serta dari putusan-putusan hakim Peter Mahmud Marzuki, 2005:141. Bahan hukum yang digunakan meliputi :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata; 3. Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
4. Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 2003 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara Perum Perhutani;
5. Keputusan Direksi Perum Perhutani No. 629KPTSDIR2009 tentang Pedoman Penjualan Dalam Negeri Hasil Hutan Kayu Jati dan
Rimba. b bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari semua
publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi ini meliputi literatur-literatur ilmiah, buku-buku, serta
surat-surat kabar yang bertujuan untuk mempelajari isi pokok permasalahan yang dibahas.
c bahan non hukum.
1.4.4 Analisis Bahan Hukum
Proses analisis bahan hukum merupakan proses menemukan jawaban dari pokok permasalahan. Proses ini dimulai dari pengumpulan bahan-bahan untuk
disusun secara sistematis dan dilanjutkan dengan analisis bahan penelitian. Bahan- bahan hukum yang telah terkumpul disusun secara sistematis dan terarah dengan
menggunakan metode deduktif yaitu berpangkat dari prinsip-prinsip umum menuju prinsip-prinsip khusus. Kemudian bahan hukum diolah dengan
menggunakan logika hukum. Hal ini dilakukan dengan mencari bahan dari Perum Perhutani yang dikaitkan dengan hukum secara umum kemudian lebih khusus lagi
mancari data dari permasalahan yang akan dibahas melalui nara sumber yang bersangkutan.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian
Perjanjian diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Istilah perjanjian merupakan istilah yang diambil dari Bahasa Inggris, yaitu
berasal dari kata contract, dalam Bahasa Belanda disebut overeenkomst, jika dalam Bahasa Indonesia berarti perjanjian atau persetujuan. Namun di dalam
istilah hukum disebut sebagai perikatan. Perjanjian secara umum dibedakan menjadi dua, yaitu dalam arti sempit
dan dalam arti luas. Dalam arti sempit perjanjian hanya ditujukan kepada hubungan hukum kekayaan saja seperti yang dimaksudkan dalam Buku III KUH
Perdata, sedangkan dalam arti luas setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki oleh para pihak. Dalam pasal 1313 KUH
Perdata pengertian perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih. Dalam pasal ini terdapat
kekurangan atau kelemahan sebab dalam pengertiannya hanya menyangkut sepihak saja, tanpa konsensus, pengertian perjanjian terlalu luas, dan tidak
menyebutkan tujuan yang merupakan pokok yang menyebabkan perjanjian tersebut batal demi hukum.
Para ahli hukum juga memberikan definisi dari perjanjian, antara lain : 1. Subekti dalam Hasanudin Rahman, 1998:135 ”Perjanjian adalah suatu
peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal, dari peristiwa
tersebut munculah hubungan hukum antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan”.
2. Van Dunne dalam Salim HS, 2005:161 “Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat
untuk menimbulkan akibat hukum”. 3. Abdul Kadir Muhammad 1990:78 “Perjanjian adalah suatu persetujuan
dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melakukan suatu hal dalam lapangan hukum harta kekayaan”.
4. Hermansyah 2005:67 “Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana dua orang atau dua pihak saling berjanji untuk melakukan suatu hal atau suatu
persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, dan masing-masing
8