Kekerasan Pemilu di Aceh Melihat Korelas
Kekerasan Pemilu di Aceh: Melihat Korelasi Antara Demokrasi dan Perdamaian
Cut Maya Aprita Sari, S.Sos.,M.Soc.Sc
Dosen Prodi Ilmu Politik, FISIP Unsyiah
Tesis demokrasi dan perdamaian pertama kali muncul selepas Perang Dunia I dan
kembali mencuat saat berlangsungnya gelombang demokratisasi ketiga di Eropa serta
saat berakhirnya perang dingin. Di era 1980-an komunitas internasional mendukung
beragam negosiasi yang mengarah kepada perubahan dari otoritarianisme menuju
demokratisasi. Harapannya adalah demokrasi akan mengurangi intensitas konflik di
suatu negara. Pembahasan tentang demokrasi selalu menjadi topik yang menarik untuk
diulas. Hal ini karena demokrasi adalah sistem politik yang dipakai secara mayoritas
oleh Negara-negara di dunia. Idealisme nilai-nilai dasar dari paham demokrasi
memberikan harapan yang besar bagi penganutnya untuk menciptakan Negara yang
lebih baik dan mendukung terwujudnya perdamaian.
Beberapa nilai dasar demokrasi yang berkorelasi dengan perdamaian antara lain
ialah menyediakan sistem yang fair dalam pergantian pemimpin/ pemerintah secara
teratur dan minim kekerasan. Ini dapat terwujud dengan mengutamakan prinsip
keadilan, kesetaraan, partisipasi politik aktif, dan kebebasan memilih tanpa adanya
intimidasi dari pihak manapun.
Mengacu kepada nilai, demokrasi merupakan sistem yang menyediakan wadah
perdamaian bagi penganutnya. Demokrasi berkorelasi positif terhadap perdamaian dan
saling bergantung antara satu dengan yang lainnya. Kerangka berfikir yang dibangun
adalah penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis akan meminimalisir konflik
dalam masyarakat. Sistem yang demokratis akan menghargai pluralisme yang ada
dalam masyarakat. Seluruh input dari masyarakat akan tersalurkan dengan baik dalam
kerangka sistem yang demokratis sehingga berimplikasi kepada terciptanya
perdamaian.
Namun kenyataannya, demokrasi tidak menjamin adanya perdamaian. Dalam
kerangka sistem yang demokratis justru konflik berlatarbelakang penyalahgunaan kuasa
sangat mungkin terjadi. Keadaaan ini menyebabkan korelasi positif antara demokrasi
dan perdamaian semakin dipertanyakan. Pemilu sebagai instrument demokrasi faktanya
justru memicu berbagai konflik dan insiden kekerasan.
Berkaitan dengan hal ini, Aceh merupakan daerah dengan potensi konflik yang
tinggi menjelang Pilkada. Berbagai bentuk kekerasan seperti penganiayaan,
pengrusakan atribut partai, pembunuhan, pembakaran, pelemparan bom Molotov,
intimidasi dan terror kerap terjadi menjelang pemilu. Laporan Kontras (2014) mencatat
bahwa terdapat 67 kasus kekerasan di sepanjang bulan Januari – April 2014 diantaranya
adalah 36 kasus pengrusakan, 6 kasus intimidasi, 5 kasus penembakan, 1 kasus
bentrokan, 2 kasus penculikan, dan 17 kasus penganiayaan. Kabupaten Aceh Utara
merupakan daerah dengan tingkat kekerasan tertinggi menjelang pemilu tahun 2014.
Jenis Tindakan Kekerasan Politik di Aceh Januari s/d April 2014
40
35
30
25
20
15
10
5
0
Jenis Tindakan Kekerasan Politik di Aceh
Januari s/d April 2014
(Sumber: Laporan Kontras, 2014)
Aktor dominan yang terlibat dalam kekerasan ini biasanya adalah simpatisan
partai politik lokal maupun nasional. Namun demikian, aktor lain yang tidak diketahui
identitasnya dan sering disebut OTK juga ambil andil dalam kekerasan yang terjadi.
Menurut catatan Kontras (2014) diantara seluruh partai politik yang berkompetisi,
Partai Aceh (PA) dan Partai NAsional Aceh (PNA) merupakan partai yang paling sering
menjadji sasaran dan korban kekerasan politik di Aceh dengan masing-masing 20 dan
27 kasus. Pola kekerasan yang terjadi umumnya hampir sama. Dimulai dari
pengrusakan posko pemenangan, merusak atribut kampanye partai lain, dan berujung
kepada kekerasan baik terhadap simpatisan, maupun kandidat yang bersangkutan.
Akibat dari kekerasan ini adalah kerugian harta benda maupun kehilangan nyawa.
Kondisi ini tentusaja menimbulkan trauma bagi sebagian masyarakat Aceh khususnya
di daerah-daerah yang rawan konflik. Pemilu di Aceh lebih identik dengan pesta
kekerasan ketimbang pesta demokrasi. Fungsi dan tugas pengawas serta penyelenggara
pemilu pada akhirnya kembali dipertanyakan mengingat kekerasan pemilu di Aceh
selalu terjadi.
Kasus kekerasan pemilu ini dapat mengukur sejauh mana kualitas demokrasi yang
berlangsung di Aceh. Dimana salah satu nilai dasar demokrasi adalah menjamin adanya
pergantian pemimpin atau sirkulasi kekuasaan secara teratur dan damai. Dan kondisi ini
tidak terwujud di Aceh. Dari segi elit politik dapat dilihat bahwa terdapat hubungan
yang tidak harmonis antar kandidat dalam perebutan kekuasaan. Kondisi ini diperparah
dengan simpatisan yang mudah dimobilisasi untuk melakukan tindak kekerasan sebagai
bentuk loyalitas terhadap kandidiat yang didukungnya. Seharusnya setiap kandidat
memiliki peran yang besar untuk mengarahkan simpatisannya akan mendukung pemilu
damai.
Demokrasi sendiri juga menjamin adanya kebebasan dan hak rakyat dalam
menentukan pilihan. Artinya tidak dibenarkan adanya bentuk intimidasi apapun dalam
sistem yang demokratis. Kekerasan pemilu berupa intimidasi menjadi catatan buruk
bagi pelaksanaan pemilu yang demokratis. Demokrasi menjadi sistem yang chaos .
Korelasi positif antara demokrasi dan perdamaian tidak terwujud di Aceh. Melihat
eskalasi konflik yang meningkat menjelang pemilu tahun 2014, maka tidak tertutup
kemungkinan bahwa kekerasan akan kembali terjadi pada pemilu tahun 2017
mendatang.
Menghadapi hal tersebut, terdapat beberapa argumen yang ditawarkan. Pertama,
menekankan kepada perlunya perbaikan fungsi lembaga-lembaga seperti Komisi
Independen Pemilu (KIP), Panwaslu, dan kepolisian untuk memaksimalkan fungsinya
dalam proses pengawasan dan penertiban pemilu. Ketiga lembaga ini harus
bekerjasama dan mengambil peran strategis dalam menciptakan sistem yang fair
sehingga tidak memunculkan konflik. Pemerintah daerah juga harus memberi dukungan
yang maksimal agar pemilu mendatang berjalan kondusif. Setiap tindakan kekerasan
maupun kecurangan harus ditindaklanjuti secara tegas.
Kedua, adanya komitmen dari partai politik untuk bersama-sama menjaga
perdamaian. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan koordinasi efektif serta
memberikan pendidikan politik demokratis yang baik kepada kader maupun simpatisan
partai. Tujuannya adalah memberi pemahaman bahwa pemilu yang demokratis adalah
pemilu yang jauh dari tindak kekerasan. Kandidat partai juga harus menunjukkan sikap
sportif dengan tidak mengeluarkan pernyataan-pertnyataan yang provokatif.
Ketiga, menumbuhkan pemahaman bahwa menjaga perdamaian dalam pemilu
bukan hanya tugas pemerintah daerah, partai politik, maupun penyelenggara dan
pengawas pemilu. Menjaga perdamaian adalah tanggungjawab seluruh masyarakat
Aceh. Dibutuhkan sikap cerdas politik untuk menghindari berbagai bentuk kekerasan
dan tidak mudah terprovokasi dengan hal-hal yang memicu konflik.
Tiga
argumentasi
tersebut
setidaknya
dapat
menjadi
alternatif
dalam
mensinergikan demokrasi dan perdamaian. Demokrasi akan berkorelasi positif terhadap
perdamaian apabila dijalankan secara komprehensif. Demokrasi dan perdamaian
memiliki ketergantungan antara satu dengan yang lain. Perdamaian dapat diperkuat
lewat jaminan penyelenggaran demokrasi yang mendukung perdamaian. Begitu pula
demokrasi dapat berjalan dengan baik apabila semua elemen Negara mampu
menciptakan situasi politik yang damai.
Cut Maya Aprita Sari, S.Sos.,M.Soc.Sc
Dosen Prodi Ilmu Politik, FISIP Unsyiah
Tesis demokrasi dan perdamaian pertama kali muncul selepas Perang Dunia I dan
kembali mencuat saat berlangsungnya gelombang demokratisasi ketiga di Eropa serta
saat berakhirnya perang dingin. Di era 1980-an komunitas internasional mendukung
beragam negosiasi yang mengarah kepada perubahan dari otoritarianisme menuju
demokratisasi. Harapannya adalah demokrasi akan mengurangi intensitas konflik di
suatu negara. Pembahasan tentang demokrasi selalu menjadi topik yang menarik untuk
diulas. Hal ini karena demokrasi adalah sistem politik yang dipakai secara mayoritas
oleh Negara-negara di dunia. Idealisme nilai-nilai dasar dari paham demokrasi
memberikan harapan yang besar bagi penganutnya untuk menciptakan Negara yang
lebih baik dan mendukung terwujudnya perdamaian.
Beberapa nilai dasar demokrasi yang berkorelasi dengan perdamaian antara lain
ialah menyediakan sistem yang fair dalam pergantian pemimpin/ pemerintah secara
teratur dan minim kekerasan. Ini dapat terwujud dengan mengutamakan prinsip
keadilan, kesetaraan, partisipasi politik aktif, dan kebebasan memilih tanpa adanya
intimidasi dari pihak manapun.
Mengacu kepada nilai, demokrasi merupakan sistem yang menyediakan wadah
perdamaian bagi penganutnya. Demokrasi berkorelasi positif terhadap perdamaian dan
saling bergantung antara satu dengan yang lainnya. Kerangka berfikir yang dibangun
adalah penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis akan meminimalisir konflik
dalam masyarakat. Sistem yang demokratis akan menghargai pluralisme yang ada
dalam masyarakat. Seluruh input dari masyarakat akan tersalurkan dengan baik dalam
kerangka sistem yang demokratis sehingga berimplikasi kepada terciptanya
perdamaian.
Namun kenyataannya, demokrasi tidak menjamin adanya perdamaian. Dalam
kerangka sistem yang demokratis justru konflik berlatarbelakang penyalahgunaan kuasa
sangat mungkin terjadi. Keadaaan ini menyebabkan korelasi positif antara demokrasi
dan perdamaian semakin dipertanyakan. Pemilu sebagai instrument demokrasi faktanya
justru memicu berbagai konflik dan insiden kekerasan.
Berkaitan dengan hal ini, Aceh merupakan daerah dengan potensi konflik yang
tinggi menjelang Pilkada. Berbagai bentuk kekerasan seperti penganiayaan,
pengrusakan atribut partai, pembunuhan, pembakaran, pelemparan bom Molotov,
intimidasi dan terror kerap terjadi menjelang pemilu. Laporan Kontras (2014) mencatat
bahwa terdapat 67 kasus kekerasan di sepanjang bulan Januari – April 2014 diantaranya
adalah 36 kasus pengrusakan, 6 kasus intimidasi, 5 kasus penembakan, 1 kasus
bentrokan, 2 kasus penculikan, dan 17 kasus penganiayaan. Kabupaten Aceh Utara
merupakan daerah dengan tingkat kekerasan tertinggi menjelang pemilu tahun 2014.
Jenis Tindakan Kekerasan Politik di Aceh Januari s/d April 2014
40
35
30
25
20
15
10
5
0
Jenis Tindakan Kekerasan Politik di Aceh
Januari s/d April 2014
(Sumber: Laporan Kontras, 2014)
Aktor dominan yang terlibat dalam kekerasan ini biasanya adalah simpatisan
partai politik lokal maupun nasional. Namun demikian, aktor lain yang tidak diketahui
identitasnya dan sering disebut OTK juga ambil andil dalam kekerasan yang terjadi.
Menurut catatan Kontras (2014) diantara seluruh partai politik yang berkompetisi,
Partai Aceh (PA) dan Partai NAsional Aceh (PNA) merupakan partai yang paling sering
menjadji sasaran dan korban kekerasan politik di Aceh dengan masing-masing 20 dan
27 kasus. Pola kekerasan yang terjadi umumnya hampir sama. Dimulai dari
pengrusakan posko pemenangan, merusak atribut kampanye partai lain, dan berujung
kepada kekerasan baik terhadap simpatisan, maupun kandidat yang bersangkutan.
Akibat dari kekerasan ini adalah kerugian harta benda maupun kehilangan nyawa.
Kondisi ini tentusaja menimbulkan trauma bagi sebagian masyarakat Aceh khususnya
di daerah-daerah yang rawan konflik. Pemilu di Aceh lebih identik dengan pesta
kekerasan ketimbang pesta demokrasi. Fungsi dan tugas pengawas serta penyelenggara
pemilu pada akhirnya kembali dipertanyakan mengingat kekerasan pemilu di Aceh
selalu terjadi.
Kasus kekerasan pemilu ini dapat mengukur sejauh mana kualitas demokrasi yang
berlangsung di Aceh. Dimana salah satu nilai dasar demokrasi adalah menjamin adanya
pergantian pemimpin atau sirkulasi kekuasaan secara teratur dan damai. Dan kondisi ini
tidak terwujud di Aceh. Dari segi elit politik dapat dilihat bahwa terdapat hubungan
yang tidak harmonis antar kandidat dalam perebutan kekuasaan. Kondisi ini diperparah
dengan simpatisan yang mudah dimobilisasi untuk melakukan tindak kekerasan sebagai
bentuk loyalitas terhadap kandidiat yang didukungnya. Seharusnya setiap kandidat
memiliki peran yang besar untuk mengarahkan simpatisannya akan mendukung pemilu
damai.
Demokrasi sendiri juga menjamin adanya kebebasan dan hak rakyat dalam
menentukan pilihan. Artinya tidak dibenarkan adanya bentuk intimidasi apapun dalam
sistem yang demokratis. Kekerasan pemilu berupa intimidasi menjadi catatan buruk
bagi pelaksanaan pemilu yang demokratis. Demokrasi menjadi sistem yang chaos .
Korelasi positif antara demokrasi dan perdamaian tidak terwujud di Aceh. Melihat
eskalasi konflik yang meningkat menjelang pemilu tahun 2014, maka tidak tertutup
kemungkinan bahwa kekerasan akan kembali terjadi pada pemilu tahun 2017
mendatang.
Menghadapi hal tersebut, terdapat beberapa argumen yang ditawarkan. Pertama,
menekankan kepada perlunya perbaikan fungsi lembaga-lembaga seperti Komisi
Independen Pemilu (KIP), Panwaslu, dan kepolisian untuk memaksimalkan fungsinya
dalam proses pengawasan dan penertiban pemilu. Ketiga lembaga ini harus
bekerjasama dan mengambil peran strategis dalam menciptakan sistem yang fair
sehingga tidak memunculkan konflik. Pemerintah daerah juga harus memberi dukungan
yang maksimal agar pemilu mendatang berjalan kondusif. Setiap tindakan kekerasan
maupun kecurangan harus ditindaklanjuti secara tegas.
Kedua, adanya komitmen dari partai politik untuk bersama-sama menjaga
perdamaian. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan koordinasi efektif serta
memberikan pendidikan politik demokratis yang baik kepada kader maupun simpatisan
partai. Tujuannya adalah memberi pemahaman bahwa pemilu yang demokratis adalah
pemilu yang jauh dari tindak kekerasan. Kandidat partai juga harus menunjukkan sikap
sportif dengan tidak mengeluarkan pernyataan-pertnyataan yang provokatif.
Ketiga, menumbuhkan pemahaman bahwa menjaga perdamaian dalam pemilu
bukan hanya tugas pemerintah daerah, partai politik, maupun penyelenggara dan
pengawas pemilu. Menjaga perdamaian adalah tanggungjawab seluruh masyarakat
Aceh. Dibutuhkan sikap cerdas politik untuk menghindari berbagai bentuk kekerasan
dan tidak mudah terprovokasi dengan hal-hal yang memicu konflik.
Tiga
argumentasi
tersebut
setidaknya
dapat
menjadi
alternatif
dalam
mensinergikan demokrasi dan perdamaian. Demokrasi akan berkorelasi positif terhadap
perdamaian apabila dijalankan secara komprehensif. Demokrasi dan perdamaian
memiliki ketergantungan antara satu dengan yang lain. Perdamaian dapat diperkuat
lewat jaminan penyelenggaran demokrasi yang mendukung perdamaian. Begitu pula
demokrasi dapat berjalan dengan baik apabila semua elemen Negara mampu
menciptakan situasi politik yang damai.