Pengaruh Aktivator Butanol dan Sistein Terhadap Kadar Vanillin Pada Pengolahan Panili (Vanilla planifolia Andrews)
PENGARUH AKTIVATOR BUTANOL DAN SISTEIN TERHADAP KADAR VANILLIN PADA PENGOLAHAN PANILI
(Vanilla planifolia Andrews)
Oleh:
Dwi Lestari Rahayu F34101126
2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(2)
PENGARUH AKTIVATOR BUTANOL DAN SISTEIN TERHADAP KADAR VANILLIN PADA PENGOLAHAN PANILI
(Vanilla planifolia Andrews)
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh:
Dwi Lestari Rahayu F34101126
2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(3)
Dwi Lestari Rahayu. F34101126. Pengaruh Aktivator Butanol dan Sistein Terhadap Kadar Vanillin Pada Pengolahan Panili (Vanilla planifolia
Andrews). Di bawah bimbingan Meika Syahbana Rusli dan Dwi Setyaningsih.
RINGKASAN
Panili (Vanilla planifolia Andrews) merupakan salah satu komoditi perkebunan andalan Indonesia sebagai negara produsen panili terbesar kedua setelah Madagaskar. Walaupun demikian Indonesia masih memiliki masalah dalam pengolahan panili yaitu mutu panili hasil olahan berkadar vanillin rendah. Untuk mengatasi mutu panili yang rendah diperlukan pengolahan panili yang dapat menghidrolisis semua senyawa prekursor flavor secara sempurna.
Proses pengolahan panili terdiri dari empat tahap utama yaitu pelayuan (killing), pemeraman (sweating), pengeringan (drying), dan penuaan (conditioning) (Purseglove et al., 1981). Pada proses pengolahan tersebut terjadi hidrolisis senyawa prekursor flavor oleh enzim. Prekursor flavor utama panili adalah glukovanillin dan enzim yang menghidrolisis glukovanillin menjadi vanillin dan glukosa adalah β-glukosidase. Aktivitas enzim β-glukosidase dapat ditingkatkan dengan menggunakan gabungan aktivator enzim butanol dan sistein (Hasmilda, 2004).
Penentuan kondisi perendaman dan pelayuan buah panili dilakukan berdasarkan hasil analisis kadar vanillin buah panili dengan perendaman gabungan butanol 0.3 M dan sistein 1 mM hasil pengolahan 1 (waktu perendaman selama 2 jam pada suhu kamar dengan suhu pelayuan 400C selama 30 menit), pengolahan 2 (dengan waktu perendaman selama 2 jam pada suhu kamar dengan suhu pelayuan 600C selama 3 detik), dan pengolahan 3 (dengan waktu perendaman selama 1 jam pada suhu 400C dengan suhu pelayuan 600C selama 3 menit). Dari hasil analisis kadar vanillin, waktu perendaman selama 2 jam pada suhu ruang dan pelayuan 40oC selama 30 menit merupakan kondisi terbaik.
Pada pengolahan panili penelitian utama digunakan aktivator enzim butanol 0.1 M (B1), 0.2 M (B2), dan 0.3 M (B3), serta sistein 1 mM (S1), 2 mM (S2), dan 3 mM (S3). Pada tahap perendaman dengan larutan aktivator butanol dan sistein kadar vanillin meningkat sebesar 1 hingga 1.8 kali dari buah panili segar. Tahap kadar vanillin rata-rata maksimum yang diperoleh pada tahap pemeraman dihasilkan oleh perlakuan B1S1 (1.24%), B1S2 (1.54%), B1S3 (1.63%), dan B2S2 (1.56%). Tahap kadar vanillin rata-rata maksimum yang diperoleh pada tahap pengeringan hari pertama (K1) adalah perlakuan B3S1 (1.13%), B3S2 (1.82%), dan pada tahap pengeringan hari ke-5 (K5) dihasilkan oleh perlakuan B2S1 (1.46%), B2S3 (1.20%), dan B3S3 (1.36%). Pada pengolahan metode Balitro II kadar vanillin tertinggi dihasilkan pada tahap pengeringan hari ke-6 yaitu sebesar 0.78%.
Tahap kadar gula pereduksi rata-rata maksimum yang diperoleh pada tahap pemeraman dihasilkan oleh perlakuan B1S1 (5.31%), B2S2 (7.20%), dan B2S3 (5.71%). Tahap kadar gula pereduksi rata-rata maksimum yang diperoleh pada tahap pengeringan hari pertama (K1) adalah perlakuan B3S1 (9.03%) dan B3S2 (7.70%). Tahap kadar gula pereduksi rata-rata maksimum yang dihasilkan pada
(4)
tahap pengeringan hari ke-5 (K5) dihasilkan oleh perlakuan B2S1 (6.21%), B3S3 (5.69%), dan pada tahap pengeringan hari ke-6 (K6) dihasilkan oleh perlakuan B1S3 (6.01%) dan B1S2 (5.48%). Kadar gula pereduksi tertinggi yang dihasilkan oleh pengolahan metode Balitro II adalah sebesar 8.93% pada tahap pengeringan hari ke-6.
Perbedaan tahap dihasilkannya kadar vanillin maksimum pada penelitian utama membuat pengaruh perlakuan konsentrasi gabungan aktivator enzim butanol dan sistein tidak terlalu jelas. Bila dilihat dari nilai rata-rata kadar vanillin tahap pemeraman hingga pengeringan hari ke-6 kenaikan konsentrasi butanol cenderung menurunkan kadar vanillin sedangkan peningkatan kadar sistein cenderung meningkatkan kadar vanillin. Berdasarkan nilai rata-rata kadar vanillin pada tahap pemeraman hingga pengeringan hari ke-6 dapat diperoleh kadar vanillin rata-rata terbesar dihasilkan oleh perlakuan B1S3 yaitu sebesar 1.29%.
Konsentrasi butanol dan sistein tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap nilai pH ekstrak panili. Kisaran nilai rata-rata pH selama pengolahan menggunakan aktivator butanol-sistein (pengolahan termodifikasi) adalah sebesar 4.84 hingga 5.23 dengan total asam yang dihasilkan bernilai antara 1.1 hingga 3.3 mol ek/g berat kering. Perubahan jumlah total asam sesuai dengan perubahan nilai pH larutan. Kisaran nilai pH selama pengolahan panili metode Balitro II adalah 5.12 hingga 5.33 dan total asam yang dihasilkan selama pengolahan memiliki rentang antara 1.5 hingga 2.2 mol ek/g berat kering.
Kadar vanillin tertinggi hasil pengolahan termodifikasi dihasilkan oleh perlakuan B3S2 hasil pengeringan hari pertama yaitu sebesar 4.84 kali kadar vanillin buah segar sedangkan metode Balitro II hanya menghasilkan kadar vanillin tertinggi 2.07 kali dari buah segar pada pengeringan hari ke-6. Keunggulan metode termodifikasi lainnya adalah mutu flavor lebih baik dan proses pengolahan yang lebih cepat akibat adanya penggoresan namun penggoresan tersebut menyebabkan kapang lebih mudah tumbuh. Pada tahap akhir pengeringan, kadar air hasil pengolahan Balitro II masih diatas standar. Penggoresan buah panili menyebabkan penurunan kadar air pada pengolahan termodifikasi lebih cepat, namun menyebabkan panili lebih mudah terkontaminasi kapang. Kondisi pemeraman dengan kelembaban yang tinggi pada suhu ruang juga mendukung terjadinya kontaminasi.
Mutu panili kering hasil pengolahan termodifikasi pada penelitian ini belum memenuhi standar mutu panili kering SNI 01-0010-1990. Kontaminasi kapang dan pengeringan ke dua (600C, 3 jam) telah menurunkan mutu flavor panili. Perbaikan kondisi pemeraman dengan mempertahankan suhu 380C dalam kotak pemeraman perlu dilakukan untuk memperkecil kontaminasi kapang. Penggantian pengeringan pada suhu 600C selama 3 jam dengan suhu yang lebih rendah dan kelembaban yang rendah diperlukan agar kerusakan flavor akibat panas dapat diperkecil.
(5)
DWI LESTARI RAHAYU. F34101126. Influence of Butanol and Cysteine to Vanillin Content in Vanilla (Vanilla planifolia Andrews) Curing Process. Under supervision of Meika Syahbana Rusli and Dwi Setyaningsih.
SUMMARY
Vanilla (Vanilla planifolia Andrews) is one of Indonesian important commodity. Indonesia is the second vanilla producer in the world after Madagascar, but Indonesia has a problem with the quality of cured vanilla, which has low vanillin content. Improvement in increasing of cured vanilla quality is needed for vanilla curing process which all flavor precursors had been hydrolyzed.
Vanilla curing process has four important steps. They are killing, sweating, drying, and conditioning (Purseglove et al., 1981). At the vanilla curing proces, flavor precursors are hydrolyzed by enzyme. The most important vanilla flavor precursor is glucovanillin and its hydrolyzing enzyme is β-glucosidase. β -glucosidase activity in vanilla bean can be increased by soaking the vanilla bean in butanol and cysteine solution as enzyme activators (Hasmilda, 2004).
Condition of vanilla bean killing and soaking in curing was ascertained by vanillin content analysis from vanilla curing sample treatment 1 (used 0.3 M butanol and 1 mM cysteine with 2 hours soaking at room temperature, and killing temperature at 40oC in 30 minutes), treatment 2 (used 0.3 M butanol and 1 mM cysteine with 2 hours soaking at room temperature and killing at 60oC in 3 minutes), and treatment 3 (used 0.3 M butanol, 1 mM cysteine with one hours soaking at 40oC and killing at 60oC in 3 minutes). From vanillin analysis, the best temperature for soaking process was room temperature for 2 hours and the best temperature for killing was 40oC for one hour.
To find the influence of butanol and cysteine in vanilla modified curing, butanol (0.1 M (B1), 0.2 M (B2), and 0.3 M (B3)) and cysteine (1 mM (S1), 2 mM (S2), and 3 mM (S3)) were used. At the soaking stage with butanol-cysteine solution, vanillin content increased 100% to 180% from vanillin content in fresh vanilla bean. The maximum vanillin content, which was resulted at sweating stage were from B1S1 treatment (1.24%), B1S2 (1.54%), and B2S2 (1.56%). The maximum vanillin content which was resulted at first day of drying are from B3S1 (1.13%), B3S2 (1.82%), and at the fifth day of drying were resulted by B2S1 (1.46%), B2S3 (1.20%), and B3S3 (1.36%). Balitro II curing method increased vanillin content lower than modified curing, that was 0.78% at sixth day of drying.
The maximum reducing sugar, which was resulted at sweating stage were from B1S1 treatment (5.31%), B2S2 (7.20%), and B2S3 (5.71%). The reducing sugar, which was resulted at first day of drying were from B3S1 (9.03%) dan B3S2 (7.70%). The reducing sugar which was resulted at the fifth day of drying were resulted by B2S1 (6.20%), B3S3 (5.69%), and at sixth day of drying were B1S3 (6.01%) and B1S2 (5.48%). Balitro II curing could increase reducing sugar until 8.93% at sixth day of drying.
(6)
The maximum vanillin content of modified curing was different and it made the influence of butanol and cysteine could not be seen clearly. From vanillin content average at sweating stage until the sixth day drying, the increase of butanol concentration made vanillin content decreased while increasing cysteine concentration made vanillin content increased. The highest average vanillin content at that stage was 1.29 % as B1S3 treatment result.
Butanol and cysteine concentration did not differ signifficantlyin pH value of vanilla extract. The range of pH value average in modified curing were 4.84 to 5.23. The range of average total acid were 1.1 to 3.3 mol ek/g db. The change of total acid influenced the pH. In Balitro II vanilla exstract, the range of pH value average were 5.12 to 5.33 and average acid total number range were 1.5 to 2.2 mol ek/g db.
The highest vanillin content in modified curing was result by the first drying stage of B3S2 treatment which was 385% higher than vanillin content in fresh vanilla bean. Balitro II method could increase vanillin content until 107% higher than fresh vanilla bean in the sixth day of drying. Modified curing also faster than Balitro II. At the end of curing process, water content of vanilla bean which was resulted by Balitro II curing process was higher than water content of modified cured vanilla. In modified curing, vanilla bean scratching made the water content decreased faster than Balitro II method but it made the bean easy to contaminate by mold. Sweating condition with high humidity at room temperature also supported mold contamination.
Cured vanilla from modified curing process on this research have not fulfill cured vanilla standard (SNI 01-0010-1990). Mold contamination and the second drying stage with 600C temperature for 3 hours had been decreased vanilla flavor quality. Improvement in sweating stage which is keep the sweating temperature in sweating box at 380C is needed to avoid mold contamination. The second drying stage condition also need to be changed with lower temperature and low humidity to minimize flavor component destruction.
(7)
PENGARUH AKTIVATOR BUTANOL DAN SISTEIN TERHADAP KADAR VANILLIN PADA PENGOLAHAN PANILI
(Vanilla planifolia Andrews)
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh:
Dwi Lestari Rahayu F34101126
2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(8)
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PENGARUH AKTIVATOR BUTANOL DAN SISTEIN TERHADAP KADAR VANILLIN PADA PENGOLAHAN PANILI
(Vanilla planifolia Andrews)
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh:
Dwi Lestari Rahayu F34101126
Dilahirkan pada tanggal 22 Desember 1982 Di Subang
Tanggal lulus: Februari 2006
Disetujui, Bogor, Februari 2006
Dr. Ir. Meika Syahbana Rusli, MSc. Ir. Dwi Setyaningsih, Msi. Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
(9)
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul:
“PENGARUH AKTIVATOR BUTANOL DAN SISTEIN TERHADAP KADAR VANILLIN PADA PENGOLAHAN PANILI
(Vanilla planifolia Andrews) ”
adalah karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali dengan jelas ditunjukkan rujukannya.
Bogor, Januari 2006 Yang membuat pernyataan,
Dwi Lestari Rahayu NRP F34101126
(10)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas karunia dan kasihNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Meika Syahbana Rusli, MSc dan Ir. Dwi Setyaningsih, MSi sebagai dosen pembimbing atas bimbingan dan arahan yang diberikan.
2. Ir. Sugiarto yang telah memberikan banyak masukan dalam perbaikan skripsi ini.
3. Kedua orang tua dan saudara penulis atas segala doa, dukungan, dan perhatian.
4. Mrs. Mizue Hara, Mr. Hara, Mr. Charles Pollard, Mrs. Tina Pollard, and Mr. John Pollard. Thank you for your trustee, kindness and your support.
5. Melawati, Nurmalia, Manda, Feby, Sri Windarwati, Fridayani, serta teman-teman TIN 38. Terima kasih atas bantuan dan persahabatannya.
Skripsi ini kemungkinan besar masih memiliki kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat diharapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Bogor, Januari 2006 Penulis
(11)
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... ii
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR ... iv
DAFTAR LAMPIRAN ... v
I. PENDAHULUAN ... 1
A. LATAR BELAKANG ... 1
B. TUJUAN ... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4
A. TANAMAN PANILI ... 4
B. PENGOLAHAN PANILI (CURING) ... 6
C. PEMBENTUKAN FLAVOR PANILI ... 8
D. PENGOLAHAN PANILI TERMODIFIKASI ... 11
III. METODOLOGI PENELITIAN ... 13
A. BAHAN DAN ALAT ... 13
1. Bahan-bahan ... 13
. 2. Alat-Alat ... 13
B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ... 13
C. METODE PENELITIAN ... 13
1. Penelitian Pendahuluan ... 13
2. Penelitian Utama ... 14
3. Analisis Hasil Pengolahan Panili ... 16
D. RANCANGAN PERCOBAAN ... 19
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20
A. PENELITIAN PENDAHULUAN ... 20
B. PENELITIAN UTAMA ... 22
1. PENGOLAHAN PANILI TERMODIFIKASI ... 22
a. Pengaruh Butanol dan Sistein Terhadap Kadar Vanillin Selama Proses Pengolahan Panili Termodifikasi ... 22
(12)
b. Pengaruh Butanol dan Sistein Terhadap Kadar Gula
Pereduksi Selama Proses Pengolahan Panili Termodifikasi .. 29
c. Pengaruh Butanol dan Sistein Terhadap Nilai pH Selama Proses Pengolahan Panili Termodifikasi ... 33
d. Pengaruh Butanol dan Sistein Terhadap Nilai Total Asam Selama Proses Pengolahan Panili Termodifikasi ... 35
2. PENGOLAHAN PANILI METODE BALITRO II ... 38
a. Perubahan Kadar Vanillin Pengolahan Panili Metode Balitro II ... 38
b. Perubahan Kadar Gula Pereduksi Pengolahan Panili Metode Balitro II ... 39
c. Perubahan Nilai pH Pengolahan Panili Metode Balitro II .... 40
d. Perubahan Nilai Total Asam Pengolahan Panili Metode Balitro II ... 41
3. PERBANDINGAN HASIL PENGOLAHAN PANILI METODE BALITRO II DENGAN PENGOLAHAN TERMODIFIKASI ... 42
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 48
. A. KESIMPULAN ... 48
B. SARAN ... 49
DAFTAR PUSTAKA ... 50
(13)
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Komposisi kimia buah panili segar ... 5 Tabel 2. Senyawa glukosida pada buah panili segar ... 8 Tabel 3. Hasil analisis GC-MS senyawa penyusun flavor panili hasil
pengolahan panili pengeringan hari ke-10 ... 45 Tabel 4 a. Perbandingan syarat umum mutu panili kering standar
mutu SNI 01-0010-1990 dengan hasil pengolahan
termodifikasi perlakuan B1S3 ... 46 Tabel 4 b. Perbandingan syarat mutu panili kering standar mutu
SNI 01-0010-1990 dengan hasil pengolahan
(14)
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Gambar penampang buah panili ... 5 Gambar 2. Mekanisme hidrolisis glukovanillin oleh β-glukosidase ... 9 Gambar 3. Diagram pembentukan senyawa penyusun flavor
dan aroma panili ... 10 Gambar 4. Diagram proses pengolahan panili penelitian pendahuluan ... 17 Gambar 5. Diagram proses pengolahan panili penelitian utama ... 18 Gambar 6. Perubahan kadar vanillin selama proses pengolahan
panili termodifikasi penelitian pendahuluan ... 20 Gambar 7 Perubahan kadar vanillin selama proses pengolahan
panili termodifikasi ... 23 Gambar 8. Skema oksidasi vanillin secara enzimatik ... 26 Gambar 9. Diagram kadar vanillin rata-rata tahap pemeraman hingga
pengeringan hari ke-6 pengolahan panili termodifikasi ... 28 Gambar 10. Perubahan kadar gula pereduksi selama proses
pengolahan panili termodifikasi ... 30 Gambar 11. Diagram rata-rata kadar gula pereduksi tahap pemeraman
hingga pengeringan hari ke-6 pengolahan
panili termodifikasi ... 32 Gambar 12. Perubahan nilai pH selama proses pongalahan
panili termodifikasi ... 34 Gambar 13. Perubahan nilai total asam selama proses pengolahan
panili termodifikasi ... 36 Gambar 14. Perubahan kadar vanillin selama proses
pengolahan panili metode Balitro II ... 38 Gambar 15. Perubahan kadar gula pereduksi selama proses
pengolahan panili metode Balitro II ... 40 Gambar 16. Perubahan nilai pH selama proses pengolahan panili
metode Balitro II ... 41 Gambar 17. Perubahan nilai total asam selama proses pengolahan
panili metode Balitro II. ... 42 Gambar 18. Perubahan rata-rata kadar air selama pengolahan panili ... 43
(15)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Metode ekstraksi panili ... 53
Lampiran 2. Prosedur analisis ... 54
Lampiran 3. Kurva standar vanillin ... 57
Lampiran 4. Kurva standar glukosa ... 58
Lampiran 5. Hasil analisis kadar vanillin penelitian pendahuluan ... 58
Lampiran 6 Hasil analisis kadar vanillin dan gula pereduksi penelitian utama ... 61
Lampiran 7. Hasil analisis nilai pH penelitian utama ... 75
Lampiran 8. Hasil analisis nilai total asam penelitian utama ... 76
Lampiran 9. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi butanol dan sistein terhadap kadar vanillin pada tahap pemeraman ... 89
Lampiran 10. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi butanol dan sistein terhadap kadar vanillin pada tahap pengeringan hari pertama ... 89
Lampiran 11. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi butanol dan sistein terhadap kadar vanillin pada tahap pengeringan hari ke-5 ... 89
Lampiran 12. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi butanol dan sistein terhadap kadar vanillin pada tahap pengeringan hari ke-6 ... 90
Lampiran 13. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi butanol dan sistein terhadap kadar vanillin pada tahap pengeringan hari ke-10 ... 90
Lampiran 14. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi butanol dan sistein terhadap kadar gula pereduksi pada tahap pemeraman ... 90
Lampiran 15 a. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi butanol dan sistein terhadap kadar gula pereduksi pada tahap pengeringan hari pertama ... 91
Lampiran 15 b. Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi butanol dan sistein terhadap kadar gula pereduksi pada tahap pengeringan hari pertama ... 91
Lampiran 16. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi butanol dan sistein terhadap kadar gula pereduksi pada tahap pengeringan hari ke-5 ... 91
(16)
Lampiran 17. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi butanol dan sistein terhadap kadar gula pereduksi pada tahap
pengeringan hari ke-6 ... 92
Lampiran 18 a. Analisis varian perlakuan pengolahan termodifikasi dan Balitro II terhadap kadar vanillin tahap pemeraman hingga pengeringan hari ke-6 ... 92
Lampiran 18 b. Uji lanjut Duncan perlakuan pengolahan termodifikasi dan Balitro II terhadap kadar vanillin tahap pemeraman hingga pengeringan hari ke-6 ... 92
Lampiran 19. Perbandingan rata-rata dan standar deviasi kadar vanillin tahap pemeraman hingga pengeringan hari ke-6 metode termodifikasi dan metode Balitro II ... 93
Lampiran 20. Gambar buah panili segar ... 94
Lampiran 20. Gambar proses perendaman dalam larutan aktivator butanol-sistein ... 94
Lampiran 21. Gambar proses pelayuan ... 94
Lampiran 22. Gambar alat pengering ... 95
Lampiran 23. Gambar kotak pemeraman ... 95
Lampiran 24. Gambar panili kering ... 96
Lampiran 25. Gambar proses maserasi panili dan potongan panili kering .. 96
(17)
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Panili (Vanilla planifolia Andrews) merupakan salah satu komoditi perkebunan andalan Indonesia. Indonesia memenuhi 21% kebutuhan panili dunia dan menjadi negara produsen panili ke dua terbesar di dunia setelah Madagaskar. Kebutuhan panili dunia pada tahun 2001 mencapai 2300 ton. Amerika Serikat merupakan negara konsumen panili terbesar di dunia diikuti Eropa dan Jepang. Impor panili Amerika Serikat terus meningkat dari tahun 2001 hingga 2003 dengan nilai US$ 126.45 juta, US$ 162.53 juta, dan US$ 289.41 juta. Selama periode Januari-Oktober 2004 terjadi penurunan impor panili dunia sebesar 19.98% dibandingkan periode yang sama tahun 2003. Penurunan impor tersebut diikuti pula oleh penurunan impor panili Indonesia oleh Amerika Serikat sebesar 52.53%, namun impor panili Amerika Serikat dari Komoro dan India meningkat masing-masing sebesar 34.02% dan 163.33% (BPEN, 2004).
Menurut Tombe et al. (2001), permasalahan yang menyebabkan turunnya pangsa pasar panili Indonesia adalah mutu dan produktivitasnya yang masih rendah. BPEN (2004) juga menyatakan bahwa salah satu permasalahan panili Indonesia adalah mutunya yang rendah. Amerika Serikat sangat mementingkan mutu panili kering dengan kadar vanillin yang tinggi.
Rendahnya mutu panili Indonesia disebabkan karena pada umumnya panili dipetik pada waktu sangat muda dan waktu pengolahan yang lebih pendek dari seharusnya, sehingga menjadikan panili lebih keras dan flavor panili cenderung ke arah fenol. Salah satu cara untuk meningkatkan mutu panili kering adalah perbaikan dalam pengolahan panili. Menurut Setyaningsih (2003), teknologi pengolahan panili perlu dikembangkan untuk memperoleh kadar vanillin yang sesuai dengan potensinya dimana semua senyawa prekursor flavor yang terikat dapat terhidrolisis secara sempurna.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk meningkatkan kadar vanillin dengan cara meningkatkan aktivitas enzim β-glukosidase yang
(18)
menghidrolisis senyawa glikosida buah panili. Salah satu penelitian untuk meningkatkan aktivitas enzim β-glukosidase adalah penggunaan aktivator enzim dalam pengolahan buah panili. Berdasarkan penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa aktivator enzim yang dapat meningkatkan aktivitas enzim β-glukosidase adalah dithiotreitol (DTT), sistein, dan butanol (Setyaningsih, 2003). Dari ke tiga aktivator tersebut Hasmilda (2004) menyatakan bahwa gabungan aktivator butanol dan sistein adalah gabungan aktivator terbaik. Dengan konsentrasi butanol 0.3 M dan sistein 1 mM diperoleh kadar vanillin sebesar 2.8%, sedangkan buah panili yang diolah tanpa aktivator enzim menghasilkan vanillin sebesar 0.8% (Setyaningsih, 2003).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hasmilda (2004) maka modifikasi pengolahan panili dengan penggunaan aktivator enzim butanol dan sistein berpeluang diterapkan untuk meningkatkan mutu panili kering. Walaupun demikian pada penelitian tersebut gabungan aktivator butanol dan sistein yang digunakan hanya gabungan butanol 0.3 M dan sistein 1 mM. Pengaruh konsentrasi butanol dan sistein dalam gabungan aktivator enzim belum diketahui.
Selain hal di atas, hasil penelitian ini memungkinkan diperolehnya informasi penggunaan konsentrasi aktivator butanol yang lebih rendah dari 0.3 M. Pada penggunaan konsentrasi butanol 0.3 M dalam pengeringan termodifikasi, butanol masih terdeteksi pada ekstrak panili. Panili yang digunakan sebagai bahan tambahan makanan sangat mementingkan keamanan bahan makanan dimana tidak terdapat senyawa asing pada bahan pangan tersebut.
(19)
B. TUJUAN
Tujuan yang diinginkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Memperoleh konsentrasi butanol dan sistein terbaik untuk memperoleh
kadar vanillin maksimal.
2. Memperoleh hasil perbandingan pengolahan panili termodifikasi dengan metode Balitro II.
(20)
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. TANAMAN PANILI
Tanaman panili berasal dari Meksiko, Amerika Tengah. Tanaman panili termasuk anggota famili Orchidaceae dan terdiri dari 110 spesies yang telah teridentifikasi. Ada tiga spesies tanaman panili yang penting karena bernilai ekonomis yaitu Vanilla fragrans (Salisbury) Ames atau Vanilla planifolia Andrews, V. pompona Schiede, dan V. tahitensis J. W. Moore. Diantara ke tiga spesies tersebut V. planifolia Andrews adalah tanaman panili yang sangat bernilai karena kualitas flavornya sehingga dibudidayakan secara meluas dan digunakan untuk produksi bahan tambahan pangan (Rao dan Ravishankar, 2000).
Tanaman panili (Vanilla planifolia Andrews) merupakan tanaman daerah iklim tropis dan hidup di dataran rendah sampai 600 m di atas permukaan laut. Tanaman panili dibudidayakan di daerah dengan rata-rata curah hujan tahunan antara 2000 hingga 2500 mm. Rata-rata temperatur minimum adalah 210C dan maksimum 320C (Purseglove et al., 1981). Secara komersil tanaman panili diperbanyak secara vegetatif dengan pemotongan batang (stem cutting). Potongan batang tersebut ditanam bersama pohon penunjang yang melindunginya serta membantu tanaman panili merambat (Dignum et al. 2001).
Bunga panili tumbuh dua hingga tiga tahun setelah penanaman. Bunga panili berwarna kuning kehijauan dengan panjang bunga 10 cm. Struktur bunga panili yang tertutup menyulitkan bunga panili melakukan penyerbukan sendiri. Penyerbukan buatan dilakukan dengan menggunakan stik bambu (Rao dan Ravishankar, 2000).
Buah panili yang matang akan dihasilkan setelah 10-12 bulan dari penyerbukan. Buah panili matang memiliki bentuk memanjang dengan tiga sisi, panjang 10-25 cm, diameter 5-15 mm dan berwarna hijau kekuningan dengan bobot 15 hingga 30 gram (Rao dan Ravishankar, 2000). Komposisi kimia buah panili segar dapat dilihat pada Tabel 1.
(21)
Tabel 1. Komposisi kimia buah panili segar. Komposisi kimia Kandungan (%)
Air 78-82 Karbohidrat 8-20
Lemak 4-15 Kalium 0.005 Kalsium 0.003 Klor 0.0024 Nitrogen 0.004 Magnesium 0.0015 Sumber: Purseglove et al. (1981).
Buah panili terdiri dari dua bagian penting. Bagian pertama adalah bagian kulit buah atau wilayah ‘hijau’ yang terdiri dari epidermis, jaringan penyangga dan jaringan pembuluh. Bagian ke dua adalah wilayah ‘putih’ yang tersusun oleh tiga periental placentae (tidak termasuk biji), dan tiga penghalang rambut glandula antara bagian pertama dan ke dua (papila) (Havkin-Frenkel et al., 2004). Gambar penampang buah panili diperlihatkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Penampang buah panili (Havkin-Frenkel et al., 2004) Pada buah segar flavor panili masih terdapat dalam bentuk prekursor flavor. Prekursor flavor utama buah panili adalah glukovanillin. Prekursor
Korteks Sel rambut Biji Jaringan plasental
(22)
vanillin berada pada plasenta dan sedikit berada di papila (Odoux, et al., 2003). Hal tersebut juga dinyatakan oleh Havkin-Frenkel et al. (2004), yang menyatakan bahwa prekursor flavor terakumulasi pada jaringan plasental di sekitar biji di bagian dalam lapisan buah.
Flavor panili akan timbul pada buah yang telah lewat matang atau buah yang telah mengalami proses pengolahan dimana hidrolisis senyawa prekursor flavor terjadi. Untuk menghasilkan flavor pada buah panili maka kontak antara prekursor flavor dan enzim yang mengkatalis hidrolisis prekursor diperlukan. Enzim yang menghidrolisis glukovanillin adalah β-glukosidase. Aktivitas β-glukosidase berada pada jaringan yang sama dengan glukovanillin. β-glukosidase terutama berada di bagian plasental dan papila, namun dapat ditemukan pula di bagian dekat kulit buah dimana glukovanillin tidak ditemukan. Dilihat dari letaknya maka enzim dan substrat berada pada jaringan yang sama. Walaupun demikian enzim dan substrat berada pada ruangan sel yang berbeda yaitu sitoplasma atau periplasmik untuk β-glukoidase dan vakuola untuk glukovanillin (Odoux et al., 2003).
Hidrolisis glukovanillin terjadi dapat disebabkan oleh perubahan tonoplas, membran sitoplasma, dan dinding sel. Perubahan tersebut terjadi pada saat pengolahan panili yang menyebabkan perusakan struktur jaringan pada tingkat membran dan dinding sel (Odoux et al., 2003). Tahap hidrolisis sangat penting untuk kualitas aroma produk akhir panili. Buah panili tanpa mengalami proses pengolahan tidak akan menghasilkan aroma yang baik. Proses dihasilkannya flavor buah panili terjadi bila buah panili mengalami proses pengolahan atau ‘curing’.
B. PENGOLAHAN PANILI (CURING)
Buah panili segar tidak memiliki aroma. Aroma khas panili yang menyebabkan buah panili bernilai tinggi terdapat pada buah panili yang telah mengalami proses pengolahan (curing). Pengolahan buah panili bertujuan untuk menghentikan pertumbuhan vegetatif buah dan mempermudah reaksi pembentukan komponen aroma yang sangat penting (Dignum et al., 2001).
(23)
Metode pengolahan buah panili di setiap daerah penghasil panili di dunia bervariasi. Metode pengolahan panili secara tradisional menurut Ranadive (1994) yang paling banyak digunakan adalah metode Bourbon, Meksiko, Tahiti, dan Guadaloupe. Di Indonesia metode pengolahan panili yang digunakan mengikuti metode Bourbon.
Walaupun metode pengolahan buah panili bervariasi, terdapat empat tahap pengolahan yang sama. Empat tahap tersebut adalah pelayuan (killing), pemeraman (sweating), pengeringan (drying), dan penuaan (conditioning). 1. Pelayuan (killing)
Buah panili hasil sortasi dilayukan untuk menghentikan pertumbuhan vegetatif dan untuk merusak struktur sel. Pelayuan akan merusak fungsi respirasi dengan merusak membran sel (Rao dan Ravishankar, 2000). Proses pelayuan juga berfungsi menjalankan reaksi enzimatis yang berperan dalam pembentukan aroma dan flavor serta mempermudah proses pengeringan. Proses ini diindikasikan dengan pembentukan warna coklat pada buah (Hayani dan Fatimah, 2002).
Ada beberapa metode pelayuan yang biasa dilakukan. Metode pelayuan tersebut adalah pelayuan dengan menggunakan panas matahari (sun killing), oven (oven killing), air panas (hot water killing), penggoresan buah (killing by scratching), dan pembekuan (killing by freezing). Metode pelayuan yang praktis dan paling banyak dilakukan adalah pelayuan dengan panas matahari, oven, dan air panas (Ranadive, 1994).
2. Pemeraman (sweating)
Menurut Havkin-Frenkel et al. (2004), pada tahap pemeraman buah panili yang telah dilayukan mengalami perkembangan karakteristik flavor panili, aroma, dan warna. Kegunaan pemeraman adalah untuk mencapai kelembaban yang cukup agar enzim dapat mengkatalisis berbagai proses
hidrolitik dan oksidatif. 3. Pengeringan (drying)
Pada akhir tahap pemeraman, buah panili menjadi berwarna coklat dan telah mengembangkan sebagian besar karakteristik aroma dan flavor
(24)
panili. Buah panili pada tahap tersebut masih memiliki kadar air 60-70%. Pada tahap pengeringan kadar air buah panili diturunkan sehingga tidak mudah terkena jamur terutama pada waktu penyimpanan dan pengangkutan selama distribusi (Havkin-Frenkel et al., 2004). Pengeringan ini dilakukan hingga kadar air panili mencapai 30-25% (Ranadive, 1994).
4. Penuaan (conditioning)
Penyimpanan bertujuan menyempurnakan aroma panili setelah dikeringkan. Penyimpanan panili dilakukan pada kotak tertutup dalam jangka waktu tiga bulan atau lebih hingga memenuhi aroma dan flavor yang diharapkan.
C. PEMBENTUKAN FLAVOR PANILI
Menurut Dignum et al. (2001), komponen pembentuk flavor berada pada buah segar dalam bentuk glukosida. Glukosida merupakan senyawa turunan gula yang memiliki gugus senyawa yang disebut aglikon pada atom oksigen anomernya (Kennedy, 1990). Tabel 2. menunjukkan glukosida yang terdapat pada buah panili segar hasil identifikasi Kanisawa di dalam Dignum et al. (2001).
Tabel 2. Senyawa glukosida pada buah panili segar
Glukovanillin Methyl-4-β-D-glucopyranosyloxybenzoate Methyl-4-β-glucopyranosyloxy
ferulate
β-Phenylethyl-β-D-glucopyranoside 4-Methylphenyl-β
-D-glucopyranoside
Bis-[4-(β-D-Glucopyranosyloxy)-benzyl ]-2-isopropyltartrate (glucoside A)
4-Formylphenyl-β -D-glucopyranoside
Bis[4-(β-D-Glucopyranosyloxy)-benzyl ]-2-(2-butyl)tartrate (glucoside B)
4-Hydroxymethylphenyl-β -D-glucopyranoside
Methyl-2-β-D-glucopyranosyloxybenzoate
Sumber : Dignum et al. (2001)
Glukosida utama buah panili adalah glukovanillin (Rao dan Ravishankar, 2000). Proses enzimatis pada glukovanillin menghasilkan vanillin yang menjadi komponen penyusun flavor utama panili. β-glukosidase bersama hesperdinase, peroksidase, dan polifenolase adalah senyawa yang
(25)
CHO
OCH3 HO
HO
OH OH
H
HO HO
OH OH
H H
HO HO
OH OH
OH CHO
OCH3 HO
H Glukovanillin
Glukosa Vanillin
mengkatalisis senyawa glukovanillin (Bennet dan Khnorr, 1989 di dalam Hanum, 1997). Pada proses pelayuan (killing)yang merusak dinding sel buah, enzim β-glukosidase dapat bertemu dengan substrat dan proses biosintesis vanillin dimulai (Dignum et al., 2001). Proses pembentukan flavor vanillin terus dilanjutkan hingga tahap pemeraman. Pada tahap tersebut berlangsung hidrolisis glukovanillin oleh β-glukosidase.
Pada proses hidrolisis glukosida, hidrolisis ikatan glikosidik terjadi melalui dua jalur mekanisme utama dimana keseluruhan prosesnya menghasilkan produk retensi konfigurasi dari karbon anomernya (Shallom, 2002). Pada kedua mekanisme, proses hidrolisis membutuhkan dua asam karboksilat di dalam glukosida hidrolase dan prosesnya terjadi melalui suatu keadaan transisi seperti ion oksokarbenium yang dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Mekanisme hidrolisis glukovanillin oleh β-glukosidase (Shallom, 2002)
Pada mekanisme pertama terjadi glikosidasi dimana residu asam atau basa berperan sebagai asam yang memprotonisasi oksigen glikosidik. Selanjutnya residu nukleofilik menyerang karbon anomerik membentuk kovalen intermediat glikosil-enzim dengan konfigurasi anomerik yang berlawanan dengan substrat. Tahap ke dua terjadi deglikosidasi. Residu asam atau basa dalam hal ini berperan sebagai basa yang mengaktifkan molekul air dan menyerang pusat anomerik dari intermediat glikosil-enzim yang kemudian melepaskan gula bebas.
(26)
hidrolisis enzim
oksidatif enzim enzim
Flavor yang diperoleh dari hasil pengolahan panili terdiri dari senyawa volatil dan senyawa non volatil (Purseglove et al., 1981). Komponen volatil terdiri dari senyawa-senyawa yang termasuk golongan karbonil, alkohol aromatik, asam aromatik, ester aromatik, fenol, alkohol alifatik, lakton, hidrokarbon aromatik, hidrokarbon alifatik, dan terpenoid. Senyawa non volatil yang mempengaruhi karakteristik flavor panili adalah tannin, polifenol, resin, dan asam amino bebas (Rao dan Ravishankar, 2000).
Senyawa yang menjadi penentu utama karakteristik organoleptik flavor panili adalah golongan senyawa volatil. Komponen penyusun senyawa volatil terdiri dari empat senyawa utama. Keempat senyawa tersebut adalah vanillin (sekitar 2%), p-hydroxybenzaldehyde (0.2%), p-hydroxy benzyl methyl ether (0.02%), dan asam asetat (0.02%). Senyawa volatil lainnya terdapat dalam jumlah kurang dari 10 ppm (Dignum, 2001).
Menurut Kerler (1997), berdasarkan senyawa volatil yang telah teridentifikasi memungkinkan reaksi Maillard, lipidperoksidasi dan reaksi radikal lainnya seperti degradasi karoten terlibat dalam proses pengolahan panili. Komponen pembentuk aroma lainnya menurut Hanum (1997) terbentuk dari penguraian sebagian vanillin dan asam organik oleh enzim oksidase. Proses pembentukan senyawa turunan panili dapat dilihat pada Gambar 3.
H O H O β-glukosidase
C6H12O6 +
OCH3 OCH3 O-C6H11O5 OH Glukovanillin Glukosa Vanillin oksidatif enzim
Pigmen stabil Senyawa turunan oksidatif
transformasi
non enzimatis
Senyawa turunan aromatis Gambar 3. Pembentukan senyawa penyusun flavor dan aroma panili
(Purseglove et al., 1981) oksidatif
(27)
Setelah terjadinya proses hidrolisis glukosida, senyawa vanillin maupun senyawa fenol hasil hidrolisis mengalami oksidasi oleh enzim oksidasi menjadi senyawa komponen aromatik lainnya, quinon, atau pigmen stabil. Senyawa aromatik tersebut diantaranya adalah asam benzoat, asam vanilat, alkohol dan asam organik lainnya yang akan mempertegas aroma khas panili alami yang tidak mungkin ditemukan pada vanillin sintesis. Sebagian dari produk tersebut kemudian mengalami perubahan non enzimatis menghasilkan aroma khas panili (Purseglove et al., 1981).
D. PENGOLAHAN PANILI TERMODIFIKASI
Perbaikan mutu panili dilakukan untuk mendapatkan kadar vanillin yang tinggi sebagai senyawa terpenting penyusun aroma dan flavor panili. Penelitian untuk meningkatkan reaksi enzimatis yang menghidrolisis glukovanillin menjadi glukosa dan vanillin untuk meningkatkan kadar vanillin telah dilakukan. Menurut Setyaningsih et al. (2003), untuk memproduksi flavor panili melalui hidrolisis enzimatis dapat digunakan β-glukosidase, pektinase, dan hemiselulase dari buah panili yang dihancurkan.
Penelitian yang dilakukan Teran et al. (2001) menunjukkan bahwa penggunaan viscozyme dan enzim selulase pada ekstrak buah panili dapat meningkatkan ekstraksi glukovanillin dan konversinya menjadi vanillin. Penelitian hidrolisis enzimatis yang dilakukan oleh Ranavide (1992) menunjukkan bahwa kadar vanillin meningkat 24% dengan penggunaan β-glukosidase eksogenous sedangkan penggunaan pektinase oleh Mane dan Zucca (1993), juga menunjukkan peningkatan kadar vanillin sebesar 14%. Menurut Setyaningsih et al. (2003), proses produksi flavor panili dari ke tiga hidrolisis dengan enzim pada ekstrak buah panili tersebut tidak popular diaplikasikan karena senyawa aromatik selain vanillin tidak terbentuk sehingga aroma dan flavor yang dihasilkan berbeda dengan ekstrak panili asli.
Metode lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kadar vanillin adalah pengolahan panili termodifikasi. Pengolahan termodifikasi dilakukan untuk menciptakan kondisi optimum bagi aktivitas enzim. Berdasarkan Setyaningsih et al. (2003), pengolahan termodifikasi dilakukan dengan tahap
(28)
penggoresan (scratching) dan perendaman dalam aktivator enzim sebelum proses pelayuan, pemeraman, pengeringan dan penuaan. Penggunaan aktivator enzim pada proses perendaman buah panili berfungsi meningkatkan aktivitas katalisis enzim β-glukosidase.
Menurut Webb (1963), senyawa aktivator adalah senyawa yang secara kimiawi tidak mempengaruhi reaksi, namun adanya senyawa ini dapat meningkatkan kecepatan katalisis enzim. Senyawa aktivator berfungsi membantu pengikatan substrat oleh enzim atau sebagai penstabil kompleks enzim-substrat dalam reaksi. Senyawa yang dapat digunakan sebagai aktivator enzim β-glukosidase berdasarkan hasil penelitian Hasmilda (2004) adalah butanol, sistein, dan dithiotreitol (DTT). Berdasarkan kombinasi gabungan aktivator tersebut diperoleh hasil bahwa gabungan aktivator butanol dan sistein merupakan gabungan aktivator enzim yang terbaik bagi pengolahan panili termodifikasi.
Butanol atau n-butil alkohol (CH3(CH2)2CH2OH) termasuk jenis pelarut organik. Menurut Kwon et al. (1995), penggunaan pelarut organik dalam reaksi enzimatis memberikan keuntungan antara lain adalah kelarutan substrat-organik dan enzim lebih tinggi dibandingkan dengan air serta meningkatkan kestabilan enzim dalam pelarut. Butanol juga dapat meningkatkan reaksi enzimatis. Menurut Glew et al. (1993), enzim cenderung menggunakan alkohol dibandingkan air sebagai penerima bagian glikosil pada reaksi hidrolisis pnpg sehingga meningkatkan reaksi enzimatis.
Sistein (C3H7NO2S), termasuk asam amino nonesensial dalam pertumbuhan sel dan memiliki karakter berupa kristal putih, bersifat higroskopis, larut dalam air dan alkohol (Hawley, 1981). Di dalam aktivitas enzim, sistein tidak berhubungan langsung dengan proses katalisis tetapi dengan kestabilan struktur enzim. Molekul sistein bersifat netral dan cenderung hidrofobik. Kondisi hidrofobik di sekitar sistein dapat mencegah kerusakan enzim akibat oksidasi (Nosoh dan Sekiguchi, 1991).
(29)
III.METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan-Bahan
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah panili yang diperoleh dari Pulau Selayar, Sulawesi Selatan dan kebun panili di Kecamatan Parung Kuda, Sukabumi dengan umur buah 7-8 bulan. Bahan-bahan kimia yang digunakan adalah butanol, sistein, larutan vanillin standar, larutan glukosa standar, NaOH, etanol, pereaksi DNS, Pb asetat, dan natrium oksalat.
2. Alat-Alat
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi oven vakum, oven merk Ikeda Scientific tipe SS-105D, waterbath, kotak pemeraman, jarum, blender, spektrofotometer double beam, cawan aluminium, pipet mikro, desikator, pH meter, termometer, refrigerator, freezer, neraca analitik, dan peralatan gelas.
B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN
Penelitian dilakukan mulai Maret hingga September 2005 di Laboratorium Pengawasan Mutu, Laboratorium Pengemasan, Laboratorium Teknologi Kimia, dan Laboratorium DIT Departemen Teknologi Industri Pertanian, FATETA IPB, serta Laboratorium Mutu dan Kemanan Pangan, SEAFAST Center, IPB.
C. METODE PENELITIAN 1. Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan suhu dan lama perendaman buah dalam larutan aktivator enzim dan menentukan suhu pelayuan terbaik pada pengolahan panili termodifikasi. Buah panili yang digunakan pada penelitian pendahuluan berasal dari Pulau Selayar Sulawesi Selatan. Sebelum diproses, buah panili dicuci hingga bersih kemudian ditiriskan dan ditimbang. Sebelum dilakukan perendaman
(30)
dengan aktivator enzim, buah panili disayat dengan jarum steril searah panjang buah sebanyak tiga buah sayatan.
Pada penelitian pendahuluan ini dilakukan pengamatan terhadap kadar vanillin hasil pengolahan panili dengan perlakuan kondisi perendaman dan pelayuan yang berbeda. Pengolahan panili termodifikasi pertama adalah pengolahan dengan perendaman buah panili pada larutan butanol 0.3 M dan sistein 1 mM selama dua jam pada suhu ruang dan pelayuan panili dalam air bersuhu 40oC selama 30 menit. Pengolahan kedua adalah pengolahan termodifikasi dengan perendaman buah panili dalam larutan butanol 0.3 M dan sistein 1 mM selama dua jam pada suhu ruang dengan pelayuan panili dalam air bersuhu 60oC selama tiga menit. Pengolahanan ke tiga adalah perendaman buah panili dalam larutan butanol 0.3 M dan sistein 1 mM pada suhu 40oC selama satu jam dan dilayukan dalam air bersuhu 60oC selama tiga menit. Diagram alir penelitian pendahuluan ditampilkan pada Gambar 4.
Buah panili yang telah direndam dalam larutan butanol 0.3 M dan sistein 1 mM dan dilayukan diperam selama 24 jam. Setelah pemeraman pertama, buah panili dikeringkan pada pengeringan pertama dengan suhu 400C selama tiga jam kemudian diperam kembali selama 24 jam. Pengeringan pertama dengan suhu 400C dan pemeraman dilakukan sebanyak lima kali berturut-turut. Pada hari ke enam dilakukan pengeringan ke dua dengan suhu 600C selama tiga jam. Alat pengering yang digunakan pada penelitian pendahuluan adalah pengering vakum yang terdapat di Laboratorium Mutu dan Keamanan Pangan SEAFAST Centernamun pada saat pengeringan tidak dalam kondisi vakum.
2. Penelitian Utama
Penelitian utama dilakukan untuk mengetahui konsentrasi aktivator gabungan butanol dan sistein paling baik dan pengaruhnya terhadap kadar vanillin dengan menggunakan hasil penelitian pendahuluan yang terbaik. Pengolahan panili menggunakan metode Balitro II dilakukan sebagai pembanding. Perbedaan perlakuan selama pengolahan termodifikasi
(31)
terdapat pada proses perendaman dengan larutan gabungan aktivator butanol dan sistein. Konsentrasi butanol yang digunakan adalah 0.1 M, 0.2 M, dan 0.3 M, sedangakan konsentrasi sistein yang digunakan adalah 1 mM, 2 mM, dan 3 mM.
Konsentrasi butanol dan sistein yang digunakan pada penelitian ini berdasarkan hasil penelitian Hasmilda (2004) yang menguji aktivitas enzim β-glukosidase dengan penambahan butanol dan sistein pada substrat p-nitrofenil-β-D-glukosida (pnpg). Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa penggunaan butanol diatas konsentrasi 0.3 M dapat menurunkan aktivitas enzim β-glukosidase. Penggunaan sistein 0.01 M menghasilkan aktivitas enzim yang sama dengan aktivitas enzim perlakuan tanpa penambahan sistein dan lebih rendah dari aktivitas enzim dengan penggunaan sistein 0.001 M. Sistein dengan konsentrasi 0.1 M menghasilkan aktivitas enzim yang sangat rendah. Penggabungan aktivator enzim digunakan agar diperoleh aktivitas enzimatis yang lebih besar dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dari penggunaan satu jenis aktivator.
Buah panili yang digunakan pada penelitian utama adalah buah panili segar yang diperoleh dari kebun panili di Kecamatan Parung Kuda, Sukabumi. Buah panili tersebut disimpan pada refrigerator dengan suhu 40C sebelum diolah. Sebelum direndam dengan aktivator enzim, buah panili dicuci hingga bersih dan setelah ditiriskan buah panili ditimbang.
Proses pengolahan buah panili selanjutnya dilakukan seperti pada diagram proses pengolahan panili (Gambar 5). Pengering yang digunakan dalam penelitian utama ini adalah Automatic Drying Oven merk Ikeda Scientific tipe SS105D yang terdapat pada Laboratorium Pengawasan Mutu Departemen Teknologi Industri Pertanian. Pengering tersebut digunakan karena memiliki kapasitas yang lebih besar dari pengering vakum yang digunakan pada penelitian pendahuluan.
(32)
3. Analisa Hasil Pengolahan Panili
Pengujian terhadap karakteristik sifat fisik-kimia buah panili selama proses pengolahan dilakukan dengan mengambil contoh panili pada delapan tahap pengolahan. Pengambilan contoh tersebut dilakukan pada tahap sortasi yaitu pengambilan contoh buah segar (S), perendaman (R), pelayuan (L), pemeraman hari pertama (P), pengeringan hari ke-1 suhu 400C (K1), pengeringan hari ke-5 suhu 400C (K5), pengeringan hari ke-6 suhu 600C (K6), dan pengeringan ke-10 suhu 600C (K10). Setiap contoh yang diambil disimpan di dalam plastik dan dikelim kemudian dimasukkan ke dalam freezer sebelum dianalisa.
Analisa yang dilakukan terhadap sampel meliputi analisa kadar air, kadar vanillin, gula pereduksi, pH, dan total asam. Sebelum dianalisa, buah panili diekstrak menggunakan metode maserasi. Prosedur ekstraksi panili, dan pengujian karakteristik fisik-kimia disajikan pada Lampiran 1.
(33)
Pengolahan 1 Pengolahan 2 Pengolahan 3
5 tahap siklus
5 tahap siklus
Gambar 4. Diagram alir proses pengolahan panili penelitian pendahuluan Modifikasi dari Hanum (1997)
Pengeringan I (40oC, 3 jam)
Pemeraman dalam kotak pemeraman (24 jam suhu ruang)
Pengeringan II (60oC, 3 jam) Pemeraman 24 jam, suhu ruang
Buah panili segar
Sortasi
Perendaman dalam larutan butanol 0.3 M & sistein 1 mM
(2 jam pada suhu ruang)
Pelayuan dalam air 40oC, 30 menit
Penyayatan searah panjang buah (3 buah sayatan)
Pelayuan dalam air 60oC, 3 menit Perendaman dalam larutan butanol 0.3 M & sistein 1 mM
(40oC, 1 jam)
Pelayuan dalam air 60oC, 3 menit
(34)
Metode Termodifikasi Metode Balitro II
5 tahap siklus
5 tahap siklus
Gambar 5. Diagram alir proses pengolahan panili penelitian utama Modifikasi dari Hanum (1997)
Buah panili segar
Sortasi
Perendaman dalam larutan aktivator (2 jam pada suhu ruang)
• Butanol 0.1 M, Sistein 1 mM (B1S1) • Butanol 0.1 M, Sistein 2 mM (B1S2) • Butanol 0.1 M, Sistein 3 mM (B1S3) • Butanol 0.2 M, Sistein 1 mM (B2S1) • Butanol 0.2 M, Sistein 2 mM (B2S2) • Butanol 0.2 M, Sistein 3 mM (B2S3) • Butanol 0.3 M, Sistein 1 mM (B3S1) • Butanol 0.3 M, Sistein 2 mM (B3S2) • Butanol 0.3 M, Sistein 3 mM (B3S3)
Pelayuan dalam air 40oC, 30 menit
Pengeringan I (40oC, 3 jam) Pemeraman dalam kotak
pemeraman (24 jam, suhu ruang)
Pengeringan II (60oC, 3 jam)
Panili kering Penyayatan searah panjang
buah (3 buah sayatan)
Pelayuan dalam air 60oC, 3 menit
Pemeraman 24 jam, suhu ruang
(35)
D. RANCANGAN PERCOBAAN
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan dua ulangan. Faktor pertama adalah konsentrasi butanol (B) dengan tiga taraf yaitu konsentrasi butanol 0.1 M (B1), 0.2 M (B2), dan 0.3 M (B3). Faktor ke dua adalah konsentasi sistein (S) yaitu 1 mM (S1), 2 mM (S2), dan 3 mM (S3).
Untuk mengetahui tingkat perbedaan terhadap hasil analisis kadar vanillin masing-masing perlakuan, maka digunakan metode statistik rancangan acak lengkap faktorial dua faktor dengan tiga taraf menggunakan software SPSS 12.0. Model analisis data adalah sebagai berikut (Sudjana, 1984):
Yijk = µ + Bi + Sj + BSijk + ε(ij)k
Yijk = Parameter respon dari pengaruh taraf ke-i faktor B, taraf ke-j faktor S, pada ulangan ke-k
µ = Pengaruh rata-rata Bi = Pengaruh taraf ke-i faktor B Sj =Pengaruh taraf ke-j faktor S
BSijk =Pengaruh interaksi taraf ke-i faktor B dan taraf ke-j faktor S
(36)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENELITIAN PENDAHULUAN
Menurut Hanum (1997), pada proses pengolahan panili peningkatan aktivitas enzim terjadi pada tahap pelayuan. Pelayuan merupakan tahap yang paling berpengaruh pada aktivitas enzim dan sintesis vanillin. Kondisi optimum pelayuan akan menghasilkan aktivitas enzim yang optimum.
Hasil pengujian kadar vanillin penelitian pendahuluan dapat dilihat pada Gambar 6. Hasil pengujian kadar vanillin pengolahan 1, 2, dan 3 menujukkan bahwa kondisi perendaman dan pelayuan mempengaruhi kadar vanillin panili kering. Panili hasil pengolahan 1 menghasilkan kadar vanillin lebih tinggi dari pengolahan 2 pada tahap pengeringan, sedangkan kadar vanillin yang dihasilkan pada pengolahan 3 terus menurun setelah pelayuan sehingga tidak cocok digunakan dalam proses pengolahan panili.
Gambar 6. Perubahan kadar vanillin selama proses pengolahan panili termodifikasi penelitian pendahuluan
Pengolahan 1: perendaman suhu ruang, 2 jam; pelayuan 400C, 30 menit Pengolahan 2: perendaman suhu ruang, 2 jam; pelayuan 600C, 3 menit
Pengolahan 3: perendaman suhu 400C 1 jam; pelayuan 600C, 3 menit 0
0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7
S R L P K1 K5 K6
Tahap Pengolahan Panili
K
a
d
a
r Va
n
illin
R
a
ta
-r
a
ta
(%
ba
si
s k
e
ri
ng
(37)
Pada proses pelayuan, kadar vanillin panili hasil pengolahan 1, 2, dan 3 mengalami penurunan. Menurut Senadeera et al. dalam Mujumdar (2000), kondisi buah dapat dipengaruhi oleh pengolahan tahap awal seperti blansir, pembekuan, perlakuan dengan tekanan, dan tekanan mekanis. Pada saat blansir, buah dapat mengalami kehilangan padatan, denaturasi enzim, perpindahan udara dari jaringan, hidrolisis, dan terlarutnya struktur polimer seperti protopektin. Penyebab menurunnya kadar vanillin pada tahap pelayuan dapat disebabkan karena pada tahap pelayuan vanillin berdifusi ke dalam air bersamaan dengan keluarnya cairan dari dalam sel.
Setelah pelayuan, kadar vanillin hasil pengolahan 1 dan 2 meningkat kembali pada saat pemeraman dan mencapai maksimal pada tahap pengeringan hari ke-5 (K5). Menurut Hanum (1997), enzim β-glukosidase aktif pada tahap pelayuan dan pemeraman. Pada tahap selanjutnya aktivitas β-glukosidase menurun. Kenaikan kadar vanillin selama proses pengolahan disebabkan oleh akumulasi kadar vanillin dari tahap-tahap sebelumnya.
Pada tahap pengeringan, kadar vanillin hasil pengolahan 1 lebih tinggi dari hasil pengolahan 2. Hal ini dapat disebabkan oleh sisa aktivitas enzim setelah pelayuan dengan suhu 400C selama 30 menit masih lebih tinggi dari pada pelayuan dengan suhu 600C selama 3 menit. Setelah pengeringan dengan suhu 600C pada pengeringan hari ke-6 (K6), kadar vanillin hasil pengolahan 1 dan 2 menurun. Penurunan kadar vanillin pada tahap tersebut diduga bukan karena penurunan aktivitas β-glukosidase akan tetapi disebabkan oleh penguraian vanillin menjadi turunannya yang dikatalis oleh enzim-enzim oksidase seperti yang dikemukakan oleh Hanum (1997).
Kadar vanillin hasil pengolahan 3 setelah tahap pemeraman terus menurun. Panas yang berlebih pada perendaman dengan suhu 400C selama satu jam dan suhu pelayuan 600C menyebabkan kerusakan molekul enzim. Enzim menjadi tidak aktif sehingga pembentukan vanillin terhenti. Hal tersebut dapat dilihat dari tidak bertambahnya kadar vanillin.
Berdasarkan hasil analisis kadar vanillin pengolahan panili pada penelitian pendahuluan maka dapat diperoleh bahwa perendaman selama 2 jam pada suhu ruang dan pelayuan 400C selama 30 menit merupakan kondisi
(38)
terbaik. Kondisi perendaman selama 2 jam suhu ruang dan pelayuan 400C selama 30 menit juga dinyatakan kondisi terbaik pada pengolahan panili dan diperoleh aktivitas enzim β-glukosidase tertinggi pada penelitian yang dilakukan oleh Hasmilda (2004).
B. PENELITIAN UTAMA
1. PENGOLAHAN PANILI TERMODIFIKASI
a. Pengaruh Butanol dan Sistein Terhadap Kadar Vanillin Selama Proses Pengolahan Panili Termodifikasi
Flavor panili yang kaya dan lengkap mengandung lebih dari 250 senyawa volatil dan kebanyakan dari senyawa tersebut berperan dalam sifat organoleptik secara keseluruhan. Senyawa penyusun flavor panili yang terbanyak adalah 4-hydroxy-3-metoxybenzaldehyde atau vanillin sebesar 2 hingga 2.8%. Vanillin walaupun hanya merupakan salah satu diantara banyak komponen yang menyusun karakter aroma akan tetapi kadar vanillin masih merupakan parameter penting untuk menilai mutu panili kering (Anklam et al., 1996).
Hasil analisis kadar vanillin selama proses pengolahan termodifikasi panili dapat dilihat pada Gambar 7. Rata-rata kadar vanillin buah segar pada penelitian utama adalah sebesar 0.38%. Seharusnya pada buah segar tidak terdapat vanillin. Seperti yang dinyatakan oleh Teran et al. (2001), pada panili segar tidak ditemukan komponen vanillin namun menurut Ranadive dalam Teran et al. (2001), vanillin dapat ditemukan dalam panili segar karena disebabkan oleh umur buah atau akibat waktu penyimpanan. Kadar vanillin meningkat pada tahap perendaman dengan aktivator enzim. Pada tahap perendaman panili dengan aktivator butanol dan sistein kadar vanillin meningkat sebesar 1 hingga 1.8 kali dari kadar vanillin buah panili segar. Pada tahap pelayuan kadar vanillin menurun untuk seluruh perlakuan.
(39)
Sistein 1 mM
Butanol 0.1M Butanol 0.2 M Butanol 0.3 M
Sistein 2 mM
Butanol 0.1M Butanol 0.2 M Butanol 0.3 M
Sistein 3 mM
Butanol 0.1M Butanol 0.2 M Butanol 0.3 M
Gambar 7. Perubahan kadar vanillin selama proses pengolahan panili termodifikasi
Penurunan kadar vanillin pada tahap pelayuan sama dengan yang terjadi pada pengolahan panili pada penelitian pendahuluan yaitu larutnya vanillin ke dalam air akibat kerusakan sel. Kadar vanillin kembali
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 1.6 1.8 2.0
S R L P K1 K5 K6 K10
Tahap Pengolahan Panili
Rata-r ata Ka d a r V a n il in (% b asi s ker in g ) 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 1.6 1.8 2.0
S R L P K1 K5 K6 K10
Tahap Pengolahan Panili
Rata-r ata Kad a r V a n il in (% b asi s ker in g) 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 1.6 1.8 2.0
S R L P K1 K5 K6 K10
Tahap Pengolahan Panili
Rata-r a ta Kad a r V a n il in (% b a si s ker in g)
S : buah segar K1 : pengeringan hari ke-5 (400C, 3 jam) R : tahap perendaman K5 : pengeringan hari ke-5 (400C, 3 jam) L : tahap pelayuan K6 : pengeringan hari ke-6 (600C, 3 jam)
(40)
meningkat pada tahap pemeraman (P). Setelah tahap pemeraman pertama pola kadar vanillin yang dihasilkan bervariasi antara beberapa perlakuan.
Pada tahap pemeraman hingga pengeringan dengan suhu 400C terdapat tiga tahap dicapainya kadar vanillin rata-rata maksimum. Ke tiga tahap tersebut terdapat pada tahap pemeraman pertama (P), pengeringan hari ke-1 (K1), dan pengeringan hari ke-5 (K5). Kadar vanillin rata-rata maksimum yang diperoleh pada tahap pemeraman dihasilkan oleh perlakuan B1S1 (1.24%), B1S2 (1.54%), B1S3 (1.63%), dan B2S2 (1.56%). Kadar vanillin rata-rata maksimum yang diperoleh pada tahap pengeringan hari pertama (K1) adalah perlakuan B3S1 (1.13%), B3S2 (1.82%). Kadar vanillin rata-rata maksimum yang dihasilkan pada tahap pengeringan hari ke-5 (K5) dihasilkan oleh perlakuan B2S1 (1.42%), B2S3 (1.20%), dan B3S3 (1.36%).
Kadar vanillin yang dihasilkan selama pengolahan pada penelitian utama tidak memiliki pola yang mirip dengan pengolahan pada penelitian pendahuluan. Perbedaan tercapainya titik kadar vanillin maksimum dan fluktuasi kadar vanillin pada penelitian utama menunjukkan terjadinya variasi yang cukup tinggi terjadi selama proses pengeringan pertama (K1-K5) pengolahan panili penelitian utama. Tahap pemeraman hingga pengeringan pertama hari ke-5 merupakan tahap yang kritis dimana pada tahap ini terjadi reaksi pemecahan senyawa glukovanillin menjadi glukosa dan vanillin.
Fluktuasi kadar vanillin selama tahap pengeringan hari pertama hingga hari ke-5 dapat disebabkan oleh degradasi, penguapan vanillin dan pengaruh pertumbuhan kapang pada buah panili. Pengaruh kondisi alat pengering dimana sirkulasi udara di dalam oven kurang baik menyebabkan laju pengeluaran uap air dari panili pada suhu 400C lambat. Rendahnya penguapan air dari panili dapat dilihat dari masih tingginya kadar air rata-rata seluruh perlakuan pada pengeringan hari ke-5 sebesar 75.6% (Gambar 18).
Rendahnya penguapan air pada saat pemeraman menyebabkan panili menjadi terlalu lembab. Tingginya kelembaban panili pada tahap
(41)
pemeraman mulai dari pemeraman pertama hingga pemeraman ke lima mendukung kondisi yang cocok bagi pertumbuhan kapang. Kontaminasi kapang dapat diketahui dari tumbuhnya miselia kapang yang menyerupai kapas dengan warna putih.
Menurut Eckert dan Ranayake (1983), kapang patogen pada buah menyebabkan pemecahan polisakarida pektat sebagai penyusun sel buah. Hal tersebut menyebabkan hilangnya ketegaran jaringan dan pemisahan sel secara individu yang diikuti meningkatnya permeabilitas dinding sel, dan difusi metabolat keluar dari dalam buah. Metabolit tersebut digunakan oleh kapang untuk pertumbuhan. Berdasarkan hasil penelitian Röling et al. (2001) mengenai ekologi mikrobial pada proses pengolahan panili tradisional Indonesia, kapang yang tumbuh selama pengolahan panili memiliki aktivitas proteolitik, selulitik, hemiselulitik dan pektinolitik.
Untuk mematikan kapang yang tumbuh pada buah panili dan mencegah tumbuhnya kapang lebih banyak lagi buah panili dibersihkan menggunakan kapas yang telah dibasahi dengan etanol 70%. Peralatan yang digunakan selama tahapan pengolahan juga disterilkan dengan etanol serta menggunakan kain peram yang bersih. Walaupun pencegahan kontaminasi kapang telah dilakukan, rata-rata kadar vanillin yang diperoleh dari hasil pengolahan termodifikasi tidak bisa memenuhi kriteria kadar vanillin buah panili kering mutu 1 sebesar 2%. Menurut Thomas dan Bindumol (2005), buah panili yang terinfeksi kapang tidak bisa dikembalikan pada mutu yang sebenarnya dengan penanganan bagaimanapun juga.
Pada tahap pengeringan hari ke-6 (K6), kapang yang tumbuh pada saat tahap pengeringan sebelumnya sudah tidak tumbuh lagi. Suhu pada saat pengeringan ke-6 sebesar 600C dapat mematikan kapang. Pada suhu 600C laju penguapan air lebih cepat sehingga penurunan kadar air lebih cepat dan pada saat penuaan kapang tidak bisa tumbuh pada panili. Berdasarkan penelitian Röling et al. (2001), Jenis kapang yang ditemukan selama proses pengolahan adalah jenis Aspergillus dan Penicillium. Peningkatan jumlah kapang selama pengamatan yang
(42)
OH OCH3 CHO
OH OCH3 COOH
Asam Vanilat
dilakukan oleh Röling et al. (2001) terjadi pada saat autoclaving dan siklus ketiga pemanasan dengan panas matahari dan pemeraman akibat kondisi udara yang menyebabkan penguapan air dari buah tidak banyak. Ketika kondisi udara membaik jumlah kapang menurun dengan cepat. Kapang yang teridentifikasi selama pemanasan dan pemeraman hanya dapat tumbuh pada suhu 300C tetapi tidak pada suhu yang lebih tinggi.
Setelah pengeringan hari ke-6 enzim β-glukosidase sudah tidak aktif dan glukovanillin sudah terhidrolisis hal tersebut dapat dilihat dari tidak bertambahnya kadar vanillin. Suhu pengeringan yang lebih tinggi dapat merusak enzim. Dignum et al.(2001), menyatakan bahwa β -glukosidase tidak resistan terhadap panas. Selain kerusakan enzim oleh panas, kadar air pada buah panili yang sudah menurun membuat enzim β -glukosidase tidak aktif.
Enzim β-glukosidase termasuk jenis enzim hidrolase. Enzim hidrolase merupakan kelompok enzim yang mengkatalis reaksi hidrolisis suatu substrat atau pemecahan substrat dengan pertolongan molekul air (Winarno, 1986). Bila kadar air rendah maka proses hidrolisis sulit terjadi. Air merupakan faktor yang penting bagi stabilitas dan aktivitas enzim. Adanya air dapat mengaktifkan enzim dengan pembentukan struktur enzim yang lebih fleksibel.
Penurunan kadar vanillin pada tahap pengeringan hari ke-6 hingga pengeringan akhir disebabkan oleh penguraian vanillin menjadi senyawa turunannya yang dikatalis oleh enzim oksidase (Hanum, 1997). Salah satu hasil reaksi oksidasi vanillin oleh enzim oksidase adalah terbentuknya asam vanilat. Reaksinya secara sederhana dapat dilihat pada Gambar 8. berikut.
Gambar 8. Skema oksidasi vanillin secara enzimatis (Anklam et al., 1997)
+O2
(43)
Penurunan kadar vanillin yang tinggi setelah pengeringan hari ke-6 pada penelitian pendahuluan maupun penelitian utama bisa disebabkan pula oleh kerusakan atau penguapan senyawa vanillin dan proses ekstraksi yang kurang sempurna. Vanillin merupakan senyawa semi volatil. Senyawa volatil menurut Ketaren (1985) bersifat mudah menguap pada suhu ruang.
Proses ekstraksi yang tidak sempurna menyebabkan pelarut belum mengikat seluruh senyawa pada ekstrak panili kering. Struktur jaringan buah yang padat dan rapat akibat rendahnya kadar air mengakibatkan pelarut sulit berdifusi sehingga membutuhkan waktu perendaman dalam pelarut yang lebih lama bila dibandingkan dengan panili dengan kadar air yang lebih tinggi. Pada umumnya proses maserasi panili kering dilakukan selama 1-3 bulan agar seluruh senyawa flavor dapat terekstraksi secara sempurna (Purseglove et al., 1981).
Perbedaan tahap dihasilkannya kadar vanillin maksimum pada penelitian utama membuat pengaruh perlakuan oleh konsentrasi gabungan aktivator enzim butanol dan sistein tidak terlalu jelas. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa pengaruh butanol dan sistein serta interaksinya pada tahap pemeraman, pengeringan hari 1, hari 5, hari 6 dan hari ke-10 tidak berbeda nyata (Lampiran ke-10). Untuk menentukan konsentrasi aktivator enzim terbaik maka dilakukan perbandingan rata-rata kadar vanillin hasil tahap pemeraman hingga pengeringan hari ke-6 (K6). Tahap pemeraman (P) hingga pengeringan hari ke-6 (K6) merupakan tahap konsentrasi vanillin tetinggi di dalam buah panili. Gambar 9 menunjukkan diagram rata-rata kadar vanillin tahap pemeraman hingga pengeringan hari ke-6 (P, K1, K5, K6) seluruh perlakuan pengolahan panili termodifikasi.
(44)
Gambar 9. Diagram rata-rata kadar vanillin tahap pemeraman hingga pengeringan hari ke-6 pengolahan panili termodifikasi
Berdasarkan nilai rata-rata kadar vanillin pada tahap pemeraman hingga pengeringan hari ke-6 dapat dilihat bahwa kadar vanillin rata-rata terbesar dihasilkan oleh perlakuan B1S3 yaitu sebesar 1.29%. Dengan penggunaan butanol 0.1 M, peningkatan konsentrasi sistein meningkatkan kadar vanillin. Peningkatan konsentrasi butanol menurunkan kadar vanillin. Dengan peningkatan konsentrasi sistein, kadar vanillin dapat ditingkatkan namun menurun pada penggunaan sistein 3 mM untuk butanol 0.2 M dan 0.3 M. Secara keseluruhan, berdasarkan rata-rata kadar vanillin maka peningkatan konsentrasi butanol akan menurunkan kadar vanillin sedangkan peningkatan konsentrasi sistein akan meningkatkan kadar vanillin.
Sistein memiliki gugus R berupa gugus sulfhidril yang bersifat polar tidak bermuatan. Gugus R dari asam amino polar lebih bersifat hidrofilik karena memiliki gugus fungsional yang membentuk ikatan hidrogen dengan air (Lehninger, 1982). Sistein juga membentuk ikatan disulfida dengan sistein lainnya melalui gugus SHnya. Hal tersebut menyebabkan enzim tidak dapat dioksidasi. Menurut Hochster dan Quastel (1963), pengaruh reaksi gugus SH sistein terhadap gugus SH enzim dapat
1 2
3 0.1
0.2 0.3 0.0
0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4
Kadar Vanillin
(% bk)
Sistein (mM) Butanol (M)
(45)
menyebabkan peningkatan dan penurunan aktivitas enzim. Penurunan dan peningkatan aktivitas enzim tergantung dari gugus thiol.
Kadar vanillin yang menurun dengan meningkatnya konsentrasi butanol disebabkan akibat adanya inhibitor β-glukosidase yang terbentuk selama pengolahan panili. Glukosa merupakan salah satu inhibitor β -glukosidase (Bhat et al 2001; Riou et al, 1998). Hasil analisis gula pereduksi menunjukkan perlakuan dengan peningkatan konsentrasi butanol menghasilkan kadar gula pereduksi yang tinggi (Gambar 11).
b. Pengaruh Butanol dan Sistein Terhadap Kadar Gula Pereduksi Selama Proses Pengolahan Panili Termodifikasi
Pada reaksi hidrolisis glukovanillin enzim β-glukosidase bekerja menghasilkan glukosa. Glukosa merupakan monosakarida yang terdiri dari enam atom C. Pada atom karbon anomeriknya terdapat atom H dan OH bebas. Adanya gugus OH bebas pada atom karbon anomeriknya maka glukosa termasuk gula pereduksi (Winarno, 1991).
Untuk menentukan seberapa besar glukosa yang dihasilkan oleh enzim β-glukosidase selama pengolahan maka dilakukan pengujian terhadap kadar gula pereduksi. Penetuan kadar gula pereduksi dilakukan dengan metoda DNS. Gula-gula pereduksi akan bereaksi dengan larutan DNS (dinitrosalisillic acid) membentuk senyawa kompleks yang berwarna oranye sampai coklat tua dalam suasana asam. Kepekatan warna yang terbentuk sebanding dengan konsentrasi gula pereduksi yang ada dalam contoh. Gambar hasil analisis kadar gula pereduksi dapat dilihat pada Gambar 10.
(46)
Sistein 1 mM Butanol 0.1 M Butanol 0.2 M Butanol 0.3 M
Sistein 2 mM Butanol 0.1 M Butanol 0.2 M Butanol 0.3 M
Sistein 3 mM Butanol 0.1 M Butanol 0.2 M Butanol 0.3 M
Gambar 10. Perubahan kadar gula pereduksi selama proses pengolahan panili termodifikasi 0 2 4 6 8 10
S R L P K1 K5 K6 K10
Tahap Pengolahan Panili
R a ta -r a ta K a da r G u la Pe re d u k s i (% ba s is k e ri ng) 0 2 4 6 8 10
S R L P K1 K5 K6 K10
Tahap Pengolahan Panili
R a ta -r a ta K a da r G u la P e re duk s i (% b a si s k e ri n g ) 0 2 4 6 8 10
S R L P K1 K5 K6 K10
Tahap Pengolahan Panili
R a ta -r a ta K a da r G u la Pe re d u k s i (% ba s is k e ri ng)
S : buah segar K1 : pengeringan hari ke-5 (400C, 3 jam) R : tahap perendaman K5 : pengeringan hari ke-5 (400C, 3 jam) L : tahap pelayuan K6 : pengeringan hari ke-6 (600C, 3 jam)
(47)
Kadar gula pereduksi rata-rata maksimum yang diperoleh pada tahap pemeraman dihasilkan oleh perlakuan B1S1 (5.31%), B2S2 (7.20%), dan B2S3 (5.71%). Kadar gula pereduksi rata-rata maksimum yang diperoleh pada tahap pengeringan hari pertama (K1) adalah perlakuan B3S1 (9.03%) dan B3S2 (7.70%). Kadar gula pereduksi rata-rata maksimum yang dihasilkan pada tahap pengeringan hari ke-5 (K5) dihasilkan oleh perlakuan B2S1 (6.21%) dan B3S3 (5.69%). Kadar gula pereduksi rata-rata maksimum yang dihasilkan pada tahap pengeringan hari ke-6 (K6) dihasilkan oleh perlakuan B1S3 (6.01%) dan B1S2 (5.48%). Setelah pengeringan hari ke-6 kadar gula pereduksi menurun untuk semua perlakuan.
Penurunan kadar gula pereduksisetelah tahap pengeringan hari ke-6 lebih disebabkan oleh reaksi pencoklatan nonenzimatis. Reaksi pencoklatan nonenzimatis yang mungkin terjadi adalah karamelisasi dan reaksi Maillard yang keduanya terjadi dipengaruhi oleh panas. Hal tersebut didukung oleh kondisi pengeringan hari ke-6 hingga hari ke-10 dengan suhu 600C.
Pada proses karamelisasi suhu yang tinggi mampu mengeluarkan sebuah molekul air dari setiap molekul gula sehingga terjadilah glukosan. Proses pemecahan gula dan dehidrasi kemudian diikuti dengan polimerisasi. Gula karamel hasil proses karamelisasi memiliki aroma yang khas dan sering digunakan sebagai bahan pemberi cita rasa makanan (Winarno, 1992). Terjadinya karamelisasi pada pengolahan panili dapat diketahui dari aroma karamel yang terdapat pada ekstrak panili hasil pengeringan hari ke-6 dan ke-10.
Reaksi Maillard adalah reaksi gugus-gugus antara karbohidrat khususnya gula pereduksi dengan gugus amina primer. Hasil reaksi Maillard menghasilkan bahan berwarna coklat (Winarno, 1992). Adanya reaksi Maillard pada pengolahan panili dapat dilihat dari warna ekstrak panili hasil pengeringan hari ke-6 dan ke-10 yang berwarna lebih gelap.
Walaupun kadar gula meningkat seiring dengan meningkatnya kadar vanillin namun kadar gula pereduksi yang dihasilkan selama proses
(48)
pengolahan panili tidak sebanding dengan kadar vanillin yang dihasilkan. Pengaruh aktivator enzim terhadap kadar gula pereduksi berbeda dengan kadar vanillin. Pengaruh aktivator enzim terhadap kadar gula pereduksi dapat dilihat pada Gambar 11. Gambar 11 menunjukkan rata-rata gula pereduksi tiap perlakuan pada tahap pemeraman hingga pengeringan hari ke-6 (K6) dimana pada tahap tersebut dihasilkan kadar gula pereduksi yang tinggi.
Butanol 0.1 M menyebabkan kadar gula pereduksi meningkat dengan peningkatan konsentrasi sistein. Pada perlakuan dengan butanol 0.2 M dan 0.3 M, peningkatan konsentrasi sistein menurunkan kadar gula pereduksi. Secara keseluruhan, peningkatan konsentrasi butanol akan meningkatkan kadar gula pereduksi, sedangkan semakin tingginya konsentrasi sistein maka kadar gula pereduksi menurun. Kadar gula pereduksi terbesar dihasilkan dari penggunaan butanol 0.3 M dan sistein 1 mM. Kadar gula pereduksi terendah dihasilkan oleh butanol 0.1 M, dan sistein 1 mM.
Gambar 11. Diagram rata-rata kadar gula pereduksi tahap pemeraman hingga pengeringan hari ke-6 pengolahan panili termodifikasi Pengaruh konsentrasi butanol dan sistein pada kadar gula pereduksi berbeda dengan kadar vanillin. Hal tersebut disebabkan karena pada panili terdapat enzim yang mensintesis gula pereduksi lainnya. Gula pereduksi
1 2 3 0.1
0.2 0.3 0
1 2 3 4 5 6 7
Kadar Gula Pereduksi
(%basis kering)
Sistein (mM)
(49)
seperti glukosa yang dihasilkan selama pengolahan panili tidak dihasilkan dari hidrolisis glukovanillin oleh β-glukosidase saja tetapi juga oleh aktivitas enzim lainnya. Seperti yang dinyatakan oleh Dignum et al. (2001), α-glukosidase, α dan β-manosidase terdapat pada panili. Menurut Altamirano (1969) pada buah panili terdapat juga enzim selulase dan hemiselulase. Adanya enzim selulase dan hemiselulase, gula pereduksi hasil penguraian polisakarida seperti pati, selulosa, dan hemiselulosa juga dapat terjadi. Selain hal tersebut fruktosa juga terdapat sebagai gula pereduksi pada panili (Rao dan Ravishankar, 2000).
c. Pengaruh Butanol dan Sistein Terhadap Nilai pH Selama Proses Pengolahan Panili Termodifikasi
Nilai pH ditunjukkan oleh konsentrasi ion H+ atau ion OH- yang terdapat di dalam larutan. Semakin besar ion H+ dalam larutan maka semakin kecil nilai pH larutan. Sebaliknya semakin besar konsentrasi ion OH- maka semakin besar nilai pHnya (Lehninger, 1982).
Perubahan nilai pH pada larutan ekstrak panili menunjukkan perubahan jumlah ion H+ selama proses pengolahan panili. Buah segar memiliki nilai pH rata-rata sebesar 5.13. Pada tahap perendaman nilai pH seluruh perlakuan menurun kemudian meningkat kembali pada tahap pelayuan.
Selama tahap pemeraman hingga pengeringan walaupun terjadi fluktuasi nilai pH namun dapat dilihat bahwa pada tahap tersebut nilai pH cenderung menurun. Titik terendah nilai pH terjadi pada pengeringan hari ke-6 (K6). Setelah pengeringan hari ke-6 (K6) nilai pH kembali meningkat hingga akhir hari pengolahan panili (K10). Perubahan nilai pH selama pengolahan panili dapat dilihat pada Gambar 12.
(50)
Sistein 1 mM Butanol 0.1 M Butanol 0.2 M Butanol 0.3 M
Sistein 2 mM
Butanol 0.1 M Butanol 0.2 M Butanol 0.3 M
Sistein 3 mM
Butanol 0.1 M Butanol 0.2 M Butanol 0.3 M
Gambar 12. Perubahan nilai pH selama proses pengolahan panili termodifikasi 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 5.0 5.1 5.2 5.3 5.4
S R L P K1 K5 K6 K10
Tahap Pengolahan Panili
N ila i p H 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 5.0 5.1 5.2 5.3 5.4
S R L P K1 K5 K6 K10
Tahap Pengolahan Panili
Ni la i p H 4.6 4.7 4.8 4.9 5.0 5.1 5.2 5.3 5.4
S R L P K1 K5 K6 K10
Tahap Pengolahan Panili
N
ilai
p
H
S : buah segar K1 : pengeringan hari ke-5 (400C, 3 jam)
R : tahap perendaman K5 : pengeringan hari ke-5 (400C, 3 jam) L : tahap pelayuan K6 : pengeringan hari ke-6 (600C, 3 jam) P : tahap pemeraman K10 : pengeringan hari ke-10 (600C, 3 jam)
(51)
Berdasarkan nilai pH yang diperoleh dari setiap tahap pengolahan panili, konsentrasi butanol dan sistein tidak memberikan perbedaan yang jelas terhadap nilai pH ekstrak panili. Perubahan nilai pH selama tahap pengolahan panili menunjukkan perubahan jumlah asam yang terkandung pada larutan ekstrak panili. Kisaran nilai rata-rata pH sebesar 4.84 hingga 5.23 menunjukkan jumlah ion H+ lebih banyak dari ion OH- dan larutan bersifat asam. Bertambah banyaknya jumlah ion H+ pada tahap pemeraman hingga pengeringan hari ke-6 (K6) menunjukkan bertambah banyaknya asam yang terbentuk pada tahap pengolahan tersebut.
d. Pengaruh Butanol dan Sistein Terhadap Nilai Total Asam Selama Proses Pengolahan Panili Termodifikasi
Analisis total asam dilakukan untuk mengetahui perubahan kimia yang terjadi di dalam buah panili selama pengolahan yang dapat dilihat dari terbentuknya senyawa-senyawa berupa asam. Analisis total asam larutan ekstrak panili ditentukan dengan cara titrasi. Dalam prosedur titrasi sejumlah volume tertentu dari asam dititrasi oleh larutan basa yang mempunyai konsentrasi yang diketahui dengan tepat. Larutan basa ditambahkan perlahan-lahan hingga asam tepat dinetralisasi seperti yang ditunjukkan oleh indikator tertentu atau pH meter (Lehninger, 1982).
Analisis total asam dilakukan dengan mentitrasi larutan ekstrak panili dengan larutan NaOH 0.0097 N. Banyaknya jumlah larutan NaOH yang digunakan untuk mentitrasi asam sebanding dengan jumlah asam yang terdapat pada larutan. Hasil analisis total asam pada larutan ekstrak panili hasil pengolahan termodifikasi dapat dilihat pada Gambar 13.
(52)
Sistein 1 mM Butanol 0.1 M Butanol 0.2 M Butanol 0.3 M
Sistein 2 mM Butanol 0.1 M Butanol 0.2 M Butanol 0.3 M
Sistein 3 mM
Butanol 0.1 M Butanol 0.2 M Butanol 0.3 M
Gambar 13. Perubahan total asam selama proses pengolahanan panili termodifikasi
S : buah segar K1 : pengeringan hari ke-5 (400C, 3 jam) R : tahap perendaman K5 : pengeringan hari ke-5 (400C, 3 jam) L : tahap pelayuan K6 : pengeringan hari ke-6 (600C, 3 jam) P : tahap pemeraman K10 : pengeringan hari ke-10 (600C, 3 jam)
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0
S R L P K1 K5 K6 K10
Tahap Pengolahan Panili
R a ta -r a ta T o ta l A s a m (m o l e k /g b a si s ke ri n g ) 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0
S R L P K1 K5 K6 K10
Tahap Pengolahan Panili
Rat a -r at a T o ta l A s am (m o l e k /g b asi s k e ri n g ) 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0
S R L P K1 K5 K6 K10
Tahap Pengolahan Panili
R a ta -r a ta T o ta l A s a m (m o l e k/ g b asi s ke ri n g )
(1)
DWI LESTARI RAHAYU. F34101126. Influence of Butanol and Cysteine to Vanillin Content in Vanilla (Vanilla planifolia Andrews) Curing Process. Under supervision of Meika Syahbana Rusli and Dwi Setyaningsih.
SUMMARY
Vanilla (Vanilla planifolia Andrews) is one of Indonesian important commodity. Indonesia is the second vanilla producer in the world after Madagascar, but Indonesia has a problem with the quality of cured vanilla, which has low vanillin content. Improvement in increasing of cured vanilla quality is needed for vanilla curing process which all flavor precursors had been hydrolyzed.
Vanilla curing process has four important steps. They are killing, sweating, drying, and conditioning (Purseglove et al., 1981). At the vanilla curing proces, flavor precursors are hydrolyzed by enzyme. The most important vanilla flavor precursor is glucovanillin and its hydrolyzing enzyme is β-glucosidase. β -glucosidase activity in vanilla bean can be increased by soaking the vanilla bean in butanol and cysteine solution as enzyme activators (Hasmilda, 2004).
Condition of vanilla bean killing and soaking in curing was ascertained by vanillin content analysis from vanilla curing sample treatment 1 (used 0.3 M butanol and 1 mM cysteine with 2 hours soaking at room temperature, and killing temperature at 40oC in 30 minutes), treatment 2 (used 0.3 M butanol and 1 mM cysteine with 2 hours soaking at room temperature and killing at 60oC in 3 minutes), and treatment 3 (used 0.3 M butanol, 1 mM cysteine with one hours soaking at 40oC and killing at 60oC in 3 minutes). From vanillin analysis, the best temperature for soaking process was room temperature for 2 hours and the best temperature for killing was 40oC for one hour.
To find the influence of butanol and cysteine in vanilla modified curing, butanol (0.1 M (B1), 0.2 M (B2), and 0.3 M (B3)) and cysteine (1 mM (S1), 2 mM (S2), and 3 mM (S3)) were used. At the soaking stage with butanol-cysteine solution, vanillin content increased 100% to 180% from vanillin content in fresh vanilla bean. The maximum vanillin content, which was resulted at sweating stage were from B1S1 treatment (1.24%), B1S2 (1.54%), and B2S2 (1.56%). The maximum vanillin content which was resulted at first day of drying are from B3S1 (1.13%), B3S2 (1.82%), and at the fifth day of drying were resulted by B2S1 (1.46%), B2S3 (1.20%), and B3S3 (1.36%). Balitro II curing method increased vanillin content lower than modified curing, that was 0.78% at sixth day of drying.
The maximum reducing sugar, which was resulted at sweating stage were from B1S1 treatment (5.31%), B2S2 (7.20%), and B2S3 (5.71%). The reducing sugar, which was resulted at first day of drying were from B3S1 (9.03%) dan B3S2 (7.70%). The reducing sugar which was resulted at the fifth day of drying were resulted by B2S1 (6.20%), B3S3 (5.69%), and at sixth day of drying were B1S3 (6.01%) and B1S2 (5.48%). Balitro II curing could increase reducing sugar until 8.93% at sixth day of drying.
(2)
The maximum vanillin content of modified curing was different and it made the influence of butanol and cysteine could not be seen clearly. From vanillin content average at sweating stage until the sixth day drying, the increase of butanol concentration made vanillin content decreased while increasing cysteine concentration made vanillin content increased. The highest average vanillin content at that stage was 1.29 % as B1S3 treatment result.
Butanol and cysteine concentration did not differ signifficantlyin pH value of vanilla extract. The range of pH value average in modified curing were 4.84 to 5.23. The range of average total acid were 1.1 to 3.3 mol ek/g db. The change of total acid influenced the pH. In Balitro II vanilla exstract, the range of pH value average were 5.12 to 5.33 and average acid total number range were 1.5 to 2.2 mol ek/g db.
The highest vanillin content in modified curing was result by the first drying stage of B3S2 treatment which was 385% higher than vanillin content in fresh vanilla bean. Balitro II method could increase vanillin content until 107% higher than fresh vanilla bean in the sixth day of drying. Modified curing also faster than Balitro II. At the end of curing process, water content of vanilla bean which was resulted by Balitro II curing process was higher than water content of modified cured vanilla. In modified curing, vanilla bean scratching made the water content decreased faster than Balitro II method but it made the bean easy to contaminate by mold. Sweating condition with high humidity at room temperature also supported mold contamination.
Cured vanilla from modified curing process on this research have not fulfill cured vanilla standard (SNI 01-0010-1990). Mold contamination and the second drying stage with 600C temperature for 3 hours had been decreased vanilla flavor quality. Improvement in sweating stage which is keep the sweating temperature in sweating box at 380C is needed to avoid mold contamination. The second drying stage condition also need to be changed with lower temperature and low humidity to minimize flavor component destruction.
(3)
PENGARUH AKTIVATOR BUTANOL DAN SISTEIN TERHADAP KADAR VANILLIN PADA PENGOLAHAN PANILI
(Vanilla planifolia Andrews)
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh:
Dwi Lestari Rahayu F34101126
2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(4)
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PENGARUH AKTIVATOR BUTANOL DAN SISTEIN TERHADAP KADAR VANILLIN PADA PENGOLAHAN PANILI
(Vanilla planifolia Andrews)
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh:
Dwi Lestari Rahayu F34101126
Dilahirkan pada tanggal 22 Desember 1982 Di Subang
Tanggal lulus: Februari 2006
Disetujui, Bogor, Februari 2006
Dr. Ir. Meika Syahbana Rusli, MSc. Ir. Dwi Setyaningsih, Msi. Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
(5)
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul:
“PENGARUH AKTIVATOR BUTANOL DAN SISTEIN TERHADAP KADAR VANILLIN PADA PENGOLAHAN PANILI
(Vanilla planifolia Andrews) ”
adalah karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali dengan jelas ditunjukkan rujukannya.
Bogor, Januari 2006 Yang membuat pernyataan,
Dwi Lestari Rahayu NRP F34101126
(6)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas karunia dan kasihNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Meika Syahbana Rusli, MSc dan Ir. Dwi Setyaningsih, MSi sebagai dosen pembimbing atas bimbingan dan arahan yang diberikan.
2. Ir. Sugiarto yang telah memberikan banyak masukan dalam perbaikan skripsi ini.
3. Kedua orang tua dan saudara penulis atas segala doa, dukungan, dan perhatian.
4. Mrs. Mizue Hara, Mr. Hara, Mr. Charles Pollard, Mrs. Tina Pollard, and Mr. John Pollard. Thank you for your trustee, kindness and your support.
5. Melawati, Nurmalia, Manda, Feby, Sri Windarwati, Fridayani, serta teman-teman TIN 38. Terima kasih atas bantuan dan persahabatannya.
Skripsi ini kemungkinan besar masih memiliki kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat diharapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Bogor, Januari 2006 Penulis