C. PENDAHULUAN
Studi-studi agama dewasa ini mengalami perubahan orientasi yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan kajian-kajian agama sebelum abad ke-19.
Umumnya pengkajian agama sebelum abad ke-19 memiliki beberapa karakteristik yang antara lain, sinkritisme, penemuan arca baru, dan untuk kepentingan misionari
dipicu oleh semangat dan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga orientasi dan metodologi studi islam mengalami perubahan.
Adapun studi islam sendiri merupakan ilmu keislaman mendasar. Dengan studi ini, pemeluknya mengetahui dan menetapkan ukuran ilmu, iman dan amal
perbuatan kepada allah swt. Diketahui pula bahwa islam sebagai agama yang memiliki banyak dimensi yaitu mulai dari dimensi keimanan, akal fikiran, politik
ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi lingkungan hidup, dan masih banyak lagi yang lainnya. Untuk memahami berbagai dimensi ajaran islam tersebut jelas
memerlukan berbagai pendekatan yang digali dari berbagai disiplin ilmu. Selama ini islam banyak dipahami dari segi teologis dan normative.
D. SINOPSIS
Buku ini merupakan satu upaya untuk menyajikan perkembangan Studi Islam dalam pendekatan dan metode bagi para intelektual islam di seluruh duni. Minat
terhadap Studi Islam mengalami peningkatan cukup pesat pada beberapa tahun terakhir, meskipun tidak selalu memilik alasan-alasan yang tepat.
Pada abad 19 hingga awal abad 20 kita dapat menyaksikan bahwa disiplin Studi Islam bangkit dimotivasi oleh keinginan para penguasa kolonial untuk
memahami sumber-sumber rujukan dan praktik-praktik keagamaan dari negeri-negeri jajahan mereka. Mereka memiliki hasrat untuk menguasai secara penuh wilayah
jajahan dengan berbagaimacam cara sehingga mereka dapat menjalankan misi “memperadabkan” negeri-negeri terjajah dan mendorong mereka memperoleh
kemajuan dalam hal pengetahuan tentang negeri-negeri terjajah serta memanfaatkan kaum terpelajarnya untuk mendapatkan legitimasiatas kekuasaan mereka. Kini, Studi
Islam sudah mengalami perkembangan cukup mengesankan, meskipun masih ada minat yang dikendalikan oleh kepentingan diri.
Buku ini memiliki empat belas bab yang masing-masing bab menjelaskan secara rinci mengenai isi buku. Bab pertama pada buku ini membahas tentang Studi
Islam dan Metodologi Studi Islam. Islamic Studies mencakup bidang yang memiliki dimensi “islam” dan keterkaitan dengannya. Islamic Studies mengimplikasikan
tentang disiplin dan tradisi intelektual keagamaan klasik menjadi inti dari Islamic Studies. Pendidikan berbasis keimanan bagi Muslim mengenai islam dan studi lintas
disiplin tentang Islam yang bersandar kepada ilmu-ilmu humaniora dan ilmu-ilmu sosial memberikan tujuan yang bermanfaat. Disamping itu, Islamic Studies berbeda
dengan dari ilmu-ilmu humaniora dan ilmu-ilmu sosial. Islamic Studies bukanlah sebuah disiplin, namun ia lebih merupakan kesalinghubungan antara beberapa
disiplin. Dalam bahasa metodologi, para peniliti memakai serangkaian disiplin termasuk ilmu-ilmu sosial.
Masalah utama yang menopang definisi Islamic Studies tampaknya muncul dari metodologi bagaimana Islam dikaji dan kemudian bagaimana diajarkan. Kritik
atas metodologi Barat muncul baik dalam bentuk kritik seimbang maupun kritik radikal. Pendekatan intelektual Barat terhadap pengetahuan dan pembelajaran
ditegakkan atas hukum pertentangan antara dua hal yang berseberangan dengan filsafat Islam tentang kehidupan yang berdasarkan pada teori fusi. Teori fusi juga
disebut teori wasathaniyyah teori jalan tengah. Teori wasathaniyyah berdasarkan Al-
Qur‟an surat al-Baqarah [2]: 143 yang berbicara tentang “ummah wasth”, yang mampu merekonsiliasi dua hal yang bertentangan dengan tujuan untuk meraih
harmoni sosial
1
. Pandangan dunia Islam berbeda dari pendekatan Barat terhadap pengetahuan ilmiah. Seluruh dunia tunduk pada penafsiran, karena penemuan apa pun
yang dari akal membawa pada kejadian fenomena tertentu dipandang sebagai bentuk penafsiran. Penafsiran pada ilmu alam akan membawa pada kontrol atas sluruh alam,
akibatnya apa yang ada pada alam dapat diterapkan pada pemahaman manusia. Perbedaan antara fenomena alam dan fenomena kemanusiaan bahwa manusia
mengandung komponen-komponen lain serta mengikuti sistem dan pola eksistensi yang berbeda secara keseluruhan.
Islam tidak berusaha membatasi pemikiran manusia atau mencegah kajian ilmiah mandiri. Islam sebagai keimanan memiliki sedikit reservasi dalam memandang
fakta ilmiah yang abstrak dan memotivasi perluasan metodologi eksperimen dalam lingkungan islam sebelum ditransfer ke barat. Pendekatan apologetik menyatakan
bahwa Islam mengadopsi pencarian pengetahuan dan tidak membatasi pada sumber pengetahuan hanya pada pemahaman dunia materi manusia
2
. Dalam menyifati islam dengan ketebelakangan sosial, islam memiliki kebutuhan untuk mengadopsi
metodologi berpikir yang sejalan dengan masyarakat modern, islam juga membutuhkan islam pribumi yang berdasarkan atas nilai-nilai asli dalam islam
tentang sains dan pengetahuan kehidupan. Metodologi semacam ini membutuhkan bahan-bahan sebagai berikut:
Pertama, faktor manusia. Manusia dapat membawa pesan pemahaman keagamaan yang layak. Islam menyandarkan kaum terpelajar yang mendorong upaya-
1
Zakiyuddin Baidhawy, Studi Islam: Pendekatan dan Metode Yogyakarta: Insan Madani, 2011, hlm 8
2
Zakiyuddin Baidhawy, Studi Islam: Pendekatan dan Metode Yogyakarta: Insan Madani, 2011, hlm10
upaya keilmuan dan peningkatan kaum muslim yang berpengetahuan. Seperti disebutkan dalam Al-
Qur‟an surah Ali „Imran ayat 79 yang berbunyi:
ْمت ك ب يّي هبر او وك ٰلو هّ ود م يّل اًد ع او وك س ه لل وقي همث هو ّ لاو مْ حْلاو ت ْلا هّ هيتْؤي أ رش ل ك م وسرْدت ْمت ك بو ت ْلا و ّلعت
Artinya : “dan hendaklah kamu menjadi orang-orang yang berorientasi ketuhanan rabbaniyyun dalam apa yang kamu ajarkan dan apa yang kamu pelajari”. QS. Ali
„Imran 3: 79.
Kedua, upaya mempopulerkan tujuan Islam dalam menciptakan banyak masyarakat dan kebudayaan sehingga Islam berhasil sebagai fenomena kebudayaan
sekalaigus fenomena keagamaan. Hubungan spiritual antara Tuhan dan manusia memiliki aspek sosial, yang dalam dunia sufi disebut sebagai jalan kolektif dan jalan
individual menuju Tuhan, Thariqah. Thariqah berarti menerima banyak jalan dalam keimanan Islam. Salah satu sumber utama kesepakatan antara metode penelitian Islam
dan metode penelitian objektif adalah pentingnya epistemologi dalam Islam yang memiliki kekuatan yang memadai.
Problem metodologis dipandang lebih otoritatif dalam melakukan kajian Islam. Pada akhir abad ke-20, Belanda telah memberikan konstribusi terhadap studi
akademik agama-agama yang berupaya mengembangkan suatu metode empirik bagi Religious Studies baik dalam hal klasifiksi wacana maupun istilah-istilah yang
dipinjam dari kosakata teknis dari ilmu-ilmu bahasa yang mereka transformasikan ke dalam Antropologi Budaya. Dalam karya-karya mereka tampak usaha untuk
membedakan antara dua tipe berbeda tentang perbincangan mengenai agama, yakni pendekatan emik yang menyajikan pola-pola pemikiran dan asosiasi simbolik yang
diungkap dari perspektif kaum beriman, dan pendekatan ilmiah etik yang melibatkan
analisis historis mengenai hubungan antara ide dan masyarakat sembari membatasi dari pelibatan klaim kebenaran emik tentang realitas meta-empirik Feener, 2007:
264-282
3
. Berkaitan dengan dua model kajian terdapat pertentangan antara pendekatan
akademik yang mendorong peneliti dan pengkaji memosisikan diri seolah-olah sebagai
“orang luar” outsider dan pendekatan konfensional yang hanya menerima perspektif “orang dalam” insider; antara pengkaji Muslim dan pengkaji Barat
4
. Situasi ini bukan akibat dari perkembangan pada tingkat intelektual murni, melainkan
lebih dari situasi yang muncul dalam lingkungan historis tertentu didalam konteks kolonialisme dan sistem kekuasaan dan pengetahuan yang tidak simetris antara Islam
dan Barat. Bab kedua dalam buku ini membahas tentang ruang lingkup objek kajian Studi
Islam. Studi Islam sebagai kajian Ilmiah yaitu upaya mencari pemahaman mengenai hakikat agama, bukan sekedar fungsi agama. Hakikat agama terletak pada
pengalaman keagamaan. Joachim Wach 1958 menjelaskan beberapa kriteria mengenai pengalaman
keagamaan. Pertama, pengalaman keagamaan merupakan suatu respon terhadap apa yang dialami sebagai Realitas Ultim the Ultimate Reality. Realitas Ultim artinya
“suatu yang mengesankan dan menantang kita”. Kedua, pengalaman keagamaan itu harus dipahami sebagai suatu respon menyeluruh terhadap Realitas Ultim, yaitu
pribadi yang utuh yang melibatkan jiwa, emosi dan kehendak sekaligus. Karena pengalaman keagamaan terdiri dari suatu hirarki tiga unsur, yaitu intelektual, afeksi,
3
Zakiyuddin Baidhawy, Studi Islam: Pendekatan dan Metode Yogyakarta: Insan Madani, 2011, hlm 17
4
Zakiyuddin Baidhawy, Studi Islam: Pendekatan dan Metode Yogyakarta: Insan Madani, 2011, hlm 18
dan kesukarelaan. Ketiga, pengalaman keagamaan menghendaki intensitas, yaitu suatu pengalaman yang sangat kuat, komprehensif, dan mendalam
5
. Empat kriteria tersebut mejelaskan pengalaman agama sejati. Pengalaman
agama sejati merupakan pengalaman batin dari perjumpaan manusia dan pikiran manusia dengan Tuhan. pengalaman keagamaan dipelajari melalui bentuk-bentuk
ekspresi yang meliputi tiga hal sebagai berikut. Ekspresi dalam Pikiran, Ekspresi pengalaman keagamaan dalam pikiran ialah
ungkapan intelektual orang yang mengalami perjumpaan dengan Tuhannya. Ekspresi dalam Tindakan, Ekspresi pengalaman keagamaan dalam tindakan ialah tindakan-
tindakan keagamaan yang menjadi sarana bagi perjumpaan manusia dengan Tuhannya. Ekspresi dalam Jamaah, Ekspresi pengalaman keagamaan dalam jamaah
ialah pengelompokan-pengelompokan pemeluk agama dalam komunitas dan masyarakat keagamaan.
Islam adalah salah satu dari agama-agama yang hidup didunia. Dimensi- dimensi islam dapat dijadikan objek studi ilmiah. Menurut Smart 1989, semua
agama-agama yang hidup di dunia memiliki tujuh dimensi, yaitu Dimensi Praktik dan Ritual, praktik bisa juga disebut sebagai ritual-ritual keagamaan. Dalam konteks
Islam, dimensi-dimensipraktik dan ritual keagamaan berupa rukun Islam yang lima: syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Dimensi Pengalaman dan Emosional,
menggambarkan tentang emosi-emosi dan pengalaman-pengalaman para pemeluk agama-agama lainnya. Ritual tanpa emosi terasa dingin; ajaran tanpa cinta itu kering.
Jadi, dalam memahami suatu tradisi harus berusaha masuk kedalam perasan-perasaan untuk merasakan kesakralan, kedamaian, dan dinamika bathiniyah, sensasi harapan,
5
Zakiyuddin Baidhawy, Studi Islam: Pendekatan dan Metode Yogyakarta: Insan Madani, 2011, hlm 24
persepsi kekosongan dan rasa syukur yang mendalam. Dimensi Naratif dan Mitos, bersifat historis karena terjadi dalam dimensi ruang dan waktu nyata dan sebagian
lainnya berkenaan dengan waktu primordial yang misterius ketika dunia belum muncul dalam waktu yang belum dapat dinamakan. Dimensi Doktrin dan Filosofis,
Tiang penyangga dimensi naratif adalah dimensi doktrin atau ajaran. Dimensi Etika dan Hukum, Dimensi ajaran dan narasi berpengaruh pada nilai-nilai dari suatu tradisi
dengan cara membentuk pandangan dunia. Dimensi Sosial dan Institusional, Dimensi sosial dan institusional bicara tentang manifestasi eksternal dari suatu agama. Dimensi
Material, merupakan segala manifestasi agama yang bersifat kebendaan, seperti bangunan-bangunan peribadatan, tempat-tempat suci, pekerjaan tangan atau seni
keagamaan, dan kreasi-kreasi material lainnya
6
. Bab ketiga dalam buku ini membahas tentang sejarah perkembangan studi
Islam. Studi Islam muncul pada abad ke-9 di Irak, Studi Islam berkembang di dalam sekolah-sekolah hingga terbentuknya tradisi literer di kawasan Arab masa
pertengahan. Studi Islam tidak hanya fokus terhadap peradaban Islam, tetapi juga fokus pada diskusi negara-negara barat. Perkembangan yang menarik bagi Studi Islam
adalah munculnya historisisme, yaitu suatu gagasan tentang kemunculan agama baru. Studi Islam telah menjadi suatu disiplin keilmuan mandiri. Displin Studi Islam selalu
menekankan klasifikasi, kategori, definisi, distingsi, konsep-konsep, dan teori-teori tentang kebudayaan tanpa ketakutan akan kritik atau penolakan. Jadi, faktor kunci
dalam pendekatan multidisiplin adalah latar belakang pendidikan sekaligus kemauan dan usaha untuk mencari pandangan-pandangan suatu gagasan yang bersifat inovatif.
Bab keempat dalam buku ini membahas tentang studi Al- Qur‟an, yaitu model
pendekatan kajian teks-teks Islam. Karena objek kajian studi Islam tradisional adalah
6
Zakiyuddin Baidhawy, Studi Islam: Pendekatan dan Metode Yogyakarta: Insan Madani, 2011, hlm 28
teks-teks keagamaan dan karya-karya yang berkaitan keagamaan, maka metode dan pendekatan yang dipergunakan oleh komunitas ilmiah meliputi metode dan
pendekatan tekstual bayani
7
. Al- Qur‟an sebagai sumber pertama dan utama ajaran
Islam. Dalam Al- Qur‟an lahirlah pendekatan sastra pada aspek keindahan dan
kemukjizatan Al- Qur‟an. Kemudian dari pendekatan sastra lahirlah pendekatan tajdid,
yaitu tentang studi bahasa nahwu, retorika balaghah, tafsir Al- Qur‟an dan sastra
adab. Di samping itu, lahirlah pendekatan tahlili dengan menganalisis kronologis ayat-ayat Al-
Qur‟an. Kemudian lahirlah pendekatan semantik dan pendekatan tematik, juga bersumber dari Al-
Qur‟an.
Bab kelima dalam buku ini membahas tentang studi Hadis, yaitu model kajian teks-teks keislaman. Hadis merupakan sumber utama islam yang kedua setelah Al-
Qur‟an. Studi Hadis memperoleh kemajuan dan mendapatkan perhatian banyak dari kalangan dunia Islam dan Barat. Studi Hadis tidak akan pernah lepas dari studi
tentang kritis hadis berupa keotentikan hadis. Para sarjana timur dan sarjana barat saling mendebatkan tentang otentisitas hadis. Perbedaan antara pendekatan sarjana
hadis Muslim dan sarjana hadis Barat bersandar pada perbedaan fundamental pendekatan terhadap tradisi Islam secara keseluruhan.
Bab keenam dalam buku ini membahas tentang model kajian ilmu kalam. Ilmu kalam diartikan sebagai “firman”, namun ada yang mengartikan sebagai “diskusi”
atau “argumen” atau perdebatan. Ilmu kalam adalah suatu ilmu yang mengkaji ajaran- ajaran dasr keimanan islam ushuluddin. Ilmu ini mengidentifikasi ajaran-ajaran
dasar dan berupaya membuktikan validitasnya dan menjawab setiap keraguan terhadapnya
8
. Kalam pada umumnya beupaya menjustifikasi kepercayaan keagamaan
7
Zakiyuddin Baidhawy, Studi Islam: Pendekatan dan Metode Yogyakarta: Insan Madani, 2011, hlm 68
8
Zakiyuddin Baidhawy, Studi Islam: Pendekatan dan Metode Yogyakarta: Insan Madani, 2011, hlm 124
melalui akal. Dengan menggunakan akal menghasilkan kesimpulan dan akibat-akibat baru dari suatu kepercayaan. Sehingga mampu meresionalisasikan pandangan-
pandangan dalam kerangka spekulatif. Bab ketujuh dalam buku ini membahas tentang model kajian tasawuf. Tasawuf
dikenal sebagai mistisisme islam, yaitu fenomena universal yang menggambarkan upaya manusia untuk meraih kebenaran
9
. Tasawuf dikenal sebagai pengetahuan intuitif tentang Tuhan, yaitu kesadaran akan realitas transeden melalui meditasi.
Dalam memahami taswuf juga harus menelusuri ajaran-ajaran yang dipaparkan dalam Al-
Qur‟an dan Hadis. Memegang teguh Al-Qur‟an dan Sunnah merupakan pemahaman sejati tentang sufisme atau tasawuf.
Bab kedelapan dalam buku ini membahas tentang model kajian usul fikih dan fikih. Usul fikih dan fikih mempunyai hubungan yang sangat erat, karena merupakan
akar dari hukum Islam yang membahas indikasi-indikasi dan motede-metode yang sudah dikemukakan dalam Al-
Qur‟an dan Hadis. Aturan fikih berasal dari Al-Qur‟an dan Sunnah yang sejalan dengan metode kolektif, sehigga disebut usul fikih. Dalam
mengkaji usul fikih dilakukan dua pendekatan. Yaitu pendekatan teoretis dan pendekatan deduktif
10
. Pendekatan teoretis atau pendekatan rasional bebas dari pendapat dari imam terdahulu dan tidak melihat pendapat-pendapat fikih, sehingga
terlibat dalam konflik teori dan filsafat tanpa alasan. Sedangkan pendekatan deduktif atau tradisional berasal dari prinsip-prinsip usul diderivasi berdasrkan atas
pandangan-pandangan tentang persoalan-persoalan fikih. Bab kesembilan dalam buku ini membahas tentang studi hermeneutika
pembebasan Farid Esack, yaitu model kajian Hermeneutika. Adanya kaitan antara
9
Zakiyuddin Baidhawy, Studi Islam: Pendekatan dan Metode Yogyakarta: Insan Madani, 2011, hlm 139
10
Zakiyuddin Baidhawy, Studi Islam: Pendekatan dan Metode Yogyakarta: Insan Madani, 2011, hlm 160
jalan Tuhan mengidentikkan diri dengan kemanusiaan an-nas atas manusia tertindas dan marjinal dan juga pentinganya menegakkan keadilan dengan dasr tauhid dan
takwa melalui jalan jihad. Dalam melibatkan hermeneutika pembebasan Al- Qur‟an
dengan melakukan teologi dan iman sebagai solidaritas terhadap masyarakat tertindas untuk pembebasan.
Bab kesepuluh dalam buku ini membahas tentang studi Hibrida filsafat Fondasionalisme dan Hermeneutika, yaitu model kajian Filsafat. Beberapa tantangan
kontemporer pascamodernisme telah mengejutkan konvensi sosial dan kultural, sistem-sistem kepercayaan, statisme dan fondasionalisme dalam pemikiran
masyarakat Muslim. Dalam rangka keluar dari krisis pemikiran dibutuhkan tafsir multikultural yang merupakan alternatif dalam strategi dan implementasi Dakwah
Islam. Tafsir multikultural adalah upaya mempertahankan kontinuitas sejarah pemikiran dan kritisisme dalam periode ilmu. Kritisisme memberikan kontribusi bagi
kontinuum pemikiran tekstual dan kultural sehingga mampu membuka tumbuhkembangnya oposisi atas pikiran-pikiran konvensional yang sudah tidak
terdaftar. Bab kesebelas dalam buku ini membahas tentang pendekatan multikultural
terhadap pendidikan Agama, yaitu model kajian pendidikan. Pendidikan Agama Berbasis Teologi Multikulturalis harus secara kolaboratif dengan institusi-institusi
pendidikan dan para pengambil kebijakan serta organisasi-organisasi pemerintah maupun non-pemerintah lain. Berkaitan guna menciptakan suatu visi baru bagi peran
Pendidikan Agama dalam masyarakat. Pendidikan Agama hendaknya memainkan peran positif dalam membangun masyarakat yang damai dan harmoni dalam konteks
global sehingga perlu dirancang lebih dari sekedar melatih para guru dalam penguasaan teknik. Pendidikan Agama upaya mengkombinasikan teologi dan kajian
ilmiah. Artinya, pendidikan Agama perlu membuka peluang untuk saling mempengaruhi antara memasuki dan mengambil jarak terhadap agama. Pendidikan
Agama membutuhkan dialektika antara perspektif orang dalam dan orang luar sehingga mampu menjadi jalan kerjasama interdisipliner antara tradisi-tradisi
keagamaan dan kesarjanaan. Bab kedua belas dalam buku ini membahas tentang model kajian pemikiran
Islam, yaitu kajian tentang Islam liberal. Liberal bermakna pembebasan dari cara berpikir dan berperilaku keberagamaan yang menghambat kemajuan. Gagasan Islam
liberal merupakan kombinasi unsur-unsur liberal yang ada dalam kelompok-kelompok pemikiran modern. Islam liberal adalah kecenderungan pemikiran Islam modern yang
krits, progesif dan dinamis. Islam liberal berupaya memperkuat basis dan saf sebagai counter discourse dari gerakan pemberlakuan syariat Islam yang menjadi cita-cita
Islam. Bab ketiga belas dalam buku ini membahas tentang model kajian politik.
Subjek tentang Islam dipandang sebagai bagian dari isu suatu disiplin yang lebih dari sekedar pertunjukkan. Dalam kajian politik, lahirlah pendekatan keamanan security
dimana perspektif keamanan aktif dalam dunia kebijakan sehingga mampu memperluas pemahaman simbol-simnol islam ke dalam sistem pendidikan dan
hukum. Kemudian lahirlah pendekatan demokrasi sebagai peneguhan politik keagamaan untuk menciptakan suatu versi modernitas yang akan lebih luas diterima
oleh kalangan Muslim daripada gerakan-gerakan sekuler. Disamping itu, lahirlah pendekatan globalisai.
Bab keempat belas dalam buku ini membahas tentang metodologi ilmiah modern dan studi Islam. Studi tentang agama-agama pada masa modern dan
kontemporer banyak mengambil manfaat dari perkembangan metodologi dalam ilmu- ilmu sosial dan humaniora. Mengkaji Islam dengan cara komprehensif dapat
mengandalkan metode dan pendekatan yang sifatnya sui generis dari ilmu keislaman sebagaimana dalam percabangan kajian Islam tradisional.
E. KELEBIHAN