Stategi Pengembangan Usaha Persuteraan Alam di Kecamatan Pangalengan BPKH Pangalengan, KPH Bandung Selatan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten

STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA PERSUTERAAN
ALAM DI KECAMATAN PANGALENGAN
BKPH PANGALENGAN, KPH BANDUNG SELATAN
PERUM PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT DAN BANTEN

Oleh :
LINDA SETIONINGRUM
E 14102034

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006

STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA PERSUTERAAN ALAM
DI KECAMATAN PANGALENGAN, BKPH PANGALENGAN
KPH BANDUNG SELATAN, PERUM PERHUTANI UNIT III
JAWA BARAT DAN BANTEN

LINDA SETIONINGRUM


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan pada
Departemen Manajemen Hutan

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

Judul Penelitian

: STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA PERSUTERAAN
ALAM DI KECAMATAN PANGALENGAN, BKPH
PANGALENGAN, KPH BANDUNG SELATAN, PERUM
PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT DAN BANTEN

Nama Mahasiswa : Linda Setioningrum
NRP


: E 14102034

Menyetujui,
Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS
NIP. 131 412 316

Mengetahui,
Dekan Fakultas Kehutanan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS.
NIP. 131 430 799

Tanggal Lulus : 28 Agustus 2006

RINGKASAN
Linda Setioningrum. E14102034. Strategi Pengembangan Usaha Persuteraan
Alam di Kecamatan Pangalengan, BKPH Pangalengan, KPH Bandung

Selatan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Di bawah
bimbingan Dr Ir. Nurheni Wijayanto, MS.
Kegiatan persuteraan alam merupakan salah satu peluang bisnis di
Indonesia yang belum banyak dilakukan, padahal usaha ini memiliki banyak
kelebihan. Kelebihan tersebut antara lain waktu yang singkat dalam budidaya
murbei hingga panen kokon, mudah dilakukan, tidak memerlukan tempat yang
luas, dapat dilakukan sebagai kegiatan rumah tangga dan keuntungan yang
dihasilkan cukup tinggi.
Secara umum daerah Pangalengan memiliki kondisi fisik lingkungan yang
sangat menunjang usaha persuteraan alam sehingga usaha tersebut sangat cocok
dilakukan di daerah Pangalengan. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan di
Kecamatan Pangalengan, karena daerah tersebut sangat berpotensi untuk
pengembangan usaha persuteraan alam.
Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan suatu strategi pengembangan
usaha persuteraan alam. Penelitian dilakukan dengan dua tahapan yakni analisis
strategis menggunakan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat)
dan analisis struktural dengan teknik Interpretative Structural Modelling (ISM).
Data primer pada penelitian ini diperoleh dari hasil kuisioner dan
wawancara mendalam (in-depth interview) bersama pakar yang mengetahui seluk
beluk mengenai usaha persuteraan alam. Sedangkan data sekunder diperoleh dari

hasil studi literatur.
Pengembangan usaha persuteraan alam di Kecamatan Pangalengan
ditentukan keberhasilannya oleh unsur internal (kekuatan dan kelemahan) dan
unsur eksternal (peluang dan ancaman). Unsur kekuatan yang paling tinggi nilai
pengaruhnya adalah kondisi biofisik lingkungan dan total nilai pengaruh unsur
kekuatan adalah 3,302. Pada unsur kelemahan, keterbatasan modal dinilai sebagai
kelemahan yang sangat berpengaruh dan total nilai pengaruh unsur kelemahan
adalah 2,259. Peluang yang memiliki nilai pengaruh tertinggi yang perlu direspon
dengan baik adalah permintaan akan benang suteran yang terus meningkat tiap

tahun, dan jumlah total nilai pengaruh unsur peluang sebesar 3,144. Dan pada
unsur ancaman yang memiliki nilai pengaruh tertinggi adalah penghasilan yang
lebih menjanjikan dari bidang lain selain persuteraan alam. Dan total nilai
pengaruh unsur ancaman adalah 2,259.
Pada Diagram SWOT, diketahui bahwa posisi strategi pengembangan usaha
persuteraan alam di Pangalengan terletak pada kuadran I. Menurut Rangkuti
(2000) berarti situasi yang terjadi sangat menguntungkan. Maka strategi yang
diterapkan adalah strategi SO dengan memaksimalkan kekuatan sehingga dapat
memanfaatkan peluang yang ada.
Menurut Saxena, 1992 dalam Eriyatno 1999 bahwa suatu program dengan

teknik ISM dapat dibagi menjadi 9 elemen. Dalam penelitian ini, struktur program
yang digunakan adalah sektor masyarakat yang terpengaruhi, tujuan dari program,
kebutuhan dari program, kendala utama, lembaga yang terkait dengan program,
dan perubahan yang dimungkinkan.
Hasil dari analisis struktural menunjukkan bahwa sub-elemen kunci dari
elemen sektor masyarakat yang terpengaruhi adalah petani murbei dan ulat sutera,
sub-elemen ini termasuk dalam sektor III. Sub-elemen kunci dari elemen tujuan
program adalah meningkatkan usaha persuteraan alam dan memenuhi permintaan
pasar yang besar akan kain sutera, sub-elemen ini termasuk dalam sektor III dan
IV. Sub-elemen kunci dari elemen kebutuhan program adalah permodalan, subelemen ini termasuk dalam sektor IV. Sub-elemen kunci dari elemen kendala
utama adalah kurangnya permodalan dan kualitas SDM rendah, sub-elemen ini
termasuk dalam sektor III dan IV. Sub-elemen kunci dari elemen lembaga yang
terkait dengan program adalah BKPH pangalengan dan KPH Bandung Selatan,
sub-elemen ini termasuk dalam sektor III.. Sub-elemen kunci dari elemen
perubahan yang dimungkinkan adalah peningkatan kualitas SDM, sub-elemen ini
termasuk dalam sektor IV.
Berdasarkan hasil analisis strategis dan analisis struktural, diperoleh strategi
pengembangan usaha persuteraan alam antara lain pemanfaatan kondisi alam
untuk memperluas usaha, pemanfaatan sumberdaya manusia, pemberian kredit
usaha dan penguatan kelembagaan.


MNH/

Strategi Pengembangan Usaha Persuteraan Alam
di Kecamatan Pangalengan, BKPH Pangalengan,
KPH Bandung Selatan, Perum Perhutani Unit III
Jawa Barat dan Banten
Oleh :
Linda Setioningrum dan Nurheni Wijayanto

PENDAHULUAN. Kegiatan persuteraan alam merupakan salah satu peluang bisnis di Indonesia yang belum banyak
dilakukan, padahal usaha ini memiliki banyak kelebihan. Kelebihan tersebut antara lain waktu yang singkat dalam
budidaya murbei hingga panen kokon, mudah dilakukan, tidak memerlukan tempat yang luas, dapat dilakukan sebagai
kegiatan rumah tangga dan keuntungan yang dihasilkan cukup tinggi. Secara umum daerah Pangalengan memiliki
kondisi fisik lingkungan yang sangat menunjang usaha persuteraan alam sehingga usaha tersebut sangat cocok
dilakukan di daerah Pangalengan. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan di Kecamatan Pangalengan, karena daerah
tersebut sangat berpotensi untuk pengembangan usaha persuteraan alam.
BAHAN DAN METODE. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan suatu strategi pengembangan usaha
persuteraan alam. Penelitian dilakukan dengan dua tahapan yakni analisis strategis menggunakan analisis SWOT
(Strength, Weakness, Opportunity, Threat) dan analisis struktural dengan teknik Interpretative Structural Modelling

(ISM). Perangkat analisis SWOT yang digunakan adalah External Factor Evaluation Matrix (matriks EFE) dan Internal
Factor Evaluation Matrix (Matriks IFE), Diagram SWOT dan Matriks SWOT. Metodologi dan teknik ISM dibagi menjadi
dua bagian yaitu penyusunan hierarki dan klasifikasi sub-elemen. Analisis struktural menghasilkan model interpretasi
struktural bagi pengembangan usaha persuteraan alam. Data primer pada penelitian ini diperoleh dari hasil kuisioner
dan wawancara mendalam (in-depth interview) bersama pakar yang mengetahui seluk beluk mengenai usaha
persuteraan alam. Sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil studi literatur.
HASIL DAN KESIMPULAN. Pengembangan usaha persuteraan alam di Kecamatan Pangalengan ditentukan
keberhasilannya oleh unsur internal (kekuatan dan kelemahan) dan unsur eksternal (peluang dan ancaman). Unsur
kekuatan yang paling tinggi nilai pengaruhnya adalah kondisi biofisik lingkungan dan total nilai pengaruh unsur kekuatan
adalah 3,302. Pada unsur kelemahan, keterbatasan modal dinilai sebagai kelemahan yang sangat berpengaruh dan total
nilai pengaruh unsur kelemahan adalah 2,259. Peluang yang memiliki nilai pengaruh tertinggi yang perlu direspon
dengan baik adalah permintaan akan benang sutera yang terus meningkat tiap tahun, dan jumlah total nilai pengaruh
unsur peluang sebesar 3,144. Dan pada unsur ancaman yang memiliki nilai pengaruh tertinggi adalah penghasilan yang
lebih menjanjikan dari bidang lain selain persuteraan alam. Dan total nilai pengaruh unsur ancaman adalah 2,259.
Pada Diagram SWOT, diketahui bahwa posisi strategi pengembangan usaha persuteraan alam di Pangalengan terletak
pada kuadran I. Menurut Rangkuti (2000) berarti situasi yang terjadi sangat menguntungkan. Maka strategi yang
diterapkan adalah strategi SO dengan memaksimalkan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada.
Hasil dari analisis struktural menunjukkan bahwa sub-elemen kunci dari elemen sektor masyarakat yang terpengaruhi
adalah petani murbei dan ulat sutera, sub-elemen ini termasuk dalam sektor III. Sub-elemen kunci dari elemen tujuan
program adalah meningkatkan usaha persuteraan alam dan memenuhi permintaan pasar yang besar akan kain sutera,

sub-elemen ini termasuk dalam sektor III dan IV. Sub-elemen kunci dari elemen kebutuhan program adalah permodalan,
sub-elemen ini termasuk dalam sektor IV. Sub-elemen kunci dari elemen kendala utama adalah kurangnya permodalan
dan kualitas SDM rendah, sub-elemen ini termasuk dalam sektor III dan IV. Sub-elemen kunci dari elemen lembaga
yang terkait dengan program adalah BKPH pangalengan dan KPH Bandung Selatan, sub-elemen ini termasuk dalam
sektor III.. Sub-elemen kunci dari elemen perubahan yang dimungkinkan adalah peningkatan kualitas SDM, sub-elemen
ini termasuk dalam sektor IV. Berdasarkan hasil analisis strategis dan analisis struktural, diperoleh strategi
pengembangan usaha persuteraan alam antara lain memperluas usaha persuteraan alam, memanfaatkan lahan
kehutanan di bawah tegakan, dan memanfaatkan ketersediaan sumberdaya manusia. Selain itu mempermudah akses
petani untuk mendapatkan pinjaman modal juga merupakan strategi yang perlu dilakukan.

Departemen Manajemen Hutan

MNH/

Development Strategy of Natural Silk Effort
in Subdistrict Pangalengan, BKPH Pangalengan,
KPH Bandung Selatan, Perum Perhutani Unit III
of West Java and Banten
By :
Linda Setioningrum and Nurheni Wijayanto

INTRODUCTION. Natural silk activity is one of the business opportunities which haven’t conducted by Indonesian
society. Though this effort has many advantages, for example its not need long time in murbei plantation until cocoon
harvest, easy to do and doesn’t need wide place. In the other hand, it can be done as a household activity and give a lot
of earnings. Generally, Pangalengan has an environmental condition which is support and very compatible with the
natural silk effort. Therefore this research is conducted in Subdistrict Pangalengan, because this area has a potency to
develop natural silk effort.
MATERIALS AND METHODS. This research has an aim to formulate a development strategy of natural silk effort.
This research is done with two step namely the strategic analysis use SWOT analysis (Strength, Weakness, Opportunity,
Threat) and the structural analysis with technique of Interpretative Structural Modelling ( ISM). External Factor Evaluation
Matrix (EFE) and Internal Factor Evaluation Matrix (IFE), Diagram of SWOT and Matrix SWOT used for SWOT analysis.
Methodologies and technique of ISM is divided become two shares that is compilation of hierarki and sub-element
classification. The result of structural analysis is a structural interpretation model for development of natural silk effort.
Primary data of this research is obtained from circumstantial result of quiz interview and in-depth interview with expert
who knowing the ins and outs hit the natural silk effort. While secondary data is obtained from literature study.
RESULT AND CONCLUSION. Development of natural silk effort in Subdistrict Pangalengan is determined by
internal element (strength and weakness) and external element (opportunity and threat). The highest assess of strength
element is an environmental condition and the total influential assess of strength element is 3,302. The highest assess of
weakness element is capital limitation and the total influential assess of weakness is 2,259. The highest assess of
opportunity element is increasing of natural silk request and the total influential assess of opportunity is 3,144. And the
threat element owning highest influence value is promising earning from another job. And the total influential assess of

threat element is 2,259. At Diagram SWOT, known that the development strategy position of natural silk effort in
Pangalengan lays in kuadran I. According to Rangkuti (2000) meaning situation that happened is very beneficial. Hence
the strategy applied is strategy SO which maximizedly its strength so that can exploit existing opportunity. Structural
analysis result indicate that sub-elemen key from affected society sector element is murbei and silkworm farmer, this
sub-element is included in sector III. Sub-element key from programme target element are improved the natural silk effort
and fulfill a market request of silk cloth, this sub-element are included in sector III and IV. Sub-element key from
programme requirement element is capital, this sub-element is included in sector IV. Sub-element key from fundamental
constraint element are the lack of capital and human resources quality, this sub-elemen are included in sector III and IV.
Sub-element key from relevant institute element are BKPH pangalengan and KPH Bandung Selatan, both sub-element
are included in sector III. Sub-element key from enabled change element is human resources improvement, this subelement is included in sector IV. Pursuant to strategic analysis and the structural analysis result, obtained a development
strategy of natural silk effort for example extending the natural silk effort, exploiting forestry farm under plantation, and
exploiting availability of human resources. Others to facilitate farmer to get capital loan also represent strategy which
require to be conducted.

Departement of Forest Management

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sistem agroforestry merupakan sistem yang telah biasa dilakukan

masyarakat di Indonesia yang saat ini sedang diupayakan pengembangannya.
Salah satu contoh dari sistem agroforestry adalah kegiatan persuteraan alam.
Kegiatan ini perlu diperhatikan dan diterapkan dalam praktek di lapangan.
Karena kegiatan ini memiliki sifat yang padat karya sehingga dapat
memperluas lapangan pekerjaan, dapat meningkatkan taraf hidup, dapat
menambah

penghasilan

masyarakat,

dapat

menanggulangi

masalah

kependudukan dan tenaga kerja dan juga dapat berperan serta dalam
meningkatkan produksi sandang (garmen).
Kegiatan persuteraan alam merupakan salah satu peluang bisnis di
Indonesia yang belum banyak dilakukan, padahal usaha ini memiliki banyak
kelebihan. Waktu yang singkat dalam budidaya murbei hingga panen kokon
adalah salah satu kelebihannya. Kelebihan lainnya adalah mudah dilakukan,
tidak memerlukan tempat yang luas, dapat dilakukan sebagai kegiatan rumah
tangga dan keuntungan yang dihasilkan cukup tinggi.
Kegiatan persuteraan alam sebenarnya telah lama dikenal dan dilakukan
oleh manusia. Sebagai bangsa yang tercatat sebagai pelopor budidaya, bangsa
Cina sejak sekitar tahun 200 SM sudah memiliki pabrik benang sutera yang
besar dan dapat memasarkannya ke berbagai penjuru dunia. Usaha ini terus
menyebar ke berbagai negara seperti Jepang, Korea, India, dan akhirnya
sampai ke Indonesia.
Kebutuhan akan benang sutera dunia mencapai 700 ton per tahun,
sedangkan produksi hanya sebesar 81,2 ton, sehingga Indonesia harus
mengimpor benang sutera sekitar 618,8 ton pada tahun 2005. Pemerintah
menargetkan produksi benang sutera nasional mencapai 400 ton pada tahun
2010, sehingga impor bisa ditekan hanya sekitar 275 ton (Seno, 2006). Maka
peluang untuk berusaha di bidang persuteraan alam di Indonesia cukup besar,
karena negara Indonesia memiliki iklim serta daerah yang keadaan biofisiknya

2
cocok untuk budidaya sutera alam, baik untuk penanaman tanaman murbei
sebagai sumber pakan ulat sutera, juga untuk pembudidayaan ulat sutera.
Kegiatan persuteraan alam ini dalam pelaksanaannya melibatkan petani,
pengusaha serta pemerintah. Petani sebagai produsen awal yang memelihara
ulat sutera (Bombyx mori) dan menanam daun murbei (Morus sp.) sebagai
pakan bagi ulat. Sedangkan peran pengusaha sebagai penampung hasil
produksi petani yang kemudian dilakukan kegiatan pengolahan lebih lanjut.
Pemerintah disini berperan sebagai pembina kegiatan persuteraan alam ini.
Pemerintah saat ini perlu memperhatikan dan menggalakkan budidaya
ulat sutera karena komoditi sutera dianggap penting sedangkan produksi di
dalam negeri masih rendah. Berbagai upaya untuk meningkatkan produksi
benang sutera mulai diusahakan, diantaranya adalah dengan pembukaan dan
perluasan daerah pemeliharaan baru, perbaikan penanaman murbei, perbaikan
pembibitan ulat sutera dan intensifikasi pemeliharaan ulat sutera.
Usaha persuteraan alam belum banyak dilakukan oleh masyarakat
Kecamatan Pangalengan karena usaha tersebut begitu dikenal. Maka perlu
dilakukan suatu penelitian terhadap strategi yang dapat menentukan upayaupaya pengembangan kegiatan persuteraan alam yang diharapkan dapat
menjadi daya tarik para petani sutera untuk lebih menekuni usahanya sehingga
dapat meningkatkan taraf hidup petani sutera serta dapat merangsang
masyarakat lainnya untuk melakukan usaha persuteraan alam.

B. Perumusan masalah
Besarnya permintaan benang sutera baik dari dalam negeri maupun dari
luar negeri belum diikuti dengan besarnya pertumbuhan produksi sutera alam.
Untuk mengimbangi hal tersebut, maka diperlukan kegiatan pengembangan
persuteraan alam di Indonesia.
Pengembangan persuteraan alam di Indonesia sebenarnya saat ini telah
banyak dilakukan, salah satunya adalah di wilayah BKPH Pangalengan, KPH
Bandung Selatan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Akan
tetapi banyak hal lain yang menjadikan para petani beralih ke usaha lain
karena menginginkan keuntungan yang lebih besar. Hal ini sangat ironis,

3
karena di wilayah tersebut memiliki potensi alam yang cukup baik untuk
dilakukannya pengembangan usaha persuteraan alam.
Oleh karena itu perlu dilakukan analisis mengenai pengembangan
persuteraan alam di Kecamatan Pangalengan, BKPH Pangalengan, KPH
Bandung Selatan. Analisis dalam penelitian ini adalah analisis strategis
menggunakan metode SWOT dan juga analisis struktural dengan teknik ISM
(Interpretative Structural Modelling).

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini antara lain :
1. Mengidentifikasi dan mengevaluasi faktor eksternal dan internal yang
dapat mempengaruhi perkembangan usaha persuteraan alam.
2. Menentukan model interpretasi struktural.
3. Merumuskan alternatif-alternatif strategi yang dapat diterapkan dalam
rangka pengembangan usaha persuteraan alam di Kecamatan Pangalengan,
BKPH Pangalengan, KPH Bandung Selatan.
Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Dapat menjadi bahan informasi dan perbandingan suatu analisis strategi
yang dapat diterapkan pada pengembangan persuteraan alam.
2. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat Kecamatan Pangalengan dalam
memanfaatkan potensi alam untuk usaha persuteraan alam.
3. Sebagai bahan pertimbangan bagi penelitian-penelitian selanjutnya.

II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Persuteraan Alam
Ada beberapa tujuan orang membudidayakan binatang, antara lain untuk
mendapatkan produksi pangan (daging, telur, susu, dan madu), untuk tenaga
kerja, untuk bahan obat-obatan, untuk bahan industri sandang (pakaian) serta
untuk hobi, dan lain-lain. Budidaya ulat sutera memiliki tujuan untuk
menghasilkan benang sutera sebagai bahan sandang (Guntoro, 1994).
Persuteraan alam merupakan kegiatan agroforestry yang mempunyai
rangkaian yang cukup panjang sejak penanaman murbei, pembibitan ulat,
sutera, pemeliharaan ulat sutera, processing (pengolahan) kokon, pemintalan
serat, pertenunan dan pemasaran kain sutera. Kegiatan ini sudah lama dikenal
dan dibudidayakan sebagian masyarakat Indonesia (Sunanto, 1997).
Usaha persuteraan alam, khususnya produksi kokon dan benang sutera
dirasakan sangat menguntungkan karena cepat mendapatkan hasil dan
memiliki nilai ekonomi tinggi, teknologi yang digunakan relatif sederhana,
tidak memerlukan keterampilan khusus, dapat dilakukan sebagai usaha pokok
ataupun sambilan, serta dapat dilakukan oleh pria, wanita, dewasa maupun
anak-anak. Oleh karena itu, kegiatan ini merupakan salah satu alternatif untuk
meningkatkan peranan sektor kehutanan dan perkebunan dalam mendorong
perekonomian masyarakat di pedesaan, memberikan lapangan pekerjaan serta
mendukung kegiatan reboisasi dan penghijauan (Balai Rehabilitasi Lahan dan
Konservasi Tanah Brantas, 2000).

1. Deskripsi Ulat Sutera
Dalam dunia persuteraan alam dikenal 4 jenis atau ras kupu sutera
unggul yang memiliki produksi kokon yang tinggi dan dapat menghasilkan
benang sutera dengan kualitas yang baik yakni Ras Cina, Ras Jepang, Ras
Eropa dan Ras Tropika. Di Indonesia yang banyak dikembangkan adalah
kupu ras Cina dan Jepang, dan hasil persilangan kedua ras tersebut. Namun,
belakangan ini hasil persilangan ras Jepang dan ras Cina yang lebih banyak
dikembangkan. karena dengan persilangan kedua ras kupu tersebut, maka

5
kelemahan-kelemahannya dapat dikurangi dan sifat unggulnya dapat
ditonjolkan (Guntoro, 1994).
Ulat sutera (Bombyx mori) membutuhkan daun murbei sebagai
makanannya. Sebelum mulai melakukan pemeliharaan ulat sutera, tanaman
murbei harus sudah siap diambil daunnya sebagai bahan makanan. Ulat
yang sudah menjadi serangga piaraan sangat peka terhadap faktor-faktor
lingkungan. Maka pemeliharaan ulat sutera memerlukan tempat atau
ruangan yang memiliki suhu dan kelembaban yang cocok dengan ulat sutera
yang dipelihara (Sunanto, 1997).
Pusat Penyuluhan Kehutanan dan Perkebunan, 1999 menyatakan
terdapat beberapa persyaratan lokasi untuk kegiatan budidaya ulat sutera
dari segi non teknis yakni harus didukung oleh kondisi sosial budaya
setempat, tersedianya sarana transportasi yang memadai, tersedianya pasar
lokal atau akses pasar yang jelas,serta adanya akses untuk memperoleh bibit
tanaman murbei dan bibit ulat sutera secara mudah dan berkesinambungan.
Sedangkan Samsijah dan Andadari (1995) menyatakan bahwa untuk
menjamin berhasilnya suatu pemeliharaan ulat sutera, beberapa hal yang
perlu diperhatikan yakni tersedianya daun murbei yang cukup baik kualitas
maupun kuantitasnya, bibit unggul yang bebas penyakit serta teknik dan
persiapan pemeliharaan perlu dikuasai dan ditingkatkan.
Perkembangan budidaya ulat sutera dapat dibedakan menjadi tiga
fase, dimana setiap fasenya memerlukan lingkungan dan perlakuan yang
agak berbeda. Ketiga fase tersebut adalah fase ulat kecil, fase ulat besar dan
fase pengkokonan. Fase ulat kecil terhitung sejak telur kupu menetas hingga
ulat berumur 1 minggu. Fase ulat besar adalah sejak ulat berumur sekitar
delapan hari hingga 3 minggu (21-22 hari), dan fase pengkokonan adalah
dari umur sekitar 21 hari hingga umur 27 atau 28 hari. Dengan demikian
proses sejak telur menetas (lahir larva) hingga larva atau ulat membentuk
kokon memerlukan makanan berupa daun murbei. Sedangkan untuk fase
pengkokonan memerlukan waktu sekitar 6-7 hari (Guntoro, 1994).
Hasil akhir dari suatu pemeliharaan ulat sutera adalah kokon dan
mutunya sangat ditentukan oleh keadaan selama pemeliharaan dan waktu

6
ulat membentuk kokon, disamping sifat keturunan dari ulat sutera itu
sendiri. Jadi kualitas kokon dan kualitas serat sutera akan tergantung dari
faktor-faktor tersebut. Oleh karena itu, untuk mendapatkan benang sutera
yang baik, perlu dihasilkan kokon yang baik pula dan untuk mencapai
tujuan ini, maka perlu memperhatikan keadaan bibit ulat sutera pada saat
pemeliharaan dan ulat membentuk kokon (Samsijah dan Andadari, 1992a).

2. Deskripsi Tanaman Murbei
Tanaman murbei (Morus sp.) yang dalam bahasa Jawa disebut
Besaran dapat tumbuh hampir di semua jenis tanah. Namun demikian
tanaman ini akan tumbuh baik pada daerah berketinggian di atas 300 meter
dari permukaan laut, dengan kondisi tanah yang gembur dan subur. Dengan
sistem pemeliharaan yang baik, tanaman ini juga dapat diusahakan pada
lahan-lahan yang kurang subur, sebagai tanaman penghijauan di daerah
gundul. Murbei dapat diusahakan secara besar-besaran sebagai tanaman
pagar, atau tanaman sela di pekarangan (Guntoro, 1994).

Gambar 1. Berbagai Jenis Daun Murbei ( Ket : 1. Morus canva II, 2. Morus
khumpai, 3. Morus multicaulis, 4. Morus alba, 5. Morus cathayana, 6. Morus nigra)
Tanaman murbei (Morus sp.) mempunyai peranan penting dalam
usaha persuteraan alam karena merupakan bahan makanan utama bagi ulat
sutera jenis Bombyx mori. Dalam pemeliharaan ulat tersebut diperlukan
daun-daun murbei yang masih segar, sedangkan daun-daun yang sudah layu
dan daun dari tumbuhan lain tidak dapat dipergunakan untuk bahan
makanan ulat sutera dengan baik. Produksi dan kualitas daun murbei tidak

7
hanya menentukan pertumbuhan dan kesehatan ulat sutera tapi juga
berpengaruh terhadap kualitas kokon yang dihasilkan. Sehubungan dengan
hal tersebut maka akan berpengaruh juga terhadap produksi benang
suteranya (Samsijah dan Andadari, 1992b).
Daun murbei adalah satu-satunya makanan ulat sutera jenis Bombyx
mori, dimana untuk pertumbuhannya memerlukan zat-zat makanan yang
ada di dalamnya. Susunan kimia daun murbei terdiri dari air, protein,
dekstrin garam-garam anorganik (phosfat, kalium, kalsium, dan lain-lain),
vitamin (provitamin A, B1, B2, C dan sebagainya), karbohidrat, bahan
ekstraksi, macam-macam gula dan juga asam-asam organik (Samsijah dan
Kusumaputera, 1976 dalam Fauziyah, 2003).
Katsumata (1964) menyatakan bahwa dalam rencana penanaman
tanaman murbei di daerah tropis sebaiknya memperhatikan beberapa hal
seperti letak perkebunan murbei dan jenis tanahnya, keadaan sekitar
perkebunan murbei, persiapan tanah untuk tanaman murbei, pengairan
untuk kebun murbei, penggunaan mata air dalam tanah, serta pemilihan
jenis tanaman murbei.

B. Prospek Pengembangan Persuteraan Alam
Perkembangan ulat sutera alam pada tahun-tahun terakhir ini
menunjukkan prospek yang cukup baik. Dapat tergambarkan dari jumlah
produksi raw silk dunia yang terus menurun selama enam tahun terakhir dari
55.222 ton menjadi 52.342 ton, sedangkan kebutuhan dunia cukup besar dan
stabil yaitu sebesar 81.546 ton. Kebutuhan akan benang sutera ini diprediksi
akan terus meningkat seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk
serta semakin membaiknya kondisi perekonomian (Pemda Kabupaten
Tasikmalaya, 2005).
Indonesia memiliki potensi lahan yang masih luas, iklim yang
mendukung, tenaga kerja yang cukup banyak dan murah serta teknologi
persuteraan alam yang telah dikuasai, tetapi perkembangan kegiatan
persuteraan alam di Indonesia selama ini masih mengalami pasang surut
seperti komoditas lainnya. Tingkat produksi sutera alam di dalam negeri

8
masih rendah yakni hanya 30 % dari kebutuhan nasional, khususnya untuk
memenuhi kebutuhan industri sutera rakyat. Dan dengan peningkatan
kebutuhan benang sutera negara-negara Eropa dari 30 gram/kapita/tahun
menjadi 100 gram/kapita/tahun, maka memberi peluang yang sangat
prospektif bagi persuteraan alam di Indonesia, dimana persuteraan alam
sifatnya padat karya sehingga sangat cocok bagi Indonesia yang penduduknya
cukup padat terutama di pedesaan (Sunanto, 1997).
Kegiatan usaha persuteraan alam yang telah berkembang di Indonesia
terdapat di propinsi Sulawesi Selatan, D.I. Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa
Tengah dan Sumatera Barat. Dari lima propinsi tersebut dihasilkan benang
sutera rata–rata per tahun sebesar 140 ton. Sesungguhnya kebutuhan benang
sutera mencapai 400 ton per tahun. Hal ini menunjukkan masih terdapat
peluang pasar dalam negeri sebesar 260 ton per tahun yang setara dengan
4500-5000 ha areal tanaman monokultur murbei. Dengan demikian telah
terbuka peluang usaha yang cukup besar dengan tingkat penyerapan tenaga
kerja yang tinggi untuk mengisi pasar sutera alam baik di dalam maupun di
luar negeri (Pusat Penyuluhan Kehutanan dan Perkebunan, 1999).
Program kemitraan di bidang persuteraan alam dimaksudkan sebagai
bentuk upaya kerjasama yang berlandaskan kepada semangat kekeluargaan
dan kebersamaan antara yang kuat dengan yang lemah dalam rangka
pemberdayaan yang lemah, agar tidak menjadi korban dalam persaingan usaha
dengan tujuan tercapainya tujuan–tujuan pembangunan persuteraan alam
(Atmosoedarjo et al, 2000).
Kegiatan persuteraan alam di Perum Perhutani dimulai sekitar tahun
1960 sebagai proyek Prosperity Approach. Kegiatan ini merupakan salah satu
cara pendekatan pengamanan hutan sekaligus sebagai diversifikasi produk
yang cepat menghasilkan. Akan tetapi hingga saat ini usaha persuteraan alam
di Perum Perhutani belum menunjukkan angka yang menggembirakan karena
potensi usaha belum didayagunakan secara optimal. Penyebabnya adalah
belum adanya keterpaduan usaha persuteraan alam mulai dari sektor hulu
(budidaya murbei dan ulat sutera) sampai dengan sektor hilir (industri raw silk
dan twist silk) (Sunanto, 1997).

9
C. Analisis SWOT
Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat) adalah suatu
analisa lingkungan internal dan eksternal. Analisa internal lebih menitik
beratkan pada kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness) yang dimiliki
oleh

organisasi,

sedangkan

analisa

eksternal

untuk

menggali

dan

mengidentifikasi semua peluang (opportunity) yang ada dan yang akan datang
serta ancaman (threat) dari pesaing dan calon pesaing (Cahyono, 1999).
Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal peluang
(opportunities) dan ancaman (threats) dengan faktor internal kekuatan
(strengths) dan kelemahan (weaknesses). Analisis SWOT tidak hanya dipakai
untuk menyusun strategi di medan pertempuran, melainkan banyak dipakai
dalam penyusunan strategi bisnis yang bertujuan untuk menyusun strategistrategi jangka panjang sehingga arah dan tujuan perusahaan dapat dicapai
dengan jelas dan dapat segera diambil keputusan, berikut semua perubahannya
dalam menghadapi pesaing (Rangkuti, 2000).

D. Teknik ISM (Interpretative Structural Modelling)
Teknik ISM (Interpretative Structural Modelling) adalah proses
pengkajian kelompok (group learning process) dimana model-model
struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem,
melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis serta
kalimat (Eriyatno, 1999).
Metodologi dan teknik ISM dibagi menjadi dua bagian, yaitu
penyusunan hierarki dan klasifikasi sub-elemen. Prinsip dasarnya adalah
identifikasi dari struktur di dalam suatu sistem yang memberikan nilai manfaat
yang tinggi guna meramu sistem secara efektif dan untuk pengambilan
keputusan yang lebih baik (Eriyatno, 1999).

III. METODE PENELITIAN
A. Kerangka Pemikiran
Kegiatan persuteraan alam memiliki arti khusus bagi penduduk di
Kecamatan Pangalengan yang berada di wilayah BKPH Pangalengan, KPH
Bandung Selatan. Hal ini karena kegiatan persuteraan alam dapat membuka
lapangan pekerjaan, menghasilkan pendapatan yang cukup besar sehingga
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Oleh karena itu
diperlukan suatu sistem manajemen yang tepat sehingga dapat meningkatkan
hasil dari kegiatan persuteraan alam tersebut.
Analisis yang dilakukan terdiri dari dua tahapan yakni analisis strategis
dengan metode SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat) dan analisis
struktural menggunakan teknik ISM (Interpretative Structural Modelling).
Pada analisis SWOT, informasi yang diperoleh dari tahap masukan diolah
untuk memadukan antara peluang dan ancaman eksternal serta kekuatan dan
kelemahan internal. Perpaduan antara faktor eksternal dan internal merupakan
kunci yang efektif untuk merumuskan strategi.
Sedangkan pada analisis struktural yang menggunakan teknik ISM
merupakan analisis sistematik dari suatu program sehingga memberikan nilai
yang berharga dalam memenuhi kebutuhan masa kini maupun masa yang akan
datang. Dengan menggunakan teknik ISM diharapkan akan diperoleh suatu
model struktural sistem persuteraan alam. Model interpretasi struktural
tersebut termasuk metode yang menitikberatkan pada informasi yang relevan
pada penetapan kebijaksanaan (policy research).
Kerangka pemikiran di atas disajikan dalam bentuk diagram yang dapat
dilihat pada Gambar 2.

11
Pendekatan Sistem
System Approach

Diagram dan
matriks
SWOT

Analisis Strategis
Analisis SWOT

Faktor Eksternal
dan Internal
Usaha
Persuteraan Alam

Usaha
Persuteraan Alam

Analisis Struktural
Teknik ISM

Model Struktural Usaha
Persuteraan Alam

Strategi Pengembangan Usaha
Persuteraan Alam

Gambar 2. Kerangka Pemikiran

Elemen penentu
usaha
persuteraan
alam

12
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini berlokasi di Kecamatan Pangalengan, BKPH
Pangalengan, KPH Bandung Selatan, Perum Perhutani III Unit Jawa Barat dan
Banten. Pemilihan lokasi ini berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat
daerah ini melakukan usaha persuteraan alam yang dibimbing oleh BKPH
Pangalengan. Penelitian ini dilaksanakan selama 1 bulan, mulai bulan Mei
hingga bulan Juni 2006.

C. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa daftar pertanyaan
(kuisioner), alat perekam suara (tape recorder), alat tulis menulis dan alat
hitung yang diperlukan. Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini berupa
lahan kegiatan persuteraan alam yang dilakukan oleh masyarakat pada lokasi
penelitian.

D. Metode Pengambilan Contoh
Dalam penelitian ini jumlah responden terdiri dari 8 orang responden
yang terdiri dari petani, pengusaha persuteraan alam, pihak Perum Perhutani,
dan para pakar persuteraan alam, serta masyarakat umum..
Menurut David (2003), dalam analisis ini (SWOT) untuk menentukan
responden tidak ada jumlah minimal yang diperlukan sepanjang responden
yang dipilih merupakan ahli (expert) pada bidangnya. Hal ini berarti bahwa
responden adalah orang-orang yang mengenal betul bisnis yang dijalani.
Namun demikian semakin banyak responden yang dilibatkan akan semakin
baik untuk mengurangi unsur subyektivitas.

E. Metode Pengumpulan Data
Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam
terhadap para pakar yang terpilih. Selain itu juga dilakukan pengamatan
terhadap pembudidayaan tanaman murbei dan cara pemeliharaan ulat sutera.
Sedangkan data sekunder diperoleh melalui studi literatur dan data-data dari
pihak yang terkait dengan usaha persuteraan alam.

13
F. Metode Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan dua tahapan, yakni analisis strategis
dengan metode SWOT dan analisis struktural dengan teknik ISM.

1. Identifikasi dan Evaluasi Faktor Internal dan Faktor Eksternal
Metode SWOT merupakan identifikasi yang sistematis dari faktor
kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities) dan
ancaman (threats). Metode ini diawali dengan mengidentifikasi variabel
lingkungan internal dan eksternal kegiatan persuteraan alam. Variabel
lingkungan internal dijadikan rujukan dalam menentukan kekuatan dan
kelemahan dari kegiatan persuteraan alam. Sedangkan variabel eksternal
dijadikan rujukan dalam penentuan peluang dan ancaman yang dihadapi
kegiatan persuteraan alam. Selanjutnya dilakukan pembandingan antara
faktor eksternal peluang dan ancaman dengan faktor internal kekuatan dan
kelemahan yang mempengaruhi usaha persuteraan alam.
Data yang termasuk faktor internal dimasukkan ke dalam Matriks
Internal Factor Evaluation (IFE) sedangkan data yang termasuk faktor
eksternal dimasukkan ke Matriks External Factor Evaluation (EFE).

a. Matriks EFE dan Matriks IFE
Tahapan untuk menentukan faktor-faktor lingkungan dalam
matriks EFE dan IFE adalah sebagai berikut :
1. Tuliskan faktor-faktor eksternal dan internal yang diidentifikasi
dalam proses evaluasi sebanyak 5-10 faktor.
2. Beri bobot masing-masing faktor dengan skala mulai dari 0,00
(tidak penting) sampai dengan 1,00 (sangat penting). Penentuan
bobot ini diperoleh dengan mengisi tabel dengan metode Paired
Comparison. Jumlah dari pembobotan ini tidak boleh melebihi skor
total 1,00. Bobot setiap peubah diperoleh dengan menentukan nilai
setiap peubah terhadap jumlah nilai keseluruhan peubah, dengan
rumus berikut :

14

Xi

ά =

n

Σxi
i=1

Keterangan :
ά = Bobot peubah ke-i
Xi = Nilai peubah ke-i
i = 1,2,3...n
n = jumlah peubah

3. Untuk Matriks EFE, berikan nilai peringkat 1 sampai 4 pada setiap
faktor. Skala nilai peringkat yang digunakan untuk peluang dan
ancaman eksternal yaitu : 1 = respon rendah (kurang), 2 = respon
sedang (respon sama dengan rata-rata), 3 = respon tinggi (respon di
atas rata-rata), dan 4 = respon sangat tinggi (respon superior).
Sedangkan untuk Matriks IFE, beri peringkat 1 sampai 4 pada setiap
faktor. Skala nilai peringkat yang digunakan untuk kekuatan yaitu :
4 = sangat kuat, 3 = kuat, 2 = lemah dan 1 = sangat lemah.
4. Kalikan setiap bobot pada faktor dengan peringkat untuk
menentukan skor atau nilai yang dibobot untuk setiap variabel.
5. Jumlahkan nilai yang dibobot untuk setiap variabel untuk
menentukan total nilai yang dibobot untuk organisasi.
Analisis faktor eksternal berupa peluang dan ancaman dapat
dilihat pada Tabel 1 dan analisis faktor internal berupa kekuatan dan
kelemahan dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini :

Tabel 1. Matriks EFE
Faktor Strategis Eksternal

Bobot

Rating/peringkat

Skor

(1)

(2)

(3)

(4)

Peluang
1.
2.
Dst
Ancaman
1.
2.
Dst
Total
Sumber : David, 2003

15
Tabel 2. Matriks IFE
Faktor Strategis Internal

Bobot

Rating/peringkat

Skor

(1)

(2)

(3)

(4)

Kekuatan
1.
2.
Dst
Kelemahan
1.
2.
Dst
Total
Sumber : David, 2003

b. Diagram dan Matriks SWOT
Metode SWOT memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi
peubah-peubah

internal

dan

eksternal

secara

baik.

Kemudian

menggunakan Diagram SWOT dan Matriks SWOT akan dapat
dirumuskan suatu strategi perusahaan. Dan diagram SWOT dapat dilihat
seperti pada Gambar 3 berikut ini.

Berbagai peluang
3. mendukung strategi
turnaround

1. mendukung strategi
agresif
Kekuatan internal

Kelemahan internal
4. mendukung strategi
defensif

2. mendukung strategi
diversifikasi
Berbagai ancaman

Gambar 3. Diagram SWOT (Rangkuti, 2000)
Gambar 3 menjelaskan bahwa pada kuadran 1 merupakan situasi
yang sangat menguntungkan. Usaha persuteraan alam memiliki peluang
dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Kuadran 2
menyatakan bahwa meskipun menghadapi berbagai ancaman, usaha
persuteraan alam ini masih memiliki kekuatan dari segi internal. Kuadran
3 menyatakan bahwa usaha persuteraan alam menghadapi peluang pasar
yang sangat besar, tapi di lain pihak ia menghadapi beberapa kendala

16
internal. Sedangkan kuadran 4 merupakan situasi yang sangat tidak
menguntungkan, usaha tersebut menghadapi berbagai ancaman dan
kelemahan internal.
Peluang dan ancaman eksternal lebih sistematis bila dibandingkan
dengan kekuatan dan kelemahan dalam pendekatan yang terstruktur. Hal
ini memunculkan empat pola strategi sebagai hasil perpaduan situasi
internal dan eksternal perusahaan. Pendekatan ini dapat ditampilkan dalam
sebuah matriks SWOT yang disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Matriks SWOT
IFAS

Strengths (S)

Weaknesses (W)

Strategi SO
Ciptakan strategi yang
menggunakan kekuatan
untuk memanfaatkan
peluang
Strategi ST
Ciptakan strategi yang
menggunakan kekuatan
untuk mengatasi ancaman

Strategi WO
Ciptakan strategi
yang meminimalkan
kelemahan untuk
memanfaatkan peluang
Strategi WT
Ciptakan strategi yang
meminimalkan kelemahan
dan menghindari ancaman

EFAS
Opportunities
(O)

Threats
(T)

Sumber : Rangkuti, 2000

Strategi SO dibuat dengan berdasarkan jalan pikiran perusahaan
untuk merebut dan memanfaatkan peluang dengan sebesar-besarnya.
Strategi ST adalah strategi dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki
perusahaan

untuk

mengatasi

ancaman.

Strategi

WO

diterapkan

berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan
kelemahan yang ada. Sedangkan strategi WT didasarkan pada kegiatan
yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada
serta menghindari ancaman (Rangkuti, 2000).

2. Model Interpretasi Struktural
Analisis

struktural

menggunakan

teknik

ISM

(Interpretative

Structural Modelling). Metodologi dan teknik ISM dibagi menjadi dua
bagian yaitu penyusunan hierarki dan klasifikasi sub-elemen. Prinsip

17
dasarnya adalah identifikasi dari struktur di dalam suatu sistem akan
memberikan nilai manfaat yang tinggi guna meramu sistem secara efektif
dan untuk pengembilan keputusan yang lebih baik.

a. Penyusunan Hierarki
Penyusunan hierarki adalah menentukan tingkat jenjang struktur
dari suatu sistem untuk lebih menjelaskan pemahaman hal yang sedang
dikaji. Struktur menggambarkan pengaturan dari elemen-elemen dan
hubungan antar elemen dalam membentuk suatu sistem.
Program yang sedang ditelaah perjenjangan strukturnya dibagi
menjadi elemen-elemen dimana setiap elemen selanjutnya diuraikan
menjadi sejumlah sub-elemen. Menurut Saxena, 1992 dalam Eriyatno,
1999 program dapat dibagi menjadi 9 elemen, namun pada penelitian ini
hanya menggunakan 6 elemen yakni 1) Sektor masyarakat yang
terpengaruhi; 2) Tujuan program; 3) Kebutuhan program; 4) Kendala
utama; 5) Lembaga yang terkait dengan program; dan 6) Perubahan yang
dimungkinkan.
Hubungan kontekstual pada teknik ISM dinyatakan dalam
terminologi sub-ordinat yang menuju perbandingan berpasangan antar
sub-elemen. Keterkaitan antar sub-elemen dapat dilihat pada Tabel 4.
Berdasarkan pertimbangan hubungan kontekstual maka disusunlah
Structural

Self-Interaction

Matrix

(SSIM).

Penyusunan

SSIM

menggunakan simbol V, A, X dan O dimana V adalah eij = 1 dan eji = 0,
A adalah eij = 0 dan eji = 1, X adalah eij = 1 dan eji = 1 dan O adalah eij = 0
dan eji = 0. Dengan pengertian simbol 1 adalah terdapat atau ada
hubungan kontekstual, sedangkan simbol 0 adalah tidak tertapad
hubungan kontekstual antara elemen i dan j dan sebaliknya.
Setelah SSIM dibentuk, kemudian dibuat tabel Reachibility Matrix
dengan mengganti V, A, X, O menjadi bilangan 1 dan 0. Dan setelah
melalui proses modifikasi berdasarkan aturan transitivity maka dihasilkan
suatu SSIM akhir dan Reachibility Matrix akhir.

18
Hasil akhir Reachibility Matrix dapat menunjukkan hubungan antar
sub elemen yang diaplikasikan dalam bentuk grafis pada diagram model
struktural tiap elemen program.
Tabel 4. Keterkaitan Antar Sub-elemen pada Teknik ISM
No.
1.
2.

Jenis
Perbandingan
(comparative)
Pernyataan
(definitive)

3.

Pengaruh
(infleunce)

4.

Keruangan
(spatial)

5.

Kewaktuan
(temporal /
time scale)

Interpretasi
















A lebih penting/besar/indah
daripada B
A adalah atribut B
A termasuk dalam B
A mengartikan B
A menyebabkan B
A adalah sebagian penyebab B
A mengembangkan B
A menggerakkan B
A meningkatkan B
A adalah selatan/utara B
A di atas B
A sebelah kiri B
A mendahului B
A mengikuti B
A mempunyai prioritas lebih dari B

Sumber : Eriyatno, 1999

b. Klasifikasi Sub-elemen
Pada penentuan model interptretasi struktural dengan teknik ISM,
beragam sub-elemen dalam suatu elemen yang telah disusun dengan
Structural Self–Interaction Matrix (SSIM) dan Reachability Matrix
kemudian disusun dalam Driver–Power–Dependence Matrix, yaitu
mengklasifikasikan sub-elemen ke dalam 4 sektor yakni :
Sektor 1: Weak driver-weak dependent variables. (AUTONOMOUS).
Peubah di sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem,
dan

mungkin

mempunyai

hubungan

kecil,

meskipun

hubungan itu bisa saja kuat.
Sektor 2: Weak driver-strongly dependent variables. (DEPENDENT).
Umumnya peubah di sini adalah peubah tidak bebas.

19
Sektor 3: Strong driver-strongly dependent variables. (LINKAGES).
Peubah pada sektor ini harus dikaji secara hati-hati sebab
hubungan antar peubah adalah tidak stabil. Setiap tindakan
pada peubah itu akan memberikan dampak terhadap lainnya
dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak.
Sektor 4 : Strong drive-weak dependent variables. (INDEPENDENT).
Peubah pada sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan
disebut peubah bebas.
Dalam keseluruhan proses teknik ISM maka berbagai urutan kerja
dari tahap penyusunan hierarki sampai hasil analisis dapat dilihat pada
Gambar 4.

20
PROGRAM

Uraikan program menjadi perencanaan

Uraikan setiap elemen menjadi sub-elemen

Tentukan hubungan kontekstual antara sub-elemen pada setiap elemen

Susunlah SSIM untuk setiap elemen

Bentuk Reachibility matrix setiap elemen

Uji matriks dengan aturan transtivity

OK ?

Tentukan level melalui
pemilihan

Ubah RM menjadi
format Lower
Triangular RM

Modifikasi SSIM

Tetapkan Driver dan Driver
power setiap sub elemen

Tentukan rank dan hierarki
dari sub elemen
Susun diagram dari
Lower Triangular
RM

Tetapkan driver
dependence matrix setiap
elemen

Plot sub elemen pada
empat sektor
Susunlah ISM dari setiap
elemen

Klasifikasi sub elemen
pada empat peubah
kategori

Gambar 4. Diagram Teknik ISM (Eriyatno, 1999)

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Kondisi Fisik
Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Pangalengan merupakan
salah satu bagian dari unit kerja Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH)
Bandung Selatan di bawah pengelolaan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat
dan Banten.
Wilayah BKPH Pangalengan secara administratif berada pada
Kecamatan Kertasari dan Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung,
Propinsi Jawa Barat. Kecamatan Pangalengan terdiri dari 11 desa hutan dan
Kecamatan Kertasari terdiri dari 5 desa hutan. Penelitian ini dilaksanakan
pada Kecamatan Pengalengan yang merupakan bagian dari BKPH
Pangalengan.
Batas wilayah kerja BKPH Pangalengan yaitu :
Sebelah Utara

: Perkebunan teh Kertamanah, wilayah hutan BKPH
Banjaran dan BKPH Ciparay KPH Bandung Selatan.

Sebelah Timur

: Batas hutan KPH Garut.

Sebelah Selatan

: Perkebunan teh Pasir Malang dan wilayah hutan
BKPH Cileuleuy KPH Garut.

Sebelah Barat

: Wilayah hutan BKPH Ciwidey KPH Bandung Selatan.

Luas kawasan hutan BKPH Pangalengan adalah 8.736,81 ha yang
seluruhnya berstatus Hutan Lindung. Pembagian luas hutan BKPH
Pangalengan dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini.
Tabel 5. Luas Kawasan Hutan BKPH Pangalengan
No.

Resort Pemangkuan Hutan (RPH)

(1)

(2)

Luas Hutan (ha)
(3)

1.

Papandayan

1.077,00

2.

Wayang Windu

2.749,38

3.

Pangalengan

1.935,77

4.

Kancana

2.974,66
Jumlah

Sumber : BKPH Pangalengan, 2005

8.736,81

22
Kawasan hutan BKPH Pangalengan merupakan daerah pegunungan
dengan ketinggian diatas 1.400 m dpl-1.700 m dpl, beriklim dingin dengan
suhu udara rata-rata 20oC, kelembaban udara sekitar 75%-90%, curah hujan
1.250 mm/tahun serta mempunyai kesuburan tanah pegunungan yang
memadai untuk pertanian dan perkebunan. Kawasan BKPH Pangalengan
sebagian besar berbentuk lapangan bergelombang. Pada kawasan ini juga
terdapat hulu sungai DAS Citarum yang sangat potensial, sungai tersebut
mengalir sampai ke Pantai Utara Jawa Barat, sehingga perlu perhatian serius
untuk menjaga baik keamanannya maupun kelestariannya.
Sesuai dengan kondisi fisiknya, kawasan hutan BKPH Pangalengan
terbagi menjadi Blok Perlindungan seluas 5.699,17 ha dan Blok Pemanfaatan
seluas 3.035,50 ha.
Jenis tanaman kehutanan pada BKPH Pangalengan berupa rimba
campur yang terdiri dari rasamala, eucalyptus, pinus, dan lain-lain. Selain itu
kawasan hutan BKPH Pangalengan juga memiliki potensi lahan yang cukup
subur untuk ditanami oleh jenis tanaman tertentu diantara tanaman kehutanan.
Saat ini program yang sedang digalakkan oleh BKPH Pangalengan
yakni program PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) di bidang
agroforestry dengan mengembangkan beberapa komoditi yang ditanam di
antara tanaman kehutanan yakni rumput gajah, kopi, murbei, terong kori, dan
lain-lain. Program ini bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
mengurangi para perambah hutan selain itu juga lingkungan hutan akan
terjamin baik keamanan maupun kelestariannya.
Melalui sistem PHBM yang sedang digalakkan, dari 16 desa hutan di
BKPH Pangalengan, saat ini telah terbentuk 14 Lembaga Masyarakat Desa
Hutan (LMDH) yang terdiri dari 72 Kelompok Tani Hutan (KTH). Dari 14
LMDH, 11 LMDH diantaranya telah mempunyai Akta Notaris. Sedangkan
yang telah melakukan perjanjian kerjasama dengan Perum Perhutani sebanyak
10 LMDH.
Potensi lain di kawasan hutan BKPH Pangalengan berupa wana wisata
hulu sungai Citarum RPH Wayang Windu dan pemandian air panas Cibolang,
namun masih perlu dikembangkan terus guna meningkatkan minat

23
pengunjung. Potensi wisata lain yang belum dikembangkan berupa arung
jeram di Rahong RPH Pangalengan, dan Kawah Gunung Wayang.

B. Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk
Berdasarkan data monografi, penduduk Kecamatan Pangalengan
berjumlah 124.498 jiwa dengan 35.576 kepala keluarga. Berdasarkan jenis
kelamin penduduk Kecamatan Pangalengan terdiri dari 62.363 jiwa laki-laki
dan 62.135 jiwa perempuan (Pemerintah Kabupaten Bandung, 2005).
Sebagian besar mata pencaharian penduduk Kecamatan Pangalengan
adalah petani dengan jumlah 52.270 orang, pengusaha sedang/besar sebanyak
993 orang, perajin 2.675 orang, pedagang 3.466 orang, buruh perkebunan
sebanyak 10.230 orang, transportasi 1.687 orang, pegawai negeri sipil 3.627
orang, ABRI 190 orang, dan pensiunan (ABRI/PNS) 2.271 orang. Jumlah
pencari kerja pria sebanyak 1.953 orang dan wanita berjumlah 1.302 orang.
Mayoritas penduduk Kecamatan Pangalengan mengandalkan sektor pertanian
sebagai mata pencaharian utama (Pemerintah Kabupaten Bandung, 2005).
Jumlah penduduk Kecamatan Pangalengan yang belum sekolah sebesar
22.326 orang, tidak tamat sekolah (SD) sebanyak 526 orang, tamat SD
sebanyak 53.816 orang, tamat SMP 24.321 orang, tamat SMU 6.076 orang,
tamat akademi 2.344 orang, tamat perguruan tinggi 694 orang, dan penduduk
yang buta huruf sebanyak 1.119 orang (Pemerintah Kabupaten Bandung,
2005).
Jumlah penduduk dan pendidikan masyarakat sangat berpengaruh
terhadap keadaan ekonomi, dimana sebagian besar masyarakat bermata
pencaharian sebagai petani hortikultura. Hal tersebut karena keadaan topografi
dan iklim yang cocok di Kecamatan Pangalengan sangat menunjang
perekonomian di bidang pertanian.

24

V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Identifikasi dan Evaluasi Faktor Internal dan Faktor Eksternal
Identifikasi dan evaluasi faktor internal dan eksternal pada usaha
persuteraan alam ini dilakukan dengan menggu