Melihat Partisipasi Masyarakat Langkat Pada Pemilu 2004

Jurnal Wawasan, Juni 2005, Volume 11, Nomor 1

MELIHAT PARTISIPASI MASYARAKAT LANGKAT
PADA PEMILU 2004
T. Irmayani
Abstract: General election is one of the absolute conditions, a sine Qua Non Condition, for running a government based on the legislative principles, however, this kind of
perception is more based on critical or ideological preconception or chance and wish
than based on empirical realities. As a matter of fact, General Election really has four
function at least in an ideal way:
1. General Election is legitimizing acts, which is very important in democratic and
capitalism countries.
2. General Election is accepted by national leaders, which have the western thought in
the independent countries as the nationalists (free from colonized countries).
3. Doctrine and public opinion in nationalist movement explicitly circulates the idea
that freedom means the form of government is held by the people or their elected
representative or democracy.
4. General Election is considered the way to get the essential expression and culture,
which are diffrents without being destructive and confrontation.
Seeing the four functions of the General Election, Indonesian people have been able to
express the people‘s essentials through the variable political parties. This can be seen
from the General Election in 1999 followed by 42 political parties and in 2004

participated by 24 political parties.
Keywords: participation, general election 2004
PENDAHULUAN
Pada hakikatnya sebagai arena kompetisi
politik yang sehat, Pemilu demokratis membutuhkan sejumlah persya-ratan yaitu antara lain:
(1) terdapat pengakuan terhadap hak politik universal; (2) terdapatnya kekuasaan untuk membentuk tempat penam-pungan bagi pluralitas aspirasi
masyarakat pemilih; (3) tersedianya meka-nisme
rekruitmen politik bagi calon-calon wakil rakyat
yang demokratis; (4) ada kebebasan pemilih untuk mendiskusikan dan menentukan pilihan; (5)
ada komite atau panitia pemilihan yang independen; (6) ada kekuasaan bagi kontestan untuk berkompetisi secara sehat; (7) penghitungan suara
dilakukan secara jujur; (8) birokrasi bersikap netral. (KIPP; 2000; 3)
Jika berbagai persyaratan tersebut di atas
dapat terpenuhi, maka akan tercipta suatu Pemerintahan sah yang dihasilkan melalui suatu pemilu yang demokratis. Derajat demokratis yang dihasilkan dalam suatu proses pemilu akan tergantung dari seberapa jauh dapat dipenuhinya
secara maksimal masing-masing persyaratan di
atas. Dengan demikian, titik ukur keberhasilan

T. Irmayani adalah Dosen FISIP USU

10


pemilu sangat ditentukan oleh derajat pemenuhan
persyaratan tersebut.
Point (2) diatas mengandung arti bahwa
satu negara dapat disebut demokrasi kalau terdapat partai-partai politik sebab kehadiran partai
politik berarti ada pengakuan akan hak warga
negara untuk berbeda pendapat. Kemudian
partai-partai tersebut dapat berkompetisi dalam
satu pemilu yang bebas (Imawan, 1997; 8).
Sejak masa pemerintahan orde baru telah
dilaksanakan enam kali pemilu. Pemilu pertama,
1971 diwarnai oleh munculnya serangkaian peraturan Pemerintah (Permen-dagri No.12/1969 dan
floating mass) yang bertujuan untuk “mengamankan“ perolehan suara Golkar. (Riswandha, 1997:8).
Pada tahun 1973 dilakukan penataan kehidupan politik di Indonesia melalui penyederhanaan jumlah organisasi politik di Indonesia. Dari
sepuluh organisasi partai politik menjadi tiga
organisasi partai politik, sebagai kelanjutan dari
terjadinya fusi partai ini maka pemilu kedua
tahun 1977 diikuti oleh tiga partai politik yaitu:
PPP, PDI, Golkar. Menjelang pemilu ketiga
1982, pemerintah menciptakan kondisi-kondisi


Irmayani, Melihat Partisipasi...

yang makin mempersempit ruang gerak partai,
yang paling menonjol adalah ide pancasila sebagai satu-satunya azas bagi organisasi politik dan
ormas Indonesia.
Pada tahun 1985, pemerintah menetapkan Undang-undang No.3 dan 8, berlakunya pancasila sebagai satu-satunya azas bagi organisasi
politik dan ormas. Di bawah kedua undang-undang tersebut Indonesia memasuki pemilu keempat tahun 1987. Sebagai konsekuensi undangundang ini, PPP harus mengubah lambangnya
menjadi lambang bintang dalam bingkai segi
lima. Lambang Ka’bah tampaknya dianggap masih berbau primordialisme ataupun bersifat
eksklusif (Ambong; 1991; 76). Dalam Pemilu
1987 suasana pemilu berbeda dengan pemilupemilu sebelumnya, isu agama telah mulai mengendor (Alfian dan Syamsuddin; 1987).
Pemilu kelima berlangsung pada bulan
Juni tahun 1992. Meskipun sudah lima kali pemilu pada masa Pemerintahan Orde Baru, pemerintah belum berhasil untuk memenuhi janjinya dalam mendorong proses demokratisasi. Pemerintahan Orde Baru berhasil dalam pemeliharaan keamanan dan stabilitas politik untuk waktu yang relatif lama (Hikam; 1996; 53).
Pemilu terakhir yang lebih bersifat ritual
dilaksanakan Pemerintahan Orde Baru pada tanggal 27 Mei 1997, merupakan awal runtuhnya Orde Baru.
Runtuhnya Pemerintahan Orde Baru telah menyebabnya hadirnya masa transisi yang sering disebut Periode Reformasi. Salah satu perubahan penting di bawah periode ini ialah
diselenggarakannya pemilu yang berbeda corak
dan
karakteristiknya
dari

pemilu-pemilu
sebelumnya pada masa Orde Baru. Pemerintahan
transisi di bawah Pejabat Presiden RI BJ Habibie
menyelenggarakan pemilu baru yang diselenggarakan pada tanggal 7 Juni 1999.
Pada tanggal 5 April 2004 kembali bangsa Indonesia melaksanakan pemilu dengan sistem
yang sama sekali baru dari sistem-sistem pemilu
sebelumnya. Dengan melakukan verifikasi terhadap partai-partai politik, maka Pemilu 2004 dengan sistim proporsional dengan sistem daftar calon terbuka dan sistem distrik berwakil banyak
diikuti oleh 24 partai politik.
Sebagai pemilu dengan sistem yang baru
dan sedikit rumit, Pemilu 2004 menunjukkan pelajaran penting dalam hal berdemokrasi dan dapat

menjadi acuan untuk pemilu-pemilu yang akan
datang.
PEMBAHASAN
Partisipasi Peserta Pemilu
Sesuai dengan perkembangan waktu dan
tuntutan masyarakat sudah saatnya Pemilu dilaksanakan secara langsung. Sudah saatnya rakyat
ingin menentukan pilihannya tanpa ada rasa takut
dan tidak seperti membeli “kucing dalam karung“.
Pemilu di Kabupaten Langkat sama secara nasional diikuti oleh 24 partai politik peserta

pemilu. Dari 24 parpol yang ikut pemilu, jumlah
caleg yang dikirim 627 calon legislatif untuk Kabupaten Langkat. Berikut adalah data partai dan
jumlah caleg Kabupaten Langkat.
Dari data di atas, maka secara kasar kita
melihat bahwa minat masyarakat untuk menjadi
calon legislatif pada Pemilu 1999 lebih besar dari
Pemilu 2004 (ada lebih 47 caleg pada Pemilu
1999). Tetapi jika dilihat secara benar data di atas, maka jumlah caleg pada Pemilu 2004 lebih
besar dari Pemilu 1999. Sebab Pemilu 2004 diikuti oleh 24 partai politik, Pemilu 1999 diikuti oleh 42 partai politik peserta pemilu. Ada selisih
18 jumlah partai politik peserta pemilu (43%).
Partai politik pada Pemilu 2004 yang mendaftar
ke KPU untuk dapat menjadi peserta pemilu bukanlah lebih sedikit dari Pemilu 1999. Tetapi
pada Pemilu 2004 partai politik yang dapat menjadi peserta pemilu harus lulus verifikasi oleh
KPU. Ada 50 partai politik yang mendaftar ke
KPU Akan tetapi partai yang berhak ikut pemilu
setelah diverifikasi KPU hanya 24 partai politik.
Ini artinya partisipasi masyarakat terhadap
pemilu melalui partai politik tetap tinggi.
Partisipasi Perempuan pada Pemilu 2004.
Sehubungan dengan Pasal 65 ayat 1 UU

No.12 tahun 2003 telah ditentukan bahwa “Setiap
partai politik peserta pemilu dapat mengajukan
calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota untuk setiap Daerah Pemilihan
dengan mem-perhatikan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30%”, maka partai politik
yang mengajukan calon legislatifnya berusaha
tampaknya sudah berusaha untuk memenuhi ketentuan ini meskipun ada yang mendekati 30% dan ada yang sudah mencapai 30%.

11

Jurnal Wawasan, Juni 2005, Volume 11, Nomor 1

Tabel 1. Data Jumlah Caleg Perempuan pada Pemilu 2004
No.

Nama Partai Politik

1
2

3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22

23
24

PNI MARHAENISME
PBSD
PBB
PARTAI MERDEKA
PPP
PARTAI P D K
PARTAI P I B
PNBK
PARTAI DEMOKRAT
PKPI
PARTAI P D I. P
PNUI
PAN
PKPB
PKB
PKS
PBR

P D I PERJUANGAN
PARTAI DAMAI SEJAHTERA
G OL K A R
PARTAI PATRIOT PANCASILA
PARTAI SYARIKAT ISLAM
PARTAI PERSATUAN DAERAH
PARTAI PELOPOR
J U M L A H ……………………….

Caleg
LakiLaki
11
9
26
5
28
26
14
18
30

10
8
8
18
28
25
19
20
37
17
38
12
7
20
25
459

Dari data tersebut maka ada 10 partai
politik yang memiliki keterwakilan perempuan
sebesar 30% sebagai calon legislatif yaitu PNI

Marhaenisme, PPP, PIB, PNBK, PPDI, PKS,
PBR, PSI, PPD dan Partai Pelopor. Hal ini berarti partai politik sudah memperhatikan amanat
Undang-undang Pemilu meskipun begitu partai
besar seperti Golkar, PDIP tidak memenuhi kuota
30% (Lihat Tabel).
Dari ketentuan yang ada pada UU Pemilu
No.12 Tahun 2003 maka kesempatan perempuan
duduk di dewan juga semakin besar. Hal ini dapat
dilihat pada Pemilu 1999 hanya 2 orang (4%).
Anggota dewan mewakili kaum perempuan yaitu
dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 1
orang dan dari TNI Polri 1 orang. Pada Pemilu
2004 jumlah keterwakilan parempuan semakin
besar yaitu 5 Orang (11%) dari 45 anggota
legislatif Kabupaten Langkat. Kelima perwakilan
perempuan tersebut adalah 3 dari Partai Golkar, 1
dari PDI P dan 1 orang dari Partai Persatuan
Demokrasi Kebangsaan.
Mengapa keterwakilan perempuan didalam lembaga-lembaga pengambilan keputusan

12

%

Caleg
Perempuan

%

Total

61
69
74
100
68
79
67
67
77
83
67
89
72
72
76
70
65
82
85
76
80
54
65
69
73

7
4
9
13
7
7
9
9
2
4
1
7
11
8
8
11
8
3
12
3
6
11
11
171

39
21
26
32
21
33
33
23
17
33
11
28
28
24
8
11
8
3
12
3
6
11
11
27

18
13
35
5
41
33
21
27
39
12
12
9
25
39
33
27
31
45
20
50
15
13
31
36
630

politik di Indonesia (DPR) jauh lebih sedikit
dibandingkan laki-laki padahal jumlah pemilih
perempuan di Indonesia lebih besar dari jumlah
pemilih laki-laki di Kabupaten Langkat jumlah
pemilih perempuan tidak terlalu jauh terpaut
dengan jumlah pemilih laki-laki (48% : 52%).
Hal ini tentu ada faktor penyebabnya. Ada beberapa kendala politik perempuan dalam memasuki
dunia parlemen, yaitu:
1. Sistem pemilu sebelumnya tidak mendukung
partisipasi perempuan pada Pemilu 2004
inilah partisipasi perempuan dalam politik
dibuka dengan kuota perempuan 30% .
2. Kurangnya dukungan partai politik. Meskipun dibuka kesempatan bagi partisipasi politik perempuan pada Pemilu 2004 akan tetapi
nomor urut calon legislatif dari perempuan
pada umumnya ditempatkan pada “nomor
urut sepatu”.
3. Norma-norma beorientasi laki-laki dan struktur yang didominasi laki-laki mengurangi
partisipasi publik perempuan dan dapat mengarah pada penghargaan diri dan kepercayaan diri sendiri yang rendah.

Irmayani, Melihat Partisipasi... 13

Tabel 2. Data Jumlah Pemilih Perempuan di Kabupaten Langkat

No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20

Nama Kecamatan
Bahorok
Salapian
Kuala
Sei Binge
Selesai
Binjai
Stabat
Wampu
Secanggang
Hinai
Padang Tualang
Sawit Seberang
Bt. Serangan
Tanjung Pura
Gebang
Babalan
Sei Lepan
Brandan Barat
Pangkalan Susu
Besitang
Jumlah

Laki-laki
15.468
28.487
13.728
13.508
20.651
12.941
24.344
13.601
19.816
14.462
15.507
8.914
11.675
21.142
13.855
17.979
16.274
7.033
16.237
17.040
322.652

%
53
91
48
47
51
51
50
55
49
51
50
51
51
51
50
48
51
52
49
50
52

Jumlah Pemilih
Perempuan
13.812
2.849
14.790
15.113
20.051
12.338
23.900
11.284
20.324
14.105
15.783
8.397
11.168
20.445
13.911
19.493
15.739
6.453
16.990
16.812
293.757

%
47
9
52
53
49
49
50
45
51
49
50
49
49
49
50
52
49
48
51
50
48

Total
29.280
31.336
28.518
28.621
40.702
25.279
48.234
24.885
40.140
28.567
31.290
17.311
22.843
41.587
27.766
37.472
32.013
13.486
33.227
33.852
616.409

Jurnal Wawasan, Juni 2005, Volume 11, Nomor 1

Tabel 3. Data yang Tidak Ikut Memilih (Golput)
No.

Nama Kecamatan

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20

Bahorok
Salapian
Kuala
Sei Binge
Selesai
Binjai
Stabat
Wampu
Secanggang
Hinai
Padang Tualang
Sawit Seberang
Batang Serangan
Tanjung Pura
Gebang
Babalan
Sei Lepan
Brandan Barat
Pangkalan Susu
Besitang
Jumlah ……………..

Ikut Memilih
Jumlah
%
23.438
80
22.449
72
21.953
77
19.936
70
35.043
86
21.333
84
38.504
80
19.903
80
37.533
94
22.403
78
24.953
80
13.902
80
21.486
94
34.221
82
23.655
85
29.713
79
25.031
78
11.172
83
28.022
84
25.681
76
500.331
81

Dari data di atas maka dapat disimpulkan
bahwa partisipasi politik masyarakat Langkat
terhadap Pemilu 2004 cukup tinggi (81%). Dengan tingkat kesulitan yang cukup tinggi, sistim
pemilu yang sangat jauh berbeda dengan sistem
pemilu-pemilu sebelumnya ternyata tidak menurunkan semangat masyarakat dalam berdemokrasi. Masyarakat yang tidak ikut memilih atau
memberikan suaranya (golput) dapat dibagi
menjadi dua kelompok. Kelompok pertama
adalah orang-orang yang dengan kesadarannya
tidak ingin memberikan suaranya dalam Pemilu.
Kelompok kedua adalah orang-orang yang tidak
memberikan suaranya karena berbagai faktor.
Misalnya: Tidak terdaftar sebagai pemilih, pindah
rumah tapi sudah terdaftar sebagai pemilih di
tempat asal, merantau keluar daerah (sewaktu
pemilu Tidak kembali), sudah meninggal dunia
tetapi terdaftar sebagai pemilih dan sebagainya.
Untuk kelompok pertama dan kedua ini belum
dilakukan penelitian secara lebih khusus.

14

Tidak Memilih
Jumlah
%
5.842
20
8.887
28
6.565
23
8.685
30
5.659
14
3.946
16
9.730
20
4.982
20
2.607
6
6.164
22
6.337
20
3.409
20
1.357
6
7.366
18
4.111
15
7.759
21
6.982
22
2.314
17
5.205
16
8.171
24
116.078
19

Jumlah Pemilih
29.280
31.366
28.518
28.621
40.702
25.279
48.234
24.885
40.140
28.567
31.290
17.311
22.843
41.587
27.766
37.472
32.013
13.486
33.227
33.852
616.409

KESIMPULAN
1. Pelaksanaan Pemilu 2004 dengan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka dan sistem distrik berwakil banyak di Kabupaten
Langkat ternyata berjalan lancar dan damai.
2. Partisipasi peserta pemilu di Kabupaten
Langkat cukup tinggi ini dibuktikan dengan
diikuti oleh 670 calon legislatif dari 24 partai
politik yang lulus verifikasi.
3. Partisipasi perempuan sebagai peserta pemilu
juga sudah cukup tinggi yakni ada 171 orang
(27%) calon legislatif dari kaum perempuan.
4. Partisipasi masyarakat Langkat yang sudah
berhak ikut memilih juga tinggi yakni 81%.
Ini menunjukkan bahwa masyarakat menginginkan perubahan dalam berdemokrasi melalui pemilu dengan memilih langsung calon
yang diinginkannya.

Irmayani, Melihat Partisipasi...

DAFTAR PUSTAKA
Alfian, dan Nazaruddin Syamsuddin. 1988. Masa Depan Kehidupan Politik Indonesia. Jakarta, Rajawali Press.
Ambong, Ibrahim. 1990. dalam Jurnal Ilmu Politik, Prospek Pemilu 1992. Jakarta, Gramedia.
Hikam, Muhammad, AS. 1996. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta, LP3ES.
Imawan, Riswandha. 1997. Membedah Politik Orde Baru. Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
KIPP. 2000. Kekerasan Politik dalam Pemilu 1999. Jakarta, KIPP Indonesia.

Peraturan & Undang-Undang
Undang-Undang Pemilu No. 12 Tahun 2003.

15