Kemandirian masyarakat desa sekitar hutan dalam melakukan usaha agroforestri: studi kasus usaha agroforestri tanaman kopi di BKPH Pangalengan, KPH Bandung Selatan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertandatangan di bawah ini:
Nama
NIM
Program Studi

: Dyah Ediningtyas
: P. 051040061
: Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya berjudul:
"Kemandirian Masyarakat Desa Sekitar Hutan dalam Melakukan Usaha
Agroforestri (Studi Kasus Usaha Agroforestri Tanaman Kopi di BKPH
Pangalengan, KPH Bandung Selatan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan
Banten"), merupakan hasil penelitian tesis saya sendiri dengan arahan dan
bimbingan dari Komisi Pembimbing. Tesis ini belum pernah diajukan untuk
memperoleh gelar Sarjana, Magister Sains maupun Doktor, baik pada Institut
Pertanian Bogor maupun perguruan tinggi lainnya dan belum pernah dipublikasikan.
Segala data dan informasi di dalam tesis ini dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya untuk dapat
dipergunakan seperlunya.

Bogor, 30 Januari 2007
Yang menyatakan,

Dyah Ediningtyas
P. 051040061

RINGKASAN
DYAH

EDININGTYAS.

“Kemandirian Masyarakat Desa Sekitar Hutan

Dalam Melakukan Usaha Agroforestri (Studi Kasus Usaha Agroforestri Tanaman
Kopi dan Tanaman Kehutanan di BKPH Pengalengan KPH Bandung Selatan, Perum
Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten)” di bawah bimbingan RICHARD
LUMINTANG dan DJOKO SUSANTO.

Pengelolaan hutan di Indonesia banyak menghadapi masalah, yaitu kurang
meratanya potensi sumberdaya hutan, perkiraan adanya degradasi hutan akibat
penebangan yang tidak tepat, illegal logging, tekanan penduduk yang terus
meningkat, timbulnya lahan kritis dan lahan kosong, kemungkinan terjadinya
kebakaran hutan, serta adanya HPH non industri maupun industri non HPH.
Kerusakan hutan saat sudah sangat mengkhawatirkan, baik pada hutan produks i,
hutan konversi, bahkan telah merambah pula ke kawasan hutan lindung.
Di satu pihak, hutan lindung ini memiliki fungsi yang sangat vital bagi
kehidupan manusia, yaitu sebagai perlindungan sistem peyangga kehidupan untuk
mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut,
dan memelihara kesuburan tanah. Namun di lain pihak, karena desakan ekonomi
yang terus meningkat sementara lahan pertanian dan permukiman semakin sempit,
maka lahan hutan merupakan sasaran utama untuk pemenuhan kebutuhan hidup
khususnya bagi masyarakat desa sekitar hutan. Perambahan dan penjarahan hutan
merupakan masalah utama bagi pengelolaan hutan khususnya hutan-hutan di Pulau
Jawa.

Pembangunan kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi kemakmuran rakyat dengan tetap menjaga kelestarian dan
kelangsungan fungsi hutan, baik fungsi ekologi, fungsi ekonomi maupun fungsi sosial
budaya. Departemen Kehutanan telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan program

untuk menanggulangi kerusakan lahan hutan dan lahan kritis sekaligus untuk
mendukung terpenuhinya kebutuhan hidup masyarakat sekitar hutan dengan terus
mengupayakan

dan

mengembangkan

pola

pengusahaan

hutan

dengan

mengikutsertakan secara aktif masyarakat dalam hal pengamanan, pemanfaatan hasil
hutan, serta dalam rehabilitasi dan konservasi hutan.
Perum Perhutani sejak Tahun 1982 telah mengelola hutan di Pulau Jawa
dengan kegiatan perhutanan sosial (social forestry) yang bertujuan membantu

meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perbaikan lingkungannya sebagai bagian
dari pembangunan perhutanan.

Salah satu keberhasilan pembangunan kehutanan

adalah meningkatnya kualitas hidup masyarakat khususnya masyarakat desa sekitar
hutan melalui partisipasinya secara aktif dalam pembanguna n kehutanan.
PSDHBM merupakan kesediaan perusahaan (Perum Perhutani), masyarakat
desa hutan, dan pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder) untuk berbagi dalam
pengelolaan Sumber Daya Hutan sesuai kaidah-kaidah keseimbangan, keberlanjutan,
kesesuaian dan keselarasan. Program PSDHBM selanjutnya diaplikasikan dalam
bentuk agroforestri.
Salah satu sasaran program PSDHBM adalah kawasan hutan lindung yang
berada dalam wilayah kerja BKPH Pengalengan, di antaranya adalah Desa Pulosari
dan Desa Warnasari yang menerapkan agroforestri tanaman kopi di antara tanaman

eucalyptus.

Sebelum diterapkannya PSDHBM, hutan lindung dirambah oleh


penduduk untuk lahan pertanian, dengan jenis komoditi sayuran. Melalui program
PSDHBM, jumlah perambahan lahan hutan dapat diturunkan.

Berdasarkan Data

Perum perhutani s/d Maret 2006, jumlah perambahan lahan hutan di BKPH
Pengalengan adalah seluas 2.673,47 ha oleh 3.820 KK.

Setelah diterapkannya

PHBM. Jumlah perambahan lahan hutan menurun menjadi 735,65 ha oleh 1.448 KK
(s/d Maret 2006).
Menurunnya jumlah perambahan lahan hutan seiring dengan kesadaran
masyarakat desa yang tinggal di sekitar hutan akan pentingnya fungsi hutan bagi
kesejahteraan kehidupan manusia.

Terlebih dengan diterapkannya PSDHBM,

masyarakat diberikan alterna tif dalam memanfaatkan hutan sebagai sumber
penghidupannya tanpa harus merusak hutan. Dengan adanya kegiatan agroforestri

tanaman kopi, diharapkan akan dapat memberikan tambahan penghasilan bagi
masyarakat desa sekitar hutan, sehingga mereka mampu memberdayakan dirinya dan
keluarganya serta masyarakatnya untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Pertanyaan yang muncul adalah sampai sejauhmana kemandirian masyarakat
desa sekitar hutan dalam melakukan usaha agroforestri tanaman kopi ini sehingga
dapat meningkatkan kesejahteraannya, khususnya kesejahteraan dari segi ekonomi
keluarga ? Faktor- faktor apa saja yang turut mempengaruhi kemandirian masyarakat
dalam melakukan usaha agroforestri tanaman kopi ?
Penelitian bertujuan: (1) menemukan faktor-faktor yang melatarbelakangi
petani sehingga mereka bersedia memberikan dukungan terhadap program PHBM,
(2) menemukan faktor- faktor yang melatarbelakangi petani sehingga mereka aktif

dalam melakukan usaha agroforestri, (3) mengkaji sampai sejauhmana kemandirian
petani dalam melakukan usaha agroforestri, dan (5) menemukan seberapa jauh peran
LMDH dan koperasi dalam memotivasi petani untuk aktif melakukan usaha
agroforestri.
Petani yang mandiri adalah petani yang secara utuh mampu memilih dan
mengarahkan kegiatan usahataninya sesuai dengan kehendaknya sendiri, yang
diyakini paling tinggi manfaatnya, tetapi bukan berarti sikap menutup diri melainkan
dengan rendah hati menerima situasi masyarakat dan aturan-aturan yang ada di

dalamnya. Motivasi perilakunya berasal dari seluruh kenyataan yang dihadapi dalam
kehidupan.
Perhutanan sosial merupakan salah satu program pemberdayaan masyarakat
desa sekitar hutan terkait dengan pengelolaan hutan bersama masyarakat. Tiwari
(1983) dalam Manual Kehutanan (1992) menyatakan bahwa perhutanan sosial adalah
ilmu dan seni penanaman pohon-pohonan dan/atau tumbuhan lainnya pada lahan
hutan, di dalam dan di luar kawasan hutan, dengan melibatkan rakyat secara akrab,
serta dipadukan dengan kegiatan-kegiatan lain, yang menghasilkan suatu bentuk
penggunaan lahan yang berimbang dan komplementer, dengan tujuan untuk
menghasilkan berbagai macam benda dan jasa bagi perorangan maupun masyarakat
pada umumnya. Tujuan utama perhutanan sosial adalah mencapai keadaan sosial
ekonomi penduduk yang lebih baik, terutama penduduk di dalam dan di sekitar hutan.
Salah satu bentuk perhutanan sosial adalah agroforestri (agro = pertanian dan
forestry = kehutanan), berarti usaha kehutanan yang dipadukan dengan usaha
pertanian.

Tumpangsari merupakan salah satu bentuk agroforestri yang banyak

diterapkan pada hutan tanaman di Jawa. Tumpangsari ini mulai dilakukan secara
berhasil pada Tahun 1883 di pemalang oleh Buurman, seorang berkebangsaan

Belanda (Kartasubrata, 1992), yaitu pesanggem diberikan hak untuk mengolah lahan
di sela-sela tanaman pokok (tanaman kehutanan) dengan menanam tanaman tahunan
(pangan) yang hasilnya menjadi hak/upah bagi pesanggem dan keluarganya.
Berdasarkan pemikiran sebagaimana

tersebut di atas, maka disusunlah suatu

kerangka berpikir keterkaitan antara berbagai faktor yang mempengaruhi petani
dalam melakukan usaha agroforestri disajikan dalam Gambar 1 sebagai berikut :

Kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri tanaman kopi
dipengaruhi secara nyata oleh faktor internal petani (umur, tingkat pendidikan formal
dan non formal, pengalaman berusaha agroforestri, jumlah tanggungan keluarga, luas
lahan garapan, motivasi berusaha agroforestri dan pendapatan petani) dan faktor
eksternal (ketersediaan informasi, ketersediaan sarana produksi, interaksi dengan
lembaga keuangan, interaksi dengan lembaga pemasaran, interaksi dengan lembaga
penyuluhan, interaksi dengan LMDH/koperasi, dukungan kebijakan lokal/nasional,
pengaruh tokoh masyarakat dan tingkat manfaat PSDHBM).

Penelitian dilakukan di Desa Pulosari dan Desa Warnasari Kecamatan

Pengalengan, yang termasuk dalam wilayah kerja BKPH Pengalengan Perum
Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Pengumpulan data dilakukan pada Bulan
Juli s/d Agustus 2006.

Teknik pengambilan sampel dilakukan secara purposive

sampling, yaitu petani yang melakukan usaha agroforestri tanaman kopi dari Desa
Pulosari dan Desa Warnasari. Selanjutnya dari kedua desa tersebut dipilih secara

acak petani-petani yang melakukan usaha agroforestri tanaman kopi, selanjutnya
digunakan teknik belah dua untuk menentukan jumlah responden dari masing- masing
desa sehingga diperoleh jumlah responden sebanyak 67 petani yaitu 41 petani dari
Desa Pulosari dan 26 petani dari Desa Warnasari).
Pengumpulan data dilakukan dengan metode obser vasi/pengamatan langsung
di lapangan, wawancara mendalam (in depth interview), data-data sekunder/dokumen,
tulisan-tulisan ilmiah dan studi pustaka. Sedangkan alat analisis yang digunakan
adalah uji korelasi Rank-Spearman (rs ), untuk mengetahui kuat dan arah hubungan
antar peubah yang digunakan dalam penelitian.

Karakteristik Internal Responden

Sebagian besar responden termasuk dalam kategori usia muda hingga cukup
tua, atau bila digunakan kategorisasi lain termasuk dalam kategori usia produktif,
dengan kisaran umur antara 21 tahun s/d 70 tahun. Hal ini berarti dari segi usia,
responden masih memiliki kemampuan fisik yang baik sehingga mampu untuk
menjalankan usaha agroforestri tanaman kopi.
Pendidikan responden baik formal maupun non formal umumnya sedang
dengan lama pendidikan 4,8 - 8,6 tahun, namun bila digunakan kategorisasi
berdasarkan pendidikan formal, umumnya petani memiliki tingkat pendidikan rendah,
yaitu sampai tamat SD. Rendahnya tingkat pendidikan formal dan kurangnya
pendidikan non forma l responden akan mempengaruhi cara berpikir serta
keberaniannya dalam bertindak dan mengambil resiko.

Sebagian besar responden tidak berpengalaman dalam berusaha agroforestri
kopi, yaitu < 2,1 tahun.

Budaya masyarakat sebelumnya adalah bercocoktanam

sayur-sayuran yang telah dilakukan secara turun-temurun selama bertahun-tahun,
dengan sistem pertanian yang masih tradisional dan berorientasi konsumtif. Dengan
adanya Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 522/1224/Binprod, responden

terpaksa melakukan alih komoditi dari jenis sayur -sayuran ke jenis tanaman kopi.
Sebagian besar responden mempunyai jumlah tanggungan keluarga cukup
banyak yaitu antara 3 - 4 orang, umumnya merupakan keluarga inti (keluarga batih)
yang terdiri dari ayah, ibu dan anak.
Luas la han garapan umumnya tergolong sempit (< 1,8 ha). Sebanyak 2 orang
petani memiliki luas lahan garapan > 3,4 ha, yaitu petani yang memiliki usaha
agribisnis hortikultura dan memiliki modal yang cukup kuat, sehingga menjadikan
usaha agroforestri hanya sebaga i usaha sampingan.

Motivasi berusaha agroforestri tergolong sedang hingga tinggi. Umumnya
motivasi responden berusaha agroforestri tanaman kopi adalah untuk menambah
penghasilan keluarga, baik usaha agroforestri merupakan mata pencaharian utama
maupun hanya sebagai usaha sampingan.
Pendapatan responden sangat bervariasi, dengan kisaran antara Rp.
2.000.000,- hingga Rp. 23.000.000,- per tahun. Namun secara umum pendapatan
responden tergolong rendah yaitu Rp. 9.000.000,- - Rp. 16.000.000,- per tahun. Ha l
ini menunjukkan adanya ketimpangan antara petani yang pendapatannya tinggi
dengan petani yang pendapatannya rendah. Petani yang pendapatannya tinggi

merupakan petani yang memiliki lahan sendiri yang cukup luas dan telah
menjalankan usaha agribisnis sebagai mata pencaharian utamanya, sedangkan usaha
agroforestri merupakan usaha sampingan walaupun lahan yang dibukanya tergolong
luas. Sedangkan petani yang penghasilannya rendah umumnya tidak memiliki lahan
sendiri dan bekerja sebagai buruh tani, serta lahan agroforestri yang dibukanya
tergolong sempit (lihat Tabel 1).

Karakteristik Eksternal Responden
Ketersediaan informasi mengenai usaha agroforestri tergolong cukup hingga
banyak tersedia, baik berupa media cetak maupun media elektronik. Sebagian besar
informasi agroforestri mudah diakses oleh responden.
Sarana produksi untuk berusaha agroforestri kopi sebagian cukup tersedia di
dalam dusun, beberapa sarana produksi dapat diperoleh di desa atau di ibukota
kecamatan.
Interaksi responden dengan lembaga keuangan tergolong rendah. Responden
belum memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam memanfaatkan lembaga lembaga keuangan seperti bank, koperasi simpan pinjam, pegadaian, dll., sebagai
sumber modal bagi usaha agroforestrinya. Hampir seluruh responden me nggunakan
modalnya sendiri dengan persetujuan keluarga untuk berusaha agroforestri.
Interaksi dengan lembaga pemasaran dan lembaga penyuluhan tergolong
tinggi.

Lembaga yang bertindak selaku lembaga pemasaran adalah koperasi dan

LMDH. Adanya jaminan pemasaran hasil sangat penting untuk menjamin
keberlangsungan usaha agroforestri kopi. Lembaga penyuluhan yang sangat berperan

adalah dari Dinas Pertanian dan Perkebunan yang memberikan materi mengenai
teknik budidaya kopi secara sederhana dengan memanfaatkan potensi daerah yang
ada, sedangkan dalam bidang pengelolaan hutan dan perhutanan sosial disampaikan
oleh LSM selaku Tenaga pendamping Masyarakat (TPM) yang difasilitasi oleh
Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Keberadaan penyuluh dan materi
yang disuluhkan sangat penting mengingat usaha agroforestri kopi tergolong masih
baru dan responden belum memiliki bekal pengetahuan yang cukup mengenai seluk beluk usaha agroforestri kopi.
Interaksi dengan LMDH cenderung tinggi.

Keberadaan LMDH sangat

penting bagi responden, karena melalui LMDH responden mendapatkan segala
informasi mengenai usaha agroforestri kopi yang mereka perlukan. LMDH sangat
berperan dalam membuat kesepakatan perjanjian PSDHBM maupun dalam menjalin
mitra dengan para stakeholder ya ng berkepentingan dalam usaha agroforestri kopi.
Hasil observasi menunjukkan kinerja LMDH masih belum optimal dan terdapat
tumpang tindih tugas dan wewenang antara pengurus LMDH dengan pengurus
koperasi, yang tidak sesuai dengan AD/ART organisasi. Kondis i ini menyebabkan
konflik yang menyebabkan krisis kepercayaan dari petani selaku anggotanya.
Kebijakan lokal/nasional sangat mendukung iklim berusaha agroforestri kopi.
Berdasarkan SK Direksi Perum perhutani Nomor : 136/KPTS/DIR/2001 tanggal 29
Maret 2001 tentang PSDHBM, usaha agroforestri kopi mulai dilegalkan bahkan
Perum Perhutani juga melakukan pembinaan untuk pengambangannya.

Kegiatan

Agroforestri kopi juga didukung oleh Pemda setempat dengan dikeluarkannya Surat
Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor : 522/1224/Binprod tanggal 20 Mei 2003 yang

mengharuskan petani beralih komoditi dari jenis sayuran ke tanaman kopi yang
sangat bermanfaat pula untuk konservasi hutan. Dengan demikian usaha agroforestri
kopi semakin mantap dan terjamin keberlanjutan usahanya.
Pengaruh tokoh masyarakat tergolong sangat kuat dalam mempengaruhi
keputusan warga terkait usaha agroforestri. Tokoh masyarakat terdiri dari: tokoh
formal, nonformal maupun keduanya.

Program PSDHBM termasuk sangat

bermanfaat bagi masyarakat Desa Pulosari dan Warnasari, yaitu: menambah
pendapatan keluarga dan pengamanan hutan sehingga kelestariannya sebagai
penunjang kehidupan manusia tetap terjaga.
Kemandirian Petani dalam Melakukan Usaha Agroforestri
Secara umum kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri kopi
tergolong cukup baik. Hanya kemandirian dalam proses produksi saja yang tergolong
kurang baik. Tingkat pendidikan formal yang rendah, kurangnya pengalaman dalam
budidaya tanaman kopi, serta kurangnya pelatihan-pelatihan dalam teknik budidaya
tanaman kopi menyebabkan petani kurang percaya diri dalam menjalankan usaha
agroforestrinya. Petani masih mengandalkan LMDH untuk menyelesaikan segala
permasalahan yang dihadapinya dalam berusaha agroforestri. Demikian juga dalam
tahapan proses produksinya, petani masih membutuhkan bantuan orang lain untuk
mengerjakan usahanya, baik berupa informasi ataupun dalam memecahkan masalah
maupun bantuan berupa tenaga untuk mengerjakan usaha agroforestrinya

Hubungan antara Faktor Internal dengan Kemandirian Petani dalam
Melakukan Usaha Agroforestri

Umur petani berhubungang nyata dengan kemandirian petani dalam proses
produksi. Semakin bertambah umur petani, semakin mandiri dalam proses produksi.
Umumnya petani yang telah cukup tua/tua memiliki anak yang sudah cukup besar
untuk dapat membantunya sehingga tidak memerlukan bantuan orang lain dalam
proses produksi. Semakin bertambah umur petani, pengalaman dalam bercocok
tanam sayuran juga semakin banyak, untuk kemudian dicoba diterapkannya dalam
budidaya kopi, meskipun petani kurang percaya diri dalam menerapkannya.
Kemandirian petani dalam proses perencanaan berhubungan nyata dengan
pengalaman berusaha agroforestri dan sangat nyata dengan luas lahan garapan.
Pengalaman berusaha agroforestri dianalogikan dengan pengalaman petani dalam
bercocoktanam sayuran, sehingga dapat membantunya dalam menyusun perencanaan
usaha agroforestri kopi termasuk dalam penentuan luas lahan garapan yang akan
dikelolanya.
Hal ini juga tidak terlepas dari dukungan faktor eksternal seperti ketersediaan
informasi dan interaksi dengan lembaga penyuluhan dan diperkuat dengan adanya
pengaruh tokoh masyarakat sehingga memudahkan petani dalam proses perencanaan.
Luas lahan garapan berhubungan sangat nyata dengan proses produksi dengan
arah hubungan negatif. Semakin luas lahan garapan, petani semakin tidak mandiri
dalam proses produksi, jika tidak didukung dengan modal yang besar pula.
Akibatnya petani akan kesulitan dalam mengelola lahan agroforestrinya. Hal inilah
yang menyebabkan petani terpaksa menjual lahan garapannya kepada pihak ketiga
tanpa sepengetahuan Perum Perhutani.

Sebaliknya, petani yang memiliki lahan

garapan sangat luas dan memiliki modal yang besar, akan sangat tergantung pada

bantuan orang lain (buruh) meskipun dia harus mengeluarkan banyak biaya.
Sebaliknya, dia akan mandiri dalam manajemen pemasaran, karena lahan yang luas
dan didukung modal yang besar, maka hasil panen juga besar, sehingga dia tidak lagi
tergantung pada tengkulak dan dapat mengelola sendiri pemasaran hasil panennya.

Hubungan antara Faktor Eksternal dengan Kemandirian Petani dalam
Melakukan Usaha Agroforestri
Dari Tabel 5 terlihat bahwa kemandirian petani dalam proses produksi
berhubungan sangat nyata dengan interaksi petani dengan lembaga penyuluhan dan
berhubungan nyata dengan pengaruh tokoh masyarakat.

Intensifnya penyuluhan

tentang agroforestri kopi serta kuatnya pengaruh tokoh masyarakat, akan memberikan
pemahaman kepada petani mengenai usaha agroforestri kopi, sehingga membantu
petani dalam mengambil keputusan untuk ikut/tidak dalam usaha agroforestri kopi
dan memudahkan petani dalam proses perencanaannya.
Tingkat manfaat program PSDHBM berhubungan sangat nyata dengan
kemandirian petani dalam proses produksi dengan arah hubungan negatif.
Kemandirian petani dalam proses produksi akan semakin tinggi jika manfaat dari
program PSDHBM rendah. Semakin luas lahan garapan, tanpa didukung modal yang
kuat juga akan menghasilkan kemandirian yang semakin rendah dalam proses
produksi. Hal ini disebabkan petani belum percaya diri dalam melakukan usaha
agroforestri karena belum memiliki pengetahuan yang cukup mengenai teknik
budidaya kopi.

Namun dari segi tingkat manfaat program PSDHBM, tergolong

tinggi. Petani sangat memahami manfaat program PSDHBM, sehingga secara sadar

mereka turut berpartisipasi aktif turut menjaga keamanan dan kelestarian hutan
lindung di mana dia melakukan usaha agroforestrinya.

Kemandirian petani dalam pemasaran hasil produksi berhubungan nyata
dengan ketersediaan sarana produksi dengan arah hubungan negatif.

Dalam

pemasaran hasil produksi, petani sudah cukup mandiri, terlebih dengan adanya
koperasi dan LMDH.

Namun, hal ini tidak didukung oleh ketersediaan sarana

produksi yang dapat disediakan oleh koperasi/LMDH sehingga petani dapat membeli
sarana produksi dengan cara mengangsur.
Kemandirian dalam pemasaran hasil produksi juga berhubungan nyata dengan
interaksi petani dengan lembaga keuangan, dan berhubungan sangat nyata dengan
pengaruh tokoh masyarakat dan tingkat manfaat program PHBM.

Petani akan

semakin mandiri dalam pemasaran hasil produksi jika didukung oleh tingginya
interaksi petani dengan lembaga keuangan.

Apabila petani sudah mampu

memanfaatkan sumber-sumber permodalan, maka petani tidak akan lagi menjual
kopinya dalam bentuk gelondongan, namun akan mengolahnya terlebih dahulu untuk
meningkatkan nilai jualnya. Demikian juga dengan pengaruh tokoh masyarakat dan
tingkat manfaat program PHBM. Semakin kuat pengaruh tokoh masyarakat, akan
mampu menggerakkan dan me nyadarkan petani dalam pengamanan dan pengelolaan
hutan lindung, sehingga akan meningkatkan harga jual kopinya dengan harga
premium karena kopinya diproduksi secara ramah lingkungan.
Kemandirian petani dalam menjalin kemitraan juga berhubungan nyata
denga n interaksi petani dengan LMDH dan adanya dukungan kebijakan lokal dan

nasional. Dalam menjalin kemitraan, juga dilakukan dan diputuskan oleh LMDH
selaku organisasi formal petani. Oleh karena itu, interaksi petani dengan LMDH ini
sangat kuat. Untuk dapat memasarkan produksinya, LMDH bekerjasama dengan
mitra, yaitu Perum Perhutani selaku mitra utamanya maupun dengan pihak swasta.
Mitra umumnya bersedia menjalin kerjasama apabila ada kepastian hukum, dalam arti
usaha agroforestri ini bersifat legal dan me ndapat dukungan dari pemerintah
setempat, sehingga suply kopi dapat terjamin keberlanjutannya.

Simpulan
1.

Kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri tanaman kopi tergolong
cukup tinggi. Namun kemandirian petani dalam proses produksi masih kurang,
hal ini disebabkan petani belum terbiasa dan belum memiliki pengetahuan yang
cukup mengenai teknik budidaya kopi.

Hal ini menyebabkan petani masih

kurang percaya diri dalam berusaha agroforestri kopi, sehingga masih
mengandalkan LMDH/koperasi dan petani lain yang lebih senior dalam
memecahkan setiap permasalahan yang dihadapinya terkait dengan usaha
agroforestri kopi.
2.

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kemandirian petani dalam melakukan
usaha agroforestri adalah umur, pengalaman berusaha agroforestri, luas lahan
garapan, ketersediaan sarana produksi, interaksi dengan lembaga keuangan,
interaksi dengan lembaga penyuluhan, interaksi dengan LMDH, kebijakan lokal
dan/atau nasional, pengaruh tokoh masyarakat, dan tingkat manfaat program
PHBM. Interaksi dengan lembaga pemasaran tidak menunjukkan hubungan

yang nyata dengan kemandirian petani secara parsial, namun berpengaruh nyata
terhadap kemandirian total petani dalam melakukan usaha agroforestri.
3.

Permasalahan yang seringkali menjadi kendala dalam berusaha agroforestri kopi
adalah rendahnya ketersediaan modal usaha dan kurangnya pengetahuan
mengenai teknik budidaya kopi.

Saran
Perlu penguatan faktor- faktor internal maupun eksternal, yaitu peningkatan
kualitas SDM dan peningkatan ketrampilan dan kemampuan petani dalam mengakses
sumber-sumber permodalan di luar desanya seperti: bank, lembaga- lembaga
perkreditan, koperasi simpan-pinjam dan pegadaian.

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Demak pada tanggal 20 Desember 1969, sebagai putri
pertama dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Moch. Chamim dan Ibu
Mahbubah. Pada tanggal 31 Maret 1994, penulis menikah dengan Bambang Winarno
putera kelahiran Pati tanggal 13 Juni 1969, sebagai putra keempat dari pasangan
Bapak Sudomo Hadisiswoyo dan Ibu Suwarni. Saat ini kami telah dikaruniai lima
orang putra-putri, yaitu Wildan Syauqi Akbar lahir tanggal 22 Januari 1995, Andina
Tazkiya Nurlibna lahir tanggal 14 Maret 1996, Kalista Syifa Nurrahma lahir tanggal 1
Januai 2001 (almarhumah), Azka Rifki Istikhori lahir tanggal 22 Oktober 2002 dan
Rizka Aulia Nurwindya lahir tanggal 14 Desember 2005.
Pendidikan dasar (SD) hingga Sekolah Menegah Atas (SMA) penulis jalani di
kota kelahiran Penulis di Demak. Pendidikan sarjana penulis tempuh di Jurusan
Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, lulus Tahun
1993. Pada Tahun 2004 Penulis memperoleh beasiswa dari Departemen Kehutanan
untuk melanjutkan studi Program Magister Sains pada Program Studi Ilmu
Penyuluhan Pembangunan (PPN), Sekolah Pascasarjana IPB.
Pada Tahun 1994 - 1996 penulis bekerja sebagai CPNS di Dinas Kehutanan
Provinsi Sumatera Selatan. Kemudian pada Bulan Agustus 1996 penulis diangkat
sebagai PNS pada Direktorat Peredaran Hasil Hutan Direktorat Jenderal Pengusahaan
Hutan, Departemen Kehutanan di Jakarta, dan sejak Tahun 1999 hingga sekarang
penulis bertugas di Pusat Standardisasi dan Lingkungan Departemen Kehutanan di
Jakarta.

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadlirat Allah SWT atas Rahmat dan
Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis berjudul: "Kemandirian
Masyarakat Desa Sekitar Hutan dalam Melakukan Usaha Agroforestri (Studi Kasus
Usaha Agroforestri Tanaman Kopi di BKPH Pangalengan, KPH Bandung Selatan,
Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten)".
Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister
Sains pada Program Stud i Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN) Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Kegiatan pengumpulan data untuk penulisan
tesis ini dilaksanakan di Desa Pulosari dan Desa Warnasari Kecamatan Pangalengan
Kabupaten Bandung, yang termasuk dalam wilayah kerja BKPH Pangalengan KPH
Bandung Selatan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten.
Penulis banyak mendapatkan dukungan dan bantuan baik moril maupun
materiil serta kemudahan-kemudahan dari berbagai pihak, baik dalam penyelesaian
studi, penelitian maupun penyusunan tesis. Penulis ingin mengucapkan terimakasih
kepada:
1)

Ir. Richard W.E. Lumintang, MSEA dan Dr. Ign. Djoko Susanto, SKM, APU
selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah memberikan
bimbingan, saran dan masukan dalam penyusunan tesis ini;

2)

Dr. Ir. Basita Ginting S. MA. selaku dosen penguji luar komisi pada ujian tesis;

3)

Ir. Nurrohman selaku Kepala BKPH Pangalengan dan Bapak Daud selaku
Tenaga Pendamping Masyarakat (TPM);

4)

Bapak Djedjen selaku ketua KUB Kubangsari dan Bapak Encang Dasman
selaku ketua LMDH Warnasari;

5)

Para petani agroforestri kopi, khususnya yang penulis jadikan responden dalam
penelitian ini, baik dari Desa Pulosari maupun dari Desa warnasari;

6)

Perangkat Desa Pulosari dan Desa Warnasari yang telah membantu dan
memberikan ijin pengumpulan data pendukung (data sekunder);

7)

Diah, Ika dan Erni selaku enumeratorku yang dengan tekun dan sabar
membantuku dalam pengumpulan data primer di lokasi penelitian;

8)

Departemen Kehutanan melalui Pusat Diklat Kehutanan yang telah memberikan
dukungan beasiswa dan bantua n biaya penelitian;

9)

Ibuku dan Bapakku yang memberikan dukungan moril dan tak pernah putus
dalam berdoa untuk kesuksesan penulis;

10) Suamiku tercinta Bambang Winarno dan anak-anakku yang penulis kasihi dan
sayangi, yang telah berkorban dan memberikan motivasi yang tiada hentinya
agar penulis dapat menyelesaikan tugas belajar ini dengan baik dan tak pernah
berhenti berdoa untuk kemajuan penulis;
11) Adik-adikku yang tak pernah lelah memberikan dukungan, bantuan dan doa
bagi keberhasilan penulis;
12) Para dosen dan staf pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN)
atas segala dukungan dan motivasi yang diberikan selama penulis menuntut
ilmu; dan
13) Teman-teman

seperjuangan

pada

Program

Studi

Ilmu

Penyuluhan

Pembangunan (PPN), khususnya angkatan 2004 atas berbagai masukan, saran
dan pendapat selama penulis menuntut ilmu di PPN Sekolah Pascasarjana IPB.

Agar lebih sempurnanya tesis, penulis mengharapkan masukan, saran dan
pendapat dari para pembaca. Semoga tesis ini bermanfaat, baik bagi mahasiswa,
pengajar maupun para pengambil kebijakan terkait dengan pengelolaan hutan di
Indonesia.

Bogor, 30 Januari 2007
Dyah Ediningtyas

RINGKASAN
DYAH

EDININGTYAS.

“Kemandirian Masyarakat Desa Sekitar Hutan

Dalam Melakukan Usaha Agroforestri (Studi Kasus Usaha Agroforestri Tanaman
Kopi dan Tanaman Kehutanan di BKPH Pengalengan KPH Bandung Selatan, Perum
Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten)” di bawah bimbingan RICHARD
LUMINTANG dan DJOKO SUSANTO.
Pengelolaan hutan di Indonesia banyak menghadapi masalah, yaitu kurang
meratanya potensi sumberdaya hutan, perkiraan adanya degradasi hutan akibat
penebangan yang tidak tepat, illegal logging, tekanan penduduk yang terus
meningkat, timbulnya lahan kritis dan lahan kosong, kemungkinan terjadinya
kebakaran hutan, serta adanya HPH non industri maupun industri non HPH.
Kerusakan hutan saat sudah sangat mengkhawatirkan, baik pada hutan produks i,
hutan konversi, bahkan telah merambah pula ke kawasan hutan lindung.
Di satu pihak, hutan lindung ini memiliki fungsi yang sangat vital bagi
kehidupan manusia, yaitu sebagai perlindungan sistem peyangga kehidupan untuk
mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut,
dan memelihara kesuburan tanah. Namun di lain pihak, karena desakan ekonomi
yang terus meningkat sementara lahan pertanian dan permukiman semakin sempit,
maka lahan hutan merupakan sasaran utama untuk pemenuhan kebutuhan hidup
khususnya bagi masyarakat desa sekitar hutan. Perambahan dan penjarahan hutan
merupakan masalah utama bagi pengelolaan hutan khususnya hutan-hutan di Pulau
Jawa.

Pembangunan kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi kemakmuran rakyat dengan tetap menjaga kelestarian dan
kelangsungan fungsi hutan, baik fungsi ekologi, fungsi ekonomi maupun fungsi sosial
budaya. Departemen Kehutanan telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan program
untuk menanggulangi kerusakan lahan hutan dan lahan kritis sekaligus untuk
mendukung terpenuhinya kebutuhan hidup masyarakat sekitar hutan dengan terus
mengupayakan

dan

mengembangkan

pola

pengusahaan

hutan

dengan

mengikutsertakan secara aktif masyarakat dalam hal pengamanan, pemanfaatan hasil
hutan, serta dalam rehabilitasi dan konservasi hutan.
Perum Perhutani sejak Tahun 1982 telah mengelola hutan di Pulau Jawa
dengan kegiatan perhutanan sosial (social forestry) yang bertujuan membantu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perbaikan lingkungannya sebagai bagian
dari pembangunan perhutanan.

Salah satu keberhasilan pembangunan kehutanan

adalah meningkatnya kualitas hidup masyarakat khususnya masyarakat desa sekitar
hutan melalui partisipasinya secara aktif dalam pembanguna n kehutanan.
PSDHBM merupakan kesediaan perusahaan (Perum Perhutani), masyarakat
desa hutan, dan pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder) untuk berbagi dalam
pengelolaan Sumber Daya Hutan sesuai kaidah-kaidah keseimbangan, keberlanjutan,
kesesuaian dan keselarasan. Program PSDHBM selanjutnya diaplikasikan dalam
bentuk agroforestri.
Salah satu sasaran program PSDHBM adalah kawasan hutan lindung yang
berada dalam wilayah kerja BKPH Pengalengan, di antaranya adalah Desa Pulosari
dan Desa Warnasari yang menerapkan agroforestri tanaman kopi di antara tanaman

eucalyptus.

Sebelum diterapkannya PSDHBM, hutan lindung dirambah oleh

penduduk untuk lahan pertanian, dengan jenis komoditi sayuran. Melalui program
PSDHBM, jumlah perambahan lahan hutan dapat diturunkan.

Berdasarkan Data

Perum perhutani s/d Maret 2006, jumlah perambahan lahan hutan di BKPH
Pengalengan adalah seluas 2.673,47 ha oleh 3.820 KK.

Setelah diterapkannya

PHBM. Jumlah perambahan lahan hutan menurun menjadi 735,65 ha oleh 1.448 KK
(s/d Maret 2006).
Menurunnya jumlah perambahan lahan hutan seiring dengan kesadaran
masyarakat desa yang tinggal di sekitar hutan akan pentingnya fungsi hutan bagi
kesejahteraan kehidupan manusia.

Terlebih dengan diterapkannya PSDHBM,

masyarakat diberikan alterna tif dalam memanfaatkan hutan sebagai sumber
penghidupannya tanpa harus merusak hutan. Dengan adanya kegiatan agroforestri
tanaman kopi, diharapkan akan dapat memberikan tambahan penghasilan bagi
masyarakat desa sekitar hutan, sehingga mereka mampu memberdayakan dirinya dan
keluarganya serta masyarakatnya untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Pertanyaan yang muncul adalah sampai sejauhmana kemandirian masyarakat
desa sekitar hutan dalam melakukan usaha agroforestri tanaman kopi ini sehingga
dapat meningkatkan kesejahteraannya, khususnya kesejahteraan dari segi ekonomi
keluarga ? Faktor- faktor apa saja yang turut mempengaruhi kemandirian masyarakat
dalam melakukan usaha agroforestri tanaman kopi ?
Penelitian bertujuan: (1) menemukan faktor-faktor yang melatarbelakangi
petani sehingga mereka bersedia memberikan dukungan terhadap program PHBM,
(2) menemukan faktor- faktor yang melatarbelakangi petani sehingga mereka aktif

dalam melakukan usaha agroforestri, (3) mengkaji sampai sejauhmana kemandirian
petani dalam melakukan usaha agroforestri, dan (5) menemukan seberapa jauh peran
LMDH dan koperasi dalam memotivasi petani untuk aktif melakukan usaha
agroforestri.
Petani yang mandiri adalah petani yang secara utuh mampu memilih dan
mengarahkan kegiatan usahataninya sesuai dengan kehendaknya sendiri, yang
diyakini paling tinggi manfaatnya, tetapi bukan berarti sikap menutup diri melainkan
dengan rendah hati menerima situasi masyarakat dan aturan-aturan yang ada di
dalamnya. Motivasi perilakunya berasal dari seluruh kenyataan yang dihadapi dalam
kehidupan.
Perhutanan sosial merupakan salah satu program pemberdayaan masyarakat
desa sekitar hutan terkait dengan pengelolaan hutan bersama masyarakat. Tiwari
(1983) dalam Manual Kehutanan (1992) menyatakan bahwa perhutanan sosial adalah
ilmu dan seni penanaman pohon-pohonan dan/atau tumbuhan lainnya pada lahan
hutan, di dalam dan di luar kawasan hutan, dengan melibatkan rakyat secara akrab,
serta dipadukan dengan kegiatan-kegiatan lain, yang menghasilkan suatu bentuk
penggunaan lahan yang berimbang dan komplementer, dengan tujuan untuk
menghasilkan berbagai macam benda dan jasa bagi perorangan maupun masyarakat
pada umumnya. Tujuan utama perhutanan sosial adalah mencapai keadaan sosial
ekonomi penduduk yang lebih baik, terutama penduduk di dalam dan di sekitar hutan.
Salah satu bentuk perhutanan sosial adalah agroforestri (agro = pertanian dan
forestry = kehutanan), berarti usaha kehutanan yang dipadukan dengan usaha
pertanian.

Tumpangsari merupakan salah satu bentuk agroforestri yang banyak

diterapkan pada hutan tanaman di Jawa. Tumpangsari ini mulai dilakukan secara
berhasil pada Tahun 1883 di pemalang oleh Buurman, seorang berkebangsaan
Belanda (Kartasubrata, 1992), yaitu pesanggem diberikan hak untuk mengolah lahan
di sela-sela tanaman pokok (tanaman kehutanan) dengan menanam tanaman tahunan
(pangan) yang hasilnya menjadi hak/upah bagi pesanggem dan keluarganya.
Berdasarkan pemikiran sebagaimana

tersebut di atas, maka disusunlah suatu

kerangka berpikir keterkaitan antara berbagai faktor yang mempengaruhi petani
dalam melakukan usaha agroforestri disajikan dalam Gambar 1 sebagai berikut :

Kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri tanaman kopi
dipengaruhi secara nyata oleh faktor internal petani (umur, tingkat pendidikan formal
dan non formal, pengalaman berusaha agroforestri, jumlah tanggungan keluarga, luas
lahan garapan, motivasi berusaha agroforestri dan pendapatan petani) dan faktor
eksternal (ketersediaan informasi, ketersediaan sarana produksi, interaksi dengan
lembaga keuangan, interaksi dengan lembaga pemasaran, interaksi dengan lembaga
penyuluhan, interaksi dengan LMDH/koperasi, dukungan kebijakan lokal/nasional,
pengaruh tokoh masyarakat dan tingkat manfaat PSDHBM).

Penelitian dilakukan di Desa Pulosari dan Desa Warnasari Kecamatan
Pengalengan, yang termasuk dalam wilayah kerja BKPH Pengalengan Perum
Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Pengumpulan data dilakukan pada Bulan
Juli s/d Agustus 2006.

Teknik pengambilan sampel dilakukan secara purposive

sampling, yaitu petani yang melakukan usaha agroforestri tanaman kopi dari Desa
Pulosari dan Desa Warnasari. Selanjutnya dari kedua desa tersebut dipilih secara

acak petani-petani yang melakukan usaha agroforestri tanaman kopi, selanjutnya
digunakan teknik belah dua untuk menentukan jumlah responden dari masing- masing
desa sehingga diperoleh jumlah responden sebanyak 67 petani yaitu 41 petani dari
Desa Pulosari dan 26 petani dari Desa Warnasari).
Pengumpulan data dilakukan dengan metode obser vasi/pengamatan langsung
di lapangan, wawancara mendalam (in depth interview), data-data sekunder/dokumen,
tulisan-tulisan ilmiah dan studi pustaka. Sedangkan alat analisis yang digunakan
adalah uji korelasi Rank-Spearman (rs ), untuk mengetahui kuat dan arah hubungan
antar peubah yang digunakan dalam penelitian.

Karakteristik Internal Responden
Sebagian besar responden termasuk dalam kategori usia muda hingga cukup
tua, atau bila digunakan kategorisasi lain termasuk dalam kategori usia produktif,
dengan kisaran umur antara 21 tahun s/d 70 tahun. Hal ini berarti dari segi usia,
responden masih memiliki kemampuan fisik yang baik sehingga mampu untuk
menjalankan usaha agroforestri tanaman kopi.
Pendidikan responden baik formal maupun non formal umumnya sedang
dengan lama pendidikan 4,8 - 8,6 tahun, namun bila digunakan kategorisasi
berdasarkan pendidikan formal, umumnya petani memiliki tingkat pendidikan rendah,
yaitu sampai tamat SD. Rendahnya tingkat pendidikan formal dan kurangnya
pendidikan non forma l responden akan mempengaruhi cara berpikir serta
keberaniannya dalam bertindak dan mengambil resiko.

Sebagian besar responden tidak berpengalaman dalam berusaha agroforestri
kopi, yaitu < 2,1 tahun.

Budaya masyarakat sebelumnya adalah bercocoktanam

sayur-sayuran yang telah dilakukan secara turun-temurun selama bertahun-tahun,
dengan sistem pertanian yang masih tradisional dan berorientasi konsumtif. Dengan
adanya Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 522/1224/Binprod, responden
terpaksa melakukan alih komoditi dari jenis sayur -sayuran ke jenis tanaman kopi.
Sebagian besar responden mempunyai jumlah tanggungan keluarga cukup
banyak yaitu antara 3 - 4 orang, umumnya merupakan keluarga inti (keluarga batih)
yang terdiri dari ayah, ibu dan anak.
Luas la han garapan umumnya tergolong sempit (< 1,8 ha). Sebanyak 2 orang
petani memiliki luas lahan garapan > 3,4 ha, yaitu petani yang memiliki usaha
agribisnis hortikultura dan memiliki modal yang cukup kuat, sehingga menjadikan
usaha agroforestri hanya sebaga i usaha sampingan.

Motivasi berusaha agroforestri tergolong sedang hingga tinggi. Umumnya
motivasi responden berusaha agroforestri tanaman kopi adalah untuk menambah
penghasilan keluarga, baik usaha agroforestri merupakan mata pencaharian utama
maupun hanya sebagai usaha sampingan.
Pendapatan responden sangat bervariasi, dengan kisaran antara Rp.
2.000.000,- hingga Rp. 23.000.000,- per tahun. Namun secara umum pendapatan
responden tergolong rendah yaitu Rp. 9.000.000,- - Rp. 16.000.000,- per tahun. Ha l
ini menunjukkan adanya ketimpangan antara petani yang pendapatannya tinggi
dengan petani yang pendapatannya rendah. Petani yang pendapatannya tinggi

merupakan petani yang memiliki lahan sendiri yang cukup luas dan telah
menjalankan usaha agribisnis sebagai mata pencaharian utamanya, sedangkan usaha
agroforestri merupakan usaha sampingan walaupun lahan yang dibukanya tergolong
luas. Sedangkan petani yang penghasilannya rendah umumnya tidak memiliki lahan
sendiri dan bekerja sebagai buruh tani, serta lahan agroforestri yang dibukanya
tergolong sempit (lihat Tabel 1).

Karakteristik Eksternal Responden
Ketersediaan informasi mengenai usaha agroforestri tergolong cukup hingga
banyak tersedia, baik berupa media cetak maupun media elektronik. Sebagian besar
informasi agroforestri mudah diakses oleh responden.
Sarana produksi untuk berusaha agroforestri kopi sebagian cukup tersedia di
dalam dusun, beberapa sarana produksi dapat diperoleh di desa atau di ibukota
kecamatan.
Interaksi responden dengan lembaga keuangan tergolong rendah. Responden
belum memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam memanfaatkan lembaga lembaga keuangan seperti bank, koperasi simpan pinjam, pegadaian, dll., sebagai
sumber modal bagi usaha agroforestrinya. Hampir seluruh responden me nggunakan
modalnya sendiri dengan persetujuan keluarga untuk berusaha agroforestri.
Interaksi dengan lembaga pemasaran dan lembaga penyuluhan tergolong
tinggi.

Lembaga yang bertindak selaku lembaga pemasaran adalah koperasi dan

LMDH. Adanya jaminan pemasaran hasil sangat penting untuk menjamin
keberlangsungan usaha agroforestri kopi. Lembaga penyuluhan yang sangat berperan

adalah dari Dinas Pertanian dan Perkebunan yang memberikan materi mengenai
teknik budidaya kopi secara sederhana dengan memanfaatkan potensi daerah yang
ada, sedangkan dalam bidang pengelolaan hutan dan perhutanan sosial disampaikan
oleh LSM selaku Tenaga pendamping Masyarakat (TPM) yang difasilitasi oleh
Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Keberadaan penyuluh dan materi
yang disuluhkan sangat penting mengingat usaha agroforestri kopi tergolong masih
baru dan responden belum memiliki bekal pengetahuan yang cukup mengenai seluk beluk usaha agroforestri kopi.
Interaksi dengan LMDH cenderung tinggi.

Keberadaan LMDH sangat

penting bagi responden, karena melalui LMDH responden mendapatkan segala
informasi mengenai usaha agroforestri kopi yang mereka perlukan. LMDH sangat
berperan dalam membuat kesepakatan perjanjian PSDHBM maupun dalam menjalin
mitra dengan para stakeholder ya ng berkepentingan dalam usaha agroforestri kopi.
Hasil observasi menunjukkan kinerja LMDH masih belum optimal dan terdapat
tumpang tindih tugas dan wewenang antara pengurus LMDH dengan pengurus
koperasi, yang tidak sesuai dengan AD/ART organisasi. Kondis i ini menyebabkan
konflik yang menyebabkan krisis kepercayaan dari petani selaku anggotanya.
Kebijakan lokal/nasional sangat mendukung iklim berusaha agroforestri kopi.
Berdasarkan SK Direksi Perum perhutani Nomor : 136/KPTS/DIR/2001 tanggal 29
Maret 2001 tentang PSDHBM, usaha agroforestri kopi mulai dilegalkan bahkan
Perum Perhutani juga melakukan pembinaan untuk pengambangannya.

Kegiatan

Agroforestri kopi juga didukung oleh Pemda setempat dengan dikeluarkannya Surat
Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor : 522/1224/Binprod tanggal 20 Mei 2003 yang

mengharuskan petani beralih komoditi dari jenis sayuran ke tanaman kopi yang
sangat bermanfaat pula untuk konservasi hutan. Dengan demikian usaha agroforestri
kopi semakin mantap dan terjamin keberlanjutan usahanya.
Pengaruh tokoh masyarakat tergolong sangat kuat dalam mempengaruhi
keputusan warga terkait usaha agroforestri. Tokoh masyarakat terdiri dari: tokoh
formal, nonformal maupun keduanya.

Program PSDHBM termasuk sangat

bermanfaat bagi masyarakat Desa Pulosari dan Warnasari, yaitu: menambah
pendapatan keluarga dan pengamanan hutan sehingga kelestariannya sebagai
penunjang kehidupan manusia tetap terjaga.
Kemandirian Petani dalam Melakukan Usaha Agroforestri
Secara umum kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri kopi
tergolong cukup baik. Hanya kemandirian dalam proses produksi saja yang tergolong
kurang baik. Tingkat pendidikan formal yang rendah, kurangnya pengalaman dalam
budidaya tanaman kopi, serta kurangnya pelatihan-pelatihan dalam teknik budidaya
tanaman kopi menyebabkan petani kurang percaya diri dalam menjalankan usaha
agroforestrinya. Petani masih mengandalkan LMDH untuk menyelesaikan segala
permasalahan yang dihadapinya dalam berusaha agroforestri. Demikian juga dalam
tahapan proses produksinya, petani masih membutuhkan bantuan orang lain untuk
mengerjakan usahanya, baik berupa informasi ataupun dalam memecahkan masalah
maupun bantuan berupa tenaga untuk mengerjakan usaha agroforestrinya

Hubungan antara Faktor Internal dengan Kemandirian Petani dalam
Melakukan Usaha Agroforestri

Umur petani berhubungang nyata dengan kemandirian petani dalam proses
produksi. Semakin bertambah umur petani, semakin mandiri dalam proses produksi.
Umumnya petani yang telah cukup tua/tua memiliki anak yang sudah cukup besar
untuk dapat membantunya sehingga tidak memerlukan bantuan orang lain dalam
proses produksi. Semakin bertambah umur petani, pengalaman dalam bercocok
tanam sayuran juga semakin banyak, untuk kemudian dicoba diterapkannya dalam
budidaya kopi, meskipun petani kurang percaya diri dalam menerapkannya.
Kemandirian petani dalam proses perencanaan berhubungan nyata dengan
pengalaman berusaha agroforestri dan sangat nyata dengan luas lahan garapan.
Pengalaman berusaha agroforestri dianalogikan dengan pengalaman petani dalam
bercocoktanam sayuran, sehingga dapat membantunya dalam menyusun perencanaan
usaha agroforestri kopi termasuk dalam penentuan luas lahan garapan yang akan
dikelolanya.
Hal ini juga tidak terlepas dari dukungan faktor eksternal seperti ketersediaan
informasi dan interaksi dengan lembaga penyuluhan dan diperkuat dengan adanya
pengaruh tokoh masyarakat sehingga memudahkan petani dalam proses perencanaan.
Luas lahan garapan berhubungan sangat nyata dengan proses produksi dengan
arah hubungan negatif. Semakin luas lahan garapan, petani semakin tidak mandiri
dalam proses produksi, jika tidak didukung dengan modal yang besar pula.
Akibatnya petani akan kesulitan dalam mengelola lahan agroforestrinya. Hal inilah
yang menyebabkan petani terpaksa menjual lahan garapannya kepada pihak ketiga
tanpa sepengetahuan Perum Perhutani.

Sebaliknya, petani yang memiliki lahan

garapan sangat luas dan memiliki modal yang besar, akan sangat tergantung pada

bantuan orang lain (buruh) meskipun dia harus mengeluarkan banyak biaya.
Sebaliknya, dia akan mandiri dalam manajemen pemasaran, karena lahan yang luas
dan didukung modal yang besar, maka hasil panen juga besar, sehingga dia tidak lagi
tergantung pada tengkulak dan dapat mengelola sendiri pemasaran hasil panennya.

Hubungan antara Faktor Eksternal dengan Kemandirian Petani dalam
Melakukan Usaha Agroforestri
Dari Tabel 5 terlihat bahwa kemandirian petani dalam proses produksi
berhubungan sangat nyata dengan interaksi petani dengan lembaga penyuluhan dan
berhubungan nyata dengan pengaruh tokoh masyarakat.

Intensifnya penyuluhan

tentang agroforestri kopi serta kuatnya pengaruh tokoh masyarakat, akan memberikan
pemahaman kepada petani mengenai usaha agroforestri kopi, sehingga membantu
petani dalam mengambil keputusan untuk ikut/tidak dalam usaha agroforestri kopi
dan memudahkan petani dalam proses perencanaannya.
Tingkat manfaat program PSDHBM berhubungan sangat nyata dengan
kemandirian petani dalam proses produksi dengan arah hubungan negatif.
Kemandirian petani dalam proses produksi akan semakin tinggi jika manfaat dari
program PSDHBM rendah. Semakin luas lahan garapan, tanpa didukung modal yang
kuat juga akan menghasilkan kemandirian yang semakin rendah dalam proses
produksi. Hal ini disebabkan petani belum percaya diri dalam melakukan usaha
agroforestri karena belum memiliki pengetahuan yang cukup mengenai teknik
budidaya kopi.

Namun dari segi tingkat manfaat program PSDHBM, tergolong

tinggi. Petani sangat memahami manfaat program PSDHBM, sehingga secara sadar

mereka turut berpartisipasi aktif turut menjaga keamanan dan kelestarian hutan
lindung di mana dia melakukan usaha agroforestrinya.

Kemandirian petani dalam pemasaran hasil produksi berhubungan nyata
dengan ketersediaan sarana produksi dengan arah hubungan negatif.

Dalam

pemasaran hasil produksi, petani sudah cukup mandiri, terlebih dengan adanya
koperasi dan LMDH.

Namun, hal ini tidak didukung oleh ketersediaan sarana

produksi yang dapat disediakan oleh koperasi/LMDH sehingga petani dapat membeli
sarana produksi dengan cara mengangsur.
Kemandirian dalam pemasaran hasil produksi juga berhubungan nyata dengan
interaksi petani dengan lembaga keuangan, dan berhubungan sangat nyata dengan
pengaruh tokoh masyarakat dan tingkat manfaat program PHBM.

Petani akan

semakin mandiri dalam pemasaran hasil produksi jika didukung oleh tingginya
interaksi petani dengan lembaga keuangan.

Apabila petani sudah mampu

memanfaatkan sumber-sumber permodalan, maka petani tidak akan lagi menjual
kopinya dalam bentuk gelondongan, namun akan mengolahnya terlebih dahulu untuk
meningkatkan nilai jualnya. Demikian juga dengan pengaruh tokoh masyarakat dan
tingkat manfaat program PHBM. Semakin kuat pengaruh tokoh masyarakat, akan
mampu menggerakkan dan me nyadarkan petani dalam pengamanan dan pengelolaan
hutan lindung, sehingga akan meningkatkan harga jual kopinya dengan harga
premium karena kopinya diproduksi secara ramah lingkungan.
Kemandirian petani dalam menjalin kemitraan juga berhubungan nyata
denga n interaksi petani dengan LMDH dan adanya dukungan kebijakan lokal dan

nasional. Dalam menjalin kemitraan, juga dilakukan dan diputuskan oleh LMDH
selaku organisasi formal petani. Oleh karena itu, interaksi petani dengan LMDH ini
sangat kuat. Untuk dapat memasarkan produksinya, LMDH bekerjasama dengan
mitra, yaitu Perum Perhutani selaku mitra utamanya maupun dengan pihak swasta.
Mitra umumnya bersedia menjalin kerjasama apabila ada kepastian hukum, dalam arti
usaha agroforestri ini bersifat legal dan me ndapat dukungan dari pemerintah
setempat, sehingga suply kopi dapat terjamin keberlanjutannya.

Simpulan
1.

Kemandirian petani dalam melakukan usaha

Dokumen yang terkait

Pemanenan Hutan Tanaman Jati di BKPH Conggeang, KPH Sumedang, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat

1 18 83

Analisis finansial pengelolaan hutan tanaman jati di KPH Banten Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten

0 6 94

Analisis gender dalam kegiatan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) kasus di Desa Pulosari, RPH Pangalengan, BKPH Pangalengan, KPH Bandung Selatan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten

2 19 56

Stategi Pengembangan Usaha Persuteraan Alam di Kecamatan Pangalengan BPKH Pangalengan, KPH Bandung Selatan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten

0 6 102

Kemandirian Masyarakat Desa Sekitar Hutan Dalam Melakukan Usaha Agroforestri (Studi Kasus Usaha Agroforestri Tanaman Kopi Dan Tanaman Kehutanan Di BKPH Pengalengan KPH Bandung Selatan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat Dan Banten)

1 20 504

Simulasi Multisistem Pemanenan Hutan Pada Pengelolaan Hutan Tanaman (Studi Kasus di BKPH Parung Panjang KPH Bogor Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten)

1 8 58

Persepsi dan partisipasi masyarakat desa sekitar hutan terhadap sistem PHBM di Perum Perhutani (Kasus di KPH Cianjur Perum Perhutani Unit III, Jawa Barat)

1 13 177

Kajian Kemitraan Pembangunan Hutan Tanaman antara Perum Perhutani, PT Korea Indonesia Forestry Cooperative dan Masyarakat Desa Hutan (Studi Kasus di RPH Kutapohaci, BKPH Teluk Jambe, KPH Purwakarta Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten)

3 23 111

Potensi Kebakaran Hutan di KPH Bogor Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten

0 4 32

Stategi Pengembangan Usaha Persuteraan Alam di Kecamatan Pangalengan BPKH Pangalengan, KPH Bandung Selatan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten

0 0 92