Kajian Kemitraan Pembangunan Hutan Tanaman antara Perum Perhutani, PT Korea Indonesia Forestry Cooperative dan Masyarakat Desa Hutan (Studi Kasus di RPH Kutapohaci, BKPH Teluk Jambe, KPH Purwakarta Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten)

(1)

KAJIAN KEMITRAAN

PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN ANTARA PERUM

PERHUTANI, PT KOREA INDONESIA FORESTRY

COOPERATIVE DAN MASYARAKAT DESA HUTAN

(Studi Kasus di RPH Kutapohaci, BKPH Teluk Jambe, KPH Purwakarta, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten)

DENIAMANTARI

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

RINGKASAN

DENIAMANTARI (E14070056). Kajian Kemitraan Pembangunan Hutan Tanaman antara Perum Perhutani, PT Korea Indonesia Forestry Cooperative dan Masyarakat Desa Hutan (Studi Kasus di RPH Kutapohaci, BKPH Teluk Jambe, KPH Purwakarta Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten). Dibimbing oleh LETI SUNDAWATI.

Tahun 2004 kawasan hutan Teluk Jambe resmi diserahkan kembali kepada Perum Perhutani setelah sebelumnya tidak dikelola sehingga menyebabkan banyaknya masyarakat yang masuk kawasan, menggarap lahan maupun bermukim di dalam kawasan hutan. Perum Perhutani berkewajiban untuk menghijaukan dan menghutankan kembali kawasan hutan di wilayah kerjanya tersebut. Upaya penghijauan dilakukan dengan membangun hutan tanaman. Perum Perhutani bekerjasama dengan PT Korea Indonesia Forestry Cooperative (PT KIFC) dalam pembangunan, pengembangan dan pengelolaan hutan tanaman jenis cepat tumbuh, yaitu jenis Mindi (Melia Azedarach) dan Sengon (Paraserianthes falcataria) dengan daur 8 tahun. Dalam kerjasama tersebut Perum Perhutani dan PT KIFC melibatkan masyarakat sekitar hutan yang tergabung dalam kelompok LMDH.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola kerjasama/kemitraan antara Perum Perhutani, PT KIFC dan Masyarakat sekitar hutan serta menganalisis tingkat hubungan kemitraannya. Selain itu penelitian ini juga mengkaji kontribusi pembangunan hutan tanaman, kontibusi sektor kehutanan dan non kehutanan terhadap pendapatan rumah tangga petani melalui perhitungan atas neraca pendapatan dan pengeluaran keluarga petani.

Data penelitian dikumpulkan melalui teknik observasi dan wawancara atas contoh responden petani yang dipilih dengan menggunakan metode purposive sampling. Disamping itu, dikumpulkan pula informasi tambahan melalui studi pustaka atas sumber-sumber data sekunder dari Perum Perhutani dan instansi pemerintah yang terkait. Responden petani yang diwawancarai dalam penelitian ini berjumlah 60 orang yang berasal dari Desa Mulyasejati dan Desa Kutanegara, Kecamatan Ciampel, Kabupaten Karawang.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui Pola kemitraan pembangunan, pengembangan dan pengelolaan hutan tanaman antara Perum Perhutani, PT KIFC dan Masyarakat Desa Hutan di Desa Mulyasejati dan Desa Kutanegara, RPH Kutapohaci, BKPH Teluk Jambe, KPH Purwakarta adalah pola Kerjasama Operasional (KSO). Dimana Perum Perhutani berperan dalam penyediaan lahan, SDM, biaya yang bersifat insidentil, membayar pajak dan memasarkan hasil. PT KIFC berperan sebagai penyedia modal (investor), sedangkan petani berperan sebagai buruh dalam kegiatan penanaman dan pemeliharaan tanaman. Proporsi bagi hasil produksi disepakati 65% untuk PT KIFC, 26,25% untuk Perum Perhutani dan 8,75% untuk LMDH. Jika terjadi resiko usaha yang menimbulkan kerugian di kemudian hari maka akan ditanggung oleh Perum Perhutani dan PT KIFC. Hubungan kemitraan antara Perum Perhutani, PT KIFC, MDH Desa Mulyasejati melalui LMDH Mulyajaya dan MDH Desa Kutanegara melalui LMDH Bukit Alam termasuk ke dalam kategori Kemitraan Prima Madya. Kontribusi tanaman kerjasama selama satu tahun terakhir bagi responden yang memiliki lahan < 1 Ha hanya 7,55% dari total pendapatan, sedangkan bagi responden dengan luas lahan 1 – 3 Ha dan > 3 Ha tanaman kerjasama memberikan kontribusi masing-masing sebesar 18,22% dan 50,82% dari total pendapatan. Pendapatan responden dari kegiatan tumpang sari maupun dari non kehutanan lebih besar dibandingkan pendapatan dari tanaman kerjasama. Hal ini dikarenakan saat penelitian dilakukan tanaman Mindi dan Sengon yang dikerjasamakan masih berumur 2 tahun dari daur 8 tahun. Sehingga pendapatan yang diperoleh baru berasal dari upah kegiatan penanaman dan pemeliharaan.


(3)

SUMMARY

DENIAMANTARI (E14070056). Partnership Study on the Establishment of Forest Plantation between Perum Perhutani, PT Korea Indonesia Forestry Cooperative and Forest Village Community (Case Study in RPH Kutapohaci, BKPH Teluk Jambe, KPH Purwakarta, West Java and Banten Forest Areas of Perum Perhutani ). Under Supervision of LETI SUNDAWATI.

Since 2004, forest areas of Teluk Jambe legitimately turn back to Perum Perhutani after unmanaged for along time, which caused encroachment by the community surrounding the forest areas. Perum Perhutani have the duty to do regreenation and reforestation forest in their work areas. The efforts of reforestation have done with established the forest plantation. Perum Perhutani conduct a partnership with PT KIFC on the establishment, development and management of Mindi (Melia azedarach) and Sengon (Paraserianthes falcataria) forest plantation which have 8 year cutting rotation. Forest village community were participated in this partnership through LMDH (Forest Village Community Organization).

This study is objected to understand the system of partnership between Perum Perhutani, PT KIFC and Forest Village Community and analyzed the parnership level. Besides that, this study also studied the economic contribution of establishment of forest plantation, contribution of forestry and non forestry in the farmer’s household income through calculating the balance between household income and expenditures.

Data of this study were collected through observation and interviews to some

selected farmer’s and informant based on purposive sampling method. Information was also collected through literature review of some secondary data obtained from Perum

Perhutani and local goverment offices. A total of 60 farmer’s respondent of Kutanegara and Mulyasejati Village, Ciampel Sub district, The District of Karawang were interviewed in this study.

The result of study shows that partnership system on the establishment, development and management of forest plantation between Perum Perhutani, PT KIFC and Forest Village Community in Kutanegara and Mulyasejati Village in RPH Kutapohaci, BKPH Teluk Jambe is Operational Cooperation as known as KSO. In this cooperation Perum Perhutani preparing the land, human research, incidental cost, pay the tax and distribution product. PT KIFC is play as investor, whereas farmer’s is play as labor in planting and plant cultivation activity. Production sharing agreed shall be calculated as 65% for PT KIFC, 26,25% for Perum Perhutani and 8,75% for LMDH. If in the future occur the risk of partnership, then the disadvantages will guaranteed by Perum Perhutani and PT KIFC. Partnership between Perum Perhutani, PT KIFC, MDH Mulyasejati through LMDH Mulyajaya and MDH Kutanegara through LMDH Bukit Alam is considered as Prima Madya partnership category. Contribution of cooperation plant during one last year for respondent which have land cultivation about < 1 Ha only 7,55% for theirs total income. Whereas for respondent which have land cultivation about 1- 3 Ha and > 3 Ha cooperation plant give contribution as big as 18,22% and 50,82% for theirs total income. Income of respondent from tumpang sari or non forestry more high than from cooperation plant. This condition was caused when the studying going on, Mindi and Sengon as cooperation plant are still 2 years olds, so the income received from the wage as labor on planting and cultivating activities.


(4)

KAJIAN KEMITRAAN

PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN ANTARA PERUM

PERHUTANI, PT KOREA INDONESIA FORESTRY

COOPERATIVE DAN MASYARAKAT DESA HUTAN

(Studi Kasus di RPH Kutapohaci, BKPH Teluk Jambe, KPH Purwakarta, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten)

DENIAMANTARI

E14070056

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(5)

Judul Skripsi : Kajian Kemitraan Pembangunan Hutan Tanaman antara Perum Perhutani, PT Korea Indonesia Forestry Cooperative dan Masyarakat Desa Hutan (Studi Kasus di RPH Kutapohaci, BKPH Teluk Jambe, KPH Purwakarta Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten)

Nama : Deniamantari NRP : E14070056

Menyetujui: Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc NIP. 19640830 199003 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Manajemen Hutan

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP. 19630401 199403 1 001


(6)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Kajian Kemitraan Pembangunan Hutan Tanaman antara Perum Perhutani, PT Korea Indonesia Forestry Cooperative dan Masyarakat Desa Hutan (Studi Kasus di RPH Kutapohaci, BKPH Teluk Jambe, KPH Purwakarta Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2011

Deniamantari


(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamiin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kajian Kemitraan Pembangunan Hutan Tanaman antara Perum Perhutani, PT Korea Indonesia Forestry Cooperative dan Masyarakat Desa Hutan (Studi Kasus di RPH Kutapohaci, BKPH Teluk Jambe, KPH Purwakarta Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten).

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Kedua orang tua tercinta (Poniman dan Netty Sumarni, S.Pd), adik (Dewi Novriani), serta seluruh keluarga atas perhatian, kasih sayang, dukungan dan doa yang diberikan kepada penulis.

2. Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc, selaku dosen pembimbing skripsi atas saran, kritik, bimbingan dan arahan yang diberikan dalam penyelesaian skripsi ini. 3. Ir. Jajang Suryana, M.Sc selaku dosen penguji perwakilan Departemen Hasil

Hutan (DHH).

4. Handian Purwawangsa, S.Hut, M.Si, selaku dosen pembimbing akademik serta Soni Trison S.Hut, M.Si, selaku moderator seminar dan ketua sidang. 5. Segenap staf dan karyawan KPH Purwakarta, khususnya Bapak Nana

Rukmana S.Hut selaku Asper BKPH Teluk Jambe, Bapak Entje Suryana selaku KRPH Kutapohaci dan bapak-bapak mandor atas bantuan, dukungan dan kerjasamanya.

6. Keluarga besar Fahutan IPB khususnya Keluarga Manajemen Hutan angkatan 44 atas dukungan, keceriaan dan kekeluargaannya.

7. Sahabat penulis, Isti, Liyas, Umu, Dhian, Icha, Bule, Dimpy, Eka dan Anggi, atas dukungan, motivasi dan bantuan yang diberikan kepada penulis.

8. Rekan seperjuangan, Ribkha Sinaga dan Devita Ayu Dewi atas kebersamaan dan bantuannya.

9. Andrie Ridzki Prasetyo, atas doa dan semangat yang diberikan selama penulis menyelesaikan skripsi ini.


(8)

10. Teman-teman di Wisma Gajah atas segala motivasi dan kebersamaan yang diberikan kepada penulis.

11. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, September 2011


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lampung Barat pada tanggal 22 Desember 1989, sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Poniman dan Ibu Netty Sumarni S.Pd. Penulis mengawali pendidikan formal pada tahun 1994 di TK Citra Dharma, Lampung Barat. Tahun 1995 melanjutkan pendidikan di SDN 02 Fajar Bulan, Lampung Barat dan lulus tahun 2001, kemudian pada tahun 2001 memulai jenjang pendidikan di tingkat SMP di SMPN 01 Way Tenong, Lampung Barat dan lulus tahun 2004. Tahun 2007 penulis lulus dari SMAN 12 Bandung dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB pada Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan.

Selama menjalani pendidikan akademik di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif menjadi pengurus staf Divisi Rumah Tangga DKM Ibaadurrahman tahun 2008-2009, staf Divisi Keprofesian Forest Management Student Club (FMSC) periode 2009-2010, panitia Temu Manajer Departemen Manajemen Hutan tahun 2009 dan panitia E-Green tahun 2009. Penulis juga pernah mengikuti magang mandiri di LSM Rimbawan Muda Indonesia (RMI), Sempur, Bogor tahun 2009 dan di BP3K Wilayah Cigudeg, Kabupaten Bogor tahun 2010. Selain itu penulis pernah mengikuti kegiatan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Cikiong-Burangrang tahun 2009, Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat tahun 2010 dan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT Inhutani I UMH Kunyit, Kalimantan Timur selama periode Februari-April 2011.

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Pragram Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dan penyususnan skripsi yang berjudul “Kajian Kemitraan Pembangunan Hutan Tanaman antara Perum Perhutani, PT Korea Indonesia Forestry Cooperative dan Masyarakat Desa Hutan (Studi Kasus di RPH Kutapohaci, BKPH Teluk Jambe, KPH Purwakarta Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten)” di bawah bimbingan Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR TABEL... vi

DAFTAR GAMBAR ...vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan ... 4

1.4 Manfaat ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) ... 5

2.2 Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) ... 6

2.3 Para Pihak yang Berkepentingan dalam PHBM ... 7

2.4 Kemitraan ... 8

2.5 Pola-pola Kemitraan ... 9

2.6 Azas dan Kemitraan ... 10

2.7 Kendala-kendala Kemitraan ... 11

2.8 Pendapatan Rumah Tangga ... 11

BAB III METODE PENELITIAN ... 14

3.1 Kerangka Pemikiran ... 14

3.2 Lokasi dan Waktu ... 15

3.3 Sasaran dan Alat... 15

3.4 Metode Pengambilan Contoh ... 16

3.5 Sumber Data ... 16

3.6 Jenis Data ... 17

3.7 Metode Pengumpulan Data ... 17

3.8 Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 18

3.8.1 Analisis Deskriptif ... 18

3.8.2 Analisis Tingkat Hubungan Kemitraan ... 18

3.8.3 Analisis Kontribusi Pembangunan Hutan Tanaman Terhadap Pendapatan Rumah Tangga ... 20

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 22

4.1 Kondisi Umum Desa Mulyasejati ... 22


(11)

4.3 Pengelolaan Hutan di RPH Kutapohaci Sebelum Kerjasama

dengan PT KIFC ... 24

4.4 Kronologis Kerjasama Tanaman antara Perum Perhutani, PT KIFC dan Masyarakat Desa Hutan ... 27

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

5.1 Karakteristik Masyarakat di Dalam dan Sekitar Hutan ... 30

5.1.1 Umur ... 30

5.1.2 Tingkat Pendidikan ... 31

5.1.3 Jumlah Anggota Keluarga ... 31

5.1.4 Luas Lahan Garapan ... 32

5.1.5 Pekerjaan Utama dan Sampingan ... 33

5.2 Pelaksanaan Kerjasama Tanaman ... 34

5.2.1 Perencanaan ... 34

5.2.2 Persiapan Sosial ... 36

5.2.3 Persemaian ... 37

5.2.4 Penanaman ... 38

5.2.5 Pemeliharaan ... 41

5.2.6 Kendala ... 42

5.3 Pola Kemitraan Kerjasama Pembangunan Hutan Tanaman ... 43

5.4 Analisis Kemitraan ... 49

5.4.1 Analisis Tingkat Hubungan Kemitraan ... 49

5.4.2 Proses Manajemen Kemitraan ... 51

5.5 Pendapatan Responden dan Kontribusi Tanaman Kerjasama bagi Pendapatan Rumah Tangga ... 60

5.6 Pengeluaran Responden ... 63

5.7 Estimasi Pendapatan Responden dari Tanaman Kerjasama ... 66

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 70

6.1 Kesimpulan ... 70

6.2 Saran... 71

DAFTAR PUSTAKA ... 72


(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Rincian faktor yang dinilai dan nilai maksimum tingkat hubungan

kemitraan PHBM ... 19

2 Jumlah penduduk Desa Mulyasejati menurut mata pencaharian ... 22

3 Jumlah penduduk Desa Kutanegara menurut mata pencaharian... 24

4 Realisasi dan rencana kerjasama tanaman antara Perum Perhutani dan PT KIFC sampai dengan tahun 2011 ... 29

5 Karakteristik responden menurut umur ... 30

6 Karakteristik responden menurut tingkat pendidikan ... 31

7 Karakteristik responden menurut jumlah anggota keluarga... 32

8 Karakteristik responden menurut luas lahan garapan ... 32

9 Karakteristik responden menurut jenis pekerjaan utama ... 33

10 Karakteristik responden menurut jenis pekerjaan sampingan ... 34

11 Nomor petak, luas petak serta jenis tanaman yang dikerjasamakan Perum Perhutani dan PT KIFC di RPH Kutapohaci, BKPH Teluk Jambe, KPH Purwakarta... 35

12 Rencana dan realisasi pembuatan persemaian kerjasama tanaman tahun 2009 ... 38

13 Nilai tingkat hubungan kemitraan berdasarkan pendapat Perum Perhutani, PT KIFC dan LMDH (Mulyajaya dan Bukit Alam) ... 50

14 Tingkat hubungan kemitraan beberapa penelitian sebelumnya ... 59

15 Pendapatan rata-rata responden tahun 2010 ... 61


(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Kerangka pemikiran ... 15 2 Kondisi tegakan tanaman kerjasama di Desa Kutanegara ... 40 3 Kondisi tegakan tanaman kerjasama di Desa Mulyasejati ... 41 4 Skema sharing (bagi hasil) dalam kerjasama pembangunan, pengembangan dan pengelolaan hutan tanaman antara Perum Perhutani, PT KIFC dan

masyarakat desa hutan... 44 5 Kondisi jalan menuju petak kerjasama di Desa Kutanegara (a & b) dan


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Lay out lokasi kerjasama ... 76

2 Data pemukim dalam petak kerjasama tanamandengan PT KIFC di RPH Kutapohaci ... 77

3 Data umum responden... 78

4 Tingkat hubungan kemitraan... 82

5 Data penghasilan responden tahun 2010 ... 85

6 Data pengeluaran responden tahun 2010 ... 90

7 Perhitungan estimasi pendapatan dari tanaman kerjasama pada panen di akhir daur ... 95


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sesuai dengan Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian hutan sebagai sumber daya alam yang dikuasai oleh negara harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat agar manfaatnya dapat dirasakan tidak saja oleh generasi saat ini tetapi juga oleh generasi mendatang.

Peningkatan jumlah penduduk yang pesat di Pulau Jawa menyebabkan permintaan lahan juga meningkat, hal ini menyebabkan luas kepemilikan lahan masyarakat semakin menurun sehingga mengakibatkan permasalahan dalam pengelolaan hutan, seperti pencurian, perambahan, penebangan liar bahkan penyerobotan lahan. Selain permasalahan tersebut, terjadi pula perubahan lingkungan eksternal baik ekonomi, sosial maupun politik. Perum Perhutani sebagai Badan Usaha Milik Negara yang diberi mandat untuk mengelola hutan negara dituntut untuk memberikan perhatian yang besar kepada masalah sosial ekonomi masyarakat, terutama masyarakat pedesaan yang sebagian besar tinggal di sekitar hutan. Interaksi antara masyarakat dengan hutan tidak mungkin dapat dipisahkan. Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukan dalam pengelolaan hutan harus memperhatikan keberlanjutan ekosistem hutan dan peduli dengan masyarakat miskin di sekitar hutan.

Konsep Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) muncul untuk menjawab berbagai permasalahan pengelolaan hutan tersebut. Dalam Keputusan Direksi Perum Perhutani No: 268/KPTS/DIR/2007 tentang Pedoman Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat Plus (PHBM Plus) disebutkan bahwa PHBM adalah sistem pengelolaan sumberdaya hutan dengan pola kolaborasi yang bersinergi antara Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan atau para pihak yang berkepentingan dalam upaya mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan yang optimal dan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang bersifat fleksibel, partisipatif dan akomodatif. PHBM bertujuan untuk


(16)

meningkatkan peran dan tanggung jawab Perum Perhutani, masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan terhadap keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan melalui pengelolaan sumberdaya hutan dengan model kemitraan. Melalui program ini diharapkan para mitra dapat memberikan masukan yang berharga pada kebijakan kehutanan khususnya pada upaya rehabilitasi lahan dan hutan dan pemberantasan penebangan liar.

Para pihak yang terlibat dalam program PHBM adalah pihak di luar Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan yang mempunyai perhatian dan berperan mendorong proses optimalisasi serta berkembangnya PHBM, yaitu: Pemerintah Daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Lembaga Ekonomi Masyarakat, Lembaga Sosial Masyarakat, Usaha Swasta, Lembaga Pendidikan dan Lembaga Donor.

Beberapa tahun terakhir tepatnya saat era reformasi, di areal kerja BKPH Teluk Jambe, KPH Purwakarta telah terjadi perambahan hutan oleh masyarakat untuk dijadikan lahan garapan. Tidak hanya sampai disitu, di beberapa bagian areal hutan itu juga terdapat bangunan gubuk, semi permanen bahkan permanen yang digunakan untuk tempat tinggal, tempat ibadah, sekolah, dan lain-lain yang tidak dilengkapi dengan izin mendirikan bangunan (IMB). Kompleksnya permasalahan tenurial di BKPH Teluk Jambe mengakibatkan kegiatan penanaman dan pengelolaan hutan terhambat, sehingga banyak lahan menjadi kosong. Lahan kosong tersebutlah yang digarap oleh masyarakat dan ditanami berbagai jenis komoditas perkebunan dan pertanian. Selain permasalahan tersebut masih terdapat pula persoalan lainnya yaitu dugaan adanya tumpang tindih kepemilikan kawasan hutan oleh pihak perorangan/perusahaan.

Perum Perhutani berkewajiban untuk melakukan penghijauan kembali di areal kerjanya. Oleh karena itu Perum Perhutani bekerja sama dengan PT Korea Indonesia Forestry Cooperative (PT KIFC) dalam pembangunan, pengembangan dan pengelolaan hutan tanaman jenis cepat tumbuh (fast growing species) di dalam kawasan hutan di wilayah kerja Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Lokasi yang ditunjuk untuk kerjasama pembangunan, pengembangan dan pengelolaan hutan tanaman pertama kali adalah BKPH Teluk Jambe, tepatnya di RPH Kutapohaci.


(17)

PT KIFC adalah anak perusahaan dari National Forestry Cooperatives Federation (NFCF) Korea Selatan yang bergerak di bidang Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI). Perum Perhutani dan NFCF sepakat untuk melaksanakan kerjasama pembuatan hutan tanaman seluas ± 10.000 ha untuk 1 (satu) kali daur tanaman yakni 8 (delapan) tahun. Dalam hal ini PT KIFC berperan sebagai pihak yang membiayai (investor) kegiatan pembangunan hutan tanaman.

Dalam kerjasama tersebut Perum Perhutani dan PT KIFC melibatkan masyarakat sekitar hutan yang tergabung dalam kelompok LMDH. Keterlibatan Masyarakat Desa Hutan dalam pengelolaan hutan tanaman tersebut adalah sebagai upaya untuk meminimalisir tindak pidana hutan, mencegah gangguan keamanan hutan baik dari pencurian, pengembalaan liar, pengrusakan hutan maupun perambahan. Selain manfaat langsung berupa kesempatan kerja dan kesempatan berusaha di dalam hutan, masyarakat juga memperoleh manfaat dari kegiatan berbagi hasil produksi hutan berupa hasil kayu.

Pembangunan, pengembangan dan pengelolaan hutan tanaman ini merupakan bentuk PHBM yang pertama kali dilakukan di dalam kawasan hutan di BKPH Teluk Jambe yang melibatkan perusahaan asing sebagai investor. Seperti telah diketahui bahwa di BKPH Teluk Jambe kental akan permasalahan tenurial. Oleh karena itu perlu diketahui bagaimana pola kemitraan yang dijalankan, tingkat hubungan kemitraannya, berapa besar kontribusinya terhadap pendapatan rumah tangga petani serta bagaimana upaya pengembangan kemitraan ini dimasa mendatang.

1.2 Rumusan Masalah

Kemitraan dilakukan antara dua pihak atau lebih dengan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Kemitraan juga haruslah didasari oleh kesejajaran kedudukan dan posisi tawar yang sama berdasarkan peran masing-masing pihak yang terlibat dengan tujuan meningkatkan perolehan nilai tambah bagi para pelakunya, khususnya bagi usaha kecil dan masyarakat, dalam hal ini adalah masyarakat petani sekitar hutan. Sehingga masalah yang dapat dirumuskan dari pelaksanaan kemitraan antara Perum Perhutani, PT KIFC dan masyarakat sekitar hutan dalam pembangunan


(18)

hutan tanaman di RPH Kutapohaci, BKPH Teluk Jambe, KPH Purwakarta Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pola kemitraan yang dibangun?

2. Bagaimana tingkat hubungan kemitraan yang telah dilaksanakan?

3. Seberapa besar kontribusi pembangunan hutan tanaman ini terhadap pendapatan rumah tangga petani?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui pola kemitraan yang dijalankan di lokasi penelitian.

2. Menganalisis tingkat hubungan kemitraan antara masyarakat dengan Perhutani dan KIFC melalui analisis tingkat hubungan kemitraan.

3. Mengkaji besarnya kontribusi kemitraan terhadap pendapatan rumah tangga petani.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu menjadi bahan masukan dan pertimbangan dalam pembuatan kebijakan serta pengambilan keputusan dalam kegiatan evaluasi untuk meningkatkan efisiensi mekanisme dan manfaat kemitraan antara Perum Perhutani, Masyarakat Desa Hutan (MDH) dan pihak-pihak yang berkepentingan.


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)

Keputusan Direksi Perum Perhutani No: 268/KPTS/DIR/2007 tentang Pedoman Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat Plus (PHBM Plus) menyebutkan bahwa Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) adalah sistem pengelolaan sumberdaya hutan dengan pola kolaborasi yang bersinergi antara Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan atau para pihak yang berkepentingan dalam upaya mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan yang optimal dan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang bersifat fleksibel, partisipatif dan akomodatif.

PHBM dimaksudkan untuk memberikan akses kepada masyarakat (kelompok masyarakat) di sekitar hutan dan para pihak terkait (stakeholders) sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing untuk mengelola hutan secara partisipatif tanpa mengubah atas kemitraan, keterpaduan, ketersediaan dan sistem sharing. Arah pengelolaan sumberdaya hutan dengan memadukan aspek-aspek ekonomi, ekologi dan sosial secara proporsional. Sedangkan tujuan PHBM yaitu: 1) meningkatkan kesejahteraan, kualitas hidup, kemampuan dan kapasitas ekonomi dan sosial masyarakat, 2) meningkatkan peran dan tanggung jawab Perum Perhutani, masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan sumberdaya hutan, 3) meningkatkan mutu sumberdaya hutan, produktivitas dan keamanan hutan, 4) mendorong dan menyelaraskan pengelolaan sumberdaya hutan sesuai dengan kegiatan pembangunan wilayah dan sesuai kondisi dinamika sosial masyarakat desa hutan, dan 5) menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesempatan berusaha dan meningkatkan pendapatan masyarakat dan negara.

Dalam sistem PHBM Perum Perhutani tidak bekerjasama dengan masyarakat secara perorangan. Masyarakat desa bekerjasama dengan Perum Perhutani dalam sebuah lembaga yang secara umum disebut sebagai Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), yang keanggotaannya bersifat umum, artinya semua lapisan masyarakat dapat menjadi anggota LMDH.


(20)

2.2.Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH)

Masyarakat (community) adalah sekumpulan orang yang mendiami suatu tempat tertentu, yang terikat dalam suatu norma, nilai dan kebiasaan yang disepakati bersama oleh kelompok yang bersangkutan. Berdasarkan pada tipologinya, masyarakat desa hutan adalah masyarakat yang mendiami wilayah yang berada di sekitar atau di dalam hutan dan mata pencaharian/pekerjaan masyarakatnya tergantung pada interaksi terhadap hutan.

Lembaga adalah wadah dimana sekumpulan orang berinisiatif untuk memenuhi kebutuhan bersama, dan yang berfungsi mengatur akan kebutuhan bersama tersebut dengan nilai dan aturan bersama. Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) adalah satu lembaga yang dibentuk oleh masyarakat desa yang berada di dalam atau di sekitar hutan untuk mengatur dan memenuhi kebutuhannya melalui interaksi terhadap hutan dalam konteks sosial, ekonomi, politik dan budaya. LMDH merupakan lembaga yang berbadan hukum, mempunyai fungsi sebagai wadah bagi masyarakat desa hutan untuk menjalin kerjasama dengan Perum Perhutani dalam PHBM dengan prinsip kemitraan. LMDH memiliki hak kelola di petak hutan pangkuan di wilayah desa dimana LMDH itu berada, bekerjasama dengan Perum Perhutani dan mendapat bagi hasil dari kerjasama tersebut. Dalam menjalankan kegiatan pengelolaan hutan, LMDH mempunyai aturan main yang dituangkan dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART).

Pihak yang terlibat dalam proses pengembangan lembaga masyarakat desa hutan ini adalah: seluruh pengurus dan anggota dari LMDH, pemerintah daerah (desa sampai kabupaten), pihak yang terkait sesuai dengan kebutuhan (dinas/instansi terkait), pihak yang memiliki kepedulian terhadap pengembangan lembaga (investor, perguruan tinggi, LSM), dan fasilitator yang dapat dipilih dari masyarakat sendiri atau pihak luar. Tujuan pengembangan LMDH adalah: 1) untuk meningkatkan kemampuan LMDH dalam pengelolaan lembaganya, 2) pengenalan pendekatan partisipatif dalam rangka pengembangan lembaga, 3) memberikan pandangan yang berbeda dan kritis dalam rangka pengembangan lembaga masyarakat, dan 4) memberikan panduan sederhana namun bermutu dalam rangka pengembangan lembaga masyarakat (Awang et al. 2008).


(21)

2.3.Para Pihak yang Berkepentingan dalam PHBM

Para pihak yang dimaksud dalam PHBM adalah pihak di luar Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan yang mempunyai perhatian dan berperan mendorong proses optimalisasi serta berkembangnya PHBM, yaitu: Pemerintah Daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Lembaga Ekonomi Masyarakat, Lembaga Sosial Masyarakat, Usaha Swasta, Lembaga Pendidikan dan Lembaga Donor (Keputusan Direksi Perum Perhutani No: 268/KPTS/DIR/2007 tentang Pedoman Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat Plus).

1. Pemeritah Daerah dilibatkan dalam sistem PHBM untuk mensinergikan program-program pembangunan wilayah dengan pelaksanaan PHBM. Pemerintah Daerah yang terlibat dalam PHBM meliputi: Pemerintah Desa, Kecamatan, Kabupaten dan Provinsi.

2. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), berperan dalam pemberdayaan masyarakat, sehingga masyarakat mampu mengatasi segala persoalan dalam dirinya. LSM diharapkan bisa melakukan transfer pengetahuan dan teknologi pada masyarakat untuk mempercepat terjadinya perubahan sosial untuk mewujudkan kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat.

3. Lembaga Ekonomi Masyarakat, berperan dalam mengembangkan usaha untuk peningkatan ekonomi masyarakat.

4. Lembaga Sosial Masyarakat, berperan dalam menumbuhkan kesadaran dan mendukung kehidupan sosial masyarakat sekitar hutan menjadi lebih berkualitas.

5. Usaha Swasta, berperan dalam menumbuhkan jiwa kewirausahaan, yang memiliki prinsip usaha untuk pemupukan modal. Keterlibatan pihak ini dalam PHBM akan mendukung kemajuan masyarakat dalam mengembangkan potensi alam dan potensi sumberdaya manusia untuk meningkatkan kehidupan ekonomi masyarakat sekitar hutan.

6. Lembaga Pendidikan, memiliki peran dalam usaha pengembangan sumberdaya manusia, melakukan kajian dan transfer ilmu, pengetahuan dan teknologi pada masyarakat desa hutan, sehingga memiliki pengetahuan yang cukup dalam keterlibatannya pada PHBM.


(22)

7. Lembaga Donor, berperan untuk memberikan dukungan dana kepada masyarakat desa hutan dalam usaha keterlibatannya di PHBM. Kerjasama dengan Lembaga Donor akan menjadikan masyarakat dan Perum Perhutani memiliki kesempatan untuk mengoptimalkan berbagai potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dimilikinya.

2.4.Kemitraan

Menurut Hafsah (2000), kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan.

Kemitraan seperti yang tercantum dalam UU No. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil adalah kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan (Badan Agribisnis Departemen Pertanian 1995). Definisi kemitraan tersebut di atas mengandung makna sebagai tanggung jawab moral pengusaha menengah/besar untuk membimbing dan membina pengusaha kecil mitranya agar mampu mengembangkan usahanya sehingga mampu menjadi mitra yang handal untuk meraih keuntungan dan kesejahteraan bersama.

Hermawati et al. (2002) menyatakan bahwa kemitraan merupakan bentuk kerjasama antara perusahaan dengan pihak lain yang mendukung berkembangnya perusahaan. Kemitraan menurut Notoatmodjo (2003) adalah suatu kerja sama formal antara individu-individu, kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi untuk mencapai suatu tugas atau tujuan tertentu. Sedangkan Brinkerhoff et al. (1990) dalam Sumardjo et al. (2004) menyatakan bahwa kemitraan adalah suatu sistem yang beberapa unsur penting di dalamnya, yaitu : Input, Output, teknologi yang dapat berupa metode dan proses dalam transformasi input menjadi output, lingkungan, keinginan, perilaku dan proses, budaya dan struktur.

Dalam kondisi yang ideal, tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan kemitraan secara lebih konkret adalah: a) meningkatkan pendapatan usaha kecil dan masyarakat, b) meningkatkan perolehan nilai tambah bagi pelaku kemitraan,


(23)

c) meningkatkan pemerataan dan pemberdayaan masyarakat dan usaha kecil, d) meningkatkan pertumbuhan ekonomi pedesaan, wilayah dan nasional, e) memperluas kesempatan kerja, dan f) meningkatkan ketahanan ekonomi nasional.

2.5.Pola-pola kemitraan

Beberapa jenis pola kemitraan yang telah banyak dilaksanakan diantaranya adalah sebagai berikut (Hafsah 2000) :

1. Pola Inti Plasma

Merupakan pola hubungan kemitraan antara kelompok mitra dengan perusahaan mitra, yang didalamnya perusahaan mitra bertindak sebagai inti dan kelompok mitra sebagai plasma.

2. Pola Subkontrak

Merupakan pola hubungan kemitraan antara perusahaan mitra usaha dengan kelompok mitra usaha yang memproduksi kebutuhan yang diperlukan oleh perusahaan sebagai bagian dari komponen produksinya. Ciri khas dari bentuk kemitraan subkontrak ini adalah membuat kontrak bersama yang mencantumkan volume, harga dan waktu.

3. Pola Dagang Umum

Merupakan pola hubungan kemitraan mitra usaha yang memasarkan hasil dengan kelompok usaha yang mensuplai kebutuhan yang diperlukan oleh perusahaan. Pola kemitraan ini memerlukan struktur pendanaan yang kuat dari pihak yang bermitra, baik mitra usaha besar maupun perusahaan mitra usaha kecil membiayai sendiri-sendiri dari kegiatan usahanya karena sifat dari kemitraan ini pada dasarnya adalah hubungan membeli dan menjual terhadap produk yang dimitrakan.

4. Pola Keagenan

Merupakan salah satu bentuk hubungan kemitraan di mana usaha kecil diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa dari usaha menengah atau usaha besar sebagai mitranya. Usaha menengah/besar sebagai perusahaan mitra usaha bertanggung jawab terhadap produk (barang dan jasa) yang dihasilkan, sedangkan usaha kecil sebagai kelompok mitra diberi kewajiban untuk memasarkan barang atau jasa tersebut, bahkan disertai dengan target-target yang harus dipenuhi, sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati.


(24)

5. Waralaba

Merupakan pola hubungan kemitraan antara kelompok mitra usaha dengan perusahaan mitra usaha yang memberikan hak lisensi merek dagang saluran distribusi perusahaannya kepada kelompok mitra usaha sebagai penerima waralaba yang disertai dengan bantuan bimbingan manajemen. Pemegang usaha waralaba hanya mengikuti pola yang telah ditetapkan oleh pemilik waralaba serta memberikan sebagian dari pendapatannya berupa royalti dan biaya lainnya yang terkait dari kegiatan usaha tersebut.

Selain pola kemitraan seperti yang disebutkan di atas, menurut Departemen Pertanian (2003) terdapat beberapa pola kemitraan lain yang juga telah banyak dilaksanakan, yaitu:

6. Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA)

Merupakan hubungan kemitraan antara kelompok mitra dengan perusahaan mitra, yang di dalamnya kelompok mitra menyediakan lahan, sarana dan tenaga, sedangkan perusahaan mitra menyediakan biaya atau modal dan/atau sarana untuk mengusahakan atau membudidayakan suatu komoditi.

7. Pola Kemitraan (Penyertaan) Saham

Dalam kemitraan saham, penyertaan modal (equity) antara usaha kecil dengan usaha menengah atau besar, penyertaan modal usaha kecil dimulai sekurang-kurangnya 20% dari seluruh modal saham perusahaan yang baru dibentuk dan ditingkatkan secara bertahap, sesuai kesepakatan kedua belah pihak.

2.6.Azas dan Prinsip Kemitraan

Kemitraan yang ideal adalah kemitraan antara usaha menengah dan usaha besar yang kuat di kelasnya dengan pengusaha kecil yang kuat di bidangnya yang didasari oleh kesejajaran kedudukan atau mempunyai derajat yang sama bagi kedua pihak yang bermitra, tidak ada pihak yang dirugikan dalam kemitraan dengan tujuan bersama untuk meningkatkan keuntungan atau pendapatan melalui pengembangan usahanya, tanpa saling mengeksploitasi satu sama lain serta tumbuh dan berkembangnya rasa saling percaya di antara mereka. Kesadaran dan saling menguntungkan disini tidak berarti para partisipan dalam kemitraan tersebut harus memiliki kemampuan dan dan kekuatan yang sama, tetapi yang


(25)

lebih dipentingkan adalah adanya posisi tawar yang setara berdasarkan peran masing-masing (Hafsah 2000).

Menurut Hermawan (1999) dalam Natalia (2005), azas dalam kemitraan adalah adanya azas kesejajaran kedudukan mitra, azas saling membutuhkan dan azas saling menguntungkan, selain itu diperlukan pula adanya azas saling mematuhi etika bisnis kemitraan.

Adapun prinsip-prinsip kemitraan menurut Fahrudda et al. (2005) adalah 1) Persamaan atau equality, 2) Keterbukaan atau transparancy dan 3) Saling menguntungkan atau mutual benefit.

2.7. Kendala-kendala kemitraan

Hal-hal yang menjadi kendala tercapainya tujuan kemitraan antara lain adanya struktur pasar monopolistic yang mengharuskan petani untuk menjual seluruh hasil produksinya kepada perusahaan mitra usahanya, sehingga memberi peluang bagi perusahaan untuk menekan harga produk tersebut. Selain itu kemampuan petani yang rendah dalam hal pendidikan, kemampuan manajerial serta akses terhadap modal dan informasi (Badan Agribisnis Departemen Pertanian 1995).

Menurut Hafsah (2000), kegagalan yang terjadi pada kemitraan usaha sering disebabkan oleh karena fondasi dari kemitraan yang kurang kuat dan hanya didasari rasa belas kasihan semata atau atas dasar paksaan pihak lain, bukan atas dasar kebutuhan untuk maju dan berkembang bersama dari pihak-pihak yang bermitra. Kondisi ini menjadikan kedudukan usaha kecil di pihak yang lemah dan usaha menengah dan besar sangat dominan dan cenderung mengeksploitasi yang kecil. Di samping itu lemahnya manajemen dan penguasaan teknologi yang disebabkan oleh lemahnya sumberdaya manusia yang dimiliki usaha kecil sering menjadi faktor kegagalan kemitraan usaha.

2.8.Pendapatan Rumah Tangga

Rumah tangga adalah sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik dan biasanya tinggal bersama serta makan dari satu dapur atau seseorang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan serta mengurus keperluan sendiri. Orang yang tinggal di rumah tangga ini disebut anggota


(26)

keluarga, sedang yang bertanggung jawab atau dianggap bertanggung jawab terhadap rumah tangga tersebut adalah kepala rumah tangga (BPS 1990 dalam Harini 2000)

Menurut White (1976) dalam Kartasubrata (1986), ciri-ciri umum rumah tangga di daerah pedesaan adalah sebagai berikut:

1. Rumah tangga memiliki dua fungsi rangkap, yaitu unit produksi, konsumsi, reproduksi (dalam arti luas) dan unit interaksi sosial, ekonomi dan politik. 2. Tujuan rumah tangga di pedesaan adalah untuk mencukupi kebutuhan para

anggotanya.

3. Impilikasi penting bagi pola penggunaan waktu antara lain adalah :

a. Rumah tangga petani miskin akan bekerja keras untuk mendapatkan produksi meskipun kecil.

b. Mereka seringkali terpaksa harus menambah kegiatan bertani dengan pekerjaan-pekerjaan lain walaupun hasilnya lebih kecil dibandingkan dengan hasil bertani.

c. Rumah tangga petani menunjukkan ciri-ciri self-exploitation.

Pendapatan adalah arus kesempatan untuk membuat pilihan-pilihan diantara berbagai alternatif penggunaan sumber-sumber yang langka (Singarimbun & Penny 1976).

Sajogyo (1982) membedakan pendapatan rumah tangga di pedesaan terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu :

1. Pendapatan dari usaha bercocok tanam padi.

2. Pendapatan dari usaha bercocok tanam padi, palawija, dan kegiatan pertanian lainnya.

3. Pendapatan yang diperoleh dari seluruh kegiatan, termasuk sumber-sumber mata pencaharian di luar bidang pertanian.

Supadi dan Nurmanaf (2006) menyatakan bahwa pendapatan rumah tangga pedesaan sangat bervariasi. Variasi itu tidak hanya disebabkan oleh faktor potensi daerah, tetapi juga karakteristik rumah tangga. Secara garis besar ada dua sumber pendapatan rumah tangga pedesaan, yaitu sektor pertanian dan non pertanian. Struktur dan besarnya pendapatan dari sektor pertanian berasal dari usahatani/ternak dan berburuh tani. Pendapatan sektor non pertanian berasal dari


(27)

usaha dagang atau jasa. Sajogyo (1984) menyatakan bahwa makin luas usaha tani, maka makin besar persentase penghasilan rumah tangga petani.

Rumah tangga akan mendahulukan pemenuhan kebutuhan pangan pada kondisi pendapatan terbatas, sehingga pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah akan terlihat bahwa sebagian besar pendapatannya akan digunakan untuk mengonsumsi makanan. Seiring dengan peningkatan pendapatan, maka lambat laun akan terjadi pergeseran yaitu penurunan porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk makanan menuju peningkatan porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk barang bukan makanan (BPS 2003).


(28)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran

Tingkat kepadatan penduduk yang tinggi di Pulau Jawa menyebabkan pemilikan lahan petani semakin sempit sehingga mengakibatkan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan. Permasalahan utama yang terjadi di BKPH Teluk Jambe, KPH Purwakarta adalah maraknya perambahan hutan oleh masyarakat sekitar hutan maupun pendatang untuk dijadikan lahan garapan. Selain itu di beberapa bagian areal hutan itu juga terdapat bangunan berupa gubuk, semi permanen bahkan permanen yang digunakan untuk tempat tinggal, tempat ibadah, sekolah, dan lain-lain yang tidak dilengkapi dengan izin mendirikan bangunan (IMB) dan adanya dugaan tumpang tindih kepemilikan kawasan hutan oleh pihak perorangan/perusahan. Lahan kosong dan Kerusakan lingkungan akibat perambahan menuntut Perum Perhutani untuk melakukan penghijauan kembali di areal hutan bekas rambahan tersebut.

Perum Perhutani sebagai pengelola hutan negara di Pulau Jawa bekerja sama dengan PT KIFC dalam pembangunan, pengembangan dan pengelolaan hutan tanaman jenis cepat tumbuh (fast growing species) di dalam kawasan hutan di wilayah kerja Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten, yaitu di KPH Purwakarta. Untuk meminimalisir gangguan dalam pengelolaan hutan di wilayah kerjanya, Perhutani KPH Purwakarta melibatkan masyarakat sekitar hutan yang tergabung dalam kelompok LMDH dalam kegiatan PHBM pembangunan hutan tanaman.

Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) merupakan suatu konsep untuk menjawab berbagai permasalahan pengelolaan hutan. Kegiatan PHBM pembangunan hutan tanaman antara Perum Perhutani, Masyarakat sekitar hutan dan Korea Indonesia Forestry Cooperative (KIFC) diharapkan mampu memenuhi kebutuhan bahan baku kayu untuk industri, menyerap tenaga kerja dalam hal ini petani sekitar hutan, serta meningkatkan pendapatan Perum Perhutani dan pendapatan rumah tangga petani. Alur kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.


(29)

Gambar 1 Kerangka pemikiran.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Kutanegara dan Desa Mulyasejati, Kecamatan Ciampel, Kabupaten Karawang yang masuk dalam bagian RPH Kutapohaci, BKPH Teluk Jambe, KPH Purwakarta Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten pada Bulan Mei - Juni 2011.

3.3 Sasaran dan Alat Penelitian

Sasaran dalam penelitian ini adalah Masyarakat Desa Hutan yang bermukim dalam areal RPH Kutapohaci, yaitu Masyarakat Desa Kutanegara dan Desa

Perum Perhutani Masyarakat Desa Hutan KIFC dan Stakeholder lain (Pemerintah Desa, Pemerintah Kabupaten danpihak lain yang berkepentingan

1. Kondisi fisik kawasan 2. Kontribusi

3. Aktivitas kemitraan 4. Manfaat kemitraan

1. Karakteristik masyarakat 2. Kegiatan sebelum adanya

kemitraan 3. Kontribusi

4. Rincian kegiatan PHBM 5. Kontribusi kemitraan bagi

pendapatan MDH

Perambahan hutan (lahan garapan, bangunan permanen dan semi permanen serta tumpang tindih kepemilihan kawasan hutan)

Lahan kosong dan kerusakan lingkungan

1. Kontribusi 2. Manfaat

yang diperoleh

Aspek kemitraan

1. Proses manajemen kemitraan (perencanaan kemitraan, pengorganisasian, pelaksanaan dan efektivitas kerjasama) 2. Manfaat kemitraan (manfaat ekonomi, teknis dan sosial budaya)

Kemitraan dan PHBM dalam pembangunan, pengembangan dan pengelolaan hutan tanaman jenis cepat tumbuh


(30)

Mulyasejati. Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian adalah alat tulis, kuisioner, kamera digital, kalkulator, laptop, dan software Microsoft Excel 2007.

3.4 Metode Pengambilan Contoh

Pengambilan sampel responden menggunakan metode Purposive Sampling, yaitu teknik pengambilan sampel dimana peneliti secara sengaja memilih subyek-subyek yang menjadi anggota kelompok tertentu (Wahyuni 2009). Responden yang dipilih adalah petani anggota Lembaga Mayarakat Desa Hutan (LMDH) yang lahan garapannya termasuk dalam petak lokasi kerjasama tanaman antara Perum Perhutani dan PT KIFC. Jumlah responden yang diambil dari RPH Kutapohaci sebanyak 60 orang yang terbagi menjadi dua desa, yaitu 46 orang dari Desa Kutanegara dan 14 orang dari Desa Mulyasejati. Selain responden juga dipilih beberapa informan dari Perum Perhutani, PT KIFC, LMDH Mulyajaya di Desa Mulyasejati dan LMDH Bukit Alam di Desa Kutanegara.

Jumlah responden yang diambil dari masing-masing desa tidak proporsional karena jumlah pemukim di Desa Kutanegara lebih banyak. Lokasi kerjasama di RPH Kutapohaci tersebar di 16 petak, yaitu petak 19a, 21, 22, 23, 24a, 24b, 24c, 25a, 25b, 26b, 26c, 27a, 27b, 28a, 28c dan 34. Berdasarkan data pemukim milik RPH Kutapohaci diketahui bahwa pemukiman masyarakat terdapat di petak 19, 20, 22, 24, 25, 30, 31, 32, 33 dan 34. Desa Kutanegara masuk dalam petak 19, 22 dan 24, sedangkan Desa Mulyasejati masuk dalam petak 25. Daftar jumlah pemukim dapat dilihat pada Lampiran 2.

3.5 Sumber Data

Data dalam penelitian ini diperoleh dari: 1. Petani mitra (responden)

2. Perum Perhutani

3. PT Korea Indonesia Forestry Cooperative (PT KIFC) 4. Pustaka


(31)

3.6 Jenis Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari petani mitra sebagai responden. Data primer tersebut terdiri dari :

1. Data umum (karakteristik) rumah tangga : nama, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status perkawinan, jumlah tanggungan, luas lahan garapan, pekerjaan utama dan pekerjaan sampingan.

2. Pendapatan rumah tangga dari kehutanan, yaitu dari tanaman kerjasama dan tumpang sari, serta sumber pendapatan lain di luar kehutanan seperti pertanian, peternakan, buruh, dagang, wiraswasta dan sebagainya.

3. Pengeluaran rumah tangga : besar pengeluaran rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, listrik, hiburan dan pengeluaran lainnya.

Data sekunder adalah data yang berkaitan dengan keadaan lingkungan, baik fisik, sosial, ekonomi maupun data lain yang berhubungan dengan obyek penelitian, baik yang tersedia di tingkat desa, kecamatan, maupun instansi-instansi terkait lainnya. Data sekunder tersebut meliputi :

1. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang meliputi jumlah penduduk, jenis kelamin, mata pencaharian, dan lain-lain yang diperoleh dari data monografi desa.

2. Kondisi lokasi sebelum adanya kerjasama, kronologis kerjasama dan kegiatan yang telah dilakukan petani dalam pembangunan hutan tanaman.

3. Data sekunder lain yang menunjang penelitian.

3.7 Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi:

1. Teknik observasi, yaitu teknik pengumpulan data melalui pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti, baik responden maupun keadaan di lapangan.

2. Teknik wawancara, yaitu cara pengumpulan data dengan melakukan wawancara dengan masyarakat serta pihak-pihak yang terkait dengan menggunakan kuisioner. Wawancara dilakukan terhadap responden masyarakat dan beberapa informan penting dari Perum Perhutani dan PT KIFC.


(32)

3. Pengumpulan data-data sekunder yang berasal dari Perum Perhutani, PT KIFC dan Pemerintah Desa.

3.8 Metode Pengolahan dan Analisis Data 3.8.1 Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif dimaksudkan untuk memberikan penguraian dan penjelasan mengenai aspek manajemen, aspek teknis dan aspek sosial budaya dari pelaksanaan program/proyek PHBM dalam bentuk pembangunan hutan tanaman di RPH Kutapohaci, BKPH Teluk Jambe, KPH Purwakarta Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Penjelasan operasional masing-masing aspek dapat dilihat di bawah ini:

a. Aspek Manajemen

Aspek manajemen yang dikaji dalam penelitian ini meliputi mekanisme perijinan pendirian program PHBM berupa pembangunan hutan tanaman, organisasi/instansi yang terkait dengan program PHBM dan hubungan antar pihak yang berkepentingan dan struktur organisasi dalam operasional PHBM.

b. Aspek Teknis

Indikator-indikator yang dikaji yaitu keadaan biofisik yang meliputi: ketersediaan lahan untuk pelaksanaan program PHBM, kondisi fisik komponen penyusun hutan tanaman dan lay out site/tata guna lahan untuk masing-masing komponennya.

c. Aspek sosial Budaya

Indikator yang dikaji yaitu tingkat pendidikan dan pengetahuan Masyarakat Desa Hutan, motivasi terhadap pengelolaan dan pengembangan PHBM, serta kemampuan dan kesediaan masyarakat untuk mengembangkan program PHBM.

3.8.2 Analisis Tingkat Hubungan Kemitraan

Perhitungan tingkat kemitraan dilakukan dengan cara kategorisasi yang didasarkan pada Keputusan Menteri Pertanian Nomor 944/Kpts/OT.210/10/97 tanggal 13 Oktober 1997 mengenai Pedoman Penetapan Tingkat Hubungan Kemitraan Usaha Pertanian. Analisis dilakukan terhadap Perum Perhutani, dan perusahaan Korea Indonesia Forestry Cooperative dan petani yang dalam hal ini


(33)

diwakili oleh LMDH sehingga dihasilkan rata-rata tingkat hubungan kemitraan dari ketiga pihak yang terlibat.

Penghitungan Tingkat Kemitraan

Nilai tingkat kemitraan dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Dimana : x = nilai rata-rata tingkat hubungan kemitraan tiap kategori a,b,c = Nilai skoring atas jawaban yang dipilih

y = Nilai atas banyaknya jawaban yang dipilih

Rincian faktor yang dinilai untuk menentukan tingkat kemitraan PHBM berdasarkan aspek proses manajemen dan aspek manfaat disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1 Rincian faktor yang dinilai dan nilai maksimum tingkat hubungan

kemitraan

No Faktor yang Dinilai Nilai Maksimum

I ASPEK PROSES MANAJEMEN

1 Perencanaan 150

a. Perencanaan Kemitraan 100

b. Kelengkapan Perencanaan 50

2 Pengorganisasian 150

a. Bidang Khusus 25

b. Kontrak Kerjasama 125

3 Pelaksanaan dan Efektivitas Kerjasama 200

a. Pelaksanaan Kerjasama 50

b. Efektivitas Kerjasama 150

Jumlah Aspek Proses Manajemen

II ASPEK MANFAAT

1 Ekonomi 300

a. Pendapatam 150

b. Harga 50

c. Produktivitas 50

d. Resiko Usaha 50

2 Teknis 100

a. Mutu 50

b. Penguasaan Teknologi 50

3 Sosial 100

a. Keinginan Kontinuitas Kerjasama 50

b. Pelestarian Lingkungan 50

Jumlah Aspek Manfaat 500

Jumlah Nilai Aspek Proses Manajemen Kemitraan + Aspek Manfaat 1000

Contoh : Berdasarkan kuisioner yang diajukan sebanyak 5 orang (12,5%) menyatakan bahwa lingkup perencanaan meliputi dua aspek yaitu pembinaan teknologi dan bimbingan (nilai 30). Alasan memilih karena dua aspek lainnya jarang dipakai. 35 orang (87,5%) memilih lingkup perencanaan meliputi salah


(34)

satu aspek (nilai 25) oleh karena itu petani mempunyai dua jawaban yang berbeda, sehingga nilai rata-rata untuk petani adalah 27,5 dari hasil perhitungan ((30+25)/2). Perum Perhutani menyatakan bahwa lingkup perencanaan meliputi 3 aspek (nilai 35). Sehingga nilai rata-rata adalah 31,25 diperoleh dari hasil perhitungan (27,5+35)/2). Perhitungan seperti ini dilakukan untuk semua aspek yang dihitung dalam merumuskan tingkat hubungan kemitraan antara Petani, Perum Perhutani dan Investor. Berdasarkan jumlah nilai rata-rata aspek proses manajemen dan manfaat maka selanjutnya dapat dilakukan analisis tingkat hubungan kemitraan antara Perum Perhutani, petani dan investor.

Berdasarkan proses manajemen dan manfaatnya, tingkat hubungan kemitraan usaha antara Perum Perhutani, petani dan investor dapat dibagi dalam empat kategori, yaitu:

1. Kemitraan Pra Prima < 250 2. Kemitraan Prima 250 – 500 3. Kemitraan Prima Madya 501 – 750 4. Kemitraan Prima Utama >750

3.8.3 Analisis Kontribusi Pembangunan Hutan Tanaman Terhadap Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga

Hasil wawancara dan observasi di lapangan dihimpun, dihitung dan disajikan dalam bentuk tabulasi, selanjutnya dilakukan analisis beberapa analisa kuantitatif sederhana untuk menghitung pendapatan dan pengeluaran petani serta kontribusi kehutanan maupun non kehutanan terhadap pendapatan rumah tangga petani.

1. Pendapatan dari kehutanan/kegiatan PHBM, yaitu pendapatan dari kegiatan kerjasama tanaman sampai dengan tahun berjalan dan pendapatan dari budidaya tumpang sari dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Keterangan :

Ikh = Pendapatan total petani dari kehutanan (Rp/Tahun)

Iht = Pendapatan yang diperoleh dari kerjasama pembangunan hutan tanaman

sampai dengan tahun berjalan (Rp) Ikh = Iht + Its


(35)

Its = Pendapatan yang diperoleh dari budidaya tumpang sari (Rp/Tahun)

2. Pendapatan dari non kehutanan, yaitu hasil berdagang, wiraswasta, buruh tani/industri/bangunan, pegawai, supir/jasa angkutan, beternak, dan lainnya dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Keterangan :

Inkh = Pendapatan total petani dari non kehutanan (Rp/Tahun)

Pendapatan dari non kehutanan = Hasil wirausaha, perdagangan, peternakan serta upah atau gaji dan sumber-sumber pandapatan lainnya (Rp/Tahun) 3. Pendapatan total petani

Keterangan :

Itot = Jumlah pendapatan total rumah tangga petani (Rp/Tahun)

Ikh = Pendapatan total dari kehutanan (Rp/Tahun)

Inkh = Pendapatan total dari non kehutanan (Rp/Tahun)

4. Persentase pendapatan dari kehutanan terhadap total pendapatan

Keterangan :

Ikh % = Persentase pendapatan dari kehutanan

Ikh = Pendapatan total dari kehutanan (Rp/Tahun)

Itot = Pendapatan total rumah tangga petani (Rp/Tahun)

5. Pengeluaran total petani

Keterangan :

Ctot = Total pengeluaran rumah tangga selama periode satu tahun

C = Jumlah biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan Inkh= ∑ Pendapatan petani dari non kehutanan

Itot = Ikh + Inkh

Ikh % = ( Ikh / Itot) x 100%


(36)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Kondisi Umum Desa Mulyasejati

Desa Mulyasejati memiliki luas total 1.336,05 Ha dengan batas wilayah sebagai berikut: sebelah Utara berbatasan dengan Desa Mulyasari, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Tegallega dan Desa Sukamanah, sebelah Barat berbatasan dengan Perhutani dan sebelah Timur berbatasan dengan Poj. Curug. Desa Mulyasejati berada pada ketinggian 45 mdpl dan topografinya berupa perbukitan. Curah hujan tahunan di Desa Mulyasejati sebesar 46 mm/tahun serta suhu udara rata-rata 24o C. Jarak tempuh dari Kecamatan Ciampel menuju Desa Mulyasejati sejauh 9 km, dari Kabupaten Karawang sejauh 16 km, dari Ibukota Provinsi sejauh 185 km dan dari Ibukota Negara sejauh 175 km.

Jumlah penduduk Desa Mulyasejati pada tahun 2007 sebanyak 6.060 jiwa, dengan rincian laki-laki sebanyak 3.052 jiwa dan perempuan sebanyak 3.008 jiwa. Mayoritas penduduk beragama Islam dan bermata pencaharian di bidang pertanian dan pertukangan. Berikut ini disajikan tabel jumlah penduduk Desa Mulyasejati menurut mata pencaharian.

Tabel 2 Jumlah penduduk Desa Mulyasejati menurut mata pencaharian

No Mata Pencaharian Jumlah (orang) %

1 Karyawan

a. Pegawai Negeri Sipil b. A B R I

c. Swasta

51 2 106

1,31 0,05 2,72

2 Wiraswasta/pedagang 435 11,17

3 Tani 1.166 29,93

4 Pertukangan 1.368 35,11

5 Buruh Tani 381 9,78

6 Pensiunan 8 0,21

7 Nelayan 3 0,08

8 Jasa 376 9,65

Total 3.896 100,00


(37)

Perangkat Desa Mulyasejati terdiri dari 1 orang Kepala Desa, 1 orang Sekretaris Desa, 6 orang Kepala Urusan, 7 orang Kepala Dusun dan 48 orang pengurus RT dan RW. Terdapat Lembaga Muyawarah Desa yang dibentuk pada Bulan Oktober Tahun 2006 dengan jumlah anggota sebanyak 9 orang. Untuk menjaga keamanan terdapat 10 orang petugas hansip yang telah terlatih, didukung oleh 9 buah pos kamling dan 9 kelompok peronda kampung.

Sarana pendidikan di Desa Mulyasejati baru tersedia sampai tingkat SMP, yang terdiri dari 2 buah Kelompok Bermain, 2 buah TK, 6 buah SD dan 1 buah SMP. Terdapat satu unit Puskesmas sebagai sarana penunjang kesehatan masyarakat desa. Selain itu juga terdapat sarana peribadatan berupa 16 buah Mesjid dan 26 buah Mushola.

4.2 Kondisi Umum Desa Kutanegara

Desa Kutanegara merupakan salah satu dari tujuh desa di Kecamatan Ciampel yang berbatasan langsung dengan Tarum Barat di sebelah Utara, sebelah Selatan dengan Perhutani, sebelah Barat dengan Perhutani dan sebelah Timur dengan Desa Mulyasari. Desa ini berada pada ketinggian ± 15 mdpl, dengan suhu rata-rata 40o C dan suhu minimum 17o C. Jarak dari pusat Pemerintahan Desa Kutanegara ke Pemerintahan Kecamatan, Pemerintahan Kabupaten, Ibu Kota Provinsi dan Ibukota Negara berturut-turut adalah sejauh 3 km, 15 km, 78 km dan 84 km.

Luas wilayah Desa Kutanegara adalah 1.758,669 Ha, yang terdiri dari tanah darat 830,469 Ha, tanah sawah 5 ha dan tanah perhutani 909,250 Ha. Penduduk Desa Kutanegara sampai dengan tahun 2009 berjumlah 3.750 jiwa, yang terdiri dari 1.924 perempuan dan 1.826 laki-laki. Sedangkan jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak1.136 KK yang terdiri dari 1.079 KK laki-laki dan 57 KK perempuan. Mayoritas penduduk beragama Islam dan bermata pencaharian sebagai petani dan buruh tani. Jumlah penduduk Desa Kutanegara menurut mata pencaharian disajikan dalam Tabel 3.


(38)

Tabel 3 Jumlah penduduk Desa Kutanegara menurut mata pencaharian

No Mata Pencaharian Jumlah (orang) %

1 Karyawan

d. Pegawai Negeri Sipil e. A B R I

f. Swasta

4 1 97

0,11 0,03 2,61

2 Wiraswasta/pedagang 59 1,58

3 Tani 1.209 32,47

4 Pertukangan 72 1,93

5 Buruh Tani 2.280 61,24

6 Pensiunan 1 0,03

Total 3.723 100,00

Sumber: Data monografi Desa Kutanegara tahun 2007

Perangkat Desa Kutanegara terdiri atas 1 orang Kepala Desa, 1 orang Sekretaris Desa, 6 orang Kepala Urusan, 3 orang Kepala Dusun dan 30 orang Petugas Teknis serta dibantu oleh 5 orang pengurus RW dan 12 orang pengurus RT. Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dibentuk pada tanggal 13 September 2006 dan beranggotakan sebanyak 8 orang. Selain itu juga terdapat beberapa kelembagaan desa, yaitu BPD, LPM dan PKK. Bidang keamanan dan ketertiban di Desa Kutanegara cukup aman dan terkendali, hal ini didukung dengan adanya 12 orang Hansip terlatih, 9 buah pos kamling dan 6 kelompok peronda kampung.

Sarana pendidikan yang dimiliki yaitu sebuah taman kanak-kanak (TK) dan 3 buah SD. Sarana keagamaan yang dimiliki berupa 7 buah Mesjid dan 5 buah Mushola, 6 buah Majelis Ta’lim dan 1 buah pesantren. Desa Kutanegara juga memiliki 5 club Sepak Bola, 5 club Volley Ball dan 1 club Bulu Tangkis. Selain itu untuk mengembangkan bidang kesenian, di Desa Kutanegara juga terdapat 1 grup Wayang Golek dan 1 grup Odong-odong.

4.3 Pengelolaan Hutan di RPH Kutapohaci Sebelum Kerjasama dengan PT KIFC

Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Teluk Jambe terdiri atas tiga Resort Pemangkuan Hutan (RPH), yaitu RPH Kutapohaci, RPH Pinayungan dan RPH Wanakerta. Masalah utama yang terjadi di BKPH Teluk Jambe KPH purwakarta adalah masalah tenurial yang juga banyak terjadi di KPH-KPH


(39)

lainnya di Perum Perhutani. Kepadatan penduduk di Pulau jawa yang semakin meningkat menyebabkan terjadinya perambahan dan penyerobotan kawasan hutan untuk dijadikan pemukiman. Masyarakat tidak hanya tinggal di sekitar hutan, melainkan juga di dalam kawasan hutan itu sendiri.

Pada tahun 1987 di BKPH Teluk Jambe terdapat tanaman Acacia mangium yang tersebar di tiga RPH. Tanaman tersebut ditanam dengan dana dari Bank Dunia. Tahun 1989-1990, yaitu pada masa orde baru, terdapat wacana bahwa kawasan hutan Teluk Jambe akan dijadikan kawasan industri, sehingga pada tahun 1990-1991 seluruh karyawan Perum Perhutani di BKPH Teluk Jambe dimutasi. Kekosongan petugas dan berita bahwa kawasan hutan Teluk Jambe akan dijadikan kawasan industri menyebabkan masyarakat berbondong-bondong mulai memasuki kawasan hutan, menggarap lahan bahkan membangun pemukiman, hal ini terjadi sejak tahun 1994. Selain itu, banyaknya masyarakat yang bermukim dan menggarap lahan di dalam kawasan hutan serta ingin memiliki lahan juga merupakan dampak dari euphoria reformasi dan tidak terlepas dari adanya unsur politik.

Saat terjadi krisis moneter pada era reformasi, tepatnya pada tahun 1996, ada wacana dari pemerintah bahwa masyarakat boleh menggarap dan memanfaatkan lahan tidur atau lahan kosong. Pada kasus di BKPH Teluk Jambe lahan tidur yang dimaksud adalah lahan yang tidak termasuk atau berada di luar kawasan yang ditunjuk sebagai kawasan industri. Tetapi masyarakat salah menafsirkan, sehingga mereka memasuki kawasan yang ditunjuk untuk dijadikan kawasan industri yang tidak lain adalah kawasan hutan Teluk Jambe. Unsur politik tidak lepas dari permasalahan ini, baik pemerintahan desa maupun partai politik secara tidak langsung melegalkan masyarakat untuk memasuki kawasan hutan dengan iming-iming masyarakat akan memperoleh surat bukti pemilikan tanah yang sah dengan memberikan suara mereka saat pemilihan. Peningkatan jumlah pemukim juga disebabkan oleh adanya jual beli lahan. Masyarakat mengklaim bahwa mereka bukan menjual lahan, melainkan menjual garapan yang telah mereka usahakan.

Selain itu juga terjadi tukar menukar lahan (Rislah Tanah) antara Perum Perhutani dan PT Hutan Pertiwi Lestari (HPL) yang merupakan investor


(40)

perkebunan. Tanah yang akan dipertukarkan adalah tanah milik Perum Perhutani di BKPH Teluk Jambe dengan tanah milik PT HPL yang berlokasi di Banten. Rislah tanah akan dilakukan dengan rasio 1:1 dan tanah yang dipersiapkan PT HPL seluas 2.929,86 Ha. Tetapi tahun 1999 dilakukan pembatalan pelepasan kawasan hutan Teluk Jambe karena hasil audit BPK pada tahun 1995 menyimpulkan ratio 1:1 yang dilakukan PT HPL dengan Perhutani merugikan negara karena mestinya ratio itu 1:27. Kawasan hutan yang ditukar (dikeluarkan) dicukupkan dengan tanah pengganti 2.929,86 Ha yaitu hanya 110 Ha (1:27). Tetapi kawasan hutan Teluk Jambe baru diserahkan kembali kepada Perum Perhutani secara resmi pada tahun 2004 dengan diterbitkannya SK Menhut nomor SK.365/Menhut-II/2004.

Saat itu dalam kawasan hutan sudah banyak masyarakat yang bermukim dan memanfaatkan lahan untuk digarap. Masyarakat tidak mengetahui bahwa kawasan hutan telah dikembalikan kepada Perum Perhutani. Jumlah pemukim di dalam kawasan hutan saat itu diperkirakan sebanyak 4.000 jiwa. Hanya tiga petak yang tidak terdapat tanaman masyarakat, yaitu petak 25, 26 dan 27 yang merupakan eks tebangan Acacia mangium. Selain tiga petak tersebut, lahan telah ditanami oleh tanaman pertanian dan perkebunan milik masyarakat, seperti padi, pisang, jeruk, mangga, petai, jengkol, dan lain-lain.

Perum Perhutani bekerjasama dengan pemerintahan desa dan kecamatan melakukan sosialisasi kepada masyarakat, hingga akhirnya petugas Perum Perhutani dapat masuk dalam kawasan hutan dan mulai melakukan pengelolaan hutan kembali dengan melakukan penanaman rutin. Sebelumnya sangat sulit bagi petugas Perum Perhutani untuk masuk dalam areal kerjanya karena tidak diterima oleh masyarakat, bahkan pernah terjadi penghadangan dan penahanan petugas.

Kegiatan pengelolaan dimulai dengan membangun persemaian jenis Acacia mangium seluas ± 2 Ha. Tahun 2004 dilakukan penanaman jenis Mahoni (Swietenia macrophylla) di petak 24b, serta jenis Mahoni (Swietenia macrophylla) dan Mindi (Melia azedarach) di petak 20 pada tahun 2006. Tetapi masih banyak perlawanan dan gangguan dari masyarakat karena masyarakat tidak setuju dilakukannya penanaman. Ada masyarakat yang meminta tanaman yang baru ditanam untuk dicabut kembali, ada yang melarang dilakukan penanaman di lahan


(41)

yang telah ditanami jeruk, ada pula yang meminta kegiatan penanaman hanya dilakukan di batas atau pinggiran kebun jeruk mereka. Pada tahun 2007 pernah terjadi konflik yang mencuat antara masyarakat dengan Perum Perhutani, sebanyak ± 120 orang dari Desa Kutanegara yang tidak setuju dengan penanaman rutin yang dilakukan Perhutani mendatangi KRPH. Konflik tidak sampai mengakibatkan kekerasan fisik dan dapat diredam setelah masyarakat diberi arahan oleh ketua LMDH dan LSM, yaitu LSM Lodaya.

Saat evaluasi dapat dikatakan tanaman tahun 2005-2006 mengalami kegagalan, dari rencana 165 Ha hanya dapat terealisasi 55 Ha. Penanaman tahun 2006-2007 di petak 20, 23, 25 dan 26 yang mengalami gangguan telah diupayakan disulam, tetapi yang berhasil hanya dua petak, yaitu petak 25 dan 26. Masalah tenurial ini menjadi salah satu penyebab minimnya produksi di BKPH Teluk Jambe.

4.4 Kronologis Kerjasama Tanaman Antara Perum Perhutani, PT KIFC dan Masyarakat Desa Hutan

Kerjasama pembangunan, pengembangan dan pengelolaan hutan tanaman jenis cepat tumbuh (fast growing species/FGS) antara Perum Perhutani dan PT KIFC bersifat top down. Diawali oleh kunjungan delegasi Pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, MM dan diikuti Direktur Utama Perum Perhutani, Upik Rosalina Wasrin ke Korea Selatan pada bulan Juni 2007. Selanjutnya pada tanggal 27 Juni 2007 dilakukan penandatanganan MoU antara Direktur Perum Perhutani dengan Vice Chairman & CEO National Forestry Cooperative Federation (NFCF) di Korea Selatan, yang disaksikan oleh Menteri Kehutanan kedua negara. Kerjasama ini merupakan salah satu bentuk realisasi dari MoU antara Pemerintah Indonesia dan Korea Selatan, dimana Pemerintah Indonesia menyediakan lahan hutan seluas 500.000 Ha untuk investor Korea Selatan.

NFCF merupakan sebuah federasi dari koperasi-koperasi kehutanan tingkat kabupaten/kota (lokal) di Korea Selatan yang berjumlah 142 koperasi dan mempunyai anggota sebanyak 479.000 orang yang terdiri dari pemilik hutan dan orang-orang yang terlibat dalam pengerjaan hutan. NFCF bertugas mendukung pengelolaan hutan lestari dan meningkatkan produksi kehutanan, meningkatkan


(42)

status ekonomi, sosial dan budaya anggota serta berperan serta dalam pembangunan ekonomi nasional. Dalam pelaksanaannya NFCF juga berfungsi membantu pengembangan koperasi kehutanan, memberi pedoman dalam mengelola hutan milik, mendistribusikan produk kehutanan, membangun sumber-sumber kehutanan, membangun dasar pengelolaan hutan dan mendukung sistem keuangan kehutanan.

Dalam pengelolaan hutan, NFCF/koperasi kehutanan lokal mengerjakan pembibitan, penanaman dan pemeliharaan pada lokasi hutan milik rakyat dan negara. Biaya pengelolaan disubsidi oleh pemerintah sebesar 80-90%, sedangkan sisanya ditanggung oleh pemilik hutan dan hasil panen dimiliki sepenuhnya oleh pemilik hutan. Biaya panen ditanggung sepenuhnya oleh pemilik hutan dan pelaksanaan tebangan dapat diborongkan kepada NFCF/koperasi kehutanan lokal. Hasil tebangan dapat dijual kepada NFCF/koperasi kehutanan lokal. NFCF membantu pengembangan koperasi kehutanan lokal dengan memperbanyak anggota dan membangun dasar pengelolaan koperasi kehutanan, termasuk diklat dan pendampingan, mendorong efisiensi koperasi lokal, mendistribusikan kegiatan khusus, mendukung dana koperasi kehutanan lokal, menyehatkan koperasi yang rugi dengan pendampingan, suntikan dana, merger, dan lain-lain.

Pada bulan Agustus - November 2007 NFCF melakukan Feasibility Study (FS) dengan menunjuk konsultan, dan baru pada bulan Desember 2007 NFCF memutuskan untuk bekerjasama dengan Perum Perhutani. Selanjutnya pada bulan Januari - Juli 2008 NFCF membuka kantor perwakilan di Indonesia serta melakukan negosiasi dengan Perum Perhutani dengan difasilitasi oleh Departemen Kehutanan. Kantor perwakilan NFCF di Indonesia yaitu PT Korea Indonesia Forestry Cooperative (KIFC). PT KIFC adalah suatu perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang bergerak di bidang pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) berdasarkan Undang-undang Negara Republik Indonesia, mempunyai kesanggupan finansial dan berkeinginan untuk bekerjasama.

Setelah terbit rekomendasi dari Dewan Pengawas Perum Perhutani, Menteri Kehutanan RI dan Menteri Negara BUMN, barulah pada tanggal 5 Maret 2009 dilakukan penandatanganan perjanjian Kerjasama (PKS) antara Perum Perhutani dengan PT KIFC tentang pembangunan, pengembangan dan pengelolaan hutan


(43)

tanaman jenis cepat tumbuh seluas 10.000 Ha di Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten.

Perjanjian kerjasama antara Perum Perhutani dengan PT KIFC tertuang dalam Addendum PKS No. 11/SJ/DIR/2009 dan 2009-07/KIFC tentang Pembangunan, Pengembangan dan Pengelolaan Hutan Tanaman di dalam Kawasan Hutan. Perum Perhutani sebagai Pihak Kesatu diwakili oleh Direktur Utama Perum Perhutani, Upik Rosalina Wasrin, sedangkan PT KIFC sebagai Pihak Kedua diwakili oleh Presiden Direktur PT KIFC, Seong In-Kyeong. Tujuan kerjasama adalah untuk menghijaukan dan menghutankan kembali kawasan hutan di wilayah kerja Perum Perhutani, memperoleh manfaat yang optimal dari pengelolaan kawasan hutan baik secara ekologi, ekonomi maupun sosial bagi kedua pihak (Perum Perhutani dan PT KIFC) serta Masyarakat Desa Hutan (MDH), meningkatkan keberdayaan dan kemandirian MDH dan memperoleh keuntungan bagi perusahaan.

Sesuai dengan Addendum PKS No. 191/SJ/DIR/2010 tanggal 7 September 2010 bahwa kegiatan penanaman seluas 10.000 Ha akan dilaksanakan secara bertahap dalam jangka waktu satu daur yakni 8 (delapan) tahun. Berikut ini disajikan realisasi dan rencana kerjasama tanaman antara Perum Perhutani dan PT KIFC sampai dengan tahun 2011 yang tersebar dalam beberapa KPH di Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten.

Tabel 4 Realisasi dan rencana kerjasama tanaman antara Perum Perhutani dan PT KIFC sampai dengan tahun 2011

No. KPH

Luas Tanaman Kerjasama (Ha)

Realisasi Rencana

2009 2010 Total 2011 Total

1. Purwakarta 834,19 1.271,58 2.105,77 - 2.105,77 2. Sumedang 1.129,77 870,23 2.000 841,50 2.841,50

3. Bogor - 728,42 728,42 - 728,42

4. Indramayu - - - 264,60 264,60

Jumlah 1.963,96 2.870,23 4.834,19 1.106,10 5.940,29

Rencana 10.000 10.000

Sisa 5.165,81 4.059,71


(44)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Masyarakat Desa Hutan

Jumlah petani penggarap yang juga menjadi pengurus maupun anggota LMDH Mulyajaya di Desa Mulyasejati dan LMDH Bukit Alam di Desa Kutanegara, masih dalam proses pendataan ulang disebabkan tingginya mobilitas masyarakat yang keluar masuk kawasan hutan. Hal ini karena pemukim/penggarap sebagian besar adalah pendatang, khususnya di Desa Kutanegara. Jumlah total responden di RPH Kutapohaci sebanyak 60 orang, terbagi menjadi 46 orang dari Desa Kutanegara dan 14 orang dari Desa Mulyasejati. Deskripsi responden dalam penelitian ini dibagi menjadi lima indikator, yaitu umur, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, luas lahan garapan serta pekerjaan utama dan pekerjaan sampingan.

5.1.1 Umur

Responden yang termuda dalam penelitian ini berumur 22 tahun, sedangkan responden tertua berumur 70 tahun. Distribusi petani penggarap menurut umur disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 5 Karakteristik responden menurut umur

No Umur (Tahun) Jumlah Petani (Orang) Persentase (%)

1 21 – 30 4 6,67

2 31 – 40 13 21,67

3 41 – 50 18 30,00

4 51 – 60 14 23,33

5 61 – 70 11 18,33

Jumlah 60 100,00

Dari data di atas dapat diketahui responden terbanyak berumur 41-50 tahun dengan persentase 30%. Sedangkan responden yang berumur 21-30 tahun jumlahnya paling sedikit, yaitu hanya 6,67%. Banyaknya petani yang berusia dewasa - tua disebabkan juga karena sebagian besar dari mereka adalah pendatang, sehingga petani yang berusia muda jumlahnya masih sedikit karena mereka merupakan anak dari petani pendatang yang telah mulai dewasa dan


(45)

berkeluarga. Tingkat umur mempunyai pengaruh terhadap kemampuan fisik dalam mengolah usaha tani tumpang sarinya. Dapat dikatakan sebagian besar petani penggarap masih dalam usia produktif, sehingga mereka masih memiliki cukup banyak tenaga untuk mengolah usaha tani tumpang sarinya maupun usaha-usaha tambahan lainnya.

5.1.2 Tingkat Pendidikan

Masyarakat pedesaan identik dengan tingkat pendidikan yang rendah, seperti halnya masyarakat di Desa Kutanegara dan Desa Mulyasejati. Sebagian besar responden (50%) hanya tamat SD, bahkan 8,33% responden tidak mengeyam pendidikan sama sekali. Pendidikan tertinggi hanya sampai pada tingkat SMP, itu pun hanya 13,33%. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah ini.

Tabel 6 Karakteristik responden menurut tingkat pendidikan

No Tingkat Pendidikan Jumlah Petani (Orang) Persentase (%)

1 Tidak Sekolah 5 8,33

2 Tidak Tamat SR 2 3,33

3 SR 5 8,33

4 Tidak Tamat SD 10 16,67

5 SD 30 50,00

6 SMP 8 13,33

Jumlah 60 100,00

Keterangan : SR = Sekolah Rakyat

Rendahnya tingkat pendidikan disebabkan oleh faktor ekonomi dan kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan. Keterbatasan ekonomi membuat mereka lebih memilih bekerja membantu orang tua daripada melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

5.1.3 Jumlah Anggota Keluarga

Secara umum jumlah anggota keluarga berpengaruh terhadap besarnya pengeluaran rumah tangga. Semakin banyak anggota keluarga, maka akan semakin besar pengeluaran rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Distribusi petani menurut jumlah anggota keluarganya disajikan dalam Tabel 7.


(1)

Lampiran 6 Luas lahan garapan 1

3 Ha (lanjutan)

Nama Desa

Luas lahan (Ha)

Pangan (Rp/Thn)

Sandang (Rp/Thn)

Pendidikan (Rp/Thn)

Kesehatan (Rp/Thn)

Tabungan (Rp/Thn)

Listrik/Genset (Rp/Thn)

Dll (Rp/Thn)

Total Pengeluaran

(Rp/Thn)

R29 Mulyasejati 1 12.775.000 300.000 1.285.000 480.000 - 480.000 - 15.320.000 R30 Kutanegara 1,25 7.300.000 300.000 1.285.000 30.000 514.000 - - 9.429.000 R31 Kutanegara 1,5 7.300.000 300.000 480.000 30.000 514.000 2.007.500 - 10.631.500

R32 Kutanegara 1,5 10.950.000 - - 160.000 200.000 4.380.000 - 15.690.000

R33 Kutanegara 1,5 7.300.000 300.000 1.542.000 50.000 257.000 - - 9.449.000

R34 Kutanegara 1,5 7.300.000 300.000 1.285.000 20.000 - - - 8.905.000

R35 Kutanegara 1,5 10.950.000 100.000 - 50.000 - - - 11.100.000

R36 Kutanegara 1,5 12.775.000 500.000 2.400.000 - - - - 15.675.000

R37 Mulyasejati 1,5 3.650.000 - - 20.000 - 240.000 - 3.910.000

R38 Kutanegara 2 10.950.000 400.000 2.400.000 30.000 - 4.015.000 - 17.795.000

R39 Kutanegara 2 6.570.000 500.000 257.000 20.000 514.000 - - 7.861.000

R40 Kutanegara 2 5.475.000 200.000 1.485.000 - - 3.650.000 - 10.810.000

R41 Kutanegara 2 3.650.000 - - 10.000 - - - 3.660.000

R42 Kutanegara 2 7.300.000 300.000 1.285.000 40.000 1.285.000 - - 10.210.000

R43 Kutanegara 2 9.855.000 400.000 514.000 - 257.000 - - 11.026.000

R44 Kutanegara 2 9.125.000 300.000 - 30.000 - - - 9.455.000

R45 Kutanegara 2 8.030.000 800.000 2.570.000 - - 6.022.500 17.422.500

R46 Mulyasejati 2 25.550.000 1.000.000 7.950.000 - - 600.000 - 35.100.000


(2)

R48 Kutanegara 2,5 7.300.000 300.000 1.799.000 50.000 514.000 4.380.000 - 14.343.000

Lampiran 6 Luas lahan garapan 1

3 Ha (lanjutan)

Nama Desa

Luas lahan (Ha)

Pangan (Rp/Thn)

Sandang (Rp/Thn)

Pendidikan (Rp/Thn)

Kesehatan (Rp/Thn)

Tabungan (Rp/Thn)

Listrik/Genset

(Rp/Thn) Dll (Rp/Thn)

Total Pengeluaran

(Rp/Thn)

R49 Kutanegara 3 18.250.000 1.000.000 7.200.000 20.000 - 1.980.000 - 28.450.000

R50 Kutanegara 3 10.950.000 200.000 - 30.000 - 6.022.500 - 17.202.500

R51 Kutanegara 3 5.475.000 - - 20.000 - - 1.200.000 6.695.000

R52 Kutanegara 3 9.125.000 500.000 3.685.000 140.000 1.028.000 - - 14.478.000 R53 Kutanegara 3 11.680.000 500.000 3.855.000 50.000 - 1.095.000 - 17.180.000

R54 Kutanegara 3 14.600.000 - - 600.000 - - - 15.200.000

R55 Kutanegara 3 10.950.000 - - 30.000 - - - 10.980.000

Jumlah 74,25 436.722.500 15.350.000 68.269.500 3.465.000 12.266.000 60.125.000 2.400.000 598.598.000 Rata-rata 1,65 9.704.944 451.470,6 2.438.196 91.184,21 876.143 2.732.955 1.200.000 13.302.177,78


(3)

Lampiran 6 (lanjutan)

Luas lahan garapan > 3 Ha

Nama Desa

Luas lahan (Ha)

Pangan (Rp/Thn)

Sandang (Rp/Thn)

Pendidikan (Rp/Thn)

Kesehatan (Rp/Thn)

Tabungan (Rp/Thn)

Listrik/Genset (Rp/Thn)

Dll (Rp/Thn)

Total Pengeluaran

(Rp/Thn)

R56 Kutanegara 4 10.950.000 600.000 1.285.000 20.000 - - - 12.855.000

R57 Kutanegara 4 10.950.000 400.000 600.000 300.000 514.000 - - 12.764.000

R58 Kutanegara 4 7.300.000 200.000 - 40.000 - - - 7.540.000

R59 Kutanegara 5 14.600.000 200.000 - 20.000 - - 3.650.000 18.470.000

R60 Kutanegara 6 16.060.000 300.000 1.542.000 100.000 - - - 18.002.000

Jumlah 23 59.860.000 1.700.000 3.427.000 480.000 514.000 0 3.650.000 69.631.000


(4)

Lampiran 7 Perhitungan estimasi pendapatan dari tanaman kerjasama

pada panen di akhir daur

Diketahui:

Luas total petak kerjasama

= 834,19 Ha

Luas lahan petani yang masuk petak kerjasama

= 101,85 Ha

Potensi panen

= 200 m

3

/Ha

Mindi (Melia azedarach)

= 80% = 160 m

3

/Ha

Sengon (Paraserianthes falcataria)

= 20% = 40 m

3

/Ha

Biaya tebang potong dan pikul

= Rp 80.000/m

3

No Jenis

Kegiatan Satuan Volume Biaya Satuan

(Rp)

Periode (thn)

Tahun ke

0 1 2 3 4

A Biaya

panen Ha 1 80000 6

Biaya Setelah

Diskonto 5390645599 6037523071 6762025840 7573468940 8482285213

B Pendapatan

Mindi m3 1 700000 6

Sengon m3 1 600000 6

Pendapatan

Terdiskonto 45820487593 51318946104 57477219637 64374485993 72099424312

Pendapatan setelah dikurangi biaya panen

40429841994 45281423033 50715193797 56801017053 63617139099

Pendapatan/Ha 48465987,36 54281905,84 60795734,54 68091222,69 76262169,41

Sharing hasil - Perum

Perhutani 12722321,68 14249000,28 15958880,32 17873945,96 20018819,47

- PT KIFC 31502891,78 35283238,80 39517227,45 44259294,75 49570410,12


(5)

Lampiran 7 (lanjutan)

No jenis

kegiatan satuan volume biaya satuan

Periode (Thn)

Tahun ke

Rata-rata

5 6 7 8

A Biaya

panen Ha 1 80000 6 13347040000

biaya setelah

diskonto 9500159439 10640178571 11917000000 13347040000

B Pendapatan

Mindi m3 1 700000 6 93429280000

Sengon m3 1 600000 6 20020560000

Jumlah 1,1345E+11

pendapatan

terdiskonto 80751355230 90441517857 1,01295E+11 1,1345E+11

Pendapatan setelah dikurangi biaya panen

71251195791 79801339286 89377500000 1,00103E+11

Pendapatan/Ha 85413629,74 95663265,31 107142857,1 120000000

Sharing hasil - Perum

Perhutani 22421077,81 25111607,14 28125000 31500000

- PT KIFC 55518859,33 62181122,45 69642857,14 78000000

- LMDH 7473692,60 8370535,71 9375000 10500000 7302430,46

Pendapatan

rata-rata/tahun 912803,81

Pendapatan


(6)

Dokumen yang terkait

Pemanenan Hutan Tanaman Jati di BKPH Conggeang, KPH Sumedang, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat

1 18 83

Evaluasi Elemen dan Prestasi Kerja Pemanenan di Hutan Jati (Studi Kasus Pemanenan Kayu Jati BKPH Sadang KPH Purwakarta Perum Perhutani Unit III Jawa Barat)

0 19 74

Analisis finansial pengelolaan hutan tanaman jati di KPH Banten Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten

0 6 94

Analisis gender dalam kegiatan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) kasus di Desa Pulosari, RPH Pangalengan, BKPH Pangalengan, KPH Bandung Selatan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten

2 19 56

Efektivitas kolaborasi antara perum perhutani dengan masyarakat dalam pengelolaan hutan kasus PHBM di KPH Madiun dan KPH Nganjuk, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur

0 32 102

Kemandirian masyarakat desa sekitar hutan dalam melakukan usaha agroforestri: studi kasus usaha agroforestri tanaman kopi di BKPH Pangalengan, KPH Bandung Selatan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten

0 12 453

Peran Perempuan dalam Kegiatan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (Studi Kasus RPH Tanjungkerta BKPH Tampomas KPH Sumedang Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten)

0 13 203

Simulasi Multisistem Pemanenan Hutan Pada Pengelolaan Hutan Tanaman (Studi Kasus di BKPH Parung Panjang KPH Bogor Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten)

1 8 58

Persepsi dan partisipasi masyarakat desa sekitar hutan terhadap sistem PHBM di Perum Perhutani (Kasus di KPH Cianjur Perum Perhutani Unit III, Jawa Barat)

1 13 177

Potensi Kebakaran Hutan di KPH Bogor Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten

0 4 32