Strategi Pola Nafkah Masyarakat Pesisir Dalam Menanggulangi Kemiskinan

(1)

STRATEGI POLA NAFKAH MASYARAKAT PESISIR

DALAM MENANGGULANGI KEMISKINAN

(Desa Bajomulyo, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati,

Provinsi Jawa Tengah)

HENNY KRISTIKASARI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Strategi Pola Nafkah Masyarakat Pesisir Dalam Menanggulangi Kemiskinan” merupakan hasil karya saya sendiri yang belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi oleh lembaga manapun dan tidak mengandung bahan-bahan yang pernah ditulis atau pernah diterbitkan oleh pihak lain kecuali sebagai bahan rujukan yang dinyatakan dalam naskah dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2016

Henny Kristikasari I34120091


(3)

ABSTRAK

HENNY KRISTIKASARI. Strategi Pola Nafkah Masyarakat Pesisir Dalam Menanggulangi Kemiskinan. Dibimbing oleh MARTUA SIHALOHO

Strategi pola nafkah adalah langkah yang sering ditempuh seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Strategi nafkah juga dilakukan di kawasan pesisir yang penduduk mayoritasnya adalah nelayan. Strategi pola nafkah yang dilakukan oleh masyarakat nelayan bertujuan untuk mengantisipasi faktor-faktor yang menghambat mata pencaharian utama nelayan. Tujuan penelitian ini adalah: (1) menganalisis pengaruh tingkat akses sumberdaya terhadap tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat pesisir; (2) mengidentifikasi tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat pesisir; dan (3) menganalisis pengaruh tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat pesisir terhadap tingkat kemiskinan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menelusuri sumber-sumber literatur sekunder, kemudian mencari konsep-konsep dan data sekunder yang relevan dengan topik skripsi. Selanjutnya dengan melakukan survei dengan sampel acak bertingkat, wawancara mendalam, dan observasi.

Kata kunci: kemiskinan, masyarakat pesisir, pola nafkah

ABSTRACT

HENNY KRISTIKASARI. Strategies of coastal area communities livelihood in

overcoming poverty. Supervised by MARTUA SIHALOHO

Livelihood strategies is the often way of someone to make a living. Its also done by the coastal area communities that mostly work as a fisher. The livelihood strategy undertaken by the fisherman in order to anticipate the factors that hinder their work as a fisher. The purposes of this lecture study are: (1) analyze the influence of access of resources to strategies diversity of livelihood; (2) identify the strategies diversity of livelihood at the coastal area communities; and (3) analyze the influence between strategies of coastal area communities livelihood in overcoming poverty. The methods which is used in this research are search the sources of the secondary literature, then find the concepts and the secondary data which is relevant with the research topic. Then, survey with stratified random sampling, in-depth interview, and observation.


(4)

STRATEGI POLA NAFKAH MASYARAKAT PESISIR

DALAM MENANGGULANGI KEMISKINAN

(Desa Bajomulyo, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati,

Provinsi Jawa Tengah)

HENNY KRISTIKASARI

I34120091

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(5)

Judul Skripsi : Strategi Pola Nafkah Masyarakat Pesisir dalam Menanggulangi Kemiskinan (Desa Bajomulyo, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah)

Nama : Henny Kristikasari

NIM : I34120091

Disetujui oleh

Martua Sihaloho, SP, M.Si Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc Ketua Departemen


(6)

(7)

PRAKATA

Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaian penelitian skripsi yang berjudul “Strategi Pola Nafkah Masyarakat Pesisir Dalam Menanggulangi Kemiskinan” ini dengan baik. Penelitian skripsi ini sebagai syarat kelulusan pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Tujuan penulisan penelitian ini yaitu untuk mengetahui berbagai strategi pola nafkah masyarakat pesisir dalam menanggulangi kemiskinan di Desa Bajomulyo, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Martua Sihaloho, SP, M.Si sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan motivasi selama proses pembuatan skripsi ini. Ucapan terimakasih tak lupa penulis haturkan kepada kedua orang tua tercinta yaitu Bapak Pranoto dan Ibu Sri Wargini yang tak henti-hentinya memberikan dukungan, kasih sayang dan do’a selama penulis menjalani studi. Ucapan terimakasih juga penulis berikan kepada kakak tercinta Ronny Kristanto dan Dedy Kristiawan yang selalu memberi semangat dan do’a untuk penulis. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman SKPM 49 khususnya Fauziah Kurniati sebagai sahabat satu bimbingan dalam pembuatan skripsi, BEM-KM IPB, IPB Political School, Tapak Suci IPB, Panitia Reuni Perak IPB 27, Fema Writting Club, Omda Pati, Ksatria BNN IPB atas dukungan dan motivasi yang diberikan selama proses penulisan skripsi ini.

Bogor, Juli 2016

Henny Kristikasari I34120091


(8)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN .. x

PENDAHULUAN .. 1

Latar Belakang ... 1

Masalah Penelitian ... 2

Tujuan Penelitian ... 3

Kegunaan Penelitian... 3

PENDEKATAN TEORITIS .. 4

Tinjauan Pustaka ... 5

Kemiskinan ... 5

Kemiskinan masyarakat pesisir ... 7

Strategi pola nafkah ... 9

Masyarakat pesisir ... 11

Strategi pola nafkah masyarakat pesisir dalam menanggulangi kemiskinan ... 12

Kerangka Pemikiran ... 13

Hipotesis Penelitian ... 14

PENDEKATAN LAPANG 15 Metode Penelitian... 15

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 15

Teknik Pengumpulan Data ... 18

Teknik Penentuan Informan dan Responden ... 19

Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 20

Definisi Operasional... 21

GAMBARAN UMUM 28 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 29


(9)

PENGARUH TINGKAT AKSES SUMBERDAYA TERHADAP TINGKAT

KEBERAGAMAN STRATEGI POLA NAFKAH MASYARAKAT 36

TINGKAT KEBERAGAMAN STRATEGI POLA NAFKAH MASYARAKAT

NELAYAN 43

PENGARUH TINGKAT KEBERAGAMAN STRATEGI POLA NAFKAH

TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN MASYARAKAT 47

PENUTUP 53

Simpulan ... 53 Saran ... 54

DAFTAR PUSTAKA 55


(10)

DAFTAR TABEL

1 Persentase Kemiskinan Tahun 2007 6

2 Persentase Kemiskinan Tahun 2012-2014 6

3 Pelaksanaan penelitian tahun 2016 17

4 Metode pengumpulan data 19

5 Definisi operasional strategi pola nafkah 22

6 Definisi operasional akses terhadap sumberdaya 24

7 Definisi operasional tingkat kemiskinan 26

8 Jumlah penduduk berdasarkan kelompok usia dan jenis kelamin Desa Bajomulyo bulan Desember 2015

31

9 Jumlah penduduk menurut mobilitas dan mutasi 31 10 Frekuensi tingkat akses sumberdaya pada kelas atas 37 11 Frekuensi tingkat akses sumberdaya pada kelas bawah 38 12 Pengaruh tingkat akses sumberdaya terhadap tingkat keberagaman

strategi pola nafkah masyarakat pesisir kelas atas

41

13 Hasil uji regresi linear tingkat akses sumberdaya dengan tingkat keberagaman strategi pola nafkah kelas atas

42

14 Pengaruh tingkat akses sumberdaya terhadap tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat pesisir kelas bawah

42

15 Frekuensi tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat nelayan kelas atas

43

16 Frekuensi tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat nelayan kelas bawah

44

17 Frekuensi tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat kelas atas

48

18 Frekuensi tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat kelas bawah

48

19 Frekuensi kategori-kategori pada tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyaraat nelayan masyarakat kelas atas

48

20 Frekuensi kategori-kategori pada tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyaraat nelayan masyarakat kelas atas


(11)

21 Frekuensi tingkat kemiskinan masyarakat kelas atas 51 22 Frekuensi tingkat kemiskinan masyarakat kelas bawah 51 23 Pengaruh tingkat keberagaman strategi pola nafkah terhadap tingkat

kepemilikan aset masyarakat pesisir kelas atas

52

24 Pengaruh tingkat keberagaman strategi pola nafkah terhadap tingkat kemiskinan masyarakat pesisir kelas bawah

52

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pemikiran 14


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta pola ruang Desa Bajomulyo, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati,

Provinsi Jawa Tengah 58

2 Panduan wawancara mendalam 59

3 Kerangka sampling 67

4 Dokumentasi 68

5 Uji validitas dan reliabilitas kuesioner 70


(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kemiskinan merupakan masalah yang selama ini masih dihadapi oleh negara Indonesia. Upaya pemberantasan kemiskinan harus terus diupayakan walaupun angka kemiskinan menunjukkan penurunan. Guiga et al. (2012) memaparkan bahwa kemiskinan adalah fenomena global yang terus meningkat hari demi hari khususnya di daerah sub-sahara Afrika, Asia dan Amerika Latin. Hasil survei Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa terjadi penurunan angka kemiskinan di Indonesia dari data survei bulan Maret 2015 dengan bulan September 2015 (BPS 2014). Angka kemiskinan pada Maret 2015 yaitu sebesar 28.592,79 dan mengalami penurunan pada survei bulan September 2015 dengan kemiskinan sebesar 28.513,57. Data BPS tahun 2011 menunjukkan bahwa dari 12, 36% penduduk Indonesia yang miskin, 25,14% penduduk miskin tersebut adalah nelayan miskin, Rosyid (2013). Widodo (2011) menjelaskan bahwa kemiskinan adalah indikator yang paling jelas dalam menunjukkan keberhasilan pembangunan nasional. Selanjutnya ia juga menjelaskan bahwa masyarakat yang berada di kawasan pesisir menghadapi berbagai permasalahan yang menyebabkan kemiskinan.

Kemiskinan masyarakat pesisir yang dijelaskan oleh Widodo tersebut didukung oleh pendapat dari Satria (2009) bahwa kalangan masyarakat pesisir sering menjumpai masalah antara lain ketidakadilan harga, lemahnya teknologi dan modal, terbatasnya sumber daya manusia (SDM), terbatasnya akses terhadap sumberdaya, dan lemahnya organisasi. Selain itu dijelaskan pula oleh Pakpahan et al. (2006) bahwa nelayan terdiri dari mayarakat berpendidikan rendah dan hidup miskin. Masalah-masalah tersebut yang menyebabkan posisi masyarakat pesisir lemah diantara pelaku usaha lain. Padahal sesuai Peraturan Pemerintah No.166 tahun 2014 pasal 1 ayat 1 berbunyi:

“Penanggulangan kemiskinan adalah kebijakan dan program pemerintah dan pemerintah daerah yang dilakukan secara sistematis, terencana, dan bersinergi dengan dunia usaha dan masyarakat untuk mengurangi jumlah penduduk miskin dalam rangka meningkatkan derajat kesejahteraan rakyat.”.

Pemaparan peraturan pemerintah tersebut memberi gambaran bahwa penanggulangan masalah kemiskinan bukan hanya tanggung jawab dari pemerintah, namun juga sinergi dari berbagai pihak termasuk masyarakat dalam dunia usaha. Kegiatan usaha seringkali kita temui di kawasan pesisir dan memungkinkan menjadi bagian dari strategi pola nafkah. Kegitan usaha tersebut tak jarang melibatkan ekonomi kreatif yang mengunggulkan aspek kreativitas atau gagasan seperti usaha kuliner, seni pertunjukan, kerajinan, dan sebagainya sesuai yang diulas oleh Rosyid (2013).

Selain peraturan pemerintah yang menyinggung tentang kemiskinan, secara lebih jelas terdapat Undang-Undang No. 32 tahun 2014 pasal 15 yang menjelaskan bahwa laut adalah potensi sumber daya yang dapat dikembangkan menjadi basis ekonomi. Lebih jelasnya isi pasal 15 Undang-Undang No. 32 tahun 2014 yang ayat satu, dua, dan tiga:


(14)

“1) Dalam rangka pemanfaatan dan pengusahaan Sumber Daya Kelautan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14, pemerintah menetapkan Kebijakan Ekonomi Kelautan; 2) Kebijakan ekonomi Kelautan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk menjadikan Kelautan sebagai basis pembangunan ekonomi; 3) Basis pembangunan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui penciptaan usaha yang sehat dan peningkatan kesejahteraan rakyat, terutama masyarakat pesisir dengan mengembangkan kegiatan ekonomi produktif, mandiri, dan mengutamakan kepentingan nasional.”

Undang-undang tersebut menjelaskan bahwa Indonesia memiliki sumberdaya laut yang dapat dijadikan sebagai usaha dalam meningkatkan perekonomian negara. Apalagi jika melihat kawasan laut Indonesia yang sangat luas yaitu 75% berupa perairan laut dengan panjang pantai mencapai 81.000 km dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5.800.000 km2 (Hamdani 2013).

Undang-undang tersebut memberikan gambaran optimisme bangsa ini dalam bidang kelautan. Masyarakat pesisir pun masih sering diidentikkan dengan kemiskinan. Padahal anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar. Masyarakat pesisir yang banyak bermatapencaharian sebagai nelayan memiliki strategi pola nafkah tertentu yang membuat mereka dapat mengatasi kemiskinan yang terjadi. Bahkan tidak jarang nelayan-nelayan yang melakukan berbagai strategi dalam mengatasi kemiskinan tersebut mengalami mobilitas sosial vertikal menuju masyarakat kelas atas secara ekonomi atau mempertahankan status ekonomi yang dianggap aman. Berbagai resiko yang selama ini dialami oleh nelayan memerlukan antisipasi. Antisipasi tersebut dapat berupa strategi mata pencaharian (pengembangan pola nafkah ganda, dorongan ke arah laut lepas, dan diversifikasi alat tangkap) , strategi permodalan, dan strategi makro (Satria 2009). Oleh karena itu, apa pengaruh tingkat keberagaman strategi pola nafkah terhadap tingkat kemiskinan masyarakat pesisir menjadi penting untuk diulas.

Masalah Penelitian

Kemiskinan yang terjadi di Indonesia adalah tanggung jawab bersama tidak hanya bagi kalangan pemerintah, akademisi, maupun masyarakat. Kemiskinan yang terjadi merupakan dampak dari kebijakan yang kurang tepat, akses terhadap sumberdaya yang sulit, maupun pola nafkah yang kurang efektif. Beberapa hal yang berkaitan dengan kemiskinan adalah akses terhadap pendidikan, teknologi, lembaga pemasaran dan lembaga keuangan. Kemiskinan yang terjadi di masyarakat pesisir terutama yang dialami oleh nelayan cukup besar. Hal itu yang menjadikan nelayan diidentikkan dengan kelompok miskin sehingga hal yang perlu diulas yaitu bagaimana pengaruh tingkat akses sumberdaya terhadap tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat pesisir?

Kemiskinan yang terjadi di kawasan pesisir sering menimbulkan inisiatif dari kelompok-kelompok yang mengalami kemiskinan untuk memiliki alternatif pekerjaan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Seringkali strategi yang digunakan kurang menyentuh berbagai bidang dan tidak maksimal. Namun tak jarang strategi nafkah yang digunakan dapat menjadi


(15)

pendorong kelompok miskin untuk melakukan usaha dalam mendorong mobilitas ekonomi menuju kelas menengah maupun kelas atas. Strategi nafkah pun dilakukan untuk mempertahankan kondisi ekonomi tertentu yang dianggap aman dari kemiskinan. Sehingga muncul pertanyaan apa saja strategi pola nafkah yang dilakukan oleh masyarakat pesisir?dan apa pengaruh tingkat keberagaman strategi pola nafkah terhadap tingkat kemiskinan?

Tujuan Penelitian Tujuan skripsi yang dilakukan adalah:

1. Menganalisis pengaruh tingkat akses sumberdaya terhadap tingkat keberagaman strategi pola nafkah di kawasan pesisir Desa Bajomulyo, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah.

2. Mengidentifikasi tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat pesisir Desa Bajomulyo, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah. 3. Menganalisis pengaruh tingkat keberagaman strategi pola nafkah terhadap

tingkat kemiskinan masyarakat Desa Bajomulyo, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik pihak yang mau melakukan penelitin lebih lanjut tentang kemiskinan pada masyarakat pesisir. Penelitian ini dapat berguna untuk kalangan akademisi, pembuat kebijakan, dan masyarakat. Secara detail kegunaan hasil penelitian ini yaitu:

1. Akademisi

Manfaat penelitian ini untuk para akademisi adalah sebagai tambahan informasi mengenai srategi nafkah masyarakat pesisir dalam menanggulangi kemiskinan. Selain memberi informasi seputar strategi nafkah masyarakat pesisir, penelitian ini juga dapat dijadikan literatur untuk mengembangkan penelitian lebih lanjut pada kawasan pesisir.

2. Pembuat kebijakan

Manfaat hasil penelitian ini bagi pembuat kebijakan adalah sebagai bahan pertimbangan untuk membuat kebijakan di kawasan pesisir. Selain itu juga sebagai upaya memperbaiki kondisi kemiskinan melalui upaya pembangunan yang sesuai pada setiap daerah yang memiliki karakteristik masyarakat yang berbeda.

3. Masyarakat

Manfaat hasil penelitian ini bagi masyarakat yaitu memberikan pengetahuan mengenai strategi pola nafkah pada masyarakat pesisir yang dapat digunakan dalam menanggulangi kemiskinan.


(16)

(17)

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka Kemiskinan

Keberhasilan pembangunan ekonomi suatu wilayah tercermin dari tingkat kemiskinan penduduknya (Nagib et al. 2008). Kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik (BPS) adalah kondisi seseorang secara ekonomi tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan maupun non pangan yang diukur melalui pengeluaran yang berada dibawah garis kemiskinan. BPS menggunakan indikator yang dianggap sesuai untuk diterapkan di Indonesia. Sedangkan Soemardjan et al. (1984) memandang kemiskinan struktural sebagai kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan karena struktur sosial membuat mereka tidak dapat menggunakan sumber-sumber pendapatan yang tersedia. Kemiskinan merupakan sebuah konsep yang dapat diukur menggunakan alat ukur tertentu. Alat ukur yang digunakan pun beragam dan biasanya disesuaikan dengan situasi dan kecocokan pada lokasi penelitian.

Salah satu garis kemiskinan yang digunakan di Indonesia mengacu pada indikator yang dilihat oleh Badan Pusat Statistik seperti yang dijelaskan oleh Annisa (2008). Indikator BPS tersebut yaitu ciri tempat tinggal, kepemilikan aset, aspek pangan, aspek sandang, dan kegiatan sosial. Tempat tinggal digambarkan dengan luas lantai per kapita, jenis lantai, air bersih, dan ketersediaan jamban. Kepemilikan aset dibagi menjadi aset produktif (sawah, kebun, ternak, ojek, angkutan), dan aset non produktif (TV, radio, perhiasan, mebel, sepeda, kendaraan motor bukan untuk usaha). Aspek pangan dilihat dari konsumsi lauk pauk dan variasinya. Aspek sandang dilihat dari kemampuan untuk membeli pakaian per tahun minimal satu stel. Terakhir aspek kegiatan sosial yang dilihat dari kehadiran dalam arisan, rapat RT, rapat sekolah BP3 dan undangan perkawinan dalam tiga bulan terakhir.

Sedangkan kemiskinan dipandang Rusdarti et al. (2013) dalam empat dimensi pokok baik secara lokal maupun nasional yaitu kurangnya kesempatan, rendahnya kemampuan, kurangnya jaminan, dan ketidakberdayaan. Pada pandangan yang sama Widodo (2011) mencirikan kemiskinan dengan rendahnya pendapatan dan cenderung tidak menentu setiap saat. Rendahnya pendapatan tersebut memengaruhi aspek lain yaitu kemampuan mengakses pendidikan dan kesehatan. Rendahnya pendidikan dapat menurunkan peluang dalam mendapatkan pekerjaan yang lebih layak secara ekonomi. Pendapatan yang rendah menyulitkan untuk melakukan akumulasi modal menjadi terbatas, sehingga akses terhadap teknologi yang digunakan untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga menjadi terhambat. Selanjutnya Rusdarti et al. (2013) memaparkan bahwa masalah kemiskinan di Indonesia harus dilihat berdasarkan aspek lokalitas yang dimiliki oleh masing-masing daerah baik yang ditentukan oleh komunitas maupun pemerintah. Hal tersebut berarti bahwa setiap daerah memiliki ciri penyebab kemiskinan yang khas.


(18)

Rusdarti et al. (2013) menjelaskan pula bahwa kemiskinan di Jawa Tengah memiliki jumlah yang tinggi apabila dilihat dari data BPS tahun 2007 yaitu peringkat ke-12 di Indonesia. Rusdarti et al. (2013) menganggap peringkat tersebut masih tergolong tinggi mengingat Jawa Tengah memiliki akses dengan daerah yang mempunyai peringkat rendah yaitu DKI Jakarta dengan peringkat ke-1 dan Bali dengan peringkat ke-2. Lebih jelasnya peringkat tingkat kemiskinan provinsi yang dikutip oleh Rusdarti yaitu:

Tabel 1 Persentase kemiskinan Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Jawa Barat, dan DKI Jakarta Tahun 2007

Peringkat Provinsi Persentase (%)

1 Jawa Tengah 20,43

2 Jawa Timur 19,98

3 DI Yogyakarta 13,55

4 Jawa Barat 18,99

5 DKI Jakarta 4,61

Sumber: BPS, 2007

Kemiskinan jangka panjang dapat dilihat dengan membandingkan data kemiskinan antar provinsi pada tahun 2007 dengan tahun 2012, 2013, dan 2014. Dibandingkan dengan peringkat kemiskinan pada tahun 2012-2014, setelah berbagai program pengentasan kemiskinan dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 2007, BPS menyajikan data kemiskinan:

Tabel 2 Persentase kemiskinan Provinsi Jawa Tengah, DKI Jakarta, dan Bali Tahun 2012-2014

Provinsi Persentase (%)

2012 2013 2014

Jawa Tengah 14,98 14,44 5,51

DKI Jakarta 3,70 3,72 4,09

Bali 3,95 4,49 4,76

Sumber: Laporan bulanan data sosial ekonomi, BPS

Pembahasan menarik dari kedua data tersebut adalah penurunan kemiskinan Jawa Tengah yang signifikan, sementara peningkatan kemiskinan di dua kota yang dijadikan pembanding pada penelitian. Kemiskinan yang terjadi disebabkan oleh kemiskinan struktural dan kultural akibat pembangunan yang belum seimbang dengan hasil yang belum merata (Rusdarti et al. 2013). Selanjutnya kemiskinan yang terjadi tersebut (Rusdarti et al. 2013) kaitkan dengan kepemilikan sumber daya yang tidak merata, kemampuan masyarakat yang tidak seimbang, dan ketidaksamaan kesempatan dalam berusaha dan memperoleh pendapatan sehingga menyebabkan keikutsertaan dalam pembangunan tidak merata. Kemudian Rusdarti et al. (2013) berpendapat bahwa kemiskinan di pedesaan lebih besar dibandingkan di daerah perkotaan. Beberapa temuan yang dikemukakan oleh Rusdarti et al. (2013) mengenai faktor yang memengaruhi kemiskinan di Jawa Tengah yakni: 1) produk Domestik Regional Bruto (PDRB) berpengaruh negatif terhadap persentase jumlah penduduk miskin; 2) peningkatan belanja publik; dan 3) belanja operasional pemerintah yang dominan menyebabkan rendahnya prioritas pada pelayanan publik.


(19)

Kemiskinan masyarakat pesisir

Kondisi masyarakat pesisir digambarkan oleh Satria (2009) sebagai masyarakat yang hidup bersama-sama mendiami wilayah pesisir, memiliki kebudayaan yang khas terkait ketergantungannya pada pemanfaatan sumerdaya pesisir walaupun pekerjaan yang dilakukan selain sebagai nelayan. Kemiskinan dinilai meluas dengan kedalaman kemiskinan yang memprihatinkan Tain (2011). Kemiskinan di wilayah pesisir memicu destructive fishing yang kemudian mengacaukan mata rantai makanan. Hal ini yang menjadi alasan perlunya peningkatan pendapatan rumah tangga nelayan untuk menjamin pembangunan perikanan yang berkelanjutan (Fauzi 2005).

Beberapa kasus kemiskinan pada masyarakat nelayan digambarkan oleh Hidayati et al. (2008) bahwa kemiskinan tertinggi di Kabupaten Cilacap terdapat di kampung laut yang sebagian besar penduduk kampung laut bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan yaitu sebesar 63,57 persen. Pada penelitian lain Winoto (2006) menggambarkan bahwa kemiskinan di Kota Tanjungpinang ditunjukkan dengan adanya pemukiman-pemukiman kumuh kumuh serta liar, serta adanya golongan masyarakat yang masuk kategori keluarga miskin yang disebabkan oleh keterbatasan ekonomi, sosial dan politik dari masing-masing keluarga miskin tersebut. Pendidikan yang rendah digambarkan sebagai kendala dalam memperoleh pekerjaan dalam penelitiannya. Selanjutnya Winoto (2006) juga menggambarkan bahwa profesi sebagai nelayan yang menyebabkan 47,3% penduduk di Kelurahan Dompak masuk ke dalam kategori keluarga miskin.

Melihat kondisi Indonesia dengan segala kondisi lautnya yang melimpah Hamdani (2013) berpendapat bahwa nelayan seharusnya sadar bahwa laut adalah satu-satunya tumpuan hidup mereka. Selanjutnya ia juga menambahkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan nelayan miskin adalah tingkat pendidikan yang rendah. Selain itu Hamdani (2013) menjelaskan bahwa kebiasaan yang dilakukan oleh suatu komunitas akan menjadi ciri dari komunitas tersebut, begitupun yang dialami oleh nelayan tradisional. Hamdani (2013) pun merumuskan faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat tradisional dalam penelitiannya yaitu: (a) kualitas sumber daya manusia; (b) kebiasaan nelayan; (c) pekerjaan alternatif; (d) kepemilikan modal; (e) teknologi yang digunakan; dan (f) peran lembaga ekonomi.

Kemiskinan pada nelayan juga dipengaruhi oleh faktor struktural, dan kultural. Lebih lengkapnya Tain (2011) menambahkan satu faktor lagi, sehingga kemiskinan dalam penelitiannya dikelompokkan menjadi tiga bentuk yaitu kemiskinan struktural, kemiskinan kultural, dan kemiskinan alamiah. Lebih lanjut Tain (2011) juga menjelaskan pengertian dari ketiga bentuk kemiskinan tersebut. Pertama, kemiskinan struktural yang lebih menguntungkan pemilik modal dan menyulitkan akses terhadap sumberdaya. Kedua, kemiskinan kultural yang bersumber dari tata nilai yang dianut oleh masyarakat nelayan yang tidak kondusif untuk kemajuan. Ketiga, kemiskinan alamiah yang berarti kondisi alam atau sumberdaya yang tidak mendukung nelayan dalam melakukan kegiatan ekonomi produktif. Haryono (2005) juga menambahkan bahwa kemiskinan seringkali terjadi karena sistem bagi hasil yang tidak sesuai, sesuai dengan temuannya dalam


(20)

strategi kelangsungan hidup nelayan yang menggunakan sistem fifty-fifty antara juragan dengan buruh nelayan.

Kemudian Tain (2011) mengeksplorasi ketiga sumber kemiskinan tersebut dan menemukan 15 faktor dominan yang menyebabkan kemiskinan rumah tangga nelayan, yaitu: (1) kelembagaan yang merugikan nelayan kecil; (2) program yang tidak memihak nelayan kecil; (3) pandangan hidup yang berorientasi akherat; (4) keterbatasan sumberdaya; (5) ketidaksesuaian alat tangkap; (6) rendahnya investasi; (7) terikat utang; (8) perilaku boros; (9) keterbatasan musim penangkapan; (10) kerusakan ekosistem; (11) penyerobotan wilayah tangkap; (12) lemahnya penegakan hukum; (13) kompetisi untuk mengungguli nelayan lain; (14) penggunaan alat/ bahan terlarang; dan (15) perilaku penangkapan. Pandangan hidup berorientasi akherat sebagaimana dijelaskan oleh Tain (2011) ditujukan untuk nelayan yang berdoa saja namun kurang melakukan usaha.

Hamdani (2013) merumuskan tentang tingkat pendidikan bahwa kualitas sumber daya manusia yang dilihat dari tingkat pendidikannya dapat menentukan apakah suatu masyarakat tergolong miskin atau bukan miskin. Kemudian Hamdani (2013) pun memprediksi persoalan yang akan muncul dengan rendahnya tingkat pendidikan nelayan yaitu ketika ingin bekerja di tempat lain yang dianggap menjanjikan. Kebiasaan nelayan yang mendorong kemiskinan sesuai penjelasan Hamdani (2013) berupa peminjaman pada juragan saat paceklik, gaya hidup konsumtif, minum minuman keras dan berjudi, dan pola hidup yang kurang memerhitungan kebutuhan masa depan.

Faktor kepemilikan teknologi dan peran lembaga ekonomi saling berkaitan erat. Hamdani (2013) selain memaparkan kesulitan nelayan dalam mendapatkan modal akibat tidak bisa menabung dan akses perkreditan yang sulit membuat nelayan kesulitan untuk mengembangkan usaha.

Kemiskinan juga dapat dikaitkan dengan besarnya pengeluaran rumah tangga nelayan. Kemiskinan dengan pengeluaran sebagai indikator dikategorikan oleh Firdaus et al. (2013) dari nilai pengeluaran non pangan yang lebih kecil dari pengeluaran pangan. Sebaliknya Firdaus et al. (2013) mengemukakan bahwa semakin kecil pengeluaran pangan maka keluarga tersebut semakin sejahtera sebab secara alamiah kebutuhan pangan memiliki batas kejenuhan sedangkan kebutuhan non pangan ataupun kualitas pangan tidak terbatasi dengan cara yang sama. Berkaitan dengan aktivitas usaha Firdaus et al. (2013) mengganggap keidentikan nelayan dengan pesisir, memiliki ketergantungan pada sumber daya perikanan yang sama dalam aktivitas usahanya, seperti penggunaan jenis alat tangkap dan ukuran armada yang sama. Sektor usaha yang ditemui yaitu terdiri dari pedagang perikanan dan nelayan untuk sektor perikanan, sedangkan untuk sektor non perikanan terdiri dari pedagang saja.

Firdaus et al. (2013) menyarankan agar dalam meningkatkan kesejahteraan rumah tangga nelayan perlu peningkatan pendapatan disamping menekan pengeluaran rumah tangga. Sebagai konsekuensinya Firdaus et al. (2013) menyarankan pemerintah agak membuat kebijakan yang dapat menjamin stabilitas harga di kalangan konsumen, disamping itu nelayan juga meningkatkan penghasilan dengan meningkatkan nilai mutu produk ikan, juga mencari pekerjaan alternatif.


(21)

Penelitian lain sebagaimana disampaikan oleh Imron (2003) mengemukakan bahwa kecenderungan kemiskinan yang dialami oleh nelayan dan nelayan perorangan menjadi sebuah ironi karena Indonesia memiliki wilayah laut yang luas daripada wilayah darat, sedangkan laut kaya akan sumberdaya yang mampu untuk mensejahterakan nelayan maupun keluarganya. Selain itu Imron (2003) juga menjelaskan bahwa kemiskinan dapat bergantung dari perasaan dari nelayan yang tidak dapat memenuhi kebutuhan ekonominya atau karena membandingkan dengan orang lain yang pendapatannya lebih tinggi darinya. Imron (2003) pun menambahkan tentang kemiskinan yang dilihat dari dimensi ekonomi yaitu sandang, pangan dan papan. Ia menyebutkan bahwa menilai kemiskinan nelayan secara kualitatif sifatnya mudah, yaitu dengan melihat kondisi rumah yang kumuh dengan perabotan yang seadanya, dan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan sandang dan kesehatan yang rendah.

Secara lebih lengkap penyebab kemiskinan utama nelayan yang ditemukan oleh Imron (2003) adalah faktor teknologi yang berarti ketidakmampuan mengakses teknologi mengakibatkan ketergantungan pada musim dan wilayah tangkap yang terbatas. Keterbatasan tersebut memengaruhi hasil tangkapan nelayan sedikit, kemudian membuat posisi tawar nelayan lemah dalam pelelangan ikan dan terjebak dalam ikatan dengan tengkulak. Hal tersebut didukung pula oleh Berikutnya Haryono (2005) dengan faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan dan keterbatasan sosial nelayan yang selain disebabakan oleh fluktuasi musim ikan, keterbatasan sumber daya manusia, keterbatasan modal, kurangnya akses, dan jaringan perdagangan ikan yang cenderung eksploitatif terhadap nelayan sebagai produsen, serta dampak negatif modernisasi yang mendorong terkurasnya sumber daya laut secara cepat dan berlebihan, kurangnya kesempatan nelayan untuk melakukan diversifikasi pekerjaan, terutama di luar kegiatan melaut.

Strategi pola nafkah

Hamdani (2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kehidupan nelayan tidak akan berubah jika hanya mengandalkan dari pekerjaan melaut yang bergantung dengan kondisi alam. Pekerjaan alternatif sangat diperlukan nelayan untuk meningkatkan pendapatan mereka, walaupun seringkali terkendala dengan tingkat pendidikan nelayan tradisional yang hanya tamat Sekolah Dasar (SD) (Hamdani 2013).

Strategi pola nafkah dijelaskan melalui kerangka teoretikal sosiologi penghidupan oleh Dharmawan (2007:184-185):

1. Dalam kondisi dan situasi apapun, setiap individu atau rumahtangga selalu berupaya untuk mempertahankan status kehidupannya dan sebisa mungkin melanjutkan eksistensinya hingga lintas generasi melalui berbagai cara (strategi) bertahan hidup melalui manipulasi sumber-sumber penghidupan yang tersedia di hadapannya.

2. Setiap individu membangun mekanisme-mekanisme survival melalui kelompok maupun komunitas sesuai konteks sosio-budaya-eko-geografi dan lokalitas dimana individu tersebut berada.

3. Ada kekuatan infrastruktur (kelembagaan) dan kekuatan supra-struktur (tata-nilai) serta supra-struktur sosial (pola hubungan sosial)


(22)

yang menyebabkan bentuk strategi nafkah yang dibangun oleh individu maupun kelompok individu tidak selalu seragam di setiap lokalitas.

4. Hingga batas tertentu, strategi nafkah yang dibangun oleh individu dan rumah tangga akan mempengaruhi dinamika kehidupan sosial pada aras masyarakat. Sebaliknya dinamika kehidupan masyarakat akan menentukan strategi yang dibangun di tingkat individu dan rumahtangga.

Dharmawan (2007) juga memaparkan bahwa dalam menyelesaikan masalah kemiskinan dan keterbelakangan di pedesaan salah satu poin yang harus diperhatikan adalah akses terhadap sumberdaya alam/agraria. Berkaitan dengan aset kehidupan dan akses Abdurrahim (2015) mengemukan bahwa strategi pengidupan yang dimaknai dalam penelitiannya adalah bagaimana aset penghidupan seperti modal alam, fisik, manusia/ insani, finansial dan sosial yang dimiliki dan diakses serta dapat dikombinasikan dengan berbagai aktivitas mencari nafkah sehingga dapat menjaga kelangsungan hidup masyarakat. Dalam hal ini strategi penghidupan rumah tangga dalam penelitiannya yaitu dari segi pertanian, non-pertanian dan migrasi. Sedangkan aset yang dimaksud Abdurrahim (2015) ialah modal insani, modal fisik, modal finansial, modal alam, dan modal sosial. Kerentanan ekologi yang terjadi diiringi dengan modal sosial yang tinggi berupa ikatan kekerabatan, cara pandang dan sistem nilai yang dijalankan dengan prinsip resiprositas dan pertukaran yang cukup tinggi (Abdurrahim 2015). Ikatan patron klien yang dikenal khas di daerah pesisir juga dapat ditemui dalam kehidupan petani sawah di Pantai Utara Indramayu, sebab petani membutuhkan juru selamat yang membantu kehidupan ekonominya yang tidak stabil (Abdurrahim 2015).

Nagib et al. (2008) menjelaskan bahwa kondisi ekonomi rumah tangga tercermin dari besarnya pendapatan rumah tangga diperoleh dari kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh anggota rumah tangga (ART) termasuk kepala rumah tangga (KRT) yang berusia lebih dari 15 tahun. Kegiatan ekonomi yang dilakukan tersebut dipengaruhi oleh kesempatan kerja yang tersedia. Penelitian lain merumuskan sebuah langkah untuk mengentaskan kemiskinan masyarakat nelayan sesuai penelitian Imron (2003) tentang kemiskinan pada masyarakat nelayan, ia mengutip pendapat dari Goulet (1973) yang mengemukakan bahwa mengembangkan masyarakat nelayan bukan hanya meningkatkan pendapatannya namun juga meningkatkan harga diri nelayan agar orang miskin dianggap lebih manusiawi. Walaupun begitu Imron (2003) mengungkapkan bahwa pilihan yang dimiliki nelayan dalam bertahan hidup ialah: (1) tetap bertahan dengan alat tangkap yang dimiliki walaupun terjebak dalam kemiskinan; (2) meningkatkan produktifitas dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi; (3) meningkatkan produktivitas dengan cara murah walaupun merusak lingkungan; dan (4) menjadi nelayan dan melakukan pekerjaan alternatif.

Sudut pandang yang lebih unik dikemukakan oleh Rosyid (2013) dalam skripsinya yang melihat ekonomi kreatif sebagai bentuk strategi nafkah masyarakat nelayan. Rosyid (2013) menilai masyarakat nelayan memiliki dua karakteristik yaitu secara ekonomi dan sosial. Secara ekonomi dinilai dari tingkat pendapatan dan tingkat alokasi, sedangkan secara sosial dengan melihat tingkat interaksi dan tingkat relasi patron-klien. Rosyid (2013) menjabaran ruang lingkup


(23)

ekonomi kreatif yang dipetakan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI menjadi 15 sektor yaitu: (1) periklanan, (2) arsitektur, (3) desain, (4) pasar barang seni, (5) kerajinan, (5) musik, (6) fesyen, (7) permainan interaktif, (8) video, (9) seni pertunjukan, (8) layanan komputer dan piranti lunak, (9) riset dan pengembangan, (10) penerbitan dan percetakan, (11) televisi dan radio, dan (12) kuliner.

Selain strategi pola nafkah yang ditempuh melalui ekonomi kreatif, pada penelitian yang dilakukan oleh Widodo (2012) yang berjudul peran perempuan dalam sistem nafkah rumah tangga nelayan menjelaskan bahwa perempuan memiliki peran penting dalam sistem nafkah rumah tangganya. Bidang yang ditekuni perempuan-perempuan dalam sistem nafkah rumah tangga antara lain dalam bidang ekonomi, sosial, dan aktivitas organisasi. Peran-peran perempuan tersebut yaitu memasarkan ikan, mengasinkan ikan dan mengasap ikan serta bidang kerajinan dan menjahit. Selanjutnya Widodo (2012) juga menjelaskan bahwa program intensif tenaga kerja di desa sangat bermanfaat untuk melibatkan perempuan. Widodo (2012) menyarankan untuk membatasi migrasi yang dilakukan oleh perempuan, sebab peran reproduksi dan manajemen keluarga oleh perempuan menjadi tidak maksimal. Walaupun peran perempuan dalam perekonomian rumah tangga cukup besar, namun pengambilan keputusan tetap saja didominasi oleh laki-laki.

Strategi pola nafkah juga dapat terjadi secara berkelanjutan seperti yang dipaparkan oleh Haryono (2005) dalam penelitiannya yang berjudul strategi kelangsungan hidup nelayan, yang menjelaskan terkait diversifikasi pekerjaan yang dilakukan oleh nelayan. Beberapa faktor yang dianggap Haryono (2005) memengaruhi diversifikasi pekerjaan yaitu: (1) keterlibatan keluarga nelayan; (2) lingkungan fisik dan alam; dan (3) peluang kerja di desa nelayan.

Masyarakat pesisir

Satria (2009) berpendapat bahwa masyarakat pesisir memiliki beragam potensi sumberdaya alam sehingga dapat memberikan manfaat optimal bagi pengembangan ekonomi dan sosial-budaya masyarakat. Lebih lanjut Widodo (2011) menjelaskan bahwa masyarakat yang berada di kawasan pesisir menghadapi berbagai permasalahan yang membuat mereka menjadi miskin. Kemudian Abdurrahim (2015) yang meneliti kerentanan ekologi rumah tangga petani di Pantai Utara Indramayu memaparkan bahwa perubahan iklim yang terjadi di wilayah pesisir mengacaukan aktivitas pertanian padi sawah. Berbagai masalah pertanian seperti banjir, kekeringan dan serangan HPT dialami oleh petani karena perubahan iklim global (Abdurrahim 2015). Abdurrahim (2015) pun mengemukakan bahwa sebagian besar area sawah yang memiliki salinitas tinggi akibat jaraknya yang tidak jauh dari pantai mengakibatkan air tanah tidak dapat dipompa untuk mengairi persawahan.

Pendapat lain menjelaskan bahwa wilayah pesisir memiliki peran penting dalam perekonomian karena merupakan ruang yang menjembatani wilayah daratan dan wilayah lautan yang dicerminkan oleh kegiatan sektor pertanian, perikanan, perdagangan, pengangkutan, kelembagaan, dan kegiatan ekonomi-sosial lainnya (Adisasmita 2006). Selanjutnya Adisasmita (2006) juga menambahkan bahwa kawasan pesisir telah mendukung sebagian besar penduduk


(24)

dunia karena perannya dalam bidang ekonomi dan budaya, serta diharapkan dapat menampung pertumbuhan penduduk pada masa depan.

Strategi pola nafkah masyarakat pesisir dalam menanggulangi kemiskinan Tingkat kemiskinan memengaruhi aktivitas ekonomi di daerah (Rusdarti et al. 2013). Berbagai aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh nelayan terhambat karena keterbatasan nelayan dalam mengakses sarana untuk meningkatkan perekonomian. Walaupun begitu strategi pola nafkah tetap dilakukan oleh nelayan untuk menjaga kelangsungan hidup sesuai dengan pendapat Haryono (2005). Prilaku produksi melaut nelayan yang disampaikan oleh Purwanti (2010) memberikan gambaran bahwa aset perahu yang dimiliki nelayan menyesuaikan dengan wilayah perairan. Kepemilikan aset tersebut memengaruhi hasil tangkapan yang didapatkan oleh nelayan dan pendapatan nelayan pada akhirnya. Selanjutnya Purwanti (2010) menjelaskan pula bahwa jumlah perahu dan ukuran cold box (UPJCB) yang dimiliki nelayan perpengaruh pada produksi nelayan pada musim puncak. Selain itu faktor yang berpengaruh positif terhadap peningkatan produktivitas nelayan yaitu jumlah BBM yang digunakan, curahan kerja melaut, potensi menabung atau surplus rumah tangga nelayan kecil, dan status wilayah sumberdaya. Berkaitan dengan sumber pendapatan non perikanan Purwanti (2010) mengatakan bahwa sumber pendapatan yang berasal dari luar bidang perikanan memiliki peranan besar dalam meningkatkan pendapatan nelayan.

Strategi non-penangkapan ikan dilakukan dengan strategi dalam bidang ekonomi dan juga strategi sosial sesuai yang dikemukakan oleh (Widodo 2011). Strategi pola nafkah yang dilakukan oleh nelayan membawa perkembangan terhadap kehidupan nelayan sehingga memengaruhi status sosial dan ekonomi nelayan berupa kesempatan bekerja dan berusaha, kesejahteraan, adaptasi penghidupan, pemenuhan kebutuhan pangan, dan keberlanjutan sumber daya alam (Widodo 2011).

Selaras dengan apa yang disampaikan oleh Imron (2003) bahwa keterbatasan akses terhadap teknologi membuat nelayan bergantung dengan musim, sehingga upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan bantuan perbaikan teknologi penangkapan seperti penemuan Purwanti (2010) yang menjelaskan program pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan. Bantuan yang dimaksud tersebut dapat meningkatkan produksi sebanyak 15% dan berpengaruh positif pada semua variabel endogen dalam ekonomi rumah tangga nelayan. Selain itu berkaitan dengan penanganan hasil tangkap pasca panen Purwanti (2010) menjelaskan bahwa pananganan hasil tangkap yang dilakukan oleh nelayan seringkali kurang, sehingga harga jual pun tidak maksimal . Mutu hasil tangkap tersebut akhirnya menyebabkan penjualan hanya bergantung pada harga yang ditetapkan oleh produsen. Strategi nafkah dalam perbaikan pengelolaan hasil tangkap dengan pemberian bimbingan dan penyuluhan kepada nelayan akan membantu meningkatkan pendapatan nelayan, apalagi jika dilengkapi dengan lembaga ekonomi yang mendampingi. Hal ini dijelaskan pula oleh Nagib et al. (2008) bahwa sarana dan prasarana ekonomi, seperti pasar dan lembaga keuangan diperlukan untuk mendukung perekonomian masyarakat.

Purwanti (2010) pun menjelaskan pengaruh pendidikan dan kesehatan terhadap ekonomi rumah tangga nelayan dan keterkaitan penambahan curah kerja non-fishing suami dan istri terhadap ekonomi rumah tangga nelayan. Berkaitan


(25)

dengan kedua variabel tersebut dalam jangka panjang kesehatan dan pendidikan dapat memengaruhi produksi, pendapatan, pengeluaran, dan ketahanan pangan rumah tangga. Sedangkan berkaitan dengan penambahan curahan kerja non-fishing keluarga nelayan memengaruhi peningkatan pendapatan, surplus rumah tangga dan ketahanan pangan rumah tangga nelayan. Menurut pendapat BPS sesuai yang dijelaskan Annisa (2008), pangan menjadi salah satu aspek yang diukur dalam melihat kemiskinan.

Kemiskinan perlu memandang berbagai kelas dalam strata sosial yang didefinisikan oleh sosiolog dalam tulisan Damsar (2009) sebagai penggolongan individu secara vertikal berdasarkan status yang dimilikinya dan digolongkan sebagai variabel karena memiliki tiga variasi nilai yaitu tinggi, menengah, dan bawah. Berdasarkan hasil pengukuran tersebut akan diketahui apakah strategi pola nafkah yang dilakukan nelayan dapat membantu menanggulangi kemiskinan dengan perubahan status sosial dan ekonomi nelayan tersebut.

Kerangka Pemikiran

Kemiskinan yang terdapat pada masyarakat nelayan merupakan hal yang sering kita temui di daerah pesisir. Kemiskinan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat bersumber dari struktural, kultural maupun sifat sumber daya perikanan laut sesuai pendapat yang disampaikan oleh Tain (2011). Kondisi kemiskinan tersebut menuntut nelayan untuk lebih terampil dalam mengusahakan kelangsungan hidupnya Haryono (2005). Beberapa strategi yang dapat dilakukan yaitu stretegi dalam penangkapan ikan yang melibatkan keluarga nelayan sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Purwanti (2010).

Selanjutnya strategi non-penangkapan ikan dilakukan dengan strategi dalam bidang ekonomi dan juga strategi sosial sesuai yang dikemukakan oleh (Widodo 2011). Strategi pola nafkah yang dilakukan oleh nelayan membawa perkembangan terhadap kehidupan nelayan sehingga memengaruhi status sosial dan ekonomi nelayan berupa kesempatan bekerja dan berusaha, kesejahteraan, adaptasi penghidupan, pemenuhan kebutuhan pangan, dan keberlanjutan sumber daya alam (Widodo 2011).

Faktor kepemilikan teknologi dan peran lembaga ekonomi saling berkaitan erat. Hamdani (2013) selain memaparkan kesulitan nelayan dalam mendapatkan modal akibat tidak bisa menabung dan akses perkreditan yang sulit membuat nelayan kesulitan untuk mengembangkan usaha. Sedangkan Hamdani (2013) merumuskan bahwa kualitas sumber daya manusia yang dilihat dari tingkat pendidikannya dapat menentukan apakah suatu masyarakat tergolong miskin atau bukan miskin. Imron (2003) juga memaparkan bahwa keterbatasan akses terhadap teknologi membuat nelayan bergantung dengan musim.

Perkembangan nelayan secara sosial dan ekonomi tersebut dapat diukur menggunakan indikator pengukuran kemiskinan yang ditentukan oleh BPS sesuai yang dijelaskan oleh Annisa (2008) yaitu ciri tempat tinggal, kepemilikan aset, aspek pangan, aspek sandang dan kegiatan sosial. Pengukuran kemiskinan perlu memandang berbagai kelas dalam strata sosial yang didefinisikan oleh sosiolog dalam tulisan Damsar (2009) sebagai penggolongan individu secara vertikal berdasarkan status yang dimilikinya dan digolongkan sebagai variabel karena memiliki tiga variasi nilai yaitu tinggi, menengah, dan bawah. Berdasarkan hasil


(26)

pengukuran tersebut akan diketahui apakah strategi pola nafkah yang dilakukan nelayan dapat membantu menanggulangi kemiskinan dengan perubahan status sosial dan ekonomi nelayan tersebut.

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas maka didapatkan hipotesis berikut ini:

1. Tingkat akses lembaga pendidikan berpengaruh terhadap tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat pesisir.

2. Tingkat akses teknologi berpengaruh terhadap tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat pesisir.

3. Tingkat akses lembaga pemasaran berpengaruh terhadap tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat pesisir.

4. Tingkat akses lembaga keuangan berpengaruh terhadap tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat pesisir.

5. Tingkat keberagaman strategi pola nafkah berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan masyarakat pesisir.

Tingkat akses sumberdaya (X): -lembaga pendidikan (X1) -teknologi (X2)

-lembaga pemasaran (X3) -lembaga keuangan (X4)

Tingkat keberagaman

strategi pola nafkah (Y)

Tingkat kemiskinan (menurut BPS)

(Z) Status sosial dan

ekonomi nelayan: -atas -bawah

Strategi dalam penangkapan ikan:

-keterlibatan keluarga nelayan

Strategi non-penangkapan ikan:

-strategi ekonomi -strategi sosial

Keterangan:

: memengaruhi : mencakup

: variabel antiseden


(27)

PENDEKATAN LAPANG Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dan penelitian eksplanatori. Penelitian kualitatif digunakan untuk mencari data-data pendukung yang tidak dapat dijelaskan melalui hasil survei. Penelitian eksplanatori digunakan untuk menguji hipotesis guna memperkuat atau menolak suatu hipotesis. Penelitian deskriptif ini berguna untuk menjelaskan data yang didapatkan dari survei. Penelitian deskriptif juga berguna untuk memberi keterangan yang lebih lengkap dan sistematis terkait fakta-fakta yang terjadi di lapang.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan kuantitatif dan didukung dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dilakukan untuk memberikan penjelasan tambahan yang tidak dapat diketahui melalui survei. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan memberikan kuesioner kepada responden mengenai strategi pola nafkah yang dilakukan untuk menanggulangi atau bertahan dari kemiskinan. Selanjutnya pendekatan kualitatif dilakukan dengan melakukan wawancara kepada informan terkait perubahan kondisi yang terjadi pada masyarakat Bajomulyo dalam melakukan strategi pola nafkah serta untuk mengetahui kondisi kemiskinan yang ada di Bajomulyo. Jenis wawancara yang dilakukan yaitu wawancara mendalam dengan pertanyaan terstruktur (lampiran 2) yaitu teknik wawancara dengan menyiapkan pertanyaan terlebih dahulu untuk mencari informasi secara mendalam kepada informan. Observasi dan studi dokumentasi dilakukan untuk mengetahui kondisi lapang secara langsung.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi yang dipilih dalam penelitian ini adalah Desa Bajomulyo, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah. Peta lokasi penelitian terlampir pada (lampiran 1). Penetapan lokasi ini dilakukan secara purposive (sengaja). Lokasi tersebut dipilih dengan beberapa pertimbangan, antara lain: 1. Lokasi terletak di dekat Sungai Silugonggo yang merupakan sungai terbesar di

Kabupaten Pati sebagai tempat para nelayan mendaratkan kapal setelah melaut dan sebagai tempat aktivitas perekonomian warga setempat.

2. Tempat Pelelangan Ikan terletak di lokasi tersebut sebagai sarana memasarkan ikan hasil tangkapan nelayan.

3. Lokasi berjarak kurang lebih 2-3 km dari pantura sehingga memudahkan distribusi ikan dan akses terhadap sumber daya pendukung penangkapan ikan. 4. Lokasi memiliki berbagai unit usaha di luar usaha penangkapan ikan di laut

seperti pembuatan ikan asin, pabrik es batu, tambak, dsb.

5. Walaupun merupakan kawasan pesisir, secara visual tidak nampak kondisi kemiskinan dari warga Bajomulyo.


(28)

6. Tempat Pelelangan Ikan Bajomulyo sebagai pemasok ikan terbesar di Kabupaten Pati menurut Pusat Informasi Pelabuhan dan Perikanan Kabupaten Pati.

7. Tangkapan terendah di TPI II Juwana selama 2015 yaitu senilai 8,16 milyar rupiah pada bulan Agustus dan tertinggi senilai 27,5 milyar rupiah berdasarkan Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan.

Penelitian ini diawali dengan pembuatan proposal yang akan dilaksanakan pada bulan Januari 2016. Selanjutnya kolokium pada bulan Februari. Kegiatan penelitian yang dilakukan oleh peneliti meliputi penyusunan proposal penelitian, kolokium, perbaikan proposal penelitian, pengambilan data lapangan, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, uji petik, sidang skripsi, dan perbaikan skripsi. Secara lebih jelas pelaksanaan penelitian ini ditampilkan dalam bentuk tabel.


(29)

Tabel 3 Pelaksanaan penelitian tahun 2016

Kegiatan Januari Februari Maret April Juni

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Penyusunan proposal penelitian Kolokium

Perbaikan proposal Pengambilan data lapangan

Pengolahan data dan analisis data Penulisan draft skripsi

Uji petik Sidang skripsi Perbaikan skripsi


(30)

Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui survei kepada responden, wawancara mendalam dengan pertanyaan terstruktur kepada informan, dan observasi. Selanjutnya data sekunder didapatkan dengan mengumpulkan berbagai dokumen terkait pola nafkah dan kemiskinan dari kantor desa, kantor kecamatan, dinas kelautan dan perikanan Kabupaten Pati, dinas ketenagakerjaan Kabupaten Pati, Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Pati dan tempat pelelangan ikan Kecamatan Juwana.

Pendekatan yang dilakukan meliputi pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan survei kepada responden yang telah ditentukan dengan kuesioner. Kuesioner tersebut diuji coba terlebih dahulu. Selain melakukan uji validity dan reliability pada kuesioner, pernyataan kualitatif digunakan untuk menyempurnakan kuesioner atau sebaliknya, panduan pertanyaan dalam kuesioner sebagai dasar dalam menyusun panduan wawancara mendalam dengan informan. Wawancara mendalam dilakukan kepada responden sesuai topik pada poin pertanyaan kuesioner. Responden pencilan yang khas diwawancarai secara mendalam mengenai pandangan subjektifnya terkait strategi pola nafkah yang ada di Desa Bajomulyo. Responden tersebut yaitu rumahtangga Bajomulyo yang melakukan strategi nafkah baik dalam penangkapan ikan maupun non penangkapan ikan.

Data kualitatif didapatkan melalui wawancara kepada nelayan, pelaku usaha, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh perempuan, aparatur desa Bajomulyo, dinas kelautan dan perikanan Kabupaten Pati dan tempat pelelangan ikan Kecamatan Juwana. Wawancara dilakukan untuk menambah informasi terkait strategi pola nafkah yang dilakukan masyarakat Bajomulyo beserta kondisi kemiskinan yang ada di lokasi.Wawancara mendalam dengan pertanyaan yang dikembangkan, dilakukan peneliti ketika di lapang untuk memperkaya informasi dalam penelitian ini. Wawancara juga dilakukan dalam Bahasa Jawa agar mempermudah informan menerima dan menyampaikan informasi. Pencarian data kualitatif dihentikan jika sudah mencapai titik jenuh yaitu ketika informasi sudah banyak terkumpul dan dapat merepresentasikan topik yang diteliti.Berbagai studi terdahulu tentang strategi pola nafkah, masyarakat pesisir dan kemiskinan digunakan untuk melengkapi kekurangan dalam pembahasan penelitian.

Observasi lapangan dilakukan untuk mengetahui berbagai aktivitas pola nafkah masyarakat Bajomulyo secara langsung. Selain itu juga untuk menjalin kedekatan dengan masyarakat supaya mendapatkan data secara riil ketika melakukan survei. Proses penelitian direkam melalui catatan lapang atau field notes.


(31)

Tabel 4 Metode pengumpulan data

Teknik Pengumpulan Data Data yang Dikumpulkan Data primer

Kuisioner 1. Tingkat kemiskinan masyarakat 2. Akses sumberdaya oleh masyarakat 3. Status sosial masyarakat

4. Strategi dalam penangkapan ikan 5. Strategi nafkah non penangkapan ikan Wawancara mendalam 1. Ragam pekerjaan yang dilakukan

masyarakat.

2. Strategi masyarakat dalam bertahan dari kemiskinan atau melakukan mobilitas sosial dari kelas bawah ke kelas atas.

Data sekunder

Profil Desa Bajomulyo tahun 2016 Sejarah dan potensi desa. Kebijakan pemerintah terkait

pemberantasan kemiskinan

Program penanggulangan kemiskinan Data monografi Desa Bajomulyo Kondisi geografi dan demografi Desa

Bajomulyo Data Badan Pusat Statistik mengenai

potensi desa serta sensus penduduk tahun 2010

Potensi desa Bajomulyo

Observasi lapangan Kegiatan masyarakat dalam melakukan strategi pola nafkah.

Teknik Penentuan Informan dan Responden

Populasi dalam penelitian ini yaitu masyarakat Desa Bajomulyo, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah. Populasi sampel yang dipilih untuk menjadi responden yaitu rumah tangga yang melakukan pekerjaan penangkapan ikan maupun non penangkapan ikan. Unit analisis dalam penelitian ini yaitu rumah tangga dengan minimal satu anggota keluarga bekerja pada sektor penangkapan ikan maupun non penangkapan ikan. Wawancara dilakukan kepada kepala rumah rangga. Metode yang digunakan dalam menentukan responden yaitu dengan stratified random sampling sehingga dapat mengetahui strategi pola nafkah pada masing-masing kelas sosial atas dan bawah. Alasan lain yaitu karena masyarakat Desa Bajomulyo bersifat heterogen dari sisi pekerjaan, akses terhadap kelembagaan, tingkat pendidikan, dan teknologi. Teknik sampling tersebut dijabarkan dalam sebuah kerangka (lampiran 3). Responden dipilih secara acak menggunakan software Microsoft Excel 2013 sebanyak 40 responden. Responden dengan jumlah 40 tersebut terdiri atas 20 responden dari kelas atas dan 20 responden dari kelas bawah. Pemilihan responden sebanyak 20 pada masing-masing kelas menggunakan perbandingan tidak berimbang sebagaimana dijelaskan oleh Efendi et al. (2012) bahwa perbandingan tidak berimbang untuk menentukan jumlah responden dapat dilakukan untuk mencegah jumlah responden yang timpang antar kelas. Jumlah 20 dipilih karena dapat mewakili kelas atas yang hanya berjumlah 31 orang. Selain itu juga mempertimbangkan standar minimum pengolahan data SPSS untuk sampel acak berkelas. Kelas atas merupakan warga Desa Bajomulyo


(32)

yang memiliki kapal , sedangkan kelas bawah merupakan anak buah kapal (ABK) yang dipilih secara aksidental. Penentuan secara aksidental dilakukan karena ketidaktentuan keberadaan ABK, termasuk ABK asal Bajomulyo. ABK memiliki kecenderungan berada di laut dan libur beberapa hari untuk mempersiapkan keberangkatan selanjutnya.

Informan dipilih secara purposive atau sengaja. Informan yang dipilih secara sengaja tersebut bertujuan agar wawancara mendalam lebih terstruktur. Informan yang dipilih yaitu yang menguasai informasi terkait usaha penangkapan ikan, non penangkapan ikan, dan kondisi tingkat kemiskinan di lokasi penelitian. Informan yang dipilih antara lain nelayan, pelaku usaha, tokoh desa, tokoh perempuan, aparatur desa Bajomulyo, aparatur kecamatan Juwana, dinas kelautan dan perikanan Kabupaten Pati, dan tempat pelelangan ikan Kecamatan Juwana. Penambahan informan dilakukan untuk melengkapi kekurangan informasi ketika di lapang.

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah data kuantitatif dan didukung dengan data kualitatif. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel 2013 dan SPSS for Windows versi 22.0. Hasil dari pengolahan tersebut dibuat dalam bentuk tabel frekuensi. Pengaruh antar variabel dalam analisis statistik deskriptif dilihat melalui tabel frekuensi. Data sekunder yang diperoleh disajikan dalam bentuk narasi.

Selang kepercayaan dalam uji regresi yaitu sebesar (α = 5%) untuk melihat pengaruh antara tingkat keberagaman strategi pola nafkah yang dilakukan nelayan dengan tingkat kemiskinan yang ada di lokasi penelitian. Alfa 5% dipilih agar toleransi kesalahan pada penelitian sosial yang diterima lebih kecil dengan data lebih valid. Sebelum mengolah data pada SPSS for Windows versi 22.0, dibuat buku kode terlebih dahulu pada Microsoft Excel 2013 untuk mempermudah proses pengolahan data.

Sedangkan data kualitatif yang diperoleh direduksi terlebih dahulu untuk memilih informasi yang diperlukan untuk mendukung topik penelitian. Data tersebut digolongkan terlebih dahulu untuk memperkuat data kuantitatif yang didapatkan, kemudian disajikan dalam bentuk laporan naratif dengan menggunakan Microsoft Word 2013. Selanjutnya yang dilakukan adalah mengambil kesimpulan dari hasil reduksi data. Hasil kualitatif-subjektif dan kuantitatif-objektif dibandingkan untuk mendapatkan hasil analisis dan interpretasi secara rinci. Setelah kesimpulan didapatkan , hasil penelitian disajikan dalam bentuk laporan skripsi.


(33)

Definisi Operasional

Definisi operasional adalah unsur penelitian yang memberi arahan bagaimana mengukur sebuah variabel (Effendi et al. 2012). Pertanyaan kuesioner yang akan digunakan dibuat berdasarkan definisi operasional:

1. Tingkat keberagaman strategi pola nafkah yang dilakukan

Strategi pola nafkah yang mana oleh Satria (2009) disebut sebagai strategi mata pencaharian adalah salah satu upaya untuk memutus rantai kemiskinan. Strategi pola nafkah masyarakat nelayan terdiri dari strategi penangkapan ikan dan strategi non penangkapan ikan (Purwanti 2010). Purwanti (2010) juga mengatakan bahwa sumber pendapatan yang berasal dari luar bidang perikanan memiliki peranan besar dalam meningkatkan pendapatan nelayan. Skor tinggi pada tingkat keberagaman strategi pola nafkah yaitu (x>rata-rata), sedangkan skor rendah adalah (x≤rata-rata). Berikut adalah beberapa definisi dari poin-poin tingkat keberagaman strategi pola nafkah yang akan dinilai melalui kuesioner.

- Penangkapan ikan: pekerjaan sebagai nelayan/ kegiatan menangkap ikan, binatang laut, tumbuhan laut di laut sebagai bentuk pekerjaan untuk mendapatkan penghasilan guna memenuhi kebutuhan.

- Non penangkapan ikan: kegiatan perikanan di luar penangkapan ikan sebagai bentuk pekerjaan, bisa sebagai pekerjaan alternatif pekerja penangkapan ikan.

- Lama sandar kapal: berapa hari waktu kapal bersandar sebelum memulai kembali aktivitas mencari ikan.

- Lama menangkap ikan: waktu yang menunjukkan seberapa lama waktu yang dibutuhkan nelayan dalam melakukan penangkapan ikan di laut.

- Pendapatan hasil menangkap ikan: seberapa besar uang yang didapatkan nelayan dari hasil menangkap ikan.

- Pola nafkah ganda: unit usaha yang dilakukan sebagai pekerjaan alternatif nelayan tangkap

- Lama menjalankan usaha: seberapa lama responden menjalankan unit usaha baik sebagai pekerjaan alternatif maupun pekerjaan utama

- Pemanfaatan modal sosial: seberapa luas hubungan dan pemanfaatan jaringan sebagai pendukung strategi pola nafkah yang dilakukan.


(34)

Tabel 5 Definisi operasional tingkat keberagaman strategi pola nafkah No. Variabel Indikator Skor Jenis

Data

Indikator

1. Penangkapan ikan

Intensitas Penangkapan ikan

Tinggi (>4 kali/bulan)

3 Interval Tinggi: x>rata-rata Rendah: x≤rata-rata Sedang (3-4

kali/bulan)

2

Rendah (<3kali/bulan)

1

Lama sandar kapal

Lama (X≥1/2 SD)

3 Interval Sedang (-1/2

SD≤X≤1/2 SD)

2

Rendah (X≤1/2 SD) 1 Pendapatan hasil menangkap ikan

3 Interval

2 1 2

Non-penangkapan ikan

Pola nafkah ganda

Ya 2 Ordinal

Tidak 1

Lama menjalankan usaha

Lama (X≥1/2 SD)

3 Interval

Sedang (-1/2 SD≤X≤1/2 SD)

2

Rendah (X≤1/2 SD)

1

Pemanfaatan modal sosial

Ya 2 Ordinal

Tidak 1

2. Tingkat akses terhadap sumberdaya

Hamdani (2013) merumuskan bahwa kualitas sumber daya manusia yang dilihat dari tingkat pendidikannya dapat menentukan apakah suatu masyarakat tergolong miskin atau bukan miskin. Hamdani (2013) selain memaparkan kesulitan nelayan dalam mendapatkan modal akibat tidak bisa menabung dan akses perkreditan yang sulit membuat nelayan kesulitan untuk mengembangkan usaha. Imron (2003) juga memaparkan bahwa keterbatasan akses terhadap teknologi membuat nelayan


(35)

bergantung dengan musim. Berikut adalah beberapa definisi dari poin-poin tingkat akses terhadap sumberdaya yang dinilai melalui instrumen kuesioner.

- Akses terhadap pendidikan: tingkat kemudahan nelayan kelas atas maupun kelas bawah dalam memanfaatkan pendidikan untuk meningkatkan kualitas diri.

- Pendidikan terakhir: pendidikan formal terakhir yang pernah diikuti responden. - Keberadaan lembaga pendidikan formal di kecamatan: pengetahuan pelaku usaha

perikanan tentang ada tidaknya lembaga pendidikan formal di tingkat kecamatan. - Keikutsertaan lembaga pendidikan informal: keikutsertaan pelaku usaha perikanan

pada kegiatan penyuluhan atau pelatihan baik dari pemerintah atau non pemerintah guna meningkatkan pengetahuan pembaca.

- Pendidikan sebagai syarat kerja: pendidikan formal menjadi syarat dalam menjalani pekerjaan yang dilakukan saat dilaksanakan penelitian.

- Akses terhadap teknologi: tingkat kemudahan pelaku usaha perikanan kelas atas maupun kelas bawah dalam memanfaatkan teknologi berupa mesin/alat produksi modern untuk memudahkan pekerjaan.

- Jenis kapal: Kualitas dan kuantitas kapal yang dimiliki nelayan dan diukur dengan indikator lokal.

- Keterjangkauan teknologi: kemampuan pelaku usaha perikanan dalam mengakses maupun memiliki alat/mesin untuk menjalankan usaha dan juga kemampuan memenuhi syarat atau perijinan mengoperasionalkan teknologi.

- Kebutuhan terhadap teknologi: kebutuhan pelaku usaha perikanan kelas atas maupun kelas bawah terhadap mesin/alat dalam menjalankan pekerjaan.

- Intensitas pemakaian teknologi: waktu penggunaan alat /mesin yang diukur untuk mengetahui apakah teknologi menjadi instrumen utama dalam menjalankan usaha perikanan kelas atas maupun kelas bawah.

- Akses terhadap lembaga pemasaran: tingkat kemudahan pelaku usaha perikanan kelas atas maupun kelas bawah untuk menjalankan pekerjaan.

- Letak tempat pemasaran: keberadaan tempat memasarkan ikan atau hasil olahan ikan.

- Syarat melakukan pemasaran: ketentuan/ aturan/ syarat dalam melakukan pemasaran di tempat pemasaran.

- Akses terhadap lembaga keuangan: tingkat kemudahan pelaku usaha perikanan dalam melakukan peminjaman uang.

- Sasaran peminjaman uang: kepada siapa pelaku usaha perikanan melakukan peminjaman uang atau menyimpan uang.

- Intensitas meminjam uang: berapa kali pelaku usaha perikanan melakukan peminjaman ikan dalam periode waktu tertentu.

- Penggunaan uang pinjaman: peruntukan uang hasil pinjaman.

- Nominal uang pinjaman: berapa jumlah uang yang dipinjam oleh pelaku usaha perikanan kelas atas maupun kelas bawah.


(36)

Tabel 6 Definisi operasional tingkat akses terhadap sumberdaya No. Variabel Indikator Skor Jenis

Data

Indikator

1. Akses terhadap pendidikan

Pendidikan terakhir

Sarjana 6 Ordinal Akses pendidikan: Tinggi: x>rata-rata Rendah: x≤rata-rata Akses teknologi: Tinggi: x>rata-rata Rendah: x≤rata-rata Akses lembaga pemasaran: Tinggi: x>rata-rata Rendah: x≤rata-rata Akses lembaga keuangan: Tinggi: x>rata-rata Rendah: x≤rata-rata Diploma 5

SMA 4

SMP 3

SD 2

Tidak tamat SD

1

Keberadaan lembaga pendidikan formal di Kecamatan

Perguruan tinggi

4 Ordinal

SMA 3

SMP 2

SD 1

Keikutsertaan lembaga pendidikan informal

Tidak 1 Ordinal

Ya 2

Pendidikan sebagai syarat kerja

Ya 2 Ordinal

Tidak 1 2. Akses

terhadap teknologi

Jenis kapal ≤30 GT 2 Interval >30 GT 1

Keterjangkauan teknologi

Sulit

(pendapatan< biaya akses)

1 Ordinal

Mudah (pendapatan> biaya akses) 2 Kebutuhan terhadap teknologi

Ya 2 Ordinal

Tidak 1 Intensitas pemakaian teknologi Setiap melakukan kerja

2 Ordinal


(37)

melakukan kerja 3. Akses

terhadap lembaga pemasaran

Letak tempat pemasaran

Satu desa 4 Ordinal

Satu kecamatan 3 Satu kabupaten 2 Luar kabupaten 1 Syarat melakukan pemasaran

ada 1 Ordinal

tidak 2 4. Akses

terhadap lembaga keuangan Sasaran peminjaman uang

Keluarga 1 Ordinal

Saudara 2 Tetangga 3 Koperasi 4

Bank 5

Intensitas meminjam uang

Tinggi (X≥rata -rata)

2 Interval

Rendah (X<rata-rata) 1 Penggunaan uang pinjaman Kebutuhan makan

1 Ordinal

modal usaha 2 Nominal uang

pinjaman

Tinggi (X≥rata-rata)

2 Interval

Rendah (X<rata-rata)

1

3. Tingkat kemiskinan

Kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik (BPS) adalah kondisi seseorang secara ekonomi tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan maupun non pangan yang diukur melalui pengeluaran yang berada dibawah garis kemiskinan. Skor tinggi pada tingkat kemiskinan adalah (x>rata-rata), sedangkan skor rendah adalah (x≤rata-rata). Berikut adalah beberapa definisi dari poin-poin tingkat kemiskinan yang dinilai melalui instrumen kuesioner.

Ciri tempat tinggal: seberapa lengkap dan seberapa baik kualitas rumah yang dimiliki oleh masyarakat nelayan Bajomulyo.

- Aspek pangan: besarnya pengeluaran pelaku usaha perikanan kelas atas maupun kelas bawah untuk memenuhi kebutuhan pangan.

- Aspek sandang: intensitas pelaku usaha perikanan kelas atas maupun kelas bawah dalam membeli pakaian.


(38)

- Kegiatan sosial: keikutsertaan pelaku usaha perikanan kelas atas maupun kelas bawah pada berbagai kegiatan sosial.

Tabel 7 Definisi operasional tingkat kemiskinan

No. Variabel Indikator Skor Jenis Data

Indikator

1. Ciri tempat tinggal

Kepemilikan rumah

Sendiri 3 Ordinal Rendah: x>rata-rata Tinggi: x≤rata-rata Saudara 2

Kontrak 1 Dinding

rumah

Bilik/kayu 3 Setengah

tembok

2 Tembok 1 Atap rumah Rumbai/ daun

kelapa kering 3

Seng 2

Genteng 1 Lantai rumah Tanah 4

Kayu 3

Plester semen 2 Keramik 1 Jumlah

ruangan di rumah

Tinggi (X≥rata-rata)

1 Interval

Rendah (X<rata-rata)

2 Sumber air

untuk minum

Sungai 3 Ordinal

Sumur 2

PAM 1

Sumber air untuk

mandi,cuci

Sungai 3

Sumur 2

PAM 1

Tempat mandi dan mencuci

Sungai 3

WC umum 2 WC sendiri 1 Tempat BAB Sungai 3 WC umum 2 WC sendiri 1 2. Aspek

pangan

Rata-rata pengeluaran untuk makan sehari

Tinggi (X≥rata-rata)

1 Interval

Rendah (X<rata-rata)


(39)

3. Aspek sandang Intensitas membeli pakaian dalam setahun Tinggi (X≥rata-rata)

1 Interval

Rendah (X<rata-rata)

2 4. Kepemilikan

aset

Kepemilikan elektronik

TV Ya (1)

Tidak (2)

Ordinal

Kulkas Ya (1) Tidak (2)

DVD Player Ya (1)

Tidak (2)

Rice Cooker Ya (1)

Tidak (2) Mesin cuci Ya (1)

Tidak (2)

AC Ya (1)

Tidak (2)

HP Ya (1)

Tidak (2) Notebook/ laptop Ya (1) Tidak (2) I-pad Ya (1)

Tidak (2) Tablet Ya (1)

Tidak (2) Komputer Ya (1)

Tidak (2) Kepemilikan

kendaraan

Sepeda 3 Ordinal

Motor 2

Mobil 1

5. Kegiatan sosial

Keikutsertaan organisasi

Ya 2 Interval


(40)

(41)

GAMBARAN UMUM

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Desa Bajomulyo terletak di Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah. Luas Desa Bajomulyo yaitu 74.800 meter persegi. Desa ini berjarak sekitar dua kilometer dari jalan pantai utara jawa (pantura). Jarak Desa Bajomulyo menuju Kantor Kecamatan juga sekitar dua kilometer. Sedangkan jarak dari kantor pemerintahan kabupaten yaitu 13 kilometer, 89 kilometer dari ibukota provinsi dan 574 kilometer dari ibukota negara. Berdasarkan informasi dari Pemkab Pati (2015), Juwana memiliki luas lahan 5.593 meter persegi yang terdiri dari 1.165 meter persegi lahan sawah dan 4.428 lahan bukan sawah. Desa Bajomulyo termasuk daerah dataran rendah dengan ketinggian dua meter di atas permukaan air laut (mdpl). Batas-batas wilayah Desa Bajomulyo adalah: (1) batas sebelah utara : Laut Jawa; (2) batas sebelah timur: Sungai Silugonggo dan Desa Bendar; (3) batas sebelah selatan: Desa Kudukeras; dan (4) batas sebelah Barat: Desa Kebonsawahan dan Desa Growong Lor.

Desa Bajomulyo dikenal baik karena posisinya yang dekat dengan Sungai Silugonggo. Sungai Silugonggo bermuara pada Laut Jawa. Sisi timur dari Sungai Silugonggo yaitu Desa Bendar. Setiap hari banyak kapal yang keluar masuk dari muara menuju pinggir sungai untuk mendaratkan ikan. Kapal yang mendarat di pinggir Sungai Silugonggo ini antara lain kapal cumi, kapal pure seine, kapal cantrang, kapal holler, dan kapal penarik. Kapal yang datang memilih malam hari sebagai waktu yang tepat untuk masuk dari muara menuju ke tempat sandar. Kondisi ini dipengaruhi oleh ketinggian air laut sedang pasang dan memudahkan jalur masuk kapal.

Sore hari ketika air laut sudah pasang dan permukaan air laut di sekitar sungai naik. Banyak kapal yang keluar masuk bergiliran. Permukaan air laut yang tinggi belum tentu memudahkan setiap kapal yang bersandar. Kondisi lumpur dan sampah yang masih menggenang di sungai membuat kapal berukuran besar perlu jasa penarik dari muara menuju tempat sandar maupun sebaliknya. Harga jasa penarikan kapal besar dari muara menuju ke tempat sandar yaitu pada kisaran Rp. 500.000,00-Rp. 1.000.000,00. Warna air di Sungai Silugonggo keruh, namun masih ada ikan yang hidup disana. Wilayah Juwana termasuk dalam daerah dataran rendah.

Desa Bajomulyo memiliki beberapa tempat yang mendukung usaha perikanan baik tangkap maupun non tangkap. Tambak tempat budidaya ikan tawar seperti bandeng dan udang. Tempat pemindangan ikan yang tidak hanya dimiliki oleh warga setempat namun juga warga luar Bajomulyo. Tempat pembuatan kapal kapal tempat pemilik modal memesan kapal kepada pengurus. Bengkel kapal yang terletak di pinggir sungai juga mendukung sarana nelayan jika terdapat kerusakan pada kapal, atau mempersiapkan kondisi kapal agar tetap stabil sebelum digunakan untuk melaut.

Cold storage atau yang biasa disebut kastorit dapat ditemui di beberapa tempat di Bajomulyo. Kastorit ini sangat penting karena menjadi sejarah kemajuan usaha perikanan di Bajomulyo. Transportasi yang terdapat di Desa Bajomulyo terdiri dari sepeda, becak, becak motor, motor, kaisar, mobil, truk, dan dokar. Tidak ada kendaraan umun seperti angkutan kota maupun bus yang melewati desa ini. Kendaraan yang sering melewati Jalan Hang Tuah yaitu truk berpendingin maupun kaisar. Truk berpendingin dan kaisar tersebut sering melintas karena keperluan mendistribusikan ikan dari TPI ke tempat lain.


(42)

Berdasarkan data monografi Desa Bajomulyo tahun 2015, diketahui banyaknya sertifikat hak milik tanah adalah 812 buah. Terdapat 2,5 Ha tanah yang digunakan untuk area pemakaman. Sebanyak 0,2 Ha untuk area perkantoran, dan 0,1 Ha tanah wakaf. Beberapa kegunaan lahan untuk pertanian antara lain 58,4 Ha pekarangan, 12,4 Ha perladangan, dan 0,2 Ha untuk perkebunan negara. Sarana ibadah yang terdapat di Desa Bajomulyo antara lain sebuah masjid, satu gereja, dan 11 mushola. Masjid dengan ukuran besar didirikan di tepi sungai dekat tempat sandar. Keberadaan masjid ini sering dimanfaatkan untuk acara pengajian dengan mengundang tokoh agama.

Sarana kesehatan yang terdapat di Desa Bajomulyo antara lain rumah sakit, poliklinik, tempat prakter dokter umum, dukun khitan, dukun bayi dan apotek. Sarana pendidikan yang tedapat di Desa Bajomulyo antara lain Sekolah Dasar (SD), Taman Kanak-kanak (TK) Madrasah Ibtidaiyah (MI), tempat kursus bengkel motor, dan tempat kursus menjahit. Jalan yang tersedia yaitu sepanjang 5,5 kilometer. Gedung SD yang tersedia hanya satu dan memiliki guru sebanyak 11. Sedangkan gedung TK swasta sebanyak tiga dan guru sebanyak 9 orang.

Jembatan yang tersedia di Desa Bajomulyo yaitu sebanyak tujuh buah yang menghubungkan antar sungai kecil. Desa ini sudah memiliki hotel yang sering digunakan tempat bersinggah bagi pengusaha yang akan bekerjasama dalam hal perikanan di Desa Bajomulyo. Fasilitas listrik sudah tersedia di Desa Bajomulyo dan dimanfaatkan untuk berbagai keperluan rumah tangga dan usaha. Kantor dinas yang terdapat di Desa Bajomulyo yaitu Balai Desa, Tempat Pelelangan Ikan Unit (TPI) I, Tempat Pelelangan Ikan Unit II, dan Dinas Perhubungan. TPI Unit II dikelola oleh pemerintah daerah, sedangkan TPI Unit I dikelola oleh Koperasi unit Desa.

Penunjang kesehatan, perekonomian dan dinas, sarana olahraga juga terdapat di desa ini seperti lapangan voli berjumlah dua dan lapangan tenis meja sebanyak dua. Pada akhir pekan jalan di sekitar tambak ikan dan tepi sungai dijadikan tempat olahraga.

Dinamika Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Bajomulyo

Dinamika sosial ekonomi ini dijelaskan untuk menambah kelengkapan data tentang sosial dan ekonomi yang terjadi di Desa Bajomulyo dari waktu ke waktu. Selain itu dengan memberikan gambaran umum mengenai dinamika sosial dan ekonomi dapat memberi keterangan tambahan mengenai strategi pola nafkah, akses sarana dan prasarana pendukung usaha perikanan, dan juga sebagai penjelas tingkat penguasaan aset yang dapat digunakan untuk melihat tingkat kemiskinan yang terdapat di Desa Bajomulyo.

Desa Bajomulyo memiliki warga yang merupakan penduduk asli. Beberapa pendatang memasuki kawasan Bajomulyo karena kepentingan usaha atau bisnis. Desa Bajomulyo memiliki 1.535 kartu keluarga (KK). Jumlah penduduk Bajomulyo yaitu 5.769 orang. Berdasarkan jumlah penduduk tersebut, jumlah laki-laki sebanyak 2.809 orang, sedangkan jumlah penduduk perempuan berjumlah 2.960 orang. Secara lebih lengkap jumlah penduduk berdasarkan usia dan jenis kelamin dipaparkan dalam tabel.


(43)

Tabel 8 Jumlah penduduk berdasarkan kelompok usia dan jenis kelamin Desa Bajomulyo bulan Desember 2015

Kelompok Umur Laki-laki Perempuan Jumlah

0-4 260 268 528

5-9 251 268 519

10-14 228 249 477

15-24 331 243 474

25-34 423 448 871

35-44 426 444 870

45-54 430 442 872

55-64 425 449 874

65+ 136 148 284

Jumlah 2809 2960 5769

Sumber: data sekunder 2015

Selain pengklasifikasian penduduk berdasarkan kelompok usia dan jenis kelamin, juga terdapat pengklasifikasian penduduk berdasarkan mata pencaharian. Beberapa mata pencaharian dengan jumlah penduduk yang ikut serta yaitu: (a) petani sejumlah 12 orang; (b) nelayan sejumlah 395 orang; (c) pedagang sejumlah 90 orang; (d) buruh sejumlah 604 orang; (e) sopir angkutan sejumlah 1 orang; (f) PNS sejumlah 78 orang; (g) TNI sejumlah 14 orang; (h) Polri sejumlah 14 orang; (i) swasta sejumlah 1.345 orang; (j) wiraswasta sejumlah 92 orang; dan (k) pensiunan sejumlah 37 orang.

Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan akan menggambarkan bagaimana tingkat pengetahuan warga Bajomulyo terkait bidang pendidikan. Mayoritas penduduk Bajomulyo berpendidikan tamat SD atau sederajat dengan jumlah paling banyak yaitu 2.345 orang. Secara lebih lengkap jumlah penduduk menurut pendidikan yaitu: (a) belum sekolah sebanyak 255 orang; (b) tidak tamat SD sebanyak 248 orang; (c) tamat SD/ sederajat sebanyak 2.345 orang; (d) tamat SLTP/ sederajat sebanyak 675 orang; (e) tamat SLTA/ sederajat sebanyak 468 orang; (f) diploma sebanyak 5 orang; (g) (S1-S3) sebanyak 19 orang; dan (h) buta huruf sebanyak 32 orang.

Jumlah penduduk menurut mobilitas dan mutasi penduduk menggambarkan perubahan jumlah penduduk Desa Bajomulyo karena peristiwa-peristiwa seperti kematian, kelahiran, kedatangan penduduk dan kepindahan penduduk. Berikut adalah data rekapan kelahiran, kematian, kedatangan, dan kematian di Desa Bajomulyo.

Tabel 9 Jumlah penduduk menurut mobilitas dan mutasi

Peristiwa demografi Laki-laki Perempuan Jumlah

Lahir 24 19 43

Mati 11 10 21

Datang 25 24 49

Pindah 19 18 37

Sumber: data sekunder 2015

Kondisi sosial dan ekonomi yang terdapat di Desa Bajomulyo didominasi oleh sektor perikanan. Setiap hari dapat ditemui warga dari luar desa yang berlalu lalang menuju ke tempat pelelangan ikan. Aktivitas perikanan tidak hanya berdampak bagi warga setempat namun juga warga luar desa. Aktivitas ekonomi yang dapat ditemui di tempat pelelangan ikan yaitu penurunan ikan dari kapal, pelelangan ikan, distribusi ikan


(1)

79

a. Dependent Variable: Tingkat Kemiskinan b. Predictors: (Constant), Tingkat Strategi Nafkah Coefficientsa Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) 25,011 15,340 1,630 ,120

Tingkat Strategi

Nafkah ,633 ,723 ,202 ,876 ,393

a. Dependent Variable: Tingkat Kemiskinan

a. Dependent Variable: Tingkat Kemiskinan

Charts Model

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 22,664 1 22,664 767 393b

Residual 532,136 18 29,563

Total 554,800 19

Residuals Statisticsa

Minimum Maximum Mean

Std.

Deviation N Predicted Value 36,41 40,20 38,40 1,092 20

Residual -8,305 9,429 ,000 5,292 20

Std. Predicted

Value -1,826 1,652 ,000 1,000 20


(2)

Regression

Variables Entered/Removeda

Model

Variables Entered

Variables

Removed Method 1 Tingkat

Strategi Nafkahb

. Enter

a. Dependent Variable: Tingkat Kemiskinan b. All requested variables entered.

a. Predictors: (Constant), Tingkat Strategi Nafkah b. Dependent Variable: Tingkat Kemiskinan Model Summaryb

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 ,047a ,002 -,053 2,669


(3)

81

a. Dependent Variable: Tingkat Kemiskinan b. Predictors: (Constant), Tingkat Strategi Nafkah

Coefficientsa Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) 34,192 4,283 ,982 ,000

Tingkat Strategi

Nafkah -,039 ,196 -,047 ,198 ,845

a. Dependent Variable: Tingkat Kemiskinan

Residuals Statisticsa

Minimum Maximum Mean Std. Deviation N

Predicted Value 33,18 33,61 3,35 ,122 20

Residual -6,295 5,705 ,000 2,598 20

Std. Predicted Value

-1,411 2,116 ,000 1,000 20

Std. Residual -2,358 2,137 ,000 ,973 20

a. Dependent Variable: Tingkat Kemiskinan Charts

Model

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

1 Regression ,281 1 ,281 ,039 ,845b

Residual 128,269 18 7,126


(4)

(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Henny Kristikasari lahir di Kabupaten Pati pada tanggal 21 Juni 1994. Penulis merupakan anak ketiga dari etiga bersaudara pasangan Pranoto dan Sri Wargini. Kedua kakak laki-laki penulis bernama Ronny Kristanto dan Dedy Kristiawan. Penulis pernah bersekolah di TK Trisula 01 pada 1999-2000, SD Negeri Kauman 01 Juwana pada 2001-2006, SMP Negeri 1 Juwana pada 2007-2009, dan SMA Negeri 2 Pati pada 2009-2012. Setelah itu penulis melanjutkan studi melalui jalur SNMPTN Undangan di Institut Pertanian Bogor, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat.

Pada saat masa studi penulis mengikuti berbagai kegiatan di luar perkuliahan. Beberapa kegiatan yang diikuti oleh penulis antara lain IPB Political School sebagai Ketua Divisi Kaderisasi, Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM-KM IPB) sebagai Bendahara Kementerian Kebijakan Nasional pada periode 2014 dan Koordinator IPB Social Politic Center pada periode 2015, anggota Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM-SI), anggota Forum Perempuan IPB, anggota perguruan silat Tapak Suci IPB, Panitia Reuni Perak IPB 27 sebagai tim acara, Fema Writting Club sebagai anggota, Fema

Leadership School sebagai anggota, OMDA Pati, Ksatria Badan Narkotika Nasional IPB pada tim kajian dan strategi, dan beberapa kegiatan lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.