dengan jenis laru
yang digunakan. Jika dipilih laru tunggal yaitu Laru A maupun Laru B, waktu
inkubasi 36 jam lebih disarankan karena total proteinnya paling tinggi pada waktu
inkubasi 36 jam (Gambar 5). Apabila laru campuran yaitu Laru D atau Laru C
dipilih, waktu inkubasi yang diterapkan sebaiknya 48 jam karena protein total
pada sampel dengan laru campuran paling tinggi pada waktu inkubasi 48 jam
(Gambar 5). Waktu inkubasi 24 jam tidak dipilih untuk seluruh jenis laru karena
menghasilkan tempe kacang merah dengan kadar protein yang masih rendah. Hal
tersebut serupa dengan waktu pembuatan tempe kedelai yang umumnya berkisar
selama 36-48 jam (Astuti et al. 2000).

Protein Terlarut
Kadar protein terlarut menunjukkan jumlah protein dalam bahan pangan
yang larut di dalam air dan mudah dicerna oleh tubuh karena berbentuk
oligopeptida (Purwoko dan Noor 2007). Kadar protein terlarut tempe kacang
merah diperoleh menggunakan metode Bradford dengan terlebih dahulu membuat
kurva standar larutan BSA (Lampiran 3). Gambar 6 dapat menunjukkan bahwa
sampel yang paling tinggi kadar protein terlarutnya adalah sampel C48 yaitu 3.00
g/100g sampel kering sedangkan yang paling rendah kadar protein terlarutnya
adalah sampel C24 yaitu 0.72 g/100g sampel kering.

13

Protein Terlarut (g/100 g sampel
kering)

4

3.00

2.94
2.67

3

2.63

2.17
2.28

3

1.96

2.04

2
2
1

0.75

1

0.72

0.78

NA*

0
A24 A36 A48 B24 B36 B48 C24 C36 C48 D24 D36 D48
Sampel

Gambar 6 Pengaruh jenis laru dan waktu inkubasi terhadap kadar protein
terlarut tempe kacang merah
Keterangan: NA*= Not available

Protein terlarut pada sampel tempe kacang merah ini mengalami
peningkatan dari 0.71 g/100g kacang merah kering dari penelitian Karisma (2014)
menjadi 0.72 g/100g – 3.00 g/100g (Gambar 6). Hal tersebut dikarenakan enzim
proteolitik kapang selama fermentasi mampu mengurai protein menjadi asam
amino dan oligopeptida sehingga meningkatkan jumlah nitrogen terlarut (Susi
2012). Asam amino dan peptida rantai pendek tersebut bersifat larut dalam air
(Handoyo dan Morita 2006). Peningkatan protein terlarut pada tempe kacang
merah serupa dengan protein terlarut tempe kedelai yang ditemukan meningkat
hingga empat kali dari protein terlarut kedelai (Shurtleff dan Aoyagi 1979).
Tempe kacang merah yang difermentasi dengan Laru A dan C menghasilkan
protein terlarut yang setara tingginya pada taraf kepercayaan 95% (Lampiran 4).
Sampel C48 dan A48 memiliki kadar protein terlarut yang sama tingginya dengan
sampel A36 dan C36 (Lampiran 5). Selain itu, waktu inkubasi 36 dan 48 jam juga
menghasilkan tempe kacang merah dengan protein terlarut yang sama tinggi
(Lampiran 6). Maka dari itu, pembuatan tempe kacang merah dapat menggunakan
Laru A maupun C dengan waktu inkubasi 36 maupun 48 jam. Waktu inkubasi 24
jam belum menghasilkan aktivitas proteolitik kapang yang optimum sehingga
belum mampu memecah banyak senyawa protein kompleks menjadi protein
terlarut. Jumlah protein terlarut rendah karena lebih dari 90% padatan tempe
merupakan padatan yang bersifat tidak larut air (Utami 2014).

Karakteristik Fisik
Rendemen
Rendemen tempe diperoleh dari rasio bobot tempe yang dihasilkan dengan
bobot kacang merah yang telah dicampur laru. Miselium kapang akan tumbuh
pada kacang dan mengikat setiap kotiledon kacang dan merupakan biomassa

14

Rendemen (%)

sumber protein atau Single Cell Protein (Khan et al. 2009). Aktivitas enzimatis
kapang selama fermentasi mampu mengurai senyawa kompleks seperti protein,
karbohidrat, serta lemak pada kacang merah menjadi komponen-komponen lain
yang lebih sederhana sehingga bobot tempe kacang merah lebih ringan
dibandingkan bobot kacang merah sebelum menjadi tempe. Akibatnya, rendemen
tempe kacang merah yang diperoleh tidak mencapai 100% seperti terlihat pada
Gambar 7.

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

97.43

95.10 92.65

93.72

97.67 97.21
90.55

93.85

97.30

95.15 92.69

NA*

A24 A36 A48 B24 B36 B48 C24 C36 C48 D24 D36 D48
Sampel

Gambar 7 Pengaruh jenis laru dan waktu inkubasi terhadap rendemen
tempe kacang merah
Keterangan: NA*= Not available

Sampel yang paling tinggi rendemennya adalah seluruh sampel yang
diinkubasi selama 24 jam yaitu mencapai 97.67% pada C24. Tingginya rendemen
tersebut dapat menunjukkan bahwa proses penguraian senyawa kompleks pada
kacang merah belum terjadi secara sempurna karena perbedaan bobot tempe yang
dihasilkan dengan kacang merah sebelumnya tidak jauh berbeda.
Hal tersebut terbukti pada waktu inkubasi 24 jam, total protein maupun
protein terlarut seluruh sampel jumlahnya paling rendah. Hasil uji One Way
ANOVA (Lampiran 7) menunjukkan rendemen C36 sama tingginya dengan
sampel dengan rendemen tertinggi yaitu A24, C24, dan D24 pada taraf
signifikansi 5%. Semakin lama waktu fementasi, semakin banyak nutrisi kacang
merah yang terurai (Utami 2014) sehingga semakin rendah bobot tempe yang
dihasilkan. Hal tersebut terjadi pada seluruh jenis laru.

Daya Iris
Tempe kacang merah yang optimal adalah tempe yang miseliumnya
kompak sehingga memberikan tekstur dan daya iris yang baik pula. Luas area di
bawah kurva (N.mm) yang dihasilkan pada pengukuran tekstur tempe kacang
merah menggunakan Texture Analyzer dan Probe Warner-Bratzler Blader

15
menunjukkan besarnya gaya keseluruhan yang diperlukan untuk mengiris tempe.
Data pengujian daya iris sampel tempe kacang merah dengan Texture Analyzer
dapat dilihat pada Gambar 8.
250

198.1

Luas Area (N.mm)

200
147.1
117.2

150
100

79.3

140.1
107.4

96.2

68.4
55.6

44.2

50

47.2

44.5

NA*

0

Sampel

Gambar 8 Pengaruh jenis laru dan waktu inkubasi terhadap perbandingan
daya iris tempe kacang merah dengan kontrol
*Keterangan: NA= Not available

Luas area juga menunjukkan kekompakan tempe yang dihasilkan. Sampel
yang paling kompak adalah sampel A48 (198.1 N.mm) diikuti sampel B48 (147.1
N.mm). Selain kedua sampel tersebut, nilai kekompakan atau luas area tempe
kacang merah lebih kecil dari tempe kedelai yang dijadikan kontrol (140.1 N.mm).
Sampel yang diinkubasi selama 24 jam merupakan kelompok sampel yang nilai
luas areanya rendah sehingga kekompakan atau daya iris sampel dengan waktu
inkubasi 24 jam belum baik. Laru A yang mengandung R.oligosporus tunggal
memiliki luas area yang tertinggi. Hal tersebut dikarenakan pertumbuhan
R.oligosporus miseliumnya paling tinggi atau panjang, sedangkan pertumbuhan
miselium R.oryzae paling rendah atau pendek (Firmansyah 2007). Maka, tempe
yang dihasilkan dengan R.oligosporus strukturnya lebih kompak seperti juga
ditemukan pada hasil penelitian Karsono et al. (2009). Tempe kedelai komersial
biasanya difermentasi selama 48 jam (Nout dan Kiers 2005) sehingga sampel
tempe kacang merah yang difermentasi 48 jam daya irisnya atau kekompakannya
pun paling menyerupai daya iris atau kekompakan tempe kedelai.
Penggunaan laru campuran yaitu Laru C dan D dapat menghasilkan
miselium yang tidak terlalu panjang karena adanya R.oryzae yang memiliki
miselium lebih pendek dari R.oligosporus. Penerimaan konsumen terhadap
panjang miselium kapang yang dihasilkan seharusnya diuji secara organoleptik
karena adanya miselium R.oligosporus yang terlalu panjang mungkin dapat
menurunkan penerimaan konsumen.

16
Analisis Warna

Nilai L (%)

Pengukuran warna dilakukan pada bagian permukaan tempe karena
penerimaan tempe umumnya dilihat dari warna permukaan tempe. Sampel tempe
kacang merah yang paling cerah atau putih adalah sampel C48 (85.390%) namun
sampel C48 tidak sama dengan kontrol karena warna miseliumnya jauh lebih
putih dari tempe kedelai (kontrol) yang dapat dilihat pada Lampiran 8. Secara
lengkap, kecerahan atau nilai L seluruh sampel dan kontrol dapat dilihat pada
Gambar 9.
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

*

85.390*
78.833
79.425
74.110
67.345*
*
*
65.935
64.915
64.215*
63.030*

85.075
80.575
76.740

NA

Sampel

Gambar 9 Pengaruh jenis laru dan waktu inkubasi terhadap perbandingan
kecerahan tempe kacang merah dengan kontrol
Keterangan:
NA= Not available
*= Kecerahan sampel berbeda nyata dengan kecerahan kontrol (Lampiran 8)

Beberapa sampel misalnya C36 memiliki intensitas kecerahan yang sama
putihnya dengan kontrol (Lampiran 8). Warna putih pada tempe tersebut berasal
dari miselium kapang berwarna putih menyelimuti seluruh permukaan tempe
(Wipradnyadewi et al. 2005) dan (Kwon et al. 2010). Semakin lama waktu
inkubasi, semakin tinggi pertumbuhan kapang dan semakin banyak miselium yang
dihasilkan. Tidak semua sampel yang diinkubasi selama 48 jam memiliki
kecerahan yang paling tinggi bahkan sampel D48 hanya memiliki nilai L 64.215%
(Gambar 9). Hal tersebut menunjukkan telah terjadi sporulasi sehingga terbentuk
warna kehitaman yang menurunkan kecerahan tempe.
Nilai a pada pengujian warna menggunakan Chromameter menunjukkan
warna kromatik campuran merah-hijau. Seluruh sampel tempe kacang merah
memiliki warna kromatik dominan merah karena nilai a yang diperoleh untuk
semua sampel bernilai positif dengan kisaran +0.230 hingga +6.150. Hampir
seluruh sampel berbeda nyata dengan kontrol (Lampiran 9) dikarenakan warna
kacang merah kupas sedikit berbeda (lebih gelap) dibandingkan kedelai kupas
yang dijadikan bahan baku tempe. Nilai a seluruh sampel dan kontrol dapat dilihat
pada Gambar 10.

Nilai a

17
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0

6.150*
5.790*
5.105*
4.245*4.065*
2.925

2.565

2.249

1.280*
0.425*

0.545*
0.230*

NA

Sampel

Gambar 10 Pengaruh jenis laru dan waktu inkubasi terhadap perbandingan
nilai a tempe kacang merah dengan kontrol
Keterangan:
NA= Not available
*= Kecerahan sampel berbeda nyata dengan kecerahan kontrol (Lampiran 9)

Sampel paling tinggi intensitas warna merahnya adalah sampel B36 dan
paling rendah intensitas warna merahnya adalah sampel C48. Sampel B36 sangat
tinggi intensitas warna merahnya karena miselium Rhizopus oryzae belum
menutupi seluruh permukaan tempe. Oleh karena itu, saat pengukuran warna
merah yang diperoleh tinggi intensitasnya akan tetapi menurunkan nilai
kecerahannya (Gambar 9).
Nilai b menunjukkan warna kromatik campuran warna biru-kuning. Seluruh
sampel tempe kacang merah memiliki nilai b yang positif (Gambar 11). Nilai b
yang positif menunjukkan sampel cenderung berwarna kuning. Jika dibandingkan,
nilai b pada seluruh sampel tempe kacang merah cenderung lebih tinggi daripada
nilai a sehingga warna kromatik kuning lebih dominan pada tempe kacang merah.
25
18.900*

20

19.025*

Nilai b

15.875*

15

11.160

11.810

11.270

10.322

9.120

10

17.395*

6.020* 7.670
5.840*

5
NA

0
Sampel

Gambar 11 Pengaruh jenis laru dan waktu inkubasi terhadap nilai b tempe
kacang merah
Keterangan: NA= Not available
* = Kecerahan sampel berbeda nyata dengan kecerahan kontrol (Lampiran 14)

18
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Setiap jenis laru dan waktu inkubasi menghasilkan sifat fisikokimia yang
berbeda-beda. Laru yang terdiri dari R.oryzae tunggal menghasilkan tempe kacang
merah dengan kadar protein total pada waktu inkubasi 36 jam yaitu 46.05%bk.
Laru campuran R.oligosporus dan R.oryzae 1:1 yang ditumbuhkan bersama pada
nasi steril menghasilkan tempe kacang merah dengan kadar protein terlarut
tertinggi yaitu 3.00%bk dengan waktu inkubasi 48 jam. Laru R.oligosporus
tunggal menghasilkan tempe dengan kekompakan atau daya iris yang paling baik
dibandingkan jenis laru lainnya. Laru campuran R.oligosporus dan R.oryzae 1:1
yang ditumbuhkan terpisah pada nasi steril menghasilkan kadar protein total,
protein terlarut, maupun daya iris yang paling rendah dibandingkan jenis laru
lainnya. Rendemen seluruh sampel dengan laru dan waktu inkubasi yang berbeda
mencapai lebih dari 90%. Daya iris atau kekompakan tempe kacang merah yang
dihasilkan sama baiknya daya iris atau kekompakan tempe kedelai yang dijadikan
kontrol terutama yang diinkubasi selama 48 jam. Nilai kecerahan tempe kacang
merah juga sama tingginya dengan tempe kontrol. Warna kromatik yang terukur
pada sampel tempe kacang merah adalah merah dan kuning dengan kuning
sebagai warna yang paling dominan. Pemilihan jenis laru disesuaikan dengan
waktu inkubasi optimum (36 atau 48 jam) tiap laru dalam menghasilkan
karakteristif fisikokimia yang diinginkan diantaranya kadar protein tinggi, tekstur
yang kompak, rendemen tinggi, daya iris tinggi, serta warna yang cerah.

Saran
Perlu studi lebih lanjut mengenai cara untuk meningkatkan kadar protein
total maupun terlarut tempe kacang merah. Selain itu juga perlu dipelajari
perbandingan terbaik penggunaan kapang campuran pada produksi tempe kacang
merah serta penggunaan jenis kapang tempe lainnya yang diketahui memiliki
keunggulan seperti Mucor sp dalam kombinasi campuran kapang.

19
DAFTAR PUSTAKA
[AOAC]. Association of Official Analytical Chemists. 1995. Official Methods of
Analysis. 960.52
Babu PD. R Bhakyaraj. R Vidhyalakshmi. 2009. A low cost nutritious food
“tempeh”- a review. World Journal of Dairy & Food Sciences 4 (1): 22-27.
[BPS]. Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. 2013. Produksi Sayuran di
Indonesia. 1997-2013. Jakarta (ID): BPS.
[BSN]. Badan Standardisasi Nasional. 1992. SNI 01-2891-1992. Cara Uji
Makanan dan Minuman. Jakarta (ID): BSN.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2009. SNI Nomor 3144 Tahun 2009 tentang
Tempe Kedelai. Jakarta (ID): BSN.
Astawan. M. 2009. Sehat dengan Hidangan Kacang dan Biji-bijian. Jakarta (ID):
Penebar Swadaya.
Astuti M, Andreanyta M, Fabien SD, dan Mark LW. 2000. Review article: tempe,
a nutritious and healthy food from Indonesia. Asia Pacific J Clin Nutr. 9(4):
322–325.
Bradford MM. 1976. A rapid and sensitive method of the quantitation of
microgram quantities of protein utilizing the principle of protein-dye
binding. J. of Anal. Biochem. 76: 248-254.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1992. Kandungan Gizi Kacang.
Jakarta (ID): Depkes.
Dirim SN, HO Ozden, Alev B, dan Ali E. 2004. Modification of water vapour
transfer rate of low density polyethylene films for food packaging. Journal
of Food Engineering. 63: 9-13. doi:10.1016/S0260-8774(03)00276-0.
Firmansyah R. 2007. Isolasi, identifikasi, dan produksi miselia Rhizopus sp.
berkadar asam nukleat rendah [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Han BZ dan Nout MJR. 2000 Effects of temperature, water activity and gas
atmosphere on mycelial growth of tempe fungi Rhizopus microsporus var.
microsporus and R. microsporus var. oligosporus. World Journal of
Microbiology & Biotechnology 16: 853–858.
Handoyo T, Morita N. 2006. Structural and functional properties of fermented
soybean (Tempeh) by using Rhizopus oligosporus. International Journal of
Food Properties 9:347-55.

Hiran P, Kerdchoechuen O, dan Laohakunjit N. 2011. Improvement of nutritional
values of germinated kidney bean by fermentation process. Agricultural Sci.
J. 42 (2): 505-508.

20
Hunterlab. 2008. Hunterlab Applications Note. Hunter Associates Laboratory.
Jaisan C. 2013. Optimizing of fermentation process of red bean tempe [skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Karisma VW. 2014. Pengaruh penepungan, perebusan, perendaman asam, dan
fermentasi terhadap komposisi kimia kacang merah (Phaseolus vulgaris L.)
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Karsono Y, Abdi TCS, Arius W, dan Paramita A. 2009. Pengaruh jenis kultur
starter terhadap mutu organoleptik tempe kedelai [artikel ilmiah]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Khan et al. 2009. Production of fungal single cell protein using Rhizopus
oligosporus grown on fruit waste. Biological Forum – An International
Journal. 1(2):32-39.
Kwon JH, Jinwoo K, Yong-Hwan L, dan Hong-Sik S. 2010. Soft rot on Cucumis
melo var. makuwa caused by Rhizopus oryzae. Mycobiology 38(4) : 336-338.
doi: 10.4489/MYCO.2010.38.4.336
Lestari IA. 2014. Pengaruh ketebalan dan persen aerasi terhadap karakteristik
tempe grits kacang merah (Phaseolus vulgaris L.) ukuran 8 mesh [skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Nout MJR dan JL Kiers. 2005. Tempe fermentation, innovation and functionality:
update into the third millenium. Journal of Applied Microbiology 98: 789–
805.
Pasaribu T. 2007. Produk fermentasi limbah pertanian sebagai bahan pakan
unggas di indonesia. Wartazoa 17(3): 109-116.
Purwoko T dan Noor SH. 2007. Kandungan protein kecap manis tanpa fermentasi
moromi hasil fermentasi Rhizopus oryzae dan R.oligosporus. Biodiversitas.
8(2): 223-227.
Sapuan dan N Sutrisno. editor. 1996. Bunga Rampai Tempe Indonesia. Jakarta:
Yayasan Tempe Indonesia.
Sapuan dan Noer S. 2001. The Complete Handbook of Tempe: The Unique
Fermented Soyfood of Indonesia 2nd ed. Jonathan A. editor. Singapore
(SG): American Soybean Association Southeast Asia Regional Office.
Shurtleff W dan Akiko A. 1979. The Book of Tempeh. New York (US): Harper &
Row.
Srapinkornburee W, Unnop T, dan Suriyaporn Nipornram. 2009. Commercial
development of red kidney bean tempeh. As. J. Food Ag-Ind. 2(03) : 362372.

21
Steinkraus KH, JP van Buren, dan DP Hand. 1961. Studies on Tempeh, an
Indonesian fermented soybean food. Publikasi Pertemuan Kebutuhan
Protein untuk Bayi dan Anak-anak.
Sudiarso FD. 1993. Kajian teknologis dan finansial produk laru tempe kedelai.
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Susi. 2012. Komposisi kimia dan asam amino pada tempe kacang nagara (Vigna
unguiculata ssp. Cylindrica). Jurnal Agroscientiae 19 (1): 28-36.
Syarief et al. 1999. Wacana Tempe Indonesia. Surabaya: Universitas Katolik