Karakterisasi Simplisia dan Isolasi Agar dari Rumput Laut Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus sebagai Media Pertumbuhan Bakteri

(1)

(2)

(3)

Lampiran 3. Serbuk Simplisia Rumput Laut Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus

Gambar 2. Serbuk Simplisia Rumput Laut Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus


(4)

Lampiran 4.

Gambar 4. Simplisia Talus Rumput Laut Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus


(5)

Lampiran 5.

Gambar 5. Mikroskopik Serbuk Simplisia Rumput Laut Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus pada Pembesaran 10 x 40

Keterangan : 1. Sel parenkim berisi pigmen merah 2. Sel parenkim

3. Sel propagule

1

2


(6)

Lampiran 6. Perhitungan Penetapan Kadar Air Simplisia Rumput Laut Gracilaria

verrucosa (Hudson) Papenfus

a. Berat sampel = 5,014 g Volume air = 0,4 ml

b. Berat sampel = 5,045 g Volume air = 0,4 ml

c. Berat sampel = 5,032 g Volume air = 0,5 ml


(7)

Lampiran 7. Perhitungan Penetapan Kadar Sari yang Larut dalam Air Simplisia Rumput Laut Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus

a. Berat simplisia = 5, 021 g Berat sari = 0,039 g

b. Berat simplisia = 5,041 g Berat sari = 0,033 g

c. Berat simplisia = 5,038 g Berat sari = 0,031 g


(8)

Lampiran 8. Perhitungan Penetapan Kadar Sari yang Larut dalam Etanol Simplisia Rumput Laut Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus

a. Berat simplisia = 5, 023 g Berat sari = 0,013 g

b. Berat simplisia = 5,048 g Berat sari = 0,007 g

c. Berat simplisia = 5,027 g Berat sari = 0,008 g


(9)

Lampiran 9. Perhitungan Penetapan Kadar Abu Total Simplisia Rumput Laut Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus

a. Berat simplisia = 2, 006 g

Berat abu = 0,158 g

b. Berat simplisia = 2,024 g

Berat abu = 0,165 g

3. Berat simplisia = 2,014 g


(10)

Lampiran 10. Perhitungan Penetapan Kadar Abu yang Tidak Larut Asam Simplisia Rumput Laut Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus

a. Berat simplisia = 2, 006 g

Berat abu = 0,016 g

b. Berat simplisia = 2,024 g

Berat abu = 0,019 g

c. Berat simplisia = 2,014 g

Berat abu = 0,016 g


(11)

Lampiran 11. Bagan Isolasi Agar dengan Proses Pemutihan

Dibersihkan, dicuci dan dikeringkan

Diserbuk dan direndam dalam larutan kalsium hipoklorit

Dicuci dengan air mengalir sampai bau kaporitnya hilang

0,5% diganti 1 jam sekali selama 6 jam

Diasamkan dengan larutan asam sulfat 0,25% selama 1 jam (pH=5)

Dicuci dengan air mengalir sampai pH=7 (netral), ditiriskan dan dikeringkan selama 2 hari

Ditimbang 10g rumput laut

Dididihkan dengan air suling sebanyak 500 ml Ditambahkan asam asetat 3% (pH=5) pada saat suhu mencapai 90-95°C

Diekstraksi selama 45 menit Disaring dengan kain blacu

Dinetralkan dengan larutan natrium karbonat 3%

Dipanaskan sampai mendidih Dicek pH

Dituang ke cetakan, didiamkan Dibekukan ke dalam freezer 200g Rumput laut

Rumput laut kering

Rumput laut sudah diputihkan

Ampas Filtrat


(12)

Lampiran 11. (Lanjutan) Bagan Isolasi Agar dengan Proses Pemutihan

Dikeluarkan, didiamkan pada suhu kamar sampai airnya mencair Disaring dengan kain blacu

Dikeringkan pada suhu 50°C

Digiling halus Diayak

Dikarakterisasi

Gambar 7. (Lanjutan) Bagan Isolasi Agar dengan Proses Pemutihan Agar

Filtrat

Serbuk agar

Kualitatif: a. Iodium 0,05

M

b. Asam klorida dan barium klorida c. Pendinginan Penetapan susut pengeringan Penetapan kadar abu total Penetapan kadar abu tak

larut asam Penetapan kadar sulfat Viskositas Agar beku


(13)

Lampiran 12. Perhitungan Rendemen Agar dengan Proses Pemutihan

I. Bobot sampel mula-mula = 10,013 g Bobot hasil ekstraksi = 2,609 g

II. Bobot sampel mula-mula = 10,003 g Bobot hasil ekstraksi = 2,987 g

III. Bobot sampel mula-mula = 10,026 g Bobot hasil ekstraksi = 3,066 g

IV. Bobot sampel mula-mula = 10,002 g Bobot hasil ekstraksi = 3,085 g


(14)

Lampiran 12. (Lanjutan) Perhitungan Rendemen Agar dengan Proses Pemutihan

VI. Bobot sampel mula-mula = 10,011 g Bobot hasil ekstraksi = 3,339 g

VII. Bobot sampel mula-mula = 10,026 g Bobot hasil ekstraksi = 3,352 g


(15)

Lampiran 13. Bagan Isolasi Agar tanpa Proses Pemutihan

Dibersihkan, dicuci dan dikeringkan

Diserbuk, diasamkan dengan larutan asam sulfat 0,25% selama 1 jam (pH=5)

Dicuci dengan air mengalir sampai pH=7 (netral), ditiriskan dan dikeringkan selama 2 hari

Ditimbang 10g rumput laut

Dididihkan dengan air suling sebanyak 500 ml Ditambahkan asam asetat 3% (pH=5) pada saat suhu mencapai 90-95°C

Diekstraksi selama 45 menit Disaring dengan kain blacu

Dinetralkan dengan larutan natrium karbonat 3%

Dipanaskan sampai mendidih Dicek pH

Dituang ke cetakan, didiamkan Dibekukan ke dalam freezer

Gambar 8. Bagan Isolasi Agar tanpa Proses Pemutihan

Ampas Filtrat

Agar beku 200g Rumput laut


(16)

Lampiran 13. (Lanjutan) Bagan Isolasi Agar tanpa Proses Pemutihan

Dikeluarkan, didiamkan pada suhu kamar sampai airnya mencair Disaring dengan kain blacu

Dikeringkan pada suhu 50°C Digiling halus Diayak Dikarakterisasi

Gambar 9. (Lanjutan) Bagan Isolasi Agar tanpa Proses Pemutihan Agar

Filtrat

Serbuk agar

Kualitatif: a.Iodium 0,05

M b.Asam klorida dan barium klorida c.Pendinginan Penetapan susut pengeringan Penetapan kadar abu total Penetapan kadar abu tak

larut asam Penetapan kadar sulfat Viskositas Agar beku


(17)

Lampiran 14. Perhitungan Rendemen Agar tanpa Proses Pemutihan

I. Bobot sampel mula-mula = 10,001 g Bobot hasil ekstraksi = 2,656 g

II. Bobot sampel mula-mula = 10,002 g Bobot hasil ekstraksi = 2,950 g

III. Bobot sampel mula-mula = 10,001 g Bobot hasil ekstraksi = 3,069 g

IV. Bobot sampel mula-mula = 10,004 g Bobot hasil ekstraksi = 3,072 g

V. Bobot sampel mula-mula = 10,070 g Bobot hasil ekstraksi = 3,119 g


(18)

Lampiran 14. (Lanjutan) Perhitungan Rendemen Agar tanpa Proses Pemutihan

VI. Bobot sampel mula-mula = 10,009 g Bobot hasil ekstraksi = 3,318 g

VII. Bobot sampel mula-mula = 10,017 g Bobot hasil ekstraksi = 3,417 g


(19)

Lampiran 15. Serbuk Agar Hasil Isolasi


(20)

Lampiran 16. Hasil Identifikasi Agar Hasil Isolasi

I. Menggunakan Pereaksi Iodium 0,05 M a. Agar dengan Proses Pemutihan

A B

b. Agar Tanpa Proses Pemutihan

C D

Keterangan : A dan C: Warna ungu coklat diantara kedua lapisan cairan setelah penambahan pereaksi Iodium 0,05 M B dan D: Warna kuning pucat jika larutan A dikocok


(21)

Lampiran 16. (Lanjutan) Hasil Identifikasi Agar Hasil Isolasi

II. Menggunakan Pereaksi Asam Klorida dan Barium Klorida a. Agar dengan Proses Pemutihan

b. Agar Tanpa Proses Pemutihan

A B


(22)

Lampiran 16. (Lanjutan) Hasil Identifikasi Agar Hasil Isolasi

III.Metode Pendinginan

a. Agar dengan Proses Pemutihan

A

b. Agar Tanpa Proses Pemutihan

Keterangan : A dan B: Bila setelah dipanaskan kemudian didinginkan antara 30º sampai 35ºC dapat membentuk gel.


(23)

Lampiran 17. Perhitungan Penetapan Susut Pengeringan Agar Hasil Isolasi dengan Proses Pemutihan

Keterangan:

W1 = Bobot botol timbang dan sampel sebelum pengeringan dikurangi bobot botol timbang

W2 = Bobot botol timbang dan sampel setelah pengeringan dikurangi bobot botol timbang

I. W1 = 0,516 g W2 = 0,471 g

II. W1 = 0,509 g W2 = 0,465 g

III. W1 = 0,501 g W2 = 0,457 g


(24)

Lampiran 18. Perhitungan Penetapan Susut Pengeringan Agar Hasil Isolasi tanpa Proses Pemutihan

Keterangan:

W1 = Bobot botol timbang dan sampel sebelum pengeringan dikurangi bobot botol timbang

W2 = Bobot botol timbang dan sampel setelah pengeringan dikurangi bobot botol timbang

I. W1 = 0,523 g W2 = 0,477 g

II. W1 = 0,526 g W2 = 0,483 g

III. W1 = 0,528 g W2 = 0,484 g


(25)

Lampiran 19. Perhitungan Penetapan Kadar Abu Total Agar Hasil Isolasi dengan Proses Pemutihan

I. Berat abu = 0,026g

Berat sampel = 0,554g

II. Berat abu = 0,025 g

Berat sampel = 0,550g

III. Berat abu = 0,026g Berat sampel = 0,0536g


(26)

Lampiran 20. Perhitungan Penetapan Kadar Abu Total Agar Hasil Isolasi tanpa Proses Pemutihan

I. Berat abu = 0,025g

Berat sampel = 0,531g

II. Berat abu = 0,023g

Berat sampel = 0,511g

III. Berat abu = 0,026g


(27)

Lampiran 20 . Perhitungan Penetapan Kadar Abu Tak Larut Asam Agar Hasil Isolasi dengan Proses Pemutihan

I. Berat abu = 0,003g

Berat sampel = 0,554g

II. Berat abu = 0,002g

Berat sampel = 0,550g

III. Berat abu = 0,003g Berat sampel = 0,536g


(28)

Lampiran 21. Perhitungan Penetapan Kadar Abu Tak Larut Asam Agar Hasil Isolasi tanpa Proses Pemutihan

I. Berat abu = 0,003g

Berat sampel = 0,532g

II. Berat abu = 0,003g

Berat sampel = 0,550g

III. Berat abu = 0,003g Berat sampel = 0,557g


(29)

Lampiran 22. Perhitungan Penetapan Kadar Sulfat Agar Hasil Isolasi dengan Proses Pemutihan

I. Berat abu = 0,024g

Berat sampel = 1,007g

II. Berat abu = 0,024g

Berat sampel = 1,010g

III. Berat abu = 0,025g


(30)

Lampiran 23. Perhitungan Penetapan Kadar Sulfat Agar Hasil Isolasi tanpa Proses Pemutihan

I. Berat abu = 0,025g

Berat sampel = 1,026g

II. Berat abu = 0,028g

Berat sampel = 1,043g

III. Berat abu = 0,027g


(31)

Lampiran 24. Perhitungan Viskositas Agar Hasil Isolasi dengan Proses Pemutihan

Nomor spindel = 1 atau 61

Kecepatan = 12

Faktor = 5

Viskositas (dalam centipoise (Cps)) = Pembacaan x Faktor

I. Pembacaan = 2 Faktor = 5

Viskositas = 2 x 5 = 10 Cps II. Pembacaan = 2

Faktor = 5

Viskositas = 2 x 5 = 10 Cps III. Pembacaan = 2

Faktor = 5


(32)

Lampiran 25. Perhitungan Viskositas Agar Hasil Isolasi tanpa Proses Pemutihan

Nomor spindel = 1 atau 61

Kecepatan = 12

Faktor = 5

Viskositas (dalam centipoise (Cps)) = Pembacaan x Faktor

I. Pembacaan = 2 Faktor = 5

Viskositas = 2 x 5 = 10 Cps II. Pembacaan = 2

Faktor = 5

Viskositas = 2 x 5 = 10 Cps III. Pembacaan = 2

Faktor = 5


(33)

Lampiran 26. Bagan Pengujian Pertumbuhan Bakteri

Diambil dengan jarum ose

Disuspensikan dalam 10 ml larutan Nutrient Broth Diukur kekeruhan larutan pada panjang gelombang 580 nm sampai diperoleh transmitan 25%

Dipipet 0,1 m l ke dalam cawan petri

Dituang 15 ml NA steril cair (±45°C), dihomogenkan,

dibiarkan memadat

Diinkubasi pada suhu 35°C selama 18-24 jam

Diamati homogenitas pertumbuhannya pada cawan petri

Dicuci kaca objek dengan alkohol 70%, difiksasi Diteteskan 1 tetes akuades pada kaca objek Diambil koloni bakteri hasil inkubasi dari cawan petri dengan jarum ose steril, disuspensikan, difiksasi

Ditambahkan 1 tetes gentian violet

Ditambahkan 1 tetes larutan lugol, diratakan, difiksasi

Dicuci kaca objek dengan alkohol 70% sampai tetesan terakhir tidak berwarna, dikeringkan

Ditetesi 1 tetes safranin, biarkan 15-30 detik, dicuci larutan safranin dengan akuades steril, difiksasi Ditetesi dengan 1 tetes minyak imersi

Diamati di bawah mikroskop pada pembesaran 100x Stok kultur

Suspensi bakteri

Hasil inkubasi

Warna ungu (+) Gram positif

Warna merah muda (+) Gram negatif


(34)

Lampiran 27. Hasil Pengujian Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aureus

A B

C D

E F

Keterangan : A & B : Media Nutrient Agar Standar

C & D : Media agar dengan proses pemutihan dan nutrient broth (F1

E & F : Media agar dengan proses pemutihan dan beef powderserta peptone (F

)


(35)

Lampiran 27. (Lanjutan) Hasil Pengujian Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aureus

G H

I J

Keterangan : G & H : Media agar tanpa proses pemutihan dan nutrient broth (F3

I & J : Media agar tanpa proses pemutihan dan beef )


(36)

Lampiran 28. Hasil Pengujian Pertumbuhan Bakteri Eschericia coli

A B

C D

E F

Keterangan : A & B : Media Nutrient Agar Standar

C & D : Media agar dengan proses pemutihan dan nutrient broth (F1

E & F : Media agar dengan proses pemutihan dan beef powder serta peptone (F

)


(37)

Lampiran 28. (Lanjutan) Hasil Pengujian Pertumbuhan Bakteri Eschericia coli

G H

I J

Keterangan : G & H : Media agar tanpa proses pemutihan dan nutrient broth (F3

I & J : Media agar tanpa proses pemutihan dan beef )


(38)

Lampiran 29. Hasil Pewarnaan Gram dan Pengamatan Bakteri Staphylococcus aureus secara Mikroskopik

A B

C D

E F

Keterangan : A & B : Media Nutrient Agar Standar

C & D : Media agar dengan proses pemutihan dan nutrient Broth (F1

E & F : Media agar dengan proses pemutihan dan beef powder serta peptone (F

)


(39)

Lampiran 29. (Lanjutan) Hasil Pewarnaan Gram dan Pengamatan Bakteri Staphylococcus aureus secara Mikroskopik

G H

I J

Keterangan : G & H : Media agar tanpa proses pemutihan dan nutrient broth (F3

I & J : Media agar tanpa proses pemutihan dan beef )


(40)

Lampiran 30. Hasil Pewarnaan Gram dan Pengamatan Bakteri Eschericia coli secara Mikroskopik

A B

C D

E F

Keterangan : A & B : Media Nutrient Agar Standar

C & D : Media agar dengan proses pemutihan dan nutrient broth (F1

E & F : Media agar dengan proses pemutihan dan beef )


(41)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, A. (2004). Pengaruh Penambahan Khitosan terhadap Mutu Agar Bakto. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor.

Anggadiredja, J.T., Zatnika A., Purwoto, H., dan Istini, S. (2006). Rumput Laut. Jakarta: Penebar Swadaya. Hal. 48-52.

Angkasa, W.I., Purwoto, H., dan Anggadiredja, J.T. (2011). Teknik Budidaya Rumput Laut. Rumput Laut. Tanggal akses: 18 Juli 2014.

Armisen, R. and Galatas, F. (2000). Agar in Hand Book of Hydrocolloid. Cambridge: Woodhead Publishing Limited. Hal. 33-37.

Aslan, L.M. (1998). Budidaya Rumput Laut. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Hal. 11-19.

Beisher, L. (1991). Microbiology in Practice. A self Instructional Laboratory Course. New York: Ed Harper Collins Publisher. Hal. 31.

Dawes, C.J. (1981). Marine Botany. Florida: A Wiley Interscience Publication. Hal. 41, 213.

Distantina, S., Devinta, R.A. dan Lidya, E.F. (2008). Pengaruh Konsentrasi dan Jenis Larutan Perendaman terhadap Kecepatan Ekstraksi dan Sifat Gel Agar-Agar dari Rumput Laut Gracilaria verrucosa. Jurnal Rekayasa Proses. Tanggal akses: 24 Desember 2013.

Distantina, S., Fadilah, Rochmadi, Fahrurrozi, M., dan Wiratni. (2010). Proses Ekstraksi Karagenan dari Eucheuma cottonii. Rekayasa Kimia dan Proses. Tanggal akses: 24 Desember 2013.

Depkes RI. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 657, 712, 746.

Depkes RI. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 69, 848, 1124.


(42)

Irawati, A. (1994). Pengaruh Jumlah Air dan Waktu Ekstraksi terhadap Rendemen dan Mutu Tepung Agar-Agar dari Rumput Laut Gracilaria sp. Skripsi. Program Studi Pengolahan Hasil Perikanan Fakultas Perikanan IPB. Tanggal akses: 1 April 2014.

Irianto, K. (2006). Mikrobiologi Menguak Dunia Mikroorganisme. Jilid Satu. Bandung: Penerbit Yrama Widya. Hal. 16-18, 21-22.

Jawetz, E. (1986). Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan. Edisi XVI. Diterjemahkan oleh Gerard Bonang. Jakarta: EGC Press. Hal. 336-384. Jawetz, E., Menick, J.L., dan Adelberg, E.A. (2001). Mikrobiologi Kedokteran.

Edisi Kedua puluh. Jakarta: Penerbit ECG. Hal. 211, 249

Junaidi, R. (2006). Kajian Penggunaan NaOCl dan Kaporit pada Pemucatan Natrium Alginat dari Rumput Laut Cokelat (Sargassum polycystum). Skripsi. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tanggal akses: 3 Maret 2014.

Kadi, A. (2004). Potensi Rumput Laut di Beberapa Perairan Pantai Indonesia. Oseana. 29 (4) : 25 – 26.

Lay, B.W. (1996). Analisis Mikroba di Laboratorium. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal. 57-58, 109.

Melliawati, R. (2009). Eschericia coli dalam Kehidupan Manusia. Bio Trends. 4:1. Tanggal akses: 19 Mei 2014

Murdinah, Dina, F., dan Subaryono. (2008). Pembuatan Bakto Agar dari Rumput Laut Gelidium rigidum untuk Media Tumbuh bagi Mikroorganisme. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. 1 : 3. Tanggal akses: 9 November 2013.

Murdinah, Siti, N.K.A, Nurhayati dan Subaryono. (2012). Membuat Agar dari Rumput Laut Gracilaria sp. Jakarta: Penebar Swadaya. Hal. 12, 21, 24-27. Oxoid. (1998). The Oxoid Manual. Edisi 8. Hal. 179. Tanggal akses: 28 Agustus

2014.

Pelczar, M.J., dan Chan, E.C.S. (2006). Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Penerbit UI Press. Hal. 138-140.

Polifrone, M., De Masi, F., dan Gargiulo., M. G. (2006). Alternative Pathways in the Life History of Gracilaria gracilis (Gracilariales, Rhodophyta) from North Eastern Sicily (Italy). Journal of Botanical Sciences. Tanggal akses: 9 Maret 2014


(43)

Pratiwi, S.T. (2008). Mikrobiologi Farmasi. Yogyakarta: Penerbit Erlangga. Hal: 18, 106-108, 112-114, 144.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. (1991). Teknologi Pasca Panen Rumput Laut. Jakarta: Departemen Kelautan. Hal. 111.

Ramadhani, A. (2012). Karakterisasi Simplisia dan Isolasi serta Identifikasi Agar-Agar dari Rumput Laut Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus. Skripsi. Medan: Fakultas Farmasi USU.

Romimohtarto, K., dan Juwana, S. (2001). Biota Laut: Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Jakarta: Penerbit Djambatan. Hal. 410.

Stanier, R.Y., Adelberg, E.A. dan Ingraham, J.L. (1982). Dunia Mikroba I. Penerjemah: Agustin Wydia. Jakarta: Penerbit Bhratara Karya Aksara. Hal. 23-25.

Trono, G.C., dan Ganzon, F.E.T. (1988). Philippine Seaweeds. Manila: National Book Store, Inc. Hal. 174-175.

WHO. (1992). Quality Control Methods for Medicinal Plant Materials. Geneva: World Health Organization. Hal. 31.

Winarno, F.G. (1990). Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Jakarta: Sinar Harapan. Hal. 59, 60-63, 67-68.


(44)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang dilakukan adalah metode eksperimental. Tahap penelitian meliputi karakterisasi simplisia; isolasi agar; karakterisasi agar yaitu uji kualitatif, penetapan susut pengeringan, penetapan kadar abu total, penetapan kadar abu tak larut asam, penetapan kadar sulfat, nilai viskositas; pembuatan media pertumbuhan bakteri, pengujian mikrobiologi yaitu dengan uji kualitatif untuk melihat homogenitas pertumbuhannya di cawan petri dengan teknik penuangan pada bakto agar hasil isolasi yang dibandingkan dengan bakto agar komersial dengan menumbuhkan bakteri Staphylococcus aureus dan bakteri Eschericia coli dengan penambahan nutrient broth dan beef powder serta peptone, pewarnaan Gram dan pengamatan mikroskopik bakteri. Penelitian dilakukan di Laboratorium Farmakognosi, Laboratorium Mikrobiologi, Laboratorium Farmasi Fisik, Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara.

3.1 Alat-Alat

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi alat-alat gelas laboratorium, aluminium foil, blender (Philips), botol timbang dangkal bertutup, cawan porselin, desikator, indikator universal, inkubator, kaca objek, kaca penutup, kain blacu, krus tang, labu bersumbat, lemari pengering, lemari pendingin (Toshiba), hot plate (Fissons), mikroskop (Olympus), mortir dan stamper, neraca listrik (Metler Toledo), oven listrik (Memmert), penangas air,


(45)

pipet mikro, seperangkat alat destilasi penetapan kadar air, spatula dan termometer.

3.2 Bahan-Bahan

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah talus rumput laut Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus, air suling, asam asetat, asam klorida, asam sulfat, bakteri Eschericia coli (ATCC 25922), bakteri Staphylococcus aureus

(ATCC 25923), barium klorida, beef powder, etanol 70%, etanol 96%, gentian

violet, hidrogen peroksida, iodium, kalsium hipoklorit, minyak imersi, natrium karbonat, Nutrient Agar (Oxoid), nutrient broth, peptone, safranin dan toluene.

3.3 Penyiapan Simplisia

3.3.1 Pengumpulan Bahan Tumbuhan

Pengumpulan bahan dilakukan secara purposif yaitu tanpa membandingkan dengan tumbuhan dari daerah lain. Bahan tumbuhan yang digunakan adalah talus rumput laut Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus yang diperoleh dari tambak Bapak Rusdi Agin, desa Sei Meran, dusun Sei Tiram, kecamatan Pangkalan Susu, kabupaten Langkat, provinsi Sumatera Utara dan dilakukan pada bulan Juli 2013. Gambar talus segar rumput laut dapat dilihat pada Lampiran 1, halaman 58.


(46)

Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus. Hasil identifikasi tumbuhan dapat dilihat pada Lampiran 2, halaman 59.

3.3.3 Pembuatan Simplisia Rumput Laut

Sampel yang telah diperoleh, dibersihkan dari kotoran dan sisa-sisa karang yang melekat lalu dicuci dengan air mengalir sampai bersih, ditiriskan dan ditimbang beratnya. Sampel dikeringkan, di lemari pengering hingga kering, dimana jika simplisia tersebut diremas akan hancur, kemudian ditimbang sebagai berat kering. Berat kering adalah 660 g. Simplisia diblender sampai menjadi serbuk, kemudian serbuk simplisia disimpan dalam kantung plastik. Gambar serbuk simplisia dapat dilihat pada Lampiran 3, halaman 60.

3.4 Pembuatan Pereaksi (Depkes RI, 1979) 3.4.1 Larutan Asam Asetat 3% (v/v)

Larutan asam asetat sebanyak 3 ml dicampurkan ke dalam air suling, dicukupkan sampai 100ml.

3.4.2 Larutan Asam Klorida 0,2 N (v/v)

Larutan asam klorida 12 N sebanyak 1,66 ml dicampurkan ke dalam air suling, dicukupkan sampai 100ml.

3.4.3 Larutan Asam Sulfat 0,25% (v/v)

Larutan asam sulfat sebanyak 2,5 ml dicampurkan ke dalam air suling, dicukupkan sampai 1000ml.

3.4.4 Larutan Barium Klorida 6,1% (b/v)

Barium klorida sebanyak 6,1 g dilarutkan ke dalam air suling sampai 100ml.


(47)

3.4.5 Larutan Iodium 0,05 M

Iodium sebanyak 6,345 g dilarutkan dalam larutan 9 g kalium iodida yang telah dicampur dalam 100ml air suling, lalu diencerkan dengan air suling dicukupkan sampai 1000ml.

3.4.6 Larutan Hidrogen Peroksida 10% (v/v)

Larutan hidrogen peroksida 50% dilarutkan ke dalam air suling dicukupkan sampai 500ml.

3.4.7 Larutan Kalsium Hipoklorit 0,5% (v/v)

Kalsium hipoklorit sebanyak 5 g dilarutkan ke dalam air suling dicukupkan sampai 1000ml.

3.4.8 Larutan Natrium Karbonat 3% (b/v)

Natrium karbonat sebanyak 3 g dilarutkan ke dalam air suling dicukupkan sampai 100ml.

3.5 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia 3.5.1 Pemeriksaan Makroskopik

Pemeriksaan makroskopik simplisia dilakukan dengan mengamati bentuk talus, bentuk percabangan dan warna talus. Gambar simplisia dapat dilihat pada Lampiran 4, halaman 61.


(48)

3.5.3 Penetapan Kadar Air

Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Azeotropi (destilasi toluen). Alat terdiri dari labu alas bulat 500ml, alat penampung, pendingin, tabung penyambung dan tabung penerima.

Cara penetapan:

Sebanyak 200 ml toluen dan 2 ml air suling dimasukkan ke dalam labu alas bulat, didestilasi selama 2 jam. Toluen didinginkan dan volume air pada tabung penerima dibaca. Sebanyak 5 gram serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama dimasukkan ke dalam labu, lalu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Toluen yang mulai mendidih, kecepatan tetesannya diatur, kurang lebih 2 tetes tiap detik, hingga sebagian besar air tersuling. Kecepatan penyulingan dinaikkan hingga 4 tetes tiap detik. Toluen yang telah 2 jam didestilasi, dibiarkan mendingin, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluen yang telah dijenuhkan. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin sampai suhu kamar. Air dan toluen telah memisah sempurna, selanjutnya volume air yang dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen (WHO,1992). Perhitungan kadar air dapat dilihat pada Lampiran 6, halaman 63.

3.5.4 Penetapan Kadar Sari yang Larut dalam Air

Sebanyak 5 g serbuk simplisia dimaserasi selama 24 jam dalam 100ml air-kloroform (2,5 ml air-kloroform dalam air suling sampai 1 liter) dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam, kemudian disaring. Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan


(49)

dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105ºC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam air dihitung terhadap bahan (Depkes RI, 1995). Perhitungan kadar sari yang larut dalam air dapat dilihat pada Lampiran 7, halaman 64.

3.5.5 Penetapan Kadar Sari yang Larut dalam Etanol

Sebanyak 5 g serbuk simplisia dimaserasi selama 24 jam dalam 100ml etanol 96% dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Disaring cepat untuk menghindari penguapan etanol. Sejumlah 20 ml filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105 ºC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam etanol 96% dihitung terhadap bahan (Depkes RI, 1995). Perhitungan kadar sari larut dalam etanol dapat dilihat pada Lampiran 8, halaman 65.

3.5.6 Penetapan Kadar Abu Total

Sebanyak 2 g serbuk yang telah digerus dan ditimbang seksama dimasukan dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, pijaran dilakukan pada suhu 600ºC selama 3 jam kemudian didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995). Perhitungan kadar abu total dapat dilihat pada Lampiran 9, halaman 66.


(50)

asam dihitung terhadap bahan (Depkes RI, 1995). Perhitungan kadar abu tidak larut asam dapat dilihat pada Lampiran 10, halaman 67.

3.6 Isolasi Agar dengan Proses Pemutihan

Metode isolasi agar dari rumput laut dilakukan melalui tahap-tahap berikut (Ramadhani, 2012):

3.6.1 Tahap Praekstraksi

Praekstraksi meliputi 2 tahap yaitu pemutihan dan pengasaman.

Caranya : rumput laut yang sudah kering diblender, kemudian direndam dalam larutan kalsium hipoklorit 0,5% sambil berkali-kali diaduk dan larutan kalsium hipoklorit diganti 1 jam sekali selama 6 jam, kemudian dicuci bersih dengan air yang mengalir sampai bau kalsium hipoklorit hilang, ditiriskan dan dikeringkan di oven selama dua hari. Rumput laut yang telah kering, diasamkan dengan larutan asam sulfat 0,25% selama satu jam lalu dicuci dengan air mengalir. Pencucian dilakukan sampai pH = 7 (pH netral) lalu ditiriskan, kemudian dikeringkan di lemari pengering selama dua hari sampai benar-benar kering.

3.6.2 Tahap Ekstraksi

Ekstraksi menggunakan perlakuan pH dan waktu yang optimal dari penelitian sebelumnya yaitu pH = 5 dan waktu ekstraksi selama 45 menit.

Caranya : serbuk simplisia rumput laut ditimbang sebanyak 10 g, dimasukkan dalam gelas beker, ditambahkan air suling sebanyak 500ml lalu didihkan di atas hot plate. Asam asetat 3% ditambahkan pada saat mendidih (suhu 90-100ºC) untuk memperoleh pH 5, diekstraksi selama 45 menit. Percobaan dilakukan sebanyak dua kali. Pengecekan pH dilakukan dengan menggunakan indikator universal. Pada proses ekstraksi dilakukan pengadukan setiap 10 menit.


(51)

Hasil ekstraksi disaring dengan kain blacu dan diperas secara perlahan-lahan. Ampas dibuang dan filtrat ditampung dalam gelas beker, lalu segera dinetralkan dengan penambahan natrium karbonat 3%. Pengecekan pH dilakukan dengan menggunakan indikator universal. Filtrat dipanaskan sampai mendidih kemudian dituang ke dalam cetakan. Agar yang berada di dalam cetakan didiamkan beberapa menit hingga memadat, kemudian dibekukan selama 7 jam dalam freezer.

3.6.4 Tahap Pengeringan dan Penggilingan

Agar yang telah beku dikeluarkan dan dibiarkan pada suhu kamar sampai air mencair lalu diperas dengan kain blacu secara perlahan-lahan. Air perasan dibuang sedangkan agar diletakkan di atas aluminium foil dan dikeringkan dalam oven pada suhu 50ºC. Agar yang telah kering akan berupa lembaran-lembaran, kemudian dipotong-potong dan digiling dengan blender, lalu diayak. Berat agar ditimbang dan dimasukkan ke dalam wadah. Bagan isolasi agar dapat dilihat pada Lampiran 11, halaman 68 dan 69. Perhitungan rendemen agar dapat dilihat pada Lampiran 12, halaman 70 dan 71.

3.7 Isolasi Agar tanpa Proses Pemutihan

Metode isolasi agar dari rumput laut dilakukan melalui tahap-tahap berikut (Ramadhani, 2012):


(52)

3.7.2 Tahap Ekstraksi

Ekstraksi menggunakan perlakuan pH dan waktu yang optimal dari penelitian sebelumnya yaitu pH = 5 dan waktu ekstraksi selama 45 menit.

Caranya : serbuk simplisia rumput laut ditimbang sebanyak 10 g, dimasukkan dalam gelas beker, ditambahkan air suling sebanyak 500ml lalu didihkan di atas hot plate. Asam asetat 3% ditambahkan pada saat mendidih (suhu 90-100ºC) untuk memperoleh pH 5, diekstraksi selama 45 menit. Percobaan dilakukan sebanyak dua kali. Pengecekan pH dilakukan dengan menggunakan indikator universal. Pada proses ekstraksi dilakukan pengadukan setiap 10 menit.

3.7.3 Tahap Pencetakan dan Pendinginan

Hasil ekstraksi disaring dengan kain blacu dan diperas secara perlahan-lahan. Ampas dibuang dan filtratnya ditampung dalam gelas beker, lalu segera dinetralkan dengan penambahan natrium karbonat 3%. Pengecekan pH dilakukan dengan menggunakan indikator universal. Filtrat dipanaskan sampai mendidih kemudian dituang ke dalam cetakan. Agar yang berada di dalam cetakan didiamkan beberapa menit hingga memadat, kemudian dibekukan selama 7 jam dalam freezer.

3.7.4 Tahap Pengeringan dan Penggilingan

Agar yang telah beku dikeluarkan dan dibiarkan pada suhu kamar sampai air mencair lalu diperas dengan kain blacu secara perlahan-lahan. Air perasan dibuang sedangkan agar diletakkan di atas aluminium foil dan dikeringkan dalam oven pada suhu 50ºC. Agar yang telah kering akan berupa lembaran-lembaran, kemudian dipotong-potong dan digiling dengan blender lalu diayak. Berat agar ditimbang dan dimasukkan ke dalam wadah. Bagan isolasi agar dapat dilihat pada


(53)

Lampiran 13, halaman 72 dan 73. Perhitungan rendemen agar dapat dilihat pada Lampiran 14, halaman 74 dan 75.

3.8 Pemeriksaan Karakteristik Agar 3.8.1 Pemeriksaan Organoleptis

Pemeriksaan agar hasil isolasi secara organoleptis meliputi bentuk/konsistensi, warna dan bau yang diamati secara visual. Gambar serbuk agar dapat dilihat pada Lampiran 15, halaman 76.

3.8.2 Identifikasi Agar Hasil Isolasi secara Kualitatif

Pemeriksaan agar yang telah diperoleh diidentifikasi secara kualitatif sebagai berikut (Depkes RI, 1995):

a. Serbuk agar sebanyak 100 mg dilarutkan ke dalam 50 ml air suling dan dipanaskan, dibiarkan sampai dingin pada suhu kamar. Sebanyak 1 ml diambil dari larutan ini dan ditambahkan 3 ml air suling dan iodium 0,05 M sehingga terjadi warna coklat diantara kedua lapisan cairan. Larutan akan berwarna kuning pucat jika cairan dikocok.

b. Serbuk agar sebanyak 100 mg dilarutkan ke dalam 50 ml air suling dan dipanaskan, dibiarkan sampai dingin pada suhu kamar. Sebanyak 5 ml diambil, dilarutkan dalam 0,5 ml asam klorida dan dipanaskan di atas penangas air selama 30 menit, lalu ditambahkan 1 ml barium klorida 6,1%


(54)

tangas air, tidak mencair pada suhu dibawah 80ºC. Hasil uji kualitatif dapat dilihat pada Lampiran 16, halaman 77-79.

3.8.3 Penetapan Susut Pengeringan Agar Hasil Isolasi

Sebanyak 1 g serbuk agar ditimbang seksama dalam botol timbang dangkal bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 105ºC selama 30 menit dan telah ditara. Zat diratakan dalam botol timbang hingga merupakan lapisan setebal 5-10 mm, dimasukkan ke dalam lemari pengering, tutupnya dibuka lalu dikeringkan pada suhu 105ºC hingga bobot tetap. Botol dibiarkan dalam keadaan tertutup mendingin sebelum setiap pengeringan di dalam eksikator hingga suhu kamar. Susut pengeringan dihitung terhadap bahan awal (Ditjen POM, 1978). Perhitungan susut pengeringan dapat dilihat pada Lampiran 17 dan 18, halaman 80 dan 81.

3.8.4 Penetapan Kadar Abu Total Agar Hasil Isolasi

Sebanyak 2 g serbuk agar yang telah digerus dan ditimbang seksama dimasukan dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, pijaran dilakukan pada suhu 600ºC selama 3 jam kemudian didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan (Depkes RI, 1995). Perhitungan penetapan kadar abu total dapat dilihat pada Lampiran 19 dan 20, halaman 82 dan 83.

3.8.5 Penetapan Kadar Abu Tak Larut Asam Agar Hasil Isolasi

Abu yang diperoleh dalam penetapan kadar abu total dididihkan dalam 25 ml asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring bebas abu lalu dipijar sampai bobot


(55)

asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995). Perhitungan penetapan kadar abu tak larut asam dapat dilihat pada Lampiran 21 dan 22, halaman 84 dan 85.

3.8.6 Penetapan Kadar Sulfat Agar Hasil Isolasi

Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan (1991), kadar sulfat ditentukan dengan cara sebagai berikut: serbuk agar ditimbang sebanyak 1 g dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer, kemudian ditambahkan 50 ml asam klorida 0,2 N kemudian direfluks selama 1 jam. Sebanyak 20 ml larutan hidrogen peroksida 10% ditambahkan dan refluks dilanjutkan selama 5 jam sampai larutan benar-benar jernih. Larutan kemudian dipindahkan ke dalam gelas beker dan dipanaskan sampai mendidih sambil terus diaduk. Sebanyak 10 ml barium klorida

3.8.7 Viskositas Agar Hasil Isolasi

10% ditambahkan, kemudian endapan yang terbentuk disaring dengan kertas Whatman no.1 dan dicuci dengan air suling mendidih hingga bebas klorida. Kertas saring dikeringkan ke dalam oven, kemudian diabukan pada suhu 900ºC sampai diperoleh abu berwarna putih. Abu didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang sampai berat konstan. Perhitungan penetapan kadar sulfat dapat dilihat pada Lampiran 23 dan 24, halaman 86 dan 87.

Viskositas agar diukur dengan viskosimeter Brookfield (Brookfield Engineering Laboratories). Posisi spindel dalam larutan panas diatur sampai tepat, viskometer dihidupkan dan nilai viskositas diketahui dengan pembacaan


(56)

3.9 Sterilisasi Alat

Alat-alat yang digunakan dalam uji pertumbuhan bakteri, disterilkan terlebih dahulu sebelum dipakai. Alat-alat gelas disterilkan didalam oven pada suhu 170°C selama 1 jam. Media disterilkan di autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit. Jarum ose dan pinset dengan lampu bunsen (Lay,1996).

3.10 Pembuatan Media 3.10.1 Beef Powder Cara pembuatan:

Sebanyak 60 g daging sapi dicuci sampai bersih dengan air mengalir, kemudian diblender halus dan dikeringkan dalam oven pada suhu 60°C. Serbuk daging sapi yang sudah kering, diblender halus kemudian diayak. Hasil ekstrak daging sapi sebanyak 25 g.

3.10.2 Media Nutrient Broth (NB)

Komposisi : ‘Lab – Lemco’ Powder 1,0 g Yeast extract 2,0 g

Peptone 5,0 g

NaCl 5,0 g

Cara pembuatan:

Sebanyak 13 g sediaan NB ditimbang, disuspensikan kedalam air suling 1000 ml, lalu dipanaskan sampai larut sempurna. Media dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan disterilkan di dalam autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit (Oxoid, 1998).

3.10.3 Media Nutrient Agar (NA) Standar


(57)

Peptone 5,0 g

NaCl 5,0 g

Agar 15,0 g

Cara pembuatan :

Sebanyak 2,8 g sediaan NA ditimbang, disuspensikan ke dalam air suling 100 ml, lalu dipanaskan sampai larut sempurna. Media dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan disterilkan di dalam autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit (Oxoid, 1998).

3.10.4 Media Agar Formula I (F1

Komposisi : Nutrient Broth 13,0 g )

Agar (dengan pemutihan) 15,0 g Cara pembuatan:

Sebanyak 2,3 g sediaan NA ditimbang, disuspensikan ke dalam air suling 100 ml, lalu dipanaskan sampai larut sempurna. Media dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan disterilkan di dalam autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit (Oxoid, 1998).

3.10.5 Media Agar Formula II (F2

Komposisi : Beef powder 3,0 g

)

Peptone 5,0 g

Agar (dengan pemutihan) 15,0 g Cara pembuatan:


(58)

3.10.6 Media Agar Formula III (F3

Komposisi : Nutrient Broth 13,0 g )

Agar (tanpa pemutihan) 15,0 g Cara pembuatan:

Sebanyak 2,3 g sediaan NA ditimbang, disuspensikan ke dalam air suling 100 ml, lalu dipanaskan sampai larut sempurna. Media dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan disterilkan di dalam autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit (Oxoid, 1998).

3.10.7 Media Agar Formula IV (F4

Komposisi : Beef powder 3,0 g

)

Peptone 5,0 g

Agar (tanpa pemutihan) 15,0 g Cara pembuatan:

Sebanyak 2,8 g sediaan NA ditimbang, disuspensikan ke dalam air suling 100 ml, lalu dipanaskan sampai larut sempurna. Media dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan disterilkan di dalam autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit (Oxoid, 1998).

3.11 Pembuatan Agar Miring

Sebanyak 10 ml media NA yang sudah dicairkan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian diletakkan dengan posisi miring dengan kemiringan lebih kurang 45oC, ditutup mulut tabung reaksi dengan kapas dan dibiarkan memadat (Depkes RI, 1995).


(59)

3.12 Pembuatan Stok Kultur Bakteri

Koloni bakteri diambil dengan menggunakan jarum ose steril, lalu ditanam pada media NA miring dengan cara menggores. Stok kultur bakteri diinkubasi dalam inkubator pada suhu 35-37oC selama 18-24 jam (Depkes RI, 1995).

3.13 Penyiapan Inokulum Bakteri

Koloni bakteri diambil dari stok kultur dengan jarum ose steril lalu disuspensikan dalam tabung reaksi yang berisi 10 ml larutan NB. Kekeruhan larutan diukur pada panjang gelombang 580 nm sampai diperoleh transmitan 25% (Depkes RI, 1995).

3.14 Metode Pengujian Mikrobiologi 3.14.1 Pengujian Pertumbuhan Bakteri

Sebanyak 0,1 ml inokulum dimasukkan ke dalam cawan petri, kemudian ditambahkan 15 ml media NA steril yang telah dicairkan dan ditunggu hingga suhu mencapai 45oC, dihomogenkan dan dibiarkan sampai media memadat.

Bakteri diinkubasi pada suhu ±35OC selama 18-24 jam. Pengujian dilakukan sebanyak

dua kali (Depkes RI, 1995). Bagan hasil pengujian pertumbuhan bakteri dapat

dilihat pada Lampiran 27, halaman 90. Gambar hasil pengujian pertumbuhan bakteri dapat dilihat pada Lampiran 28 dan 29, halaman 91-93.


(60)

tetes gentian violet ditambahkan, kemudian tambahkan 1 tetes larutan lugol, ratakan lalu keringkan dengan cara difiksasi. Kaca objek dicuci dengan alkohol 70% sampai tetesan terakhir tidak berwarna, lalu dikeringkan. Sebanyak 1 tetes safranin ditambahkan, biarkan 15-30 detik, dicuci larutan safranin dengan akuades steril, keringkan dengan cara difiksasi (Waluyo, 2010).

3.14.3 Pengamatan Mikroskopik Bakteri

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap bakteri. Bakteri yang telah dilakukan pewarnaan Gram, ditetesi dengan minyak imersi kemudian diamati di bawah mikroskop. Warna dan bentuk bakteri dilihat pada mikroskop dengan pembesaran 100 kali. Bakteri Gram positif berwarna ungu, sedangkan bakteri Gram negatif berwarna merah muda (Waluyo, 2010). Gambar dapat dilihat pada Lampiran 30 dan 31, halaman 94-98.


(61)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan

Hasil identifikasi tumbuhan yang dilakukan di Pusat Penelitian

Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta, Indonesia yaitu jenis Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus, divisi Rhodophyta, kelas

Florideophyceae, bangsa Gracilariales, suku Gracilaraceae, marga Gracilaria.

4.2 Hasil Karakterisasi Simplisia

Hasil karakteristik yang diperoleh mempunyai sedikit perbedaan dengan hasil karakterik yang telah dilakukan sebelumnya oleh Ramadhani (2012). Hal ini kemungkinan disebabkan karena adanya perbedaan lokasi pengumpulan bahan tumbuhan serta proses pembuatan simplisia yaitu pada pencucian dan pengeringan.

Hasil pemeriksaan makroskopis simplisia Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus yaitu simplisia berupa talus dengan ujung mengecil, percabangan berseling tidak beraturan, berwarna coklat kemerahan dan sedikit berbau.

Hasil pemeriksaan mikroskopis serbuk simplisia Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus, terlihat adanya sel-sel parenkim berbentuk polygonal tidak


(62)

Tabel 3.1 Hasil Karakterisasi Simplisia Rumput Laut Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus

No. Parameter Hasil karakterisasi (Ramadhani, 2012)

Hasil karakterisasi (Hasanah, 2014) 1 Pemeriksaan makroskopis −Talus dengan

ujung mengecil −Percabangan

berseling tidak beraturan −Berwarna coklat

kemerahan −Sedikit berbau

−Talus dengan ujung mengecil −Percabangan

berseling tidak beraturan −Berwarna coklat

kemerahan −Sedikit berbau 2 Pemeriksaan mikroskopis −Sel-sel parenkim

−Sel-sel parenkim berisi pigmen berwarna merah −Sel-sel propagule

−Sel-sel parenkim −Sel-sel parenkim

berisi pigmen berwarna merah Sel-sel propagule

3 Penetapan kadar air 9, 32 % 8,63 %

4 Penetapan kadar sari larut dalam air

3,53 % 3,91 %

5 Penetapan kadar sari larut dalam etanol

0,63 % 0,93 %

6 Penetapan kadar abu total 5,14 % 8,04 %

7 Penetapan kadar abu tidak larut asam

0,55 % 0,84 %

Hasil pemeriksaan karakterisasi simplisia rumput laut diperoleh kadar air 8,63%, kadar sari yang larut dalam air 3,91%, kadar sari yang larut dalam etanol 0,93%, kadar abu total 8,04%, kadar abu tidak larut asam 0,84%. Penetapan kadar air dilakukan untuk memberikan batasan kandungan air yang masih dapat ditolerir untuk menjaga stabilitasnya, karena air merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroba dan jamur. Penetapan kadar sari dilakukan untuk mengetahui kandungan senyawa kimia yang larut dalam air maupun etanol. Kadar


(63)

sari yang larut dalam air lebih tinggi daripada kadar sari yang larut dalam etanol, hal ini disebabkan rumput laut mengandung karbohidrat yang cukup tinggi (Ramadhani, 2012).

Penetapan kadar abu total dilakukan untuk mengetahui kadar senyawa anorganik dalam simplisia, misalnya logam kalium; kalsium; natrium; plumbum, sedangkan penetapan kadar abu tidak larut dalam asam dilakukan untuk mengetahui kadar senyawa yang tidak larut dalam asam, misalnya silika (Gunawan, dkk., 1995).

4.3 Hasil Isolasi Agar

Hasil rendemen agar pada pH 5 dengan waktu ekstraksi 45 menit yang diperoleh mempunyai perbedaan dengan hasil rendemen agar yang telah dilakukan sebelumnya. Hal ini kemungkinan disebabkan karena adanya perbedaan lokasi pengumpulan bahan tumbuhan, proses pembuatan simplisia yaitu pencucian dan pengeringan dan proses isolasi agar. Rendemen agar yang diperoleh dari pengolahan rumput laut kering berbeda-beda, tergantung pada jenis rumput laut yang digunakan sebagain bahan baku. Pada spesies Gracilaria verrucosa, rendemen yang dihasilkan sekitar 25-35% (Winarno, 1990). Hasil rendemen agar dapat dilihat pada Tabel 4.2 berikut ini.


(64)

Tabel 4.2 Hasil Rendemen Agar dari Rumput Laut Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus No. Rendemen agar (Agar dengan proses pemutihan) (Ramadhani, 2012) Rendemen agar (Hasanah, 2014) Agar dengan proses pemutihan Agar tanpa proses pemutihan

1 55, 30% 26,05% 26,56%

2 48,16% 29,86% 29,49%

3 30,58% 30,69%

4 30,84% 30,71%

5 30,94% 30,97%

6 33,35% 33,15%

7 33,43% 34,11%

Total 103,46% 215,04% 215,67%

Rata-rata 51,73% 30,72% 30,81%

Pada tahap praekstraksi dilakukan perendaman serbuk rumput laut dalam larutan kalsium hipoklorit 0,5% bertujuan untuk menghilangkan pigmen merah dari talus rumput laut sehingga rumput laut menjadi putih bersih. Hal ini disebabkan kalsium hipoklorit di dalam air bersifat oksidator sehingga dapat mengoksidasi warna rumput laut. Penambahan asam sulfat bertujuan untuk memecahkan dinding sel rumput laut sehingga agar mudah diekstrak. Disamping itu, larutan asam sulfat tersebut diharapkan dapat menghancurkan dan melarutkan kotoran sehingga rumput laut lebih bersih (Winarno, 1990). Menurut Matsuhasi (1977), ada kecenderungan umum pada proses ekstraksi yaitu sifat gel agar menurun dengan meningkatnya rendemen agar. Untuk menghindari hal itu, Matsuhasi mengembangkan metode yaitu merendam rumput laut dengan asam, kemudian rumput laut dinetralkan dengan basa lalu diekstraksi. Pada metode ini, kemungkinan terjadinya hidrolisis adalah kecil sehingga rendemen dan kekuatan


(65)

Molekul agar terdiri dari dua komponen utama, yaitu agarosa dan agaropektin. Agarosa merupakan komponen agar yang netral dan bertanggung jawab dalam peningkatan kekuatan gel (Dawes, 1981). Agar-agar mudah terhidrolisis oleh asam, karena ikatan β-1,4 yang terdapat pada agarosa sangat peka terhadap serangan asam (Irawati, 1994).

Waktu pendidihan yang terlalu lama dapat mengakibatkan degradasi hidrolitik yang berlebihan, meskipun pada proses normal degradasi hidrolitik tidak dapat dihindari seluruhnya (Irawati, 1994). Pada umumnya, proses pemasakan rumput laut berlangsung selama 45 menit atau kadang-kadang sampai 2-4 jam, tergantung teknik pengadukannya (Winarno, 1990).

4.4 Hasil Karakterisasi Agar

Hasil organoleptis agar hasil isolasi dengan proses pemutihan mempunyai warna putih kekuningan, bau spesifik agar dan bentuknya serbuk halus. Sedangkan agar hasil isolasi tanpa proses pemutihan mempunyai warna kuning kecoklatan, bau spesifik agar dan bentuknya serbuk kasar.

Identifikasi agar baik dengan proses pemutihan dan tanpa proses pemutihan, secara kualitatif dengan iodium 0,05 M memberikan hasil yang positif yaitu warna ungu coklat di antara kedua lapisan cairan, dengan asam klorida dan barium klorida memberikan hasil positif yaitu terjadi kekeruhan berwarna putih


(66)

positif terhadap semua perlakuan (Depkes RI, 1995). Hasil karakterisasi agar dapat dilihat pada Tabel 4.3 berikut ini.

Tabel 4.3 Hasil Karakterisasi Agar dari Rumput Laut Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus

No. Parameter Persyaratan

Hasil karakterisasi agar Agar dengan proses pemutihan Agar tanpa proses pemutihan 1 Penetapan susut pengeringan ≤ 20,0% 8,71% 8,46% 2 Penetapan kadar abu total ≤ 6,5% 4,70% 4,73% 3 Penetapan kadar abu tak larut

asam

≤ 1% 0,49% 0,56%

4 Penetapan kadar sulfat ≤ 1,78% 0,99% 1,06%

5 Nilai viskositas (cps) 2-10 cps 2 cps 2 cps

Hasil penetapan susut pengeringan untuk agar dengan proses pemutihan adalah 8,71% sedangkan agar tanpa proses pemutihan adalah 8,46%, yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Farmakope Indonesia (1995) yang menyatakan susut pengeringan agar tidak lebih dari 20,0%. Hasil penetapan kadar abu total agar dengan proses pemutihan adalah 4,70%, sedangkan agar-agar tanpa proses pemutihan adalah 4,73%. Maka, agar yang dihasilkan telah memenuhi standar mutu agar bakto menurut ISO 9001 (Jamilah, 2013) yaitu kadar abu kurang dari 6,5%. Kadar abu bakto agar tidak boleh lebih besar dari standar, karena nilai kadar abu yang berlebihan dapat menghambat bakteri yang ditumbuhkan pada media tersebut (Murdinah, dkk., 2008).

Kadar abu tak larut asam dari agar dengan proses pemutihan adalah 0,49%, sedangkan agar-agar tanpa proses pemutihan adalah 0,56%. Kadar abu tak


(67)

proses pengolahan dan dicerminkan oleh adanya kontaminasi logam berat yang tidak larut asam dalam suatu produk. Kadar abu tak larut asam bakto agar telah memenuhi standar supreme marine chemical yaitu kurang dari 1% (Murdinah, dkk., 2008).

Kadar sulfat dari agar dengan proses pemutihan adalah 0,99%, sedangkan agar tanpa proses pemutihan adalah 1,06%. Kadar sulfat dalam penelitian ini memenuhi syarat kadar sulfat bakto agar komersial yaitu 1,78%. Analisis kadar sulfat menggunakan metode hidrolisis dilanjutkan pengendapan sulfat sebagai barium sulfat (Distantina, dkk, 2010). Pada proses pembuatan bakto agar dilakukan penambahan alkali sehingga kadar sulfatnya menjadi rendah karena penambahan alkali dapat mengurangi kadar ester sulfat pada C6 rantai galaktosa (Murdinah, dkk., 2008).

Nilai viskositas baik dari agar dengan proses pemutihan maupun yang tanpa proses pemutihan mempunyai nilai viskositas 10 centipoices. Menurut Winarno (1990), larutan 1% dan 1,5% agar pada suhu 45ºC, mempunyai viskositas 2-10 centipoices.

Hasil karakteristisasi agar yang telah dilakukan baru menghasilkan agar kualitas pangan dan belum memenuhi kriteria sebagai bakto agar karena tingginya kadar abu total dan abu tak larut asam. Spesifikasi fisik agar juga mempunyai parameter lain yang harus dipenuhi antara lain warna, keseragaman, kekuatan gel,


(68)

4.5 Hasil Pengujian Mikrobiologi

Pengujian mikrobiologi dilakukan dengan uji kualitatif yang terlihat dari homogenitas pertumbuhannya di cawan petri ketika ditambahkan nutrisi didalamnya serta pengamatan bakteri secara mikroskopik.

Hasil pengujian ini menunjukkan kemampuan yang baik dalam menumbuhkan, baik bakteri Staphylococcus aureus (mewakili Gram positif) dan bakteri Eschericia coli (mewakili Gram negatif) pada media agar hasil isolasi yang dibandingkan dengan media agar standar dengan teknik penuangan.

Pada pengamatan bakteri secara mikroskopik, jumlah bakteri Staphylococcus aureus maupun Eschericia coli dari media agar dengan proses pemutihan yaitu media agar formula I (F1) dan media agar formula II (F2), lebih sedikit dibandingkan media agar tanpa proses pemutihan yaitu media agar formula III (F3) dan media agar formula IV (F4). Hal ini kemungkinan terjadi karena kurang bersihnya proses pencucian untuk menghilangkan bau kaporit pada serbuk simplisia rumput laut yang diputihkan. Klorin (chlorine, Cl2

Nutrisi harus dipenuhi untuk mendukung pertumbuhan bakteri yaitu dengan penambahan nutrient broth dan beef powder serta peptone sebagai media pertumbuhan dasar. Pada pengamatan bakteri secara mikroskopik, jumlah bakteri ) sebagai gas ataupun dalam kombinasi dengan bahan kimia yang lain (natrium hipoklorit atau kalsium hipoklorit) adalah disinfektan yang digunakan secara luas. Kemampuan germisidalnya disebabkan oleh asam hipoklorit (hipochlorous acid) yang terbentuk saat klorin ditambahkan dengan air. Asam hipoklorit tersebut akan mengoksidasi protein sehingga membran sel rusak dan terjadi inaktivasi enzim mikroorganisme (Pratiwi, 2008).


(69)

Staphylococcus aureus maupun Eschericia coli dari media dengan penambahan nutrient broth yaitu media agar formula I (F1) dan media agar formula III (F3), lebih banyak daripada dari media dengan penambahan beef powder serta peptone yaitu media agar formula II (F2) dan media agar formula IV (F4

Pertumbuhan bakteri juga ditunjukkan dari pengamatan bakteri secara mikroskopik. Pewarnaan Gram dilakukan terhadap bakteri yang telah diinkubasi selama 18-24 jam. Warna dan bentuk bakteri dilihat pada mikroskop dengan pembesaran 100 kali. Dari hasil pengamatan mikroskopik, Eschericia coli berwarna merah dan berbentuk batang, sedangkan Staphylococcus aureus berwarna ungu dan berbentuk menyerupai buah anggur.

). Hal ini kemungkinan disebabkan karena nutrient broth lebih lengkap nutrisinya daripada beef powder serta peptone sehingga dapat menumbuhkan bakteri lebih baik. Nutrisi merupakan faktor kimia yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme yang diperlukan untuk biosintesis dan pembentukan energi (Pratiwi, 2008).

Bakteri Eschericia coli merupakan bakteri Gram negatif yang mempunyai bentuk bulat cenderung ke batang panjang, biasanya berukuran 0,5-1,5 μm (Melliawati, 2009). Bakteri Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk bulat berdiameter 0,7-1,2 μm, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur seperti buah anggur (Jawetz, et al., 1986).


(70)

terutama dinding sel kedua kelompok bakteri tersebut. Bakteri Gram positif berwarna ungu yang disebabkan komplek gentian violet-iodin yang masuk ke dalam sel bakteri tidak dapat tercuci oleh alkohol karena adanya peptidoglikan yang kokoh pada dinding sel. Sedangkan bakteri Gram negatif berwarna merah karena kompleks gentian violet-iodin dapat tercuci dan menyebabkan sel bakteri tampak transparan, yang akan berwarna merah setelah diberi safranin (Pratiwi, 2008).

Secara garis besar, ada dua macam mekanisme pewarnaan mikroorganisme yakni mekanisme pengikatan kimia dan mekanisme pengikatan fisika. Menurut teori pengikatan kimia, jaringan sel terdiri atas gugusan bersifat basa dan gugus yang bersifat asam; yang akan bereaksi dengan gugus asam atau gugus basa zat warna (konstituen sel merupakan protein atau asam-asam amino yang merupakan senyawa amfoter). Sedangkan menurut mekanisme pengikatan fisika, peristiwa pengikatan warna merupakan proses absorpsi warna pada konstituen sel. (Waluyo, 2010).


(71)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh:

a. hasil karakteristik serbuk simplisia dari rumput laut Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus yaitu pengamatan makroskopik; pengamatan mikroskopik; penetapan kadar air; penetapan kadar sari larut dalam air; penetapan kadar sari larut dalam etanol; penetapan kadar abu total dan penetapan kadar abu tak larut asam berbeda hasilnya dengan penelitian sebelumnya.

b. rendemen agar hasil isolasi dari rumput laut Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus berbeda hasilnya dengan penelitian sebelumnya.

c. hasil karakteristik agar hasil isolasi dari rumput laut Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus yaitu identifikasi agar; penetapan susut pengeringan; penetapan kadar abu total; penetapan kadar abu tak larut asam; penetapan kadar sulfat dan viskositas memenuhi persyaratan yang berlaku.

d. agar hasil isolasi dari rumput laut Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus dengan penambahan nutrient broth dan beef powder serta peptone dapat digunakan sebagai media pertumbuhan bakteri untuk Staphylococcus aureus


(72)

5.2 Saran

Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk menambahkan parameter lain pad.a agar hasil isolasi seperti warna, keseragaman, kekuatan gel, titik leleh, titik jendal, pH, kandungan arsen, gelatin, karbohidrat, logam berat, timah, pati dan protein untuk dapat memenuhi kriteria dengan standar mutu tinggi dalam penggunaannya sebagai bakto agar.


(73)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

Morfologi rumput laut Gracilaria sp. tidak memiliki perbedaan antara akar, batang dan daun. Tanaman ini berbentuk batang yang disebut talus dengan berbagai bentuk percabangannya. Secara alami, Gracilaria sp. hidup dengan melekatkan holdfast pada substrat yang berupa pasir, lumpur, karang, kulit kerang, karang mati, batu maupun kayu, pada kedalaman sekitar 10 sampai 15 meter di bawah permukaan air (Angkasa, dkk., 2011).

Ciri-ciri dari Gracilaria verrucosa, yaitu talus silindris, licin dan berwarna kuning coklat atau kuning hijau. Percabangan berseling tidak beraturan, memusat ke arah pangkal. Cabang lateral memanjang menyerupai rambut, ukuran panjang sekitar 25 cm dengan diameter talus 0,5 - 1,5 mm (Anggadiredja, dkk., 2006).

2.1.1 Habitat dan Sebaran Rumput Laut

Pertumbuhan Gracilaria umumnya lebih baik di tempat dangkal daripada di tempat dalam. Substrat tempat melekatnya dapat berupa batu, pasir, lumpur dan lain-lain, kebanyakan lebih menyukai intensitas cahaya yang lebih tinggi. Suhu merupakan faktor penting untuk pertumbuhan dan pembiakan. Suhu optimum


(74)

Rumput laut jenis Gracilaria sp. juga sudah dibudidayakan di beberapa daerah, seperti di sepanjang Pantai Utara Jawa, antara lain daerah Serang, Bekasi, Karawang, Indramayu, Brebes, Tegal, Pemalang, Jepara dan Lamongan. Di daerah Nusa Tenggara Barat, antara lain Sekotong, Lombok Barat dan Teluk Cempi, serta Dompu. Di daerah Sulawesi Selatan meliputi Jeneponto, Takalar, Maros, Bulukumba, Sinjai, Bone, Wajo dan Palopo. Selain itu, di daerah Lampung juga telah banyak dibudidayakan. Jenis Gracilaria yang telah dibudidayakan, antara lain Gracilaria verrucosa, Gracilaria chilensis, Gracilaria gigas dan Gracilaria lichenoides (Murdinah, 2012).

2.1.2 Perkembangbiakan Rumput Laut

Perkembangbiakan rumput laut dapat terjadi melalui dua cara, yaitu secara vegetatif dengan talus dan secara generatif dengan talus diploid yang menghasilkan spora. Perbanyakan secara vegetatif dikembangkan dengan cara stek, yaitu potongan talus yang kemudian tumbuh menjadi tanaman baru. Sementara, perbanyakan secara generatif dikembangkan melalui spora, baik alamiah maupun melalui budidaya. Pertemuan dua gamet membentuk zigot yang selanjutnya berkembang melalui pembelahan dalam sporogenesis menjadi gametofit (Anggadiredja, dkk., 2006).

Sifat-sifat oseanografi, seperti sifat kimia-fisika air dan substrat, macamnya substrat serta dinamika/pergerakan air, merupakan faktor-faktor yang sangat menentukan pertumbuhan Gracilaria sp. (Angkasa, dkk., 2011).

2.1.3 Sistematika Tumbuhan

Berdasarkan hasil identifikasi LIPI, taksonomi rumput laut Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus diklasifikasikan sebagai berikut:


(75)

a. Divisi : Rhodophyta b. Kelas : Florideophyceae c. Bangsa : Gracialariales d. Suku : Gracilariaceae e. Marga : Gracilaria

f. Jenis : Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus 2.1.4 Nama Daerah

Gracilaria verrucosa dikenal dengan nama daerah bulung rambu (Bali) atau sango-sango (Sulawesi) (Anggadiredja, dkk., 2006).

2.2 Kandungan Kimia

Rumput laut Gracilaria verrucosa menghasilkan metabolit primer senyawa hidrokoloid yang disebut agar. Jenis rumput laut yang termasuk dalam kelas Rhodophyceae (alga merah) mengandung pigmen antara lain adalah klorofil a, klorofil d, α dan β karoten, lutein, zeaxanthin, fikosianin, dan fikoeritrin. Fikoeritrin merupakan pigmen yang dominan yang menyebabkan warna merah (Anggadiredja, dkk., 2006).

2.3 Agar


(76)

2.3.1 Struktur Agar

Agar terdiri atas dua fraksi polimer yaitu agarosa dan agaropektin. Fraksi agarosa merupakan polimer netral bebas sulfat mampu membentuk gel. Agarosa terdiri atas rantai D-galaktosa yang berikatan secara posisi α-1,4 dan posisi 3,6-anhidro-L-galaktosa dan rantai D-galaktosa yang berikatan secara β-1,4 dengan rantai 3,6-anhidro-L-galaktosa. Sementara itu, fraksi agaropektin merupakan polimer bermuatan mengandung sulfat sekitar 3-10% dan tidak mempunyai kemampuan untuk membentuk gel (Glicksman, 1983).

Struktur kedua jenis galaktan penyusun agar menurut ini diilustrasikan pada Gambar 2.1 berikut (Winarno, 1990):

a.

b.

Gambar 2.1. Struktur galaktan penyusun agar

Keterangan:

a. Agarosa; (1  3) D-galaktosa dan (1  4) anhydro-L-galaktosa b. Agaropektin; (1  3) D-galaktosa dan (1  4) L-galaktosa-6-sulfat


(77)

2.3.2 Sifat Fisiko-Kimia Agar

Sifat fisika dari agar yaitu tidak berbau atau berbau lemah, tidak berwarna sampai kuning pucat, bening. Agar dapat berbentuk gumpalan potongan memanjang dengan lebar 2 mm sampai 5 mm, kadang-kadang dalam bentuk kepingan, agak liat dan sukar dipatahkan (Depkes RI, 1995).

Agar tidak larut dalam air dingin, tetapi larut dalam air panas. Pada temperatur 32º-39° C berbentuk bekuan (solid) dan tidak mencair pada suhu di bawah 85º C (Aslan, 1998).

Agar sangat stabil dalam keadaan kering, tetapi pada suhu tinggi dan pH rendah agar akan mengalami degradasi yaitu pecahnya polimer galaktosa menjadi monomer yang sederhana (Winarno, 1990).

2.4 Tumbuhan Penghasil Agar

Agarophyte adalah kelompok rumput laut yang dapat digunakan sebagai bahan-bahan baku pembuatan agar. Sedangkan Agaroidophyte merupakan kelompok ganggang merah yang memproduksi senyawa yang mempunyai sifat seperti agar, tetapi dengan daya gelasi dan viskositas yang berbeda. Dari kelompok Agarophyte yang terkenal adalah spesies dari genus Gracilaria, Pterocladia sp., spesies Acanthopeltis japonica dan Ahnfeltia plicata (Aslan, 1998).


(78)

murah harganya, jenis rambukasang mampu menghasilkan agar tiga kali lipat dari jenis lainnya (Winarno, 1990).

Berbagai negara memiliki sumber rumput laut yang berbeda bagi produksi agar. Di Jepang, rumput laut utama yang digunakan dalam produksi agar adalah Gelidium amansii yang mengandung rendemen agar 25-30% dari berat kering. Di Amerika Serikat, untuk produksi agar digunakan ganggang Gelidium cartilaginerum sebagai bahan baku. Sedangkan di Filipina, agar-agar untuk makanan diproduksi dari Gracilaria verrucosa. Walaupun demikian, biasanya dalam produksi agar, ganggang yang digunakan tidak hanya ganggang sejenis, tetapi merupakan campuran dari beberapa jenis ganggang. Campuran yang biasanya dilakukan di Jepang dengan mutu produk yang baik adalah Gelidium amansii (45%), Gelidium japanicum (10%), Acanthopeltis (5%), Campylaephora (10 %), Gracilaria (15 %), Ceramium (5 %) dan Gelidium sp. (10%) (Winarno, 1990).

2.5 Penggunaan Agar

Pemanfaatan agar pada dasarnya berkaitan dengan sifat agar yang memiliki kemampuan membentuk gel yang baik, tingginya histeresis, sifat unik gelnya yang dapat kembali mencair dan memadat dengan pemanasan dan pendinginan (reversible), serta ditunjang oleh karakteristik sifat fisik teksturnya yang spesifik. Selain itu, pemanfaatan utama agar juga ditentukan oleh sifat titik lelehnya (melting point) yang tinggi. Meskipun agar dapat dimanfaatkan pada berbagai macam jenis aplikasi, secara umum 80% penggunaannya adalah untuk


(79)

pangan dan sisanya 20% pada bidang non-pangan termasuk aplikasi yang berkaitan dengan farmasi dan bioteknologi (Armisen & Galatas, 2000).

Dalam industri pangan, agar digunakan sebagai bahan pengental pada industri es krim, jeli, permen dan pastry. Agar juga digunakan dalam pembuatan shorbat, es krim, dan keju untuk pembentukan emulsi/stabilizer. Di Jepang, agar digunakan sebagai fortifikasi untuk serat pangan sehingga lebih menguntungkan bagi kesehatan. Agar juga digunakan sebagai penjernih pada berbagai industri minuman seperti bir, anggur, kopi dan sebagai penstabil pada minuman cokelat. Pada konsentrasi 0,1-1%, agar biasa digunakan sebagai penstabil pada yoghurt, keju, permen dan produk bakery (Murdinah, dkk., 2012).

Pemanfaatan agar dalam industri nonpangan, antara lain untuk kebutuhan industri farmasi sebagai obat pencahar, pembungkus kapsul untuk antibiotik dan vitamin, atau campuran bahan pencetak contoh gigi. Dalam industri kosmetik agar dimanfaatkan dalam pembuatan krem, lotion, lipstik dan sabun. Pada industri tekstil, agar bermutu tinggi digunakan untuk melindungi kemilau sutera. Sementara pada industri kulit, agar berguna sebagai pengilap permukaan yang halus dan kekakuan kulit sebagai campuran pembuatan pelekat kayu lapis. Agar juga dimanfaatkan dalam pembuatan pelat film, pasta gigi, semir sepatu dan kertas. Selain dimanfaatkan pada industri-industri tersebut, agar juga bermanfaat dalam bidang bioteknologi dan mikrobiologi (Murdinah, dkk., 2012).


(80)

pada proses pemurnian dan isolasi protein. Agarosa merupakan matriks yang idela bagi difusi dan pergerakan elektrokinetik biopolimer, dan gelnya merupakan medium antikonveksi, yang secara biologi stabil dengan sifat ionik yang terkontrol (Murdinah, dkk., 2012).

Dalam dunia kromatografi, kolom yang berisi partikel gel agarosa sudah diproduksi komersial dan dipasarkan dengan merek dagang Sepharose (dari Pharmacia) dan Bio-Gel A (Bio-Rad). Agarosa tersebut telah digunakan secara luas sebagai media untuk pemisahan berat molekul dengan berat lebih dari 250.000 DA atau disebut kromatografi eksklusi dan untuk pemisahan campuran protein, virus dan ribosom (Murdinah, dkk., 2012).

Dalam bidang mikrobiologi, agar digunakan dalam bentuk bakto agar. Bakto agar merupakan agar yang telah dimurnikan dengan mereduksi kandungan pigmen, pengotor dan kandungan bahan-bahan asing (organik dan anorganik) serendah mungkin sehingga dapat mendukung pertumbuhan mikroba secara umum (Abdullah, 2004).

Bakto agar merupakan produk agar yang digunakan secara luas sebagai media pertumbuhan bakteri untuk pengujian maupun isolasi bakteri. Bakto agar biasa digunakan dalam kultur bakteri patogen maupun nonpatogen. Agar tidak mudah dicerna oleh bakteri serta memiliki kekuatan gel yang baik, elastis, jernih dan stabil sehingga sesuai untuk media pertumbuhan bakteri. Penggunaan agar sebagai media pertumbuhan bakteri biasanya pada konsentrasi 1,2-1,5%. Sekitar 1/6 dari total penggunaan agar di Amerika Serikat umumnya sebagai media kultur bakteri (Murdinah, dkk., 2012).


(81)

2.6 Cara Ekstraksi Agar di Berbagai Negara

Cara ekstraksi agar yang dilakukan berbeda-beda di berbagai negara yaitu: a. Di negara Selandia Baru

Ekstraksi agar dilakukan selama 4 jam pada suhu 95-100° C dan perendaman dilakukan selama 1 jam pada suhu 20-24°C dalam asam asetat 0,2% (Winarno, 1990).

b. Di negara Australia

Ekstraksi agar dilakukan selama 2-4 jam menggunakan larutan asam fosfat dengan pH 5 (Winarno, 1990).

c. Di negara Amerika Serikat

Ekstraksi agar dilakukan selama 6 jam menggunakan larutan asam fosfat dengan pH 6-8 (Winarno, 1990).

d. Di negara Filipina

Ekstraksi agar dilakukan selama 4 jam menggunakan air suling dan asam sulfat (Trono dan Fortes, 1988).

2.7 Sterilisasi

Sterilisasi merupakan suatu proses yang dilakukan untuk tujuan membunuh atau menghilangkan mikroorganisme yang tidak diinginkan pada suatu objek atau spesimen.


(82)

b. Sterilisasi kering

Digunakan untuk alat-alat gelas misalnya cawan petri, tabung reaksi. Cara ini cocok untuk alat-alat gelas karena tidak ada pengembunan dan tetes air. c. Sterilisasi basah

Biasanya menggunakan uap panas bertekanan dalam autoklaf. Media biakan, larutan dan kapas dapat disterilkan dengan cara ini. Autoklaf merupakan suatu alat pemanas bertekanan tinggi, dengan meningkatnya suhu air maka tekanan udara akan bertambah dalam autoklaf yang tertutup rapat. Sejalan dengan meningkatnya tekanan di atas tekanan udara normal, titik didih air meningkat. Biasanya pemanasan autoklaf berada pada suhu 121° C selama 15 menit.

d. Filtrasi bakteri

Digunakan untuk mensterilkan bahan-bahan yang terurai atau tidak tahan panas. Metode ini didasarkan pada proses mekanik yaitu menyaring semua bakteri dari bahan dengan melewatkan larutan tersebut melalui lubang saringan yang sangat kecil.

e. Incenerasi

Sterilisasi dengan pemanasan atau pembakaran pada api langsung. Misalnya untuk sterilisasi jarum ose dan pinset.

2.8 Bakteri

Nama bakteri berasal dari kata “bakterion” (bahasa Yunani) yang berarti tongkat atau batang. Sekarang namanya dipakai untuk menyebutkan sekelompok


(83)

mikroorganisme yang bersel satu, berbiak dengan pembelahan diri, serta demikian kecilnya sehingga hanya tampak dengan mikroskop (Dwidjoseputro, 1987).

Pertumbuhan dan perkembangan bakteri dipengaruhi oleh (Pratiwi ,2008): a. Temperatur

Pertumbuhan bakteri sangat dipengaruhi oleh temperatur. Setiap mikroorganisme mempunyai temperatur optimum yaitu temperatur di mana terjadi kecepatan pertumbuhan optimal dan dihasilkan jumlah sel yang maksimal. Temperatur yang terlalu tinggi dapat menyebabkan denaturasi protein sedangkan temperatur yang sangat rendah aktivitas enzim akan terhenti. Berdasarkan batas temperatur dibagi atas tiga golongan:

- Psikrofil, tumbuh pada temperatur -5 sampai 30oC dengan optimum 1 sampai 20o

- Mesofil, tumbuh pada temperatur 10 sampai 45 C.

o

C dengan optimum 20 sampai 40o

- Termofil, tumbuh pada termperatur 25 sampai 80 C.

o

C dengan optimum 50 sampai 60o

b. pH

C.

pH optimum bagi kebanyakan bakteri terletak antara 6,5 dan 7,5. Namun ada beberapa mikroorganisme yang dapat tumbuh pada keadaan yang


(84)

baik untuk pertumbuhan sel adalah medium isotonis terhadap sel tersebut. Dalam larutan hipotonik air akan masuk ke dalam sel sehingga menyebabkan sel membengkak, sedangkan dalam larutan hipertonik air akan keluar dari sel sehingga membran plasma mengerut dan lepas dari dinding sel (plasmolisis) (Pratiwi, 2008; Lay, 1996).

d. Oksigen

Berdasarkan kebutuhan oksigen di kenal mikroorganisme di bagi menjadi 5 golongan yaitu (Pratiwi, 2008):

- Anaerob obligat, hidup tanpa oksigen, oksigen toksik terhadap golongan ini.

- Anaerob aerotoleran, tidak mati dengan adanya oksigen.

- Anaerob fakultatif, mampu tumbuh baik dalam suasana dengan atau tanpa oksigen.

- Aerob obligat, tumbuh subur bila ada oksigen dalam jumlah besar. - Mikroaerofilik, hanya tumbuh baik dalam tekanan oksigen yang

rendah. e. Nutrisi

Nutrisi merupakan substansi yang diperlukan untuk biosintesis dan pembentukan energi. Berdasarkan kebutuhannya, nutrisi dibedakan menjadi dua yaitu makroelemen (elemen yang diperlukan dalam jumlah banyak) dan mikroelemen (trace element yaitu elemen nutrisi yang diperlukan dalam jumlah sedikit) (Pratiwi, 2008).

2.8.1 Morfologi Bakteri

Berdasarkan bentuk morfologinya, maka bakteri dapat di bagi atas tiga golongan (Dwidjoseputro, 1987) yaitu:


(85)

a. Golongan basil

Golongan basil berbentuk serupa tongkat pendek, silindris. Basil dapat bergandengan dua-dua, atau terlepas satu sama lain, yang bergandeng-gandengan panjang disebut streptobasil, yang dua-dua disebut diplobasil. b. Bentuk kokus

Golongan kokus merupakan bakteri yang bentuknya serupa bola-bola kecil. Golongan ini tidak sebanyak golongan basil. Kokus ada yang bergandeng-gandengan panjang serupa tali leher, disebut streptokokus, ada yang bergandengan dua-dua, disebut diplokokus, ada yang mengelompok berempat, disebut tetrakokus, kokus yang mengelompok serupa kubus disebut sarsina.

c. Golongan spiril

Golongan spiril merupakan bakteri yang bengkok atau berbengkok-bengkok serupa spiral. Bakteri ini tidak banyak terdapat, karena itu merupakan golongan yang paling kecil, jika dibandingkan dengan golongan kokus maupun golongan basil.

2.8.2 Bakteri Staphylococcus aureus

Sistematika bakteri Staphylococcus aureus menurut Bergey edisi ke-7 (Dwidjoseput ro, 1987) adalah sebagai berikut:


(86)

Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif, aerob atau anaerob fakultatif berbentuk bola atau kokus berkelompok tidak teratur, diameter 0,8 – 1,0 μm, tidak membentuk spora dan tifak bergerak, koloni berwarna kuning. Bakteri ini tumbuh cepat pada suhu 370C tetapi paling baik membentuk pigmen pada suhu 20-250

2.8.3 Bakteri Escherichia coli

C. koloni pada pembenihan padat berbentuk bulat halus, menonjol dan berkilau membentuk berbagai pigmen. Bakteri ini terdapat pada kulit, selaput lendir, bisul dan luka. Dapat menimbulkan penyakit melalui kemampuannya berkembang biak dan menyebar luas dalam jaringan (Jawetz, 2001).

Sistematika bakteri Escherichia coli menurut Bergey edisi ke-7 (Dwidjoseputro, 1987) adalah sebagai berikut :

a. Divisi : Protophyta b. Kelas : Schizomycetes c. Bangsa : Eubacteriales d. Suku : Enterobacteriaceae e. Marga : Escherichia

f. Jenis : Escherichia coli

Escherichia coli disebut juga Bacterium coli, merupakan bakteri gram negatif, aerob atau anaerob fakultatif, panjang 1 - 4 μm, lebar 0,4 - 1,7 μm, berbentuk batang, tidak bergerak. Bakteri ini tumbuh baik pada suhu 37°C tetapi dapat tumbuh pada suhu 8-40°C, membentuk koloni yang bundar, cembung, halus dan dengan tepi rata. Eschericia coli biasanya terdapat dalam saluran cerna


(87)

sebagai flora normal. Bakteri ini dapat menjadi patogen bila berada diluar usus atau dilokasi lain dimana flora normal jarang terdapat (Jawetz, 2001).

2.8.4 Fase Pertumbuhan Bakteri

Bakteri mengalami pertumbuhan yang dapat dibagi dalam 4 fase menurut (Pratiwi, 2008; Dwidjoseputro, 1998) yaitu:

1. Fase lag

Pada saat dipindahkan ke media yang baru, bakteri tidak langsung tumbuh dan membelah, meskipun kondisi media sangat mendukung untuk pertumbuhan. Bakteri biasanya akan mengalami masa penyesuaian untuk menyeimbangkan pertumbuhan.

2. Fase log

Selama fase ini, populasi meningkat dua kali pada interval waktu yang teratur. Jumlah koloni bakteri akan terus bertambah seiring lajunya aktivitas metabolisme sel.

3. Fase tetap

Pada fase ini terjadi kompetisi antara bakteri untuk memperoleh nutrisi dari media untuk tetap hidup. Sebagian bakteri mati sedangkan yang lain tumbuh dan membelah sehingga jumlah sel bakteri yang hidup menjadi tetap.


(88)

Gambar 2.2. Kurva Fase Pertumbuhan Bakteri 2.8.5 Media Pertumbuhan Bakteri

Media biakan dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori, yaitu: a. Berdasarkan asalnya, media dibagi atas:

1) Media sintetik

Media yang kandungan dan isi bahan yang ditambahkan diketahui secara terperinci. Contoh: glukosa, kalium fosfat, magnesium fosfat.

2) Media non-sintetik

Media yang kandungan dan isinya tidak diketahui secara terperinci dan menggunakan bahan yang terdapat di alam. Contohnya: ekstrak daging, pepton (Lay, 1996).

b. Berdasarkan kegunaannya, dapat dibedakan menjadi: 1) Media selektif

Media biakan yang mengandung paling sedikit satu bahan yang dapat menghambat perkembang biakan mikroorganisme yang tidak diinginkan dan membolehkan perkembang biakan mikroorganisme tertentu yang ingin diisolasi. Fase lag Fase log Fase stasioner Fase kematian Waktu Jum la h se l


(89)

2) Media diferensial

Media ini digunakan untuk menyeleksi suatu mikroorganisme dari berbagai jenis dalam suatu lempengan agar.

3) Media diperkaya

Media ini digunakan untuk menumbuhkan mikroorganisme yang diperoleh dari lingkungan alami karena jumlah mikroorganisme yang ada terdapat dalam jumlah sedikit (Irianto, 2006).

c. Berdasarkan konsistensinya, dibagi atas (Irianto, 2006): 1) Media padat/ solid

2) Media semi solid 3) Media cair

2.8.6 Metode Isolasi Biakan Bakteri a. Cara gores

Ose yang telah steril dicelupkan ke dalam suspensi mikroorganisme yang diencerkan, lalu dibuat serangkaian goresan sejajar yang tidak saling menutupi di atas permukaan agar yang telah padat.

b. Cara sebar

Suspensi mikroorganisme yang telah diencerkan diinokulasikan secara merata dengan menggunakan hockey stick pada permukaan media padat. c. Cara tuang


(90)

2.8.7 Pewarnaan Gram

Mikroorganisme dapat dilihat dengan mikroskop biasa, tanpa diwarnai; yakni dengan cara-cara khusus misalnya menggunakan kondesor medan gelap. Tetapi pengamatan yang demikian lebih sulit dan tidak dapat dipakai untuk melihat bagian-bagian sel dengan seksama karena umumnya sel mikroorganisme bersifat transparan. Hal ini karena sitoplasma sel mikroba memiliki indeks bias yang hampir sama dengan indeks bias lingkungannya yang bersifat cair dan mikroba tidak mengabsorbsi atau membiaskan cahaya. Kontras antara sel dan latar belakangnya dapat diperjelas dengan cara mewarnai sel-sel mikroba tersebut dengan zat-zat warna (Waluyo, 2010).

Pewarnaan Gram memilahkan bakteri menjadi 2 kelompok, yakni bakteri Gram positif dan Gram negatif. Bakteri Gram positif berwarna ungu yang disebabkan kompleks warna kristal violet-iodium tetap dipertahankan meskipun diberi larutan pemucat. Sedangkan bakteri Gram negatif berwarna merah karena kompleks warna tersebut larut sewaktu pemberian larutan pemucat dan kemudian mengambil zat warna yang kedua yang berwarna merah. Perbedaan hasil dalam pewarnaan tersebut disebabkan perbedaan struktur, terutama dinding sel kedua kelompok bakteri tersebut. Karena kemampuannya membedakan suatu kelompok bakteri tertentu dengan kelompok lainnya, pewarnaan Gram juga disebut pewarnaan diferensial (Waluyo, 2010).

Penyebab perbedaan pewarnaan Gram dimungkinkan karena komposisi dinding sel bakteri Gram positif berbeda dengan bakteri Gram negatif. Dinding sel yang lebih tebal pada bakteri Gram positif menyusut oleh perlakuan alkohol karena terjadi dehidrasi, menyebabkan pori-pori dinding sel menutup sehingga


(91)

mencegah larutnya kompleks zat warna ungu kristal-iodium pada langkah pemucatan. Sedangkan bakteri Gram negatif memiliki kandungan lipid yang lebih tinggi pada dinding sel dan lipid tersebut dapat larut dalam alkohol dan aseton. Larutnya lipid oleh zat pemucat yang digunakan dalam pewarnaan Gram diduga memperbesar pori-pori dinding sel dan inilah penyebab proses pemucatan antara dinding sel Gram negatif lebih cepat (Waluyo, 2010).


(1)

3.5.7 Penetapan Kadar Abu yang Tidak Larut dalam Asam ... 31

3.6 Isolasi Agar dengan Proses Pemutihan ... 32

3.6.1 Tahap Praekstraksi ... 32

3.6.2 Tahap Ekstraksi ... 32

3.6.3 Tahap Pencetakan dan Pendinginan ... 33

3.6.4 Tahap Pengeringan dan Penggilingan ... 33

3.7 Isolasi Agar tanpa Proses Pemutihan ... 33

3.7.1 Tahap Praekstraksi ... 33

3.7.2 Tahap Ekstraksi ... 34

3.7.3 Tahap Pencetakan dan Pendinginan ... 34

3.7.4 Tahap Pengeringan dan Penggilingan ... 34

3.8 Pemeriksaan Karakteristik Agar ... 35

3.8.1 Pemeriksaan Organoleptis ... 35

3.8.2 Identifikasi Agar Hasil Isolasi secara Kualitatif ... 35

3.8.3 Penetapan Susut Pengeringan Agar Hasil Isolasi ... 36

3.8.4 Penetapan Kadar Abu Total Agar Hasil Isolasi ... 36

3.8.5 Penetapan Kadar Abu Tak Larut Asam Agar Hasil Isolasi ... 36

3.8.6 Penetapan Kadar Sulfat Agar Hasil Isolasi ... 37

3.8.7 Viskositas Agar Hasil Isolasi ... 37

3.9 Sterilisasi Alat ... 38

3.10 Pembuatan Media ... 38

3.10.1 Beef Powder ... 38

3.10.2 Media Nutrient Broth ... 38

3.10.3 Media Nutrient Agar (NA) Standar ... 38

3.10.4 Media Agar Formula I (F1 3.10.5 Media Agar Formula II (F ) ... 39

2 3.10.6 Media Agar Formula III (F ) ... 39

3 3.10.7 Media Agar Formula IV (F ) ... 40

4 3.11 Pembuatan Agar Miring ... 40

) ... 40

3.12 Pembuatan Stok Kultur Bakteri ... 41

3.13 Penyiapan Inokulum Bakteri ... 41


(2)

3.14 Metode Pengujian Mikrobiologi ... 41

3.14.1 Pengujian Pertumbuhan Bakteri ... 41

3.14.2 Pengecatan Gram ... 41

3.14.3 Pengamatan Mikroskopik Bakteri ... 42

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43

4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan ... 43

4.2 Hasil Karakterisasi Simplisia ... 43

4.3 Hasil Isolasi Agar ... 43

4.4 Hasil Identifikasi Agar ... 47

4.5 Hasil Pengujian Mikrobiologi ... 50

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 53

5.1 Kesimpulan ... 53

5.2 Saran ... 54

DAFTAR PUSTAKA ... 55


(3)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 Skema Kerangka Pikir Penelitian ... 6

2.1 Struktur Galaktan Penyusun Agar ... 10

2.2 Kurva Fase Pertumbuhan Bakteri ... 22

1 Talus Segar Rumput Laut Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus... 58

2 Serbuk Simplisia Rumput Laut Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus dengan Proses Pemutihan ... 60

3 Serbuk Simplisia Rumput Laut Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus tanpa Proses Pemutihan ... 60

4 Simplisia Talus Rumput Laut Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus ... 61

5 Mikroskopik Serbuk Simplisia Rumput Laut Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus pada Pembesaran 10 x 40 ... 62

6 Bagan Isolasi Agar dengan Proses Pemutihan ... 68

7 (Lanjutan) Bagan Isolasi Agar dengan Proses Pemutihan ... 69

8 Bagan Isolasi Agar tanpa Proses Pemutihan ... 72

9 (Lanjutan) Bagan Isolasi Agar tanpa Proses Pemutihan ... 73

10 Serbuk Agar Hasil Isolasi dengan Proses Pemutihan ... 76

11 Serbuk Agar Hasil Isolasi tanpa Proses Pemutihan ... 76

12 Bagan Pengujian Pertumbuhan Bakteri ... 90


(4)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1 Hasil Karakterisasi Simplisia Rumput Laut Gracilaria

verrucosa (Hudson) Papenfus ... 25 2 Hasil Rendemen Agar dari Rumput Laut Gracilaria

verrucosa (Hudson) Papenfus ... 26 3 Hasil Identifikasi Agar dari Rumput Laut Gracilaria


(5)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1 Talus Segar Rumput Laut Gracilaria verrucosa (Hudson)

Papenfus ... 58

2 Hasil Identifikasi Tumbuhan ... 59

3 Serbuk Simplisia Rumput Laut Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus ... 60

4 Simplisia Talus Rumput Laut Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus ... 61

5 Mikroskopik Serbuk Simplisia Rumput Laut Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus pada Pembesaran 10 x 40 ... 62

6 Perhitungan Penetapan Kadar Air Simplisia Rumput Laut Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus ... 63

7 Perhitungan Penetapan Kadar Sari yang Larut dalam Air Simplisia Rumput Laut Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus ... 64

8 Perhitungan Penetapan Kadar Sari yang Larut dalam Etanol Simplisia Rumput Laut Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus ... 65

9 Perhitungan Penetapan Kadar Abu Total Simplisia Rumput Laut Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus ... 66

10 Perhitungan Penetapan Kadar Abu yang Tidak Larut Asam Simplisia Rumput Laut Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus ... 67

11 Bagan Isolasi Agar dengan Proses Pemutihan ... 68

12 Perhitungan Rendemen Agar dengan Proses Pemutihan ... 70

13 Bagan Isolasi Agar tanpa Proses Pemutihan ... 72

14 Perhitungan Rendemen Agar tanpa Proses Pemutihan ... 74

15 Serbuk Agar Hasil Isolasi ... 76

16 Hasil Identifikasi Agar Hasil Isolasi ... 77


(6)

17 Perhitungan Penetapan Susut Pengeringan Agar

Hasil Isolasi dengan Proses Pemutihan ... 80 18 Perhitungan Penetapan Susut Pengeringan Agar

Hasil Isolasi tanpa Proses Pemutihan ... 81 19 Perhitungan Penetapan Kadar Abu Total

Agar Hasil Isolasi dengan Proses Pemutihan ... 82 20 Perhitungan Penetapan Kadar Abu Total

Agar Hasil Isolasi tanpa Proses Pemutihan ... 83 21 Perhitungan Penetapan Kadar Abu Tak Larut Asam

Agar Hasil Isolasi dengan Proses Pemutihan ... 84 22 Perhitungan Penetapan Kadar Abu Tak Larut Asam

Agar Hasil Isolasi tanpa Proses Pemutihan ... 85 23 Perhitungan Penetapan Kadar Sulfat Agar Hasil Isolasi

dengan Proses Pemutihan ... 86 24 Perhitungan Penetapan Kadar Sulfat Agar Hasil Isolasi

Tanpa Proses Pemutihan ... 87 25 Perhitungan Viskositas Agar Hasil Isolasi

dengan Proses Pemutihan ... 88 26 Perhitungan Viskositas Agar Hasil Isolasi

Tanpa Proses Pemutihan ... 89 27 Bagan Pengujian Pertumbuhan Bakteri ... 90 28 Hasil Pengujian Pertumbuhan Bakteri

Staphylococcus aureus ... 91 29 Hasil Pengujian Pertumbuhan Bakteri

Eschericia coli... 93 30 Hasil Pewarnaan Gram dan Pengamatan Bakteri

Staphylococcus aureus secara Mikroskopik ... 95 31 Hasil Pewarnaan Gram dan Pengamatan Bakteri