Analisa Hasil Pengolahan Panili

3. Analisa Hasil Pengolahan Panili

Pengujian terhadap karakteristik sifat fisik-kimia buah panili selama proses pengolahan dilakukan dengan mengambil contoh panili pada delapan tahap pengolahan. Pengambilan contoh tersebut dilakukan pada tahap sortasi yaitu pengambilan contoh buah segar S, perendaman R, pelayuan L, pemeraman hari pertama P, pengeringan hari ke-1 suhu 40 C K1, pengeringan hari ke-5 suhu 40 C K5, pengeringan hari ke-6 suhu 60 C K6, dan pengeringan ke-10 suhu 60 C K10. Setiap contoh yang diambil disimpan di dalam plastik dan dikelim kemudian dimasukkan ke dalam freezer sebelum dianalisa. Analisa yang dilakukan terhadap sampel meliputi analisa kadar air, kadar vanillin, gula pereduksi, pH, dan total asam. Sebelum dianalisa, buah panili diekstrak menggunakan metode maserasi. Prosedur ekstraksi panili, dan pengujian karakteristik fisik-kimia disajikan pada Lampiran 1. Pengolahan 1 Pengolahan 2 Pengolahan 3 5 tahap siklus 5 tahap siklus Gambar 4. Diagram alir proses pengolahan panili penelitian pendahuluan Modifikasi dari Hanum 1997 Pengeringan I 40 o C, 3 jam Pemeraman dalam kotak pemeraman 24 jam suhu ruang Pengeringan II 60 o C, 3 jam Pemeraman 24 jam, suhu ruang Buah panili segar Sortasi Perendaman dalam larutan butanol 0.3 M sistein 1 mM 2 jam pada suhu ruang Pelayuan dalam air 40 o C, 30 menit Penyayatan searah panjang buah 3 buah sayatan Pelayuan dalam air 60 o C, 3 menit Perendaman dalam larutan butanol 0.3 M sistein 1 mM 40 o C, 1 jam Pelayuan dalam air 60 o C, 3 menit Panili kering Metode Termodifikasi Metode Balitro II 5 tahap siklus 5 tahap siklus Gambar 5. Diagram alir proses pengolahan panili penelitian utama Modifikasi dari Hanum 1997 Buah panili segar Sortasi Perendaman dalam larutan aktivator 2 jam pada suhu ruang • Butanol 0.1 M, Sistein 1 mM B 1 S 1 • Butanol 0.1 M, Sistein 2 mM B 1 S 2 • Butanol 0.1 M, Sistein 3 mM B 1 S 3 • Butanol 0.2 M, Sistein 1 mM B 2 S 1 • Butanol 0.2 M, Sistein 2 mM B 2 S 2 • Butanol 0.2 M, Sistein 3 mM B 2 S 3 • Butanol 0.3 M, Sistein 1 mM B 3 S 1 • Butanol 0.3 M, Sistein 2 mM B 3 S 2 • Butanol 0.3 M, Sistein 3 mM B 3 S 3 Pelayuan dalam air 40 o C, 30 menit Pengeringan I 40 o C, 3 jam Pemeraman dalam kotak pemeraman 24 jam, suhu ruang Pengeringan II 60 o C, 3 jam Panili kering Penyayatan searah panjang buah 3 buah sayatan Pelayuan dalam air 60 o C, 3 menit Pemeraman 24 jam, suhu ruang D. RANCANGAN PERCOBAAN Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan dua ulangan. Faktor pertama adalah konsentrasi butanol B dengan tiga taraf yaitu konsentrasi butanol 0.1 M B 1 , 0.2 M B 2 , dan 0.3 M B 3 . Faktor ke dua adalah konsentasi sistein S yaitu 1 mM S 1 , 2 mM S 2 , dan 3 mM S 3 . Untuk mengetahui tingkat perbedaan terhadap hasil analisis kadar vanillin masing-masing perlakuan, maka digunakan metode statistik rancangan acak lengkap faktorial dua faktor dengan tiga taraf menggunakan software SPSS 12.0. Model analisis data adalah sebagai berikut Sudjana, 1984: Y ijk = µ + B i + S j + BS ijk + ε ijk Y ijk = Parameter respon dari pengaruh taraf ke-i faktor B, taraf ke-j faktor S, pada ulangan ke-k µ = Pengaruh rata-rata B i = Pengaruh taraf ke-i faktor B S j = Pengaruh taraf ke-j faktor S BS ijk = Pengaruh interaksi taraf ke-i faktor B dan taraf ke-j faktor S ε ijk = Pengaruh kesalahan percobaan pada ulangan ke-k IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN Menurut Hanum 1997, pada proses pengolahan panili peningkatan aktivitas enzim terjadi pada tahap pelayuan. Pelayuan merupakan tahap yang paling berpengaruh pada aktivitas enzim dan sintesis vanillin. Kondisi optimum pelayuan akan menghasilkan aktivitas enzim yang optimum. Hasil pengujian kadar vanillin penelitian pendahuluan dapat dilihat pada Gambar 6. Hasil pengujian kadar vanillin pengolahan 1, 2, dan 3 menujukkan bahwa kondisi perendaman dan pelayuan mempengaruhi kadar vanillin panili kering. Panili hasil pengolahan 1 menghasilkan kadar vanillin lebih tinggi dari pengolahan 2 pada tahap pengeringan, sedangkan kadar vanillin yang dihasilkan pada pengolahan 3 terus menurun setelah pelayuan sehingga tidak cocok digunakan dalam proses pengolahan panili. Gambar 6. Perubahan kadar vanillin selama proses pengolahan panili termodifikasi penelitian pendahuluan Pengolahan 1: perendaman suhu ruang, 2 jam; pelayuan 40 C, 30 menit Pengolahan 2: perendaman suhu ruang, 2 jam; pelayuan 60 C, 3 menit Pengolahan 3: perendaman suhu 40 C 1 jam; pelayuan 60 C, 3 menit 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 S R L P K1 K5 K6 Tahap Pengolahan Panili K a d a r Va n illin R a ta -r a ta ba si s k e ri ng Pada proses pelayuan, kadar vanillin panili hasil pengolahan 1, 2, dan 3 mengalami penurunan. Menurut Senadeera et al. dalam Mujumdar 2000, kondisi buah dapat dipengaruhi oleh pengolahan tahap awal seperti blansir, pembekuan, perlakuan dengan tekanan, dan tekanan mekanis. Pada saat blansir, buah dapat mengalami kehilangan padatan, denaturasi enzim, perpindahan udara dari jaringan, hidrolisis, dan terlarutnya struktur polimer seperti protopektin. Penyebab menurunnya kadar vanillin pada tahap pelayuan dapat disebabkan karena pada tahap pelayuan vanillin berdifusi ke dalam air bersamaan dengan keluarnya cairan dari dalam sel. Setelah pelayuan, kadar vanillin hasil pengolahan 1 dan 2 meningkat kembali pada saat pemeraman dan mencapai maksimal pada tahap pengeringan hari ke-5 K5. Menurut Hanum 1997, enzim β-glukosidase aktif pada tahap pelayuan dan pemeraman. Pada tahap selanjutnya aktivitas β- glukosidase menurun. Kenaikan kadar vanillin selama proses pengolahan disebabkan oleh akumulasi kadar vanillin dari tahap-tahap sebelumnya. Pada tahap pengeringan, kadar vanillin hasil pengolahan 1 lebih tinggi dari hasil pengolahan 2. Hal ini dapat disebabkan oleh sisa aktivitas enzim setelah pelayuan dengan suhu 40 C selama 30 menit masih lebih tinggi dari pada pelayuan dengan suhu 60 C selama 3 menit. Setelah pengeringan dengan suhu 60 C pada pengeringan hari ke-6 K6, kadar vanillin hasil pengolahan 1 dan 2 menurun. Penurunan kadar vanillin pada tahap tersebut diduga bukan karena penurunan aktivitas β-glukosidase akan tetapi disebabkan oleh penguraian vanillin menjadi turunannya yang dikatalis oleh enzim-enzim oksidase seperti yang dikemukakan oleh Hanum 1997. Kadar vanillin hasil pengolahan 3 setelah tahap pemeraman terus menurun. Panas yang berlebih pada perendaman dengan suhu 40 C selama satu jam dan suhu pelayuan 60 C menyebabkan kerusakan molekul enzim. Enzim menjadi tidak aktif sehingga pembentukan vanillin terhenti. Hal tersebut dapat dilihat dari tidak bertambahnya kadar vanillin. Berdasarkan hasil analisis kadar vanillin pengolahan panili pada penelitian pendahuluan maka dapat diperoleh bahwa perendaman selama 2 jam pada suhu ruang dan pelayuan 40 C selama 30 menit merupakan kondisi terbaik. Kondisi perendaman selama 2 jam suhu ruang dan pelayuan 40 C selama 30 menit juga dinyatakan kondisi terbaik pada pengolahan panili dan diperoleh aktivitas enzim β-glukosidase tertinggi pada penelitian yang dilakukan oleh Hasmilda 2004. B. PENELITIAN UTAMA 1. PENGOLAHAN PANILI TERMODIFIKASI

a. Pengaruh Butanol dan Sistein Terhadap Kadar Vanillin Selama

Proses Pengolahan Panili Termodifikasi Flavor panili yang kaya dan lengkap mengandung lebih dari 250 senyawa volatil dan kebanyakan dari senyawa tersebut berperan dalam sifat organoleptik secara keseluruhan. Senyawa penyusun flavor panili yang terbanyak adalah 4-hydroxy-3-metoxybenzaldehyde atau vanillin sebesar 2 hingga 2.8. Vanillin walaupun hanya merupakan salah satu diantara banyak komponen yang menyusun karakter aroma akan tetapi kadar vanillin masih merupakan parameter penting untuk menilai mutu panili kering Anklam et al., 1996. Hasil analisis kadar vanillin selama proses pengolahan termodifikasi panili dapat dilihat pada Gambar 7. Rata-rata kadar vanillin buah segar pada penelitian utama adalah sebesar 0.38. Seharusnya pada buah segar tidak terdapat vanillin. Seperti yang dinyatakan oleh Teran et al. 2001, pada panili segar tidak ditemukan komponen vanillin namun menurut Ranadive dalam Teran et al. 2001, vanillin dapat ditemukan dalam panili segar karena disebabkan oleh umur buah atau akibat waktu penyimpanan. Kadar vanillin meningkat pada tahap perendaman dengan aktivator enzim. Pada tahap perendaman panili dengan aktivator butanol dan sistein kadar vanillin meningkat sebesar 1 hingga 1.8 kali dari kadar vanillin buah panili segar. Pada tahap pelayuan kadar vanillin menurun untuk seluruh perlakuan. Sistein 1 mM Butanol 0.1M Butanol 0.2 M Butanol 0.3 M Sistein 2 mM Butanol 0.1M Butanol 0.2 M Butanol 0.3 M Sistein 3 mM Butanol 0.1M Butanol 0.2 M Butanol 0.3 M Gambar 7. Perubahan kadar vanillin selama proses pengolahan panili termodifikasi Penurunan kadar vanillin pada tahap pelayuan sama dengan yang terjadi pada pengolahan panili pada penelitian pendahuluan yaitu larutnya vanillin ke dalam air akibat kerusakan sel. Kadar vanillin kembali 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 1.6 1.8 2.0 S R L P K1 K5 K6 K10 Tahap Pengolahan Panili Rata-r ata Ka d a r V a n il in b asi s ker in g 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 1.6 1.8 2.0 S R L P K1 K5 K6 K10 Tahap Pengolahan Panili Rata-r ata Kad a r V a n il in b asi s ker in g 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 1.6 1.8 2.0 S R L P K1 K5 K6 K10 Tahap Pengolahan Panili Rata-r a ta Kad a r V a n il in b a si s ker in g S : buah segar K1 : pengeringan hari ke-5 40 C, 3 jam R : tahap perendaman K5 : pengeringan hari ke-5 40 C, 3 jam L : tahap pelayuan K6 : pengeringan hari ke-6 60 C, 3 jam P : tahap pemeraman K10 : pengeringan hari ke-10 60 C, 3 jam meningkat pada tahap pemeraman P. Setelah tahap pemeraman pertama pola kadar vanillin yang dihasilkan bervariasi antara beberapa perlakuan. Pada tahap pemeraman hingga pengeringan dengan suhu 40 C terdapat tiga tahap dicapainya kadar vanillin rata-rata maksimum. Ke tiga tahap tersebut terdapat pada tahap pemeraman pertama P, pengeringan hari ke-1 K1, dan pengeringan hari ke-5 K5. Kadar vanillin rata-rata maksimum yang diperoleh pada tahap pemeraman dihasilkan oleh perlakuan B 1 S 1 1.24, B 1 S 2 1.54, B 1 S 3 1.63, dan B 2 S 2 1.56. Kadar vanillin rata-rata maksimum yang diperoleh pada tahap pengeringan hari pertama K1 adalah perlakuan B 3 S 1 1.13, B 3 S 2 1.82. Kadar vanillin rata-rata maksimum yang dihasilkan pada tahap pengeringan hari ke-5 K5 dihasilkan oleh perlakuan B 2 S 1 1.42, B 2 S 3 1.20, dan B 3 S 3 1.36. Kadar vanillin yang dihasilkan selama pengolahan pada penelitian utama tidak memiliki pola yang mirip dengan pengolahan pada penelitian pendahuluan. Perbedaan tercapainya titik kadar vanillin maksimum dan fluktuasi kadar vanillin pada penelitian utama menunjukkan terjadinya variasi yang cukup tinggi terjadi selama proses pengeringan pertama K1- K5 pengolahan panili penelitian utama. Tahap pemeraman hingga pengeringan pertama hari ke-5 merupakan tahap yang kritis dimana pada tahap ini terjadi reaksi pemecahan senyawa glukovanillin menjadi glukosa dan vanillin. Fluktuasi kadar vanillin selama tahap pengeringan hari pertama hingga hari ke-5 dapat disebabkan oleh degradasi, penguapan vanillin dan pengaruh pertumbuhan kapang pada buah panili. Pengaruh kondisi alat pengering dimana sirkulasi udara di dalam oven kurang baik menyebabkan laju pengeluaran uap air dari panili pada suhu 40 C lambat. Rendahnya penguapan air dari panili dapat dilihat dari masih tingginya kadar air rata-rata seluruh perlakuan pada pengeringan hari ke-5 sebesar 75.6 Gambar 18. Rendahnya penguapan air pada saat pemeraman menyebabkan panili menjadi terlalu lembab. Tingginya kelembaban panili pada tahap pemeraman mulai dari pemeraman pertama hingga pemeraman ke lima mendukung kondisi yang cocok bagi pertumbuhan kapang. Kontaminasi kapang dapat diketahui dari tumbuhnya miselia kapang yang menyerupai kapas dengan warna putih. Menurut Eckert dan Ranayake 1983, kapang patogen pada buah menyebabkan pemecahan polisakarida pektat sebagai penyusun sel buah. Hal tersebut menyebabkan hilangnya ketegaran jaringan dan pemisahan sel secara individu yang diikuti meningkatnya permeabilitas dinding sel, dan difusi metabolat keluar dari dalam buah. Metabolit tersebut digunakan oleh kapang untuk pertumbuhan. Berdasarkan hasil penelitian Röling et al . 2001 mengenai ekologi mikrobial pada proses pengolahan panili tradisional Indonesia, kapang yang tumbuh selama pengolahan panili memiliki aktivitas proteolitik, selulitik, hemiselulitik dan pektinolitik. Untuk mematikan kapang yang tumbuh pada buah panili dan mencegah tumbuhnya kapang lebih banyak lagi buah panili dibersihkan menggunakan kapas yang telah dibasahi dengan etanol 70. Peralatan yang digunakan selama tahapan pengolahan juga disterilkan dengan etanol serta menggunakan kain peram yang bersih. Walaupun pencegahan kontaminasi kapang telah dilakukan, rata-rata kadar vanillin yang diperoleh dari hasil pengolahan termodifikasi tidak bisa memenuhi kriteria kadar vanillin buah panili kering mutu 1 sebesar 2. Menurut Thomas dan Bindumol 2005, buah panili yang terinfeksi kapang tidak bisa dikembalikan pada mutu yang sebenarnya dengan penanganan bagaimanapun juga. Pada tahap pengeringan hari ke-6 K6, kapang yang tumbuh pada saat tahap pengeringan sebelumnya sudah tidak tumbuh lagi . Suhu pada saat pengeringan ke-6 sebesar 60 C dapat mematikan kapang. Pada suhu 60 C laju penguapan air lebih cepat sehingga penurunan kadar air lebih cepat dan pada saat penuaan kapang tidak bisa tumbuh pada panili. Berdasarkan penelitian Röling et al . 2001, Jenis kapang yang ditemukan selama proses pengolahan adalah jenis Aspergillus dan Penicillium . Peningkatan jumlah kapang selama pengamatan yang OH OCH 3 CHO OH OCH 3 COOH Asam Vanilat dilakukan oleh Röling et al. 2001 terjadi pada saat autoclaving dan siklus ketiga pemanasan dengan panas matahari dan pemeraman akibat kondisi udara yang menyebabkan penguapan air dari buah tidak banyak. Ketika kondisi udara membaik jumlah kapang menurun dengan cepat. Kapang yang teridentifikasi selama pemanasan dan pemeraman hanya dapat tumbuh pada suhu 30 C tetapi tidak pada suhu yang lebih tinggi. Setelah pengeringan hari ke-6 enzim β-glukosidase sudah tidak aktif dan glukovanillin sudah terhidrolisis hal tersebut dapat dilihat dari tidak bertambahnya kadar vanillin. Suhu pengeringan yang lebih tinggi dapat merusak enzim. Dignum et al.2001, menyatakan bahwa β- glukosidase tidak resistan terhadap panas. Selain kerusakan enzim oleh panas, kadar air pada buah panili yang sudah menurun membuat enzim β- glukosidase tidak aktif. Enzim β-glukosidase termasuk jenis enzim hidrolase. Enzim hidrolase merupakan kelompok enzim yang mengkatalis reaksi hidrolisis suatu substrat atau pemecahan substrat dengan pertolongan molekul air Winarno, 1986. Bila kadar air rendah maka proses hidrolisis sulit terjadi. Air merupakan faktor yang penting bagi stabilitas dan aktivitas enzim. Adanya air dapat mengaktifkan enzim dengan pembentukan struktur enzim yang lebih fleksibel. Penurunan kadar vanillin pada tahap pengeringan hari ke-6 hingga pengeringan akhir disebabkan oleh penguraian vanillin menjadi senyawa turunannya yang dikatalis oleh enzim oksidase Hanum, 1997. Salah satu hasil reaksi oksidasi vanillin oleh enzim oksidase adalah terbentuknya asam vanilat. Reaksinya secara sederhana dapat dilihat pada Gambar 8. berikut. Gambar 8. Skema oksidasi vanillin secara enzimatis Anklam et al., 1997 +O 2 Vanillin Penurunan kadar vanillin yang tinggi setelah pengeringan hari ke-6 pada penelitian pendahuluan maupun penelitian utama bisa disebabkan pula oleh kerusakan atau penguapan senyawa vanillin dan proses ekstraksi yang kurang sempurna. Vanillin merupakan senyawa semi volatil. Senyawa volatil menurut Ketaren 1985 bersifat mudah menguap pada suhu ruang. Proses ekstraksi yang tidak sempurna menyebabkan pelarut belum mengikat seluruh senyawa pada ekstrak panili kering. Struktur jaringan buah yang padat dan rapat akibat rendahnya kadar air mengakibatkan pelarut sulit berdifusi sehingga membutuhkan waktu perendaman dalam pelarut yang lebih lama bila dibandingkan dengan panili dengan kadar air yang lebih tinggi. Pada umumnya proses maserasi panili kering dilakukan selama 1-3 bulan agar seluruh senyawa flavor dapat terekstraksi secara sempurna Purseglove et al., 1981. Perbedaan tahap dihasilkannya kadar vanillin maksimum pada penelitian utama membuat pengaruh perlakuan oleh konsentrasi gabungan aktivator enzim butanol dan sistein tidak terlalu jelas. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa pengaruh butanol dan sistein serta interaksinya pada tahap pemeraman, pengeringan hari ke-1, hari ke-5, hari ke-6 dan hari ke- 10 tidak berbeda nyata Lampiran 10. Untuk menentukan konsentrasi aktivator enzim terbaik maka dilakukan perbandingan rata-rata kadar vanillin hasil tahap pemeraman hingga pengeringan hari ke-6 K6. Tahap pemeraman P hingga pengeringan hari ke-6 K6 merupakan tahap konsentrasi vanillin tetinggi di dalam buah panili. Gambar 9 menunjukkan diagram rata-rata kadar vanillin tahap pemeraman hingga pengeringan hari ke-6 P, K1, K5, K6 seluruh perlakuan pengolahan panili termodifikasi. Gambar 9. Diagram rata-rata kadar vanillin tahap pemeraman hingga pengeringan hari ke-6 pengolahan panili termodifikasi Berdasarkan nilai rata-rata kadar vanillin pada tahap pemeraman hingga pengeringan hari ke-6 dapat dilihat bahwa kadar vanillin rata-rata terbesar dihasilkan oleh perlakuan B 1 S 3 yaitu sebesar 1.29. Dengan penggunaan butanol 0.1 M, peningkatan konsentrasi sistein meningkatkan kadar vanillin. Peningkatan konsentrasi butanol menurunkan kadar vanillin. Dengan peningkatan konsentrasi sistein, kadar vanillin dapat ditingkatkan namun menurun pada penggunaan sistein 3 mM untuk butanol 0.2 M dan 0.3 M. Secara keseluruhan, berdasarkan rata-rata kadar vanillin maka peningkatan konsentrasi butanol akan menurunkan kadar vanillin sedangkan peningkatan konsentrasi sistein akan meningkatkan kadar vanillin. Sistein memiliki gugus R berupa gugus sulfhidril yang bersifat polar tidak bermuatan. Gugus R dari asam amino polar lebih bersifat hidrofilik karena memiliki gugus fungsional yang membentuk ikatan hidrogen dengan air Lehninger, 1982. Sistein juga membentuk ikatan disulfida dengan sistein lainnya melalui gugus SHnya. Hal tersebut menyebabkan enzim tidak dapat dioksidasi. Menurut Hochster dan Quastel 1963, pengaruh reaksi gugus SH sistein terhadap gugus SH enzim dapat 1 2 3 0.1 0.2 0.3 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 Kadar Vanillin bk Sistein mM Butanol M menyebabkan peningkatan dan penurunan aktivitas enzim. Penurunan dan peningkatan aktivitas enzim tergantung dari gugus thiol. Kadar vanillin yang menurun dengan meningkatnya konsentrasi butanol disebabkan akibat adanya inhibitor β-glukosidase yang terbentuk selama pengolahan panili. Glukosa merupakan salah satu inhibitor β- glukosidase Bhat et al 2001; Riou et al, 1998. Hasil analisis gula pereduksi menunjukkan perlakuan dengan peningkatan konsentrasi butanol menghasilkan kadar gula pereduksi yang tinggi Gambar 11.

b. Pengaruh Butanol dan Sistein Terhadap Kadar Gula Pereduksi

Selama Proses Pengolahan Panili Termodifikasi Pada reaksi hidrolisis glukovanillin enzim β-glukosidase bekerja menghasilkan glukosa. Glukosa merupakan monosakarida yang terdiri dari enam atom C. Pada atom karbon anomeriknya terdapat atom H dan OH bebas. Adanya gugus OH bebas pada atom karbon anomeriknya maka glukosa termasuk gula pereduksi Winarno, 1991. Untuk menentukan seberapa besar glukosa yang dihasilkan oleh enzim β-glukosidase selama pengolahan maka dilakukan pengujian terhadap kadar gula pereduksi. Penetuan kadar gula pereduksi dilakukan dengan metoda DNS. Gula-gula pereduksi akan bereaksi dengan larutan DNS dinitrosalisillic acid membentuk senyawa kompleks yang berwarna oranye sampai coklat tua dalam suasana asam. Kepekatan warna yang terbentuk sebanding dengan konsentrasi gula pereduksi yang ada dalam contoh. Gambar hasil analisis kadar gula pereduksi dapat dilihat pada Gambar 10. Sistein 1 mM Butanol 0.1 M Butanol 0.2 M Butanol 0.3 M Sistein 2 mM Butanol 0.1 M Butanol 0.2 M Butanol 0.3 M Sistein 3 mM Butanol 0.1 M Butanol 0.2 M Butanol 0.3 M Gambar 10. Perubahan kadar gula pereduksi selama proses pengolahan panili termodifikasi 2 4 6 8 10 S R L P K1 K5 K6 K10 Tahap Pengolahan Panili R a ta -r a ta K a da r G u la Pe re d u k s i ba s is k e ri ng 2 4 6 8 10 S R L P K1 K5 K6 K10 Tahap Pengolahan Panili R a ta -r a ta K a da r G u la P e re duk s i b a si s k e ri n g 2 4 6 8 10 S R L P K1 K5 K6 K10 Tahap Pengolahan Panili R a ta -r a ta K a da r G u la Pe re d u k s i ba s is k e ri ng S : buah segar K1 : pengeringan hari ke-5 40 C, 3 jam R : tahap perendaman K5 : pengeringan hari ke-5 40 C, 3 jam L : tahap pelayuan K6 : pengeringan hari ke-6 60 C, 3 jam P : tahap pemeraman K10 : pengeringan hari ke-10 60 C, 3 jam Kadar gula pereduksi rata-rata maksimum yang diperoleh pada tahap pemeraman dihasilkan oleh perlakuan B 1 S 1 5.31, B 2 S 2 7.20, dan B 2 S 3 5.71. Kadar gula pereduksi rata-rata maksimum yang diperoleh pada tahap pengeringan hari pertama K1 adalah perlakuan B 3 S 1 9.03 dan B 3 S 2 7.70. Kadar gula pereduksi rata-rata maksimum yang dihasilkan pada tahap pengeringan hari ke-5 K5 dihasilkan oleh perlakuan B 2 S 1 6.21 dan B 3 S 3 5.69. Kadar gula pereduksi rata-rata maksimum yang dihasilkan pada tahap pengeringan hari ke-6 K6 dihasilkan oleh perlakuan B 1 S 3 6.01 dan B 1 S 2 5.48. Setelah pengeringan hari ke-6 kadar gula pereduksi menurun untuk semua perlakuan. Penurunan kadar gula pereduksi setelah tahap pengeringan hari ke-6 lebih disebabkan oleh reaksi pencoklatan nonenzimatis. Reaksi pencoklatan nonenzimatis yang mungkin terjadi adalah karamelisasi dan reaksi Maillard yang keduanya terjadi dipengaruhi oleh panas. Hal tersebut didukung oleh kondisi pengeringan hari ke-6 hingga hari ke-10 dengan suhu 60 C. Pada proses karamelisasi suhu yang tinggi mampu mengeluarkan sebuah molekul air dari setiap molekul gula sehingga terjadilah glukosan. Proses pemecahan gula dan dehidrasi kemudian diikuti dengan polimerisasi. Gula karamel hasil proses karamelisasi memiliki aroma yang khas dan sering digunakan sebagai bahan pemberi cita rasa makanan Winarno, 1992. Terjadinya karamelisasi pada pengolahan panili dapat diketahui dari aroma karamel yang terdapat pada ekstrak panili hasil pengeringan hari ke-6 dan ke-10. Reaksi Maillard adalah reaksi gugus-gugus antara karbohidrat khususnya gula pereduksi dengan gugus amina primer. Hasil reaksi Maillard menghasilkan bahan berwarna coklat Winarno, 1992. Adanya reaksi Maillard pada pengolahan panili dapat dilihat dari warna ekstrak panili hasil pengeringan hari ke-6 dan ke-10 yang berwarna lebih gelap. Walaupun kadar gula meningkat seiring dengan meningkatnya kadar vanillin namun kadar gula pereduksi yang dihasilkan selama proses pengolahan panili tidak sebanding dengan kadar vanillin yang dihasilkan. Pengaruh aktivator enzim terhadap kadar gula pereduksi berbeda dengan kadar vanillin. Pengaruh aktivator enzim terhadap kadar gula pereduksi dapat dilihat pada Gambar 11. Gambar 11 menunjukkan rata-rata gula pereduksi tiap perlakuan pada tahap pemeraman hingga pengeringan hari ke-6 K6 dimana pada tahap tersebut dihasilkan kadar gula pereduksi yang tinggi. Butanol 0.1 M menyebabkan kadar gula pereduksi meningkat dengan peningkatan konsentrasi sistein. Pada perlakuan dengan butanol 0.2 M dan 0.3 M, peningkatan konsentrasi sistein menurunkan kadar gula pereduksi. Secara keseluruhan, peningkatan konsentrasi butanol akan meningkatkan kadar gula pereduksi, sedangkan semakin tingginya konsentrasi sistein maka kadar gula pereduksi menurun. Kadar gula pereduksi terbesar dihasilkan dari penggunaan butanol 0.3 M dan sistein 1 mM. Kadar gula pereduksi terendah dihasilkan oleh butanol 0.1 M, dan sistein 1 mM. Gambar 11. Diagram rata-rata kadar gula pereduksi tahap pemeraman hingga pengeringan hari ke-6 pengolahan panili termodifikasi Pengaruh konsentrasi butanol dan sistein pada kadar gula pereduksi berbeda dengan kadar vanillin. Hal tersebut disebabkan karena pada panili terdapat enzim yang mensintesis gula pereduksi lainnya. Gula pereduksi 1 2 3 0.1 0.2 0.3 1 2 3 4 5 6 7 Kadar Gula Pereduksi basis kering Sistein mM Butanol M seperti glukosa yang dihasilkan selama pengolahan panili tidak dihasilkan dari hidrolisis glukovanillin oleh β-glukosidase saja tetapi juga oleh aktivitas enzim lainnya. Seperti yang dinyatakan oleh Dignum et al. 2001, α-glukosidase, α dan β-manosidase terdapat pada panili. Menurut Altamirano 1969 pada buah panili terdapat juga enzim selulase dan hemiselulase. Adanya enzim selulase dan hemiselulase, gula pereduksi hasil penguraian polisakarida seperti pati, selulosa, dan hemiselulosa juga dapat terjadi. Selain hal tersebut fruktosa juga terdapat sebagai gula pereduksi pada panili Rao dan Ravishankar, 2000.

c. Pengaruh Butanol dan Sistein Terhadap Nilai pH Selama Proses

Pengolahan Panili Termodifikasi Nilai pH ditunjukkan oleh konsentrasi ion H + atau ion OH - yang terdapat di dalam larutan. Semakin besar ion H + dalam larutan maka semakin kecil nilai pH larutan. Sebaliknya semakin besar konsentrasi ion OH - maka semakin besar nilai pHnya Lehninger, 1982. Perubahan nilai pH pada larutan ekstrak panili menunjukkan perubahan jumlah ion H + selama proses pengolahan panili. Buah segar memiliki nilai pH rata-rata sebesar 5.13. Pada tahap perendaman nilai pH seluruh perlakuan menurun kemudian meningkat kembali pada tahap pelayuan. Selama tahap pemeraman hingga pengeringan walaupun terjadi fluktuasi nilai pH namun dapat dilihat bahwa pada tahap tersebut nilai pH cenderung menurun. Titik terendah nilai pH terjadi pada pengeringan hari ke-6 K6. Setelah pengeringan hari ke-6 K6 nilai pH kembali meningkat hingga akhir hari pengolahan panili K10. Perubahan nilai pH selama pengolahan panili dapat dilihat pada Gambar 12. Sistein 1 mM Butanol 0.1 M Butanol 0.2 M Butanol 0.3 M Sistein 2 mM Butanol 0.1 M Butanol 0.2 M Butanol 0.3 M Sistein 3 mM Butanol 0.1 M Butanol 0.2 M Butanol 0.3 M Gambar 12. Perubahan nilai pH selama proses pengolahan panili termodifikasi 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 5.0 5.1 5.2 5.3 5.4 S R L P K1 K5 K6 K10 Tahap Pengolahan Panili N ila i p H 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 5.0 5.1 5.2 5.3 5.4 S R L P K1 K5 K6 K10 Tahap Pengolahan Panili Ni la i p H 4.6 4.7 4.8 4.9 5.0 5.1 5.2 5.3 5.4 S R L P K1 K5 K6 K10 Tahap Pengolahan Panili N ilai p H S : buah segar K1 : pengeringan hari ke-5 40 C, 3 jam R : tahap perendaman K5 : pengeringan hari ke-5 40 C, 3 jam L : tahap pelayuan K6 : pengeringan hari ke-6 60 C, 3 jam P : tahap pemeraman K10 : pengeringan hari ke-10 60 C, 3 jam Berdasarkan nilai pH yang diperoleh dari setiap tahap pengolahan panili, konsentrasi butanol dan sistein tidak memberikan perbedaan yang jelas terhadap nilai pH ekstrak panili. Perubahan nilai pH selama tahap pengolahan panili menunjukkan perubahan jumlah asam yang terkandung pada larutan ekstrak panili. Kisaran nilai rata-rata pH sebesar 4.84 hingga 5.23 menunjukkan jumlah ion H + lebih banyak dari ion OH - dan larutan bersifat asam. Bertambah banyaknya jumlah ion H + pada tahap pemeraman hingga pengeringan hari ke-6 K6 menunjukkan bertambah banyaknya asam yang terbentuk pada tahap pengolahan tersebut. d. Pengaruh Butanol dan Sistein Terhadap Nilai Total Asam Selama Proses Pengolahan Panili Termodifikasi Analisis total asam dilakukan untuk mengetahui perubahan kimia yang terjadi di dalam buah panili selama pengolahan yang dapat dilihat dari terbentuknya senyawa-senyawa berupa asam. Analisis total asam larutan ekstrak panili ditentukan dengan cara titrasi. Dalam prosedur titrasi sejumlah volume tertentu dari asam dititrasi oleh larutan basa yang mempunyai konsentrasi yang diketahui dengan tepat. Larutan basa ditambahkan perlahan-lahan hingga asam tepat dinetralisasi seperti yang ditunjukkan oleh indikator tertentu atau pH meter Lehninger, 1982. Analisis total asam dilakukan dengan mentitrasi larutan ekstrak panili dengan larutan NaOH 0.0097 N. Banyaknya jumlah larutan NaOH yang digunakan untuk mentitrasi asam sebanding dengan jumlah asam yang terdapat pada larutan. Hasil analisis total asam pada larutan ekstrak panili hasil pengolahan termodifikasi dapat dilihat pada Gambar 13. Sistein 1 mM Butanol 0.1 M Butanol 0.2 M Butanol 0.3 M Sistein 2 mM Butanol 0.1 M Butanol 0.2 M Butanol 0.3 M Sistein 3 mM Butanol 0.1 M Butanol 0.2 M Butanol 0.3 M Gambar 13. Perubahan total asam selama proses pengolahanan panili termodifikasi S : buah segar K1 : pengeringan hari ke-5 40 C, 3 jam R : tahap perendaman K5 : pengeringan hari ke-5 40 C, 3 jam L : tahap pelayuan K6 : pengeringan hari ke-6 60 C, 3 jam P : tahap pemeraman K10 : pengeringan hari ke-10 60 C, 3 jam 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 S R L P K1 K5 K6 K10 Tahap Pengolahan Panili R a ta -r a ta T o ta l A s a m m o l e k g b a si s ke ri n g 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 S R L P K1 K5 K6 K10 Tahap Pengolahan Panili Rat a -r at a T o ta l A s am m o l e k g b asi s k e ri n g 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 S R L P K1 K5 K6 K10 Tahap Pengolahan Panili R a ta -r a ta T o ta l A s a m m o l e k g b asi s ke ri n g Nilai total asam cenderung mengalami peningkatan dari tahap awal pengolahan dan menurun di tahap akhir pengolahan panili. Pada tahap perendaman hingga pemeraman peningkatan total asam tidak terlalu besar namun setelah tahap pemeraman hingga tahap pengeringan hari ke-6 terjadi peningkatan total asam yang besar. Jumlah total asam menurun setelah tahap pengeringan hari ke-6 K6. Total asam yang dihasilkan selama pengolahan termodifikasi memiliki nilai antara 1.09 hingga 3.33 mol ekg berat kering. Perubahan jumlah total asam sesuai dengan perubahan nilai pH larutan. Penurunan nilai pH menunjukkan semakin banyaknya jumlah asam. Hal tersebut ditunjukkan oleh jumlah total asam yang meningkat. Jumlah total asam yang tinggi selama tahap pemeraman hingga pengeringan hari ke-6 menunjukkan bahwa pada tahap tersebut telah terjadi penguraian senyawa vanillin maupun senyawa aglikon. Penguraian vanillin dan senyawa aglikon lainnya menjadi asam organik terjadi melalui reaksi enzimatis seperti dengan bantuan enzim oksidase maupun secara kimiawi. Terbentuknya asam organik berasal dari oksidasi senyawa alkohol maupun aldehid. Asam lemak juga dihasilkan dari proses hidrolisis lemak yang terdapat pada panili Rao dan Ravishankar, 2000. Bertambahnya jumlah asam pada ekstrak panili disebabkan pula oleh oksidasi etanol hasil metabolisme kapang. Glukosa digunakan oleh kapang sebagai substrat sumber energi. Glikolisis anaerob yang terjadi pada kapang mengubah glukosa menjadi etanol dan CO 2 Lehninger, 1994. Penggunaan glukosa oleh kapang tersebut menyebabkan terjadinya fluktuasi kadar gula pereduksi pada pengeringan hari pertama hingga hari ke-5. Etanol kemudian mengalami oksidasi menjadi asam asetat. Hasil analisis GC-MS Tabel 3 menunjukkan bahwa asam organik terbesar hasil pengolahan panili adalah asam asetat. Pola penurunan total asam yang terjadi setelah pengeringan hari ke-6 sesuai dengan penurunan kadar vanillin. Penurunan ini dapat disebabkan oleh penguapan asam-asam organik seperti yang terjadi pada penurunan kadar vanillin. Menurut Purseglove et al. 1981 asam-asam yang terdapat pada panili tergolong jenis senyawa volatil. Suhu pengeringan hari ke-6 hingga hari ke-10 sebesar 60 C mendukung terjadinya penguapan asam-asam organik.

2. PENGOLAHAN PANILI METODE BALITRO II