Potensi Dan Karakterisasi Rumput Laut Gracilaria Verrucosa (Below Standard) Sebagai Bahan Baku Bioetanol

POTENSI DAN KARAKTERISASI RUMPUT LAUT Gracilaria
verrucosa (BELOW STANDARD) SEBAGAI BAHAN BAKU
BIOETANOL

SOPAN SABILI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Potensi dan
Karakterisasi Rumput Laut Gracilaria verrucosa (Below Standard) sebagai Bahan
Baku Bioetanol” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2016
Sopan Sabili
NIM C34110053

ABSTRAK
SOPAN SABILI. Potensi dan Karakterisasi Rumput Laut Gracilaria verrucosa
(Below Standard) sebagai Bahan Baku Bioetanol. Dibimbing oleh UJU dan
DESNIAR.
Potensi rumput laut G. verrucosa (below standard) sebagai sumber bahan
baku bioetanol telah diteliti. Rumput laut dengan kualitas below standard secara
struktur memiliki karakteristik lebih rapuh dan kristalinitas yang lebih rendah,
namun rumput laut ini memiliki kadar agar tidak berbeda jauh dengan G. verrucosa
yang memenuhi standard pabrik (meet standard). Hasil hidrolisis tepung rumput
laut G. verrucosa (meet standard dan below standard) menghasilkan gula pereduksi
masing-masing sebesar 105,47 mg/mL dan 94,78 mg/mL dengan jenis gula yaitu
arabinosa, glukosa, maltosa dan xilosa. Fermentasi bioetanol dilakukan
menggunakan hidrolisat rumput laut G. verrucosa (below standard) dengan khamir
Saccharomyces cerevisiae AL IX. Profil pertumbuhan khamir S. cerevisiae AL IX

menunjukkan penurunan pada hari ke-2 dan naik kembali pada hari ke-3. Produksi
bioetanol dengan khamir S. cerevisiae AL IX menghasilkan kadar etanol optimum
pada hari ke-4 mencapai 0,285%. Pengukuran gula pereduksi pada kultur
fermentasi mengalami penurunan jumlah gula pereduksi hingga akhir fermentasi.
Kata kunci: Below standard, bioetanol, biomassa, hidrolisis, rumput laut

ABSTRACT
SOPAN SABILI. Potency and Characterization of Seaweed Gracilaria verrucosa
(Below Standard) as Bioethanol Biomass. Supervised by UJU and DESNIAR.
The potential of seaweed G. verrucosa (below standard) as a bioethanol
feedstock was investigated. The seaweed of below standard quality structurally had
a more fragile characteristic and lower crystallinity, nevertheless the seaweed had
agar content not much different by G. verrucosa that meet industry standard (meet
standard). The reducing sugar of hydrolysis G. verrucosa (meet standard and below
standard) seaweed powder were 105.47 mg/mL and 94.78 mg/mL respectively,
with the monosaccharides contents i.e. arabinose, glucose, maltose and xylose.
Bioethanol production was conducted using hydrolysate of G. verrucosa (below
standard) with fermentant yeast Saccharomyces cerevisiae AL IX. Growth profile
by S. cerevisiae AL IX starter showed decreasing up to day 2nd and increasing at
day 3rd. Bioethanol production by S. cerevisiae AL IX showed the optimum yield

of ethanol production at day 4th which reached 0.285%. Measurement of reducing
sugar at fermentation culture by yeast starter showed decreasing yields of reducing
sugar up to the end of fermentation.
Keywords: Below standard, bioethanol, biomass, hydrolysis, seaweed

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak
merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

POTENSI DAN KARAKTERISASI RUMPUT LAUT Gracilaria
verrucosa (BELOW STANDARD) SEBAGAI BAHAN BAKU
BIOETANOL

SOPAN SABILI


Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan pada
Departemen Teknologi Hasil Perairan

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang
berjudul “Potensi dan Karakterisasi Rumput Laut Gracilaria verrucosa (Below
Standard) sebagai Bahan Baku Bioetanol”, sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan pendidikan Sarjana di Departemen Teknologi Hasil Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses

penulisan karya ilmiah ini, terutama kepada:
1 Dr Eng Uju, SPi MSi dan Dr Desniar, SPi MSi selaku dosen pembimbing
yang telah memberikan penulis pengarahan agar karya ilmiah ini dapat
diselesaikan.
2 Prof Dr Ir Joko Santoso, MSi selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil
Perairan dan mewakili dari Komisi Pendidikan Departemen yang telah
memberikan motivasi dan saran.
3 Dr Ir Iriani Setyaningsih, MS selaku dosen penguji yang telah memberikan
motivasi dan saran.
4 Dr Dwi Setyaningsih, Mbak Neli dan Kak Lia dari Surfactant and Bioenergy
Research Center (SBRC), Institut Pertaninan Bogor atas segala fasilitas dan
bantuannya.
5 Dr Yopi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) atas segala
fasilitas dan bantuannya.
6 Orang tua atas doa dan kasih sayang serta seluruh keluarga dan teman-teman
THP 48 atas kerja samanya.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan karya
ilmiah ini. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun selama
penelitian dilakukan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang
membaca dan membutuhkan.


Bogor, Januari 2016

Sopan Sabili

DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xvi
PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
Latar Belakang ................................................................................................. 1
Perumusan Masalah ......................................................................................... 2
Tujuan Penelitian ............................................................................................. 2
Manfaat Penelitian ........................................................................................... 2
Ruang Lingkup Penelitian................................................................................ 2
METODE PENELITIAN..................................................................................... 3
Waktu dan Tempat ........................................................................................... 3
Bahan dan Alat ................................................................................................. 3
Prosedur Penelitian .......................................................................................... 3
Prosedur Analisis ............................................................................................. 5
Analisis Data .................................................................................................... 9

HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................................ 9
Karakteristik Rumput Laut Gracilaria verrucosa ........................................... 9
Karakteristik Tepung Rumput Laut ................................................................. 10
Karakteristik Hidrolisat Tepung Rumput Laut ................................................ 14
Produksi Bioetanol dengan S. cerevisiae AL IX ............................................. 15
KESIMPULAN DAN SARAN............................................................................ 19
Kesimpulan ...................................................................................................... 19
Saran ................................................................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 20
LAMPIRAN ......................................................................................................... 24
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................. 27

DAFTAR GAMBAR
1 Diagram alir penelitian ......................................................................................
2 Visualisasi rumput laut G. verrucosa (meet standard dan below standard) .....
3 Histogram komposisi kimia tepung rumput laut G. verrucosa (meet standard
dan below standard) ..........................................................................................
4 Spektrum FTIR tepung rumput laut G. verrucosa (meet standard dan below
standard)............................................................................................................
5 Mikrograf rumput laut G. verrucosa (meet standard dan below standard) ......

6 Histogram gula pereduksi dan jenis gula hidrolisat rumput laut
G. verrucosa (meet standard dan below standard) ...........................................
7 Produksi bioetanol, gula pereduksi dan profil pertumbuhan S. cerevisiae
AL IX .................................................................................................................
8 Jalur Embden-Meyerhoff-Parnas (EMP) ...........................................................

4
10
10
12
13
14
16
18

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kurva standard galaktosa I ................................................................................
2 Kurva satndard galaktosa II ...............................................................................
3 Komposisi pereaksi Dinitrosalisilik (DNS) .......................................................

4 Komposisi media yang digunakan .....................................................................
5 Contoh perhitungan gula pereduksi dan konversi gula menjadi etanol .............

25
25
25
26
26

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Energi merupakan salah satu sumber kebutuhan yang sangat penting untuk
manusia. Konsumsi terbesar energi banyak diserap untuk kegiatan industri dan
transportasi. Peningkatan produksi minyak dunia pada tahun 2013 sebesar 550.000
barel/hari, jumlah ini setengah lebih kecil dari pertumbuhan konsumsi minyak
dunia yang mencapai 1,4 juta barel/hari (BP 2014), berdasarkan hal tersebut
diperkirakan cadangan energi fosil di dunia akan habis dalam 30-50 tahun lagi

(Chang et al. 2010). Bioetanol merupakan salah satu alternatif pengganti atau
subtitusi bahan bakar minyak fosil, karena memiliki kandungan oksigen mencapai
35% yang menghasilkan pembakaran lebih sempurna, nilai oktan tinggi hingga 118
dan mengandung gas emisi karbon monoksida lebih rendah hingga 19-25%
(Indartono 2005). Produksi bioetanol tahun 2003 mencapai 14,682 ton, meningkat
lebih dari empat kali lipat hingga tahun 2012 yang memproduksi bioetanol sebesar
61,752 ton (BP 2014).
Bioetanol selain dapat dihasilkan oleh bahan baku yang memiliki sumber gula
dan pati juga dapat diproduksi dari tanaman yang mengandung selulosa. Saat ini,
pengembangan bioetanol berbahan dasar lignoselulosa dari tanaman banyak
mendapat perhatian karena tidak berkompetisi dengan bahan pangan. Salah satu
sumber daya hayati yang potensial sebagai sumber bahan baku bioetanol adalah
rumput laut. Berbeda dengan sumber material lignoselulosa terestrial, rumput laut
memiliki lapisan lignin yang hampir tidak ada, karena keberadaan lignin sebagai
pelindung selulosa dan hemiselulosa akan menghambat pemecahan polisakarida
(Yanagisawa et al. 2011). Lapisan lignin yang tipis ini akan berpengaruh dalam
menghasilkan gula yang tinggi, sehingga dapat digunakan sebagai sumber gula
untuk menghasilkan bioetanol. Adams et al. (2009) melaporkan bahwa rumput laut
memiliki potensi produksi bioetanol 4-23 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
umbi-umbian dan gula bit.

Produksi rumput laut Indonesia pada tahun 2012 sebesar 6.514.854 ton,
jumlah ini menjadikan Indonesia sebagai produsen rumput laut terbesar kedua di
dunia setelah Tiongkok dan jenis rumput laut merah yang diproduksi Indonesia
adalah yang paling banyak diproduksi di dunia (FAO 2013). Salah satu rumput laut
yang tumbuh di perairan Indonesia adalah G. verrucosa. Gracilaria verrucosa oleh
industri dimanfaatkan untuk produksi agar. Industri pengolah rumput laut memiliki
kualifikasi sendiri dalam pemenuhan standard bahan baku, yaitu yang diterima atau
sesuai standard industri (meet standard) dan yang tidak diterima atau dibawah
standard industri (below standard). Hasil dari kunjungan ke petani rumput laut,
rumput laut yang dibudidayakan tidak semua menghasilkan kualitas yang seragam
dikarenakan permasalahan dalam pembudidayaan dan pascapanen. Rumput laut
yang tidak diterima oleh industri disebabkan oleh variasi kualitas disebabkan oleh
perubahan warna rumput laut saat pemanenan sehingga banyak rumput laut
terbuang di tempat penjemuran dan pengepul. Industri umumnya hanya mengambil
rumput laut dengan kualitas baik (memenuhi standard mereka) dari pembudidaya,
sehingga banyak rumput laut berkualitas rendah yang tidak dimanfaatkan dan
menjadi limbah.

2

Pemanfaatan rumput laut below standard ini perlu dilakukan, karena rumput
laut G. verrucosa memiliki kadar karbohidrat mencapai 60 % (Kumar et al. 2013).
Bioetanol dihasilkan dari cairan hasil fermentasi gula dari sumber karbohidrat
dengan bantuan mikroorganisme (Hapsari dan Pramashinta 2013). Fermentasi
dengan bahan baku rumput laut umumnya menggunakan khamir S. cerevisiae. Jenis
khamir ini merupakan mikroorganisme yang mampu mengkonversi gula menjadi
etanol melalui fermentasi. Penggunaan rumput laut segar sebagai sumber bahan
baku produksi bioetanol, sebelumnya telah dilakukan, seperti Gracilaria verrucosa
(Kumar et al. 2013), Eucheuma cottonii (Setyaningsih et al. 2012) dan
Kappaphycus alvarezii (Meinita et al. 2012), sedangkan penggunaan rumput laut
below standard masih sangat sedikit dilaporkan. Oleh karena itu, penelitian tentang
karakterisasi dan pemanfaatan rumput laut below standard sebagai sumber bahan
baku produksi bioetanol penting untuk dilakukan.

Perumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini adalah penggunaan dan pemanfaatan bahan
baku rumput laut sebagai sumber material lignoselulosa yang melimpah dan dapat
digunakan untuk produksi bioetanol serta potensi rumput laut G. verrucosa (below
standard) yang kurang dimanfaatkan.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan karakteristik kimia dan
fisik tepung rumput laut serta hidrolisat tepung rumput laut G. verrucosa (meet
standard dan below standard) dan melihat produksi bioetanol dari hidrolisat rumput
laut G. verrucosa menggunakan khamir S. cerevisiae AL IX.

Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai pemanfaatan
dan karakteristik rumput laut G. verrucosa (meet standard dan below standard)
sebagai bahan baku produksi bioetanol.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah pengambilan sampel, preparasi sampel,
karakterisasi secara kimia dan fisik rumput laut G. verrucosa (meet standard dan
below standard), karakterisasi tepung hasil hidrolisis rumput laut G. verrucosa
(meet standard dan below standard) dan produksi bioetanol dengan fermentasi
menggunakan khamir S. cerevisiae AL IX.

3

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada Januari hingga Juli 2015. Penelitian
dilakukan di beberapa laboratorium yaitu Laboratorium Mikrobiologi Hasil
Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Nanoteknologi Pangan dan
Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Laboratorium Kimia,
Pusat Studi Biofarmaka, Laboratorium Kimia Analitik, Balai Penelitian Ternak,
Bogor, Laboratorium Terpadu, Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Bioetanol,
Surfactant and Bioenergy Research Center, Institut Pertanian Bogor, Laboratorium
Mikrobiologi, Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor, dan Laboratorium
Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bogor.

Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan adalah rumput laut G. verrucosa (meet
standard dan below standard) diperoleh dari perairan Pontang, Serang, Banten,
biakan khamir yang digunakan adalah khamir S. cerevisiae AL IX diperoleh dari
Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC). Bahan lainnya yang digunakan
adalah akuades, H2SO4 3%, kertas saring, pereaksi dinitrosalisilik (DNS) (SigmaAldrich®), kalsium oksida (CaO), arang aktif, media Potato Dextrose Agar (PDA)
(Oxoid), media Potato Galactose Agar (PGA) (Merck®), dan media Yeast
Galactose Maltose Peptone (YGMP) (Merck®).
Alat yang digunakan untuk preparasi sampel adalah wadah, trash bag,
saringan. Alat yang digunakan untuk karakterisasi bahan baku adalah timbangan,
erlenmeyer, beaker glass dan oven. Alat yang digunakan untuk hidrolisis asam
adalah erlenmeyer, beaker glass, kertas lakmus, saringan, botol jar, filtrasi vakum
dan autoklaf (Hirayama Hiclave HVE-50, Tokyo-Japan). Alat yang digunakan
untuk analisis glukosa adalah tabung reaksi, penangas air, gelas ukur, corong pisah
dan Spektrofotometer UV-Vis (Hitachi U-2900, Illinois-USA). Alat yang
digunakan untuk fermentasi adalah cawan, botol, distilator dan Density Meter
(DMA 4500 M, Graz-Austria) untuk mengukur kadar bioetanol. Alat pendukung
lain yang digunakan adalah magnetic stirrer (C-Mag HS 7, Selangor-Malaysia)
Fourier Transform Infra Red (FTIR) (Bruker Tensor 37, Massachusetts-USA),
Scanning Electron Microscopy (SEM) (Zeiss Evo MA-1, Jena-Germany) X-Ray
Diffraction (XRD) (Bruker D8 Advance, Massachusetts-USA) dan Ultras Fast
Liquid Chromatograph (UFLC) (Shimadzu LC-20AB, Kyoto-Japan).

Prosedur Penelitian
Penelitian ini terdiri atas tiga tahapan. Tahap awal yang dilakukan adalah
pembuatan tepung rumput laut G. verrucosa (meet standard dan below standard),
rumput laut dicuci dan dijemur hingga kering, kemudian digiling. Tepung rumput

4

laut G. verrucosa dianalisis kadar lignoselulosa, agar, air dan abu serta gambaran
struktural, gugus fungsi dan kristalinitas selulosa. Tahap kedua adalah hidrolisis
asam, tepung rumput laut dihidrolisis dengan asam sulfat 3%, kemudian
dinetralisasi dengan kalsium oksida (CaO) dan didetoksifikasi dengan arang aktif
1%, setelah itu dianalisis gula pereduksi dan jenis gula. Tahap terakhir adalah
persiapan khamir S. cerevisiae AL IX untuk proses fermentasi, dilanjutkan dengan
fermentasi hidrolisat rumput laut dengan khamir S. cerevisiae AL IX. Selama
fermentasi dilakukan analisis kadar etanol kasar, gula pereduksi dan mengukur
profil pertumbuhan dari kultur fermentasi hidrolisat rumput laut. Diagram alir
penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
G. verrucosa (meet standard
dan below standard)

Pencucian, pengeringan dan
penggilingan

Tepung rumput laut

H2SO4 3%

Hidrolisis
Suhu : 121 °C
Tekanan : 1,5 atm
Waktu : 30 menit

Kalsium
Oksida (CaO)

Netralisasi
pH : 4-6

Arang aktif 1 %

S. cerevisiae AL IX

Detoksifikasi
Waktu : 30 menit

Analisis:
Komposisi kimia
(karbohidrat, agar, abu
dan air)
Gugus-gugus fungsi
Indeks kristalinitas
Mikrograf

Analisis:
Gula pereduksi
Jenis Gula

Hidrolisat

Fermentasi
Suhu : 30 °C
Waktu : 1, 2, 3, 4 dan 6 hari

Analisis:
Profil pertumbuhan
Gula pereduksi

Distilasi

Bioetanol kasar

Gambar 1 Diagram alir penelitian

Analisis:
Kadar etanol

5

Pembuatan Tepung Rumput Laut
Rumput laut G. verrucosa (meet standard dan below standard) diambil dari
perairan Pontang, Serang, Banten. Perlakuan awal pada rumput laut yaitu pencucian
dengan air untuk membersihkan dari garam dan pengotor yang terdapat pada
rumput laut. Rumput laut dijemur dengan sinar matahari (5-7 hari) hingga kering.
Rumput laut yang sudah kering kemudian digiling menggunakan grinder hingga
menjadi tepung.
Hidrolisis Asam (Fakhrudin et al. 2014; Setyaningsih et al. 2012 dan Meinita
et al. 2012a)
Asam yang digunakan untuk hidrolisis adalah asam sulfat (H2SO4) 3%.
Sebanyak 30 g rumput laut kering dilarutkan dalam 100 mL larutan asam sulfat 3%.
Hidrolisis dilakukan melalui dua tahap, tahap pertama 15 g sampel dimasukkan ke
dalam 100 mL dipanaskan dengan suhu 121 °C, tekanan 1,5 atm selama 15 menit
dan dilanjutkan dengan tahap kedua yaitu penambahan 15 g sampel ke dalam botol
dan dipanaskan dengan suhu 121 °C, tekanan 1,5 atm selama 15 menit. Hidrolisat
dinetralisasi dengan larutan kalsium oksida jenuh (1:3 dalam akuades) hingga
mencapai kisaran pH 4-6 dan disaring menggunakan saringan nylon mesh,
kemudian disaring kembali dengan menggunakan filtrasi vakum. Tahap selanjutnya
yaitu dilakukan detoksifikasi pada hidrolisat dengan arang aktif konsentrasi 1%
(w/v), setelah ditambahkan, diaduk dengan stirrer dengan suhu 30 °C selama 30
menit dan hidrolisat dipisahkan kembali dengan menggunakan filtrasi vakum.
Persiapan Biakan Saccharomyces cerevisiae AL IX (Setyaningsih et al. 2012)
Isolat khamir S. cerevisiae AL IX disegarkan menggunakan media Potato
Galactose Agar (PGA) dan diinkubasi dengan suhu 30 °C selama 48-72 jam.
Selanjutnya khamir S. cerevisiae AL IX dipindahkan ke media Yeast Galactose
Maltose Peptone (YGMP) kemudian diinkubasi selama 24 jam dengan suhu
inkubasi 30 °C. Setelah 24 jam khamir starter S. cerevisiae AL IX telah siap
digunakan untuk proses fermentasi hidrolisat rumput laut.
Fermentasi dengan Saccharomyces cerevisiae AL IX (Fakhrudin et al. 2014)
Proses fermentasi dilakukan dengan mengatur waktu fermentasi dalam
kondisi anaerob. Mendekati proses fermentasi, hidrolisat dipasteurisasi pada suhu
70 °C selama 15 menit. Hidrolisat yang telah disiapkan kemudian ditambahkan
Starter. S. cerevisiae AL IX sebanyak 10% (v/v) dimasukkan kedalam hidrolisat
rumput laut dengan volume kultur 100 mL. Hidrolisat difermentasikan selama 6
hari. Pengukuran dilakukan pada hari ke-1, 2, 3, 4 dan 6 hari dengan parameter yang
diuji meliputi gula pereduksi, kadar etanol kasar dan profil pertumbuhan.

Prosedur Analisis
Kadar Lignoselulosa (Van Soest et al. 1991)
Analisis kadar hemiselulosa diawali dengan menentukan kadar Neutral
Detergent Fiber (NDF) dan Acid Detergent Fiber (ADF). Analisis NDF diawali
dengan memasukkan sampel sebanyak 1 g ke dalam gelas piala 600 mL dan
ditambahkan 100 mL larutan Neutral Detergent Solution (NDS) kemudian

6

dipanaskan. Sampel diekstrak selama 60 menit dari mulai mendidih. Sampel yang
telah diekstrak disaring menggunakan cawan masir yang telah ditimbang
sebelumnya. Residu dibilas menggunakan air panas dan aseton. Cawan masir
beserta residu dikeringkan pada oven 105 oC selama ± 4 jam sampai beratnya
konstan. Sampel diangkat dan didinginkan dalam desikator, kemudian cawan
ditimbang. Kadar NDF dihitung menggunakan rumus sebagai berikut :
NDF (%) =

C-B
x 100%
A

Keterangan : A = Berat sampel awal (g)
B = Berat cawan kosong (g)
C = Berat cawan dengan sampel yang sudah dikeringkan (g)
Analsisi ADF diawali dengan memasukkan sampel sebanyak 1 g ke dalam
gelas piala 600 mL dan ditambahkan 100 mL larutan Acid Detergent Solution
(ADS) kemudian dipanaskan. Sampel diekstrak selama 60 menit dari mulai
mendidih. Sampel disaring menggunakan cawan masir yang telah ditimbang
sebelumnya. Residu dibilas menggunakan air panas dan aseton. Cawan masir
beserta residu dikeringkan pada oven 105 oC selama ± 4 jam hingga beratnya
konstan. Sampel diangkat dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang.
Kadar ADF dan hemiselulosa dihitung menggunakan rumus sebagai berikut :
ADF (%) =

C-B
x 100%
A

Keterangan : A = Berat sampel awal (g)
B = Berat cawan kosong (g)
C = Berat cawan dengan sampel yang sudah dikeringkan (g)
Kadar hemiselulosa dihitung dengan mengurangi kadar NDF dengan kadar
ADF. Kadar hemiselulosa dihitung menggunakan rumus sebagai berikut :
Hemiselulosa (%) = NDF - ADF
Analisis selulosa merupakan lanjutan dari analisis ADF. Sampel hasil analisis
ADF yang sudah ditimbang (C) ditambah larutan asam sulfat 72% sampai terendam
selama 3 jam, kemudian residu dibilas menggunakan air panas dan aseton. Residu
dikeringkan pada oven 105 oC selama ± 4 jam sampai beratnya stabil, kemudian
diangkat dan didinginkan dalam desikator. Cawan dikeluarkan dari desikator dan
ditimbang. Kadar selulosa dihitung menggunakan rumus sebagai berikut :
Selulosa (%) =

B-C
x 100%
A

Keterangan : A = Berat sampel awal (g)
B = Berat sampel analisa ADF (g)
C = Berat cawan dengan sampel yang sudah dikeringkan (g)
Analisis kadar lignin merupakan lanjutan dari analisa selulosa. Sampel hasil
analisis selulosa yang sudah dikeringkan dipanaskan dalam tanur dengan suhu ±

7

600 oC. Cawan didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar lignin dihitung
menggunakan rumus sebagai berikut :
Lignin (%) =

B-C
x 100%
A

Keterangan : A = Berat sampel awal (g)
B = Berat sampel analisa selulosa (g)
C = Berat cawan dengan sampel yang sudah dikeringkan (g)
Kadar Air (SNI 01-2891-1992)
Perhitungan kadar air dan kadar abu mengacu pada SNI 01-2891-1992.
Penghitungan kadar air dimulai dengan menimbang sampel sebanyak 1-2 g,
kemudian dimasukkan ke dalam cawan porselin yang telah dikeringkan pada suhu
105 oC selama 3 jam hingga beratnya konstan. Kemudian sampel didinginkan
dalam desikator. Kadar air dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Kadar air (%) =

I1-I2
x 100% berat kering
I2

Keterangan : I1 = Berat sampel awal (g)
I2 = Berat sampel setelah dikeringkan (g)
Kadar Abu (SNI 01-2891-1992)
Penghitungan kadar abu dimulai dengan menimbang sampel 2-3 g pada
cawan porselin yang telah diketahui beratnya. Sampel dipijarkan dalam tanur pada
suhu 550 oC sampai pengabuan sempurna. Cawan didinginkan dalam desikator
kemudian ditimbang sampai bobot tetap. Kadar abu dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
Kadar abu (%) =

I1- I2
x 100%
berat sampel

Keterangan : I1 = Berat sampel + cawan (g)
I2 = Berat cawan kosong (g)
Ekstraksi Agar (modifikasi Guerrrero et al. 2014)
Sebanyak 10 g tepung rumput laut G. verrucosa (meet standard dan below
standard) dididihkan dalam air distilasi (300 mL) selama 1 jam dan kemudian
larutan dipisahkan menggunakan nylon mesh. Larutan dibiarkan menjadi gel pada
suhu kamar dan dibekukan satu malam. Setelah itu, gel agar dilelehkan dengan air
kran dan dikeringkan dengan sinar matahari. Rendemen agar merupakan
perhitungan persentase dari sampel.
Analisis Gugus Fungsi
Rumput laut G. verrucosa (meet standard dan below standard) kering
dianalisis gugus-gugus fungsi dengan menggunakan Fourier Transform Infra Red
(FTIR). Sampel sebanyak 0,02 g dicampurkan dengan kalium bromida (KBr) dan
ditekan hingga berbentuk film tipis. Spektrum dilakukan selama rentang 1800-600
cm-1 dengan empat pemindaian yang tercatat pada resolusi 4 cm-1.

8

Analisis Indeks Kristalinitas
Analisia indeks kristalinitas biomassa dianalisis dengan X-Ray Diffraction
(XRD). Sampel yang digunakan adalah G. verrucosa (meet standard dan below
standard) yang dikeringkan. Sampel sebanyak 0,3 g tepung rumput laut
dimasukkan pada plat plastik dan dilakukan pada mode transmisi menggunakan CuKα radiasi, dioperasikan pada 40 kV dan 35 mA, kemudian dipindai melalui
difraksi sudut (2�) = 5-80o dengan ukuran tahapan 0.02o. Indeks kristalinitas (CrI)
ditentukan dengan metode Segal et al. (1959):
CrI (%) =

I200- Iam
x 100%
I200

Keterangan : I200 = Puncak intensitas kristalin dari selulosa I pada 2� = 22.5o
Iam = Intensitas amorpos pada 2� = 18.7o
Analisis Mikrograf
Analisia mikrograf dilakukan terhadap rumput laut G. verrucosa (meet
standard dan below standard) yang dikeringkan. Sampel sebanyak 0,2 g disebar
pada sebuah piringan metal-silinder dengan pita karbon dan dilapisi dengan emas
di bawah vakum. Karakterisasi mikrograf dilakukan dengan menggunakan
instrumen Scanning Electron Microscopy (SEM) yang dioperasikan pada 14 kV
tegangan percepatan.
Analisis Gula Pereduksi (Miller 1959)
Sebanyak 1 mL hidrolisat (dengan pengenceran) dan 3 mL pereaksi
Dinitrosalisilik (DNS) dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian sampel dan
pereaksi ditempatkan dalam penangas air mendidih selama 15 menit. Setelah itu,
dibiarkan dingin pada suhu ruang. Kadar gula pereduksi diukur dengan
Spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 540 nm.
Analisis Profil Gula Sederhana
Hidrolisat sebanyak 450 µL dipipet langsung ke dalam vial High
Performance Liquid Chromatograph (HPLC) (tanpa pengenceran) dan dianalisis
dengan instrumen alat Ultra Fast Liquid Chromatograph (UFLC) dengan kolom
Aminex-HPX 87H dengan flow rate 0,6 mL/min dan volume injeksi sebesar 20 µL
selama 20 menit. Standard gula yang digunakan adalah xilosa, mannosa, maltosa,
glukosa, arabinosa, dan galaktosa. Perhitungan dilakukan dengan Reflective Index
Detector (RID-20A) sehingga terbentuk kromatogram.
Kadar Etanol (Fakhrudin et al. 2014)
Kultur fermentasi hasil produksi bioetanol hidrolisat rumput laut dituang ke
dalam labu leher kemudian dididihkan dalam distilator hingga beberapa menit dan
menghasilkan uap air. Uap air yang dihasilkan diambil sebanyak 10 mL disimpan
dalam wadah untuk dianalisis. Analisis kadar bioetanol kasar ditentukan dengan
menggunakan Density Meter DMA 4500 M.

9

Profil Pertumbuhan (FDA 2001)
Saccharomyces cerevisiae AL IX diaktivasi dengan dilakukan pengambilan
2 ose kultur kerja yang diinokulasikan ke dalam tabung reaksi yang berisi 10 mL
media Yeast Maltose Galactose Peptone (YMGP), kemudian diinkubasi selama 24
jam dengan suhu 30 °C. Setelah 24 jam, hasil aktivasi masing-masing diambil
sebanyak 1 mL (10%) dan diinokulasikan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 mL
hidrolisat rumput laut G. verrucosa (below standard) yang telah dipasteurisasi,
kemudian diinkubasi selama 24 jam dengan suhu 30 °C. Pembuatan profil
pertumbuhan dilakukan dengan memindahkan 1 mL suspensi pengenceran 100
dengan mikropipet ke dalam larutan 9 mL Buffered Peptone Water (BPW) 0,1%
untuk mendapatkan pengenceran 10-1. Pengenceran dilakukan 10-2, 10-3, 10-4,
hingga 10-5. Sebanyak 1 mL suspensi dari setiap pengenceran dimasukkan ke dalam
cawan petri secara duplo dan ditambahkan 15 mL sampai 20 mL Plate Count Agar
(PCA) yang sudah didinginkan pada setiap cawan yang sudah berisi suspensi, untuk
khamir larutan PCA ditambahkan sebanyak 0,1% kloramfenikol. Setelah itu,
diinkubasi pada temperatur 35 °C selama 48 jam sampai dengan 72 jam.

Analisis Data
Analisis data diperlukan untuk mendapatkan kesimpulan dari percobaan yang
dilakukan. Analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis secara
deskriptif. Data diolah dengan menggunakan aplikasi Microsoft Excel 2013 untuk
mendapatkan nilai rata-rata dan standar deviasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Rumput Laut Gracilaria verrucosa
Gracilaria verrucosa merupakan rumput laut dari jenis Rhodophyta dan
digunakan dalam produksi agar. Perbedaan kualitas rumput laut G. verrucosa
diduga dapat mempengaruhi agar yang dihasilkan, sehingga banyak industri
pengolah rumput laut memilah-memilah kualitas rumput laut yang didapatkan dari
para petambak rumput laut G. verrucosa. Rumput laut yang dihasilkan petani
memiliki dua jenis kualitas berbeda, yaitu meet standard dan below standard.
Perbedaan dua jenis rumput laut G. verrucosa (meet standard dan below standard)
dapat dilihat pada Gambar 2.
Perbedaan kualitas rumput laut diduga didasari oleh perbedaan warna saat
panen, G. verrucosa (meet standard) memiliki warna merah-kehitaman, sedangkan
G. verrucosa (below standard) memiliki warna merah pudar, yang disebabkan oleh
budidaya dengan kondisi perairan yang tidak mendukung dan penanganan pasca
panen yang tidak baik dalam proses penjemuran rumput laut. Penggunaan dua jenis
rumput laut dilakukan untuk mengetahui potensi sebagai bahan baku produksi
bioetanol.

10

(a).1

(a).2

(a).3

(b).1
.

(b).2
.

(b).3
.

Gambar 1 Visualisasi rumput laut G. verrucosa (meet standard) (a.1), kering (a.2),
tepung (a.3) dan G. verrucosa (below standard) (b.1), kering (b.2),
tepung (b.3)

Karakteristik Tepung Rumput Laut
Karakterisasi yang diamati meliputi karakterisasi kimia yaitu, kandungan
agar, selulosa, hemiselulosa, lignin, kadar air, kadar abu, gugus fungsi dengan FTIR
dan karakterisasi fisik meliputi indeks kristalinitas dengan X-RD dan mikrograf
rumput laut dengan SEM. Hasil karakterisasi kimia disajikan pada Gambar 3.
Komponen terbesar dari kedua jenis rumput laut adalah agar. Agar merupakan jenis
polisakarida yang dihasilkan dari rumput laut merah dan merupakan produk utama
dari pemanfaatan rumput laut. Kadar agar pada kedua jenis rumput laut memiliki
jumlah yang hampir sama dan diketahui sebagai komponen terbesar dalam
komposisi kimia yang terdapat pada rumput laut.
35

Konsentrasi (%)

30
25
20
15
10
5
0
Agar

Selulosa

Hemiselulosa

Lignin

Air

Abu

Gambar 3 Histogram komposisi kimia tepung rumput laut G. verrucosa (meet
standard) ( ) dan G. verrucosa (below standard) ( )
Hasil ekstraksi agar dari rumput laut G. verrucosa (meet standard dan below
standard) memiliki agar yang tidak jauh berbeda dengan ekstraksi agar dari rumput

11

laut G. verrucosa dengan larutan alkali yang dilakukan Kumar et al. (2013) dengan
rendemen agar sebesar 32,53±1,42%. Dalam hal ini, ekstraksi dengan pelarut alkali
atau tanpa alkali tidak mempengaruhi jumlah rendemen agar rumput laut G.
verrucosa. Marinho-Soriano dan Bourret (2005) melakukan ekstraksi agar dari
jenis rumput laut Gracilaria melaporkan bahwa selain musim dan faktor
lingkungan, suhu dan salinitas dapat mempengaruhi rendemen agar yang
dihasilkan. Pengaruh lain yang dapat mempengaruhi adalah umur panen rumput
laut, Santika et al. (2014) melaporkan bahwa umur panen 50, 60, dan 70 hari
menghasilkan rendemen agar yang relatif sama, sedangkan viskositas dan kekuatan
gel tertinggi pada panen 60 hari dan menurun ketika umur panen 70 hari. Perbedaan
rendemen agar diduga karena bahan baku diambil dari perairan yang sama sehingga
faktor-faktor pendukung seperti lingkungan, suhu, salinitas dan umur panen tidak
berpengaruh.
Kadar selulosa, hemiselulosa dan lignin rumput laut G. verrucosa (meet
standard dan below standard) masing-masing memiliki kadar yang hampir sama.
Santi et al. (2012) melaporkan bahwa kadar lignin dari rumput laut hijau Ulva
lactuca dan Chaeteomorpha crassa masing-masing memiliki kadar lignin 2,9% dan
4%, hasil tidak jauh berbeda didapatkan dari kadar lignin G. verrucosa (meet
standard dan below standard) masing-masing sebesar 4% dan 5,41%. Masalah
utama sumber biomassa lignoselulosa sebagai bahan baku produksi bioetanol
adalah kandungan lignin yang berperan sebagai inhibitor dalam konversi
polisakarida menjadi monosakarida atau disakarida. Musatto dan Teixeira (2010)
menyatakan bahwa lignin berikatan dengan selulosa dan hemiselulosa dan
berfungsi memberikan tingkat kekerasan pada dinding sel. Hsu et al. (2010)
melaporkan pengukuran kadar lignin jerami sebesar 14,9 %, hasil ini tiga kali lebih
besar dari lignin rumput laut dan menyatakan bahwa lignin yang rendah dapat
mengindikasikan bahwa sampel tidak perlu melalui proses pretreatment dan
hidrolisis dalam keadaan yang ekstrim.
Hasil berbeda karakterisasi tepung rumput laut G. verrucosa (meet standard
dan below standard) diketahui pada kadar air dan abu. Pengukuran menunjukkan
bahwa rumput laut G. verrucosa (meet standard) memiliki kadar air lebih rendah
daripada kadar abu, sedangkan rumput laut G. verrucosa (below standard) memiliki
kadar air dan abu sama. Kumar et al. (2013) melaporkan bahwa rumput laut
Gracilaria verrucosa memiliki kadar air lebih rendah (4,4±0,15%) dibandingkan
kadar abu (12,73±0,15%) dan menyatakan bahwa perbedaan kadar air dan abu pada
rumput laut dapat dipengaruhi oleh penurunan salinitas akibat dari mengalirnya air
tawar yang lebih banyak pada periode tertentu. Harun et al. (2013) melaporkan
kadar air yang lebih tinggi dipengaruhi oleh pengeringan yang tidak berjalan
sempurna. Perbedaan kualitas rumput laut dapat mempengaruhi kadar air dan abu
yang diduga disebabkan salinitas dan pengeringan rumput laut yang dilakukan.
Rumput laut memiliki komponen-komponen utama khususnya polisakarida.
Gugus fungsi polisakarida dari suatu senyawa dapat ditunjukkan dengan adanya
puncak pita pada spektrum transmitan rumput laut pada suatu bilangan gelombang.
Bilangan gelombang yang dipancarkan pada rentang 1800-600 cm-1. Spektrum
FTIR rumput laut G. verrucosa (meet standard dan below standard) dapat dilihat
pada Gambar 4.

Transmittance (%)

12

895
930
1022

1434

1600

1789

1697

1605

775

1434

1600

(a)

(b)

830 750

1022
870

1515

1423

1331

1239

1150

Wavenumber

1058

966

874

785

693

601

(cm-1)

Gambar 4 Spektrum FTIR tepung rumput laut G. verrucosa (meet standard) (a)
dan G. verrucosa (below standard) (b)
Pita gelombang yang lemah pada kedua jenis rumput laut G. verrucosa (meet
standard dan below standard) ditunjukkan pada pita gelombang 1600 cm-1,
merupakan peregangan dari cincin aromatik yang menandakan adanya lignin
(Kumar et al. 2009), kemudian ditemukan juga puncak gelombang 1434 cm-1
dengan ikatan C-H dan pada 1022 cm-1 dengan ikatan gugus C-O-C yang
menunjukkan karakteristik selulosa (Siddhanta et al. 2011) kemudian pita 10401060 cm-1 menandakan regangan gugus C-O hemiselulosa (Zhao et al. 2008).
Puncak panjang gelombang kuat ditunjukkan pada 930 cm-1, 895 cm-1 dan
775 cm-1 untuk rumput laut G. verrucosa (meet standard). Puncak 930 cm-1
menandakan getaran gugus C-O-C pada polimer subunit 3,6-anhidro-α-L-galaktosa
(Barros et al. 2013), hal ini diduga rumput laut G. verrucosa (meet standard)
memiliki polimer subunit 3,6-anhidro-α-L-galaktosa yang tinggi. Marinho-Soriano
dan Bourret (2005) melaporkan bahwa polisakarida agar dengan subunit 3,6anhidrogalaktosa mengindikasikan agar memiliki gel yang kuat. Pita yang muncul
pada 897 cm-1 menandakan gugus β-linked glukosa yang merupakan polimer dalam
selulosa (Uju et al. 2015), hal ini diduga telah terjadi pemecahan selulosa menjadi
glukosa pada rumput laut G. verrucosa (meet standard).
Rumput laut G. verrucosa (below standard) menunjukkan puncak kuat pada
panjang gelombang 870 cm-1, 830 cm-1 dan 750 cm-1. Daerah panjang gelombang
800-850 cm-1 merupakan polisakarida agar dari gugus sulfat, pita 830 cm-1 yang
muncul menandakan grup sulfat dari 2-O-D-galaktosa (Barros et al. 2013),
sedangkan puncak pada 872 cm-1 menandakan keberadaan grup sulfat dari 6-Ogalaktosa (Kumar et al. 2012). Grup sulfat galaktosa yang terdeteksi pada rumput
laut G. verrucosa (below standard) mengindikasikan bahwa agar mengandung
sulfat yang tinggi. Marinho-Soriano dan Bourret (2005) melaporkan bahwa agar
dengan sulfat yang tinggi memiliki gel yang lemah.

13

Puncak kuat pada rumput laut G. verrucosa (meet standard dan below
standard) masing-masing memiliki ditandai pada panjang gelombang 775 cm-1 dan
750 cm-1. Kumar et al. (2009) menyatakan bahwa panjang gelombang tersebut
mengindikasikan ratio dari kristalin selulosa. Puncak 775 cm-1 diduga memiliki
kristalinitas selulosa lebih tinggi dibandingkan dengan puncak 750 cm-1. Hasil
pengukuran diduga bahwa rumput laut G. verrucosa (meet standard) memiliki agar
dengan gel yang kuat dan kristalinitas tinggi, sedangkan rumput laut G. verrucosa
(below standard) memiliki agar dengan gel lemah dan kristalinitas rendah.
Rumput laut G. verrucosa (meet standard dan below standard) masingmasing diukur indeks kristalinitas selulosa. Kristalinitas adalah tingkat keteraturan
selulosa dengan sifat seperti kristal yang dicirikan dengan derajat kristalinitas yang
terdapat pada sumber bahan baku (Pari et al. 2011). Taherzadeh dan Karimi (2008)
melaporkan bahwa susunan mikrofibril yang rapat membuat selulosa menjadi tidak
mudah untuk dihidrolisis oleh enzim. Selulosa memiliki bentuk struktur kristalin
dan polimer penyusun lainnya seperti hemiselulosa dan lignin memiliki bentuk
struktur amorf. Indeks kristalinitas dihitung dengan metode Segal et al. (1959).
Pengukuran indeks kristalinitas menunjukkan bahwa kristalinitas selulosa
rumput laut G. verrucosa (meet standard dan below standard) sebesar 74,5% dan
54,8% berturut-turut. Selulosa alam mempunyai kristalinitas tinggi karena ikatan
inter dan intramolekuler hidrogen yang membuat selulosa tidak larut dan sulit untuk
dihidrolisis (Puri 1984). Perbedaan kristalinitas rumput laut diduga karena umur
panen rumput laut G. verrucosa. Kamat et al. (2002) melaporkan bahwa tanaman
hemp dengan umur panen 30 hari memiliki kadar α-selulosa 37% dan kadar lignin
14%, meningkat pada umur panen 90 hari dengan kadar α-selulosa 44% dan kadar
lignin 11%. Hasil ini didukung dengan analisis gugus fungsi bahwa kristalinitas
rumput laut G. verrucosa (meet standard) lebih tinggi dibandingkan G. verrucosa
(below standard). Indeks kristalinitas yang lebih rendah dapat mempermudah
proses pemecahan menjadi gula-gula sederhana.
Karakterisasi fisik dilakukan untuk mengetahui perbedaan struktur pada
masing-masing rumput laut G. verrucosa. Hasil mikrograf rumput laut G. verrucosa
(meet standard dan below standard) dapat dilihat pada Gambar 5.
(a.) 100x

(a.) 1000x

(a.) 10000x

(b.) 100x

(b.) 1000x

(b.) 10000x

Gambar 5 Mikrograf rumput laut G. verrucosa (meet standard) (a) dan G. verrucosa
(below standard) (b)

14

Hasil mikrograf menunjukkan bahwa permukaan pada masing-masing bahan
memiliki perbedaan pada perbesaran 100x, rumput laut G. verrucosa (meet
standard) memiliki struktur thallus yang lebih kompak dengan susunan epidermis
melapisi thallus rumput laut, sedangkan rumput laut G. verrucosa (below standard)
memiliki struktur permukaan thallus yang sudah tidak halus. Perbedaan struktur
luar diduga karena rumput laut G. verrucosa (below standard) merupakan jenis
kualitas rendah dengan penanganan pasca panen yang tidak baik, disebabkan
penjemuran yang terkena air tawar dan menyebabkan permukaan luar jenis rumput
laut rusak.
Perbesaran 1000x dan 10000x, tampak lebih jelas struktur dalam dari rumput
laut G. verrucosa (meet standard dan below standard). Penyusun jaringan rumput
laut diduga sebagai dinding sel dari polisakarida. Rumput laut sebagian besar
tersusun dari agar dan sebagian kecil adalah lignoselulosa. Serat-serat polisakarida
agar rumput laut hasil perbesaran terlihat jelas, Balakrishnan et al. (2013)
melaporkan bahwa rumput laut Gracilaria tersusun atas struktur sel dan matriks
interseluler dari polisakarida.

Karakteristik Hidrolisat Tepung Rumput Laut
Rumput laut yang telah menjadi tepung selanjutnya dihidrolisis. Hidrolisis
dilakukan menggunakan asam sulfat dengan konsentrasi 3%. Hidrolisat rumput laut
kemudian diukur gula pereduksi dan jenis gula. Hasil pengukuran gula pereduksi
dan jenis gula hidrolisat rumput laut dapat dilihat pada Gambar 6. Hasil pengukuran
gula pereduksi menunjukkan bahwa hidrolisat G. verrucosa meet standard
memiliki gula pereduksi (105,47±19,19 mg/mL) yang hampir sama dengan
hidrolisat tepung rumput laut below standard (94,78±0,69 mg/mL). Meinita et al.
(2012b) melaporkan hasil pengukuran gula pereduksi terhadap hidrolisat rumput
laut K. alvarezii menghasilkan gula pereduksi sebesar 50 mg/mL, jumlah gula
pereduksi rumput laut G. verrucosa dua kali lipat lebih besar dari rumput laut K.
alvarezii.
140

800

(a)
Konsentrasi (ppm)

Gula pereduksi (mg/mL)

(b)

700

120
100
80
60
40

600
500
400
300
200

20

100
0

0
G. verrucosa (meet
G. verrucosa
standard)
(below standard)

Arabinosa Glukosa Maltosa

Xilosa

Gambar 6 Gula pereduksi (a) dan jenis gula (b) hidrolisat rumput laut G. verrucosa
(meet standard) ( ) dan G. verrucosa (below standard) ( )

15

Yadav et al. (2011) melaporkan bahwa hidrolisis dengan asam sulfat dapat
meningkatkan konsentrasi gula pada hidrolisat mencapai 2 kali lipat. Hal ini diduga
karena penggunaan konsentrasi asam sulfat dan waktu hidrolisis yang dilakukan.
Penggunaan dua tahap hidrolisis dan konsentrasi asam sulfat 3% yang dipanaskan
dengan suhu 121 oC mampu menghasilkan gula pereduksi yang lebih banyak.
Penggunaan asam sulfat juga dapat menghasilkan produk samping, Jonsson et al.
(2013) melaporkan bahwa lignin akan membentuk komponen fenolik akibat dari
hidrolisis asam, sedangkan Meinita et al. (2012b) melaporkan bahwa konsentrasi
asam sulfat dan reaksi yang lebih lama dapat menurunkan komponen gula dan
menghasilkan produk samping seperti 5-hidroksil-metil-furfural (5-HMF) dan
asam levulinik.
Gambar 6b menunjukkan bahwa jenis gula pada hidrolisat tepung rumput laut
G. verrucosa diantaranya, arabinosa, glukosa, maltosa, dan xilosa. Gula arabinosa
hidrolisat tepung rumput laut G. verrucosa (meet standard) diperkirakan memiliki
konsentrasi yang lebih rendah dibandingkan glukosa, sedangkan gula arabinosa dan
glukosa pada G. verrucosa (below standard) diperkirakan memiliki konsentrasi
yang hampir sama. Maltosa dan xilosa memiliki konsentrasi yang hampir sama
pada kedua jenis rumput laut sebagai gula terendah dan tertinggi.
Rumput laut sebagai sumber biomassa lignoselulosa terdiri dari selulosa,
hemiselulosa dan lignin memiliki peran dalam penyusunan jenis monosakarida.
Selulosa berperan dalam kontribusi glukosa, kemudian hemiselulosa berperan
dalam kontribusi gula pentosa dan heksosa yaitu xilosa, arabinosa dan glukosa
(Musatto dan Teixeira 2010). Salah satu komponen terbesar dari rumput laut adalah
agar, Guerrero et al. (2014) melaporkan bahwa agar yang tersusun dari 3,6
anhidrogalaktosa berkontribusi dalam menghasilkan galaktosa. Sarfat et al. (2013)
menggunakan rumput laut merah (E. cottonii) sebagai bahan baku produksi
bioetanol, hasil pengukuran jenis gula menunjukkan bahwa gula tertinggi adalah
galaktosa, sedangkan hasil dari pengukuran jenis gula menunjukkan tidak adanya
jenis galaktosa. Hal ini diperkirakan bahwa galaktosa dalam rumput laut telah
mengalami perubahan dalam bentuk yang lebih sederhana akibat dari hidrolisis
dengan panas dan asam, sehingga hanya jenis gula glukosa, arabinosa, xilosa dan
maltosa yang terdeteksi pada hidrolisat rumput laut.

Produksi Bioetanol dengan S. cerevisiae AL IX
Produksi bioetanol dilakukan dengan fermentasi sebagai tahap akhir dalam
pembuatan etanol. Khamir yang digunakan adalah dari jenis S. cerevisiae AL IX.
Saccharomyces cerevisiae AL IX merupakan khamir teradaptasi dengan media
tumbuh yang kaya dengan jenis galaktosa, seperti rumput laut, penamaan jenis
khamir ini dikarenakan khamir S. cerevisiae AL IX dapat bekerja secara optimum
dengan kondisi adaptasi lambat selama 9 hari dengan media tumbuh hidrolisat
rumput laut E. cottonii (Setyaningsih et al. 2012). Media yang digunakan selama
fermentasi adalah hidrolisat rumput laut G. verrucosa (below standard), hal ini
berdasarkan hasil karakterisasi yang hampir sama dengan rumput laut G. verrucosa
(meet standard). Kultur fermentasi hasil fermentasi dilakukan dalam skala lebih
besar (100 mL) untuk pengukuran kadar etanol kasar dan gula pereduksi, sedangkan
pengukuran profil pertumbuhan S. cerevisiae AL IX dilakukan dalam skala

16

fermentasi lebih kecil (10 mL). Hasil pengukuran kadar etanol kasar dan gula
pereduksi dapat dilihat pada Gambar 7a.
Hasil pengukuran kadar etanol menunjukkan bahwa kultur fermentasi
hidrolisat rumput laut mampu memproduksi etanol. Fermentasi yang dilakukan
selama 6 hari, diketahui bahwa etanol kasar mulai terbentuk dari fermentasi hari
ke-1 dan terus meningkat hingga hari ke-4, sebelum terjadi penurunan pada hari ke6. Berdasarkan hasil ini diketahui bahwa khamir S. cerevisiae AL IX mampu
memproduksi etanol dengan waktu optimum pada hari ke-4 dan menghasilkan
etanol kasar sebesar 0,285%.

80

0,4

7

0,35

6

0,3

70
60

0,25

50

0,2

40

0,15

30

0,1

20

0,05

10

0

0
0

2

4

Waktu Fermentasi (Hari)

6

Jumlah sel (Log CFU/mL)

(a)

90

Kadar Etanol (%)

Gula Pereduksi (mg/mL)

100

(b)

5
4
3
2
1
0
0

2

4

6

Waktu Fermentasi (Hari)

Gambar 7 Produksi bioetanol (
) dan gula pereduksi (
pertumbuhan (b) Saccharomyces cerevisiae AL IX

) (a) serta profil

Produksi etanol kasar tertinggi adalah 0,285%, jumlah ini terbilang masih
rendah. Setyaningsih et al. (2012) melaporkan bahwa dengan hidrolisat rumput laut
E. cottonii produksi etanol yang dihasilkan mencapai 2% dengan bantuan khamir
S. cerevisiae. Yanagisawa et al. (2013) melaporkan bahwa etanol yang dihasilkan
secara ekonomi layak dilakukan yaitu konsentrasi etanol yang mencapai 4-5% atau
lebih besar dari 4%. Hal ini diduga karena khamir yang digunakan berasal dari isolat
yang telah disegarkan berulang, sehingga kemampuan aktivitas khamir untuk
mengubah gula menjadi etanol menurun. Dugaan lain hasil ini adalah adanya
komponen toksik seperti 5-hidroksi-metil-furfural (5-HMF) dan furfural pada
hidrolisat yang disebabkan penggunaan asam dan suhu saat hidrolisis yang akan
berpengaruh pada mikroorganisme selama fermentasi sehingga tidak bekerja secara
maksimal.
Tsigie et al. (2013) melaporkan bahwa pada suhu 120 °C konsentrasi HMF
dan furfural masing-masing adalah 0,24 g/L dan 0,17 g/L, tetapi terjadi peningkatan
masing-masing sebesar 1,12 g/L dan 0,43 g/L pada suhu 135 °C. Suhu yang terlalu
tinggi akan menyebabkan gula pada substrat terdegradasi menjadi komponen lain
seperti 5-hidroksi-metil-furfural (5-HMF) dan furfural yang dapat bersifat toksik
untuk mikrorganisme fermentasi. Meinita et al. (2012b) melaporkan bahwa HMF
dan asam levulinik mulai menghambat produksi etanol pada konsentrasi 0,05 g/L
dan 0,5 g/L. Cho et al. (2011) menyatakan bahwa hidrolisat lignoselulosa seperti
rumput laut tidak hanya mengandung gula-gula yang dapat difermentasi, tetapi juga

17

mengandung komponen seperti furan, asam lemah dan komponen fenolik lainnya
yang dapat menghambat fermentasi etanol.
Penurunan kadar etanol yang terjadi pada hari ke-6 diduga kar